Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Organ tubuh manusia memiliki peranan yang sangat penting untuk
mobilitas. Dengan organ tubuh tersebut, manusia dapat melengkapi dan
merealisasikan segala keinginan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain,
baik secara parsial maupun integral bersama organ sensoris lainnya.

Apabila fungsi anggota tubuh mengalami gangguan, baik sebagian atau


keseluruhan yang disebabkan oleh luka pada bagian saraf otak, kelainan
pertumbuhan, ataupun amputasi, akan mempengaruhi mobilitas hidup yang
bersangkutan.

Sehingga dirasa perlu untuk memberikan pelayanan khusus pada penderita


kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) yang dapat memberikan kontribusi
yang signifikan dalam rangka memberdayakan kemampuannya secara optimal.

Banyak masyarakat awam yang belum memahami seperti apa penderita


tuna daksa sebagai salah satu jenis anak berkelainan dalam konteks Pendidikan
Luar Biasa (Pendidikan Khusus) sehingga banyak yang masih
mempermasalahkan. Munculnya permasalahan tersebut terkait dengan asumsi
bahwa anak tunadaksa (kehilangan salah satu atau lebih fungsi anggota tubuh)
pada kenyataannya banyak yang tidak mengalami kesulitan untuk meniti tugas
perkembangannya, tanpa harus masuk sekolah khusus untuk anak tunadaksa
(khususnya tunadaksa ringan).

Oleh karena itu perlu adanya pegetahuan yang cukup kepada masyarakat
awam tentang bagaimanakah ketunadaksaan dalam segala aspek dalam kehidupan.
Seperti apakah ciri-ciri anak yang mengalami ketunadaksaan, apa sajakah
penyebabnya sehingga seminimal mungkin dapat dihindari dan bagaimanakah kita
dapat mengoptimalkan kemampuan dan potensi mereka tanpa melihat kekurangan
fisiknya. Di dalam makalah ini akan dibahas secara lebih detail.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dapat disimpulkan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari tunadaksa?
2. Bagaimanakah klasifikasi tunadaksa?
3. Apakah penyebab dari tunadaksa ?
4. Bagaimanakah karakteristik anak dengan ketunadaksaan?
5. Bagaimanakah implikasi pendidikan bagi tunadaksa?
6. Bagaimanakah model pelayanan pendidikan bagi tunadaksa?
7. Bagaimanakah ketenagaan khusus, kurikulum dan administrasi bagi anak
tunadaksa ?

7.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dari tunadaksa.
2. Untuk mengetahui klasifikasi tunadaksa.
3. Untuk mengetahui apa sajakah penyebab terjadinya ketunadaksaan.
4. Untuk mengetahui karakteristik anak dengan ketunadaksaan.
5. Untuk mengetahui implikasi pendididkan bagi anak tunadaksa.
6. Untuk mengetahui model pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa
7. Untuk mengetahui ketenagaan khusus, kurikulum dan administrasi bagi anak
tunadaksa

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ANAK TUNADAKSA

Istilah yang sering digunakan untuk menyebut anak tunadaksa, seperti


cacat fisik, tubuh atau cacat orthopedi. Dalam bahasa asingpun sering kali
dijumpai istilah crippled, physically handicapped, physically disabled dan lain
sebagainya. Keragaman istilah yang dikemukakan untuk menyebutkan
tunadaksa tergantung dari kesenangan atau alasan tertentu dari para ahli yang
bersangkutan. Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda-beda, namun
secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama.

Tunadakasa berasal dari kata “ Tuna “ yang berarti rugi, kurang dan
“daksa“ berarti tubuh. Dalam banyak literitur cacat tubuh atau kerusakan tubuh
tidak terlepas dari pembahasan tentang kesehatan sehingga sering dijumpai
judul “Physical and Health Impairments“ (kerusakan atau gangguan fisik dan
kesehatan). Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan.
Sebagai contoh, otak adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia. Apabila ada
sesuatu yang salah pada otak (luka atau infeksi), dapat mengakibatkan sesuatu
pada fisik/tubuh, pada emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental, luka yang
terjadi pada bagian otak baik sebelum, pada saat, maupun sesudah kelahiran,
menyebabkan retardasi dari mental (tunagrahita).
Senada dengan pengertian tunadaksa di atas, Sugiamin dan Muslim
dalam repository.usu.ac.id (2012) mengemukakan bahwa : “Istilah tunadaksa
merupakan istilah lain dari cacat tubuh atau tuna fisik, yaitu berbagai kelainan
bentuk tubuh yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk
melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan.”
Sedangkan menurut Somantri dalam www. file.upi.edu /Direktori
/FIP, 2012 mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tunadaksa adalah
suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan

3
atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal
individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Dalam buku pedoman pendidikan inklusif yang dikeluarkan oleh
direktorat PLB (2004), definisi tunadaksa diartikan sebagai berikut : “anak
yang mengalami kelainan atau cacat menetap pada alat gerak (tulang, sendi,
otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus,
untuk mencapai kemampuan yang optimal.”
Sehingga dapat disimpulkan disimpulkan bahwa tunadaksa adalah
mereka yang mengalami kelainan dari segi fisik atau hilangnya salah satu
anggota tubuh atau memiliki kekakuan atau kelumpuhan dalam melakukan
gerakan baik tulang, otot dan atau persendian sehingga menghambat mereka
dalam beraktivitas.

B. KLASIFIKASI ANAK TUNADAKSA

Pada dasarnya kelainan pada anak tunadaksa dapat dikelompokkan


menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada sistem serebral (Cerebral
System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal
System).

1. Kelaian pada sistem serebral (cerebral system disorders).

Penggolongan anak tunadaksa kedalam kelainan sistem serebral (cerebral)


didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak didalam sistem
syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem
syarap pusat mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial, karena otak dan
sumsum tulang belakang sumsum merupakan pusat komputer dari aktivitas
hidup manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat
kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok
kerusakan bagian otak ini disebut Cerebral Palsy (CL).
Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan menurut : (a) derajat kecacatan (b)
topograpi anggota badan yang cacat dan (c) Sisiologi kelainan geraknya.

4
a. Penggolongan menurut derajat kecacatan

Menurut derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas :


golongan ringan, golongan sedang, dan golongan berat.

1. Golongan ringan adalah : mereka yang dapat berjalan tanpa


menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri
dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup bersama-sama
dengan anak normal lainnya, meskipun cacat tetapi tidak
mengganggu kehidupan dan pendidikannya.

2. Golongan sedang : ialah mereka yang membutuhkan


treatment/latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus
dirinya sendiri, golongan ini memerlukan alat-lat khusus untuk
membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga
kaki, kruk/tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan
pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan
dapat mengurus dirinya sendiri.

3. Golongan berat : anak cerebral palsy golongan ini yang tetap


membutuhkan perawatan dalam ambulasi, bicara, dan menolong
dirinya sendiri, mereka tidak dapat hidup mandiri ditengah-tengah
masyarakat.

b. Penggolongan Menurut Topografi

Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh,


Cerebrol Palsy dapat digolongkan menjadi 6 (enam) golongan yaitu:

1. Monoplegia, hanya satu anggota gerak yang lumpuh misal kaki kiri
sedang kaki kanan dan kedua tangannya normal.

2. Hemiplegia, lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang
sama, misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan
kaki kiri.

5
3. Paraplegia, lumpuh pada kedua tungkai kakinya.

4. Diplegia, lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan
dan kiri (paraplegia)

5. Triplegia, tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya


tangan kanan dan kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua
kakinya lumpuh.

6. Quadriplegia, anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya


anggota geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua
kakinya, quadriplegia disebutnya juga tetraplegia.

c. Penggolongan menurut Fisiologi, kelainan gerak dilihat dari segi


letak kelainan di otak dan fungsi geraknya (motorik), anak Cerebral
Palsy dibedakan atas:

1) Spastik

Type Spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau


kekakuan pada sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul
sewaktu akan digerakan sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan
ketergantungan emosional kekakuan atau kekejangan itu akan makin
bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala itu menjadi
berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini memiliki tingkat
kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Diantara mereka ada yang
normal bahkan ada yang diatas normal.

2) Athetoid

Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya


dapat digerakan dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem
gerakan. Hampir semua gerakan terjadi diluar kontrol. Gerakan
dimaksud adalah dengan tidak adanya kontrol dan koordinasi gerak.

6
3) Ataxia

Ciri khas tipe ini adalah seakan-akan kehilangan keseimbangan,


kekakuan memang tidak tampak tetapi mengalami kekakuan pada
waktu berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada tipe ini terletak
pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada otak. Akibatnya,
anak tuna tipe ini mengalami gangguan dalam hal koordinasi ruang
dan ukuran, sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari : pada saat
makan mulut terkatup terlebih dahulu sebelum sendok berisi makanan
sampai ujung mulut.

