Anda di halaman 1dari 28

EFEKTIVITAS TERAPI JUS KACANG HIJAU DAN TELUR AYAM

REBUS DALAM MENGATASI STUNTING

Oleh :

1. Dewi Novi Maharani (192303101006)

2. Nova Novitarini (192303101034)

3. Akhmad Fajrul Rizqi (192303101051)

4. Vijay Saxena (192303101170)

5. Hilmi Miftahur R (192303101183)

PRODI D3 KEPERAWATAN KAMPUS LUMAJANG

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER
KATA PENGANTAR

Puji da syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yag telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas penelitian yang berjudul “Efektivitas Terapi Jus Kacang Hijau dan Telur Ayam Rebus
dalam Mengatasi Stunting”. Dalam penyusunan tugas ini penulis tidak lupa mengucapkan
terima kasih banyak pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas
praktik kami, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusuna makalah penelitian. Tidak
lupa juga kami, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah penelitian. Tidak
lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Tanti Umiyati selaku Kepala Puskesmas Jatiroto
2. Bapak Muki Erwansyah S.Kep., Ners selaku Pembimbing Klinik Puskesmas Jatiroto
3. Ibu Ika Dewi Apriyanti Selaku Pembimbing Klinik Puskesmas Jatiroto
4. Ibu Primasari Mahardika Rahmawati S.Kep., Ners., M.Kep selaku Dosen
Pembimbing Akademik Keperawatan Keluarga da Perkesmas
5. Teman-teman mahasiswa praktik yang hadir pada pagi hari ini
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis akan sangat
berterima kasih da menerima dengan senang hati masukan, kritik da saran dari pembaca
untuk menyempurnakan tugas karya ilmiah ini. Harapan penulis semoga tugas ini bermanfaat
bagi kita semua dan semoga amal kebaikan kita semua dibalas oleh Allah SWT.

