Anda di halaman 1dari 15

Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

Prodi Ilmu Politik

ROPIUDIN/191186518041
Tugas Review IV

Buku : Political Ideologies and The Democratic Ideal Bab 3


Penulis : Terence Ball & Richard Dagger
Mata Kuliah : Pemikiran Politik
Dosen : Prof. Maswadi Rauf

LIBERALISME
Liberal berasal dari bahasa latin, yaitu “Liber” yang berarti bebas. Sebelum abad ke-19
liberal belum menjadi sebuah kosa kata dalam politik, pada masa itu liberal dimaknai sebagai
murah hati dan toleran, yang merupakan sebuah tujuan dari “pendidikan liberal” untuk
mempersiapkan generasi muda, namun akhirnya liberal kemudian memiliki perluasan makna pada
era selanjunya. Baru pada abad ke-19, liberal menjadi sebuah istilah politik, yang dimulai dari
Spanyol pada awal tahun 1800-an ketika sebuah faksi dalam legislatif mengadopsi nama liberales,
kemudian istilah liberal juga akhirnya masuk ke Prancis dan dikenal luas di daratan Britania Raya,
dimana terdapat kelompok whig yang berkembang pada tahun 1840-an, yang kemudian
membentuk partai Liberal. Pada tahap liberal awal ini adanya keinginan masyarakat untuk lebih
terbuka dan toleran, dimana setiap orang bebas mengeluarkan ide-ide dan mengejar kepentingan
mereka dengan sedikit hambatan.
Liberalisme, Sifat Manusia dan Kebebasan
Liberalisme memiliki pemaknaan kebebasan individu yang bersandar pada konsepsi
kebebasan manusia sebagai fundamental rasional individu. Terdapat perbedaan dengan liberal,
namun prinsipnya tetap sama, yaitu kebebasan. Penekanan liberalisme lebih kepada bagaimana
persaingan dapat dilakukan dengan mengedepankan kepentingan individu. Kaum liberal pada
umumnya setuju kepentingan adalah morif utama bagi kebanyakan orang. Beberapa pendapat
mengatakan harus adanya ruang kebebasan untuk mengejar kepentingan, sedangkan dipihak lain
ada juga pendapat yang mengatakan adanya kebebasan untuk mengejar kepentingan individu tidak
akan memberikan kesejahteraan bagi orang lain. Pendapat lainnya juga mengungkapkan bahwa
dengan adanya kebebasan untuk mengejar kepentingan, maka akan terjadi persaingan. Bagi kaum
liberal hal tersebut normal karena berdasarkan rasionalitas, dan menganggap persaingan
merupakan sifat alamiah manusia.
Latar Belakang Sejarah
Asal-usul liberalisme dapat kita telusuri dari reaksi terhadap dua ciri yang merupakan
karakteristik dari masyarakat pada abad pertengahan di Eropa, yaitu konformitas agama dan status
asal. Salah satu sudut pandang penting dari konsep liberalisme adalah pemisahan antara gereja
yang dalam konteks ini diartikan sebagai agama dengan negara.
Secara umum pandangan liberal percaya pada hakikat kebenaran obyektif, yang didapat dari
riset metode yang ilmiah, pengalaman, dan verifikasi. Upaya rasionalisme dilakukan dengan
mengemukakan alasan yang tepat dalam segala hal agama maupun non agama untuk menjawab
pertanyaan kritis. Sebuah konsekuensi besar dari rasionalitas ini berdampak pada sikap sekuler
terhadap agama. Dalam pandangan mereka, sebuah agama adalah suatu opini yang harus disikapi
dengan toleran sama seperti opini yang lain, dan gereja adalah institusi privat yang harus diterima
seperti institusi lainnya. Liberalisme juga menjunjung kebebasan berkeyakinan maupun tidak
berkeyakinan. Untuk mencapai suatu kebebasan beragama yang seutuhnya, sekularisasi
dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Selanjutnya ialah karakteristik yang mengungkapkan masyarakat berdasarkan pada status
asal. Jika suatu masyarakat berdasarkan status asal, maka kedudukan sosial seseorang statis sejak
ia dilahirkan dan tidak ada sedikitpun yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Apa yang
diperjuangkan kaum liberal disini adalah bilamana seseorang dapat diperhitungkan berdasarkan
kebaikan yang ada dalam dirinya, dan bukan karena status sosialnya.
Reformasi Protestan terjadi pada sekitar tahun 1517 hingga 1600, Periode ini telah terjadi
pembaruan-pembaruan pada gereja katolik Roma, diantaranya dilakukan oleh Marthin Luther,
Yohanes Calvin, John Knox mengakhiri dominasi uskup dan biarawan dalam mempelajari Alkitab.
