Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Menabung merupakan bagian dari mempersiapkan perencanaan masa yang

akan datang sekaligus untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Secara

teknis, cara menabung yaitu menyisihkan harta yang dimiliki saat ini untuk

memenuhi kebutuhan masa depan. Para pakar keuangan sering kali mengatakan

bahwa cara terbijak untuk menabung yaitu mengambil di muka sebesar 10%-20%

dari pendapatan.1 Dalam hal ini dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa uang

yang ditabung bukanlah sisa dari konsumsi melainkan penyisihan pendapatan

secara khusus guna memenuhi kebutuhan dimasa akan datang serta dalam kondisi

keperluan mendesak atau dalam taksasi dana masuk dalam kebutuhan yang

disebut biaya tak terduga.

Kebanyakan orang pasti sudah mengetahui bahwa menabung sangat di

anjurkan bahkan oleh orang tua kita dulu. Banyak cara yang dilakukan untuk

menabung antara lain di tiang bambu rumah, di lemari, di celengan, di bank dan

lain lain.

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mempersiapkan hari esok,

sebagaimana yang tercantum di dalam surat Al- Hasyr ayat 18 yang berbunyi:

1
Suwiknyo, Dwi. Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam. h.176

1
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan

hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari

esok; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa

yang kamu kerjakan.”

Secara kontekstual ayat ini menyatakan bahwa hari esok adalah hari

akhirat, namun bila kita mengambil maknanya secara ilmu finansial maka ayat ini

menganjurkan kita untuk juga mempersiapkan segala sesuatu untuk hari esok

termasuk dana.

Adakah kita sudah berfikir bagaimana kita menyiapkan dana untuk

membangun rumah, menyiapkan dana pendidikan untuk anak anak kita,

menyiapkan dana untuk pergi haji, atau mungkin menyiapkan dana untuk keadaan

darurat andaikata kita di timpa musibah sakit atau bahkan kita kena PHK? Atau

perusahaan tempat kita bekerja bangkrut?

Ya. Setiap orang pastilah tidak menginginkan adanya musibah. Namun

ketika Allah SWT sudah berkehendak, kita sebagai manusia tidak lagi dapat

mengelak. Yang bisa kita lakukan adalah berusaha untuk mempersiapkan diri kita

untuk menghadapi. Salah satu cara untuk menghadapi kehidupan di hari esok

adalah dengan menabung. Jadi tidak ada kata lain untuk tidak menabung. Mari

kita mulai menabung di hari ini, jangan tunda tunda lagi.

Kenyataan lain mengenai pentingnya menabung adalah ketika tahun ajaran

baru masuk sekolah. Kala itu, pegadaian ramai dikunjungi. Alasan mayoritas dari

mereka adalah kebutuhan membeli seragam, yaitu dengan menggadaikan barang

untuk memenuhi kebutuhan keuangan terkait dengan besarnya biaya pendaftaran

ataupun daftar ulang anak mereka. Besarnya dana kebutuhan mereka beragam

2
mulai dari satu juta hingga puluhan juta. Fenomena memasuki tahun ajaran baru

ini juga terjadi pada saat menjelang hari raya. Dalam kondisi semacam ini,

pegadaian adalah pilihan bagi mereka yang mempunyai barang untuk digadaikan.

Bagi yang tidak mempunyai barang untuk digadaikan tentu semakin kesulitan

dengan harus mencari pinjaman ke sana ke mari. Lebih parah lagi adalah orang-

orang yang tidak punya barang dan juga tidak mempunyai tempat untuk

meminjam uang. Sekan-akan hidup mereka “maju-mundur kena”; serba sulit dan

seakan-akan kehidupan ini serba pahit.

Bermacam-macam penyebab mengapa orang kurang atau bahkan tidak

siap untuk mengeluarkan dana untuk pendaftaran atau daftar ulang anak mereka.

Ada yang benar-benar orang fakir sehingga tidak banyak uang yang dapat mereka

sisihkan untuk kebutuhan pendaftaran atau mendaftarkan ulang anak mereka

sekolah, ada juga orang yang tidak siap mengeluarkan dana karena kesalahan

pengelolaan keuangan keluarga mereka, sehingga mereka terperosok pada

ketidaksiapan dana sekolah anak-anak mereka. Kesalahan pengelolaan keuangan

keluarga sehingga mengakibatkan ketidaksiapan menghadapi pengeluaran

keuangan yang bukan kebutuhan sehari-hari ini sebenarnya dapat dihindari sejak

dini dengan menabung. Menabung adalah sebuah konsep sederhana yang

membutuhkan kedisiplinan untuk menyisihkan sebagian penghasilan bagi

kebutuhan masa depan; perkawinan, kelahiran anak, sekolah anak, membangun

rumah, membangun usaha, membeli kendaraan, berlibur, membayar zakat,

menunaikan haji dan sebagainya. Seseorang yang disiplin menabung berarti

mempunyai perencanaan keuangan bagi masa depan. Perencanaan keuangan

berarti ada harapan-harapan yang ingin dicapai dalam kehidupan. Seseorang

dengan harapan dalam kehidupan adalah bagaikan rencana strategis dalam

3
mencapai tujuan. Seseorang yang mempunyai tujuan berarti ia hidup dengan

sesungguhnya. Hari demi hari dilalui dengan target dan membuat kehidupan lebih

bermakna dan sesungguhnya hidup penuh makna akan membuat seseorang lebih

percaya diri dan percaya diri adalah pondasi dari kesuksesan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Tabungan Dalam Islam

Tabungan dalam Islam jelas merupakan sebuah konsekuensi atau respon

dari prinsip ekonomi Islam dan nilai moral Islam yang menyebutkan bahwa

manusia haruslah hidup hemat dan tidak bermewah-mewah serta mereka (diri

sendiri dan keturunannya) dianjurkan ada dalam kondisi yang tidak fakir. Jadi

dapat dikatakan bahwa motifasi utama orang menabung disini adalah nilai moral

hidup sederhana (hidup hemat) dan keutamaan tidak fakir.

Dalam bahasan tabungan pada ilmu ekonomi konvensional, dijelaskan

bahwa tabungan merupakan selisih dari pendapatan dan konsumsi. Tanpa

dijelaskan secara detil apa yang menjadi motifasi dari tabungan tersebut. Dalam

teori konvensional ini, relatif terlihat bahwa tabungan merupakan sebuah

konsekuensi dari pendapatan yang tidak digunakan. Sehingga fungsi tambahan

menabung atau kecenderungan menabung marjinal (Marginal Propensity to

Save; MPS) menjadi MPS = 1 – MPC, dimana MPC merupakan kecenderungan

mengkonsumsi marjinal (Marginal Propensity to Consume) dari seorang

individu.

Penjelasan kecenderungan tabungan ini juga disinggung dalam bahasan

teori permintaan uang (Money Demand). Kita ketahui bahwa dalam wacana

konvensional permintaan uang memiliki tiga motif utama, yaitu motif transaksi

(transaction), motif berjaga-jaga (precautionary) dan motif spekulasi

(speculation). Dalam Islam motif spekulasi tidak diakui, karena aktivitas

ekonomi berupa spekulasi (maysir) dilarang secara syariah. Sehingga motif

5
yang ada untuk memegang uang hanyalah motif untuk transaksi dan berjaga-

jaga atau dengan kata lain motif untuk konsumsi (memenuhi kebutuhan) dan

menabung.

Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori Islam juga tidak

terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada

kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka

individu yang memiliki dana lebih, akan mengurangi tingkat tabungannya atau

lebih tepatnya mengurangi tingkat kekayaannya untuk membantu masyarakat

yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa mekanisme sukarela atau

mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki wewenang dalam

“memaksa” individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat yang

membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaib

pada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam

Islam memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi.

Bagaimana hubungan tingkat tabungan ini dengan tingkat investasi dalam

sebuah perekonomian Islam? Tabungan dalam ekonomi Islam tidak begitu kuat

dihubungkan dengan investasi. Karena ketika tabungan dimotifasi oleh alasan

berjaga-jaga, hidup hemat dan sederhana, maka tidak relevan akumulasi

tabungan ini kemudian digunakan untuk investasi yang mekanismenya dalam

Islam menggunakan skema bagi-hasil yang memiliki risiko rugi. Risiko yang

dimiliki investasi bagi hasil tidak begitu sinkron dengan alasan para pemilik

uang untuk menahan uangnya berupa tabungan. Meskipun hubungan itu

akhirnya terjadi akibat mekanisme perbankan syariah saat ini yang

menggunakan benchmark konvensional, dimana pos tabungan berjaga-jaga

masyarakat dapat digunakan oleh bank pada sisi pembiayaannya,

6
konsekuensinya pada sisi pendanaan bank syariah memberikan bonus kepada

para nasabah tabungan yang bermotif berjaga-jaga tersebut. Selain itu,

berdasarkan motif dan realita masyarakat Islam seperti yang telah dijelaskan

dalam pembahasan konsumsi dan permintaan, bahwa masyarakat Islam terdiri

atas masyarakat muzakki, mid-income dan mustahik, dapat disimpulkan bahwa

mereka yang aktif dalam menabung adalah mereka yang masuk dalam golongan

muzakki dan mid-income. Dan akumulasi tabungan secara teori akan relatif kecil

jika dibandingkan akumulasi investasi, yang berarti juga peran tabungan dalam

perekonomian akan relatif kecil. Dengan demikian tabungan tergantung pada

besarnya pendapatan yang porsinya ditentukan oleh kebutuhan berjaga-jaganya.

Dan ini perlu dirumuskan lebih spesifik untuk dapat mengkalkulasikan posisi

dan peran tabungan dalam perekonomian.

Sementara itu apa yang diyakini dalam konvensional bahwa tabungan

atau excess income yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang akan

menjadi ”potensi investasi” dapat saja dibenarkan dalam Islam, sepanjang

memang kebutuhan mereka pada konsumsi pokok dan motif berjaga-jaga telah

terpenuhi. Walaupun begitu menyebutkan kelebihan tersebut sebagai tabungan

juga mungkin kurang tepat, karena memang ada intensif dari si pemilik untuk

menggunakan kelebihan tersebut sebagai modal untuk men-generate

keuntungan selanjutnya (investasi). Sehingga tabungan jenis ini merupakan

potensi investasi yang harus menjadi perhatian para regulator dalam rangka

membuat sebuah kebijakan, baik di sektor riil maupun di sektor moneter. Secara

sederhana para regulator harus memastikan tersedianya usaha-usaha ekonomi

atau produk keuangan syariah yang mampu menyerap ”potensi investasi”,

sehingga waktu memegang uang oleh setiap pemilik dana akan ditekan

7
seminimal mungkin. Dengan kata lain, penyediaan regulasi berupa peluang

usaha atau produk-produk keuangan syariah akan semakin meningkatkan

velocity dalam perekonomian. Dengan demikian perhatian regulasi moneter

tidak tertuju pada konsep money supply seperti yang dianut konvensional, tapi

lebih pada velocity perekonomian.

“Selama Anda tidak memiliki angsa bertelur emas atau mesin pembuat

uang (money machine) maka Anda sendiri yang harus menjadi money machine.

Berapa pun penghasilan Anda tidak menjamin bahwa Anda akan hidup nyaman

di masa depan. Karena, bukan uang yang Anda hasilkan yang akan

menyelamatkan Anda akan tetapi uang yang Anda sisihkan atau simpan yang

berperan.” ~ Syafir Senduk (Pakar Ekonomi dan Keuangan) ~

B. TEKS AYAT DAN TERJEMAH

Artinya:

Yusuf berkata, “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa;

maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk

kamu makan.”

8
Artinya:

Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan

apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit

gandum) yang kamu simpan.

C. ARTI KOSAKATA

 Berturut-turut = ‫دَأَبًا‬

 Maka tinggalkanlah dan biarkanlah = ُ‫فَذَ ُرو ُه‬

 Sedikit = ‫يل‬
ُ ً ‫قَ ِل‬

 Kamu makan = َُ‫تَأُ ُكلُون‬

 Tahun-tahun kekeringan (panceklik) dan sangat sulit = ُ‫ِشدَاد‬

 Kalian menjaga dan menyimpan untuk dijadikan benih = َُ‫تُحْ ِصنُون‬

 Mereka memakan = َُ‫َيأ ُك ْلن‬

 Apa yang kamu sediakan = ‫َماُقَدَّ ْمت ُ ُْم‬

9
D. Hadist

Rasulullah saw sudah mengajari kita untuk menabung sejak belasan ribu

tahun yang lalu. Simak perkataan beliau yang bijaksana berikut ini:

“Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik,

membelanjakan uang secara sederhana, dan dapat menyisihkan kelebihan untuk

menjaga saat dia miskin dan membutuhkannya.” [HR Muslim & Ahmad]

Menyisihkan kelebihan atau menabung, dalam hadits ini dijelaskan

maksudnya yaitu untuk berjaga-jaga pada saat miskin dan membutuhkan.

Memang sudah menjadi hukum alam bahwa roda perekonomian terus berputar

seperti roda pedati. Terkadang kita berada di atas, namun roda yang terus

berputar bisa menempatkan kita pada posisi yang paling bawah.

Bila ditinjau lebih cermat lagi, ada pelajaran berharga yang bisa kita petik

dari hadits ini. Yaitu rumus menabung ala Rasulullah saw, dimana dijelaskan

bahwa orang yang mendapatkan rahmat Allah bisa menyisihkan kelebihan, yaitu

orang yang berusaha dengan usaha yang baik dan membelanjakan uang secara

sederhana. Ada dua syarat untuk bisa menabung, yaitu sumber penghasilan dari

usaha yang baik dan pengeluaran yang sederhana.

Pengertian sederhana mungkin sulit untuk ditentukan batasan rupiahnya.

Katakanlah A memiliki penghasilan Rp 10 juta per bulan dan pengeluarannya Rp

8 juta, sedangkan B berpenghasilan Rp 3 juta dan semua penghasilannya

dihabiskan bulan itu juga. Mana yang lebih sederhana, A atau B? Lalu bagaimana

dengan seorang konglomerat yang penghasilannya terus mengalir bukan cuma

dalam hitungan bulan namun dalam hitungan hari? Apakah ia dikatakan sederhana

atau mewah jika menggunakan mobil Jaguar yang tak sampai 1% dari total

asetnya? Sulit memang untuk menilai kesederhanaan, namun dalam hal ini, pada

10
umumnya ada dua batasan yang biasanya digunakan masyarakat dalam menilai

seseorang itu hidup sederhana atau mewah.

Batasan pertama yaitu kemampuannya sendiri. Seseorang dikatakan hidup

sederhana jika ia bisa hidup dalam batasan kemampuannya sendiri. Sebaliknya,

seseorang akan dikatakan hidup mewah jika ia memaksakan diri dengan gaya

hidup di luar batas kemampuannya.

Batasan kedua yang bisa kita katakan sebagai hidup sederhana adalah

lingkungan. Walaupun seseorang mampu untuk membeli mobil merk apa saja

berapapun yang ia mau, namun jika hal itu menimbulkan kesenjangan terhadap

lingkungannya, maka bisa dikatakan itu bukanlah hidup sederhana.

E. MAKNA IJMALI (GLOBAL)

Dari metode menabung, ada satu kepastian bahwa anjuran menabung ini sudah

ada pada zaman nabi Yusuf as. Tertulis di dalam Al-Quran surat Yusuf;

Ayat 43 : Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya):

“Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk

dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum)

yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.” Hai orang-orang yang

terkemuka: “Terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kamu dapat

mena’birkan mimpi.”

Ayat 46 : (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru):

“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh

ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina

yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang

kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.”

11
Ayat 47 : Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya)

sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan

dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.”

Ayat 48 : Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit,

yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit),

kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.

Ayat 49 : Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia

diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur.

Pelajaran yang di dapat dari kisah nabi Yusuf ini sungguh luar biasa.

Kehidupan yang kita lalui tidak selalu indah. Adakala kita bisa bersenang senang,

hidup berkecukupan, namun kadang kala kita mengalami masa sulit, dimana kita

mengalami hal-hal di luar dugaan dan di luar kemampuan finansial kita. Biasanya

pada saat hidup senang kita acapkali lupa untuk menabung. Pada saatnya di timpa

musibah yang membutuhkan dana yang besar, barulah kita menyesal karena tidak

menabung disaat memiliki uang. Penyesalan memang selalu datang kemudian.

Oleh sebab itulah Allah SWT sudah memberikan sebuah pelajaran melalui kisah

nabi Yusuf as. agar umat-Nya tidak mengalami masa-masa sulit seperti yang di

kisahkan. Namun sayang sekali banyak dari kalangan umat Islam yang tidak

mempunyai tabungan. Yang ada di pikiran kebanyakan kita adalah hidup untuk

saat ini, padahal seharusnya umat Islam mempunyai cara pandang yang jauh

melebihi umat lainnya

Dijelaskan juga bahwa Yusuf berkata kepada delegasi raja dan para

pembesar kerajaan, seraya menerangkan kepada mereka apa yang wajib mereka

lakukan untuk menghadapi bahaya yang akan menimpa negara dan penduduknya

sebagaimana ditunjukkan dalam mimpi itu sebelum ta’wil mimpi itu benar-benar

12
terjadi. Yaitu, agar menanam gandum selama tujuh tahun berturut-turut tanpa

terputus, kemudian hasil panen itu disimpan pada tangkainya dengan cara

menjaga agar tidak terkena ulat sebagai akibat dari kelembaban. Sehingga,

nantinya gandum itu bisa untuk makanan umat manusia atau ternak pada saat

yang diperlukan. Sedikit sajalah yang kalian ambil untuk kalian makan pada

setiap tahun dengan cara hemat, sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan

secukupnya saja untuk menghilangkan lapar. Dan tujuh tahun inilah penta’wilan

mimpi dari tujuh ekor lembu yang gemuk-gemuk. Adapun tangkai-tangkai yang

hijau, pada hakikatnya setiap tangkai adalah merupakan ta’wil dari penanaman

satu tahun.2

F. MAKNA RINCI

1. Di dalam Tafsir Al-Azhar oleh Prof. Dr. Hamka, mengatakan bahwa “Kamu

akan berladang tujuh tahun dengan kerja keras”. Tujuh tahun lamanya tanahmu

akan subur, hujanpun cukup, atau banjir sungai Nil akan melimpah. Tetapi

sungguhpun demikian, kesuburan tanah itu pun hanya akan dapat memberi hasil

yang berlimpah-limpah apabila dikerjakan dengan ‫ ; دأبا‬kerja keras membanting

tulang. “Maka apa yang kamu ketam, hendaklah kamu tinggalkan pada

tangkainya, kecuali sedikit dari yang kamu makan”.3

2. Menurut Tafsir Jalalain oleh Imam Jalaludin Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin

As-Suyuthi, bahwa hal ini mengatakan ta’bir daripada tujuh ekor sapi betina

yang gemuk-gemuk.4

2
Ahmad Musthtafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra. 1988. h.290
3
Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 2002. h. 241
4
Imam Jalaluddin Al-Mahalliy dan As-Suyuthi. Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset.
1995. h. 964

13
3. Di dalam Tafsir Rahmat, dikatakan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah

mimpi Al-Aziz tidak dapat dita’birkan oleh pembesar-pembesarnya. Sahabat

Yusuf semasa ia dalam penjara memberitahu bahwa Yusuf sanggup

menerangkan ta’bir mimpi tersebut. Melalui kemampuan Yusuf menta’bir

mimpi, maka seluruh kerajaan menjadi mawas dan bersiaga untuk menghadapi

sesuatu yang akan terjadi (dalam hal ini musim yang berubah-ubah).5

4. Di dalam________________, dikatakan bahwa yang dimaksud Yusuf yaitu

kamu bertanam tujuh tahun lamanya seperti biasa, maka apa yang sudah kamu

panen biarkan saja tetap ditangkainya, kecuali sedikit untuk dimakan. Tujuan

membiarkan hasilnya tetap ditangkainya dan sedikit untuk dimakan yaitu untuk

cadangan makanan ketika datang masa sulit selama tujuh tahun.

5. Menurut Tafsir Qur’an Karim, Yusuf menerangkan takwil mimpi itu, yaitu

hendaklah kamu menanam gandum tujuh tahun berturut-turut, pendapatan

hasilnya hendaklah kamu simpan pada tangkainya kecuali sedikit untuk kamu

makan sekedar menutupi kelaparan.

6. Menurut Tafsir Al-Mishbah, mengatakan bahwa Nabi Yusuf as. memahami

bahwa tujuh ekor sapi sebagai tujuh tahun masa pertanian, dengan alasan bahwa

sapi digunakan untuk membajak maka kegemukan sapi adalah lambang

kesuburan. Sedangkan sapi kurus adalah masa sulit di bidang pertanian, yakni

panceklik. Bulir-bulir gandum lambang pangan yang tersedia. Setiap bulir sama

dengan setahun. Demikian juga sebaliknya.6

7. Dalam Tafsir Al-Maraghi, Nabi Yusuf as. berkata kepada delegasi raja seraya

menerangkan apa yang wajib mereka lakukan untuk menghadapi bahaya yang

akan menimpa Negara dan penduduknya. Yaitu agar menanam kemudian

5
H. Oemar Bakry. Tafsir Rahmat. Jakarta: Mutiata. 1981. h. 457
6
M. Quraish Syihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati. 2009. h.112

14
menyisakan/mengumpulkan sebagian hasil panen untuk persiapan dikala musim

panceklik suatu saat tiba. 7

G. PESAN HUKUM AYAT EKONOMI

Dalam ilmu ekonomi, menabung (saving) adalah suatu tindakan yang

harus kita lakukan guna untuk mengantisipasi kondisi darurat ataupun berguna

untuk kebutuhan di masa mendatang. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan

syariat Islam yang mana menabung, menyisihkan harta dan berhemat adalah hal

yang perlu kita lakukan yang merupakan suatu tindakan yang juga mensyukuri

nikmat Allah swt. Lewat ayat ini, yang diperkuat dengan hadist yang terlampir,

jelas terlihat bahwasanya menabung adalah sesuatu yang diharuskan. Hal ini

disebabkan manfaat dari menabung yang sangat kita butuhkan untuk pegangan

masa depan.

H. PESAN AYAT DAN KONTEKSTUALITASNYA DENGAN PERSOALAN

EKONOMI

Menabung (saving) dan kontektualitasnya terhadap persoalan ekonomi

yaitu dengan menabung, kita dapat mempersiapkan diri untuk masa akan datang.

Menabung juga akan membantu kita untuk memiliki modal (capital) ketika kita

ingin melakukan suatu usaha sehingga kegiatan ekonomi berlangsung secara

produktif. Menabung bisa digerakkan untuk perputaran modal demi kesejaheraan

kehidupan kita.

7
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra. 1988. h. 290-191

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Perilaku menabung merupakan bagian dari ajaran yang dibenarkan oleh

ekonomi Islam berdasarkan QS. Yusuf: 47-48 tersebut. Meskipun penjelasan ayat

tersebut bersifat makro yaitu agregat skala negara, namun tidak menutup

kemungkinan untuk diterapkan pada bidang garapan mikro yaitu secara individu atau

rumah tangga. Dan hal ini tampaknya patut kita pikirkan secara baik dan galakkan

mulai dari saat ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahalliy, Imam Jalaluddin dan As-Suyuthi. Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru
Algensindo. 1995.

Al-Maraghi, Ahmad Musthtafa. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra. 1988.

Bakry, H. Oemar. Tafsir Rahmat. Jakarta: Mutiata. 1981.

Hamka, Prof. Dr. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 2002.

Huda, Nurul et al. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: Kencana. 2008.

Sukirno, Sadono. Ekonomi Makro. Jakarta: Rajawali Pers. 1994.

Suwiknyo, Dwi. Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar. 2010.

Syihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati. 2009

__________. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan. 1997.

Yunus, Prof. Dr. H. Mahmud. Tafsir Quran Karim. Jakarta: PT Hidakarya Agung.
1993.

17

Anda mungkin juga menyukai