Lumajang, 30 November 2021

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Balita merupakan salah satu kelompok yang rawan gizi. Pada masa ini
pertumbuhan sangat cepat diantaranya pertumbuhan fisik dan perkembangan
psikomotorik, mental dan sosial (Almatsier,2011). Balita mempunyai risiko yang
tinggi dan harus mendapatkan perhatian yang lebih. Semakin tinggi faktor risiko
yang berlaku terhadap balita tersebut maka akan semakin besar kemungkinan balita
menderita gangguan nutrisi. (Black RE, dkk 2008). Menurut MCA Indonesia (2015)
menyatakan bahwa nutrisi yang tidak adekuat merupakan salah satu penyebab
gangguan gizi pada balita, dimana balita yang nutrisinya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme dan akan berdampak pada gangguan gizi seperti
kependekan atau stunting. Bahaya stunting penting untuk diwaspadai lantaran
dampaknya buruk pada anak. Secara fisik tumbuh kembang tidak seimbang, seperti
tingginya dibawah normal atau lebih pendek, kemampuan intelektualnya rendah, dan
saat dewasa berpotensi ada gangguan metabolisme seperti, diabetes dan hipertensi,
serta gangguan metabolisme lainnya.
Data prevalensi stunting menurut WHO, Negara Indonesia termasuk dalam
Negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara. Rata-rata prevalensi
balita stunting di Indonesia tahun 2015-2017 adalah 36,4 persen. (Fitri, 2018).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2018), menyatakan bahwa prevalensi stunting
balita umur 0-59 bulan di Jawa Timur mencapai 32,81 persen. Angka ini lebih tinggi
dari prevalensi stunting nasional yakni sebesar 30,8 persen. Di sisi lain, menurut data
dari Dinas kesehatan jawa timur berdasarkan Elektronik Pencatatan dan Pelaporan
Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM), per 20 juli 2019 prevalensi stunting balita di
jawa timur sebesar 36,81 persen. Adapun tiga daerah tertinggi prevalensinya yakni di
kota Malang sebesar 51,7 persen, kabupaten Probolinggo 50,2 persen,dan kabupaten
Pasuruan 47,6 persen. (Karsin ES, 2004). Menurut rekam medis Puskesmas Kalirejo
penderita anak stunting pada tahun 2019 sebanyak 15 anak, untuk tahun 2020 sedikit
meningkat sebanyak 25 anak, dari data tersebut beberapa faktor yang menyebabkan
anak stunting diantaranya anak dengan diagnosa risiko infeksi akibat terserang
bakteri sebanyak 10 anak, yang terbanyak yaitu dengan diagnosa defisit nutrisi akibat
nutrisi tidak mencukupi untuk kebutuhan tubuh sebanyak 15 anak.
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya stunting adalah
riwayat kehamilan ibu yang meliputi postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan
yang terlalu dekat, jumlah melahirkan terlalu banyak, usia ibu saat hamil terlalu tua,
usia ibu saat hamil terlalu muda (dibawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan
BBLR, serta asupan nutrisi yang kurang selama masa kehamilan. Faktor lainnya
adalah tidak terlaksananya Inisiasi Menyusu Dini (IMD), gagalnya pemberian ASI
Eksklusif dan proses penyapihan dini. Selain beberapa faktor tersebut, faktor kondisi
sosial ekonomi dan sanitasi juga berkaitan dengan terjadinya stunting (Pusat Data
dan Informasi Kemenkes RI, 2018). Adapun faktor yang menjadi penyebab stunting
salah satunya adalah kekurangan gizi yang mengakibatkan defisit nutrisi yang berarti
nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Pada balita dengan
kekurangan gizi akan menyebabkan berkurangnya lapisan lemak di bawah kulit hal
ini terjadi karena kurangnya asupan gizi sehingga tubuh memanfaatkan cadangan
lemak yang ada, selain itu imunitas dan produksi albumin juga ikut menurun
sehingga balita akan mudah terserang infeksi dan mengalami perlambatan
pertumbuhan dan perkembangan. Balita dengan gizi kurang akan mengalami
peningkatan kadar asam basa pada saluran cerna yang akan menimbulkan diare
(Maryunani, 2016). Dampak yang terjadi akibat defisit nutrisi adalah anak akan
gampang terserang penyakit.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Konsep Keluarga
1. Apa yang dimaksud Keluarga?\
2. Bagaimana konsep struktur keluarga?
3. Bagaimana ciri-ciri
4. Bagaimana konsep tipe keluarga?
5. Bagaimana konsep struktur keluarga?
6. Bagaimana fungsi keluarga?
7. Apa tugas kesehatan keluarga?
8. Apa tugas perkembangan keluarga?
1.2.2 Konsep Stunting
1. Apa yang dimaksud Stunting?
2. Bagaimana klasifikasi Stunting?
3. Apa etiologi Stunting?
4. Apa tanda dan gejala Stunting?
5. Bagaimana patofisiologi Stunting?
6. Apa saja dampak dari Stunting?
7. Bagaimana penatalaksanaan Stunting?
8. Apa saja pemeriksaan penunjang Stunting?
9. Bagaimana pathway dari Stunting?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui konsep keluarga dan penyakit Stunting
serta mengetahui efektivitas pemberian Jus Kacang Hijau da Telur Ayam Rebus
terhadap gizi anak.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendeskripsikan karakteristik pasien Stunting
2. Mendeskripsikan
3. Menganalisis pengaruh pemberian Jus Kacang Hijau dan Telur Ayam
Rebus
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman penulis tentang
efektivitas terapi jus kacang hijau dan telur ayam rebus dalam mengatasi stunting
1.4.2 Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan acuan untuk
melakukan terapi jus kacang hijau dan telur ayam rebus dalam mengatasi stunting
1.4.3 Bagi Keluarga Penderita Stunting
Penelitian ini diharapkan menjadi referensi yang dapat bermafaat dan
dimanfaatkan khususnya penderita gangguan pola tidur dalam melakukan terapi
jus kacang hijau dan telur ayam rebus dalam mengatasi stunting.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Keluarga