Reformasi Protestan menyebabkan Kontra-Reformasi dan reformasi lainnya di Eropa Barat,
sementara penemuan benua Amerika menyebabkan kaum Protestan yang dianiaya di Eropa,
terutama Inggris, melarikan diri ke Amerika dan memulai negara baru yang berlandaskan
kekristenan.
Terjadinya reformasi protestan merupakan langkah awal modernisasi, dimana terjadi
penghancuran kreatif yang cukup mencolok, diantaranya adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dimana banyak menelurkan ide dan gagasan yang cenderung mengedepankan
kebebasan. Pada Reformasi Protestan melahirkan pembebasan politik juga tidak sepenuhnya
benar. Semangat anti-kemapanan dan pemberontakan boleh jadi merupakan trademark
Protestanisme. Menurunkan penguasa lalim lalu menjadi kewajiban. Tetapi penolakan terhadap
kekuasaan penindas dan tak bermoral juga merupakan tradisi lama pemikiran Nasrani. Thomas
Aquinas malah mensistematisasikannya. Bahkan Luther kemudian mengadopsi pemikiran
Aquinas ini dalam formulasi teologisnya untuk mengesahkan perlawanan terhadap otoritas Gereja
Roma.
Thomas Hobbes dan John Locke merupakan tokoh yang mengeluarkan konsep akan
liberalisme di Inggris, mereka sama-sama mengemukakan teori state of nature yang berbeda satu
sama lain. Meskipun berangkat pada konsep yang sama, yakni sebuah konsep yang dinamakan
konsep negara alamaiah atau tidak ada negara pada awalnya. Namun dalam perkembangannya,
kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. Jika
ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda.
Hobbes (1588-1679) berpandangan bahwa dalam State of Nature, individu itu pada dasarnya buruk
(egois) – sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin hidup damai. Oleh karena itu mereka
membentuk suatu masyarakat baru – suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat
perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain di mana perjanjian ini memerlukan
pihak ketiga (penguasa). Sedangkan John Locke (1632-1704) berpendapat bahwa individu pada
State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka
khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang
diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa.
Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), di mana
Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi
Konstitusional. Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan
pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes
adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara
itu kedepannya tergantung pemimpin negara. Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara
itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya sebagai
“penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik.
Terjadinya Revolusi Amerika dikarenakan adanya paham terkait kebebasan dalam politik,
kebebasan dalam perdagangan, terdapat macam-macam pajak, peristiwa The Boston Tea Party
yang merupakan peristiwa dimana pada tahun 1773 pemerintah Inggris membawa Teh ke
pelabuhan Boston, kemudian pada malam harinya teh tersebut dibuang kelaut oleh orang-orang
Amerika.
Perang ini pada mulanya hanya bersifat menentang kekerasan pemerintah Inggris terhadap
kaum koloni dan belum mempunyai tujuan untuk mencapai kemerdekaan, namun tujuan menjadi
jelas setelah terbitnya buku Common Sense (1776) karya Thomas Paine, yang pada akhirnya
tulisan tersebut membuat rakyat Amerika menggelorakan semangat kemerdekaan. Akhirnya
perang Revolusi Amerika mengubah pandangan penduduk Amerika, dari Aspek politik sudah
tidak ada lagi pegawai Inggris di Amerika. Pemerintahan masih menggunakan sistem Britian,
namun telah memberikan kekuasaan kepada negara-negara bagian untuk mengatur wilayahnya.
Dari aspek sosial melalui deklarasi kemerdekaan banyak mengutarakan hak-hak kemanusiaan.
Revolusi Amerika telah menunjukkan ke mata dunia bahwa dengan kekuatan persatuan dan
penghargaan atas hak-hak asasi manusia, kemerdekaan dapat diperoleh.
Untuk memahami Revolusi Prancis dan peran konsep liberalisme di dalamnya, kita perlu
mengetahui terlebih dahulu mengenai ancien regime - tatanan kuno masyarakat Perancis yang
telah ada jauh sebelum revolusi dimulai. tiga karakteristik utama dari orde ini perlu kita perhatikan
yaitu: (1) kewajiban untuk memeluk agama, (2) hak istimewa para aristokrat, dan (3) kedaulatan
mutlak politik. ketiga karakteristik tersebut merupakan pemantik terjadinya revolusi Prancis yang
berbeda dari koloni-koloni di Amerika.
