Anda di halaman 1dari 14

1.

Proses Terbentuknya Perilaku Individu


Perilaku merupakan basil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon
Skinner, cit. Notoatmojo 1993).  Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang
diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti
rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Perilaku manusia
adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respons serta dapat diamati
secara langsung maupun tidak langsung (wartawarga.gunadarma.ac.id).
Individu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang seorang;
pribadi orang (terpisah dari yang lain), organisme yg hidupnya berdiri sendiri, secara
fisiologi ia bersifat bebas (tidak mempunyai hubungan organik dengan sesamanya).
Perilaku individu dalam suatu organisasi adalah sikap dan tindakan (tingkah
laku) seorang manusia (individu) dalam organisasi sebagai ungkapan dari
kepribadian, persepsi dan sikap jiwanya, dimana bisa berpengaruh terhadap prestasi
(kerja) dirinya dan organisasi (one.indoskripsi.com).
Manusia atau juga disebut sebagai individu diciptakan berbeda satu sama lain.
Masing-masing memiliki keunikan tersendiri yang salah satunya dapat terlihat dari
perilaku mereka. Dalam suatu organisasi, terkadang kondisi ini dapat menjadikan
organisasi tersebut tidak bisa berjalan dengan efektif karena masing-masing manusia
di dalamnya memiliki perilaku yang berbeda. Inilah yang menjadi tugas seorang
pemimpin untuk bisa menyamakan perilaku individu-individu di dalam organisasi
yang dipimpinnya agar bisa memiliki perilaku yang sama dan sangat mendukung
pencapaian tujuan organisasi.
Pada dasarnya tingkah laku adalah respon atau stimulus yang datang. Secara
sederhana dapat digambarkan dalam model S - R atau suatu kaitan Stimulus - Respon.
Ini berarti tingkah laku itu seperti reflek tanpa kerja mental sama sekali. Skiner (1938)
seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi
melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut
merespon, maka teori skiner disebut teori “S – O - R”atau Stimulus – Organisme –
Respon.
Mekanisme pembentukan perilaku terbagi atas 2 aliran, yaitu:
1. Aliran Behaviorisme:
 S > R atau S > O > R

1
S = stimulus (rangsangan); R = Respons (perilaku, aktivitas) dan
O=organisme (individu/manusia).
Karena stimulus datang dari lingkungan (W = world) dan R juga ditujukan
kepadanya, maka mekanisme terjadi dan berlangsungnya dapat
dilengkapkan seperti tampak dalam bagan berikut ini:
 W>S>O>R>W
Yang dimaksud dengan lingkungan (W = world) di sini dapat dibagi ke
dalam dua jenis yaitu :
- Lingkungan objektif (umgebung= segala sesuatu yang ada di sekitar
individu dan secara potensial dapat melahirkan S)
- Lingkungan efektif (umwelt= segala sesuatu yang aktual merangsang
organisme karena sesuai dengan pribadinya sehingga menimbulkan
kesadaran tertentu pada diri organisme dan ia meresponsnya).
2. Aliran Holistik atau Humanis
Holistik atau humanisme memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang
berarti aspek-aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu
merupakan faktor penentu untuk melahirkan suatu perilaku, meskipun tanpa
ada stimulus yang datang dari lingkungan. Holistik atau humanisme
menjelaskan mekanisme perilaku individu dalam konteks what (apa), how
(bagaimana), dan why (mengapa). What (apa) menunjukkan kepada tujuan
(goals/incentives/purpose) apa yang hendak dicapai dengan perilaku itu. How
(bagaimana) menunjukkan kepada jenis dan bentuk cara mencapai tujuan
(goals/incentives/pupose), yakni perilakunya itu sendiri. Sedangkan why
(mengapa) menunjukkan kepada motivasi yang menggerakan terjadinya dan
berlangsungnya perilaku (how), baik bersumber dari diri individu itu sendiri
(motivasi instrinsk) maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi
ekstrinsik)

Gambar 1.1 Proses Terbentuknya Perilaku Oleh Skiner (1938)

