Anda di halaman 1dari 8

pada 6 Agustus 1945 kota Hirosima dijatuhi bom atom oleh sekutu dan menewaskan puluhan ribu orang.

Bom atom Kembali dijatuhkan


pada 9 Agustus 1945, bom atom menewaskan 70 ribu orang dan mencederai puluhan ribu warga Nagasaki, Jepang. Sebuah pukulan
telak bagi Jepang.
12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Ir. Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa
pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam
beberapa hari.
15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat ke Sekutu dan terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia.

Akibat dari perselisihan antara golongan muda dan golongan tua, Ir. Soekarno yang tidak segera mengumumkan kemerdekaan dari
desakan golongan muda, maka pada 16 Agustus 1945 Dini hari, Ir. Soekarno dan Moh Hatta diculik oleh golongan muda ke
Rengasdengklok dan dipaksa segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia melalui radio. Dengan negosiasi maka 16 Agustus
1945 Malam, Ir. Soekarno dan Moh Hatta kembali ke Jakarta. Di rumah Laksamana Maeda Tadashi para tokoh nasional berkumpul
untuk berunding tentang persiapan proklamasi kemerdekaan RI.

17 Agustus 1945 Telah dilakukan persiapan di rumah Ir. Soekarno, untuk menyambut Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Banyak
tokoh pergerakan nasional beserta rakyat berkumpul di tempat itu. Mereka ingin menyaksikan pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Sesuai kesepakatan yang diambil di rumah Laksamana Maeda.
PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.


Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll., diselenggarakan dengan cara saksama dan
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05

Atas nama bangsa Indonesia.

Sukarno-Hatta.
Hasil Sidang PPKI 18 Agustus 1945
Apa saja hasil sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945? Pada sidang pertama ini, menghasilkan 3 keputusan penting, antara lain :

Keputusan pertama :  Mengesahkan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945

 Keputusan kedua : Memilih presiden dan wakil presiden. Jabatan presiden dipilih Ir Soekarno, sementara wakilnya yakni Drs.
Mohammad Hatta. Pemilihan kedua tokoh ini merupakan usulan dari Otto Iskandardinata.
 Keputusan ketiga : Pembentukan Komite Nasional. Tugas komite ini yaitu untuk membantu Presiden sebelum DPR dan MPR
terbentuk.

Dari hasil sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dapat disimpulkan bahwa, sidang tersebut hanya menghasilkan keputusan-
keputusan antara lain mengesahkan UUD 45, memilih Presiden dan Wakil Presiden dan pembentukan Komite Nasional untuk membantu
Presiden.

Sidang PPKI 19 Agustus 1945


Apa saja hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945? Berikut ini hasil keputusan-keputusan sidang ke dua PPKI, meliputi :

 Keputusan pertama : Pembagian wilayah di Indonesia. Wilayah Indonesia terdiri dari delapan provinsi, yaitu : Sumatera, Jawatim,
Jateng, Jabar Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.
 Keputusan kedua : Pembentukan Komite Nasional di tingkat daerah-daerah.
 Keputusan ketiga : Membentuk dan menetapkan 12 departemen dan menetapkan menterinya. Departemen Kesehatan, Departemen
Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kemakmuran, Departemen Keuangan, Departemen Kehakiman,
Departemen Pengajaran, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Sosial, Departemen Keamanan
Rakyat, Departemen Penerangan.

Dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 atau sidang kedua, dapat disimpulkan bahwa menghasilkan 3 keputusan meliputi
pembagian wilayah Indonesia yang baru merdeka, pembentukan komite di tingkat daerah, dan membentuk departemen-departemen
berjumlah 16.
Sidang PPKI ke-3 22 Agustus 1945
Apa saja hasil sidang PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945? Berikut ini keputusan atau hasil sidang ke 3 PPKI, meliputi :

 Keputusan pertama : Pembentukan Komite Nasional 


 Keputusan kedua : Membentuk PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang diketuai oleh Ir.Soekarno. Pembentukan PNI pada awalnya
ditujukan sebagai satu-satunya partai di Indonesia dengan tujuan untuk mewujudkan negara Republik Indonesia yang berdaulat,
adil, dan makmur berdasarkan kedaulatan rakyat.
 Keputusan ketiga : Pembentukan BKR atau singkatan dari Badan Keamanan Rakyat.

