Anda di halaman 1dari 11

Surat Al Qari’ah ayat 1

ِ َ‫ْالق‬
ُ‫ار َعة‬
Hari Kiamat,
Kata al qari’ah (‫ )القارعة‬berasal dari kata qara’a (‫ )ق رع‬yang berarti mengetuk. Suara
menggelegar yang diakibatkan oleh kehancuran alam sangat keras hingga seakan mengetuk lalu
memekakkan telinga, bahkan hati dan pikiran. Namun semua peristiwa besar yang mencekam
juga dinamakan al qari’ah baik disertai suara keras maupun tidak.
Ibnu Katsir menjelaskan, al Qari’ah adalah nama lain hari kiamat. Sebagaimana juga disebut al
Haaqqah, at Taammah, Ash Shaakhkhah, Al Ghaatsiyah, dan lain-lain.

Surat Al Qari’ah ayat 2

ِ َ‫َما ْالق‬
ُ‫ار َعة‬
Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
Pengulangan kata ini menggambarkan rasa heran dan mencekam. Seakan-akan secara
sederhana diilustrasikan pintu yang diketuk keras, tidak seperti selama ini. Sehingga
ditanyakanlah, “siapa yang mengetuk itu.”

Surat Al Qari’ah ayat 3

ِ َ‫ك َما ْالق‬


ُ‫ار َعة‬ َ ‫َو َما أَ ْد َرا‬
Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
Kalimat maa adraaka (‫ )م ا أدراك‬adalah ungkapan yang digunakan Al Qur’an untuk
menggambarkan kehebatan sesuatu yang sulit dijangkau hakikatnya. Umumnya redaksi kalimat
ini digunakan untuk alam metafisika seperti surga dan neraka. Juga hal-hal yang luar biasa
seperti lailatul qadar dan al ‘aqabah.
Kalimat ini sekaligus merupakan ta’kid (kalimat penguat) untuk memberitahukan betapa
dahsyatnya hari kiamat.

Surat Al Qari’ah ayat 4


ِ ‫اش ْال َم ْبثُو‬
‫ث‬ ِ ‫ون النَّاسُ َك ْالفَ َر‬
ُ ‫يَ ْو َم يَ ُك‬
Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,
Selain diartikan anai-anai, kata al faraasy (‫ )الفراش‬juga diartikan belalang yang baru lahir. Mereka
saling menindih dan bergerak ke berbagai arah yang tidak menentu.
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa al faraasy adalah hewan bersayap yang bodoh
dan bingung jika ada di atas api. Maka ia bisa bermakna laron, anai-anai, nyamuk maupun
belalang.
Manusia waktu itu seperti anai-anai yang bertebaran, jumlahnya banyak, lemah, hina dan terbang
tak tentu arah.

Surat Al Qari’ah ayat 5

ِ ُ‫ون ْال ِجبَا ُل َك ْال ِعه ِْن ْال َم ْنف‬


‫وش‬ ُ ‫َوتَ ُك‬
dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Kata al ‘ihn (‫ )العهن‬artinya adalah bulu. Ada pula yang memahaminya bulu yang berwarna merah
dan warna-warni. Sebagaimana ditegaskan oleh Surat Fathir ayat 27, gunung-gunung yang
beraneka warna itu karena perbedaan materi yang dikandungnya. Jika materinya besi, warna
dominannya adalah merah. Jika materinya batu bara, warna dominannya adalah hitam. Jika
materinya perunggu, warna dominannya kehijau-hijauan.
Mujahid, Ikrimah Sa’id bin Jubair dan para mufassir lainnya mengatakan bahwa al ‘ihn adalah
bulu domba. Pada hari kiamat, gunung-gunung laksana bulu domba yang diawut-awut hingga
berterbangan.
Dua kondisi ini saja, yakni manusia yang seperti anai-anaik bertabaran dan gunung yang
berhamburan, sudah menggambarkan betapa dahsyat dan ngerinya hari kiamat.

Surat Al Qari’ah ayat 6


ُ‫ازينُه‬ ْ َ‫فَأ َ َّما َم ْن ثَقُل‬
ِ ‫ت َم َو‬
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,
Kata mawaaziin (‫ )موازين‬merupakan bentuk jamak dari miizaan (‫ )ميزان‬yang artinya timbangan.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa amal kebaikan dan kejahatan masing-masing orang
ditimbang. Mana yang berat, itulah yang menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat.
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan maksudnya adalah timbangan amal
kebaikannya lebih berat daripada timbangan amal keburukannya.
Setelah Allah menjelaskan sekilas dahsyatnya hari kiamat, Dia mengarahkan pandangan manusia
untuk memperhatikan kesudahan mereka. Bahwa nantinya mereka akan ditimbang amalnya dan
nasibnya akan tergantung pada amal yang ditimbang itu.