2.1.1 Definisi Keluarga
Menurut Bailon dan Maglaya (1989), keluarga adalah dua atau lebih
individu yang tergabung karena hubungan darah, perkawinan dan adopsi,
dalam satu rumah tangga berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan
menciptakan serta mempertahankan suatu budaya
2.1.2 Struktur Keluarga
Menurut Setyawan (2012) struktur sebuah keluarga memberikan
gambaran tentang bagaimana suatu keluarga itu melaksanakan fungsinya
dalam masyarakat. Adapun macam-macam struktur keluarga diantaranya
adalah :
1) Patrilineal : Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah
dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis
ayah. 2) Matrilineal : Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara
sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui
jalur garis ibu.
3) Matrilokal : Sepasang suami-istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
istri.
4) Patrilokal : Sepasang suami-istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
suami.
5) Keluarga menikah : Hubungan suami-istri sebagai dasar bagi pembinaan
keluarga dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga
karena adanya hubungan dengan suami atau istri.
2.1.3 Ciri-ciri keluarga
Keluarga merupakan sistem interaksi emosional yang diatur secara
kompleks dalam posisi, peran, dan aturan atau nilai-nilai yang menjadi dasar
struktur atau organisasi keluarga. Struktur keluarga tersebut memiliki ciri-ciri
antara lain :
1) Terorganisasi Keluarga merupakan cerminan organisasi dimana setiap
anggota keluarga memiliki peran dan fungsinya masing-masing untuk
mencapai tujuan keluarga. Dalam menjalankan peran dan fungsinya,
anggota keluarga saling berhubungan dan saling bergantung antara satu
dengan yang lainnya.
2) Keterbatasan Setiap anggota keluarga memiliki kebebasan, namun juga
memiliki keterbatasan dalam menjalankan peran dan fungsinya.
3) Perbedaan dan Kekhususan Setiap anggota memiliki peran dan fungsinya
masing-masing. Peran dan fungsi tersebut cenderung berbeda dan khas,
yang menunjukkan adanya ciri perbedaan dan kekhususan. Misalnya saja
ayah sebagai pencari nafkah utama dan ibu yang bertugas merawat anak-
anak. (Widyanto, 2014)
2.1.4 Tipe keluarga
Menurut (Widyanto, 2014) Keluarga memiliki berbagai macam tipe
yang dibedakan menjadi keluarga tradisional dan non tradisional, yaitu :
1) Keluarga Tradisional
1. The Nuclear Family (Keluarga Inti), yaitu keluarga yang terdiri
suami, istri dan anak.
2. The Dyad Family, yaitu keluarga yang terdiri suami dan istri yang
hidup dalam satu rumah tetapi tanpa anak.
3. Keluarga usila, yaitu keluarga yang terdiri dari suatu istri yang
sudah tua dengan sudah memisahkan diri.
4. The Childless Family, yaitu keluarga tanpa anak karena terlambat
menikah dan untuk mendapatkan anak terlambat waktunya.
Penyebabnya adalah karena mengejar karir atau pendidikan yang
terjadi pada wanita.
5. The Extended Family (keluarga besar), yaitu keluarga yang terdiri
tiga generasi hidup bersama dalam satu rumah seperti nuclear
family disertai paman,bibi, orang tua (kakek dan nenek),
keponakan dan lain sebagainya.
6. The Single Parent Family (keluarga duda atau janda), yaitu
keluarga yang terdiri dari suatu orang tua bisa ayah atau ibu.
Penyebabnya dapat terjadi karena proses perceraian, kematian atau
bahkan ditinggalkan.
7. Commuter Family, yaitu keluarga dengan kedua orang tua bekerja
di kota yang berbeda, tetapi setiap akhir pekan semua anggota
keluarga dapat berkumpul bersama di salah satu kota yang menjadi
tempat tinggal.
8. Multigenerational Family, yaitu keluarga dengan generasi atau
kelompok umur yang tinggal bersama dalam satu rumah.
9. Kin-network Family, yaitu keluarga dengan beberapa keluarga inti
tinggal dalam satu rumah atau saling berdekatan menggunakan
barang-barang serta 23 pelayanan bersama. Seperti, menggunakan
dapur, kamar mandi, televisi, atau telepon bersama.
10. Blended Family, yaitu keluarga yang dibentuk oleh duda atau
janda yang menikah kembali dan membesarkan anak dari
perkawinan sebelumnya.
11. The Single adult living alone / single adult family, yaitu keluarga
yang terdiri dari orang dewasa yang hidup sendiri karena
pilihannya (separasi) seperti perceraian atau di tinggal mati.
2) Keluarga Non-Tradisional
1. The unmarried teenage mother, yaitu keluarga yang terdiri dari
orang tua terutama ibu dengan anak dari hubungan tanpa nikah.
