Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjuan Umum Metcovasin Pada Luka

1. Pengertian Luka

Luka adalah rusaknya kesatuan komponen jaringan, dimana secara

spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang (Sjamsuhidajat,

2005). Luka atau lesi kulit memiliki terminologi dengan dua klasifikasi

utama, yaitu lesi kulit primer (menjadi penyebab utama terjadinya lesi) dan

lesi kulit sekunder (lesi yang muncul akibat kondisi tertentu atau

setelahnya). Lesi primer diantaranya adalah: macula, papula, patch,

plaque, wheal, nodul, tumor, vesikel, bula, pustule, cyst, dan

telangiektasia. Lesi sekunder berupa: scale, likenifikasi, keloid, scar,

ekskoriasi, fisura, erosi, ulkus, krusta,dan atrofi(Irnawati, 2019)

2. Proses Penyembuhan Luka

a. Tahapan Penyembuhan Luka

Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan

penyembuhan luka menurut Smeltzer & Bare (2001) adalah

sebagai berikut:
Tabel 2.1 Tahapan Penyembuhan luka

Fase 1 Fase 2 Fase 3

Inflamasi : Proliferasi :

Respon vaskuler - Minggu 1-3

dan seluler - Fibroblast

- Hari 1-5

- Vasokontriksi

- Retraksi

- Hemostasis

- Vasodilatasi

- Minggu 1-3 - Fibroblast - Kolagen - Makrofag - Angiogenesis -

Granulasi - Epitelisasi

Maturasi : - Minggu 3-2 bln - Maturasi - Kolagen bertambah -

Parut - Remodeling

Hasil penelitian lanjutan menunjukkan bahwa dengan

menggunakan perlakuan manajemen TIME dapat dilakukan mempercepat

proses penyembuhan luka. Itu mampu meningkatkan pertahanan dasar dari

luka yang sehat. Itu kombinasi metcovazin dan balutan modern efektif

dalam menyembuhkan luka bakar derajat dua (Irnawati, 2019)

Luka bakar merupakan kerusakan kulit yang tidak hanya

disebabkan oleh benda panas tetapi juga dingin benda, bahan kimia dan

listrik. Kulit merupakan organ yang kompleks dengan berbagai fungsi,

seperti pelindung sinar matahari dan perlindungan, kekebalan, sintetik


vitamin D, kontrol derajat, sensasi, fleksibilitas, dan kosmesis. Kehilangan

sebagian kecil kulit dapat menyebabkan respon alokasi yang meningkatkan

area luka bakar. Oleh karena itu responnya menjadi umum dengan

pengaruh yang signifikan terhadap seluruh sistem tubuh.(Purdue et al.,

2011)

Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan 180.000 kematian orang

setiap tahun disebabkan oleh luka bakar. Pada tahun 2004, hampir 11 juta

orang di seluruh dunia mengalami luka bakar yang parah dan

membutuhkan perawatan medis.(Pereira et al., 2013)

Kedalaman luka bakar diklarifikasi berdasarkan tingkat kerusakan

epidermis dan dermis. Luka bakar superfisial hanya mengenai dermis (luka

bakar derajat satu: epidermis) atau epidermis dan bagian atas bagian dari

dermis (luka bakar derajat dua: dangkal kulit). Sedangkan luka bakar

dalam melibatkan lebih dari setengah dermis (luka bakar derajat tiga: kulit

dalam) atau seluruh dermis (luka bakar derajat empat: penuh ketebalan)

(Kowalske, 2011).

Pembalut luka dikembangkan untuk membantu pencukuran ulang,

untuk mencegah infeksi kulit, kulit kering dan kerusakan kulit lebih lanjut.

(Vickers, 2017)

Ini juga sebagai media untuk melindungi luka, mempersiapkan

kondisi untuk menyembuhkan luka dan menjaga kenyamanan pasien.

Namun, pemilihan lukanya pembalut disesuaikan berdasarkan derajat luka

bakar.(Gill & Falder, 2017)


Luka bakar derajat I atau epidermal superfisial bercirikan warna

merah muda, melepuh, nyeri dan isi ulang kapiler. Pengobatan luka bakar

derajat I bertujuan untuk mencegah infeksi, pengendalian eksudat,

pencukuran dorong dan fungsi. Pembalut luka yang dapat menyerap

eksudat (aquacel) dan non-patuh (Urgotul) bisa menjadi pilihan untuk

menyembuhkan luka bakar derajat I dengan menutup luka dengan kapas.