Revolusi Prancis terjadi selama sepuluh tahun, dengan keinginan adanya perlindungan Hak
Asasi Manusia yang selama ini diabaikan rajanya, penggerak revolusi juga menginginkan
penghapusan orde lama, menghapuskan kebijakan agama tunggal menjadi lebih toleransi, hak
istimewa yang sebelumnya melekat pada aristokrat diganti dengan kesempatan yang sama bagi
seluruh masyarakat, dan menghentikan sistem monarki absolut menjadi konstitusional. Akhirnya
gerakan revolusi Prancis itu membuahkan Declaration of The Rights of Man and of The Citizen
(Deklarasi Terkait Hak-Hak Manusia dan Hak Warga Negara) yang terbit di tahun 1789. Pada
bagian pertama dari 17 artikel yang terdapat dalam Deklarasi ini, Majelis Nasional mengecam
keras hak-hak istimewa para kaum aristokrat, serta asal usul status sosial seseorang : “Setiap
manusia terlahir, dan akan selalu menjadi makhluk yang bebas dan setara akan hak-haknya”.
Perbedaan dalam sebuah tatanan masyarakat hanya dapat kita temukan di utilitas publik. Artikel
kedua dan ketiga menitikberatkan terhadap absolutisme politik dan bahwa pemerintahan berjalan
atas persetujuan para anggotanya :
II. Akhir dari semua asosiasi politik, adalah pelestarian hak-hak asasi yang tidak dapat dilepaskan
dari seorang manusia. Meliputi kebebasan, kepemilikan, keamanan, dan penolakan terhadap
penindasan.
III. Negara adalah sumber dari kedaulatan, tidak ada seseorang maupun lembaga tertentu yang
memiliki otoritas padanya.
Liberalisme dan Kapitalisme
Salah satu strategi untuk memperkuat kekuatan ekonomi adalah dengan membentuk koloni-
koloni dan mengeksploitasi sumberdaya mereka, serta melarang koloni untuk menjual atau
membeli ke negara lain selain negara “induk”nya. Strategi lainnya adalah mengatur tarif yang
tinggi untuk pajak barang-barang impor, hal ini akan menghambat perdagangan barang asing dan
akan memacu berkembangnya perekonomian dalam negeri. Strategi ketiga adalah dengan
monopoli, yakni diberikannya izin untuk mengendalikan pasar kepada satu lembaga/perusahaan.
Strategi ini dirasakan paling efektif untuk meminimalisir resiko perdagangan yang terjadi antara
koloni ditempat yang jauh dengan Eropa. contoh praktek monopoli seperti Perusahaan Dutch East
India dan British East India, masing-masing mendapatkan izin dari pemerintahnya (tetapi
bukandari masyarakatnya), untuk mengatur dan melakukan kegiatan jual beli di wilayah koloninya
masing-masing.
Merujuk kepada konsep kapitalisme, kegiatan ekonomi adalah hal pribadi yang menyangkut
tujuan seseorang untuk mengejar keuntungan bagi dirinya sendiri. Penekanan yang terdapat pada
keuntungan pribadi bertolak belakang dengan tradisi sebagian besar umat Kristiani dan para
republikan, dimana tidak ada satupun diantara mereka yang memberikan perhatian lebih terhadap
keuntungan pribadi. Pada tahun 1700-an muncul beberapa argumen yang cukup kuat mengenai
kebebasan seseorang untuk mengejar kepentingan pribadinya, dan mendapatkan keuntungan
pribadi. Salah satunya adalah The Fable of The Bees (1714) karya Bernard Mandeville (1670-
1733). Literatur karya Mandeville menceritakan tentang kumpulan lebah dalam sarangnya.
Tokoh ekonomi terkemuka yang besar dengan teori-teorinya, Adam Smith menyarankan
agar dibentuknya sebuah kebijakan ekonomi yang memberikan kesempatan bagi individu agar ia
bisa bersaing di pasar perdagangan dengan bebas. Kebijakan ini akan memberikan kesempatan
yang sama bagi semua orang sehingga kebijakan ini akan menjadi kebijakan yang paling efisien,
dan paling adil. Smith beralasan bahwa manusia akan termotivasi untuk mengasilkan dan menjual
barang demi memenuhi kebutuhannya apabila larangan dan batasan ekonomi ditiadakan. Untuk
mendapatkan keuntungan, produsen harus memproduksi barang yang lebih baik dari pesaingnya
atau menjual barang tersebut dengan harga lebih murah. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka
calon pembeli tidak akan membeli barang dagangannya. Smith juga mendesak agar perdagangan
bebas antar negara segera ditetapkan. Apabila produsen atau pedagan yang berasal dari negara lain
bisa menjual barang kebutuhan kita dengan harga yang lebih murah dibandingkan apabila kita
memproduksi barang tersebut sendiri, maka biarkan mereka melakukan hal tersebut.
Dari sudut pandang Smith, pemerintah tidak boleh terlalu banyak turut campur dalam
aktivitas perekonomian. Pemerintah hanya mempunyai 3 peran utama. Pertama, pemerintah
berkewajiban melindungi negara dari ancaman asing. Kedua, pemerintah harus menerapkan
keadilan, terutama mengenai kebijakan perlindungan hak milik dan menjaga keteraturan. Terakhir,
pemerintah harus menyediakan sarana-sarana publik, dan keperluan yang tidak disediakan oleh
perusahaan pribadi/swasta.