STIMULUS ORGANISME RESPONS

2
Stimulus (rangsangan) berupa lingkungan, manusia, benda dan hal lain yang
bisa memotivasi organisme tersebut. Pada gambar di atas, stimulus yang diberikan
pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima
maka proses berhenti disini. Tetapi bila stimulus tersebut diterima oleh organisme
berarti stimulus tersebut efektif dan dilanjutkan kepada proses berikutnya. Setelah itu
organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak
demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap). Akhirnya dengan adanya dukungan
dan dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari
individu berupa respon. Respon inilah yang disebut dengan perilaku individu. Skiner
kemudian membedakan adanya dua jenis respon yaitu:
1. Respondent respon atau reflexsive, yaitu respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan – rangsangan (stimulus) tertentu yang dapat menimbulkan respon
– respon yang relatif tetap. Misalnya makanan yang lezat menimbulkan
keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, bagitu
juga respon yang mencakup perilaku emosional.
2. Operant respon atau instrumental respon, yaitu respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu yang
dapat memperkuat respon. Misalnya pemberian penghargaan terhadap
pegawai yang berprestasi dapat menjadikan pegawai tersebut terpacu untuk
lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.

Di atas telah dituliskan bahwa perilaku merupakan bentuk respon dari stimulus
(rangsangan dari luar). Hal ini berarti meskipun bentuk stimulusnya sama namun
bentuk respon akan berbeda dari setiap orang. Ini dipengaruhi oleh dua variabel
seperti yang dikemukakan oleh Gibson, Ivancevich dan Donnely:
1. Variabel (Karakteristik) Individu, terdiri dari beberapa faktor, yaitu:
 Faktor Fisiologis yaitu kemampuan dan keterampilan phisik yang dimiliki
manusia, seperti kemampuan fisik dan kemampuan mental.
 Faktor Psikologis yaitu tanggapan psikologis individu yang bersangkutan,
seperti: persepsi, sikap, kepribadian, belajar, pengalaman, motivasi.
 Faktor Demografi, terdiri dari: umur, jenis kelamin, dan etnis.
2. Variabel Lingkungan, terdiri dari beberapa faktor yaitu:

3
 Lingkungan kerja (di dalam organisasi kerja), terdiri dari: kebijakan dan
aturan organisasi, kepemimpinan, struktur organisasi, desain pekerjaan, dan
system kompensasi.
 Lingkungan non kerja (di luar organisasi kerja), terdiri dari: keluarga,
masyarakat (sosial) dan budaya, dan pendidikan atau sekolah.
Pembentukan perilaku adalah secara sistematis menegaskan setiap urutan langkah
yang menggerakkan seorang individu lebih dekat terhadap respons yang diharapkan.
Terdapat empat cara pembentukan perilaku:
1. Penguatan positif: jika suatu respon diikuti dengan sesuatu yang
menyenangkan, misalnya pujian.
2. Penguatan negatif: jika suatu respon diikuti oleh dihentikannya atau ditarik
kembalinya sesuatu yang tidak menyenangkan, misalnya berpura-pura bekerja
lebih rajin saat pengawas berkeliling.
3. Hukuman: mengakibatkan suatu kondisi yang tidak enak dalam suatu usaha
untuk menyingkirkan perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya : Penskorsan
4. Pemusnahan: menyingkirkan penguatan apa saja yang mempetahankan
perilaku. Misalnya tidak mengabaikan masukan dari bawahan akan
menghilangkan keinginan mereka untuk menyumbangkan pendapat.