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17


Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di Jakarta. Perundingan
dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara
wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda
dan Indonesia. Gubernur Jendral Van Mook dari Belanda memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus. Pada 25 Agustus,
Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang diusulkan Amerika Serikat bahwa Dewan Keamanan akan menyelesaikan konflik
Indonesia-Belanda secara damai dengan membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Belgia yang dipilih oleh Belanda, Australia
yang dipilih oleh Indonesia, dan Amerika Serikat yang disetujui kedua belah pihak.
Pada 29 Agustus 1947, Belanda memproklamirkan garis Van Mook yang membatasi wilayah Indonesia dan Belanda. Republik
Indonesia menjadi tinggal sepertiga Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra, tetapi Indonesia tidak mendapatwilayah utama
penghasil makanan. Blokade oleh Belanda juga mencegah masuknya persenjataan, makanan dan pakaian menuju ke wilayah Indonesia.
Isi perjanjian

 Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia


 Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
 TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur
Surabaya, 19 September 1945
Surabaya yang menjadi ibukota Jawa Timur disebut juga sebagai Kota Pahlawan.
Peristiwa heroik yang terjadi di Surabaya dalam rangka mendukung peristiwa proklamasi adalah insiden yang terjadi di Hotel Yamato,
Tunjungan. Saat itu, pemerintah Belanda mengibarkan bendera Belanda, yang berwarna merah, putih, dan biru di atap hotel.
Masyarakat yang melihat hal itu menyerbu hotel, menurunkan bendera, dan merobek bendera.
Namun bendera tidak dirobek seluruhnya, melainkan hanya bagian warna birunya saja dan hanya menyisakan warna merah dan putih.
Peristiwa ini terjadi di tanggal 19 September 1945.

Aceh, 6 Oktober 1945


Peristiwa heroik dalam rangka proklamasi juga terjadi di Pulau Sumatra, tepatnya Aceh. Tepat pada 6 Oktober 1945, pemuda yang
ebrasal dari tokoh masyarakat mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia atau API. Tujuan dari API adalah untuk merebut dan mengambil
alih kantor pemerintahan yang dikuasai oleh Jepang. Setelah berhasil merebut tempat-tempat yang dikuasai Jepang sebelumnya, pasukan
API kemudian mengibarkan bendera merah putih dan mengambil senjata tentara Jepang.

Palembang, 8 Oktober 1945


Adanya upacara pengibaran bendera Merah Putih pada tanggal 8 Oktober 1945 yang dipimpin oleh dr. A.K. Gani. Pada kesempatan itu,
diumumkan bahwa Sumatra Selatan berada di bawah kekuasaan RI. Upaya penegakan kedaulatan di Sumatra Selatan tidak memerlukan
kekerasan karena Jepang berusaha menghindari pertempuran.

Semarang, 15 Oktober 1945


Selain di Surabaya, peristiwa heroik saat proklamasi juga terjadi di Semarang, pada 15 Oktober 1945. Pada saat itu, pasukan Jepang
melakukan serangan ke Kota Semarang dan pasukan TKR saat itu melakukan perlawanan bersama dengan laskar pejuang lainnya.
Dalam pertempuran yang terjadi ini, ribuan pemuda Indonesia dan ratusan tentara Jepang tewas. Sebagai cara untuk mengenang
peristiwa pertempuran ini, kemudian dibangun Monumen Tugu Muda di Semarang.

Kalimantan, 14 November 1945


Peritiwa heroik dalam masa proklamasi juga terjadi di Kalimantan, saat rakyat Kalimantan berusaha untuk mengibarkan bendera merah
putih sebagai tanda kemerdekaan. Selain mengibarkan bendera merah putih, cara lain yang dilakukan adalah dengan memakai lencana
merah putih serta mengadakan berbagai rapat. Sayangnya, berbagai kegiatan itu dilarang ileh pasukan Sekutu yang saat itu ada di
Kalimantan. Namun rakyat Kalimantan tidak memedulikan larangan itu dan justu berkumpul di depan markas Sekutu, yaitu di
Balikpapan pada 14 November 1945. Peritiwa ini mampu mengumpulkan sekitar 8.000 orang yang membawa bendera merah putih.