Liberalisme di Abad Ke-19
Pada awal tahun 1800-an, liberalisme tetap menjadi kekuatan revolusioner yang tersebar di
seluruh dunia. Di Amerika Selatan, konsep liberal telah menjadi inspirasi perjuangan mereka untuk
bebas dari koloni Spanyol. Bahkan di Perancis, pemerintahan diktator Napoleon tidak berhasil
mengembalikan era ancien regime. Dalam revisinya mengenai hukum dan undang-undang di
Perancis, Napoleonic Code, ia memberikan persetujan yang bersifat permanen bagi prinsip dari
kesetaraan publik. Para aristokrat diizinkan untuk tetap menyandang gelarnya, tetapi kehilangan
sebagian besar hak-hak istimewanya. Napoleon juga menjamin kebebasan beragama bagi umat
Protestan dan Yahudi.
Pada awal tahun 1800-an Kerajaan Inggris masih berkembang. 13 koloninya di Amerika
telah mendeklarasikan kemerdekaan mereka masing-masing, akan tetapi Inggris masih memiliki
kuasa atas India, Kanada, dan Australia. Seiring berjalannya waktu, wilayah kekuasaan Inggris di
benua Afrika juga semakin berkembang. Revolusi Industri yang terjadi di Inggris juga
membuatnya menjade negara pertama dengan kekuatan industri yang sangat luar biasa. Di tahun
1750-an, penemuan mesin baru yakni mesin uap, dan teknik-teknik produksi massal yang modern
membuat Inggris maju pesat di bidang industri. Kekuatan ini membuat Inggris tidak hanya mampu
melakukan impor bahan-bahan mentah seperti kapas, mereka juga menjual barang-barang jadi di
dalam dan luar negeri dengan keuntungan yang cukup besar. Dengan kolaborasi antara kerajaan
dan industri, Inggris segera mendapatkan reputasi menjadi “bengkel dunia” di abad ke-19.
Pada paruh awal abad ke-19, dalam bidang ekonomi dan kekuatan politik, para buruh
tersebut sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan rakyat kelas menengah. Undang-undang
Reformasi yang terbentuk di tahun 1832, memberikan cukup kesempatan bagi orang dewasa untuk
memiliki hak suara/hak pilih, akan tetapi sebagian besar laki-laki lain dan juga wanita masih tidak
memiliki hak tersebut. Permasalahan tersebut sangat mengkhawatirkan, terutama bagi penulis-
penulis liberal yang juga menjadi pencetus teori utilitarianisme.
Utilitarianisme
Pemimpin utama dari kaum Utilitarian (atau Filsuf Radikal) adalah Jeremy Bentham (1748-
1832). Bentham menegaskan bahwa masyarakat harus direformasi berdasarkan asas-asas yang
lebih rasional. Langkah awal untuk mewujudkan hal ini, kita harus mulai bertanya kepada
seseorang alasan mereka melakukan sesuatu (pekerjaan). Jawabannya, serupa dengan jawaban
Thomas Hobbes di abad ke-17, manusia bertindak atas dasar kepentingan dan kebutuhan
pribadinya. Seperti pernyataan Bentham : “Alam telah menempatkan umat manusia dibawah dua
penguasa yang hebat, penderitaan dan kesenangan”. Manusia haruslah dibiarkan untuk
menentukan apa yang harus mereka lakukan dan apa yang sebaiknya mereka lakukan. Bentham
tidak bermaksud bahwa kita harus selalu mencari kesenangan dalam bentuk instan, seperti
contohnya mabuk-mabukkan, karena bisa saja penderitaan yang akan kita, atau bahkan orang lain,
rasakan mungkin akan lebih besar dibandingkan kesenangan sesaat tersebut. Apa yang Bentham
maksud adalah, kita harus menemukan sebuah faedah/kegunaan. Suatu hal akan memiliki
kegunaan bagi seseorang, palu dapat berguna bagi seorang tukang kayu, uang dapat memiliki
kegunaan bagi semua orang.
Bentham menarik dua kesimpulan dari dua konsepnya mengenai pemerintah. Pertama,
pemerintah harus dapat memberikan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang dengan cara tidak
melakukan intevensi terhadap masyarakat. Kedua, pemerintah tidak seharusnya memberikan
kebahagiaan apabila golongan yang menuntutnya berjumlah sedikit. Bentham menekankan
kesetaraan bagi seluruh manusia. Pemerintah harus memperhitungkan setiap aspek yang
dibutuhkan oleh masyarakatnya untuk mencapai kebahagiaan. Hal ini hanya dapat terwujud
apabila semua orang memiliki hak suara.