2. The stepparent family, yaitu keluarga dengan orangtua tiri.
3. Commune Family, yaitu keluarga dengan beberapa pasangan
keluarga anaknya yang tidak memiliki hubungan saudara, hidup
bersama dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang sama,
pengalaman yang sama, sosialisasi anak dengan melalui aktivitas
kelompok atau membesarkan anak bersama.
4. The nonmarital heterosexual cohabiting family, keluarga yang
hidup bersama berganti-ganti pasangan tanpa melalui pernikahan.
5. Gay dan Lesbian family, yaitu keluarga dengan seseorang yang
persamaan jenis kelamin yang hidup bersama sebagaimana
pasangan suami-istri.
6. Cohabiting couple, yaitu keluarga dengan orang dewasa yang
hidup bersama diluar ikatan perkawinan karena beberapa alasan
tertentu.
7. Group-marriage family, yaitu keluarga dengan beberapa orang
dewasa yang menggunakan alat-alat rumah tangga bersama, yang
merasa telah saling menikah satu dengan yang lainnya, berbagai
sesuatu, termasuk seksual dan membesarkan anaknya.
8. Group network family, yaitu keluarga inti yang dibatasi oleh
aturan atau nilai-nilai, hidup berdekatan satu sama lain dan saling
menggunkan barang barang rumah tangga bersama, pelayanan dan
bertanggung jawab membesarkan anaknya.
9. Foster family, yaitu keluarga yang menerima anak yang tidak ada
hubungan keluarga atau saudara untuk waktu sementara.
10. Homeless family, yaitu keluarga yang terbentuk tanpa
perlindungan yang permanen karena krisis personal yang
dihubungkan dengan keadaan ekonomi dan atau problem
kesehatan mental.
11. Gang, yaitu sebuah bentuk keluarga yang destruktif, dari orang-
orang muda yang mencari ikatan emosional dan keluarga yang
mempunyai perhatian, tetapi berkembang dalam kekerasan dan
kriminal dalam kehidupannya
2.1.5 Fungsi Keluarga
Menurut friedman (1999), lima fungsi dasar keluarga adalah sebagai
berikut:
1) Fungsi Afektif Adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan
kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih,
serta saling menerima dan mendukung.
2) Fungsi Sosialisasi Adalah proses perkembangan dan perubahan
individu, keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi sosial dan
belajar berperan di lingkungan sosial.
3) Fungsi Reproduksi Adalah fungsi keluarga meneruskan kelangsungan
keturunan dan menambah sumber daya manusia.
4) Fungsi Ekonomi Adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, seperti : sandang, pangan, dan papan.
5) Fungsi Perawatan Kesehatan Fungsi keluarga dalam perawatan
kesehatan dengan melaksanakan praktek asuhan kesehatan yaitu
keluarga mempunyai tugas untuk memelihara kesehatan anggota
keluarganya agar tetap memiliki produktivitas dalam menjalankan
perannya masing-masing.
2.1.6 Peranan Keluarga
Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh
seseorang dalam konteks keluarga. Jadi peran keluarga menggambarkan
seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan
dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Setiap anggota
keluarga mempunyai peran masingmasing, antara lain adalah :
1) Ayah Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai
pencari nafkah, pendidik, pelindung/pengayom, pemberi rasa aman
bagi setiap anggota keluarga dan juga sebegai anggota masyarakat
kelompok sosial tertentu.
2) Ibu Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik
anak-anak, pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah
tambahan keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok
sosial tertentu.
3) Anak Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan
perkembangan fisik, mental, sosial dan spiritual. (Setiadi, 2008)
2.1.7 Tahap Perkembangan Keluarga
Kerangka perkembangan keluarga menurut Duvall (1977) memberikan
pedoman untuk memeriksa serta menganilisa perubahan dan perkembangan
tugas-tugas dasar yang ada dalam keluarga selama siklus kehidupan
mereka. Tingkat perkembangan keluarga ditandai oleh usia anak yang
tertua:
1) Tahap pasangan baru atau keluarga baru (begining family)
Keluarga baru dimulai pada saat masing-masing individu, yaitu suami
dan istri membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah dan
meninggalkan keluarga masing-masing, secara psikologis keluarga
tersebut sudah memiliki keluarga baru. Tugas perkembangan keluarga
pada tahap ini antara lain:
1. Membina hubungan intim dan kepuasan bersama
2. Menetapkan tujuan bersama