Latar belakang Perjanjian Linggarjati terjadi karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia, menyebabkan terjadinya konflik
antara Indonesia dengan Belanda yang salah satunya ditandai Peristiwa 10 November di Surabaya. Pemerintah Inggris selaku
penanggung jawab mengundang Indonesia dan Belanda untuk melakukan perundingan di Hooge Veluwe. Namun perundingan tersebut
gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatan atas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura. Sedangkan Belanda hanya mau
mengakui Indonesia atas Pulau Jawa dan Madura saja. Perundingan Linggarjati yang terjadi pada 11 November 1946. Tidak diketahui
secara pasti alasan Sutan Syahrir memilih Linggarjati, sebagai tempat pertemuan bersejarah itu. Perjanjian Linggarjati selesai pada 15
November 1946 dan baru ditandatangani keduanya pada 25 Maret 1947. Dalam rentang waktu tersebut, para delegasi melakukan
perbaikan isi perjanjian agar kedua belah pihak menemui titik temu. Tokoh perjanjian Linggarjati Dalam perjanjian tersebut terdapat
beberapa tokoh yang datang sekaligus mewakili masing-masing pihak. Berikut tokoh yang terdapat dalam perjanjian bersejarah tersebut:
Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir sebagai ketua. Ditemani oleh A K Gani, Susanto Tirtoprojo, dan Mohammad Roem. Belanda
diwakili oleh Wim Schermerhorn sebagai ketua dan ditemani oleh Max Von Poll, H J van Mook serta F de Baer. Inggris selaku
penanggung jawab atau mediator diwakili oleh Lord Killearn.

Isi perjanjian Linggarjati yaitu:

 Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura Belanda harus meninggalkan
wilayah Republik Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1949
 Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS harus bergabung dengan negara-begara
persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda

Tujuan Konferensi Inter Indonesia


Tujuan diadakannya konferensi inter Indonesia ini ialah untuk membentuk suatu negara Federal atau negara yang sanggup disebut
dengan negara serikat, yang didalamnya terdiri dari pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Dilaksanakannya konferensi inter Indonesia
merupakan salah satu syarat yang harus dapat dilakukan Republik Indonesia Serikat (RIS) supaya dapat menerima ratifikasi kedaulatan
dari pemerintah Belanda. Konferensi ini dilakukan dua kali, yang pertama pada tanggal 19 hingga 22 Juli 1949 dan yang kedua
berlangsung pada tanggal 30 Juni 1949 dengan tujuan memilih atribut Negara dan panitia dalam KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den
Haag, Belanda.
Perjanjian Roem Royen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan
akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua
pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah
mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot
sehingga memerlukan kehadiran Mohammad Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX
dari Yogyakarta untuk mempertegas sikapnya terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku
Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).[1]
Pada perjanjian ini delegasi Indonesia diwakili oleh Mohammad Roem. Sementara delegasi Belanda diwakili Herman van Roijen.[2]
Isi dari perjanjian ini sebenarnya lebih merupakan pernyataan kesediaan berdamai antara kedua belah pihak. Dalam perjanjian itu, pihak
delegasi Republik Indonesia menyatakan kesediaannya untuk

1. Mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
2. Bekerjasama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertibandan keamanan.
3. Turut serta dalam KMB di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan
lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat
Sedangkan pihak delegasi Pemerintah Belanda saat itu menyatakan kesediaannya untuk:[3]

1. Menyetujui kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta.


2. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
3. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum
19 Desember 1948, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
4. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
5. Berusaha dengan sesungguh-sugguhnya supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke
Yogyakarta.
Konferensi Meja Bundar (KMB) (bahasa Belanda: Nederlands-Indonesische rondetafelconferentie) adalah sebuah pertemuan yang
dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO
(Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.[1] Sebelum
konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian
Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan
kepada Republik Indonesia Serikat.
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras
dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara
diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut
dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.
Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad
Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam
Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.
Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibu kota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi
memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2
Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang
akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul diskusi pendahuluan yang
disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.

1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan
tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang
merdeka dan berdaulat.
2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan
konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949

23 AGUSTUS – 2 NOVEMBER 1945 15 NOVEMBER 1945


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Urutan Kronologi Peristiwa Sekitar Proklamasi Kemerdekaan", Klik untuk
baca: https://www.kompas.com/skola/read/2020/08/15/140000969/urutan-kronologi-peristiwa-sekitar-proklamasi-kemerdekaan?
page=all.
Penulis : Arum Sutrisni Putri
Editor : Arum Sutrisni Putri

Anda mungkin juga menyukai