Sudut pandang John Stuart Mill terhadap permasalah ini tidak diragukan lagi, ia adalah
seorang aktivis pembela hak-hak kaum wanita. Sebagai kaum utilitarian yang sangat berpengaruh,
Mill (1806-1873) adalah seorang pemimpin filsuf liberal di abad ke-19. Ia merupakan pendukung
hak-hak kaum wanita dan ia merasa pemerintah seharusnya menentukan standar pendidikan
minimum bagi semua orang. Perhatian Mill yang terbesar adalah bagaimana cara untuk
mengembangkan dan memperluan kebebasan individu. Hal ini dinyatakan secara jelas dalam
essainya berjudul On Liberty.
On Liberty merupakan upaya Mill untuk mengatasi bentuk baru dari tirani. Di dalam
essainya ia menyatakan “satu prinsip sederhana” yang ia harap dapat mempersuasi para
pembacanya. “Satu-satunya alasan yang dapat dibenarkan atas penggunaan sebuah bentuk
kekuatan dan pemaksaan dalam tatanan masyarakat yang beradab, adalah untuk mencegah
terjadinya kekerasan antar sesama manusia. Apabila alasannya untuk kepentingan pribadi, maka
hal tersebut bukan merupakan jaminan yang cukup”. Atas dasar prinsip ini – terkadang disebut
sebagai “prinsip kekerasan” – setiap manusia dewasa yang memiliki akal sehat harus dibebaskan
untuk melakukan apa yang ia inginkan selama tindakannya tersebut tidak merugikan yang lain.
Hasrat Mill untuk mempromosikan kebebasan individu membuatnya menarik kesimpulan
bahwa bentuk pemerintahan yang paling baik adalah sistem demokrasi representatif. Ia
menyatakannya dalam literatur Considerations on Representative Goverment (1861). Mill
meyakini bahwa partipasi politik adalah latihan yang baik bagi kemampuan moral dan mental
setiap manusia, dan hanya dapat dilakukan di sistem pemerintahan demokratis. Meskipun
demikian, kekhawatiran Mill terhadap tirani kaum mayoritas membuatnya enggan untuk
menerima konsep demokrasi dengan sepenuh hati.
Perpecahan Liberalisme
Terjadinya perpecahan disebabkan oleh reaksi penganut paham liberal yang berbeda
terhadap efek sosial dari Revolusi Industri. Seiring berjalannya waktu, penderitaan yang dialami
golongan buruh di Inggris semakin jelas terlihat. Salah satu literatur yang menggambarkan kondisi
buruk para buruh pada masa itu adalah novel-novel karya Charles Dickens. Sejumlah gerakan
perubahan dimulai, dan konsep sosialisme mulai mendapatkan banyak dukungan terutama di
benua Eropa. Satu kelompok penganut paham liberal mulai berargumentasi bahwa ini adalah
saatnya pemerintah mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan penduduknya dari
kemiskinan, kebodohan, dan wabah penyakit. Karena penekanannya terhadap kesejahteraan
masyarakat, para penganut paham liberal ini diberi nama kelompok penganut paham liberal
kesejahteraan.
Liberalisme Neo-Klasikal
Sejak akhir abad ke-19, kelompok liberal neo-klasikal berpendapat bahwa pemerintah harus
diberikan ruang gerak sekecil mungkin agar kebebasan individu dapat terlaksana dengan leluasa.
Negara atau pemerintah, menurut kelompok ini, tidak lebih dari "para penjaga malam". Tugas
resmi mereka adalah untuk melindungi rakyatnya beserta hak milik mereka dari kekerasan dan
penipuan. Sebagian dari kaum liberal neo-klasikal merujuk kepada hak asasi manusia, sedangkan
yang lainnya merujuk kepada prinsip kegunaan. Akan tetapi, di akhir tahun 1800-an, teori yang
paling berpengaruh muncul dari penganut paham liberal neo-klasikal, teori tersebut adalah teori
evolusi milik Charles Darwin.
Salah satu penggagas konsep liberalisme kesejahteraan adalah T.H. Green (1836-1882),
seorang profesor filosofi di Universitas Oxford. Jantung dari liberalisme, menurut Green, adalah
hasrat untuk menghilangkan rintangan yang menghalangi kebebasan seorang individu untuk
berkembang. Argumen Green berdiri berdasarkan perbedaan menyikapi sebuah kebebasan, yakni
kebebasan positif dan negatif. Kaum liberal yang terdahulu memandang kebebasan sebagai sesuatu
yang negatif, menurut Green, karena definisi mereka tentang kebebasan adalah tidak adanya
kekangan.