3. Motivasi Individu
Motivasi adalah kondisi psikologis yang menimbulkan, mengarahkan, dan
mempertahankan tingkah laku tertentu (Pitrinch & Schunk, dalam Sukadji & Singgih-
Salim, 2001). Winkel (1996) menyatakan bahwa motivasi belajar adalah keseluruhan
daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,
menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arahan pada kegiatan
belajar itu demi mencapai tujuan. Motivasi merupakan syarat mutlak untuk belajar
dan mempengaruhi arah aktivitas yang dipilih serta intensitas keterlibatan seseorang
dalam suatu aktivitas.
McClelland (dalam Sukadji dan Singgih-Salim, 2001) mengemukakan bahwa
manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya dipengaruhi oleh motif. Ada 3
kelompok motif yang dikemukakan olehnya, yaitu :
 Motif untuk berhubungan dengan orang lain (Affiliation Motive), yaitu motif
yang mengarahkan tingkah laku seseorang untuk berhubungan dengan orang

4
lain. Yang menjadi tujuan adalah suasana akrab dan harmonis. Ciri-ciri orang
dengan motif afiliasi tinggi adalah : senang berada di dalam suasana akrab,
risau bila harus berpisah dengan sahabat, berusaha diterima kelompok, dalam
bekerja atau belajar melihat dengan siapa ia bekerja atau belajar.
 Motif untuk berkuasa (Power Motive), yaitu motif yang menyebabkan
sieseorang ingin menguasai atau mendominasi orang lain dalam berhubungan
dengan orang lain dan cenderung bertingkah laku otoriter.
 Motif untuk berprestasi, yaitu motif yang mendorong seseorang untuk
mencapai keberhasilan dalam bersaing dengan suatu ukuran keunggulan, baik
yang berasal dari standar prestasinya sendiri di waktu lalu atau prestasi orang
lain. Yang terpenting adalah bagaimana caranya ia dapat mencapai suatu
prestasi tertentu.

Motivasi individu dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang


individu yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam
melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri
(motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan
terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja
maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki
daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan
dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003)
mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa
indikator, diantaranya:
(1) durasi kegiatan;
(2) frekuensi kegiatan;
(3) persistensi pada kegiatan;
(4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan
kesulitan;
(5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan;
(6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan;

5
(7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan
yang dilakukan; dan
(8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.

3. Bentuk Perilaku Individu


Bentuk-bentuk perilaku individu tidak terlepas dari kepribadian yang
dimilikinya. Menurut teori psikoanalitik Sigmund Freud, kepribadian ini terdiri dari
tiga elemen, yaitu id, ego, dan superego. Ketiga kepribadian inilah yang bekerja sama
untuk menciptakan bentuk-bentuk perilaku manusia yang kompleks.

1. Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek


kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan
primitif. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga
komponen utama kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang
berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan, keinginan, dan
kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya adalah kecemasan
segera atau ketegangan. Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu
realistis atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip
kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita
inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri.
Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima.
Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan
oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan pembentukan
citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan
kebutuhan.
2. Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani
dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan
bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di
dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak sadar. Ego
bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk memuaskan
keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Prinsip
realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan
untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus, impuls

6
id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego pada akhirnya
akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan
tempat.
3. Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego.

superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar


internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan
masyarakat – kami rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman
untuk membuat penilaian.

Dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana


konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego. Freud menggunakan kekuatan
ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-
kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat secara efektif
mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau
terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.
Perilaku individu terdiri dari berbagai macam bentuk, tergantung dari aspek
mana dilihatnya, seperti perilaku termotivasi, perilaku tidak termotivasi, perilaku
reflek, perilaku otomatis, perilaku yang dipelajari, perilaku instingtif, dan sebagainya.
Secara psikologi, bentuk-bentuk perilaku individu yaitu berupa:
 Perilaku sadar (yaitu perilaku yang melalui kerja otak dan pusat susunan
syaraf). Perilaku sadar ini hanya sekitar 40% yang dialami oleh manusia.
 Perilaku tidak sadar (perilaku yang sopan atau instingtif). Perilaku ini terjadi
di ambang sadar atau alam tidak sadar. Perilaku tidak sadar ini biasanya untuk
menyimpan semua harapan, keinginan, dan ketakutan manusia;
 Perilaku tampak dan tidak tampak;
 Perilaku sederhana dan kompleks;
 Perilaku kognitif, afektif, konatif, dan psikomotor.
Selain itu terdapat pula bentuk-bentuk perilaku dilihat dari jenis responnya, yaitu:
 Perilaku pasif (respons internal)
Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak
dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan
yang nyata.Contoh : berpikir, berfantasi, berangan-angan.
 Perilaku aktif (respons eksternal)

7
Perilaku yang sifatnya terbuka. Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat
diamati langsung, berupa tindakan nyata. Contoh: mengerjakan ulangan,
membaca buku pelajaran.

4. Teori X dan Y
Dalam perkembangannya dengan kepemimpinan, terdapat beberapa teori
motivasi yang muncul dan berkembang seperti teori hierarki kebutuhan Maslow, teori
X dan Y Douglas McGregor, teori motivasi Higiene, teori kebutuhan McClelland,
teori harapan Victor Vroom, Teori Keadilan dan motivasi dan Reinforcement Theory.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk menjelaskan kesesuaian antara gaya kepemimpinan
dengan perilaku individu, oleh karena itu dipilihlah teori X dau Y yang berkaitan
dengan perilaku yang dimiliki pegawai/ karyawan dalam organisasi tersebut.
Teori X dan Teori Y merupakan salah satu teori motivasi manusia yang
diciptakan dan dibangun oleh Douglas McGregorpada 1960-an (www.wapedi.mobi).
McGregor adalah psikolog sosial yang terkenal dengan teorinya tersebut McGregor
menjelaskan bahwa para manajer/pemimpin organisasi perusahaan memiliki dua jenis
pandangan terhadap para pegawai/karyawan yaitu teori X atau teori Y.
 Teori X
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas
yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan
perusahaan namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi
(www.organisasi.com). Oleh karena itu, teori X memberikan petuah manajer harus
memberikan pengawasan yang ketat, tugas-tugas yang jelas, dan menetapkan imbalan
atau hukuman.
Proposisi utama teori X, yaitu:
1. Manajemen bertanggung jawab untuk mengatur unsur-unsur dari usaha
produktif-uang, bahan, peralatan, dan orang-dalam kepentingan ekonomi
berakhir;
2. Menghormati orang lain, ini adalah proses mengarahkan usaha mereka,
memotivasi mereka, mengendalikan tindakan mereka, dan memodifikasi
perilaku mereka agar sesuai dengan kebutuhan organisasi; dan

8
3. Tanpa intervensi aktif oleh manajemen, orang akan pasif-bahkan resisten-
untuk kebutuhan organisasi. Oleh karena itu mereka harus dibujuk, dihargai,
dihukum, dan dikendalikan. Kegiatan mereka harus diarahkan.

Lebih lanjut menurut asumsi teori Y, orang-orang ini pada hakikatnya


menganggap bahwa:
1. Tidak menyukai bekerja;
2. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih
menyukai diarahkan atau diperintah;
3. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-
masalah organisasi;
4. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja; dan
5. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan
organisasi.
Menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif
teori lain yang dinamakan teori Y. 
 Teori Y
Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya
kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara
ketat karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai
tujuan perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian
serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja
juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja
(www.organisasi.com).
Proposisi utama dari Teori Y adalah sebagai berikut:
1. Manajemen bertanggung jawab untuk mengatur unsur-unsur dari usaha
produktif-uang, bahan, peralatan, dan orang-orang dalam kepentingan
ekonomi berakhir.
2. Orang tidak dengan sifat pasif atau resisten terhadap kebutuhan organisasi.
Mereka telah menjadi begitu sebagai hasil dari pengalaman dalam organisasi.
3. Motivasi, pengembangan potensi, kapasitas untuk mengasumsikan tanggung
jawab, dan kesiapan untuk mengarahkan perilaku ke arah tujuan organisasi
semuanya hadir dalam orang-manajemen tidak menempatkan mereka di sana.

9
Ini adalah tanggung jawab manajemen untuk memungkinkan orang untuk
mengenali dan mengembangkan karakteristik manusia ini untuk diri mereka
sendiri.
4. Tugas pokok manajemen adalah untuk mengatur kondisi organisasi dan
metode operasi agar orang dapat mencapai tujuan-tujuan mereka sendiri
dengan mengarahkan usaha mereka ke arah tujuan-tujuan organisasi.