Surat Al Qari’ah ayat 7


ِ ‫فَهُ َو فِي ِعي َش ٍة َر‬
‫اضيَ ٍة‬
maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.
Kata ‘iisyah (‫ )عيشة‬merupakan bentuk tunggal. Memberikan isyarat bahwa kepuasan dan
kenyamanan hidup di akhirat itu bersambung, tidak terputus dan tidak berganti seperti di dunia
yang kadang senang kadang susah.
Tempat yang demikian itu tidak lain adalah surga.
Surat Al Qari’ah ayat 8
ُ‫ازينُه‬ ْ َّ‫َوأَ َّما َم ْن َخف‬
ِ ‫ت َم َو‬
Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
Yakni orang yang timbangan amal keburukannya lebih berat daripada timbangan amal
kebaikannya.

Surat Al Qari’ah ayat 9

ِ َ‫فَأ ُ ُّمهُ ه‬
ٌ‫اويَة‬
maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
Kata ummuhu (‫ )أمه‬berasal dari kata amma-ya’ummu (‫ )أم – ي ؤم‬yang artinya menuju. Ibu
dinamai umm karena anak selalu menuju kepadanya. Dinamai imam yang seakar
dengan umm karena ia dituju mata dan diteladani.
Kata haawiyah (‫ )هاوية‬berasal dari kata hawaa (‫ )ه وى‬yang artinya meluncur ke bawah.
Dinamakan haawiyah karena neraka itu tempat yang rendah dan menghinakan.
Qatadah menjelaskan, bahwa orang itu terjatuh ke dalam neraka dengan kepala di bawah.
Pada kedua perbandingan antara orang yang berat dan ringan timbangan amal kebaikannya ini,
terdapat ihtibaak (‫)إحتب اك‬. Yakni membuang masing-masing persamaan yang terdapat pada
kalimat yang lain. Kalimat yang dibuang di bagian pertama adalah “maka tempat kembalinya
adalah surga” (‫)فأمه الجنة‬. Sedangkan kalimat yang dibuang di bagian kedua adalah “maka dia
berada dalam kehidupan yang menyusahkan” (‫)فهو في عيشة ساخطة‬.
Dengan dihilangkannya dua kalimat itu, jadilah akhiran dari setiap bagian surat ini adalah:
‫القارعة‬
‫ية‬ ‫راض‬
‫هاوية‬
‫ماهية‬
‫حامية‬
Dalam ilmu balaghah, ini disebut sajak murashsha’.

Surat Al Qari’ah ayat 10


َ ‫َو َما أَ ْد َر‬
‫اك َما ِهيَ ْه‬
Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
Seperti disinggung di ayat 3, maa adraaka digunakan terkait alam metafisika yang pada ayat 10
ini adalah neraka.