4) Tremor

Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah senantiasa dijumpai
adanya gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung
sehingga tampak seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat
terjadi pada kepala, mata, tangkai dan bibir.

5) Rigid

Pada tipe ini didapat kekakuan otot, tetapi tidak seperti pada tipe
spastik, gerakannya tanpak tidak ada keluwesan, gerakan mekanik
lebih tampak.

6) Tipe Campuran

Pada tipe ini seorang anak menunjukan dua jenis ataupun lebih gejala
tuna CP sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan
anak yang hanya memiliki satu jenis/tipe kecacatan.

2. Kelainan pada Sistem Otot dan Rangka (Musculus Scelatel System)

Penggolongan anak tunadaksa kedalam kelompok system otot dan rangka


didasarkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami
kelainan yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang.

7
Jenis-jenis kelainan sistem otak dan rangka antara lain meliputi:

a. Poliomylitis

Penderita polio adalah mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan


mengecil dan tenaganya melemah, peradangan akibat virus polio yang
menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia 2 (dua) tahun
sampai 6 (enam) tahun.

b. Muscle Dystrophy

Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada


penderita muscle dystrophy sifatnya progressif, semakin hari semakin
parah. Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris yaitu pada kedua
tangan atau kedua kaki saja, atau kedua tangan dan kedua kakinya.

Penyebab terjadinya muscle distrophy belum diketahui secara pasti.


Tanda-tanda anak menderita muscle dystrophy baru kelihatan setelah
anak berusia 3 (tiga) tahun melalui gejala yang tampak yaitu gerakan-
gerakan anak lambat, semakin hari keadaannya semakin mundur jika
berjalan sering terjatuh tanpa sebab terantuk benda, akhirnya anak tidak
mampu berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi
roda.

C. PENYEBAB TUNADAKSA

Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada


anak hingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak
dijaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada sistem musculus
skeletal. Adanya keragaman jenis tunadaksa dan masing-masing kerusakan
timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat
terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.

8
1. Sebab-sebab Sebelum Lahir (Fase Prenatal)

Pada fase, kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan,
kerusakan disebabkan oleh:

a. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga


menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya, misalnya infeksi,
sypilis, rubela, dan typhus abdominolis.

b. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusat


tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.

c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi


sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.

d. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang


dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat.
Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur yang cukup keras dan
secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat merusak sistem
syaraf pusat.

2. Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal, peri natal)

Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi
dilahirkan antra lain:

a. Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil
sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigen
menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi,
akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.

b. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang


mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada
bayi.

9
c. Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan
karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat
mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga otak mengalami
kelainan struktur ataupun fungsinya.

3. Sebab-sebab setelah Proses kelahiran (fase post natal)

Fase setelah kelahiran adalah masa mulai bayi dilahirkan sampai masa
perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun.
Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:

a. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.

b. Infeksi penyakit yang menyerang otak.

c. Anoxia/hipoxia.

Merupakan kondisi ketidakcukupan oksigen dalam tubuh, dari gas


yang diinspirasi ke jaringan. Hal ini berhubungan dengan 3 bagian /
proses respirasi, yaitu : ventilasi, difusi gas, atau transport gas oleh
darah, dan dapat disebabkan oleh satu atau lebih perubahan kondisi
pada proses tersebut.

D. KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA.

Derajat keturunan akan mempengaruhi kemanpuan penyesuaian diri


dengan lingkungan, kecenderungan untuk bersifat pasif. Demikianlah pada
halnya dengan tingkah laku anak tunadaksa sangat dipengaruhi oleh jenis dan
derajat keturunannya. Jenis kecacatan itu akan dapat menimbulkan perubahan
tingkah laku sebagai kompensasi akan kekurangan atau kecacatan.

10
Ditinjau dari aspek psikologis, anak tunadaksa cenderung merasa malu,
rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari llingkungan. Disamping
karakteristik tersebut terdapat beberapa problema penyerta bagi anak tunadaksa
antara lain:

 Kelainan perkembangan/intelektual

 Ganguan pendengaran.

 Gangguan penglihatan.

 Gangguan taktik dan kinestetik.

 Gangguan pesepsi

 Gangguan emosi.

