Anda di halaman 1dari 6

TUGAS FORMATIF FKU 1

PENGANTAR HUKUM KEDOKTERAN


Program Materi Dasar Umum & Materi Dasar Khusus
Program Pendidikan Dokter Spesialis -Spesialis 1

Nama : Jousephine Stefanny Hanoctazya Faidiban


Prodi : Kedokteran Okupasi
NPM : 2006626866

Menurut KBBI (2008) Profesionalisme adalah “tindak tanduk yang merupakan ciri
suatu profesi”. Anggota profesi diatur oleh kode etik dan menyatakan komitmen terhadap
kemampuan, intergritas, ethic , altruism, dan dukungan demi kesejahteraan masyarakat.
Kemampuan seorang dokter untuk melakukan pertimbangan spesifik serta memiliki
sikap perilaku yang bertanggung jawab dan bertindak berdasarkan kemampuan clinical
reasoning adalah Professionalisme pada bidang kedokteran. Profesionalisme pada bidang
kedokteran juga dibentuk dari beberapa komponen perilaku, antara lain: altruisme, kompeten,
kejujuran dan integritas, performa, manajemen, serta menghormati orang lain dan humanis.
Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa profesionalisme merupakan
suatu penentu kualitas hubungan dokter yang digambarkan melalaui seperangkat perilaku dan
sangat bergantung dengan kepercayaan. Hubungan ini tidak terbatas pada dokter dan pasien
sebagai individu, tetapi juga hubungan dokter sebagai sebuah kelompok profesi dengan
dengan masyarakat luas. Pada bidang kedokteran sendiri, profesionalisme dianaungi oleh
KKI (Konsil Kedokteran Indonesia)
Seorang dokter harus memahami dan terikat pada konsep profesionalisme karena
profesionalisme adalah tentang akuntabilitas dan kebutuhan bagi dokter untuk bekerja dalam
tim dan sistem yang mungkin mengesampingkan otonomi dokter untuk kebaikan yang lebih
besar pasien atau masyarakat. Menurut Veloski et al., (2005), hingga tahun 2002
profesionalisme untuk seorang dokter merupakan sebuah kompetensi individu saja, namun
teori ini sudah berubah dimana lingkungan pun akan mempengaruhi perilaku profesionalisme
dari seorang dokter dan nantinya profesionalisme individu dokter akan mempengaruhi
kembali lingkungan (Lesser et al., 2010). Adanya efek keterikatan antara sikap professional
individu seorang dokter terhadap lingkungannya memiliki efek besar terhadap evolusi sistem
kesehatan masyarakat yang berfokus untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
berkualitas serta berpusat pada pasien (Babiker et al., 2014). Oleh karena itu seorang dokter
perlu memahami dan terikat pada konsep profesionalisme.
Perkembangan definisi umum profesionalisme untuk dokter terus berkembang sebagai
akibat dari perubahan filosofi tentang etika. Namun sejarah pofesional dokter bermula dari
lahirnya sumpah hipokrates sejak 2500 tahun lalu. Pada tahun 1948, sumpah Hipokrates itu
diadopsi oleh Asosiasi Medis Dunia yang berbasis di Jenewa, dan pada tahun 1964 sumpah
ditulis ulang oleh Louis Lasagna dan versi sumpah ini adalah telah diadopsi oleh banyak
sekolah kedokteran di seluruh dunia. Selain adanya sumpah yang mengatur profesionalisme
seorang dokter, lahirnya kode etik kedokteran pun merupakan landasan utama untuk sikap
profesionalitas dokter. Pada tahun 1930, kedokteran merupakan profesi paternalistik. Para
dokter hanya memberi nasehat dan pasien diharapkan untuk mengikuti seluruh saran dokter
dan pasien tidak punya banyak hak atas tindakan medis yang diterima (Riddick, 2003). Pada
beberapa kasus, dilaporkan bahwa pasien dapat didaftarkan dalam eksperimen tanpa
sepengetahuan mereka dan hingga tahun 1940 belum ada regulasi yang mengatur hak pasien.
Setelah Perang Dunia ke-II, dunia mengetahui eksperimen ilmiah mematikan yang dilakukan
oleh para dokter Jerman di kamp konsentrasi. Tindakan tidak professional dari dokter Jerman
inilah yang menjadi dasar lahirnya Kode Nuremberg sebagai etika medis modern pertama
untuk mengatur profesionalisme dokter (Ghooi, 2011). Etika medis modern Eropa ini pun
kemudian diadopsi untuk menerapkan adanya sikap profesionalisme dokter di Indonesia yang
berlandaskan dengan asas fundamental Pancasila, sebagai landasan idiil dan UUD 1945.
Seluruh nilai-nilai tanggungjawab profesional profesi kedokteran di Indonesia kemudian
diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang dibuat pada tahun 1969 dan
direvisi secara berulang pada tahun 1981, 1993, dan 2012.
  Mekanisme profesionalisme ditegakkan oleh suatu sistem perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Undang-Undang no 29 th 2004 tentang Praktik kedokteran
mengamanahkan pada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk melakukan pengaturan pada
praktik kedokteran, dan untuk menjamin praktik kedokteran yang professional dan terjaga
mutunya, KKI memiliki tugas sesuai pasal 7 UU Praktik kedokteran No 29 tahun 2004 yaitu:
 Melakukan registrasi dokter dan dokter gigi
 Mengesahkan standar pendidikan dokter dan dokter gigi
 Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang
dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.
KKI adalah badan otonom mandiri, non struktural dan bersifat independent yang atas
nama negara menegakkan profesionalisme dan menjamin bahwa pelaksanaan praktik
kedokteran dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang professional dan kompeten.
Pengaturan praktik dokter dan dokter gigi dilakukan oleh KKI untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat serta dokter dan dokter gigi itu
sendiri. KKI memiliki fungsi sesuai yang tertulis dalam passal 6 UU Praktik kedokteran
No29 thn2004 yaitu fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan serta pembinaan dokter dan
dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan medis. KKI terdiri atas konsil kedokteran dan kedokteran gigi, dengan beberapa
divisi. Dalam fungsinya KKI memiliki misi sebagai berikut :
 Meningkatkan dan menjaga penerapan standar tertinggi Pendidikan dokter dan
doktergigi
 Memelihara dan meningkatkan profesionalisme dokter dan dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran melalui upaya pemeliharaan registrasi,
pembinaan dan penegakan disiplin profesi dalam rangka melindungi masyarakat
 Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas manajemen dan mendukung
penyelenggaraan program KKI.
Fungsi KKI terbagi dari empat (Pasal6 UUPK no 29 tahun 2004) yaitu :
1.       Pengaturan
2.       Pengesaahan
3.       Penetapan
4.       Pembinaan Dokter dan Dokter Gigi
Profesionalisme ditegakkan melalui KKI dengan tiga mekanisme sesuai UU praktek
kedokteran tahun 2004 pasal 7 yaitu :
1.       Melakukan registrasi dokter dan dokter gigi.
2.       Mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi.
3.       Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang
dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.(1)
 
Dalam hal Upaya peningkatan profesionalisme staf medis dilakukan dengan
melaksanakan program pembinaan profesionalisme kedokteran dan upaya pendisiplinan
berperilaku profesional staf medis di layanan Kesehatan melalui komite medik. Dalam
pelaksanaan good governance diperlukan adanya peraturan yang jelas diperlukan adanya
peraturan yang jelas tentang peran,tugas,kewajiban, kewenangan, tanggungjawab, dan
hubungan kerja dari berbagai pihak terkait dalam terselenggaranya pelayanan Kesehatan(2).
Dalam menegakkan profesiinalisme, apabila masyarakat merasa medapatkan kerugian atas
pelayanan kedokteran maupun kedokteran gigi, dapat melaporkan ke  Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). KKI sudah menerbitkan peraturan mengenai
disiplin professional Dokter dan Dokter Gigi(3).
Hubungan dokter-pasien adalah hubungan luhur berdasarkan prinsip kepercayaan
didukung sikap professional (KODEKI,2012). Pelanggaran seorang dokter dapat berupa
pelanggaran kasus etik dan pelanggaran kasus disipin, Pelanggaran etik kedokteran misalnya:
 Masalah empati, komunikasi
 Konflik etikolegal antar bidang kedokteran
 Konflik kepentingan: peran ganda sebagai dokter dan advocat
 Dokter promosi 
Dalam menjalankan tugas profesi dokter, selain terikat oleh norma etika dan hukum,
profesi kedokteran  juga terikat oleh disiplin profesi kedokteran yakni ketaatan terhadap
aturan-aturan dan atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan praktik kedokteran
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan Kesehatan, serta menjaga kehormatan profesi. 
MKDKI adalah lembaga yang berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan yang
dilakukan dokter dalam penerapan ilmu kedokteran dan menetapkan sanksi. MKDKI tersebut
dibentuk untuk menegakkan disiplin profesi dokter dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran.
Tugas, wewenang dan batas kewenangannya sebagaimana diatur dalam peraturan dan
perundangan yang berlaku yakni menerima, memeriksa dan memutuskan pengaduan disiplin
profesi serta menyusun pedoman dan tata cara penanganan pelanggaran profesi, tidak
menerima pengaduan mengenai masalah etika dan masalah hukum (perdata maupun pidana)
Pelanggaran disiplin profesi dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun
2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi tersebut dapat dikelompokkan
dalam 3 hal yakni:  
 Melaksanakan praktik dengan tidak kompeten
 Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan
baik dan 
 Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran 
Tata Cara Penanganan Pengaduan Disiplin Dokter diatur dalam Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 50 Tahun 2017. Secara ringkasnya terdiri dari 3 tahap
(penerimaan pengaduan, pemeriksaan, dan keputusan pengaduan) dan 10 Langkah. Tahap
kedua dan ketiga merupakan persidangan yang tertutup untuk umum, kecuali untuk sidang
pembacaan putusan. Setiap keputusan sidang diambil melalui mekanisme musyawarah,
dimana setiap anggota Majelis Pemeriksa DIsiplin (MPD) memberikan pendapat tertulis
sebagai bahan pertimbangan yang akan dibacakan oleh ketua MPD. Putusan diambil
berdasarkan minimal 3 dari 5 alat bukti yang sah (surat, dokumen, keterangan saksi,
keterangan ahli, keterangan teradu). Hasil persidangan musyawarah menyatakan bahwa
teradu tidak atau melanggar disiplin profesi atas pengaduan, dan bila terdapat pelanggaran
disiplin profesi maka teradu diberi sanksi disiplin. Sanksi dapat berupa peringatan tertulis,
rekomendasi pencabutan STR (sementara atau selamanya) dan kewajiban mengikuti
pelatihan di bidang/jenis tertentu.1,2
 
Referensi

Babiker, A., El Husseini, M., Al Nemri, A., Al Frayh, A., Al Juryyan, N., Faki, M. O., Assiri,
A., Al Saadi, M., Shaikh, F., & Al Zamil, F. (2014). Health care professional development:
Working as a team to improve patient care. Sudanese Journal of Paediatrics, 14(2), 9–16.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27493399%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/artic
lerender.fcgi?artid=PMC4949805
Firmanda, D. Disiplin profesi kedokteran. MKDKI. http://kki.go.id/assets/data/arsip/DF-
Materi_Workshop_JSLG_Disiplin_Profesi_Kedokteran.pdf
Ghooi, R. (2011). The Nuremberg Code-A critique. Perspectives in Clinical Research, 2(2),
72. https://doi.org/10.4103/2229-3485.80371
Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011
tentang Disiplin Profesional Dokter dab Dokter Gigi. 2011;1–19. 
Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan konsil kedokteran indonesia tentang tata cara
penanganan pengaduan disiplin dokter dan dokter  gigi. Perkonsil No. 50 Tahun 2017.
http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/Salinan_Perkonsil_50_Tahun_2017.pdf 
Lesser, C. S., Lucey, C. R., Egener, B., Braddock, C. H., Linas, S. L., & Levinson, W.
(2010). A behavioral and systems view of professionalism. JAMA - Journal of the American
Medical Association, 304(24), 2732–2737. https://doi.org/10.1001/jama.2010.1864
Prof.dr.M.Jusuf Hanafiah Sp.OG (K); Prof.dr.Amri Amir SFS. Etika Kedokteran & Hukum
Kesehatan. 4th ed. Rusmi, editor. Jakarta: EGC; 2008.
Riddick, F. A. (2003). The code of medical ethics of the American Medical Association [El
código de ética médica de la Asociación Americana de Medicina]. The Ochsner Journal,
5(2), 6–10.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22826677%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/artic
lerender.fcgi?artid=PMC3399321%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3399321&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
Rozaliyani A, Meilia PDI, Librianty N. Prinsip penetapan sanksi bagi pelanggaran etik
kedokteran.JEKI. 2018;2:19–22.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004. 2004;55. Available from:
http://eprints.uanl.mx/5481/1/1020149995.PDF
Veloski, J. J., Fields, S. K., Boex, J. R., & Blank, L. L. (2005). Measuring professionalism: A
review of studies with instruments reported in the literature between 1982 and 2002.
Academic Medicine, 80(4), 366–370. https://doi.org/10.1097/00001888-200504000-00014

Anda mungkin juga menyukai