Sangat penting untuk dicatat bahwa pendiri dari negara persemakmuran bukanlah seorang
sosialis maupun liberalis. Otto von Bismarck, adalah seorang anti-sosialis. Ia dijuluki “Kanselir
Baja” yang berhasil menyatukan German pada akhir abad ke-19. Ia meyakini bahwa sistem negara
persemakmuran adalah cara terbaik untuk melawan sosialime. Melalui sistem pengumpulan pajak
bagi para pengusaha dan pekerja untuk membantu mereka yang sakit, dan para pengangguran.
Lahirnya negara persemakmuran juga secara tidak langsung bersamaan dengan perluasan
pemberian hak pilih di hampir seluruh negara di Eropa. Reformasi yang terjadi di Inggris pada
tahun 1867 dan 1885 menjamin hak pilih untuk semua pria dewasa dan membuat kelas
buruh/pekerja menjadi faktor politik yang lebih kuat.
Liberalisme di Abad Ke-20
Melalui satu bentuk dan bentuk lainnya, konsep liberal neo-klasikal berhasil bertahan di abad
ke-20, bahkan sangat terasa jelas di Amerika Serikat. Keyakinan ini menghadapi ujian terbesarnya
saat era Great Depression terjaadi di tahun 1930-an. Sebuah teori yang muncul di tahun 1930 oleh
ahli ekonomi Inggris John Maynard Keynes (1883-1946) mendapat sambutan yang cukup baik.
Dalam karyanya General Theory of Employment, Interest, and Money (1936), Keynes menyatakan
bahwa pemerintah harus menggunakan kekuatannya atas pajak dan pengeluaran negara untuk
mengatasi masalah ini serta mempertahankan ekonomi yang sehat. Singkatnya, Keynes merasa
bahwa pemerintah harus mencoba untuk membuat penyesuaian atas kebijakan-kebijakan
ekonominya. Ketika harga barang-barang kebutuhan melonjak naik, pemerintah harus turut
menaikkan pajak untuk mencegah inflasi. Kemudian, ketika inflasi sudah tidak lagi menjadi
ancaman, pajak dapat diturunkan kembali, dan tingkatkan pengeluaran negara dibidang sosial
untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan menurunkan level pengangguran.
Perang Dunia ke-2 menjadi akhir bagi Great Depression. Tetapi negara persemakmuran
tetap bertahan, serta ideologi yang menyokongnya, yakni liberalisme kesejahteraan menjadi
ideologi yang dominan di dunia barat, setidaknya bagi negara-negara non-komunis. Kaum liberal
kesejahteraan entah bagaimana seolah mencapai sebuah “kesepakatan” dengan para pesaingnya,
yakni sosialis dan konservatif. Konsensus ini menjadi sangat luas dan kokoh sehingga para
pengamat politik mulai berbicara mengenai “akhir dari ideologi” di tahun 1950-an.
Satu hal yang masih menjadi kontroversi diantara sesama kaum liberalis. Di Amerika
Serikat, para aktivis hak-hak asasi manusia seperti Martin Luther King Jr, meyakini bahwa janji-
janji kemerdekaan dan kesetaraan belum terpenuhi bagi masyarakat kulit hitam. Hal ini adalah
kenyataan pahit yang harus diakui oleh semua orang. Ketika Martin Luther King Jr. Melakukan
protes terhadap undang-undang segregasi yang menjadikan warga kulit hitam menjadi warga
negara “kelas dua”, para penganut paham liberal kesejahteraan dan neo-klasikal sama-sama
memberikan dukungannya. King menuntut tindakan dari pemerintah, tidak hanya untuk
mengeliminasi diskriminasi yang terjadi pada warga negara kulit hitam dan kaum minoritas
lainnya, tetapi juga menyediakan kesempatan di bidang sosial dan ekonomi. Kekacauan yang
terjadi di tahun 1960-an membawa tantangan baru bagi konsep liberal kesejahteraan, kali ini dalam
bentuk New Left (Sayap Kiri Baru).
Walaupun liberalisme kesejateraan adalah paham yang dominan, terutama di negara bagian
barat, buka berarti tidak ada paham yang menjadi pesaing kuat baginya. Munculnya satu paham
yang merupakan percampuran antara liberalisme neo-klasikal dan konservatif di tahun 1970-
1980an menjadi tantangan serius bagi golongan liberalisme kesejahteraan. Pada saat itu, Margaret
Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat merupakan kepala pemerintahannya.
Perdebatan berkepanjangan antar sesama kaum liberalis digambarkan secara baik di dalam
buku karya 2 orang filsuf. A Theory Of Justice karya John Rawls dan Anarchy, State, dan Utopia
karya Robert Nozick. Rawls mengawali tulisannya dengan meminta para pembacanya untuk
membayangkan sebuah kondisi dimana mereka memasuki sebuah kontrak, dimana akan ada
hukum dan undang-undang yang harus mereka taati selama mereka menjadi anggota dari
komunitas tersebut. Pertanyaannya adalah, peraturan apa yang kemudian akan muncul dalam
kondisi seperti itu? Rawls yakin bahwa mereka yang berada dibalik "tudung ketidaktahuan" akan
sepakat memilih dua prinsip fundamental untuk mengatur tatanan mereka, yakni dua prinsip
keadilan.