1. Karakteristik Akademik

Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang


mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga
dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak
tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat
kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted.
Hardman (1990) mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy
mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat
kecerdasan normal dan di atas normal. Sisanya berkecerdasan sedikit di
bawah rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa
tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat kelainan fisik
dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya
berat, tidak berarti kecerdasannya rendah. Selain tingkat kecerdasan yang
bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan persepsi, kognisi,
dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf penghubung dan
jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses persepsi yang

11
dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf
sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan,
serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan kognisi terbatas
karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan,
penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak
tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang
terjadi terus menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori
(indra). Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan
dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang
kompleks ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya.

2. Karakteristik Sosial/Emosional

Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari


konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi
beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan
perilaku salah sesuai lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima
oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak
perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan
oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi,
seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat
bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti itu,
banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral.
Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri
dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

3. Karakteristik Fisik/Kesehatan

Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain


mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain,
seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan
bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak
tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan

12
motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang
sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya,
bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah
payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan
bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia
motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya
melalui indra pendengaran,tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi
secara lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal
tract dan extrapyramidal yang 7.8 Pengantar Pendidikan Luar Biasa
berfungsi mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami
kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan
susah berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas
gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak
mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan
lamban, dan kurang merespons rangsangan yang diberikan; dan tidak ada
koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang
membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis,
menggambar, dan menari.

E. IMPLIKASI PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA

Dalam dunia Pendidikan pada prinsipnya guru mempunyai peranan ganda.


Disatu pihak, guru berfungsi sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih bagi anak
didik. Dipihak lain, guru berfungsi sebagai pengganti orang tua murid di
sekolah. Dengan demikian secara tidak langsung mereka dituntut untuk
menjadi manusia serba bisa dan serba biasa, lebih-lebih bila dihubungkan
dengan kenyataan-kenyataan pada saat ini, yaitu bahwa orang tua dan
masyarakat pada umumnya masih mempunyai anggapan yang keliru. Mereka
berpendapat bahwa berhasil atau tidaknya pendidikan anak-anak mereka
diserahkan sepenuhnya pada pihak sekolah, termasuk didalamnya para guru,
tanpa ikut campur mereka.

13
Keadaan semacam ini lebih komplit lagi dalam dunia pendidikan luar biasa
karena subjek didik yang dihadapi memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu,
baik kemanpuan fisik, mental, emosi maupun dalam usaha penyesuaian diri
dengan pihak luar atau lingkunagan sekitar. Oleh karena itu, tugas guru
semakin berat yang dituntut keahlian serta keterampilan tertentu, baik dalam
bidang metedologi yang bersifat khusus, maupun dalam bidang pelayanan
terapi.

Pelayanan terapi yang diperlukan anak tunadaksa antara lain:

 Latihan wicara (speech Therapy)

 Fisioterapi

 Occupational therapy

 Hydro Therapy

Anak tunadaksa pada dasarnya sama dengan anak-anak normal lainnya.


Kesamaan tersebut dapat dilihat dari fisik dan psiko-sosial. Dari segi fisik,
mereka dapat makan, minum, dan kebutuhan yang tidak dapat ditunda dalam
beberapa menit yaitu bernafas. Sedangkan dari aspek psiko-sosial, mereka
memerlukan rasa aman dalam bermobilisasi, perlu afiliasi, butuh kasih sayang
dari orang lain, diterima dan perlu pendidikan. Adapun unsur kesamaan
kebutuhan antara anak tunadaksa dan anak normal, karena pada dasarnya
mereka memiliki fitrah yang sama sebagai manusia.
Pandangan yang melihat anak tunadaksa dan anak normal dari sudut kesamaan
akan lebih banyak memberikan layanan optimal untuk mengembangkan
potensi yang dimilikinya, ketimbang pandangan yang semata-mata
mengekspos segi kekurangannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang sering
melihat orang lain tentang kelemahannya, sehingga yang muncul adalah kritik
atau cemoohan. Kiranya demikian, andaikata kita melihat anak tunadaksa
semata-mata dari kecacatannya. Oleh karena itu, pandangan yang
mendahulukan sifat positif pada anak tunadaksa perlu dimasyarakatkan supaya

14
kesempatan perkembangan dirinya yang baik semakin lebar. Pendidikan yang
juga merupakan kebutuhan anak tunadaksa perlu direncanakan dan
dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan masing-masing anak
tunasaksa. Melalui pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan. Anak-anak
tunadaksa diharapkan memiliki masa depan yang tidak selalu bergantung pada
orang tua dan masyarakat.

F. MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN

Sebagaimana diketahui, bahwa pendidikan bagi anak tidak selalu harus


berlangsung disuatu lembaga pendidikan khusus, sebab sebagian dari mereka
(anak tunadaksa) pendidikannya dapat berlangsung di sekolah dan kelas
reguler/sekolah umum. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan dan
ketidakmampuan anak tunadaksa dan lingkungannya. Evelyn Deno, (1970) dan
Ronald L Taylor, (1984) menjelaskan system layanan pendidikan bagi anak
luar biasa (termasuk anak tunadaksa) yang bervariasi, mulai dari sistem
pendidikan di kelas dan sekolah reguler/umum sampai pendidikan yang
diberikan disuatu rumah sakit, bahkan sampai pada bentuk layanan yang tidak
memiliki makna edukasi sama sekali, yakni layanan yang diberikan kepada
anak-anak tunadaksa dalam perawatan medis dan bantuan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari.

Dari kenyataan di lapangan bahwa anak tunadaksa memiliki problema


penyerta. Problema penyerta ini berbeda-beda antara seorang anak tunadaksa
yang satu dengan anak tunadaksa yang lainnya, tergantung dari pada penyebab
ketunaannya, berat ringannya ketunaannya. Atas dasar kondisi anak tunadaksa
tersebut, maka model pelayanan pendidikannya dibagi pada “Sekolah Khusus”
dan “Sekolah Terpadu/Inklusi”.

1. Sekolah Khusus

15
Pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa di sekolah khusus ini
diperuntukkan bagi anak yang mempunyai problema lebih berat, baik problema
penyerta intelektualnya seperti retardasi mental maupun problema penyerta
kesulitan lokomosi (gerakan) dan emosinya.

Di sekolah khusus ini pelayanan pendidikannya dibagi menjadi dua unit,


yaitu unit sekolah khusus bagi anak tunadaksa ringan, dan unit sekolah khusus
bagi anak tunadaksa sedang.

a. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Ringan (SLB-D)

Pelayanan pendidikan diunit tunadaksa ringan atau SLB-D diperlukan bagi


anak tunadaksa yang tidak mempunyai problema penyerta retardasi
mental, yaitu anak tunadaksa yang mempunyai intelektual rata-rata atau
bahkan di atas rata-rata intelektual anak normal. Namun anak kelompok
ini belum ditempatkan di sekolah terpadu/sekolah umum karena anak
masih memerlukan terapi-terapi, seperti fisio terapi, speech therapy,
occuppational therapy dan atau terapi yang lain. Dapat juga terjadi anak
tunadaksa tidak ditempatkan di sekolah reguler karena derajad
kecacatannya terlalu berat.

b. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)

Pelayanan pendidikan diunit ini, diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang


mempunyai problema seperti, emosi, persepsi atau campuran dari
ketiganya disertai problema penyerta retardasi mental. Kelompok anak
tunadaksa sedang ini mempunyai intelektual di bawah rata-rata anak
normal.

2. Sekolah Terpadu/Inklusi

Bagi anak tunadaksa dengan problema penyerta relatif ringan, dan tidak
disertai dengan problema penyerta retardasi mental akan sangat baik jika
sedini mungkin pelayanan pendidikannya disatukan dengan anak-anak normal

16
lainnya di sekolah reguler/sekolah umum. Karena anak tunadaksa tersebut
sudah dapat mengatasi problema fisik maupun intelektual serta emosionalnya.

Namun walaupun kondisi penyerta anak tunadaksa cukup ringan, sekolah


reguler yang ditunjuk untuk melayani pendidikannya perlu persiapan yang
matang terlebih dahulu, baik persiapan sarana maupun prasarananya. Seperti
persiapan aksesibilitas misalnya meminimalkan trap-trap atau tangga-tangga.
Jika memungkinkan dibuatkan ramp-ramp untuk akses kursi roda, atau bagi
anak yang khusus menggunakan alat bantu jalan lainnya seperti kruk atau
wolker. Bentuk meja atau kursi belajar disesuaikan dengan kondisi anak. Hal
demikian memerlukan persiapan yang lebih terencana, sehingga tidak
menimbulkan problema tambahan bagi anak tunadaksa. Juga bentuk toilet,
kloset harus dapat dipergunakan bagi anak yang menggunakan kursi roda.
Disamping itu sistem guru kunjung dapat membantu memecahkan
permasalahan yang mungkin timbul pada anak tunadaksa dikemudian hari.