(ter Horst et al., 2018)

Luka bakar derajat dua atau dermal superfisial berwarna merah

muda pucat dengan kapiler isi ulang. Itu lukanya melepuh, perih dan

basah. Pengobatan ditujukan untuk mencegah infeksi, mengendalikan

penyakit eksudat, untuk mendorong penyembuhan dan mencegah

perluasan luka yang dalam. Menurut Vigani & Culler (2017) proses

penyembuhan luka pada luka bakar derajat II dapat didorong dengan anti

bakteri balutan luka (balutan perak), balutan luka eksudat dan metcovazin.

Sedangkan pengobatan luka bakar derajat III atau dermal dalam bertujuan

untuk mencegah terjadinya infeksi, untuk mengontrol eksudat, untuk

mempersiapkan luka dasar untuk eksisi dan cangkok kulit. Memiliki luka

bakar derajat tiga ciri luka bercak putih dan bintik merah, tidak ada pengisi

kapiler, kering, dan nyeri ringan. Pembalut luka antibakteri, seperti silver

sulphadiazine (flamazine) atau nanocrystalline silver (acticoat) bisa

menjadi pilihan untuk pengobatan penyembuhan luka bakar derajat tiga.

Luka bakar derajat empat atau kulit dalam memiliki ciri berwarna putih,

tidak ada pengisi kapiler, dan terbakar, tidak fleksibel, kering dan nyeri
ringan. Pengobatan luka bakar derajat empat bertujuan untuk mencegah

infeksi dan untuk mempersiapkan luka untuk eksisi dan cangkok kulit.

Pembalut luka dengan perak Sulphadiazine dapat bertahan selama 24 jam

hingga bengkaknya berkurang (Ahuja et al., 2016)

Balutan modern yang digunakan untuk perawatan luka adalah

prinsip TIME. Prinsipnya terdiri dari; T: debridemen autolitik, I: mencuci

luka dengan NaC1, M: menutupi luka dengan terapi topikal (metcovazin),

kapas hidrofilik (Bunda), dan perban elastis non-steril (Elastomull) sebagai

fiksasi, E: mengedukasi ibu tentang nutrisi untuk meningkatkan sistem

imun tubuh. Ada dua pasien dalam penelitian ini yang datang ke praksis

pribadi Irna Wound Care. Perawatan luka itu dilakukan setiap tiga hari

sekali. Proses pengobatan menggunakan penyembuhan luka lembab

dengan mengikuti langkah-langkah seperti di bawah ini; Pertama, perawat

mencuci tangannya dengan cairan antiseptik dan memakai sarung tangan

medis bersih untuk membukanya perban tua. Kedua, perawat melakukan

asesmen luka dan mendokumentasikan perkembangan lukaluka sekali

setiap tiga hari. Kemudian, perawat membuang sarung tangan medis

tersebut dan mencuci tangannya lagi dengan antiseptik. Perawat memakai

sarung tangan steril dan membasuh lukanya menggunakan kapas dan

kapas steril Cairan NaC1. Setelah luka dibersihkan, perawat memberi

salep metcovazin sebagai balutan utama dan kapas steril sebagai balutan

sekunder. Terakhir, fiksasi dengan kain kasa elastis non-steril perban

(Elastomull) dilakukan pada luka(Irnawati, 2019)


B.Tinjauan Umum tentang DM

1. Pengertian DM

Menurut WHO (2016) Diabetes melitus merupakan penyebab

hiperglikemi. Hiperglikemi disebabkan oleh berbagai hal, namun

hiperglikemi paling sering disebabkan oleh diabetes melitus. Pada diabetes

melitus gula menumpuk dalam darah sehingga gagal masuk ke dalam sel.

Kegagalan tersebut terjadi akibat hormon insulin jumlahnya kurang atau

cacat fungsi. Hormon insulin merupakan hormon yang membantu

masuknya gula darah (Nur Lathifah, 2017).

Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok penyakit

metabolik yang ditandai dengan hiperglikemi kronis akibat defek pada

sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya (Habtewold et al., 2016).