Semua orang memiliki kebebasan yang sama, kemudian kedua menyatakan bahwa semua
orang mendapatkan kesempatan yang sama. Prinsip kedua Rawls terkesan menuju arah egaliter.
Distribusi harta kekayaan dan sumber daya yang sama rata menjadi patokan bagi Rawls, dan
distribusi yang tidak sama rata hanya dapat dibenarkan apabila terbukti akan membawa manfaat
bagi mereka yang berada di tangga terbawah masyarakat.
Tiga tahun setelah Theory of Justice karya Rawls diterbitkan, Robert Nozick
mempublikasikan Anarchy, State, and Utopia. Di dalam bukunya, Nozick menegaskan bahwa
setiap individu memiliki hak dan merupakan hal yang salah untuk melanggar atau merenggut hak-
hal tersebut. Kemudian Nozick melemparkan pertanyaan, apabila hal ini benar adanya, adakan
suatu bentuk pemerintahan yang sah dalam satu negara yang tidak akan melanggar hak-hal seluruh
rakyatnya? Nozick menarik kembali satu teori liberal lama - kondisi alamiah. Seperti Hobbes dan
Locke, Nozick ingin para pembacanya untuk membayangkan bahwa sebuah kondisi dimana tidak
ada pemerintah, tidak ada negara, tidak ada otoritas yang sah dalam bentuk apapun.
Kesimpulan argumen Nozick menjelaskan bahwa pemerintah harus melindungi
masyarakatnya, apabila pemerintah tidak mampu melakukannya maka jangan melakukan
intervensi apapun terhadap rakyatnya. Seperti para penganut liberal neo-klasikal yang lain, Nozick
bersikeras mengenai sistem ekonomi pasar bebas yang dibatasi. Pemerintah tidak seharusnya
melarang gerakan kapitalis, selama hal tersebut terjadi antar kesepakatan sesama manusia dewasa.
Nozick juga meyakini bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk berpikir dan bertindak
sesuai keinginan mereka masing-masing - selama mereka tidak melanggar hak sesamanya. Akan
tetapi, individu tersebut hanya dapat menikmati kebebasan tersebut apabila ia berada di dalam
sebuah "negara minimal".
Libertarian Anarkisme
Libertarian anarkisme adalah versi yang paling ekstrim dari paham liberalisme. Sama seperti
halnya penganut paham liberal yang lain, golongan ini menjunjung tinggi nilai kebebasan
individual dan kesempatan yang sama rata. Mereka juga sependapat dengan penganut paham
liberal klasik dan neo klasikal bahwa pemerintah merupakan ancaman yang serius bagi kebebasan
invidual. Tetapi para libertarian anarkis meyakini bahwa pemerintah adalah "si penjahat" yang
tidak berguna. Karena tidak memiliki fungsi, mereka menyimpulkan, pemerintah harus
dihilangkan. Menurut sudut pandang mereka, liberalisme sejati akan mengarah kepada anarki.
Liberalisme Era Modern
Sekarang setelah kita menelusuri sejarah dari liberalisme serta perjalanannya hingga saat ini,
apa yang dapat disimpulkan atas kondisinya sekarang? Ada tiga hal yang dapat kita tekankan.
Pertama, gerakan liberalisme yang ada saat ini tidak sama seperti gerakan revolusioner terdahulu.
Kedua, masih terjadi pepecahan antara para penganut paham liberal. Meskipun mereka memiliki
kesepakatan atas poin-poin fundamental, terutama pentingnya kebebasan individual. Terakhir,
para penganut paham liberal saat ini sedang bergelut dengan dua permasalahan yang berasal dari
komitmen awal mereka kepada kebebasan individu dan kesempatan yang setara.
ANALISIS
Sebagai aliran pemikiran yang banyak diterapkan di negara-negara maju, liberalisme tidak
lepas dari kritikan-kritikan, seperti awal kemunculannya, hingga hari ini para pengkritik
liberalisme juga tetap mempertahankan gagasan yang menjelaskan tentang kelemahan liberalisme.
Salah satunya menganggap bahwa liberalisme terjebak pada obsesi meningkatkan produksi dan
kesejahteraan material dengan mengabaikan kebutuhan spiritual manusia. Hal ini bukanlah alasan
untuk mengatakan bahwa liberalisme memandang rendah kebutuhan spiritual melainkan karena
keyakinan bahwa kesejahteraan rohani manusia tidak datang dari luar dirinya melainkan dari
dalam dirinya. Aspek-aspek rohani adalah hal yang sangat personal dalam diri manusia.