G. KETENAGAAN KHUSUS, KURIKULUM DAN ADMINISTRASI

1. Ketenagaan

a. Tenaga Kependidikan

Tenaga kependidikan untuk Pendidikan Luar Biasa bagian D (tunadaksa)


adalah guru yang secara khusus mempersiapkan diri untuk mengajar anak
tunadaksa yang mempunyai berbagai masalah dari tingkat Taman Kanak-
kanak sampai dengan Tingkat Menengah. Disamping itu juga dapat
merencanakan dan melaksanakan tugas pendidikan bagi anak yang sedang
dalam perawatan karena operasi.

 Tenaga Guru yang Diperlukan adalah :

1. Guru Kelas atau Guru Bidang Studi

2. Guru Keterampilan

17
3. Guru Agama

4. Guru Olahraga

 Persyaratan Tenaga Guru/Pendidik adalah:

1. Tamatan minimal SGPLB, sarjana muda/DIII, sarjana pendidikan luar


biasa dari IKIP/Universitas.

2. Untuk guru agama dari PGA, DIII, S1 IAIN atau sederajat.

3. Untuk guru olahraga dari DIII, S1 IKIP atau Universitas.

4. Untuk guru keterampilan DIII, S1 IKIP/Universitas

5. Untuk guru bidang studi minimal DIII, S1 IKIP/Universitas dari jurusan


yang sesuai.

18
6.

b. Tenaga Ahli

Tenaga Ahli yang diperlukan untuk:

 Remedial Teaching

Guru yang mendapat tugas khusus untuk remedial atau bertugas memberi
bimbingan dan penyuluhan.

 Team Rehabilitasi

a. Dokter umum

b. Dokter anak

c. Dokter anak pediatry

d. Dokter orthopedi

e. Psikolog

f. Orthopedagogik

g. Speech therapist

h. Occupational therapist

i. Pekerja sosial

19
c. Tenaga Administrasi

Tenaga administrasi untuk pendidikan luar biasa bagian D (tunadaksa)


adalah :

1) Kepala Sekolah

2) Wakil Kepala Sekolah

3) Bendahara

4) Tenaga Usaha, yang dapat melaksanakan : agendaris, inventaris dan


pengetikan.

5) Pesuruh/pembantu sekolah

d. Penjaga Sekolah/SATPAM

Petugas yang diberi wewenang untuk menjaga keamanan/memelihara


ketertiban sekolah.

2. Kurikulum

Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum PLB tahun 1994, yang terdiri
dari :

a. Landasan Program

b. Garis-garis Program Pengajaran

c. Pedoman Pelaksanaan

3. Administrasi

Administrasi yang digunakan adalah administrasi yang sesuai dengan


pedoman administrasi yang telah dibukukan antara lain :

20
a. Administrasi Program Pengajaran

b. Administrasi Kepegawaian

c. Administrasi Keuangan 

d. Administrasi Perlengkapan dan Barang.

21
BAB 3
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tunadaksa adalah mereka yang mengalami kelainan dari segi fisik atau
hilangnya salah satu anggota tubuh atau memiliki kekakuan atau kelumpuhan
dalam melakukan gerakan baik tulang, otot dan atau persendian sehingga
menghambat mereka dalam beraktivitas. Pada dasarnya kelainan pada anak
tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan
pada sistem serebral (Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan
rangka (Musculus Skeletal System).
Pendidikan yang juga merupakan kebutuhan anak tunadaksa perlu
direncanakan dan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan masing-
masing anak tunasaksa. Melalui pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Anak-anak tunadaksa diharapkan memiliki masa
depan yang tidak selalu bergantung pada orang tua dan masyarakat.

22
DAFTAR PUSTAKA

 Rahardja, Djaja dan Sujarwanto. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. 2010.


Surabaya : UD. Mapan
 http://library.gunadarma.ac.id/repository/files diunduh pada 1 Maret 2012
pukul 08.20
 http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA diunduh pada
1 Maret 2012 pukul 09.01
 repository.usu.ac.id diunduh pada 5 Maret 2012 pukul 10.05
 www.psychologymania.net/tuna-gragita-dan-tuna-daksa.htm diunduh pada 9
Maret 2012 pukul 14.35

23

Anda mungkin juga menyukai