Surat Al Qari’ah ayat 11


ٌ‫نَا ٌر َحا ِميَة‬
(Yaitu) api yang sangat panas.
Inilah hakikat haawiyah yang Allah jelaskan. Api yang sangat panas lagi sangat kuat nyala dan
gejolak apinya.
Panasnya api neraka 70 kali lipat dari panasnya api dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam:
ِ ‫نَا ُر ُك ْم ج ُْز ٌء ِم ْن َس ْب ِعينَ ج ُْز ًءا ِم ْن ن‬
‫َار َجهَنَّ َم‬
Api kalian merupakan salah satu dari 70 bagian dari api neraka jahanam.
Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, itu pun sudah mencukupi.” Beliau bersabda:
‫ت َعلَ ْي ِه َّن بِتِ ْس َع ٍة َو ِستِّينَ ج ُْز ًءا ُكلُّه َُّن ِم ْث ُل َحرِّ هَا‬
ْ َ‫فُضِّ ل‬
Api neraka lebih unggul di atasnya dengan 69 bagian. Yang masing-masing bagian seperti
panasnya api dunia. (HR. Bukhari)
Demikian panasnya api neraka, siksa paling ringan bagi penghuninya akan membuat otaknya
mendidih.
ُ‫َار يَ ْغلِى ِم ْنهُ َما ِد َما ُغه‬ ِ َّ‫إِ َّن أَ ْه َونَ أَ ْه ِل الن‬
ِ ‫ار َع َذابًا َم ْن لَهُ نَ ْعالَ ِن َو ِش َرا َك‬
ٍ ‫ان ِم ْن ن‬
Sesungguhnya siksa penghuni neraka yang paling ringan adalah orang yang memakai dua
sandal dari api neraka hingga otaknya mendidih karenanya. (HR. Muslim)
Terkait tentang asbabun nuzul surat Al Qariah sendiri, para ulama misalnya saja seperti
Musthafa al-Maraghi sepakat bahwasanya surat Makkiyah yang terdiri dari 11 ayat tersebut
tidaklah memiliki latar sebab-sebab khusus ataupun asbabun nuzul.
Meskipun demikian, namun surat ini sendiri dapat dijadikan sebagai pengingat bagi umat
muslim bahwasanya hari kiamat itu akan terjadi. Adapun penggambaran tentang hari kiamat
Selain berisikan penggambaran tentang hari kiamat, surat Al Qariah juga menerangkan
tentang hari penimbangan amal yang akan dihadapi oleh manusia.
Pada hari penimbangan amal itu sendiri amalan seluruh manusia akan dihitung, yang mana
jika ia lebih banyak mengerjakan kebaikan maka kehidupan akhiratnya akan baik pula,
sedangkan jika lebih banyak amalan buruknya maka ia akan masuk ke dalam neraka
hanawiyah
Meski tidak ada yang mengetahui asbabun nuzul surah Al Qariah secara pasti, namun satu hal
yang pasti bahwasanya firman Allah SWT yang ada dalam alquran tersebut patut untuk umat
muslim yakini kebenarannya, dan patut untuk kita jadikan sebagai pedoman hidup.
Tafsir Surat Al Adiyat
Tafsir surat Al Adiyat ini kami sarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil
Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah. Ia bukan tafsir
baru melainkan ringkasan kompilasi dari tafsir-tafsir tersebut. Juga ditambah
dengan referensi lain seperti Awwal Marrah at-Tadabbar al-
Qur’an dan Khawatir Qur’aniyah.

Surat Al Adiyat ayat 1

‫ضبْحً ا‬ ِ ‫َو ْال َعا ِد َيا‬


َ ‫ت‬
Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah,

Kata al adiyat  (‫ )العاديات‬berasal dari kata ‘adaa – ya’duu (‫ )عدا – يعدوا‬yang


berarti jauh atau melampaui batas. Dari kata itu muncul berbagai derivasi
namun tetap mengandung makna jauh. Misalnya ‘aduw  (‫ )عدو‬yang artinya
musuh. Bermusuhan karena jauhnya hati.

Ada pula al ‘aduw (‫ )العدو‬yang artinya berlari cepat. Menempuh jarak jauh


dalam waktu singkat. Ada pula ‘udwaan (‫ )عدوان‬yang artinya agresi. Karena
yang melakukannya jauh dari kebenaran dan keadilan.

Secara harfiah, kata al adiyat  (‫ )العاديات‬berarti yang berlari kencang. Kata ini


tidak menjelaskan siapa pelakunya. Menurut jumhur ulama termasuk Ibnu
Abbas, artinya adalah kuda yang berlari kencang. Namun menurut Ali bin
Abu Thalib, al adiyat di ayat ini adalah unta. Ia berhujjah, pada Perang
Badar, kaum muslimin mengendarai unta. Hanya ada dua ekor kuda yang
dibawa yakni milik Az Zubair dan Al Miqdad.

Sementara yang mayoritas mengartikan kuda berhujjah, sebab sifat-sifat


dalam surat ini ada pada kuda, bukan unta. Mulai dari mengeluarkan
dengusan nafas saat berlari, hingga mengeluarkan percikan api. Unta
secepat apa pun larinya, ia tak bisa menghasilkan percikan api.

Kata dhabhan (‫ )ضبحا‬berarti dengusan nafas saat berlari. Ibnu Abbas


mengatakan, tidak ada binatang yang mengeluarkan dengusan nafas saat
berlari kecuali kuda dan anjing.

Ibnu Katsir menjelaskan, dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala


bersumpah dengan menyebut kuda apabila dilarikan di jalan Allah, maka ia
lari dengan kencang dan keluar suara dengus nafasnya.
Surat Al Adiyat ayat 2

‫ت َق ْدحً ا‬ ِ ‫َف ْالم‬


ِ ‫ُور َيا‬
dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya),

Kata al muuriyaat  (‫ )الموريات‬menunjukkan pelaku yang menyalakan api. Dari


kata waraa – waryan (‫ )ورى – وريا‬atau wariya – yarii (‫ يري‬-‫ )ور ي‬yang
artinya menyalakan api. Kata fa (‫ )ف‬sebelum al muuriyaat menunjukkan
bahwa nyala atau percikan api itu merupakan akibat dari berlari kencang.

Kata qadhan (‫ )قدحا‬berasal dari kata qadaha (‫ )قدح‬yang


artinya mengeluarkan atau memercikkan. Baik air dari kolam, kuah dari
mangkuk maupun api dari batu, ia disebut qadhan jika keluarnya sedikit.
Karenanya ayat ini dipahami kuda yang berlari kencang hingga menimbulkan
percikan api akibat gesekan kakinya dengan batu.

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “yakni suara detak teracaknya ketika
menginjak batu-batuan, lalu keluarlah percikan api darinya.”

Surat Al Adiyat ayat 3

‫صبْحً ا‬
ُ ‫ت‬ َ ‫َف ْال ُمغ‬
ِ ‫ِيرا‬
dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi,

Kata al mughiirat  (‫ )المغيرات‬merupakan bentuk jamak dari al mughiir (‫)المغير‬.


Berasal dari kata aghaara (‫ )أغار‬yang artinya bercepat-cepat melangkah. Dari
situ kemudian makna umumnya menjadi serangan mendadak yang
dilakukan dengan mengendarai kuda.

Kata shubhan (‫ )صبحا‬artinya adalah waktu subuh. Menggambarkan serangan


itu cepat dan mendadak waktunya.

“Yaitu di waktu musuh sedang lengah, lalai atau mengantuk. Angkatan


perang itu tiba-tiba datang laksana diturunkan dari langit,” kata Buya Hamka
dalam Tafsir Al Azhar.

Orang yang mengartikan al adiyat dengan unta, menafsirkan ayat ini sebagai


berangkat di waktu Subuh dari Muzdalifah ke Mina. Namun pendapat ini tidak
sekuat tafsir tentang kuda perang yang juga merupakan pendapat Ibnu
Abbas, Mujahid dan Qatadah.
Surat Al Adiyat ayat 4

‫َفأ َ َثرْ َن ِب ِه َن ْقعًا‬


maka ia menerbangkan debu,

Ibnu Katsir menjelaskan, maknanya adalah tempat yang kuda-kuda dan


unta-unta itu berada, baik dalam ibadah haji maupun dalam jihad, debu-
debuh beterbangan karenanya.

Baca juga: Ayat Kursi

Surat Al Adiyat ayat 5

‫َف َو َس ْط َن ِب ِه َج ْمعًا‬
dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.

Kata jam’an  (‫ )جمعا‬digunakan dalam Al Quran untuk menunjuk kelompok


besar dan selalu menduga akan mampu meraih kemenangan. Menurut Buya
Hamka, artinya adalah kumpulan musuh.

Sebagian mufassir menjelaskan, lima ayat yang dimulai dengan sumpah


Allah ini menggambarkan cepatnya kedatangan kiamat. Laksana serangan
mendadak pasukan berkuda di pagi hari pada zaman dulu.

Syaikh Adil Muhammad Khalil menjelaskan, sumpah Allah dengan kuda


perang dalam lima ayat ini untuk menunjukkan bahwa kuda melakukan itu
semua meskipun dengan terengah-engah demi memenuhi kehendak
tuannya. Lalu mengapa manusia justru ingkar kepada Allah dan tidak
melakukan apa yang diperintahkan demi mendapat ridha-Nya?

Surat Al Adiyat ayat 6

َ ‫إِنَّ اإْل ِ ْن َس‬


‫ان ل َِر ِّب ِه َل َك ُنو ٌد‬
Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada
Tuhannya,

Kata kanuud  (‫ )كنود‬merupakan bentuk superlatif dari kata kanada (‫ )كند‬yang


artinya tandus. Bentuk superlatif ini menggambarkan betapa besar
kekufuran dan keingkaran manusia sehingga tidak mau memberikan bantuan
sekecil apa pun.

Buya Hamka mengatakan, arti kanuud adalah tidak berterima


kasih, melupakan jasa. “Berapapun nikmat diberikan Allah, ia tidak merasa
puas dengan yang telah ada itu bahkan minta tambah lagi. Nafsunya tidak
pernah merasa cukup dan kenyang; yang ada tidak disyukurinya, yang
datang terlebih dahulu dilupakannya.”