Liberalisme hanya memusatkan perhatian pada aspek kebutuhan material seseorang, di luar hal itu
bukanlah fokus liberalisme.
Aspek lain yang dipertanyakan dari liberalisme yaitu, manusia tidak selalu bertindak secara
rasional sepenuhnya, terkadang manusia mengikuti dorongan hati atau biasa disebut dengan
firasat. Dengan cara berfikir materialisme tidak dapat dipungkiri nalar manusia akan semakin
meminggirkan peran intuisi yang terkesan mistis. Sebenarnya liberalisme bukannya tidak
mengakui adanya hal-hal yang bekerja diluar nalar manusia hanya saja liberalisme lebih
menyarankan untuk mengikuti nalar dikarenakan tindakan-tindakan yang dilaksanakan atas dasar
rasionalitas manusia dapat diukur dan diprediksi tingkat kepastiannya.
Liberalisme tidak mengatakan bahwa manusia selalu bertindak cerdas namun untuk dapat
memajukan kapasitas mereka manusia harus bertindak cerdas. Manusia tidak bisa selalu berharap
untuk menemukan rahasia paling utama dari alam semesta melalui hal-hal yang tidak dapat
dijangkau oleh nalar. Justru dengan nalar manusia bisa memahami makna dan tujuan dari
eksistensinya.
Perkembangan perekonomian kapitalisme dewasa ini menjadi tuduhan terbesar terhadap
liberalisme yang diklaim mempertahankan sistem sosial yang tidak mampu membantu setiap
individu meraih impian atau mencapai tujuan mereka. Pendapat luas yang menyatakan bahwa
liberalisme menempatkan kepentingan kelas pengusaha berada di atas kelas masyarakat lainnya.
Pandangan tersebut sebenarnya tidak adil disematkan kepada liberalisme jika ditilik dari gagasan-
gagasan besarnya yang menolak adanya dominasi kekuasaaan diatas kekuasaan orang lain, apalagi
dengan memaksakan kepentingan kepada orang lain. Pemahaman ini sangat jauh melenceng dari
akar teoritik liberalisme yang menginginkan “kebahagiaan terbesar untuk semua orang”. Secara
historis liberalisme merupakan gerakan politik pertama yang menginginkan adanya peningkatan
kesejahteraan untuk semua orang bukan kelas tertentu. Tidak ada literatur pemikir liberalisme yang
menganjurkan adanya pembelaan kepentingan kelas tertentu atau seorang yang mendapat privilege
dalam kehidupan social.
Segala bentuk penjelasan tentang liberalisme dibeberapa ruang di Indonesia seringkali
dianggap aneh karena gagasan liberalisme yang sangat mengedepankan kebebasan diprediksi akan
merusak tatanan kebudayaan masyarakat Indonesia yang telah sekian lama menjalankan prinsip
kebersamaan dalam ruang social. Konsep keadilan yang dibawa liberalisme pun dipercaya akan
merusak hirarki social Negara ini. Gagasan liberalisme dengan sepihak dianggap tidak relevan
dengan Indonesia,
Pandangan tersebut jelas mencerminkan sebuah kesalahpahaman yang sangat besar sedang
terjadi, kemajuan besar yang dihasilkan oleh peradaban modern hari ini itu bukti jelas dari
penerapan filsafat liberalisme. Baik dalam konteks Negara konstitusional dan demokrasi, sistem
ekonomi yang menjamin perlindungan hak milik manusia, serta kebebasan berfikir dan menetukan
pilihan adalah produk nyata dari paham liberalisme. Tanpa disadari bahwa kisah perjalanan
peradaban manusia diiringi oleh kisah lembaga yang menjamin kebebasan dan keterbukaan.
Masyarakat terbuka jelas merupakan salah satu unsur kemaslahatan bersama yang ditawarkan
liberalisme.
Pandangan untuk membangun masyarakat terbuka bukanlah gagasan partikulir yang hanya
bisa dikontekskan dalam ruang tertentu, walaupun liberalisme banyak mengalami artikulasi
filsofis oleh pemikir-pemikir Eropa tidak berarti gagasan ini hanya tepat untuk ras tertentu.
Pandangan masyarakat Indonesia terhadap liberalisme merupakan sebuah rasialisasi yang sama
sekali tidak masuk akal.
DAFTAR PUSTAKA

Ball, Terence dan Ricard Dagger. 1991. Political Ideologies and The Democratic Ideal. New York
: HarperCollins Publisher, Inc.

McDonald dan Lee Cameron. 1968. Western Political Theory part 2 (From Machiavelli to Burke).
USA : Harcourt Brace Javanovich, Inc.

Thomson, David. 1986. Pemikiran-Pemikiran Politik. Jakarta : PT. Aksara Persada Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai