Anda di halaman 1dari 23

Manajemen Keuangan Keluarga Islami

Posted by Azim Izzul Islami


Date: April 24, 2018
in: Artikel
Leave a comment

Oleh: RISQI HIDAYAT, SH.

1. Manajemen Finansial Keluarga

Banyak orang beranggapan bahwa manajemen keuangan keluarga merupakan salah satu bidang
yang rumit. Manajemen keuangan keluarga memang membutuhkan pengetahuan dan kearifan
dalam menjalankannya. Persoalan manajemen keuangan keluarga ini harusnya menjadi prioritas
keluarga karena banyak sekali masalah timbul karena kurang bijaknya manajer keuangan
keluarga dalam mengelola dan mengatur keuangannya. Sebagai seorang manajer keuangan
keluarga, ada beberapa aspek yang perlu ditangani, yaitu:

1. Membuat dan meninjau secara perisodik prioritas keuangan keluarga.


2. Mengelola pendapatan yang terbatas secara bijak.
3. Menghitung kebutuhan proteksi serta menginvestasikan dana dalam bentuk investasi
yang sesuai.
4. Menentukan sebuah rencana pensiun.
5. Mempersiapkan dana pendidikan untuk anak-anak.
6. Belanja dengan bijak.
7. Mengajarkan anak-anak mengenai keuangan.

Ini merupakan hal-hal dasar yang sebaiknya dipikirkan dan direncanakan oleh keluarga melalui
seorang manajer keuangan keluarga, bisa ibu atau bapak atau keduanya.

1. Mengidentifikasi dan menetapkan prioritas keuanga


2. Memikirkan dan mengembangkan sebuah rencana pencapaian.
3. Mengembangkan prosedur pelaksanaan perencanaan.
4. Tujuan dan Langkah-Langkah Manjemen Keuangan Keluarga

Adapun tujuan pengelolaan uang dalam keluarga, yaitu:

1. Dapat membantu memanfaatkan uang yang jumlahnya terbatas menjadi optimal.


2. Pengelolaan keuangan dapat membantu menetapkan penggunaan sumber daya yang
terbatas untuk kebutuhan anggota keluarga dan dibicarakan di antara anggota keluarga.
3. Pengelolaan keuangan dapat mengukur seberapa besar pengeluaran untuk kebutuhan tiap
bulannya dan disesuaikan dengan jumlah penerimaan.
4. Pengelolaan keuangan dapat membantu untuk membatasi pengeluaran yang tidak penting
dalam kehidupan keluarga.

Adapun yang menjadi langkah-langkah manajemen keuangan keluarga, yaitu:

1. Perencanaan dengan langkah-langkah:


2. Membuat daftar kebutuhan keluarga.
3. Menentukan harga dan biaya setiap kebutuhan.
4. Menghitung jumlah penghasilan.
5. Keseimbangan penghasilan dan pengeluaran.
6. Membuat pembukuan rumah tangga.
7. Pelaksanaan dilakukan dengan kontrol penggunaan uang dan penyesuaian penggunaan
uang.
8. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah rencana yang telah dibuat dapat
dilaksanakan.
9. Manajemen Keuangan Keluarga Islami

Harta dalam Islam merupakan amanah dan hak milik seseorang. Kewenangan untuk
menggunakannya terkait erat dengan adanya kemampuan (kompetensi) dan kepantasan
(integritas) dalam mengelola aset atau dalam istilah prinsip kehati-hatian perbankan (prudential
principle). Prinsip Islam mengajarkan bahwa “sebaik-baik harta yang shalih (baik) adalah
dikelola oleh orang yang berkepribadian shalih (amanah dan profesional).

Hak bekerja dalam arti kebebasan berusaha, berdagang, maupun memproduksi barang maupun
jasa untuk mencari rezeki Allah secara halal merupakan hak setiap manusia tanpa diskriminasi
antara laki-laki dan perempuan.  Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki setiap muslim
untuk dapat mengelola usaha dan berusaha secara baik, mengelola dan memanajemen harta
secara ekonomis, efesien dan proporsional serta memiliki semangat dan kebiasaan menabung
untuk masa depan.

Manajemen keuangan keluarga Islami harus dilandasi prinsip keyakinan bahwa penentu dan
pemberi rezeki adalah Allah SWT. dengan usaha yang diniati untuk memenuhi kebutuhan
keluarga agar dapat beribadah dengan khusyu sehingga memiliki komitmen dan prioritas
penghasilan halal yang membawa berkah dan menghindari penghasilan haram yang membawa
petaka.

Syariat Islam mengajarkan beberapa aturan yang mengatur pembelanjaan keluarga muslim,
diantaranya secara garis besar adalah:

1. Komitmen pembelanjaan dan pemenuhan kebutuhan dana adalah kewajiban suami.


2. Kewajiban menafkahi orang tua yang membutuhkan.
3. Istri boleh membantu keuangan suami.
4. Istri bertanggung jawab mengatur keuangan rumah tangga.
5. Istri berkewajiban untuk hemat dan ekonomis.
6. Seimbang antara pendapatan dan pengeluaran.
Manajemen Keuangan Keluarga Islami: Istikhlaf

Oleh: Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam,


Iwan Rudi Saktiawan, SSi, MAg.  yang juga menjadi dasar bagi Manajemen
Keuangan Keluarga Islami adalah
Tenaga Ahli Keuangan Mikro Istikhlaf. Dalam kajian Islam, ada
KMP Wilayah I beberapa kata yang pelafalannya mirip
PNPM Mandiri Perkotaan dengan Istikhlaf, namun artinya sangat
jauh berbeda yakni Ikhtilaf dan Ikhtilat.

Ikhtilaf artinya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Istilah ini biasanya digunakan dalam
hal perbedaan-perbedaan dalam hal fiqh. Sedangkan arti Ikhtilat adalah pergaulan/pencampuran
antara lelaki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Penggunaan istilah ini biasanya
ketika membahas masalah ahlak.

Salah satu ulama yang mempopulerkan istilah Istikhlaf, di antaranya adalah Dr. Yusuf Qardhawi
dalam Kitab "Norma dan Etika Ekonomi Islam". Secara definisi arti dari Istikhlaf adalah seluruh
harta benda yang ada pada manusia, yang biasanya disebut milik kita, pada hakikatnya adalah
hanya titipan dari Allah, SWT. Hal ini karena seluruh yang ada di alam semesta ini merupakan
milik Allah, SWT, sebagaimana firman Allah, SWT:

“Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka
kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang
lebih baik (syurga).” (QS An-Najm : 31)

Dengan demikian, meski secara hukum manusia dan pemahaman yang lazim antarmanusia,
barang-barang tersebut adalah milik kita, tetapi secara hakikat atau secara akidah sebenarnya
adalah milik Allah, SWT, yang dititipkan kepada kita.

Dampak atau akibat dari adanya keyakinan atau pemahaman istikhlaf tersebut di antaranya
adalah:

Pertama, kita harus menggunakan harta benda kita sesuai dengan pemilik yang sebenarnya,
yakni Allah SWT.

Sebagai contoh misalnya Pak Dedi mendapatkan kepercayaan dari Ceu Nina untuk
menggunakan lima buah mobil dan menyimpannya di garasi Pak Dedi. Pada suatu hari, Ceu
Nina berkata kepada Pak Dedi, agar 1 dari 5 mobil tersebut diserahkan kepada Pak Surya. Nah,
apakah Pak Dedi seharusnya keberatan atau tidak? Tentu kita akan sepakat, bahwa jawabannya
adalah "tidak keberatan”.

Selain itu, bila selama mobil-mobil Ceu Nina digunakan oleh Pak Dedi, Ceu Nina menerapkan
beberapa aturan penggunaan mobil kepada Pak Dedi, apakah Pak Dedi seharusnya keberatan
atau tidak? Sama dengan jawaban sebelumnya, tentu saja Pak Dedi tidak harus keberatan. Hal ini
karena mobil tersebut memang bukan milik Pak Dedi, tetapi milik Ceu Nina.
Nah, demikian pula dengan harta kita. Karena harta tersebut hanya dititipkan Allah, SWT maka
kita harus menggunakan harta tersebut sesuai dengan seluruh perintah dan larangan dari Allah,
SWT. Perintah dan larangan tersebut harus dilaksanakan dengan lapang dada tanpa adanya
keberatan meski hanya sedikit. Mengapa? Karena toh perintah dan larangan tersebut semuanya
berasal dari pemilik harta benda yang sah.

Dengan cara pandang seperti itu, maka kita tidak merasa berat untuk berzakat ataupun berinfaq,
karena, kenapa harus berat untuk menyisihkan harta/barang yang memang bukan milik kita?
Atau dengan kata lain, kenapa kita merasa keberatan bila pemilik barang meminta barang yang
dititipkan kepada kita untuk diserahkan kepada orang lain?

Dalam konteks manajemen keuangan pribadi atau keluarga, dengan cara pandang istikhlaf
tersebut, kita akan merencanakan dan mengelola aset kita sesuai ketentuan Allah, SWT dengan
lapang dada. Ketentuan dari Allah, SWT dalam penggunaan harta menjadi acuan perencanaan
keuangan, sehingga misalnya menjadikan zakat sebagai prioritas dan berangkat haji menjadi
salah satu tujuan jangka panjang keuangan kita.

Kedua, karena meyakini bahwa harta yang ada pada kita adalah titipan dari Allah, SWT maka
kita tidak memiliki keterikatan penuh terhadap harta yang ada pada kita.

Berikut ini sekedar sebuah ilustrasi. Tentu kita tahu kan tukang parkir mobil? Ada suatu masa di
mana tempat parkirnya banyak mobil. Namun, pada saat seperti itu, tukang parkir tidak pernah
sombong, karena ia menyadari bahwa mobil-mobil tersebut hanya titipan. Demikian pula ketika
mobil-mobil tersebut tidak ada, ia tidak bersedih hati, karena ia menyadari bahwa mobil-mobil
yang ada sekedar titipan, yang bisa datang dan bisa juga pergi.

Demikian juga sikap kita terhadap harta yang ada. Tidak sombong bila berlimpah, karena hanya
titipan dan numpang lewat. Dan, juga tidak bersedih ketika harus dikeluarkan untuk zakat,
ataupun hilang karena musibah. Karena, toh apapun ceritanya, harta tersebut titipan yang kita
terima, kita pegang, tapi suatu saat akan diminta kembali.

Dengan memiliki cara pikir tersebut maka kita akan jauh dari sikap sombong, kikir, mudah stres
dan terikat/terobsesi dengan harta.

Mungkin pembaca ada yang bertanya, jika harta itu adalah titipan, kemudian kenapa kita
dimotivasi untuk mencari rezeki? Kita termotivasi untuk mencari rezeki karena itu diperintahkan
oleh Allah, SWT. Bekerja mencari nafkah adalah dengan niat karena Allah, SWT, untuk
mendapatkan pahala dari Allah, SWT. Selain itu, dengan memiliki harta yang memadai,
memberikan peluang beramal lebih banyak bagi kita. [KMP 1]

Seri Manajemen Keuangan Rumah Tangga Islami sebelumnya: 

1. Apakah Agama Membolehkan Kita Kaya? 


2. Tawakal Pembuka Rezeki?

Manajemen Keuangan Keluarga vs Tawakal 


Homepage / Perencanaan Syariah / 5 Pilar Manajemen Keuangan Keluarga Islami

5 Pilar Manajemen Keuangan Keluarga


Islami
By adminPosted on May 20, 202064 views

1. Mengumpulkan Kekayaan

Dalam pilar pertama dari 5 pilar manajemen keuangan keluarga islami terdapat dua hal yang
harus diperhatikan yaitu Mengelola Pemasukan, Mengelola Pengeluaran dan Mengelola
Cashflow.

1.1. Mengelola Pemasukan

Pemasukan tidak boleh berasal dari sumber yang non halal yang merupakan hasil menipu, hasil
korupsi, hasil suap, hasil riba, hasil maksiat dan hal-hal lain yang dilarang oleh agama.

Pemasukan yang memiliki sumber yang halal bisa berupa hasil dari bekerja sebagai pegawai
negeri, pegawai swasta ataupun sebagai professional.  Sumber lain bisa berupa hasil usaha dalam
bentuk hasil bertani, hasil berdagang, hasil bisnis, hasil investasi, hasil nelayan dan hal-hal lain
yang diperbolehkan oleh agama.

Salah satu firman Allah yang berkaitan dengan pengelolaan pemasukan terdapat pada QS Al
Baqarah: 168 yang isinya sebagai berikut:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu” (QS Al Baqarah: 168)

1.2. Mengelola Pengeluaran

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengeluaran yaitu berupa:

 Kewajiban kepada Allah berupa zakat, infak, sedekah,


 Kewajiban kepada diri sendiri untuk masa sekarang seperti kewajiban menafkahi istri, anak anak
dan orang tua,
 Kewajiban kepada diri sendiri untuk masa depan berupa ibadah umroh, ibadah haji dan yang
lainnya,
 Kewajiban untuk keluarga berupa waris, hibah dan sedekah serta
 Kewajiban kepada orang lain berupa pembayaran hutang ataupun janji.
Dalam melakukan pengeluaran kita diharuskan untuk hidup tidak berlebihan sesuai dengan
firman Allah sebagai berikut:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.” (QS Al A’raf: 31)

Di ayat lain Allah berfirman supaya kita tidak hidup boros sesuai dengan firmanNya sebagai
berikut:

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.” (QS Al Isra: 26)

1.3. Mengelola Cashflow

dalam

2. Mengelola Kekayaan

Dalam pilar kedua dari 5 pilar manajemen keuangan keluarga islami terdapat tiga hal yang harus
diperhatikan yaitu Mengelola Asset, Investasi dan Tujuan Keuangan

2.1. Mengelola Asset

dalam mengelola asset

2.2. Investasi

dalam

2.3. Tujuan Keuangan

Beberapa contoh tujuan keuangan antara lain yaitu:


2.3.1. Beribadah Umroh

2.3.2. Beribadah haji

2.3.3. Menyekolahkan anak

2.3.4. Menikahkan anak

2.3.5. Membeli rumah

2.3.6. Membangun masjid

3. Membersihkan Kekayaan

Dalam pilar ketiga dari 5 pilar manajemen keuangan keluarga islami terdapat tiga hal yang harus
diperhatikan yaitu Zakat, Infaq dan Sedekah

3.1. Zakat

3.1.1. Zakat Fithrah

Zakat Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu laki-laki maupun
perempuan muslim yang berkemampuan sesuai syarat-syarat yang ditetapkan.

Pada prinsipnya seperti definisi di atas, setiap muslim diwajibkan untuk mengeluarkan zakat
fitrah untuk dirinya, keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang
dewasa, anak kecil, laki-laki maupun wanita. Berikut adalah syarat yang menyebabkan individu
wajib membayar zakat fitrah:

 Individu yang mempunyai kelebihan makanan atau hartanya dari keperluan tanggungannya
pada malam dan pagi hari raya.
 Anak yang lahir sebelum matahari jatuh pada akhir bulan Ramadan dan hidup selepas terbenam
matahari.
 Memeluk Islam sebelum terbenam matahari pada akhir bulan Ramadan dan tetap dalam
Islamnya.
 Seseorang yang meninggal selepas terbenam matahari akhir Ramadan.

3.1.2. Syarat Zakat Mal

 Milik Penuh: Harta sepenuhnya milik individu yang akan membayar zakat
 Berkembang: Harta memiliki potensi untuk berkembang bila diusahakan.
 Mencapai Nisab: Harta tersebut telah mencapai ukuran/jumlah tertentu sesuai dengan
ketetapan, harta yang tidak mencapai nishab tidak wajib dizakatkan dan dianjurkan untuk
berinfak atau bersedekah.
 Lebih Dari Kebutuhan Pokok: Orang yang berzakat hendaklah kebutuhan minimal/pokok untuk
hidupnya terpenuhi terlebih dahulu
 Bebas dari Hutang: Bila individu memiliki hutang yang bila dikonversikan ke harta yang
dizakatkan mengakibatkan tidak terpenuhinya nisab, dan akan dibayar pada waktu yang sama
maka harta tersebut bebas dari kewajiban zakat.
 Berlalu Haul: Kepemilikan harta tersebut telah mencapai satu tahun khusus untuk ternak, harta
simpanan dan harta perniagaan. Hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak
memiliki syarat haul.

3.1.3. Tabel Perhitungan Zakat Mal

Berikut ini adalah tabel perhitungan Zakat.

Jenis Harta Periode Nishab Kadar

Emas 1 Tahun 85 gr 2.5%

Perak 1 Tahun 595 gr 2.5%

Unta 1 Tahun 5 ekor 1 ekor kambing

Sapi 1 Tahun 30 ekor 1 ekor sapi

Kambing 1 Tahun 40 ekor 1 ekor kambing

Dagang 1 Tahun 85 gr emas 2.5%

Pertanian Non Irigasi 1 Tahun 520 kg beras 10%

Pertanian dengan Irigasi 1 Tahun 520 kg beras 5%

Tambang / Perikanan Per Eksplorasi 520 kg beras 10%

Hadiah Per Penerimaan 520 kg beras 20%

Profesi Per Penerimaan 520 kg beras 2.5%

3.1.4. Kebutuhan Pokok

Batasan mengenai mencukupi kebutuhan pokok yang wajar adalah sebagai berikut:

 Makanan yang dimakan: Minimum makan 2 – 3 kali sehari.


 Pakaian yang dipakai: Minimum bisa berganti pakaian setiap hari.
 Rumah yang ditinggali: Memiliki 3 kamar tidur untuk orang tua, anak laki laki dan anak
perempuan.
 Kendaraan yang digunakan: Bisa digunakan untuk bepergian ke tempat yang dituju.
 Perhiasan Emas yang dipakai: Standar umum perhiasan emas untuk perempuan yaitu Cincin,
Anting, Gelang, Kalung, Jam tangan. Untuk Laki-laki tidak boleh menggunakan perhiasan Emas.

3.2. Infaq
Infaq adalah mengeluarkan harta yang Pokok. mencakup zakat (hukumnya wajib) dan non-zakat
(hukumnya sunnah). Infak wajib di antaranya zakat, kafarat, nazar, dan lain-lain. Infak sunnah di
antaranya, infak kepada Fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam, infak kemanusiaan,
dan lain-lain. Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda:

Ada malaikat yang senantiasa berdoa setiap pagi dan sore: “Ya Allah SWT berilah orang yang
berinfak, gantinya dan berkata yang lain : “Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak,
kehancuran”. – Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim

3.3. Sedekah

Sedekah adalah pemberian seorang [Muslim] kepada orang lain secara sukarela dan ikhlas tanpa
dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Sedekah lebih luas dari sekedar zakat maupun infak.
Karena sedekah tidak hanya berarti mengeluarkan atau menyumbangkan harta. Namun sedekah
mencakup segala amal, atau perbuatan baik. Dalam sebuah Hadist digambarkan, “ Memberikan
senyuman kepada saudaramu adalah sedekah.”

Berikut ini adalah Keutamaan dari Sedekah:

 Sedekah dapat menghapus dosa


 Orang yang bersedekah akan mendapatkan naungan pada hari akhir
 Sedekah memberi keberkahan pada harta
 Allah melipatgandakan pahala orang yang bersedekah
 Terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah
 Sedekah akan menjadi bukti keimanan seseorang
 Sedekah dapat membebaskan dari siksa kubur
 Sedekah dapat mencegah pedagang melakukan maksiat dalam jual-beli
 Orang yang bersedekah merasakan dada yang lapang dan hati yang bahagia
 Pahala sedekah terus berkembang
 Sedekah menjauhkan diri dari api neraka
 Boleh iri kepada orang yang dermawan
 Sedekah akan terus mengalirkan Pahala

4. Melindungi Kekayaan

Dalam pilar keempat dari 5 pilar manajemen keuangan keluarga islami terdapat satu hal yang
harus diperhatikan yaitu Mengelola Resiko.

4.1. Mengelola Resiko

dalam

5. Membagikan Kekayaan

Dalam pilar kelima dari 5 pilar manajemen keuangan keluarga islami terdapat empat hal yang
harus diperhatikan yaitu Wasiat, Waris, Hadiah dan Hibah
5.1. Wasiat

Wasiat merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang bertaqwa sesuai
dengan firman Allah sebagai berikut:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya secara
ma’ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Baqarah: 180)

Contoh wasiat yang paling sederhana adalah sebagai berikut:

Aku, Fulan A bin Fulan B dengan disaksikan oleh Fulan C dan Fulan D mewasiatkan untuk
membagikan harta peninggalannku sesuai dengan syariat islam.

Contoh wasiat yang lebih rumit adalah sebagai berikut:

Aku, Fulan A bin Fulan B dengan disaksikan oleh Fulan C dan Fulan D mewasiatkan untuk:

 Memberikan rumah di alamat A untuk anakku Fulan P bin Fulan A


 Memberikan rumah di alamat B untuk anakku Fulan Q bin Fulan A
 Memberikan rumah di alamat C untuk anakku Fulan R bin Fulan A
 Memberikan rumah di alamat D untuk istriku Fulan S bin Fulan Z
 Mewaqafkan tanah di alamat E untuk pembangunan Masjid/Mushola
 dan membagikan sisa harta peninggalannku sesuai dengan syariat islam.

Wasiat yang sah dan kekuatan hukumnya diakui oleh negara harus dititipkan dan didaftarkan di
Notaris. Adapun mengenai isi dari surat wasiat tersebut bisa diketahui ataupun tidak diketahui
oleh si Notaris yag mengelolanya.

Pada intinya Tugas Notaris adalah membantu dan membuatkan Dokumen – Dokumen Hukum
yang berkaitan dengan Estate Planning yang diperlukan oleh Klien atau dipersyaratkan oleh
Hukum dan Peraturan Perundang–Undangan yang berlaku.

Dalam pembuatan Wasiat sebaiknya dibantu oleh seorang Perencana Keuangan. Tugas
Perencana Keuangan dalam urusan Wasiat adalah Membantu dan mengarahkan Klien untuk
membuat suatu Estate Planning yang sesuai dengan Kondisi dan Kebutuhan Klien dengan tidak
melanggar Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

5.2. Waris

Hukum Waris di Indonesia diadopsi dari tiga norma yang berbeda yaitu norma yang berlaku di
masyarakat adat, norma yang berlaku di agama islam serta norma yang berasal dari pemikiran
barat. Sehingga Hukum Waris yang berlaku di Indonesia juga ada tiga yaitu:

 Hukum Waris Adat,


 Hukum Waris Islam dan
 Hukum Waris Perdata

Sebagai umat islam kita diwajibkan untuk melakukan pembagian waris sesuai dengan aturan
agama islam yang berlaku. Dengan jelas Allah memerintahkan kita untuk membagi harta
peninggalan dengan panduan yang sangat rinci melalui firmanNya sebagai berikut:

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (QS An Nisa: 11)

Hal ihkwal mengenai Waris dipelajari lebih detail dalam Ilmu Faraidh. Ilmu Faraidh adalah ilmu
yg membicarakan hal ikhwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal
dunia kepada yg masih hidup, baik mengenai harta yg ditinggalkannya orang-orang yg berhak
menerima harta peninggalan tsb, bagian masing2 ahli waris, maupun cara pembagian harta
peninggalan itu.

5.3. Hadiah

Hadiah adalah pemberian yang tujuannya adalah meraih simpati dan rasa suka pihak yang diberi
kepada pihak yang memberi.

5.4. Hibah

Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika
masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup juga.

Dalam pemberian hibah terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut:

 Pemberi Hibah
 Penerima Hibah
 Barang yang dihibahkan
 Ijab Qobul
 Saksi

Untuk hibah yang beraitan dengan asset yang besar atau setara dengan nilai uang yang cukup
besar maka sebaiknya proses hibah dilakukan dihadapan notaris untuk memastikan kepastian
hukum dari hibah di mata peradilan indonesia.
Berikut ini adalah tabel ringkasan mengenai Hadiah, Hibah, Wasiat dan Waris.

Keterangan Hadiah / Hibah Wasiat Waris

Sesudah
Waktu Pembagian Sebelum Wafat Dibuat Sebelum Wafat, Dibagi Sesudah Wafat
Wafat

Ahli
Penerima Bebas Bebas
Waris

Sesuai
Besarnya Bebas Maks 1/3 Harta
Faraidh

Hukum Bagi Pemberi Sunah Sunah Wajib

Share this:

 Facebook
 Tweet
 WhatsApp
Mengelola Keuangan Rumah Tangga Yang
Islami
ShareTweet

Oleh: Prof Muhammad (Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Yogyakarta)

Harta dalam Islam merupakan amanah dan hak milik seseorang. Kewenangan untuk
menggunakannya terkait erat dengan adanya kemampuan (kompetensi) dan kepantasan
(integritas) dalam mengelola aset atau dalam istilah prinsip kehati-hatian perbankan (prudential
principle). Prinsip Islam mengajarkan bahwa “Sebaik-baik harta yang shalih (baik) adalah
dikelola oleh orang yang berkepribadian shalih (amanah dan
profesional).”

Hak bekerja dalam arti kebebasan berusaha, berdagang, memproduksi barang maupun jasa untuk
mencari rezki Allah secara halal merupakan hak setiap manusia tanpa diskriminasi antara laki
dan perempuan. Bila kita tahu bahwa kaum wanita diberikan oleh Allah hak milik dan kebebasan
untuk memiliki, maka sudah semestinya mereka
juga memiliki hak untuk berusaha dan mencari rezki.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji seseorang yang mengkonsumsi hasil usahanya
sendiri dengan sabdanya: “Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan lebih baik dari
mengkonsumsi makanan yang diperoleh dari hasil kerja sendiri, sebab nabi Allah, Daud,
memakan makanan dari hasil kerjanya.” (HR. Bukhari). “Semoga Allah merahmati seseorang
yang mencari penghasilan secara baik, membelanjakan harta secara hemat dan menyisihkan
tabungan sebagai persediaan di saat kekurangan dan kebutuhannya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat mengelola usaha dan
berusaha secara baik, mengelola dan memenej harta secara ekonomis, efisien dan proporsional
serta memiliki semangat dan kebiasaan menabung untuk masa depan dan persediaan kebutuhan
mendatang. Prinsip ini sebenarnya menjadi dasar ibadah kepada Allah agar dapat diterima
(mabrur) karena saran, niat dan caranya baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik saja.” (HR. Muslim).

Kesadaran akuntabilitas (ma’uliyah) dalam bidang keuangan itu yang mencakup aspek
manajemen pendapatan dan pengeluaran timbul karena keyakinan adanya kepastian audit dan
pengawasan dari Allah subhanahu wa ta’ala seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan beranjak dari tempat kebangkitannya di hari
kiamat sebelum ia ditanya tentang empat hal, di antaranya tentang hartanya; dari mana dia
memperoleh dan bagaimana ia membelanjakan.” (HR. Tirmidzi).

NAFKAH DALAM KELARGA


Secara prinsip, fitrah kewajiban memberikan nafkah merupakan tanggung jawab suami sehingga
wajib bekerja dengan baik melalui usaha yang halal dan wanita sebagai kaum istri bertanggung
jawab mengelola dan merawat aset
keluarga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi
kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian
dari harta mereka…” (QS. An-Nisa:34).

          
         
        
            
 
34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292].
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.

[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.

[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah
tanpa izin suaminya.

[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-
mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak
bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara
pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Dengan demikian, posisi kepala rumah tangga bagi suami paralel dengan konsekuensi memberi
nafkah dan komitmen perawatan keluarganya secara lazim. Oleh karena itu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam secara proporsional telah mendudukkan posisi masing-masing bagi suami istri
dalam sabdanya: “Setiap kalian adalah pengayom dan setiap pengayom akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang harus diayominya. Suami adalah pengayom bagi
keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarga yang diayominya. Istri adalah
pengayom bagi rumah tangga rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Bukhari)

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan putrinya, Fatimah dengan


Ali radhiyallahu ‘anhuma  beliau berwasiat kepada menantunya: “Engkau berkewajiban bekerja
dan berusaha sedangkan ia berkewajiban mengurus (memenej) rumah tangga.” (HR. Muttafaq
‘Alaih)
Jadi, sharing suami-istri dalam aspek keuangan keluarga adalah dalam bentuk tanggung jawab
suami untuk mencari nafkah halal dan tanggung jawab istri untuk mengurus, mengelola, merawat
dan memenej keuangan rumah tangga.
Meskipun demikian, bukan berarti suami tidak boleh memberikan bantuan dalam pengelolaan
aset dan keuangan rumah tangganya bila istri kurang mampu atau memerlukan bantuan. Dan
juga sebaliknya tidak ada larangan Syariah bagi istri untuk membantu suami terlebih ketika
kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara yang halal dan baik serta tidak
membahayakan keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga selama
suami mengizinkan, bahkan hal itu akan bernilai kebajikan bagi sang istri. Bukankah Khadijah
radhiyallahu ‘anha. ikut andil dalam membantu mencukupi kebutuhan keluarga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam kebajikan.
(QS.Al-Maidah:2)

          
         
         
          
           
    
2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[389], dan jangan melanggar
kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[391], dan binatang-binatang
qalaa-id[392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah
berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.

[389] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat
mengerjakannya.

[390] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram
(Mekah) dan Ihram., Maksudnya Ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu.

[391] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah,
disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.

[392] Ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan
untuk dibawa ke Ka'bah.

[393] Dimaksud dengan karunia Ialah: Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keredhaan dari Allah
Ialah: pahala amalan haji.
Prinsip keadilan Islam menjamin bagi kaum wanita hak untuk mencari karunia Allah (rezki)
sesuai kodrat tabiatnya dan ketentuan syariat dengan niat mencukupi diri dan keluarga untuk
beribadah kepada Allah secara khusyu’. Meskipun demikian, istri harus memiliki keyakinan
bahwa tugas utama dalam keluarganya adalah mengatur urusan rumah tangga dan mengelola
keuangan keluarga bukan mencari nafkah.

            
           
      
32. dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Para Ahli tafsir (Mufassirin) menyimpulkan dari surat An-Nisa: 32 : “bagi para lelaki ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa
yang mereka usahakan…”, prinsip dasar hak dan kebebasan wanita untuk berusaha mencari
rezki. Sejarah Islam di masa Nabi telah membuktikan adanya sosial kaum wanita dalam
peperangan, praktek pengobatan dan pengurusan logistik. Di samping itu mereka juga terlibat
dalam aktivitas perniagaan dan membantu suami dalam pertanian.

MANAJEMEN KEUANGAN KELUARGA

Manajemen keuangan keluarga islami harus dilandasi prinsip keyakinan bahwa penentu dan
pemberi rezki adalah Allah dengan usaha yang diniati untuk memenuhi kebutuhan keluarga agar
dapat beribadah dengan khusyu’  sehingga memiliki komitmen dan prioritas penghasilan halal
yang membawa berkah dan menghindari penghasilan haram yang membawa petaka. Rasulullah
bersabda: “Barang siapa berusaha dari yang haram kemudian menyedekahkannya, maka ia
tidak mempunyai pahala dan dosa tetap di atasnya.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang
hamba memperoleh
penghasilan dari yang haram kemudian membelanjakannya itu akan mendapat berkah. Jika ia
bersedekah, maka sedekahnya tidak akan diterima. Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan
haramnya itu kecuali akan
menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus kejelekan dengan
kejelekan, tetapi menghapus kejelekan itu dengan kebaikan sebab kejelekan tak dapat dihapus
dengan kejelekan pula.” (HR. Ahmad)

Dan sabdanya: “Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan bertambah kecuali neraka
lebih pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).

Seorang wanita shalihah akan selalu memberi saran kepada suaminya ketika hendak mencari
rezki, “Takutlah kamu dari usaha yang haram sebab kami masih mampu bersabar di atas
kelaparan, tetapi tidak mampu bersabar di atas
api neraka.” Demikian pula sebaliknya suami akan berwasiat kepada istrinya untuk menjaga
amanah Allah dalam mengurus harta yang dikaruniakan-Nya, agar dibelanjakan secara benar
tanpa boros, kikir maupun haram.

         
 
67. dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Firman Allah yang memuji hamba-Nya yang baik: “..Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan:67)

Dalam mencari pendapatan, Islam tidak memperkenankan seseorang untuk ngoyo dalam


pengertian berusaha di luar kemampuannya dan terlalu terobsesi sehingga mengorbankan atau
menelantarkan hak-hak yang lain baik kepada Allah, diri maupun keluarga seperti pendidikan
dan perhatian kepada anak dan keluarga. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya bagi dirimu, keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang harus engkau
penuhi, maka berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dengan batas-batas kemampuan
manusia.(QS.Al-Baqarah:286). Namun bila kebutuhan sangat banyak atau pasak lebih besar
daripada tiang maka dibutuhkan kerjasama yang baik dan saling membantu antara suami istri
dalam memperbesar pendapatan keluarga dan melakukan efisiensi dan penghematan sehingga
tiang penyangga lebih besar dari pada pasak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kamu bebani mereka dengan apa-apa yang mereka tidak sanggup memikulnya. Dan
apabila kamu harus membebani mereka di luar kemampuan, maka
bantulah mereka.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam manajemen keuangan keluarga juga tidak dapat dilepaskan dari optimalisasi potensi
keluarga termasuk anak-anak untuk menghasilkan rezki Allah. Islam senantiasa memperhatikan
masalah pertumbuhan anak dengan anjuran agar anak-anak dilatih mandiri dan berpenghasilan
sejak usia remaja di samping berhemat agar pertumbuhan ekonomi keluarga muslim dapat
berjalan lancar yang merupakan makna realisasi keberkahan secara kuantitas maka Islam
melarang orang tua untuk memanjakan anak-anak sehingga tumbuh menjadi benalu, tidak
mandiri dan bergantung kepada orang lain. Firman Allah Swt. di awal (QS. An-Nisa [4]:6)
mengisyaratkan bahwa kita wajib mendidik dan membiasakan anak-anak untuk cakap mengurus,
mengelola dan mengembangkan harta, sehingga mereka dapat hidup mandiri yang nantinya akan
menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki dan pengurus keuangan keluarga bagi perempuan, di
samping anak terlatih untuk bekerja, meringankan beban dan membantu orang tua.

PEMBELANJAAN DAN POLA KONSUMSI ISLAMI

Pengeluaran atau pembelanjaan adalah mengelola harta yang halal untuk mendapatkan manfaat
material ataupun spiritual sehingga membantu para anggota keluarga dalam memenuhi
kebutuhannya. Dalam hal ini terdapat beberapa jenis pembelanjaan yang bermanfaat bagi
generasi yang akan datang, dan pembelanjaan dengan jalan baik (amal shaleh) untuk
mendapatkan pahala di akhirat, seperti zakat dan sedekah.

Syariat Islam mengajarkan beberapa aturan yang mengatur pembelanjaan keluarga muslim, di
antaranya secara garis besar adalah:

1. Komitmen pembelanjaan dan pemenuhan kebutuhan dana adalah kewajiban suami

Suami bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya sesuai dengan kebutuhan
dan batas-batas kemampuannya. Allah berfirman: “Hendaklah orang yang mampu memberi
nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq [65]:7)

            
               
7. hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: “barang siapa yang menafkahkan hartanya


untuk istri, anak dan penghuni rumah tangganya, maka ia telah bersedekah.” (HR. Thabrani).

Hadits ini mengisyaratkan bahwa pemenuhan kebutuhan dana atau pembelanjaan untuk anggota
keluarga itu akan berubah dari bentuk pengeluaran yang bersifat material (nafkah) menjadi
pengeluaran yang bersifat spiritual ibadah (infaq) yang membawa pahala dari Allah.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam Haji Wada’: Ayomilah
kaum wanita (para istri) karena Allah, sebab mereka adalah mitra penolong bagimu. Kamu
telah memperistri mereka dengan amanah Allah dan kemaluan mereka menjadi halal bagimu
dengan kalimat Allah. Kamu berhak
melarang mereka untuk membiarkan orang yang engkau benci memasuki kediamanmu. Mereka
berhak atasmu untuk dipenuhi kebutuhan nafkah dan pakaian secara lazim.”

Menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang kewajiban suami terhadap istrinya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia memberinya makan ketika dia makan dan
memberinya pakaian ketika ia berpakaian, serta janganlah dia meninggalkannya kecuali
sekadar pisah ranjang dalam rumah. Ia tidak boleh memukul wajahnya dan menjelek-
jelekkannya.” Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan bercerita bahwa Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit, “ia tidak
pernah memberiku dan anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena itu aku pernah mencuri
harta miliknya tanpa sepengetahuannya.” Lalu rasul bersabda: “Ambillah dari hartanya dengan
ma’ruf (baik-baik) sebatas apa yang dapat mencukupimu dan anakmu.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Seorang sahabat bercerita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia
mempunyai uang satu dinar. Rasulullah bersabda: “Bersedekahlah dengannya untuk dirimu,
kemudian sahabat itu bertanya, ‘bagaimana jika
aku mempunyai sesuatu yang lain?’ rasul menjawab, ‘bersedekahlah dengannya untuk istrimu.’
Kemudian ia bertanya lagi, ‘dan bagaimana jika aku mempunyai sesuatu yang lain?’ Rasul
menjawab, ‘bersedekahlah
dengannya untuk pelayanmu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

2. Kewajiban menafkahi orang tua yang membutuhkan

Di antara kewajiban anak adalah memberi nafkah kepada orang tuanya yang sudah lanjut usia
(jompo) sebagai salah satu bentuk berbuat baik kepada orang tua, seperti diisyaratkan Al-Qur’an:

          


          
      “Tuhanmu telah
23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat
baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850].

[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau
memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra:23). Rasul bersabda: “Kedua orang tua itu
boleh makan dari harta anaknya secara ma’ruf (baik) dan
anak tidak boleh memakan harta kedua orang tuanya tanpa seizin mereka.” (HR. Dailami)

Menurut Ibnu Taimiyah, seorang anak yang kaya wajib menafkahi bapak, ibu dan saudara-
saudaranya yang masih kecil. Jika anak itu tidak melaksanakan kewajibannya, berarti ia durhaka
terhadap orang tuanya dan berarti telah memutuskan hubungan kekerabatan. Selain itu, suami
dan istri harus percaya bahwa memberi nafkah kepada kedua orang tua adalah suatu kewajiban
seperti halnya membayar utang kedua orang tua yang bersifat mengikat dan bukan sekadar
sukarela. Hal itu tidak sama dengan memberikan sedekah kepada kerabat yang membutuhkan
yang sifatnya kebajikan.

3. Istri Boleh Membantu Keuangan Suami

Jika seorang suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya karena fakir, istri boleh
membantu suaminya dengan cara bekerja atau berdagang. Hal itu merupakan salah satu bentuk
ta’awun ‘ala birri wat taqwa
(saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) yang dianjurkan Islam. Selain itu, istri
pun boleh memberikan zakat hartanya kepada suaminya yang fakir atau memberi pinjaman
kepada suami apabila suami
tidak termasuk fakir yang berhak menerima zakat.

4. Istri Bertanggung Jawab Mengatur Keuangan Rumah Tangga

Telah dijelaskan bahwa suami wajib berusaha dan bekerja dari harta yang halal dan istri
bertanggung jawab mengatur belanja dan konsumsi keluarga dalam koridor mewujudkan lima
tujuan syariat Islam, yaitu dalam rangka
memelihara agama, akal, kehormatan, jiwa dan harta. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Istri adalah pengayom bagi rumah tangga suaminya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Bukhari). “Bila
seorang istri menyedekahkan makanan rumah tanpa efek yang merusak kebutuhan keluarga,
maka dia mendapat pahala dari amalnya. Demikian pula suami mendapatkan pahala dari hasil
usahanya, demikian pula pelayan mendapatkan bagian pahala tanpa mengurangi pahala
mereka sedikit pun.” (HR. Tahbrani).

5. Istri berkewajiban untuk hemat dan ekonomis.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan jatuh miskin orang yang
berhemat”. (HR. Ahmad). Selain itu ia harus realistis menerima apa yang dimilikinya (qana’ah).
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam,
diberi rezki cukup dan menerima apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

6. Seimbang Antara Pendapatan dan Pengeluaran yang Bermanfaat

Istri tidak boleh membebani suami dengan beban kebutuhan dana di luar kemampuannya. Ia
harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya seefisien mungkin menurut skala prioritas
sesuai dengan penghasilan dan pendapatan suami, tidak boros dan konsumtif. (QS. Al-
Baqarah:236, 286)

           
         
     
236. tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-
orang yang berbuat kebajikan.

             
           
            
           
    
286. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya
Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah
kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang
kafir."

Abu bakar pernah berkata: “Aku membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau
menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja.”

Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik . Islam juga
menganjurkan agar hasil usahanya dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat. Keluarga
muslim dalam mengelola pembelanjaan, harus berprinsip pada pola konsumsi islami yaitu
berorientasi kepada kebutuhan  (need) di samping manfaat (utility) sehingga hanya akan belanja
apa yang dibutuhkan dan hanya akan membutuhkan apa yang bermanfaat. (QS. Al-Baqarah:172,
Al-Maidah:4, Al-A’raf:32). Dalam berumah tangga, suami-istri hendaknya memiliki konsep
bahwa pembelanjaan hartanya akan berpahala jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan sesuai
dengan perintah agama. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya tidaklah
kamu menafkahkan suatu nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali kamu mendapat pahala
darinya.” (Muttafaq ‘Alaih).

7. Skala Prioritas Pengeluaran (Perlu/Needs Vs Ingin/Wants)

Islam mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih mengutamakan pembelian
kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Ada tiga jenis kebutuhan
rumah tangga, yaitu:

a. Kebutuhan primer, yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang diperkirakan dapat


mewujudkan lima tujuan syariat (memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan).
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman,
pengetahuan dan pernikahan.

b. Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan untuk memudahkan hidup agar jauh dari kesulitan.
Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan ini pun
masih berhubungan dengan lima tujuan syariat.

c. kebutuhan pelengkap, yaitu kebutuhan yang dapat menambah kebaikan dan kesejahteraan
dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada kebutuhan primer dan
sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan syariat.

Prioritas konsumsi dan pembelanjaan ini juga terkait dengan prioritas hak-hak yaitu hak terhadap
diri (keluarga), Allah (agama), orang lain. Orang lain juga diukur menurut kedekatan nasab dan
rahim, yang paling utama adalah orang tua kemudian saudara. (QS.Al-Anfal:75) Aplikasi aturan-
aturan di atas menuntut peran ibu rumah tangga untuk memperhitungkan pengeluaran rumah
tangga secara bulanan berdasarkan tiga kebutuhan di atas, dengan tetap menyesuaikannya
dengan pendapatan, sehingga rumah tangga muslim terhindar dari masalah-masalah
perekonomian yang ditimbulkan atau sikap boros untuk hal yang bukan primer.

Islam mengharamkan pengeluaran yang berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan karena dapat


mengundang kerusakan dan kebinasaan. Allah berfirman: “Dan jika Kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di
negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka
sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami
hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra’:16).

         
    
16. dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah
sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-
hancurnya.

Selain itu, bergaya hidup mewah merupakan salah satu sifat orang-orang yang kufur terhadap
nikmat Allah. Firman-Nya: “Pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang
mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam
kehidupan di dunia…” (QS. Al-Mu’minun:33). Nabi juga sangat membenci gaya hidup mewah:
“Makan, minum dan berpakaianlah sesukamu, sebab yang membuat kamu berbuat
kesalahan itu dua perkara: bergaya hidup mewah dan berprasangka buruk.” (HR. Ibnu Umar
dan Ibnu Abbas).

8. Bersikap Pertengahan dalam Pembelanjaan

Islam mengajarkan sikap pertengahan dalam segala hal termasuk dalam manajemen
pembelanjaan, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula kikir atau terlalu ketat. Sikap berlebihan
adalah sikap hidup yang dapat merusak jiwa,
harta dan masyarakat, sementara kikir adalah sikap hidup yang dapat menimbun, memonopoli
dan menganggurkan harta. Kedua pola ekstrim dalam konsumsi itu memiliki mendekati sifat
mubadzir. Firman Allah:

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah  pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS.
Al-Furqon :67)

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra:29) “dan
janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS.
Al-Isra’: 26-27)

Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang
yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan
kelebihan untuk menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” (HR. Ahmad).

“Tidak akan miskin orang yang bersikap pertengahan dalam pengeluaran.” (HR. Ahmad).

Jika pembelanjaan kita telah sesuai dengan aturan-aturan Islam, Allah akan memajukan usaha
kita serta melipatgandakan pahala dan berkah-Nya. Bahkan Allah akan memberikan kelebihan
hasil usaha agar kita dapat menyimpan dan menabungnya untuk menjaga datangnya hal-hal yang
tidak terduga atau untuk menjaga kelangsungan hidup generasi yang akan datang.

Semoga bermanfaat!

Read more https://pengusahamuslim.com/3631-mengelola-keuangan-rumah-tangga-yang-


1850.html

Anda mungkin juga menyukai