Ibnu Katsir menafsirkan, sesungguhnya manusia itu benar-benar


mengingkari nikmat-nikmat Tuhannya.

Surat Al Adiyat ayat 7

َ ِ‫َوإِ َّن ُه َع َلى َذل‬


‫ك َل َش ِهي ٌد‬
dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya,

Kata syahiid  (‫ )شهيد‬berasal dari syahida (‫ )شهد‬yang artinya menyaksikan.


Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, sesungguhnya manusia itu benar-benar
menyaksikan sendiri (mengakui) keingkaran dirinya melalui sepak
terjangnya. Terlihat jelas dari ucapan dan perbuatannya.

Surat Al Adiyat ayat 8

‫َوإِ َّن ُه لِحُبِّ ْال َخي ِْر َل َشدِي ٌد‬


dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.

Kata al khair  (‫ )الخير‬juga punya arti kebaikan. Namun di ayat ini, artinya


adalah harta benda. Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al
Munir menegaskan makna ini sebagaimana firman Allah pada Surat Al
Baqarah ayat 180.

َ ‫ًًّقا َعلَى ْال ُم َّتق‬: ‫ين ِب ْال َمعْ رُوفِ َح‬


‫ِين‬ َ ‫ْن َواأْل َ ْق َر ِب‬ ُ ‫ض َر أَ َحدَ ُك ُم ْال َم ْو‬
ِ ‫ت إِنْ َت َر َك َخيْرً ا ْال َوصِ َّي ُة ل ِْل َوالِدَ ي‬ َ ‫ِب َعلَ ْي ُك ْم إِ َذا َح‬
َ ‫ُكت‬

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-


tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Baqarah: 180)
Kata syadiid  (‫ )شديد‬berasal dari kata syadda (ّ‫ )شد‬yang bisa
berarti menguatkan ikatan. Karena ikatannya dengan harta sangat kuat, ia
enggan untuk melepaskannya. Ia menjadi sangat bakhil.

Ada dua penafsiran ayat ini. Pertama, sesungguhny manusia itu sangat
mencintai harta. Kedua, sesungguhnya karena kecintaannya kepada harta
membuatnya jadi kikir. Ibnu Katsir membenarkan kedua penafsiran ini.

Surat Al Adiyat ayat 9

َ
ِ ‫أ َفاَل َيعْ َل ُم إِ َذا بُعْ ث َِر َما فِي ْالقُب‬
‫ُور‬
Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di
dalam kubur,

Kata bu’tsira  (‫ )القارعة‬awalnya bermakna membolak-balik sesuatu. Kata ini


memberi kesan kegelisahan dan ketergesaan. Misalnya membolak-balikkan
lemari karena mencari sesuatu. Dalam kubur nanti, dicari dan dibongkar
dengan ketergesaan hingga gelisahlah isi hati yang dibongkar.

Menurut Ibnu Katsir, maknanya adalah dikeluarkannya orang-orang yang


telah mati dari dalam kuburnya. Az Zuhaili juga menafsirkan, orang-orang
yang di dalam kubur akan dibangkitkan. Begitu pula Sayyid Qutb dan Buya
Hamka.

Surat Al Adiyat ayat 10

ِ ‫ص ُد‬
‫ور‬ ُّ ‫ص َل َما فِي ال‬
ِّ ‫َو ُح‬
dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,

Kata hushshila  (‫ )حصل‬memiliki
arti memisahkan, mengemukakan atau menghimpun. Kata ash shuduur (
‫ )الصدور‬merupakan bentuk jamak dari ash shadr (‫ )الصدر‬yang artinya dada.
Maknanya adalah hati manusia.

Menurut Ibnu Abbas, maknanya adalah apabila dilahirkan dan ditampakkan


apa yang selama itu mereka sembunyikan dalam hati.

Surat Al Adiyat ayat 11

‫إِنَّ َر َّب ُه ْم ِب ِه ْم َي ْو َم ِئ ٍذ َل َخ ِبي ٌر‬


sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan
mereka.

Kata khabir  (‫ )خبير‬berasal dari khabar (‫ )خبر‬yang artinya pencarian untuk


mencapai pengetahuan yang pasti tentang hakikat sesuatu. Jika dipakai
sebagai sifat Allah, ia mengandung arti pengetahuan-Nya menyangkut hal-
hal yang detil serta tersembunyi, betatapun kecilnya sesuatu dan betapapun
tersembunyi, pasti diketahui Allah

Anda mungkin juga menyukai