Anda di halaman 1dari 76

KONSEP PENYAKIT SISTEM PERNAFASAN

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I
dengan dosen pembimbing Nina Gartika.,M.kep,

Disusun oleh

Kelompok 1
Intan Istiantika Nur Syifa 302020083 Devita Nurfariatu Aini 302020127
Fadhila Dewi Nurmansyah 302020087 Andi Muhammad Hakim 302020129
Muthiya Tri Agniya W 302020090 Resa Apriliani 302020139
Aisha Fauzia Rahma 302020091 Yofi Wibowo 302020144
Sopyan abdul aziz 302020093 Dissa Asharina Khairunnisa 302020146
Firda Yunita 302020097 Chika Febriani 302020152
Risa Nuraida 302020100 Aliya Anisa Syuri 302020153
Wanda Oktaria 302020113 Nurul Khofifah Indar P 302020157
Dwi Khairunisa 302020122

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG

Jalan K.H.A.Dahlan Dalam No.6 Bandung

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Makalah ini menjelaskan tentang “ Konsep dasar penyakit pada gangguan sistem
pernafasan ” makalah ini kami buat untuk memudahkan para pembaca memahami materi yang
akan disajikan. Dengan rangkuman materi yang kami dapatkan dari beberapa sumber diharapkan
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Dan tidak menutup kemungkinan dalam makalah ini terdapat kekurangan-kekurangan


baik penyajian maupun teknis penyusunannya sehingga sulit untuk dimengerti, maka dari itu
sudilah kiranya memberi kritik dan saran untuk lebih meningkatkan mutu pembuatan makalah
selanjutnya. Dan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan kami.

Bandung, 9 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan Makalah...................................................................................................3
1. Tujuan Umum...................................................................................................................3
2. Tujuan Khusus..................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................4
1. Sistem Pernafasan.................................................................................................................4
a. Pengertian Sistem Pernafasan...........................................................................................4
b. Anatomi Sistem Pernafasan..............................................................................................4
c. Fisiologi Sistem Pernafasan............................................................................................10
d. Risiko Sistem Pernafasan................................................................................................15
e. Biokimia Sistem Pernafasan...........................................................................................18
2. TB Paru...............................................................................................................................23
3. Kanker Paru........................................................................................................................29
4. Ca Naso Pharynk................................................................................................................34
5. Asma...................................................................................................................................41
6. Pneumonia..........................................................................................................................48
7. PPOK..................................................................................................................................58
8. COVID-19..........................................................................................................................62
BAB III PENUTUP......................................................................................................................67
A. Kesimpulan.........................................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................69
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dampak yang muncul dari kehidupam modern adalah terbentuknya pencemaran
lingkungan salah satunya adalah udara. Salah satu penyakit yang sering muncul di masyarakat
akibat hal ini adalah penyakit gangguan pernafasan. Penyakit gangguan pernafasan yang sudah
akut sering disebut juga dengan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). ISPA adalah penyakit
yang diakibatkan oleh virus atau bakteri yang menyerang saluran pernafasan mulai dari bagian
sinus, tenggorokan sampai paru-paru. Menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas), tahun 2007-
2011 sekitar 18 Juta penduduk dilaporkan memiliki prevalensi penyakit ini. ISPA dapat
menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit ini ditandai dengan batuk-batuk, kesulitan bernafas
dan dapat berujung pada kematian. Jika sudah pada tahap pneumonia akan menjadi sangat sulit
ditolong.

Masyarakat terkadang enggan untuk memeriksakan diri ke dokter dan cenderung


mengabaikan penyakit ini. Beberapa hal yang menjadi alasan adalah biaya, rasa malu, lamanya
antrian dan rasa takut karena khawatir bilamana mendapati terkena penyakit yang lebih parah.
Bagi sebagian masyarakat, untuk periksa ke dokter membutuhkan biaya yang tidak sedikit belum
lagi harus membeli obatnya selain itu juga harus menjalani antrian periksa yang tidak sebentar.
Selain itu, keterbatasan dokter spesialis paru-paru makin memperburuk keadaan ini.

Karena itulah diperlukan suatu sistem yang dapat membantu masyarakat dalam
mendiagnosa penyakit gangguan pernafasan sehingga nantinya masyarakat dapat lebih mudah
berkonsultasi untuk mengantisipasi dampak yang lebih buruk. Sistem ini bukan untuk
menggantikan kedudukan pakar, tetapi memasyarakatkan pengetahuan dan pengalaman seorang
pakar. Salah satu sistem yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis adalah sistem pakar.

Sistem pakar (Expert System) adalah bagian dari Kecerdasan Buatan (Artificial
Intelligence) yang berupa sistem informasi dengan pengetahuan dari pakar sehingga dapat
digunakan sebagai media konsultasi bagi siapa saja yang membutuhkan. Pengetahuan dari pakar
dalam sistem ini digunakan sebagai dasar oleh sistem pakar dalam menjawab pertanyaan ataupun
konsultasi. Bentuk umum sistem pakar adalah suatu program yang dibuat berdasarkan suatu set
aturan yang menganalisis informasi (biasanya diberikan oleh pemakai suatu sistem) mengenai
suatu masalah spesifik serta analisis matematis dari masalah tersebut. Sistem ini memanfaatkan
kapabilitas penalaran untuk mencapai suatu simpulan. Sistem pakar juga memiliki kemampuan

1
untuk menangani ketidakpastian. Ketidakpastian dalam sistem pakar adalah kurangnya
pengetahuan yang dapat membuat pakar bisa mencapai kesimpulan yang handal dengan baik
(Stephanou and Sage, 1987).

Salah satu metode untuk menangani ketidakpastian adalah Certainty Factor. Metode ini
dipilih karena dapat menampilkan nilai persentase kepercayaan terhadap fakta yang diidentifikasi,
selain itu juga metode ini dalam sekali hitung hanya dapat mengolah dua data saja sehingga
keakuratannya terjaga. 3 Sistem pakar gangguan pernafasan yang berbasis web ini diharapkan
memudahkan masyarakat dalam mendiagnosa penyakit gangguan pernafasan sehingga dapat
dilakukan upaya penanganan dan pencegahan sejak dini.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan pokok-pokok yang akan diuraikan. Pokok
permasalahan utama adalah konsep dasar penyakit dan pemeriksaan diagnostik pada
pasien dewasa dengan gangguan sistem pernafasan. Sangat penting untuk mengetahui
konsep penyakit dan pemeriksaan diagnostik pada gangguan sistem pernafasan ini. Oleh
sebab itu, rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut.
1. Apa itu sistem pernafasan ?
2. Bagaimana konsep dasar penyakit TB Paru?
3. Bagaimana konsep dasar penyakit Kanker Paru?
4. Bagaimana konsep dasar penyakit Ca Naso Pharynk?
5. Bagaimana konsep dasar penyakit Asma?
6. Bagaimana konsep dasar penyakit Pneumonia?
7. Bagaimana konsep dasar penyakit PPOK?
8. Bagaimana konsep dasar penyakit Covid-19?

2
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan merupakan suatu hal yang ingin dicapai dari suatu makalah. Adapun
tujuan penulisan dalam pembuatan makalah ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan
khusus yang diuraikan sebagai berikut.

1. Tujuan Umum
Tujuan umum merupakan tujuan penulisan secara menyeluruh dari yang ingin
dicapai dalam pembuatan makalah ini. Adapun tujuan umum dalam makalah ini
adalah untuk mengetahui konsep dasar penyakit dan pemeriksaan diagnostik pada
pasien dewasa dengan gangguan sistem pernafasan.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus merupakan tujuan penulisan yang lebih spesifik atau terperinci
yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini. Adapun tujuan khusus dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. untuk mengidentifikasi Sistem Pernafasan;
2. untuk mendeskripsikan konsep dasar penyakit TB Paru;
3. untuk mendeskripsikan konsep dasar penyakit Kanker Paru;
4. untuk mendeskripsikan konsep dasar penyakit Ca Naso Pharynk;
5. untuk mendeskripsikan konsep dasar penyakit Asma;
6. untuk mendeskripsikan konsep dasar penyakit Pneumonia;
7. untuk mendeskripsikan konsep dasar penyakit PPOK;
8. untuk mendeskripsikan konsep dasar penyakit Covid-19.

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Sistem Pernafasan

a. Pengertian Sistem Pernafasan


Respirasi adalah suatu proses mulai dari pengambilan oksigen sampai
pengeluaran karbon dioksida hingga menggunakan energi di dalam tubuh.

b. Anatomi Sistem Pernafasan

1) Hidung (Cavum Nasalis)


Hidung adalah jalan masuk udara utama dan terdiri atas rongga berukuran
besar yang tidak beraturan yang dibagi menjadi dua lubang yang sama besar oleh
suatu septum. Hidung dilapisi oleh epithelium kolumnar bersilia yang kaya
vascular (membrane mukosa bersilia) yang mengandung sel goblet yang
menyekresi mucus. Pada lubang hidung anterior, sel ini bersatu dengan kulit dan
pada bagian posterior meluas hingga ke faring. Lubang hidung anterior atau
nostril, merupakan saluran penghubung dari eksterior ke rongga nasal. Di sini
terdapat rambut hidung yang dilapisi mucus yang lengket Lubang hidung
posterior merupakan saluran dari rongga nasal ke faring. Sinus paranasal
posterior adalah rongga di tulang wajah cranium, yang berisi udara. Terdapat
sedikit ruang antara sinus paranasal dan rongga nasal.
Fungsi pernafasan pada Hidung
1) Jalan nafas pertama yang dilalui udara yang di inspirasi

4
2) Menghangatkan
3) Melembabkan
4) Menyaring uadara
5) Alat penciuman

2) Faring
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan saluran
yang memiliki panjang 12-14 cm dan memanjang dari dasar tengkorak dan
vertebra servikalis servikalis ke -6. Faring berada di belakang hidung, mulut dan
laring.
Faring dibagi menjadi tiga bagian :
1) Nasofaring (Saluran pernafasan bagian depan).
Bagian nasal faring terletak di belakang hidung dan di atas palatum molle.
2) Orofaring (Saluran pernafasan bagian belakang).
3) Laringofaring. Bagian laryngeal faring memanjang dari atas orofaring dan
berlanjut ke bawah osofagus, yakni dari vetebrata servikalis ke-3 hingga ke-6

 Fungsi faring
a) Saluran nafas dan makanan.
Faring adalah organ yang terlibat dalam system pencernaan dan
pernafasan: uadara masuk melalui bagian nasal dan oral, sedangkan makanan
memalui bagian oral dan laring.Makanya makan sambil bicara dapat
mengakibatkan makanan masuk ke saluran pencernaan karena saluran

5
pernafasan pada saat tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita
mengatur agar peristiwa menelan, bernafas, dan berbicara tidak terjadi
bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan.
b) Penghangat dan pelembab.
Dengan cara yang sama seperti hidung, udara dihangatkan dan
dilembabkan saat masuk ke faring
c) Berbicara.
Fungsi faring dalam bahasa adalah bekerja sebagai bilik resonansi untuk
suara yang naik dari laring (bersama sinus) membantu memberikan suara
yang khas pada tiap individu.

3) Laring
Laring atau kotak suara memanjang dari langitlangit lidah dan tulang
hiroid hingga trakea. Laring berada di depan laringofaring pada vertebra
servikalis ke -3,4, 5 dan 6. Saat pubertas, terdapat perbedaan ukuran laring pada
pria dan wanita. Selanjutnya, ukuran laring membesar pada pria, disebut jakun
(Adam’s Apple) dan umumnya menyebabkan pria memiliki suara yang lebih
berat. Laring merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan. Salah
satu tulang rawan pada laring disebut epiglottis . Epiglotis terletak di ujung
bagian pangkal laring.
 Fungsi Laring
a) Produksi suara.
Suara merupakan nada, volume, resonansi. Nada suara tergantung
pada panjang dan kerapatan pita suara. Pada saat pubertas, pita suara pria
mulai bertambah panjang, sehingga nada suara pria semakin rendah.
Volume suara tergantung pada besarnya tekanan pada pita suara yang
digetarkan. Semakin besar tekanan udara ekspirasi, semakin besar getaran
pita suara dan semakin keras suara yang dihasilkan. Resonansi bergantung
pada bentuk mulut, posisi lidah dan bibir, otot wajah, dan suara parasanal.
b) Berbicara.

6
Berbicara terjadi saat ekspirasi ketika suara yang dihasilkan oleh
pita suara dimanipulasi oleh lidah, pipi dan bibir.
c) Jalan masuk udara.
Laring berfungsi sebagai penghubung jalan nafas antara faring dan
trakea

4) Trakea
Trakea atau pipa angin merupakan kelanjutan dari faring dan memanjang
ke bawah hingga sekitar betebra ke-5 dimana trakea mengalami percabangan di
karima menjadi bronkus kanan dan kiri, dimana tiap bronkus menuju tiap paru
(kiri dan kanan). Panjang trakea sekitar 10-11 cm dan terutama terletak di
bagian median di depan osofagus.

7
 Fungsi Trakea
a) Penunjang dan menjaga kepatenan. Susunan jaringan kartilago dan elastic
menjaga kepatenan jalan nafas dan mencegah obtruksi jalan naffas saat
kepala dan leher digerakan.
b) Refleks Batuk Ujung saraf laring, trakea dan bronkus peka terhadap iritasi
sehingga membangkitkan impuls saraf yang dihantarkan oleh saraf vagus
ke pusat pernafasan di batang otak.

5) Bronkus

Bronchus adalah percabangan yang terdapat pada ujung batang tenggorok/trakea.


Struktur penyusun bronchus terdiri dari jaringan ikat, jaringan otot polos, dan
jaringan tulang rawan. Bronchus yang menuju ke paru - paru sebelah kiri bentuknya
lebih mendatar., sedangkan bronchus yang menuju ke paru - paru sebelah kanan
berbentuk lebih curam.
 Bronkus mempunyai dua percabangan :
a) Bronkus kanan.
Bronkus ini lebih besar, lebih pendek, dan lebih vertical daripada bronkus
kiri sehingga cenderung sering mengalami obstruksi oleh benda asing.
Panjang nya sekitar 2,5 cm,. setelah memasuki hilum, bronkus kanan terbagi
menjadi tiga cabang, satu untuk tiap lobus. Tiap cabang banyak cabang kecil.
8
b) Bronkus kiri.
Panjangnya sekitar 5 cm dan lebih sempit daripada bronkus kana. Setelah
sampai di hilum paru, bronkus terbagi menjadi dua cabang, satu untuk tiap
lobus. Tiap cabang kemudian terbagi menjadi saluran-saluran kecil dalam
substansi paru.
 Fungsi utama bronkus adalah menyediakan jalan bagi udara yang masuk
dan keluar paru-paru.

6) Paru – Paru

Terdapat dua paru, dimana masing masing terletak disamping garis medialis di
rongga toraks. Bentuk paru menyerupai kerucut terdiri atas bagian apeks, basal,
permukaan kosta dan permukaan medialis. Paru kanan dibagi menjadi tiga lobus yaitu
superior, medialis dan inferior. Paru kiri berukuran lebih kecil daripada paru kanan
karena jantung menempati ruang kiri garis medialis. Lobus kiri terdiri atas dua lobus
yaitu superior dan inferior.

9
7) Pleura

Pleura terdiri atas kantong membrane serosa yang tertutup dan berisi sedikit
cairan serosa. Paru paru terdesak ke dalam kantong ini sehingga membentuk dua
lapisan: satu lapisan melekat pada paru dan lapisan lainnya melekat pada dinding
rongga toraks.
Pleura Vicera. Pleura ini melekat pada paru, membungkus tiap lobus dan melalui
fisura yang memisahkan lobus ini.
Pleura Parietal. Pleura ini melekat di dalam dinding dada dan permukaan torasik
diafragma. Pleura tetap terpisah dari struktur yang berdekatan di mediastinum dan
bersambungan dengan pleura visera di tepi hilum.
Rongga Pleura. Rongga ini merupakan satu-satunya ruang kosong. Dalam kondisi
sehat, dua lapis pleura dipisahkan oleh selaput cairan serosa yang memungkinkan
lapisan bergerak bebas satu sama lain, dan mencegah gesekan antara lapisan saat
bernafas. Cairan serosa disekresikan oleh sel epithelial membrane.

c. Fisiologi Sistem Pernafasan


Respirasi dapatdibedakan menjadi dua proses yaitu :
a) Respirasi Dalam (Internal) merupakan pertukaran antara O2 dan CO2 antara
darah dan udara
b) Respirasi Luar (Eksternal) merupakan pertukaran O2 dan CO2 dari aliran darah
ke sel sel tubuh
 Proses Respirasi Eksternal
a) Ventilasi

10
Udara bergerak masuk dan keluar dari paru-paru karena adanya perbedaan
tekanan antara atmosfer dan alvelolus serta dibantu oleh kerja mekanik otot-otot
pernafasan. Selama inspirasi volume torak bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Muskulus
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas, sedangkan muskulus
searttus, skleleneus , serta interkoostalis eksternus berperan mengangkat iga.
Mekanisme ventilasi
Selama inspirasi, udara berjalan dari luar ke dalam trakea, bronki, bronkiolus,
dan alveoli. Selama ekspirasi gas alveolar berjalan seperti inspirasi dengan alur
terbalik. Faktor fisik yang mempengaruhi jalan udara masuk dan keluar paru
adalah gabungan dari ventilasi mekanik yang terdiri atas perbedaan tekanan udara,
resistensi jalan udara dan compliance paru.
b) Difusi
Stadium kedua dari proses respirasi mencakup proses difusi gas-gas melintasi
membrane antara alveolus kapiler yang tipis. Kekuatan pendorong untuk
pemindahan ini adalah perbedaan tekanan parsial antara darah dan fase gas.
Tekanan oksigen dalam atmosfer pada tekanan laut + 149 mmHg (21% dari 760
mmHg) Pada saat oksigen di inspirasi dan sampai pada alveolus maka tekanan
parsial ini mengalami penurunan sampai 103 mmHg akibat udara tercampur
dengan ruang rugi anatomis pada saluran udara dan juga dengan uap air.
c) Transportasi Gas
Transportasi gas merupakan proses pendistribusian 02 kapiler ke jaringan
tubuh dan CO2 jaringan tubuh ke kapiler. Pada proses transportasi o2 akan
berikatan dengan Hb membentuk Oksihemoglobin (97%) dan larut dalam plasma
(3%) sedangkan CO2 akan berikatan dengan Hb membentuk
karbominohemoglobin (30%), larut dalam plasma (5%), dan sebagian menjadi
HC03 yang berada dalam dalam darah (65%).
Tranportasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa factor , yaitu curah jantung
(cardiac ouput), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise), perbandingan sel
darah secara keseluruhan (hematokrit), serta eritrosit dan kadar Hb.
 Siklus pernafasan.

11
Rata rata frekuensi nafas normal adalah 12-15 kali nafas per menit.
Tiap pernafasan terdiri atas inspirasi, ekspirasi dan istirahat.
1) Inspirasi
Saat kapasitas toraks meningkat oleh kontraksi simultan otot interkosta
dan diafragma, pleura parietal bergerak bersama otot interkosta dan diafragma.
Hal ini mengurangi tekanan di dalam rongga pleura hingga tekanan tersebut lebih
rendah daripada tekanan atmosfer. Pleura vicera mengikuti pleura parietal,
menarik paru bersamasama. Hal ini menyebabkan paru mengembang dan tekanan
di dalam alveoli dan di jalan nafas menurun sehingga udara ditarik (masuk) ke
paru agar menyamakan tekanan udara atmosfer dan paru. Proses ini berlangsung
aktif karena menggunakan energi untuk kontraksi otot. Tekanan negative yang
dihasilkan dalam rongga toraks membantu aliran balik vena ke jantung dan
disebut sebagai pompa respiratorik. Pada saat instirahat, inspirasi berlangsung
sekitar 2 detik.
2) Ekspirasi
Relaksasi otot intercosta dan diafragma menyebabkan gerakan sangkar iga
ke bawah dan ke dalam dan lentur paru. Saat ini terjadi, tekanan di dalam paru
lebih daripada tekanan atmosfer sehingga udara dikeluarkan dari saluran nafas.
Paru masih berisi sebagian udara dan dicegah dari kondisi kolaps total oleh pleura
yang utuh. Proses ini terjadi pasif sehingga tidak memerlukan pengeluaran energi.
Saat istirahat, ekspirasi berlangsung sekitar 3 detik. Setelah ekspirasi terdapat
keadaan istirahat sebelum siklus berikutnya dimulai

Mekanisme pernapasan dibagi dua :

12
 Pernapasan dada

Pernafasan dada otot yang berperan penting adalah otot antar tulang rusuk.
Otot tulang rusuk dapat dibedakan menjadi dua yaitu otot tulang rusuk luar dan
yang berperan dalam mengangkat tulang-tulang rusuk dan tulang rusuk dalam
yang berfungsi menurunkan atau mengembalikan tulang rusuk dalam yang
berfungsi menurunkan atau mengembalikan tulang rusuk ke posisi semula.Bila
otot antar tulang rusuk luar berkontraksi, maka tulang rusuk akan terangkat
sehingga volume dada bertambah besat. Bertambah besarnya akan menyebabkan
tekanan dalam rongga dada lebih kecil dari pada tekanan rongga dada luar.
Karena tekanan udara kecil pada rongga dada menyebabkan aliran uadara
mengalir dari luar tubuh, proses ini disebut proses inspirasi.
Sedangkan pada proses ekspirasi terjadi apabila kontraksi dari otot
dalam, tulang rusuk kembali ke posisi semula dan menyebabkan tekanan udara di
dalam tubuh meningkat. Sehingga dan menyebabkan tekanan udara di dalam
paru-paru tertekan di rongga dada, dan aliran udara terdorong ke luar tubuh,
proses ini disebut ekspirasi
 Pernapasan Perut

13
Pada pernafasan ini otot yang berperan aktif adalah otot diagragma dan
otot dinding rongga perut. Bila otot diafragma berkontraksi, posisi diafragma akan
mendatra. Hal ini menyebabkan volume rongga dada bertambah besar sehingga
tekanan udaranya semakin kecil. Penurunan tekanan udara menyebabkan
mengembangnya paru paru, sehingga udara mengalir measuk ke paru-paru
(inspirasi).
 Volume Dan Kapasitas
Paru Paru dan saluran nafas tidak pernah kosong. Saat terjadi pertukaran
gas pada dinding duktus dan alveoli, kapasitas saluran udara yang tersisa diparu
disebut ruang mati anatomis (150 ml)
a) Volume Tidal ( tidal volume= TV) merupakan jumlah udara yang masuk dan
keluar paru saat tiap siklus pernafasan (sekitar 500 ml dalam kondisi istirahat)
b) Volume Cadangan Respirasi (Inpiratory Reserve Volume= IRV) adalah
volume udara tambahan yang dapat dihirup ke paru pada saat inspirasi
maksima yakni lebih dari TV normal . Volume IRV pada laki-laki 3,3 liter,
sedangkan wanita 1.9 liter
c) Kapasitas inspirasi (Inspiratory Capacity= IC ) adalah jumlah udara yang
dapat di inspirasi dengan upaya maksimun. IC terdiri atas volume tidal
(500ml) dan IRV.

14
d) Kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity, FRC) adalah
jumlah sisa udara dalam saluran nafas dan alveoli di akhir ekspirasi. FRC
mencegah alveoli kolaps saat ekspirasi biasa dan mencegah perubahan
konsentrasi gas darah.
e) Volume cadangan ekspirasi (Expiratory Reserve Volume, ERV) adalah
volume udara terbesar yang dapat dikeluarkan dari paru saat ekspirasi
maksimal. Volume ERV pada laki-laki 1 liter, sedangkan wanita 0.7 liter
f) Volume Residu ( Residual Volume, RV) tidak dapat langsung di ukur, tetapi
volume ini merupakan volume udara sisa di paru setelah ekspirasi paksa. Rata
rata 1200 CC
g) Kapasitas Vital ( Vital Capacity, VC) adalah volume maksimum udara yang
dapat masuk dan keluar paru. VC= (Volume Tidal + IRV + ERV) + 4600 cc

d. Risiko Sistem Pernafasan


1. Definisi
Infeksi saluran pernapasan atau respiratory tract infections adalah infeksi
yang menyerang saluran pernapasan manusia. Infeksi ini disebabkan oleh bakteri
atau virus. Berdasarkan lokasinya, infeksi saluran pernapasan dibagi menjadi dua
jenis, yaitu infeksi saluran pernapasan atas dan bawah.
Infeksi saluran pernapasan atas atau upper respiratory tract
infections (URI/URTI) adalah infeksi yang terjadi pada rongga hidung, sinus, dan
tenggorokan. Beberapa penyakit yang termasuk dalam infeksi ini adalah pilek,
sinusitis, tonsillitis, dan laryngitis. Infeksi saluran pernapasan bawah atau lower
respiratory tract infections (LRI/LRTI) terjadi pada jalan napas dan paru-paru.
Contoh infeksi saluran pernapasan bawah adalah bronkitis, bronkiolitis, dan
pneumonia.

2. Faktor resiko infeksi saluran pernafasan

Infeksi saluran pernapasan dapat dialami oleh segala usia. Namun, kondisi
ini lebih rentan diidap oleh anak-anak karena sistem pertahanan tubuh mereka
terhadap virus penyebab infeksi belum terbentuk

15
3. Etiologi

Beberapa jenis virus atau bakteri yang biasanya menjadi penyebab infeksi saluran
pernapasan, antara lain:

 Infeksi saluran pernapasan atas, di antaranya adalah Influenza dan


Parainfluenza, Thinoviruses, Epstein-Barr Virus (EBV), Respiratory Syncytial
Virus (RSV), Streptococcus grup A, Pertussis, serta Diphteria.

 Infeksi saluran pernapasan bawah, di antaranya adalah Influenza A, human


metapneumovirus (hMPV), Respiratory Syncytial Virus (RSV), Varicella-
Zoster Virus (VZV), Streptococcus pneumoniae, H. influenza, Klebsiella
pneumoniae, Enterobacteria, Staphylococcus aureus, dan bakteri anaerob

 Infeksi saluran pernapasan bisa menular jika kamu tidak sengaja menghirup
percikan air liur yang mengandung virus atau bakteri yang dikeluarkan
pengidap saat ia batuk atau bersin. Selain itu, infeksi saluran pernapasan juga
bisa menular melalui media perantara, yaitu barang-barang yang sudah terpapar
virus atau bakteri dari pengidap.

4. Gejala infeksi saluran pernafasan

1. Gejala infeksi saluran pernapasan atas umumnya berlangsung selama 3


hingga 14 hari, antara lain:

 Batuk  Nyeri otot

 Hidung tersumbat  Nyeri


tenggorokan
 Pilek
 Nyeri kepala
 Bersin-bersin
 Demam

2. Gejala infeksi saluran pernafasan bawah antara lain:

 Batuk berdahak

 Sesak nafas

 Demam

5. Diagnosis

16
Dokter akan mendiagnosis infeksi saluran pernapasan dengan melakukan
wawancara medis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, meliputi:

 Foto Rontgen dada untuk melihat corakan dan kondisi paru-paru serta jalan
napas.

 Pemeriksaan darah untuk melihat peningkatan jumlah sel darah putih dalam
darah yang merupakan tanda infeksi.

 Pemeriksaan dahak atau kultur dari sampel dahak untuk melihat pertumbuhan
bakteri.

6. Komplikasi

Komplikasi yang bisa terjadi akibat infeksi saluran pernapasan, antara


lain:

 Infeksi saluran pernapasan atas, meliputi pneumonia, bronkitis, infeksi


telinga tengah (otitis media), atau meningitis yang menyebar dari sinusitis

 Infeksi saluran pernapasan bawah, •meliputi sepsis, empiema, abses paru,


dan efusi pleura.

7. Penatalaksanaan
Pada infeksi saluran pernapasan atas, seperti bronkitis, dan bronkiolitis yang
umumnya disebabkan oleh virus, tidak perlu diobati, karena biasanya bisa sembuh
dengan sendirinya tanpa pengobatan. Pengidap dapat meredakan gejala dengan
mandi air hangat, minum air hangat, berkumur air garam, mengompres wajah
dengan air hangat, menghindari udara dingin, banyak minum air, dan beristirahat.
Pengidap juga dapat mengonsumsi obat yang dijual bebas, seperti paracetamol
untuk demam atau obat batuk pilek lainnya.
Pada infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri, dokter akan
memberikan antibiotik. Tujuan pemberian obat tersebut adalah untuk mengobati
infeksi dan mencegah komplikasi.
8. Pencegahan
Beberapa upaya pencegahan infeksi saluran pernapasan, antara lain:
 Mengonsumsi makanan sehat dan bergizi seimbang.
 Berolahraga secara teratur.

17
 Berhenti merokok dan menghindari asap rokok.
 Mengurangi tingkat stres.
 Menghindari kontak langsung dengan pengidap infeksi.
 Mencuci tangan setelah melakukan kegiatan.
 Selalu menutup mulut dan hidung setiap bersin atau batuk.

 Menjaga kebersihan diri dan barang-barang di sekitar.


 Mendapatkan vaksin flu untuk melindungi diri dari infeksi saluran
pernapasan, khususnya bagi anak-anak.
e. Biokimia Sistem Pernafasan
Fungsi primer: mengambil O2 untuk diberikan kepada sel dan mengambil CO2
yang dihasilkan oleh sel. Pernapasan (respirasi) mencakup pertukaran antara dua gas
yaitu O2 dan CO2 , yang berlangsung antara tubuh dengan lingkungannya.

PERTUKARAN GAS

 Respirasi eksternal: - pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal


dengan sel - secara efisien disebabkan karena alveoli dan kapiler mempunyai
dinding yang sangat tipis

 Respirasi Internal: - terjadi pada level jaringan - terjadi pertukaran O2 dan CO2
antara plasma dan jaringan

 Respirasi intraselular: menggunakan O2 untuk menghasilka ATP dan


menghasilkan CO2

 Terjadi dengan mekanisme simple difussion berdasarkan perbedaan tekanan


parsial

1) TRANSPORT OKSIGEN (O2 )

18
Transpor t oksigen dari udara dalam atmosfir sampai masuk Ke dalam sel,
berlangsung dalam 5 tahap, yaitu :

1. Dari atmosfir ke alveoli


2. Dari alveoli masuk ke pembuluh darah
3. Peredaran oksigen dalam darah
4. Dari darah masuk ke dalam cairan interstitial
5. Dari cairan interstitial masuk ke dalam sel

TAHAP I

 Oksigen dalam atmosfir masuk ke dalam paru-paru pada waktu kita menarik
napas
 Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir ialah 159 mmhg
 Dalam alveoli, komposisi udara berbeda dgn komposisi udara atmosfir
 Tekanan parsial O2 di dalam alveoli ialah 105 mmhg

TAHAP II

 Darah mengalir dari jantung menuju ke paru-paru untuk mengambil o2 di


alveoli.
 Dalam darah ini terdapat O2 yg mempunyai tekanan parsial 40 mmhg
 Karena adanya perbedaan tekanan parsial ini, apabila darah tiba pada pembuluh
kapiler yg berhubungan dgn membran alveoli, maka o2 yg berada alveoli dapat
berdifusi masuk ke dlm pembuluh darah kapiler.
 Setelah terjadinya proses difusi, tekanan parsial oksigen dalam pembuluh darah
menjadi 100 mmhg

TAHAP III

 Oksigen yg berada dlm pembuluh darah diedarkan ke seluruh tubuh


 Ada 2 mekanisme peredaran oksigen dalam darah :
1. Oksigen larut dlm plasma darah (98,5%)

19
2. Oksigen terikat pada Hb Dlm sel darah (1,5%)
 Sebagian besar oksigen dalam darah diedarkan dgn mekanisme yg ke-2
 Pada jaringan atau sel, dimana pO2 sangat rendah, Hb dapat melepaskan hampir
semua O2 yg diikatnya dan memberikan kepada sel untuk reaksi metabolisme.
 pCO2 berperan dlm proses pelepasan O2 ke dalam sel dalam sel terjadi reaksi
metabolisme yg menghasilkan CO2
 Bila pCO2 > dari pO2 berarti % CO2 lebih besar dan pH lebih rendah. pada pH
lebih rendah, afinitas Hb terhadap O2  sehingga mempermudah terlepasnya
O2 dari Hb.

TAHAP IV

 Sebelum sampai pada sel yg membutuhkan, oksigen dibawa melalui cairan


interstitial terlebih dahulu.
 Tekanan parsial O2 dalam cairan interstitial atau cairan antar sel adalah 20
mmhg.
 Perbedaan tekanan parsial oksigen dalam pembuluh arteri (100 mmhg) dgn
tekanan parsial O2 dlm cairan interstitial (20 mmhg) menyebabkan terjadinya
difusi oksigen yg cepat dari pembuluh darah ke dalam cairan interstitial

TAHAP V

 Tekanan parsial O2 dlm sel ± antara 0 – 20 mmhg.


 Oksigen dari cairan interstitial berdifusi masuk ke dalam sel.
 Dalam sel, O2 digunakan untuk reaksi metabolisme, yaitu reaksi oksidasi
senyawa yg berasal dari makanan (karbohidrat, lemak & protein)
menghasilkan H2O, CO2 dan energy
2) TRANSPOR KARBONDIOKSIDA (CO2 )
CO2 dihasilkan dari reaksi oksidasi dalam sel . Pada proses oksidasi
digunakan banyak O2 dan dihasilkan CO2 dlm jumlah banyak . Oleh karena
itu, tekanan parsial CO2 dalam sel cukup tinggi, yaitu ± 70 mmHg. Tekanan
parsial CO2 dlm cairan interstitial 60 mmHg, dan dalam pembuluh darah vena

20
46 mmHg. Perbedaan tekanan yang cukup besar ini mengakibatkan terjadinya
difusi CO2 keluar dari sel, masuk ke cairan interstitial dan kemudian masuk
ke dala.m pembuluh darah vena untuk diangkut ke paru-paru dan dilepaskan
dari pembuluh darah ke alveoli.
Hanya sekitar 5 % dari seluruh CO2 diangkut oleh darah dgn cara melarut
dalam plasma, 95% berdifusi ke dalam eritrosit. Ada 2 mekanisme transpor
CO2 oleh eritrosit :
1. Bergabung dgn Hb membentuk karbaminhemoglobin (20%)
2. Bereaksi dgn air membentuk asam karbonat (75%)
Dalam plasma CO2 larut dan membentuk asam karbonat (H2CO3 ) yg
terurai menjadi ion HCO3 - dan ion H+ . Reaksi pembentukan H2CO3 dalam
plasma relatif lambat, maka hanya sedikit yang diangkut dengan cara ini.

Mekanisme tubuh untuk menjaga agar pH plasma dalam kondisi normal :


 Melalui sistem buffer darah dan jaringan
 Ekskresi CO2 oleh paru-paru dan ekskresi H+ oleh ginjal
 Regenerasi HCO3 - oleh ginjal

PERAN GINJAL TERHADAP BIKARBONAT DAN H+ :

 Ginjal tidak hanya mensekresi H+ tetapi juga regenerasi ion bikarbonat


 Ginjal berperan dalam keseimbangan asam basa
3) REGENERASI BIKARBONAT
Ion bikarbonat secara bebas difiltrasi oleh glomerulus. Konsentrasi
bikarbonat dalam lumen tubulus ekuivalen dengan plasma. Bila bikarbonat
tidak direabsorbsi, deplesi kapasitas buffer plasma
4) Penyangga (Buffer)
Empat penyangga utama tubuh yang membantu memelihara pH agar tetap
konstan adalah:
- Sistem penyangga bikarbonat/asam bikarbonat (NaHCO3 dan H2CO3)

21
- Sistem penyangga binatrium/ mononatrium fosfat (Na2HPO4 dan
NaH2PO4)
- Sistem penyangga dalam eritrosit (HbO2 - dan HHbO2)
- Sistem penyangga protein (Pr- dan HPr)
5) Keseimbangan Asam-Basa
 Agar reaksi kimia dapat berjalan lancar pH darah harus dipertahankan
dalam kisaran 7.35 -7.45
 Untuk mempertahankan kisaran pH tersebut maka berperan
- system buffer (beraksi dlm beberapa detik)
- respirasi (beraksi dlm 1-3 menit)
- ginjal (beraksi dlm jam sampai hari)
 Jika pH darah berada di bawah 7, 35 acidosis
 Jika pH darah berada di atas 7, 45 alkalosis

Tubuh menggunakan 3 mekanisme untuk mengendalikan keseimbangan


asam-basa darah:

1. Kelebihan asam akan dibuang oleh ginjal, sebagian besar dalam bentuk
amonia.

2. Tubuh menggunakan penyangga pH (buffer) dalam darah sebagai


pelindung terhadap perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dalam pH darah.

3. Pembuangan karbondioksida.

Sebab gangguan keseimbangan asam basa :

1. Asidosis respiratorik, adalah keasaman darah yang berlebihan karena


penumpukan karbondioksida dalam darah sebagai akibat dari fungsi
paru-paru yang buruk atau pernafasan yang lambat
2. Asidosis metabolik, adalah keasaman darah yang berlebihan yang
ditandai dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah.

22
3. Alkalosis respiratorik, adalah suatu keadaan dimana darah menjadi basa
karena pernafasan yang cepat dan dalam sehingga menyebabkan kadar
karbondioksida dalam darah menjadi rendah
4. Alkalosis metabolic, adalah suatu keadaan dimana darah dalam keadaan
basa karena tingginya kadar bikarbonat.

Istilah-istilah Respirasi
a. Hypocapnia : PCO2 arteri rendah < 4,8 kPa.
b. Hypercapnia: PaCO2 tinggi, > 6 kPa.
c. Hypoxaemia : Oxigenasi kurang dalam darah.
d. Hypoxia : Oxygenasi jaringan kurang.
e. Hyperventilasi : frekuensi napas lebih contoh: akibat adanya hypocapnia.
f. Hypoventilasi : pernapasan kurang akibat perubahan metabolisme &
hypercapnia.

Kepentingan biomedis

 Bakteri Anaerobik mampu hidup tanpa ada nya oksigen (O2) tapi pada
hewan yang lebih tinggi hewan & manusia mutlak perlu O2.
 Pengguanan utama Oxigen dalam proses Respirasi yi pengambilan
energi oleh sel dalam bentuk ATP. Dari reaksi terkendali antara O2 &
H. mhbtk air (H2O) .
 Oxigenase menyatukan mol.O2
 Obat-obat , pollutan, karsinogen kimia (xenobiotik) dapat
dimetabolisir enzym oxigenase dengan sistim Sitokhrom P 450
 Terapi Hyperbarik dpt menyelamatkan orang atau bisa juga
menyebabkan keracunan oxigen.

2. TB Paru
b. Definisi TB Paru
TB adalah singkatan dari “Tubercle Bacillus” atau tuberculosis merupakan
infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh micobackterium tuberculosis dan
ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh
hipersentivitas yang diperantarai-sel. Penyakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat

23
mengenai orang lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit
yang aktif, biasa terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan
kematian. Bakteri Tuberculosis biasanya menyerang paru-paru (sebagai TB paru)
tetapi TB bisa juga menyerang system syaraf pusat. Penyakit TB adalah penyakit
yang umum dan sering kali mematikan. TB menular melalui udara, ketika orang-
orang yang memiliki penyakit TB batuk, bersin, atau meludah.
Gejala klasik infeksi TB aktif yaitu batuk kronis dengan bercak darah sputum
atau dahak, demam, berkeringat di malam hari, dan berat badan turun. (dahulu TB
disebut penyakit "konsumsi" karena orang-orang yang terinfeksi biasanya mengalami
kemerosotan berat badan.) Infeksi pada organ lain menimbulkan gejala yang
bermacam-macam. Diagnosis TB aktif bergantung pada hasil radiologi (biasanya
melalui sinar-X dada) serta pemeriksaan mikroskopis dan pembuatan kultur
mikrobiologis cairan tubuh. Sementara itu, diagnosis TB laten bergantung pada tes
tuberkulin kulit/tuberculin.

c. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis, basilusi tuberkel, adalah satu diantara lebih dari
30 anggota genus mycobacterium yang dikenal dengan baik, maupun banyak yang
tidak tergolongan. Bersama dengan kuman yang berkerabat dekat, yaitu M.bovis ,
kuman ini menyebabkan tuberkolosis. M.leprae merupakan agen penyebab penyakit
lepra . M. avium dan sejumlah spesies mikobakterium lainnya lebih sedikit
menyebabkan penyakit yang biasa terdapat pada manusia . sebagian besar
mikobakterium tidak pathogen pada manusia, dan banyak yang mudah diisolasi dari
sumber lingkungan.
Mikobakterium dibedakan dari lipid permukaannya, yang membuatnya tahan-
asam sehingga warnanya tidak dapat dihilangkan dengan alcohol asam setelah
diwarnai. Karena adanya lipid ini, panas atau deterjen biasanya diperlukan untuk
menyempurnakan pewarnaan primer.
Yang penting untuk dipahami pada pathogenesis tuberculosis adalah
mengenali bahwa M.tuberculosis mengandung banyak zat imunereaktif. Lipid
permukaan pada mikobakterium dan komponen peptidoglikan dinding sel yang larut
dalam air merupakan tambahan yang penting yang dapat menimbulkan efeknya

24
melalui kerja primernya pada makrofag pejamu. Mikrobakterium mengandung suatu
kesatuan antigen polisakarida dan protein, sebagian mungkin spesifik spesies tetapi
yang lainnya secara nyata memiliki epitop yang luas diseluruh genus.
Hipersensitivitas yang diperantarai sel khas untuk tuberculosis dan merupakan
determinan yang penting pada pathogenesis penyakit.

d. Tanda & Gejala

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara
klinik.

Gejala sistemik/umum

 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza
dan bersifat hilang timbul.
 Penurunan nafsu makan dan berat badan.
 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

Gejala khusus

 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah
yang disertai sesak.
 Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada
muara ini akan keluar cairan nanah.

25
 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya
penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang
kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif.
Pada anak usia 3 bulan � 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC
paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan
pemeriksaan serologi/darah.

e. Patofisiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuknya
M.tuberculosis ke dalam sistem respirasi. Kuman ini dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada Makrofag dan
limfosit T bekerja sama untuk mencegah penyebaran infeksi dengan membentuk
granuloma Droplet nuclei disertai M.tuberkulosis terinhalasi, masuk ke paru dan
terdeposit di alveoli
Apabila terjadi penurunan sistem imun, dinding menjadi kehilangan integritas dan
kuman dapat terlepas lalu menyebar ke alveoli lain dan organ lain tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembapan. Dalam suasana lembap dan gelap,
kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Setelah masuk ke paru,
kuman ini dihadapi pertama kali oleh netrofil, kemudian baru oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag dan keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dan sekretnya.
Interaksi antara kuman dengan reseptor makrofag, yaitu Toll-like receptors (TLRs)
menghasilkan kemokin dan sitokin yang dikenal sebagai sinyal infeksi. Sinyal ini
menyebabkan berpindahnya monosit dan sel dendritik dari aliran darah ke tempat
infeksi pada paru. Sel dendritik memegang peranan penting sebagai presenter antigen
pada fase awal infeksi dibandingkan makrofag serta berperan dalam aktivasi sel T
dengan antigen spesifik dari M. tuberculosis. Sel dendritik yang menelan kuman

26
menjadi matur dan bermigrasi ke limfonodi. Fenomena dari migrasi sel menuju focus
infeksi menyebabkan terbentuknya granuloma.
Granuloma dibentuk oleh sel T, makrofag, sel B, sel dendritik, sel endothel dan
sel epitel. Granuloma ini pada dasarnya mencegah penyebaran kuman dalam
makrofag dan menghasilkan respon imun yang berhubungan dengan interaksi antara
sekresi cytokines oleh makrofag dan sel T. Granuloma menjadi sarang kuman dalam
periode yang lama (atau disebut Fokus Ghon). Sarang primer ini dapat terjadi di
setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai pleura, maka dapat terjadi efusi
pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe,
orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian kuman masuk ke dalam
vena dan menyebar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila
masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi
TB milier.Selain itu dapat pula terjadi limfadenitis regional dan limfangitis lokal.
Sarang primer, limfangitis lokal dan limfadenitis regional disebut sebagai Kompleks
Primer (Ranke). Semua proses ini dapat memakan waktu 3-8 minggu. Apabila terjadi
ketidakseimbangan cytokines maka kuman akan terlepas dan terjadi reaktivasi
penyakit.

f. Pemeriksaan Penunjang
1)   Kultur sputum : positif untuk mycrobacterium tuberculosis
2) Ziehl-Neelsen : positif untuk basil-basil asam cepat
3) Teskulit (PPD, Mantoux, Potongan volumer) menunjukkan : infeksi masa lalu
dan adanya anti bodi, tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif.
4) Foto thorax : menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas.
5) Histologi atau kulutr jaringan: positif untuk mycobacterium tuberculosis.
6) Pemeriksaan fungsi paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, dan penurunan satuarasi
desigen sekunder terhadap infiltrasi perenkim atau fibrosis, kehilangan jaringan
paru dan penyakit pleural.

g. Penatalaksanaan
1) Pengobatan/farmakologi
Terapi obat
Prognosis baik jika pasien tidak mengalami gangguan imun. Nutrisi yang
baik,pengurangan konsumsi alcohol, dan kepatuhan pada terapi obat merupakan

27
factor-faktor penting. TB paru nonkomplikata diobati selama 6 bulan. Pada awalnya,
sekurang-kurangnya digunakan tiga obat, untuk mencegah perkembangan strain yang
resisten. Regimen yang dianjurkan adalah rifampisin, pirazinamid, dan isozianid
selama 4 bulan. Tambahan piridoksin mencegah neuropati perifer akibat isozianid.
Fungsi hati sebaiknya dipantau, karena rifampisin dan pirazinamid dapat
menyebabkan disfungsi hati. Jika dicurigai terjadi resistensi obat ( rekurensi TB pada
pasien yang tidak patuh ) , maka regimen empat obat ( tambahkan etambutol ) dapat
di mulai. Bila ada hasil kultur, obat alternatif akan menggantikan obat yang tidak
sensitive untuk mikobakterium.

Etambutol ( pantaulah penglihatan warna untuk neuritis optikus). Steptomisin


( pantaulah kadar plasma untuk menghindari gangguan pendengaran ) atau
siprofloksasin dapa digunakan. Pada TB Paru berat, kortikosteroid kadang – kadang
memperbaiki hasil.

Di beberapa organ ( misalnya tulang ), TB diobati lebih lama, sering dengan obat-
obat tambahan. Pada TB meningeal atau serebral,regimen empat obat selama 12
bulan dengan tambahan steroid dianjurkan, untuk memastikan penetrasi otak yang
adekuat dan mencegah kompresi nervus kranialis akibat pembentukan parut
meningeal.

28
obat yang digunakan dalam
pengobatan tuberkulosis
Obat Dosis dewasa harian yang Toksisitas utama
lazim
Isoniazid 300 mg Hepatitis,neuropati
perifer,demam, obat
Rifampin 600 mg Hepatitis, sindroma mieip
influenza , trombositpenia
(jarang)
Streptmisin 0,75-1g Tuli, penurunan fungsi
vestibular, penurunan fungsi
ginjal
Pirazinamid 1,5-2g Hepatitis, hiperurisemia
Etambutol 15 mg/kg Neuritis optic
p- asam amino-salisat 12g Diare, hepatitis,reaksi
hipersensitivitas
Etionamid 1g Hepatitis
Siklosein 1g Depresi,perubahan
kepribadian,kejang
Tiasetazon 150 mg Dermatitis
Kanamisin 1g Tuli, penurunan fungsi ginjal
Kareomisin 1g Tuli. Penurunan fungsi ginjal
Viosimin 1g Tuli, penurunan fungsi ginjal

Tabel 1. Obat yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis

Prinsip obat

Obat TB di berikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah


cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,supaya semua kuman dapat dibunuh.
Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan dalam dosis tunggal,sebaiknya
pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yangdigunakan tidak adekuat, kuman

29
TB akan berkembangmenjadi kuman kebal. Pengobatan TB diberikan dalan 2 Tahap
yaitu:

a)      Tahap intensif 

Pada tahap intensif penderita mendapat obat (minumobat) setiap hari selama 2 -
3 bulan.

b)      Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat (minumobat) tiga kali seminggu
selama 4 – 5 bulan.

g. Terapi diet
1. Jenis diet
Jenis diet yang diberikan pada pasien Tuberkolosis Paru adalah diet tinggi kalori tinggi
protein (TKTP).
2. Tujuan Diet
Tujuan diet tinggi kalori tinggi protein adalah untuk:
a. Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah
dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh.
b. Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal.
3. Syarat Diet
a. Energi tinggi,yaitu 40-45 kkal/kg BB.
b. Protein tinggi,yaitu 1,5-2,5 g/kg BB.
c. Lemak cukup,yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total.
d. Karbohidrat cukup,yaitu sisa dari kebutuhan energi total.
e. Vitamin dan mineral cukup,sesuai kebutuhan normal.
f. Makanan diberikan dalam bentuk mudah cerna.

30
3. Kanker Paru

a. Definisi
Kanker paru adalah kanker pada lapisan epitel saluran napas (karsinoma
nonkogenik). Kanker paru tumbuh dimana saja di paru. Sel-sel kanker pada paru-
paru terus tumbuh tidak terkendali. Penyakit ini lama kelamaan dapat menyerang
seluruh tubuh. Salah satu pemicu kanker paru-paru adalah kebiasaan merokok.
Merokok dapat memicu terjadinya kanker paru-paru dan kerusakan paru-paru.
b. Etiologi

Etiologi tersering dari kanker paru adalah paparan terhadap asap rokok. Paparan
asbestos berkaitan dengan kanker paru, mesotelioma pleura, dan fibrosis paru.
Paparan asbestos meningkatkan risiko terjadinya kanker paru sebesar 5 kali dan
bersifat sinergis dengan asap rokok dalam meningkatkan terbentuknya kanker paru.
Dari seluruh jenis histologi dari kanker paru, kanker paru sel kecil dan karsinoma sel
skuamosa memiliki korelasi terbesar dengan rokok, berhenti merokok berhubungan
dengan peningkatan kesintasan. Insiden kanker paru sel kecil juga meningkat pada
penambang uranium. Paparan terhadap gas radon yang merupakan produksi dari
peluruhan uranium dilaporkan dapat menyebabkan kanker paru sel kecil.

- Meroko
- Perokok pasif
- Asbestos
- Gas radon
- Kecenderungan genetic
- Polusi udara

c. Tanda & Gejala

1) Gejala awal

Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh obstruksi pada
bronkus.
31
2) Gejala umum

Batuk: Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk
mulai sebagai batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang sampai titik
dimana dibentuk sputum yang kental.

3) Penurunan berat badan >5

Adapun Manifestasi klinis Ca Paru sesuai dengan lokasinya


1) Adenokarsinoma Dan Bronkoalveolar
Tanda dan Gejala
a. Nafas dangkal
b. Batuk
c. Penurunan nafsu makan
d. Trosseau Syndrome
2) Karsinoma Sel Skuamosa
Tanda dan Gejala
a. Batuk
b. Dyspnea
c. Nyeri dada
d. Atelektasis
e. Pneumonia postobstruktif
f. Mengi
g. Hemoptisis
3) Karsinoma Sel kecil
Tanda dan Gejala
a. SIADH
b. Sindrom chusing
c. Hiperkalsemia
d. Batuk
e. Stridor
f. Nafas dangkal

32
g. Sesak nafas
h. Anemia
4) Karsinoma Sel besar
Tanda dan Gejala
a. Batuk berkepanjangan
b. Nyeri dada saat menghirup
c. Suara serak
d. Sesak napas

d. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi.

Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi dada.

Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi kanker paru.

Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat menyatakan massa udara
pada bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau vertebra.

2. Laboratorium
a. Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).

Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap karsinoma.

b. Pemeriksaan fungsi paru dan GDA

Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi kebutuhan ventilasi.

c. Tes kulit, jumlah absolute limfosit.

Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum kanker paru).

3. Histopatologi
a. Bronkoskopi

33
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan sitologi lesi
(besarnya karsinoma bronkogenik dapat diketahui).

b. Biopsi Trans Torakal (TTB)

Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan ukuran < 2
cm, sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.

c. Torakoskopi

Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik dengan cara
torakoskopi.

d. Mediastinosopi

Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat.

e. Torakotomi

Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila bermacam–macam


prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.

f. CT-Scanning dan MRI

untuk menilai invasi dinding dan limfadenofati dalam menentukan stadium.


Dapat digunakan untuk mendeteksi adanya metastase pada oragan lain (seperti
hepar adrenal atau otak)

e. Penatalaksanaan :
1). Pengobatan/ farmakologi
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017, manajemen
penatalaksanaan pada penyakit kanker paru dibagi berdasarkan klasifikasinya. Pada
kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK), terdiri dari berbagai jenis,

34
antara lain adalah karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma, karsinoma bukan
sel kecil (KBSK) penatalaksanaannya tergantung pada stadium penyakit, tampilan
umum penderita, komorbiditas, tujuan pengobatan, dan cost-effectiveness. Modalitas
penanganan yang tersedia adalah bedah, radiasi, dan kemoterapi.

Penatalaksanaan kanker paru karsinoma bukan sel kecil antara lain:

a. Bedah
Terapi utama untuk sebagian besar KPBSK, terutama stadium I-II dan
stadium IIIA yang masih dapat direseksi setelah kemoterapi neoadjuvan. Jenis
pembedahan yang dapat dilakukan adalah lobektomi, segmentektomi dan reseksi
sublobaris. Pasien dengan kardiovaskular atau kapasitas paru yang lebih rendah,
pembedahan segmentektomi dan reseksi sublobaris paru dilakukan.
b. Radioterapi
Radioterapi dalam tatalaksana kanker paru Bukan Sel Kecil (KPKBSK)
dapat berperan di semua stadium KPKBSK sebagai terapi kuratif definitif,
kuratif neoajuvan atau ajuvan maupun paliatif. Radioterapi dapat diberikan pada
stadium I yang menolak dilakukan operasi setelah evaluasi bedah thoraks dan
pada stadium lokal lanjut (Stadium II dan III) konkuren dengan kemoterapi.
Pada pasien Stadium IIIA resektabel, kemoterapi pre operasi dan radiasi pasca
operasi merupakan pilihan. Pada pasien Stadium IV, radioterapi diberikan
sebagai paliatif atau pencegahan gejala (nyeri, perdarahan, obstruksi).
c. Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan sebagai modalitas neoadjuvant pada stadium
dini, atau sebagai adjuvant pasca pembedahan. Terapi adjuvant dapat diberikan
pada KPKBSK stadium IIA, IIB dan IIIA. Pada KPKBSK stadium lanjut,
kemoterapi dapat diberikan dengan tujuan pengobatan jika tampilan umum
pasien baik. Kemoterapi adalah sebagai terapi paliatif pada pasien dengan
stadium lanjut.
Penatalaksanaan kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) berbeda
dengan KPBSK, pasien dengan KPKSK, penatalaksanaan dilakukan berdasarkan
stadium, antara lain:

35
a. Stadium terbatas Pilihan modalitas terapi pada stadium ini adalah kombinasi
dari kemoterapi berbasis-platinum dan terapi radiasi toraks. Kemoterapi
dilakukan paling banyak 4-6 siklus, dengan peningkatan toksisitas yang
signifikan jika diberikan lebih dari 6 siklus. Regimen terapi kombinasi yang
memberikan hasil paling baik adalah concurrent therapy, dengan terapi radiasi
dimulai dalam 30 hari setelah awal kemoterapi. Regimen kemoterapi yang
tersedia untuk stadium ini adalah EP, sisplatin/karboplatin dengan etoposid
(pilihan utama, sisplatin/karboplatin dengan irinotekan. Reseksi bedah dapat
dilakukan dengan kemoterapi adjuvant atau kombinasi kemoterapi dan radiasi
terapi adjuvant pada TNM stadium dini, dengan/tanpa pembesaran kelenjar
getah bening.
b. Stadium lanjut pilihan utama modalitas terapi stadium ini adalah kemoterapi
kombinasi. Regimen kemoterapi yang dapat digunakan pada stadium ini
adalah: sisplatin/karboplatin dengan etoposid (pilihan utama), atau
sisplatin/karboplatin dengan irinotekan. Pilihan lain adalah radiasi paliatif pada
lesi primer dan lesi metastasis.

f. Terapi diet
Terapi diet kanker paru
Jenis diet yang dianjurkan untuk pasien kanker paru yakni diet tinggi protein
(1,5-2,0 gram/kg BB) dan tinggi kalori 25-35 kkal/kg BB dan 40-50 kkal/kg BB untuk
mengganti simpanan dalam tubuh bila pasien berat badan kurang.
Diet/nutrisi kaya apel, bawang putih, sayuran seperti brokoli, kubis brussel, kubis,
kembang kol dan kangkung, makanan kaya vitamin C seperti buah jeruk dan yogurt dapat
membantu mencegah/mengurangi risiko kanker paru-paru. Selain itu, selain makanan
tersebut, asupan Glutamin, Asam Folat, Vitamin B12, Astragalus, Silibinin, Jamur Ekor
Kalkun, Jamur Reishi, Vitamin D dan Omega3 sebagai bagian dari diet/nutrisi dapat
membantu mengurangi efek samping akibat pengobatan tertentu, meningkatkan kualitas
hidup atau mengurangi depresi dan gejala lain pada pasien kanker paru dalam berbagai
stadium
.

36
4. Ca Naso Pharynk

a. Definisi
Kanker nasofaring merupakan kanker yang terjadi di mukosa
nasofaring yang menunjukan adanya diferensiasi sel skuamosa. Terdapat tiga jenis
kanker nasofaring, yaitu Keratinizing Squamous Cell Carcinoma, Nonkeratinizing Cell
Carcinoma, dan Basaloid Squamous Carcinoma. Kanker Nasofaring adalah penyakit
yang jarang 245 Asep KuswandiThe Characteristics of Histopathology and Clinical
Stage of Nasopharyngeal Cancer,jiksh Vol.11 No.1 Juni 2020 ditemui di wilayah Barat
(Eropa), tetapi merupakan penyakit endemic dibeberapa bagian di Asia Tenggara dan
Cina. (Changet al., 2016). Kanker nasofaring di Indonesia merupakan keganasan
terbanyak ke-4 setelah kanker payudara, kanker serviks, dan kanker kulit. Sedangkan
di Indonesia, terdapat 348.809 kasus baru dan 207.210 kematian yang disebabkan oleh
kanker nasofaring (GLOBOCAN, 2018). Kanker nasofaring memiliki beberapa faktor
resiko diantaranya riwayat merokok, jenis kelamin, faktor makanan, faktor
lingkungan, konsumsi alkohol, dan faktor genetik. Selain itu, kanker nasofaring juga
dapat disebabkan oleh infeksi virus, yaitu virus Epstein-Barr(Kasper et al., 2015).
Faktor usia pun menjadi salah satu faktor resiko kanker nasofaring. Insiden
kanker nasofaring meningkat setelah usia 30 tahun, dan puncaknya adalah pada usia 40-
60 tahun. Setelah usia 60 tahun, insiden mulai menurun (Barnes et al. 2005).
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Tsao et al. (2014), insiden kanker
nasofaring paling banyak terjadi pada usia 45 sampai 54 tahun. Berdasarkan data
dari Globocan (2018), laki-laki memiliki risiko terkena kanker nasofaring 1.38 kali
lebih tinggi daripada perempuan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tsao et al.
(2014) menjelaskan bahwa laki laki memiliki resiko yang lebih tinggi terserang
kanker nasofaring daripada perempuan, yaitu sekitar 2-3 kali lebih tinggi. Menurut
Barnes (2005) pembesaran kelenjar getah bening tanpa nyeri tekan adalah gejala
yang paling sering dilaporkan. 50% dari pasien kanker nasofaring mengeluhkan
keluhan pada area hidung, seperti keluarnya tetesan darah dari hidung. Ditemukan
pula adanya gejala yang berhubungan dengan obstruksituba Eustachia seperti otitis
media serosa. Sakit kepala dan gejala yang berkaitan dengan saraf kranial
merupakan tanda perkembangan penyakit yang serius. Diagnosa kanker

37
nasofaring ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang berupa radiologi dan pemeriksaan patologi anatomi. Tipe histopatologi
menurut WHO terdiri dari Keratinizing squamous cell carcinoma, Nonkeratinizing
cell carcinoma (differentiated Subtype &undifferentiated Subtype) dan Basaloid
Squamous Carcinoma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi
menurut umur, distribusi frekuensi menurut jenis kelamin, distribusi frekuensi
menurut klasifikasi histopatologi, dan untuk mengetahui distribusi frekuensi stadium
klinis kanker nasofaring di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek tahun 2016 –2019.

b. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis Banding Kanker nasofaring dapat menginvasi beragam struktur di
sekitarnya, termasuk basis kranii dan leher, sehingga gejala klinisnya bervariasi. Pada
tahap awal berupa gejala hidung dapat menyerupai kondisi jinak, seperti rinitis, sinusitis,
atau polip nasal. Gejala telinga yaitu gangguan dengar unilateral pada usia dewasa, yang
harus dicurigai KNF, khususnya di area endemik. Kanker nasofaring berkaitan dengan
paresis saraf kranial, sehingga dapat menyerupai penyakit neurologi. Defisit saraf kranial
yang tidak jelas penyebabnya sebaiknya diperiksa dengan endoskopi nasal, terutama pada
orang dengan risiko tinggi.5 Kanker nasofaring juga dapat didiagnosis banding dengan
hipertrofi adenoid, namun biasanya adenoid memiliki permukaan licin, alur longitudinal,
dan letaknya di tengah nasofaring. Pada laki-laki remaja dapat pula dibandingkan dengan
angiofibroma juvenil, hal ini dapat dikonfirmasi dengan endoskopi dan pemeriksaan
MRI. Tumor lain di nasofaring di antaranya adalah limfoma, karsinoma sinonasal,
chordoma, rhabdomyosarcoma, melanoma, dan teratoma.5 Pada pasien dengan benjolan
leher, harus dilakukan biopsi nodus. Benjolan leher dapat terjadi pada kondisi infeksi atau
inflamasi, limfoma, atau tumor ganas regio kepala leher ataupun bagian tubuh lain.
A. Pemeriksaan Fisik

Menurut panduan penatalaksanaan kanker nasofaring dari kementerian kesehatan

Indonesia pemeriksaan fisik yang dilakukan menyangkut:

- Pemeriksaan status generalis dan status lokalis


- Pemeriksaan nasofaring berupa rinoskopi posterior, nasofaringoskop
(fiber/rigit), dan laringoskopi

38
Gambar Nasoendoskopi pada Karsinoma Nasofaring

B. Pemeriksaan Penunjang (Hendrik dan Prabowo, 2017 ; KEMENKES-RI ; Yueniwati,

2016):

1. Pemeriksaan serologi

Dapat dilakukan sebagai tumor marker pada tempat-tempat yang dicurigai

berhubugan dengan terjadinya KNF. Pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan teknik-

teknik insitu hibridisasi, imunohistokimia, atau polymerase chain reaction, yakni pada

material yang diperoleh dari aspirasi jarum halus pada metastase KGB leher

2. Pemeriksaan histopatologi (biopsi)

Atau sering pula disebut dengan pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan pada

daerah nasofaring.

3. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang

diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:

 Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah

nasofaring

 Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

39
 Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya

 Menentukan ukuran tumor.

C. Terapi

Radioterapi merupakan pilihan utama khususnya KNF tidak

berdiferensiasi (WHO tipe III), karena bersifat radiosensitif. Radioterapi

dilakukan pada stadium dini (stadium I dan II). Indikasi kemoterapi pada

KNF antara lain stadium lanjut (stadium III dan IV), disertai atau dicurigai

ada metastasis jauh, tumor persisten, dan rekuren. Pembedahan dilakukan

untuk membuang kelenjar getah bening yang menetap atau kambuh apabila

tumor primer di nasofaring hilang setelah pemberian radioterapi dan

kemoterapi.1,18,19 Manajemen KNF stadium lanjut (stadium III dan IV)

adalah kemoterapi kombinasi dengan radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan

sebelum, selama, atau setelah radiasi yang dinamakan kemoterapi

neoadjuvan, konkuren, dan adjuvan. Rekomendasi terkini menggunakan

kemoterapi cisplatin, 5-fluorouracil, taxane, gemcitabine, vinorelbine. 18

Nasofaringektomi dilakukan bila tumor nasofaring persisten atau rekuren dan

telah berekstensi ke spasia paranasofaring. Pada tumor kecil namun tebal,

reseksi adekuat dapat dilakukan menggunakan endoskopi melalui kavum nasi

atau oral. Tumor yang lebih ekstensif memerlukan reseksi terbuka.

40
Nasofaring merupakan suatu ruang berstruktur tabung berdinding

muskuloskeletal dan berbentuk kuboid yang berada di belakang rongga

hidung dengan ukuran panjang sekitar 3-4 cm, lebar 4 cm dan tinggi 4 cm

dengan batas-batas sebagai berikut:

1. Pada bagian anterior adalah bagian akhir dari cavum nasalis atau choanae.

2. Pada bagian superior adalah dasar tulang tengkorak (basis cranii) dari

rongga sinus sfenoidales sampai dengan bagian ujung atas clivus.

3. Pada bagian posterior adalah clivus, jaringan mukosa dari faring sampai

palatum molle, serta vertebra cervical 1-2.

4. Pada bagian inferior adalah sisi atas palatum molle (soft palate) dan

orofaring.

5. Pada bagian lateral adalah parafaring, otot-otot mastikator faring, tuba

eustachius, torus tubarius dan fossa Rossenmul

41
D. Patofisiologi

E. Terapi diet

Terapi Diet Pada Pasien Ca Nasofaring

42
1) Jenis Diet

Diet yang diberikan bagi penderita kanker adalah Diet Tinggi Kalori Tinggi
Protein (TKTP) (Almatsier, 2004). Pada pasien kanker nasofaring selama
pengobatan, seringkali kehilangan nafsu makan, mual, muntah, diare,
pembengkakan pada mulut, kesulitan menelan dan lain sebagainya yang
menyebabkan pasien perlu asupan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
untuk meningkatkan kekebalan tubuh penderita dan mengurangi efek yang
lebih parah dari pengobatan kanker (Moore, 2002).

2) Tujuan Diet
Tujuan diet penyakit kanker adalah untuk mencapai dan mempertahankan
status gizi optimal dengan cara :
 Memberikan makanan yang seimbang sesuai dengan keadaan penyakit serta
daya terima pasien.
 Mencegah atau menghambat penurunan berat badan secara berlebihan.
 Mengurangi rasa mual, muntah dan diare.
 Mengupayakan perubahan sikap dan perilaku sehat terhadap makanan oleh
pasien dan keluarganya.
3) Syarat Diet
Syarat-syarat diet penyakit kanker adalah sebagai berikut :
 Energi tinggi, yaitu 36 Kcal/kg BB untuk laki-laki dan 32 Kcal/kg BB
untuk perempuan. Apabila pasien dalam keadaan gizi kurang, maka
kebutuhan energi menjadi 40 Kcal/kg BB untuk laki-laki dan 36 Kcal/kg
BB untuk perempuan.
 Protein tinggi yaitu 1-1,5 g/kg BB.
 Lemak sedang, yaitu 15-20% dari kebutuhan energi total.
 Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total.
 Vitamin dan mineral cukup, terutama vitamin A, B kompleks, C dan E. Bila
perlu ditambah dalam bentuk suplemen.
 Rendah iodium bila sedang menjalani medikasi radioaktif internal.

43
 Bila imunitas menurun (leukosit < 10 ul) atau pasien akan menjalani
kemoterapi agresif, pasien harus mendapat makanan yang steril.
 Porsi makan diberikan dalam porsi kecil dan sering.(Almatsier, 2004).

5. Asma

c. Definisi
Asma adalah penyakit heterogen dan merupakan penyakit kronis yang
memengaruhi saluran udara dan paru-paru ditandai dengan kesulitan bernafas, mengi
dan sesak nafas yang berbeda-beda. Asma disebabkan oleh pembengkakan dan
saluran bronkial, kadang-kadang sebagai reaksi terhadap alergen, perubahan suhu dan
infeksi virus pada sistem pernafasan.
Menurut (GINA) Global Initiative for Asthma (2018) asma merupakan penyakit
heterogen yang ditandai dengan adanya peradangan saluran napas kronis diikuti
dengan gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas dan batuk yang bervariasi dari
waktu ke waktu dengan intensitas yang berbeda dan bersamaan dengan keterbatasan
aliran udara saat ekspirasi.
Jadi asma adalah penyakit inflamasi kronis pada saluran nafas yang menyebabkan
gangguan aliran udara intermiten dan reversible sehingga terjadi hiperaktivitas
bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodic berulang
berupa wheezing (mengi), batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada terutama pada
malam atau dini hari.
d. Etiologi
Secara umum, para penderita asma mengalami penyempitan bronkus yang
disebabkan oleh hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma biasanya sangat
sensitive terhadap rangsangan imunologi maupun nonimunologi. Oleh karena itu,
serangan asma mudah terjadi akibat berbagai rangsangan baik iritan, bau, udara
dingin, infeksi saluran pernafasan atas atau bawah, stress dan sebagainya.
Menurut penyebabnya asma terbagi menjadi alergik atau non alergik dan
campuran.
4) Asma alergik

44
Merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh alergen, seperti debu,
serbuk sari bunga, hewan dan sebagainya. Alergen yang paling umum adalah
alergen yang perantaranya melalui udara dan alergen yang muncul secara
musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai Riwayat penyakit
alergi pada keluarga dan Riwayat pengobatan eksema atau rhinitis alergik.
Paparan terhadap alergi tersebut akan mencetuskan serangan asma. Gejala asma
umumnya dimulai saat anak-anak.
5) Asma non alergik
Merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara langsung dengan
alergen spesifik. Faktor-faktor seperti udara dingin, infeksi saluran nafas, aktivitas
dan emosi dapat menimbulkan serangan asma. Serangan asma non alergik dapat
menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat berkembang
menjadi bronchitis dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat
berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat
dewasa.
6) Asma campuran
Merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan, dikarakteristikan
dengan bentuk kedua jenis asma alergik dan non alergik.

e. Manifestasi Klinis
Hiperventilasi merupakan salah satu gejala awal dari asma. Kemudian sesak nafas
parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing. Gejala utama yang swring
muncul adalah dispnea, batuk, dan mengi. Mengi sering dianggap salah satu gejala
yang harus ada bila serangan asma muncul. Itu berarti jika menganggap dirinya
mengalami asma namun tidak mengeluh sesak nafas, maka perawat harus yakin
bahwa klien tidak menderita asma. Tanda gejala lain pada asma yang muncul yaitu
batuk, dada seolah-olah tertekan dan sebagainya.
f. Terapi Asma
Secara medikasi menjelaskan bahwa untuk keamanan terapi asma tidak lagi
merekomendasikan pengobatan asma pada Orang dewasa dan remaja hanya dengan
Short-Acting Beta-Agonists (SABA) saja. Semua orang dewasa dan remaja dengan

45
asma harus mendapat pengobatan pengontrol yang mengandung Inhaled
Corticosteroid (ICS) untuk mengurangi risiko eksaserbasi serius dan untuk
mengendalikan gejala. Pengontrol yang mengandung ICS-formoterol dapat diberikan
baik dengan pengobatan rutin setiap hari untuk meredakan gejala.

Menurut Reddel et al., (2021) tujuan jangka Panjang manajemen asma dari
perspektif klinis adalah
1) Agar gejala dapat terkontrol dengan baik sehingga mampu melaksanakan aktivitas
secara normal
2) Untuk mencegah dan meminimalisasi risiko kematian akibat asma, eksaserbasi,
keterbatasan aliran udara, dan efek samping.

Secara teknis, terapi untuk asma dibagi menjadi dua, yaitu :

1) ICS-formoterol dosis rendah


Formoterol adalah obat untuk mencegah atau mengurangi mengi dan
kesulitan bernafas jangka panjang. Terapi ini merupakan yang direkomendasikan
oleh GINA (Global Initiative For Asthma. Hal ini dimungkinkan karena dapat
mengurangi risiko eksaserbasi parah dibandingkan dengan menggunakan Pereda
SABA. ICS digunakan sebagai terapi yang berkaitan langsung dengan
patofisiologi utama asma yakni inflamasi.
2) SABA (Inhalasi Short Acting Beta Agonis)
SABA merupakan obat pereda untuk pengobatan gejala akut dan harus
diresepkan untuk pasien asma. Terapi ini diberikan jika dengan teknis atau obat
yang pertama tidak berhasil atau tidak memungkinkan. Penggunaan obat ini harus
mempertimbangkan apakah pasien cenderung patuh dengan terapi pengontrol
yang mengandung ICS, karena jika tidak akan berisiko lebih tinggi mengalami
eksaserbasi. Contoh obat jenis SABA diantaranya salbutamol (astharol, azmacon,
fartolin, glisend, salbuven, suprasma, velutine), Terbutaline (Astherin, Briscama,
Forasma, Lasmalin, Molasma, Nairet, Noeasma)

g. Pemeriksaan Diagnostik
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang merupakan dasar dari
diagnosis asma. Diagnosis asma sering ditegakkan berdasarkan gejala berupa sesak
episodik, mengi, batuk, dan dada terasa sakit atau sempit. pengukuran fungsi paru
digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas. Faktor-
faktor pencetus serangan asma perlu diketahui untuk mencegah terjadinya serangan
asma. Pengukuran respon dapat membantu menegakkan diagnosis pada penderita
dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal.

46
1) Anamnesis
Pada anamnesis akan ditemukan keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa berat di
dada. Namun terkadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang pada umumnya
timbul di malam hari atau saat melakukan kegiatan jasmani. Adanya riwayat penyakit
alergi lain seperti rinitis alergi, dermatitis atopik dapat membantu diagnosis asma.
Gejala asma sering muncul pada malam hari atau pada musim tertentu, tetapi dapat
juga muncul sewaktu-waktu.3,10
Pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, hal tersebut yang
membedakan asma dengan penyakit paru lain. Akan tetapi membiarkan pasien asma
dalam serangan tanpa obat merupakan hal yang membahayakan nyawa pasien. Gejala
asma pada masing-masing individu dapat bervariasi, misalnya gejala pada malam hari
lebih sering muncul dibandingkan pada siang hari

2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkan
kelainannya. Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda
asma yang paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada Sebagian pasien asma
tidak didapatkan mengi. Begitu juga pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak
terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran
menurun.
Secara umum jika pasien mengalami asma dapat ditemukan hal sebagai berikut
a. Inpeksi
- Pasien terlihat gelisah
- Sesak (nafas cuping hidung, nafas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium
retraksi suprasternal)
- Sianosis
b. Palpasi
- Biasanya tidak ditemukan kelainan
- Pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
c. Perkusi
- Biasanya tidak ditemukan kelainan
d. Auskultasi
- Ekspirasi memanjang
- Mengi
- Suara lender

 Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan spirometri digunakan untuk mengukur faal paru, menilai beratnya
obstruksi, dan efek pengobatan. Pada asma kegunaan spirometri disamakan dengan

47
tensimeter pada penatalaksanaan hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus.
Pemeriksaan spirometri penting dalam menegakkan diagnosis karena banyak pasien
asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometri menunjukkan obstruksi. Hal
tersebut mengakibatkan pasien mudah mengalami serangan asma dan bila
berlangsung lama dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruksi kronik.
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator
hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Diagnosis asma ditunjukkan
dengan adanya peningkatan VEP1 sebanyak ≥ 12% atau ≥ 200 mL.
b. Uji provokasi bronkus
Apabila pemeriksaan spirometri normal, dapat dilakukan uji provokasi bronkus untuk
menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus. Beberapa cara untuk melakukan uji
provokasi bronkus meliputi uji provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan
jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan dengan aqua destilata.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas tinggi tetapi
spesifitas rendah, yang berarti hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma
persisten, namun hasil positif tidak selalu berarti pasien menderita asma. Hasil positif
dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergi dan gangguan dengan
penyempitan saluran napas seperti PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik.
c. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat dominan pada asma, sedangkan pada ronkitis kronis
sputum yang dominan adalah neutrofil.

d. Pemeriksaan eosinofil total

Pada pasien asma jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Hal
tersebut dapat membantu untuk membedakan asma dengan bronkitis kronis.
Pemeriksaan eosinofil total juga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan
dosis kortikosteroid yang dibutuhkan oleh pasien asma.

e. Uji kulit

Tujuan dari uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antbodi IgE spesifik
dalam tubuh. Uji alergen positif tidak selalu merupakan penyebab asma, jadi uji
tersebut hanya sebagai penyokong anamnesis.

f. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum

Pemeriksaan IgE total hanya berguna untuk menyokong adanya atopi.


Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan apabila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang meyakinkan

g. Foto dada

48
Tujuan dari foto dada adalah untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru

h. Analisis gas darah

Analisis gas darah hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal serangan
terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg), lalu pada stadium yang lebih
berat PaCO2 mendekati normal hingga normo-kapnia. Kemudian pada asma yang
sangat berat terjadi hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis
respiratorik

h. Patofisiologi asma
Patofisiologis asma berhubungan dengan hiperaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan. Terdapat 2 jalur hipereaktivitas yaitu jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE, yaitu ketika allergen masuk ke dalam tubuh, alergen
akan dimunculkan oleh APC (antigen Presenting Cells), kemudian alergen akan
dikenali oleh sel Th(T helper) Terutama Th₂. Sel Th ini mengaktivasi interleukin atau
sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE dan sel-sel radang lain untuk mengeluarkan
mediator inflamasi seperti histamin, prostagladin (PG), Leukotrien (LT),platelet
activing factor (PAF), bradikinin, Tromboksin (TX), dan lain-laiin. Sel sel ini bekerja
dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos
saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya
plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga
menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. (Asthma Guidline, 2007)
Sementara pada jalur yang kedua yaitu jalur saraf otonom, terjadi reflel bronkus
karena adanya peregangan pada saraf vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang
terjadi.

h. Pengobatan Farmakologi
 Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas, terbagi menjadi 2
golongan :
1. Andrenergik ( adrenalin dan efedrin) misalnya terbutalin/bricasama. Obat
golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan
semprotan (Metered dose Inhaler) ada yang berbentuk hirup( ventolin diskhaler
dan bricasma turbuhaler) atau cairan bronchodilator (Alupent, berotec brivasma
sets ventolin) yang diubah oleh alat khusus menjadi aerosol (partikel sangat halus)
untul selanjutnya dihirup.
2. Santin /Teofilin (aminofilin)

49
Cara pemakaiannya adalah dengan disuntikan langsung ke pembuluh darah secara
perlahan. Karena sering merangsang lambung, bentuk sirup atau tablet sebaiknya
diminum setelah makan, ada juga yang berbentuk supositoria untuk penderita
yang tidak memungkinkan untuk minum obat, misalnya dalam kondisi muntah
atau lambungnya kering.
 Kromalin
Obat pencegah serangan asma pada penderita anak. Kromalin biasanya diberikan
bersama obat anti asma dan efeknya baru terlihat setelah satu bulan.
 Katofelin
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma dan diberikan dalam dosis dua kali 1
mg/hari. Keuntungannya adalah dapat diberika secara oral.
 Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg. Jika tidak ada respon maka
penderita segera diberi steroid oral.
h. Terapi diet
a. Konsumsi makanan yang mengandung asam lemak omega 3, contohnya: ikan, biji
jintan, dan kacang.
b. Perbanyak makanan sumber antioksidan sebagai pencegah stress oksidatif.
c. Konsumsi minimal 3 porsi sayur & 2 porsi buah setiap hari.
d. Hindari makanan yang mengandung sulfit
e. Hindari makanan yang telah diketahui sebagai penyebab & pencetus asma
f. Konsumsi vitamin A,B,C dan E untuk mengurangi serangan asma
g. Cukupi kebutuhan air minimal ½ gelas perjam.
h. Cukup energi dan protein agar berat badan dalam IMT normal.

6. Pneumonia

a. Definisi
Pneumonia adalah suatu penyakit peradangan pada paru yang timbul karena
invasi dari beberapa patogen dan salah satu penyebab yang paling banyak yaitu
bakteri sehingga bisa menyebabkan gangguan fungsi organ pernapasan seperti
kesulitan untuk bernapas karena kekurangan oksigen (World Health Organization,
2014).

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim


paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat.8 Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu pneumonia kominiti dan
pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat

50
infeksi di luar rumah sakit, sedangkan pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang
terjadi lebih dari 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit.Pneumonia dapat
diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling sering ialah menggunakan
klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya pneumonia (pneumonia komunitas dan
pneumonia nosokomial), tetapi pneumonia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan area
paru yang terinfeksi (lobar pneumonia, multilobar pneumonia, bronchial pneumonia, dan
intertisial pneumonia) atau agen kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan
berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens (pneumonia
yang terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik), pneumonia aspirasi
(alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun (pneumonia pada pasien
tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS

b. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus,
jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh masyarakat luar negeri
banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia rumah sakit banyak disebabkan
gram negatif. Dari laporan beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan
dahak penderita komunitas adalah bakteri gram negatif. Penyebab paling sering
pneumonia yang didapat dari masyarakat dan nosokomial:
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma pneumonia,
Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia pneumonia, anaerob oral,
adenovirus, influenza tipe A dan B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella pneumonia),
Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob oral.
c. Pathogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme
dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.

51
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai paru :

1) ketika individu yang terinfeksi batuk,bersin,atau berbicara ,mikroorganisme dilepas ke


udara dan terhirup oleh orang lain
2) mikroorganisme juga dapat ter inspirasi aerosol (gas nebulasi) dari peralatan terapi
pernapasan yang terkontaminasi
3) pada individu yang sakit,atau hygient giginya buruk flora normal orofaring masuk dapat
menjadi patogenik
4) staphylococcus dan bakteri gram negative dapat menyebar melalui sirkulasi dari infeksi
sitemik,sepsis,atau jarum obat IV yang terkontaminasi.
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat
mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian
kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada
keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt tinggi 108-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.

52
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PNM mendesak
bakteri ke permukaan.
alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi perlawanan antara
host dan bakteri maka akan nampak empat zona pada daerah pasitik parasitik tersebut
yaitu :
1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema;
2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN
dan beberapa eksudasi sel darah merah;
3) Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang
aktif dengan jumlah PMN yang banyak;
4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag.

d. Manifestasi klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non
produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak
darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih
suka berbaring pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.

53
Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat
pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai
pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan
bronkial, pleural friction rub.
e. Diagnosis
Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap,
pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti pneumonia
komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat
progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:

a. Batuk-batuk bertambah
b. Perubahan karakteristik dahak/purulen
c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan
ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 4500 12,13 Penilaian derajat keparahan penyakit
pneumonia dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil
penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT).

f. Pemeriksaan penunjuang
1. Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama (gold standard) untuk menegakkan diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis
dapat berupa infiltrat sampai konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran
bronkogenik dan intertisial
2. Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul, Leukosit
polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula ditemukanleukopenia.
Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan LED meningkat.
3. Mikrobiologi

54
Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah untuk
mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan koagulasi antigen
polisakarida pneumokokkus.
4. Analisa gas darah
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus, tekanan parsial
karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut menunjukkan asidosis
respiratorik.
g. Komplikasi
Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan komplikasi.
Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien risiko tinggi, mungkin
mengalami beberapa komplikasi seperti bacteremia (sepsis), abses paru, efusi pleura,
dan kesulitan bernapas. Bakteremia dapat terjadi pada pasien jika bakteri yang
menginfeksi paru masuk ke dalam aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ lain,
yang berpotensi menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia pneumokokkus
dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi ektrapulmoner berupa meningitis,
arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema.Pneumonia juga dapat
menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura atau biasa disebut dengan efusi
pleura. Efusi pleura pada pneumonia umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5%
kasus efusi pleura yang disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan yang
sedikit dan sifatnya sesaat (efusi parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang
mengandung mikroorganisme dalam jumlah banyak beserta dengan nanah disebut
empiema. Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di drainage menggunakan chest
tube atau dengan pembedahan.
h. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan antibiotik
tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian antibitotik bertujuan
untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman penyebab infeksi, akan tetapi sebelum
antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk
menjaga kondisi pasien.Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan terbaik
berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil
mikrobiologis umumnya tidak tersedia selama 12-72 jam. Maka dari itu

55
membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan tingkat keparahan berdasarkan
kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi sangatlah penting, karena akan menentukan
pilihan antibiotika empirik yang akan diberikan kepada pasien.Tindakan suportif
meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2 > 92%) dan
resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Bantuan
ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu
(continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada
gagal napas. Bila demam atau nyeri pleuritik dapat diberikan antipiretik analgesik
serta dapat diberika mukolitik atau ekspektoran untuk mengurangi dahak.

Pilihan Antibiotika
Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor sensitivitas
bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan faktor biaya pengobatan.Pada
infeksi pneumonia (CAP dan HAP) seringkali harus segera diberikan antibiotika
sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus
didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang
paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika
yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi
tidaklebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan
superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas.

i. Prinsip terapi antibiotic


Menurut Kemenkes (2011) bahwa prinsip-prinsip dari terapi antibiotik secara bijak
sebagai berikut :
a. Terapi menggunakan antibiotik yang memliki spektrum sempit, indikasi yang
ketat, dosis yang adekuat, interval dan pemberian yang tepat.
b. Pembatasan penggunaan antibiotik dengan menerapkan pedoman penggunaan
antibiotik, penerapan antibiotik secara terbatas (restricted), penerapan kewenangan
dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved antibiotics) dan mengutamakan
penggunaan antibiotik pilihan pertama.
c. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan karena ketidaksesuaian indikasi
terhadap penyakit.

56
d. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis
penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik
tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit
yang dapat sembuh sendiri (self-limited).

Berdasarkan beberapa literatur terapi antibiotik untuk pasien pneumonia adalah:

1. Menurut PDPI (2003) bahwa terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk pasien
rawat inap CAP adalah:
a. Lini pertama yaitu sefalosporin generasi 3 ditambah makrolida atau
betalaktam atau antibetalaktamase
b. Lini kedua yaitu fluorokuinolon respirasi atau sefalosporin generasi 2,3 atau
generasi 4 ditambah makrolida
2. Menurut PAPDI (2006) bahwa terapi empiris yang direkomendasikan untuk
HAP/VAP (tanpa faktor risiko patogen jamak, onset dini, semua derajat penyakit)
dengan patogen potensial seperti S. pneumoniae, H. influenza, bakteri gram negatif
sensitif antibiotik (E. coli), K.pneumoniae, Enterobacter spp, Serratia marcescene yaitu
seftriakson atau levofloksasin, moksifloksasin atau siprofloksasin atau ampisillin atau
sulbaktam atau ertapenem. Catatan: S. pneumoniae sering resisten terhadap penisilin
maka terapi yang dianjurkan yaitu Levofloksasin, Moksifloksasin.
3. Menurut PAPDI (2006) bahwa terapi empiris yang direkomendasikan untuk
HAP/VAP (tanpa faktor risiko patogen jamak, onset lanjut, semua derajat
penyakit) berdasarkan patogen potensial adalah:
a. Patogen resisten antibiotik jamak (P. aeruginosa, K. pneumoniae, Acinetobacter
spp), Meticillin sensitif S. aureus, bakteri gram negatif sensitif antibiotik (E.
Coli), K. pneumoniae, Enterobacter spp, Serratia marcescene, Proteus spp
maka antibiotik yang direkomendasikan adalah sefalosporin antipseudomonal
(sefepim atau seftazidim) atau karbapenem
antipseudomonal(morepenem/imipenem) atau betalaktam/penghambat
betalaktamase (piperasillin-tazobaktam) ditambah kuinolon antipseudomonal

57
(siprofloksasin atau levofloksasin) atau aminoglikosida (amikasin, gentamisin
atau tobramisin) ditambah linzolid atau vankomisin.
b. Jika patogen yang dicurigai karena Legionella maka antibiotik yang
direkomendasikan adalah makrolida (azitromisin) atau fluorokuinolon.
4. Rekomendasi dosis antibiotik empiris untuk pasien HAP/VAP dengan onset lanjut
dan ada risiko patogen jamak (PAPDI, 2006):
a. Sefalosporin antipseudomonal yaitu sefepim 1-2 gram tiap 8-12 jam atau seftazidim
2 gram tiap 8 jam atau sefpirom 1 gram tiap 8 jam.
b. Karbapenem antipseudomonal yaitu morepenem 1 gram tiap 8 jam atau imipenem
500 mg tiap 6 jam atau 1 gram tiap 8 jam.
c. Betalaktam/penghambat betalaktamase yaitu piperasillin-tazobaktam 4,5 gram
tiap 6 jam.
d. Aminoglikosida yaitu gentamisin 7mg/kgBB atau tobramisin 7mg/kgBB atau
amikasin 20mg/kgBB.
e. Kuinolon antipseudomonal yaitu levofloksasin 750 mg perhari atau siprofloksasin
400 mg tiap 8 jam.
f. Vankomisin 15 mg/kgBB tiap 12 jam
g. Linzolid 600 mg tiap 12 jam.

Apabila ada faktor modifikasi (penyakit kardiopulmoner) maka antibiotik yang


direkomendasikan yaitu injeksi intravena betalaktam ditambah injeksi intravena makrolida
atau doksisiklin atau fluorokuinolon saja (anti-pneumokokus).
Apabila tanpa faktor modifikasi (tanpa penyakit kardiopulmoner) maka antibiotik yang
direkomendasikan yaitu injeksi intravena azitromisin saja. Apabila alergi dengan
azitromisin maka alternatif terapi yang direkomendasikan yaitu doksisiklin, betalaktam
atau fluorokuinolon saja (anti-pneumokokus).

5. Menurut Fauci, et al., (2015) bahwa terapi empiris untuk pasien pneumonia
sebagai adalah:
a. Pasien pneumonia komunitas (pasien rawat inap non-icu) maka antibiotik yang
direkomendasikan yaitu:

58
1) Fluorokuinolon aspirasi yaitu moksifloksasin 400 mg perhari
(oral/intravena) atau levofloksasin 750 mg (oral/intravena).
2) Betalaktam yaitu seftriakson 1-2 gram perhari intravena atau ampisillin 1-2 gram
tiap 4-6 jam intravena atau sefotaksim 1-2 gram tiap 8 jam intravena, ertapenem 1-2
gram perhari intravena ditambah makrolida (oral klaritomisin/azitromisin 500 mg
perhari atau intravena azitromisin 1 gram perhari).
b. Pertimbangan khusus untuk pasien pneumonia komunitas rawat inap non-icu
dengan penyebab patogen potensial seperti:
1) Pseudomonas maka antibiotik yang direkomendasikan adalah antipseudomonas
betalaktam (piperasillin-tazobaktam 4-5 gram tiap 6 jam intravena atau sefepim 1-2
gram tiap 12 jam intravena atau imipenem 500 mg tiap 6 jam atau morepenem 1
gram tiap 8 jam) ditambah kuinolon (siprofloksasin 400 mg tiap 12 jam intravena atau
levofloksasin 750 mg per hari intravena). Antibiotik yang dianjurkan bisa juga
menggunakan betalaktam tadi ditambah aminoglikosida
(amikasin 15mg/kgBB per hari atau tobramisin 1,7mg/kgBB/hari) ditambah
makrolida (azitromisin).
2) Methycillin Resistance S.aureus (MRSA) maka antibiotik yang direkomendasikan
adalah vankomisin 15mg/kgBB tiap 12 jam atau linzolid 600 mg tiap 12 jam dengan
penyesuaian dosis.
c. Terapi empiris untuk pasien pneumonia yang berhibungan dengan pelayanan kesehatan
sebagai berikut:
1) Tanpa faktor risiko patogen multy drug reaction maka antibiotik yang
direkomendasikan adalah seftriakson 1-2 gram perhari intravena atau sefotaksim 1-2
gram tiap 6-8 jam intravena atau moksifloksasin 400 mg perhari intravena atau
siproflksasin 400 mg tiap 8 jam intravena atau ampisillin/sulbaktam 3 gram tiap 6
jam intravena atau ertapenem 3 gram perhari intravena.
2) Disertai faktor risiko patogen multy drug reaction maka antibiotik yang
direkomendasikan adalah betalaktam (seftazidim 2 gram tiap 8 jam intravena atau
sefepim 2 gram tiap 8-12 jam intravena atau piperasillin/tazobaktam 4-5 gram tiap
6 jam atau imipenem 500 mg tiap 6 jam intravena atau 1 gram tiap 8 jam intravena
atau morepenem 1 gram tiap 8 jam ditambah dengan antibiotik yang aktif terhadap

59
patogen gram negatif (gentamisin atau tobramisin 7 mg/kgBB/hari intravena atau
amikasin 20mg/kgBB/hari intravenaatau siprofloksasin 400 mg tiap 8 jam intravena atau
levofloksasin 750 mg/hari intravena) ditambah dengan antibiotik yang aktif terhadap
patogen gram positif (vankomisin 15 mg/kgBB/12 jam atau linzolid 600 mg tiap 12 jam
dengan penyesuaian dosis).
Terapi diet pada pasien pneumonia
Pada pasien pneumonia diberikan Diet Tinggi Energi Tinggi Protein (TETP).
a) Tujuan Diet TETP

1. Memberikan Energi & P tinggi


2. Lemak cukup
3. Memberikan Karbohidrat kurang bila ada sesak napas
4. Mengatur menu makan agar interaksi obat dan zat gizi dapat dikendalikan
5. Memenuhi kebutuhan asupan zat gizi dan menjaga agar berat badan tidak turun.

b) Syarat Diet TETP \

1. Kebutuhan energi tinggi, yaitu 40 – 45 kkal/kg BB


2. Kebutuhan protein 2,0 – 2,5 g/kg BB.
3. Kebutuhan lemak cukup 10 – 25% dari kebutuhan energi.
4. Karbohidrat rendah, sisa energi dari perhitungan lemak dan protein
5. Vitamin & mineral cukup, utamakan vit anti oksidan (vit A, B12, C, E).
6. Cairan sesuai kebutuhan pasien.
7. Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam.
8. Bentuk makanan menyesuaikan keadaan pasien

7. PPOK
a. Definisi
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut.

60
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang bisa dicegah
dan diatasi, yang dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang
biasanya bersifat progresif, dan terkait dengan adanya respon imflamasi kronis
saluran pernapasan dan paru-paru terhadap gas atau partikel berbahaya. Serangan
akut dan komorbiditas berpengaruh terhadap keparahan penyakit secara keseluruhan
(GOLD, 2016).
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya (Somantri, 2012).
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan keadaan irreversible yang
ditandai adanya sesak nafas pada saat melakukan aktivitas dan terganggunya aliran
udara masuk dan keluar dari paru-paru (Farrell, et al,. 2013).
b. Etiologi
Menurut Ikawati (2016), etiologi penyakit paru obstruktif kronis terdapat faktor
paparan lingkungan. Beberapa faktor paparan lingkungan yaitu :
a. Merokok
Merokok yang merupakan penyebab utama dari PPOK, dengan risiko 30 kali
lebih besar pada perokok dibandingkan dengan bukan merokok dan merupakan
penyebab dari 85-95% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% akan mengalami PPOK.
Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok.Sekitar 10% orang
yang tidak merokok mungkin menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara dan pekerja yang terpapar debu katun
dan debu gandum mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja
ditempat selain yang sudah disebutkan diatas.
c. Polusi Udara
Pasien PPOK yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya
dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asam
pabrik, asap kendaraan bermotor maupun polusi yang berasal dari dalam rumah
misalkan asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi pada saluran pernapasan secara kronis merupakan suatu pemicu
imflamasi atau peradangan neutrofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan
rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian imflamasi
yang dapat diukur dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi
eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan
risiko kejadian PPOK.
e. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK
Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap
berbagai stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah salah satu

61
ciri-ciri dari asma. Bagaimanapun juga, banyak pasien PPOK juga memiliki ciri-
ciri jalan nafas yang hiperesponsif. Pertimbangan akan tumpang tindihnya
seseorang dengan asma dan PPOK dalam kepekaan jalan nafas, obstruksi aliran
udara, dan gejala pulmonal mengarahkan kepada perumusan hipotesis Dutch yang
menegaskan bahwa asma, bronkitis kronis, dan emfisema merupakan variasi dari
dasar penyakit yang sama, yang dimodulasi oleh faktor lingkungan dan genetik
untuk menghasilkan gambaran patologis yang nyata.
c. Tanda & Gejala
 Batuk kronik lebih dari 3 bulan dan terjadi tiap tahun
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi
percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme
yang penting untuk membersihkan saluran nafas bagian bawah. Rangsangan yang
biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan.
Inhalasi asap, debu, dan benda-benda asing kecil merupakan penyebab batuk yang
paling sering. Perokok seringkali menderita batuk kronik karena terus menerus
menghisap asap dan saluran napasnya sering mengalami peradangan kronik.
Bronkitis kronik, asma, tuberculosis, dan pneumonia merupakan penyakit
yang secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala yang mencolok. Batuk dapat
bersifat produktif, pendek dan tidak produktif, keras dan parau (seperti ada
tekanan pada trakea), sering, jarang atau paroksimal (serangan batuk yang
intermiten).
 Sputum
Sputum, biasanya banyak dan lengket berwarna kuning, hijau atau
kekuningan bila terjadi infeksi.
 Dispnea
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapasn dan merupakan
gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seseorang yang mengalami dispnea
sering mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik.
 Nyeri Dada
Nyeri terjadi pada tempat peradangan dan biasanya tempat peradangan
dapat diketahui dengan tepat. Nyeri itu bagaikan teriris-iris dan tajam, diperberat
dengan batuk, bersin dan nafas yang dalam sehingga pasien sering bernapas cepat
dan dangkal, serta menghindari gerakan-gerakan yang tidak diperlukan.

Sedangkan gejala pada eksaserbasi akut adalah :


a. Peningkatan volume sputum.
b. Perburukan pernafasan secara akut.
c. Dada terasa berat.
d. Peningkatan purulensi sputum
e. Peningkatan kebutuhan bronkodilator
f. Lelah dan lesu

62
g. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik , cepat lelah dan terengah-engah.

Pada gejala berat dapat terjadi :


a. Sianosis, terjadi kegagalan respirasi.
b. Gagal jantung dan oedema perifer.
c. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukkan gejala wajah yang memerah
yang disebabkan (polycythemia (erythrocytosis, jumlah erithrosit yang
meningkat, hal ini merupakan respon fisiologis normal karena kapasitas
pengangkutan O2 yang berlebih

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, Leukosit) dan foto toraks untuk menyingkirkan
penyakit paru lain.
 Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)
Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan
penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk
memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai
tingkat.
 Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran
hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal
melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler
(memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis dominan
hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat
corakan bronko vaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang
hiperlusen.
 Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting
dilakukan dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukan
nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tanda-tanda kegagalan
respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, pembengkakan
ekstremitas dan peningkatan jugular venous pressure. Analisa gas darah arteri
menunjukan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema dominan
dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas
darah menunjukan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen
100%. Dapat juga menunjukan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoven
tilasi alveolar serta asidosis. Respiratorik kronik yang terkompensasi.
 Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas

63
berulang merupakan penyebab utama esaserbasi akut pada penderita PPOK di
indonesia.
 Pemeriksaan Darah rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus
seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, poliditemia pada
hipoksemia kronik.
 Pemeriksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui
komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi
pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji
latih kardiopulmoner, uji provokasi brokus, CT -scan resolusi tinggi,
ekokardiografi dan pemeriksaan kadar alpha-1 antityipsin.

e. Penatalaksanaan :
 Pengobatan Farmakologi
o Albuterol
o Terbutalin
o Xantin (seperti aminofilin)
o Ipratropium bromida (atrovent), yaitu suatu agen antikolinergik dalam
inhalasi-dosis terukur, adalah brokodilator yang efektif untuk pasien
dengan bronkitis kronik.
o Vaksin influenza
o Pneumokokal profilaktik
o Antibiotik untuk infeksi pernafasan bagian atas
o Pemberian suplemen oksigen (O2)
o Berhenti Merokok
o Latihan Fisik dan Respirasi
o Terapi Oksigen

F. Terapi diet
Terapi Diet Pasien PPOK
Diet yang cocok untuk penderita PPOK yaitu diet yang mengandung energi dan
protein di atas kebutuhan normal. Diet ini diberikan dalam bentuk makanan biasa atau
lunak (bubur) ditambah bahan makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur dan
daging dalam bentuk minuman enternal.
Prinsipnya berupa pemenuhan kebutuhan tinggi kalori tinggi protein :
1. Energy : tinggi (2500 – 3000 kal/hari) berat badan ideal
2. Karbohidrat cukup (60 – 70% total energy) diberikan 275,7 gram

64
3. Protein : Tinggi (75 – 100 gram/hari) atau 4 gram/kg BB/hari.
4. Lemak rendah/cukup (20 – 25% total energy) yaitu sebesar 35,3 gram
5. Mineral : mineral Fe untuk mengganti Fe yang hilang
6. Vitamin : tinggi (Vitamin C, E, B kompleks)
7. Cairan cukup 30-35 ml/kgBB/hari
8. Makanan lunak (sesuai kemampuan pasien)

8. COVID-19
c. Definisi

Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar dari virus yang menyebabkan penyakit,
mulai dari flu biasa hingga penyakit pernapasan yang lebih parah, seperti Middle
East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Virus ini dapat menyebabkan infeksi pada bagian saluran
pernafasan bagian atas dengan tibgkat ringan atau sedang. Sebagian besar
coronavirus adalah virus yang tidak berbahaya. Virus corona pada manusia pertama
kali ditemukan pada tahun 1960 dalam hidung pasien yang terkena flu biasa
(common cold). Virus ini diberi nama berdasarkan struktur mirip mahkota di
permukaannya. “Corona” dalam bahasa Latin berarti “halo” atau “mahkota”.
Virus ini merupakan jenis virus varian baru yang memiliki tingkat penyebaran
atau penularan lebih tinggi dibandingkan dengan virus varian sebelumnya. Virus
Corona ini ditularkan melalui droplet yang menyebar ketika seseorang yang
mengalami paparan batuk, bersin, atau saat berbicara.

d. Etiologi
Infeksi virus Corona atau COVID-19 disebabkan oleh coronavirus,
yaitukelompok virus yang menginfeksi sistem pernapasan. Pada sebagian besar
kasus,coronavirus hanya menyebabkan infeksi pernapasan ringan sampai sedang,
seperti flu.Akan tetapi, virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan berat,
seperti pneumonia, Middle-East Respiratory Syndrome (MERS), dan Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS).
Ada dugaan bahwa virus Corona awalnya ditularkan dari hewan ke manusia.
Namun, kemudian diketahui bahwa virus Corona juga menular dari manusia
kemanusia.Seseorang dapat tertular COVID-19 melalui berbagai cara, yaitu:
1. Tidak sengaja menghirup percikan ludah dari bersin atau batuk
penderitaCOVID-19

2. Memegang mulut atau hidung tanpa mencuci tangan terlebih dulu


setelahmenyentuh benda yang terkena cipratan air liur penderita COVID-19

65
3. Kontak jarak dekat dengan penderita COVID-19, misalnya bersentuhan atau
berjabat tangan

Virus Corona dapat menginfeksi siapa saja, tetapiefeknya akan lebih berbahaya
atau bahkan fatal bila terjadi pada orang lanjut usia,ibu hamil, orang yangsedang
sakit, atau orang yang daya tahan tubuhnya lemah.

e. Tanda & Gejala

Gejala awal infeksi virus Corona atau COVID-19 bisa menyerupai gejala


flu, yaitu demam, pilek, batuk kering, sakit tenggorokan, dan sakit kepala. Setelah
itu, gejala dapat hilang dan sembuh atau malah memberat. Penderita dengan gejala
yang berat bisa mengalami demam tinggi, batuk berdahak bahkan berdarah, sesak
napas, dan nyeri dada. Gejala-gejala tersebut muncul ketika tubuh bereaksi melawan
virus Corona.
Secara umum, ada 3 gejala umum yang bisa menandakan seseorang terinfeksi virus
Corona, yaitu:

 Demam (suhu tubuh di atas 38 derajat Celsius)


 Batuk kering
 Sesak napas

Ada beberapa gejala lain yang juga bisa muncul pada infeksi virus Corona meskipun
lebih jarang, yaitu:

 Diare
 Sakit kepala
 Konjungtivitis
 Hilangnya kemampuan mengecap rasa
 Hilangnya kemampuan untuk mencium bau (anosmia)
 Ruam di kulit

Gejala-gejala COVID-19 ini umumnya muncul dalam waktu 2 hari sampai 2


minggu setelah penderita terpapar virus Corona. Sebagian pasien yang terinfeksi
virus Corona bisa mengalami penurunan oksigen tanpa adanya gejala apapun.
Kondisi ini disebut happy hypoxia.
Guna memastikan apakah gejala-gejala tersebut merupakan gejala dari virus
Corona, diperlukan rapid test atau PCR. Untuk menemukan tempat melakukan rapid
test atau PCR di sekitar rumah Anda, klik di sini.
f. Pemeriksaan Penunjang
Hal mendasar yang harus ditegaskan terlebih dahulu bahwa diagnosis itu
ditegakkan sejak dari anamnesis (wawancara), pemeriksaan fisik, baru pemeriksaan
penunjang. Maka, kriteria penegakan diagnosis Covid-19 pun sebenarnya urut,

66
adakah riwayat dan gejala (anamnesis), adakah kelainan klinis yang mendukung atau
sebaliknya menyingkirkan, dan ditambah pemeriksaan penunjang.
Untuk awal, pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan
radiologi. Dari sana muncul status orang tanpa gejala (OTG), orang dalam
pemantauan (ODP), maupun pasien dalam pengawasan (PDP). Sudah terbit
juga scoring (penilaian) risiko menjadi PDP.
Setelah itulah sebenarnya baru ada pemeriksaan konfirmasi menggunakan
metode  polymerase chain reaction (PCR). Lebih tepatnya adalah reverse-
transcriptase-PCR, karena targetnya virus RNA.
Pemeriksaan ini sangat spesifik. Artinya, bila ketemu, maka sudah jelas memang
ada virus dalam tubuh penderita. Tentu secara imunologi ada pembahasan lebih
terperinci. Tapi yang jelas, itu bukti kuat telah terjadi infeksi.
Masalahnya, pemeriksaan PCR itu membutuhkan beberapa syarat. Pertama,
pengambilan sampel harus tepat, meliputi lokasi, cara, dan pengelolaan sampelnya.
Setelah itu, ada proses pengiriman sampel ke laboratorium. Sudah ada syaratnya,
antara lain, suhu harus terjaga karena akan memengaruhi aktivitas virus. Karena itu,
bila harus dikirim jarak jauh dengan kondisi perjalanan yang dipengaruhi banyak
faktor, tentu mengandung risiko.
Kedua, proses pemeriksaan sampel. Ruangannya harus memenuhi standar Bio
Safety level minimal 2. Lebih baik lagi level 3. Itu berarti tata letak, kelengkapan
alat, sampai pengaturan aliran udaranya harus tepat. Tekanannya harus negatif.
Setelah itu, untuk mengolah sampel diperlukan minimal alat Bio Safety Cabinet level
2A. Pemeriksanya menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap. Orang
menyebut “baju astronaut”. Itu semua demi keamanan petugas dan masyarakat.
Jangan sampai virus dari sampel justru menyebar ke lingkungan.
Setelah semua syarat itu dipenuhi, dan semua rangkaian pemeriksaan berjalan
sekitar 4-6 jam, maka hasilnya keluar. Kalau positif, maka kekuatan diagnostiknya
sangat tinggi. Tetapi hasil negatif, harus terus dipastikan agar tidak keliru.
Itulah mengapa pengambilan sampel pada pasien Covid-19 tidak hanya sekali.
Diulang minimal dua kali di dua hari pertama. Bila salah satunya memberi hasil
positif, maka sudah dipastikan hasilnya positif. Tapi untuk menyatakan negatif, maka
minimal memerlukan dua kali pemeriksaan dengan hasil negatif berselang dua hari.
Dengan demikian selama perawatan pasien positif Covid-19, untuk sampai
dinyatakan sembuh perlu minimal empat kali pemeriksaan PCR. Itu kalau hasil
pemeriksaan ulangnya langsung negatif. 

g. Penatalaksanaan :
1). Pengobatan/farmakologi

Apakah ada obat untuk menyembuhkan Covid-19? Seperti yang dilansir oleh
badan kesehatan dunia atau WHO (World Health Organization), hingga saat ini
belum ada obat yang secara spesifik direkomendasikan untuk mengobati Covid-19.
Namun, orang yang terinfeksi harus tetap mendapatkan perawatan yang sesuai untuk
mengatasi gejala Covid-19. Bagi orang yang mengalami gejala infeksi berat harus
menjalani perawatan penunjang yang optimal di rumah sakit. Dengan demikian,

67
sangat penting bagi orang yang menderita Covid-19 untuk mendapat penanganan dan
perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan yang sesuai.

Para ahli tentu tidak berdiam diri dan berusaha mencari obat yang dapat
mengatasi Covid19. Mereka menemukan bahwa beberapa obat yang sebelumnya
digunakan untuk penyakit lain ternyata memiliki potensi untuk mengatasi Covid-19.
Salah satu obat tersebut adalah Klorokuin yang telah digunakan untuk mengatasi
penyakit Malaria [2] . Melalui uji in vitro, para ahli menemukan bahwa Klorokuin
dapat bekerja melawan virus SARS-CoV-2. Uji in vitro adalah uji dengan
menggunakan sel makhluk hidup dan virus yang dilakukan di luar tubuh hewan atau
manusia. Untuk memastikan khasiat dan keamanan penggunaan Klorokuin pada
manusia, tentu uji yang dilakukan secara in vitro tidaklah cukup sehingga perlu
didukung juga oleh uji klinik. Uji klinik adalah studi yang dilakukan pada subyek
relawan manusia untuk mengevaluasi suatu tindakan/intervensi klinis, misalnya efek
pemberian obat pada suatu jenis penyakit. Negara Cina tengah melakukan beberapa
uji klinik untuk mengevaluasi Klorokuin dan mengklaim bahwa penggunaan
Klorokuin pada lebih dari 100 pasien Covid-19 menunjukkan hasil positif [3] . Para
ahli juga melihat potensi turunan dari Klorokuin, yaitu Hidroksiklorokuin. Sebuah uji
klinik di Perancis dengan 26 pasien [4] dan di Cina dengan 62 pasien [5]
menunjukkan potensi Hidroksiklorokuin untuk mengatasi Covid-19. Studi dari
Perancis juga menyebutkan hidroksiklorokuin efektif mengobati Covid-19 ketika
dikombinasikan dengan Azitromisin [4] .

Uji klinik untuk pengunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin ini dilakukan pada
jumlah relawan manusia yang relatif sedikit. Pada umumnya, untuk memastikan
khasiat dan keamanan suatu obat dibutuhkan uji klinis dengan jumlah relawan yang
lebih besar (300-3000 relawan). Untuk itu, saat ini berbagai uji klinik untuk kedua
obat ini masih terus dilakukan untuk melengkapi informasi mengenai khasiat dan
keamanannya. Terkait dengan penggunaan Hidroksiklorokuin untuk pencegahan
infeksi SARS-CoV-2 juga masih dilakukan investigasi lebih lanjut dan sampai saat
ini belum ada hasil yang menunjukkan potensi obat hidroksiklorokuin untuk
pencegahan dari terkenanya penyakit Covid-19.

Hal yang sama juga dilakukan untuk obat lain yang juga diduga memiliki potensi
mengatasi Covid-19, yaitu Avigan® . Avigan® merupakan nama dagang untuk obat
Favipiravir yang memiliki kemampuan membunuh virus Influenza. Sebuah uji klinik
pada 236 orang dewasa menunjukkan potensi penggunaan Favipiravir untuk
mengatasi Covid-19 [6] . Namun, informasi khasiat dan keamanan Favipiravir yang
didapatkan dari uji klinis tersebut masih terbatas. Untuk itu, berbagai uji klinik masih
terus dilakukan untuk mengevaluasi khasiat dan keamanan Favipiravir sebagai
pengobatan Covid-19. 3/4 Selain kedua obat tersebut, para ahli juga melihat obat-
obatan lain yang memiliki potensi untuk menyembuhkan Covid-19, diantaranya
lopinavir-ritonavir, dan remdesivir. Uji-uji klinik berbagai obat potensial gencar
dilakukan di beberapa negara untuk mengatasi wabah Covid-19. Kita berharap
semoga uji-uji klinik ini akan membuahkan hasil dan wabah ini segera berakhir.

68
Baru-baru ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan
Informatorium Obat Covid-19 di Indonesia [7] . Informatorium ini menjadi acuan
bagi tenaga medis dalam pengobatan pasien Covid-19. Dalam informatorium
disebutkan bahwa walaupun bukti keamanan dan khasiat obat untuk terapi Covid-19
masih terus dikumpulkan melalui uji-uji klinis, tenaga medis dapat memberikan obat
yang memiliki potensi khasiat, aman, tersedia, sesuai dengan kondisi pasien, dan
terjangkau dari segi harga

f. Terapi diet

Terapi Diet Covid-19

Pasien COVID-19 tanpa komplikasi dianjurkan untuk diet tinggi protein. Asupan
lemak yang penting bagi pasien COVID-19 misalnya asam lemak jenuh dari minyak
kelapa sawit, dapat meningkatkan kesehatan hati dan mengobati infeksi akibat jamur dan
bakteri berbahaya yang menyerang tubuh. Selain itu makanan yang mengandung asam
lemak omega-3 juga dianjurkan. Asam lemak omega-3 merupakan salah satu lemak
esensial tubuh khususnya asam eicosapentaenoic (EPA) dan asam docosahexaenoic
(DHA). Berdasarkan penelitian, asam lemak omega-3 berperan sebagai antivirus dengan
menghambat replikasi virus influenza juga sebagai agen antiinflamasi. Namun demikian,
tidak dianjurkan mengkonsumsi asupan tinggi ataupun suplemen omega 3 dikarenakan
dapat membuat membran sel lebih rentan terhadap oksidasi yang berakibat peningkatan
stress oksidatif.

69
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sistem pernapasan pada manusia adalah sekumpulan organ yang terlibat dalam
proses pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida dalam darah. Seseorang dapat
dikatakan memiliki laju pernapasan normal apabila ia bisa bernapas sebanyak 12–20 kali
per menit dan berlangsung secara berkesinambungan.
Ada beberapa penyakit pada sistem pernafasan yang sudah akut yang sering
disebut juga dengan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). ISPA adalah penyakit yang
diakibatkan oleh virus atau bakteri yang menyerang saluran pernafasan mulai dari bagian
sinus, tenggorokan sampai paru-paru diantara penyakit tersebut yaitu penyakit TB Paru,
penyakit Kanker Paru, penyakit Ca Naso Pharynk, penyakit Asma, penyakit Pneumonia,
penyakit PPOK & penyakit Covid-19.
TB adalah singkatan dari “Tubercle Bacillus” atau tuberculosis merupakan infeksi
bakteri kronik yang disebabkan oleh micobackterium tuberculosis dan ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersentivitas yang
diperantarai-sel. Penyakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat mengenai orang lain.
Kanker paru adalah kanker pada lapisan epitel saluran napas (karsinoma
nonkogenik). Kanker paru tumbuh dimana saja di paru. Sel-sel kanker pada paru-paru
terus tumbuh tidak terkendali. Penyakit ini lama kelamaan dapat menyerang seluruh
tubuh.
Kanker nasofaring merupakan kanker yang terjadi di mukosa
nasofaring yang menunjukan adanya diferensiasi sel skuamosa. Terdapat tiga jenis
kanker nasofaring, yaitu Keratinizing Squamous Cell Carcinoma, Nonkeratinizing Cell
Carcinoma, dan Basaloid Squamous Carcinoma.
Asma adalah penyakit heterogen dan merupakan penyakit kronis yang
memengaruhi saluran udara dan paru-paru ditandai dengan kesulitan bernafas, mengi
dan sesak nafas yang berbeda-beda. Asma disebabkan oleh pembengkakan dan saluran
bronkial, kadang-kadang sebagai reaksi terhadap alergen, perubahan suhu dan infeksi
virus pada sistem pernafasan.

70
Pneumonia adalah suatu penyakit peradangan pada paru yang timbul karena
invasi dari beberapa patogen dan salah satu penyebab yang paling banyak yaitu
bakteri sehingga bisa menyebabkan gangguan fungsi organ pernapasan seperti
kesulitan untuk bernapas karena kekurangan oksigen.
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang bisa dicegah
dan diatasi, yang dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang
biasanya bersifat progresif, dan terkait dengan adanya respon imflamasi kronis saluran
pernapasan dan paru-paru terhadap gas atau partikel berbahaya. Serangan akut dan
komorbiditas berpengaruh terhadap keparahan penyakit secara keseluruhan.
Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar dari virus yang menyebabkan penyakit,
mulai dari flu biasa hingga penyakit pernapasan yang lebih parah, seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

71
DAFTAR PUSTAKA
Anisa Zulfiya Rahmah, J. N. (2020). Potensi Tanaman Cermai Dalam Mengatasi Asma. Jurnal
Penelitian Perawat Profesional, Volume 2 No 2 , 147-154.
Bayu, F. A. (2018). Karsinoma Nasofaring Dan Paresis Nervus Kranial. Ilmu Radiologi FK UNS,
36.
Kuswandi, A., Kuswandi, N. H., Kasim, M., Tan’im, T., & Wulandari, M. (2020). Karakteristik
Histopatologi dan Stadium Klinis Kanker Nasofaring. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada, 11(1), 243–251. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.259
Pelzer, K., Stebbins, J. F., Prinz, F. B., Borisov, A. S., Hazendonk, P., Hayes, P. G., Abele, M.,
Nmr, S., York, N., Santibáñez-Mendieta, A. B., Didier, C., Inglis, K. K., Corkett, A. J.,
Pitcher, M. J., Zanella, M., Shin, J. F., Daniels, L. M., Rakhmatullin, A., Li, M. M., …
Society, C. (2017). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関連指標
に 関 す る 共 分 散 構 造 分 析 Title. Solid State Ionics, 2(1), 1–10.
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0167273817305726%0Ahttp://dx.doi.org/10.10
38/s41467-017-01772-
1%0Ahttp://www.ing.unitn.it/~luttero/laboratoriomateriali/RietveldRefinements.pdf
%0Ahttp://www.intechopen.com/books/spectroscopic-analyses-developments-an
Ross, & Wilson. (2014). Dasar-dasar Anatomi dan Fisiologi Penerjemah Elly Nurachmah Edisi
12. Jakarta: Salemba Medika.
Utama, S. Y. (2018). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Respirasi. Sleman: Deepublish.
Wijaya, F. O., & Soeseno, B. (2017). Deteksi Dini Dan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. Cdk-

72
254, 44(7), 478–481.
Zuriati, M. S. (2017). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Sistem Respirasi Aplikasi
Nanda NIC&NOC. Padang: Penerbit Sinar Ultima Indah.

73

Anda mungkin juga menyukai