Lebih lanjut menurut asumsi teori Y, orang-orang ini pada hakikatnya


menganggap bahwa:
1. Pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan
kepada orang. Keduanya bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik
dan mental. Sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jika keadaan
sama-sama menyenangkan.
2. Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam
rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
4. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan
organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
5. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan sosial, penghargaan
dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan
keamanan.
6. Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jika
dimotivasi secara tepat.

Dengan memahami asumsi dasar teori Y ini, McGregor menyatakan


selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi menajemen untuk melepaskan
tali pengendali dengan memberikan desempatan mengembangkan potensi yang ada
pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai
tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha
mereka untuk mencapai tujuan organisasi.

Gambar 2. 2 Teori X dan Y oleh McGregor

‘Theory X’ ‘Theory Y’
10

management
staff

staff
oritarian, repressive style. Tight control, no development. Produces limited, depressed culture.

Theory Y - liberating and developmental. Control, achievement and continuous improvement achieved by enabling,
staff

Sumber: Alan Chapman, 2001 (www.businessballs.com)


staff management
5. Kesesuaian Teori Perilaku X dan Y Dengan Gaya Kepemimpinan
Jika melihat teori perilaku X dan Y, gaya kepemimpinan yang sesuai
diterapkan dalam suatu organisi adalah otoriter dengan demokratis atau sentralistik
dengan partisipatif. Pegawai/ karyawan dengan asumsi berperilaku teori X, maka
pemimpinnya akan cenderung menggunakan gaya otoriter atau sentralistik. Hal ini
disebabkan para pegawai/ karyawan ini membutuhkan tekanan atau dorongan kuat
dari atasan/ pemimpinnya untuk bekerja lebih giat. Mereka membutuhkan arahan dari
pimpinannya karena mereka tidak dapat bergerak sendiri. Menurut Rivai (2003),
kepemimpinan otoriter adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan metode
pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya,
sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi.
Pemimpin ini memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya
secara penuh. Selain itu, pemimpin ini akan membagi tugas dan tanggung jawab
sesuai keinginannya sendiri, sedangkan bawahannya hanya akan melaksanakan tugas
yang diberikan tersebut. Berikut ciri-ciri gaya kepemimpinan bertipe otoriter:
1. Tanpa musyawarah;
2. Tidak mau menerima saran dari bawahan;
3. Mementingkan diri sendiri dan kelompok;
4. Selalu memerintah;
5. Memberikan tugas mendadak;
6. Cenderung menyukai bawahan yang ABS (asal bapak senang);
7. Sikap keras terhadap bawahan;
8. Setiap keputusannya tidak dapat dibantah;
9. Kekuasaan mutlak di tangan pimpinan;
10. Hubungan dengan bawahan kurang serasi;
11. Bertindak sewenang-wenang;

11
12. Tanpa kenal ampun atas kesalahan bawahan;
13. Kurang mempercayai bawahan;
14. Kurang mendorong semangat kerja bawahan;
15. Kurang mawas diri;
16. Selalu tertutup;
17. Suka mengancam;
18. Kurang menghiraukan usulan bawahan;
19. Ada rasa bangga bila bawahannya takut;
20. Tidak suka bawahan pandai dan berkembang;
21. Kurang memiliki rasa kekeluargaan;
22. Sering marah-marah; dan
23. Senang sanjungan.

Ciri-ciri gaya kepemimpinan otoriter di atas sesuai/ cocok dengan individu/


pegawai yang diasumsikan berperilaku teori X. Pegawai dengan perilaku teori X
diasumsikan tidak dapat berbuat apa-apa, cenderung malas, dan cenderung menunggu
perintah dari atasan. Oleh karena itu, dibutuhkanlah pemimpin dengan gaya otoriter
seperti ciri-ciri di atas, cenderung mengambil keputusan sendiri dan cenderung senang
memerintah bawahannya. Hal ini juga berlaku untuk pemimpin dengan gaya
kepemimpinan sentralistik. Pemimpin dengan gaya seperti ini mengambil keputusan
secara terpusat atau keputusan berada di tangannya sendiri. Pemimpin ini tidak
menghendaki adanya campur tangan dari bawahannya.
Pegawai/ karyawan dengan asumsi berperilaku teori Y, maka akan sesuai
dengan pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan demokratis atau partisipatif.
Pegawai ini cenderung berinisiatif tinggi dalam mengerjakan pekerjaannya dan tidak
perlu menunggu disuruh untuk bekerja. Oleh karena itu dibutuhkan pemimpin yang
demokratis, yaitu pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para
bawahan. Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratis
mendeskripsikan pemimpin yang cenderung mengikutsertakan karyawan dalam
pengambilan keputusan, mendelegasikan kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan
dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan
memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih karyawan. Setiap
kali ada permasalahan, pemimpin dengan tipe ini selalu mengikutsertakan bawahan
sebagai suatu tim yang utuh. Selain itu, pemimpin juga memberikan banyak informasi

12
tentang tugas serta tanggung jawab bawahannya. Berikut ciri-ciri gaya kepemimpinan
demokratis:
1. Pendapatnya terfokus pada hasil musyawarah;
2. Tenggang rasa;
3. Memberi kesempatan pengembangan karier bawahan;
4. Selalu menerima kritik bawahan;
5. Menciptakan suasana kekeluargaan;
6. Mengetahui kekurangan dan kelebihan bawahan;
7. Komunikatif dengan bawahan;
8. Partisipasif dengan bawahan;
9. Tanggap terhadap situasi;
10. Kurang mementingkan diri sendiri;
11. Mawas diri;
12. Tidak bersikap menggurui;
13. Senang bawahan kreatif;
14. Menerima usulan atau pendapat bawahan;
15. Lapang dada;
16. Terbuka;
17. Mendorong bawahan untuk mencapai hasil yang baik;
18. Tidak sombong;
19. Menghargai pendapat bawahan;
20. Mau membirnbing bawahan;
21. Mau bekerja sama dengan bawahan;
22. Tidak mudah putus asa;
23. Tujuannya dipahami bawahan;
24. Percaya pada bawahan;
25. Tidak berjarak dengan bawahan;
26. Adil dan bijaksana;
27. Suka rapat (musyawarah);
28. Mau mendelegasikan tugas kepada bawahan;
29. Pemaaf pada bawahan; dan
30. Selalu mendahulukan hal-hal yang penting

13
Berdasarkan ciri-ciri kepemimpinan demokratis tersebut, maka akan sesuai
dengan pegawai yang diasumsikan memiliki perilaku teori Y. Selain gaya
kepemimpinan demokratis, gaya kepemimpinan partisipatif juga sesuai dengan
pegawai berperilaku teori Y ini. Gaya kepemimpinan partisipatif yaitu pemimpin yang
menghendaki para bawahannya untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan.
Pemimpin cenderung mendorong para bawahannya untuk ikut serta dalam
pengambilan keputusan ini.
Teori X melihat pegawai dari segi pesimitik, sehingga pemimpin akan
memimpin dengan gaya otoriter dan sentralistik, cenderung mengubah kondisi kerja
dan mengefektifkan penggunaan reward & punishment untuk meningkatkan
produktivitas karyawan. Sedangkan teori Y melihat pegawai dari segi optimistik,
sehingga pemimpin akan memimpin dengan gaya demokratis dan partisipatif,
cenderung melakukan pendekatan humanistik kepada mereka, menantang mereka
untuk lebih berprestasi, mendorong pertumbuhan pribadi, dan mendorong kinerja.
Namun bukan berarti pemimpin akan menghilangkan pengawasan pada mereka.
Pemimpin memang menghendaki para pegawai memberikan saran dan masukan
dalam pengambilan keputusan, namun tetap pemimpinlah yang akan menjaga
kekuasaan untuk melaksanakan keputusan tersebut.

14

Anda mungkin juga menyukai