Menurut Prasetyani & Sodikin, (2016) Diabetes Melitus

merupakan penyakit kronis yang memerlukan terapi dan perawatan yang

cukup lama dan dapat menimbulkan kebosanan, kejenuhan, bahkan

frustasi(Toruan, 2018). Kejenuhan yang timbul karena terapi diet dengan

menu makanan serba dibatasi membuat penderita DM tidak mudah dalam

mengatur pola makannya. Penderita DM cenderung terus-menerus

mengkonsumsi karbohidrat dan makanan sumber glukosa secara

berlebihan yang dapat meningkatkan kadar gula darah. Pengaturan pola

makan pada penderita DM perlu diterapkan dalam kebiasaan makan

sehari-hari sesuai kebutuhan tubuh dengan melakukan diet DM yang

dianjurkan. Oleh karena itu diperlukan adanya motivasi bagi penderita


penderita DM untuk mengontrol kadar gula dalam darah. Motivasi sangat

penting peranannya, karena dengan motivasi mampu membuat seseorang

melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Bertalina &

Purnama, 2016).

Ulkus diabetes merupakan komplikasi menahun yang paling

ditakuti penderita karena lamanya perawatan serta biaya yang dikeluarkan.

Upaya yang dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih berat

diperlukan intervensi perawatan luka yang efektif dan efisien. Perawatan

luka terbaru adalah menjaga agar luka tetap dalam kondisi lembab, hal ini

dapat dilakukan dengan larutan glukosa seperti D40%. Perawatan luka

dengan NaCl memberikan efek biasa terhadap kesembuhan luka.

Pertimbangan dengan D40% dan luka lembab adalah biaya, kenyamanan

dan keamanan.(Hasana, 2020)

Prevalensi diabetes mellitus yang meningkat telah dikaitkan

dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, terutama bila dikaitkan

dengan ulkus kaki diabetik (DFU). Untuk meningkatkan perawatan pasien

dengan DFU dan memberikan pendekatan multidisiplin berbasis bukti,

Klinik Perawatan Luka Indonesia Asosiasi terus mengembangkan praktik

klinis terbaik dan menyebarluaskan informasi ini melalui sertifikasi

ETNEP Indonesia. Manajemen DFU berfokus pada: pencegahan; protokol

perawatan luka; Menurunkan; dan tambahan (alternatif) terapi.

Karakteristik DFU harus dinilai dengan menggunakan modifikasi skor

Bates-Jensen untuk mengevaluasi dan memprediksi penyembuhan luka


proses. Rekomendasi manajemen termasuk debridemen setiap 2-4 minggu,

melanjutkan penggunaan pembongkaran, dan terapi luka tambahan.

Protokol ini telah mencoba untuk menggambarkan pengelolaan DFU,

padahal sebenarnya tidak mencakup semua aspek dari kondisi kompleks

ini.(Kristiyaningrum, Indanah, 2013)

2. Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut (PERKENI, 2015) adalah

sebagai berikut :

a. Diabetes melitus (DM) tipe 1

DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas.

kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi

secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun

dan idiopatik.

b. Diabetes melitus (DM) tipe 2

Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin.

Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara

optimal sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam

tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada

penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi

insulin absolut.

c. Diabetes melitus (DM ) tipe lain


Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat

disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja

insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat

kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom genetik lain yang

berkaitan dengan DM.

d. Diabetes melitus Gestasional

Diabetes melitus gestional adalah suatu gangguan toleransi

karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat

kehamilan sedang berlangsung. Dampak yang ditimbulkan oleh ibu

penderita diabetes melitus gestasional adalah ibu berisiko tinggi

terjadi penambahan berat badan berlebih, terjadinya preklamsia,

eklamsia, bedah sesar, dan komplikasi kardiovaskuler hingga

kematian ibu. Setelah persalinan terjadi, maka penderita berisiko

berlanjut terkena diabetes tipe 2 atau terjadi diabetes gestasional yang

berulang pada masa yang akan dating, sedangkan bayi yang lahir dari

ibu yang mengalami diabetes gestasional berisiko tinggi untuk terkena

makrosomia(Rahayu & Rodian, 2016).

3. Tanda dan Gejala Diabetes Melitus

Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala

akut diabetes melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan) polidipsia (banyak

minum), Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu

makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam

waktu 2-4 minggu), mudah lelah. Gejala kronik diabetes melitus yaitu :
Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas

di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi

mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada

pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau

kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari

4kg (Fatimah, 2016)

4. Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan

komplikasi akut dan kronis. Menurut (PERKENI, 2015) dalam Fatimah,

2016 bahwa komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

1) Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah

nilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada

penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu,

Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak

tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan

dapat mengalami kerusakan.

2) Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah

meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan

metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik,

Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto

asidosis.

b. Komplikasi Kronis
1) Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yang

umum berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak

(pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit

jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.

2) Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama

terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik

retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi

5. Etiologi Diabetes Melitus

a. DM tipe I :

Diabetes melitus tipe 1 disebabkan karena adanya kerusakan sel-β

pankreas. Infeksi virus atau kelainan auto imun dapat menyebabkan

kerusakan sel-β pankreas pada banyak pasien DM tipe-1 (Sylvia A.

Price, 2014).

b. DM tipe II :

DM tipe-2 disebabkan oleh kombinasi faktor genetik yang terkait

dengan gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin dan faktor

lingungan seperti obesitas, makan berlebih, kekurangan nutrisi, stess,

serta penuaan. Penyakit ini merupakan penyakit multifaktorial yang

melibatkan banyak gen dan faktor lingkungan (Aulia, 2019).

6. Patofisiologi Diabetes Melitus

Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat

bekerja secara optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan


atau keduanya. Gangguan metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal

yaitu pertama karena kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena

pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri. Penyebab yang

kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan yang

ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer (Fatimah,

2016).

Asupan glukosa/produksi glukosa yang melebihi kebutuhan kalori

akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot. Proses

glikogenesis ini mencegah hiperglikemia (kadar glukosa darah >110

mg/dl). Pada pasien DM, kadar glukosa dalam darah meningkat/tidak

terkontrol, akibat rendahnya produk insulin/tubuh tidak dapat

menggunakannya, sebagai sel-sel akan starvasi. Bila kadar meningkat akan

dibuang melalui ginjal yang akan menimbulkan diuresi sehingga pasien

banyak minum (polidipsi). Glukosa terbuang melalui urin maka tubuh

kehilangan banyak kalori sehingga nafsu makan meningkat (polifagi).

Akibat daari sel-sel starvaasi karena glukosa tidak dapat melewati

membran sel, maka pasien bisa lebih cepat terjadi kematian (Fatimah,

2016).

7. Faktor Risiko Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) bahwa DM

berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat

keluarga dengan DM (first degree relative), umur ≥45 tahun, etnik,

riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau
riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan

beratbadan rendah (<2,5 kg). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi

obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada

wanita dan ≥90 cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi,

dislipidemi dan diet tidak sehat (Fatimah, 2016).

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita

polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolikmemiliki

riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa

terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler

seperti stroke, PJK, atau peripheral Arterial Diseases (PAD), konsumsi

alkohol,faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin,konsumsi kopi dan

kafein (Fatimah, 2016)

a. Obesitas (kegemukan)

Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa

darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan

peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.

b. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan

tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya

tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.

c. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus

Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen


diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya

orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang

menderita Diabetes Mellitus.

d. Dislipidemia

Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah

(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan

plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat

pada pasien Diabetes.

e. Umur

Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus

adalah > 45 tahun.

f. Riwayat persalinan

Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi

> 4000gram

g. Faktor Genetik

DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental

Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi

familial. Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan

meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara

kandung mengalami penyakit ini.

h. Alkohol dan Rokok

Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan

peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan


ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan

ketidakaktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan

perubahan dari lingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan

yang meliputi perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan

rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan

menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita DM,

sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan

tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila

mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan

100 ml proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml.

Faktor resiko penyakit tidak menular, termasuk DM Tipe 2, dibedakan

menjadi dua. Yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat

berubah misalnya umur, faktor genetik, pola makan yang tidak

seimbang jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan,

pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol,

Indeks Masa Tubuh (Fatimah, 2016).

8. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa

darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan

hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan

glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat


ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat

ditemukan pada penyandang DM.

Menurut (PERKENI, 2015) kecurigaan adanya DM perlu

dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Menurut (PERKENI, 2015) kriteria Diagnosis DM:

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak

ada asupan kalori minimal 8 jam.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM

digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi

glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa

plasma 2-jam <140 mg/dl,

b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa

plasma puasa <100 mg/dl,

c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT,

d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.


Menurut (Nur Lathifah, 2017) kadar tes laboratorium darah

untuk diagnosis diabetes melitus sebagai berikut :

Tabel 2.1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes


dan prediabetes

HbA1c (%) Glukosa Darah Glukosa

Puasa (mg/dl) Plasma 2 jam

setelah TTGO

(mg/dl)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 mg/dl ≥ 200 mg/dl
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 < 100 < 140

9. Pemeriksaan Penyaring

Menurut (PERKENI, 2015) pemeriksaan penyaring dilakukan untuk

menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes

pada kelompok risiko tinngi yang tidak menujukkan gejala klasik DM

yaitu :

a. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh 23

kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai

berikut:

1) Aktivitas fisik yang kurang

2) First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam

keluarga).

3) Kelompok ras/etnis tertentu.


4) Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL

>4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional

(DMG)

5) Hipertensi (140/90 mmHg atau sedang mendapatkan terapi

untuk hipertensi).

6) HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL

7) Riwayat prediabetes

8) Obesitas berat,

9) Riwayat penyakit kardiovaskuler

A. Tinjauan Umum Tentang Kadar Gula Darah

1. Definisi Kadar Gula Darah

Kadar gula darah adalah jumlah kandungan glukosa dalam plasma darah.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah antara lain,

bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi, meningkatnya stress

dan faktor emosi, pertambahan berat badan dan usia, serta berolahraga

(Harymbawa, 2016).

2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu Dan Puasa


Tabel 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Belum pasti
Bukan DM DM
DM
Kadar Plasma vena < 100 100-199  200

glukosa

darah
Darah kapiler < 90 90-199 200
sewaktu

(mg/dL)
Kadar Plasma vena < 100 100-125 126

glukosa
Darah kapiler < 90 90-99 100
darah puasa

(mg/dL)

B. Tinjauan Umum Tentang Keluhan Subjektif

1. Definisi keluhan subjektif

Keluhan subjektif merupakan keluhan yang diperoleh dari hasil

wawancara langsung kepada klien/pasien bukan dari diagnosis dokter

dan yang paling sering mengganggu pada pasien saat itu. Keluhan

subjektif dapat memperoleh data subjektif pasien yang dijadikan sebagai

acuan dalam menggali informasi lebih dalam, melakukan pemeriksaan,

dan pemberian tindakan (Nur Lathifah, 2017).

2. Cara memperoleh data subjektif

Data subjektif diperoleh dari hasil pengakjian terhadap pasien dengan

teknik wawancara, keluarga, konsultan, dan tenaga kesehatan lainnya


serta riwayat keperawatan. Data ini berupa keluhan atau persepsi

subjektif pasien terhadap status kesehatannya. Untuk dapat memperoleh

data yang akurat perawat perlu pendengar aktif terhadap keluhan pasien,

adapun unsur yang meenjadi pendengar yang aktif adalah dengan

mengurangi hambatan dalam berkomunikasi, memperhatikan keluhan

yang disampaikan oleh pasien dan menghubungkannya dengan keluhan

yang dialami oleh pasien, mendengarkan dengan penuh perhatian apa

yang dikeluhkan pasien, memberikan kesempatan pasien untuk

menyelesaikan pembicaraannya, bersikap empati dan hindari untuk

interupsi, berikan perhatian penuh pada saat berbicara dengan pasien

(Dinarti & Mulyanti, 2017)

Penggunaan Metcovasin Pada DM

Ulkus diabetes merupakan komplikasi menahun yang paling

ditakuti penderita karena lamanya perawatan serta biaya yang dikeluarkan.

Upaya yang dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih berat

diperlukan intervensi perawatan luka yang efektif dan efisien. Perawatan

luka terbaru adalah menjaga agar luka tetap dalam kondisi lembab, hal ini

dapat dilakukan dengan larutan glukosa seperti D40%. Perawatan luka

dengan NaCl memberikan efek biasa terhadap kesembuhan luka.

Pertimbangan dengan D40% dan luka lembab adalah biaya, kenyamanan

dan keamanan.(Hasana, 2020)

Prevalensi diabetes mellitus yang meningkat telah dikaitkan

dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, terutama bila dikaitkan


dengan ulkus kaki diabetik (DFU). Untuk meningkatkan perawatan pasien

dengan DFU dan memberikan pendekatan multidisiplin berbasis bukti,

Klinik Perawatan Luka Indonesia Asosiasi terus mengembangkan praktik

klinis terbaik dan menyebarluaskan informasi ini melalui sertifikasi

ETNEP Indonesia. Manajemen DFU berfokus pada: pencegahan; protokol

perawatan luka; Menurunkan; dan tambahan (alternatif) terapi.

Karakteristik DFU harus dinilai dengan menggunakan modifikasi skor

Bates-Jensen untuk mengevaluasi dan memprediksi penyembuhan luka

proses. Rekomendasi manajemen termasuk debridemen setiap 2-4 minggu,

melanjutkan penggunaan pembongkaran, dan terapi luka tambahan.

Protokol ini telah mencoba untuk menggambarkan pengelolaan DFU,

padahal sebenarnya tidak mencakup semua aspek dari kondisi kompleks

ini.(Kristiyaningrum, Indanah, 2013)

Anda mungkin juga menyukai