3. Membina hubungan dengan keluarga lain, teman, dan kelompok
sosial
4. Merencanakan anak (KB)
5. Menyesuaikan diri dengan kehamilan dan mempersiapkan diri
untuk menjadi orang tua
2) Tahap II keluarga dengan kelahiran anak pertama (child bearing
family) Keluarga yang menantikan kelahiran dimulai dari kehamilan
sampai kelahiran anak pertama sampai anak pertama ber usia 30 bulan.
Tugas pada perkembangan ini antara lain:
1. Persiapan menjadi orangtua
2. Membagi peran dan tanggung jawab
3. Menata ruang untuk anak atau mengembangkan suasana rumah
yang menyenangkan
4. Meprsiapkan biaya atau dana child bearing
5. Memfasilitasi role learning anggota keluarga
6. Bertanggung jawab memenuhi kebutuhan bayi sampai balita
7. Mengadakan kebiasaan keagamaan secara rutin
3) Tahap III keluarga dengan anak pra sekolah (families with
preschool)
Tahap ini dimulai saat kelahiran anak berusia 2,5 tahun dan
berakhir saat anak berusia 5 tahun. Pada tahap ini orang tua
beradaptasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dan minat dari anak
prasekolah dalam menigkatkan pertumbuhannya. Tugas
perkembangan keluarga pada tahap ini antara lain sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti: kebutuhan
tempat tinggal, privasi, dan rasa nyaman
2. Membantu anak untuk bersosialisasi
3. Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, semetara kebutuhan
anak yang lain juga harus terpenuhi
4. Mempertahankan hubungan yang sehat, baik di dalam maupun
di luar keluarga (keluarga lain dan lingkungan sekitar)
5. Pembagian waktu untuk individu, pasangan dan anak (tahap
paling repot)
6. Kegiatan dan waktu untuk stimulasi tumbuh dan kembang anak
4) Tahap IV keluarga dengan anak usia sekolah (families with school
children) Tahap ini dimulai pada saat anak yang tertua memasuki
sekolah pada usia 6 tahun dan berakhir pada usia 12 tahun. Pada
fase ini umumnya keluarga mencapai jumlah anggota keluarga
maksimal, sehingga keluarga sangat sibuk. Tugas perkembangan
keluarga pada tahap ini antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan perhatian tentang kegiatan sosial anak,
pendidikan dan semangat belajar
2. Tetap mempertahankan hubungan yang harmonis dalam
perkawinan
3. Menyediakan aktivitas untuk anak
4. Menyesuaikan pada aktivitas komunitas dengan mengikut
sertakan anak
5) Tahap V keluarga dengan anak remaja (families with teenagers)
Tahap ini dimulai pada anak saat usia 13 tahun dan biasanya
berakhir sampai pada usia 19-20 tahun, pada saat anak
meninggalkan rumah orangtuanya. Tujuan keluarga adalah
melepas anak remaja dan memberi tanggung jawab serta
kebebasan yang lebih besar unutk mempersiapkan diri lebih
menjadi dewasa. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini
antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung
jawab mengingat remaja ynag sudah bertambah dewasa dan
meningkat otonominya.
2. Mempertahankan hubungan yang intim dengan keluarga
3. Mempertahankan komunikasi terbuka antara anak dan orang
tua, hindari perdebatan, kecurigaan dan permusuhan
4. Perubahan sistem peran dan peraturan untuk tumbuh kembang
keluarga
6) Tahap VI keluarga dengan anak dewasa atau pelepasan (lounching
ceter families)
Tahap ini dimulai pada saat anak terakhir meninggalkan rumah.
Lamanya tahap ini tergantung pada jumlah anak dalam keluarga
atau jika anak yang belum berkeluarga dan tetap tinggal bersama
orang tua. Tujuan utama pada tahap ini adalah mengorganisasi
kembali keluarga untuk tetap berperan dalam melepas anaknya
untuk hidup sendiri. Tugas perkembangan keluarga pada tahap
ini antaara lain sebagai berikut:
1. Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar
2. Mempertahankan keintiman pasangan
3. Membantu orang tua suami dan istri yang sedang sakit dan
memasuki masa tua.
4. Mempersiapkan anak untuk hidup mandiri dan menerima
kepergian anaknya
5. Menata kembali fasilitasi dan sumber yang ada pada keluarga
6. Berperan suami istri, kakek, dan nenek
7. Menciptakan lingkungan rumah yang dapat menjadi contoh
bagi anak-anaknya
7) Tahap VII keluarga usia pertengahan (middle agee families)
Tahap ini dimulai pada saat anak yang terakhir
meninggalkan rumah dan berakhir saat pensiun atau salah satu
pasangan meninggal. Beberapa pasangan pada fase ini akan
dirasakan sulit karena masalah usia lanjut, perpisahan dengan
anak, dan perasaan gagal sebagai orang tua. Tugas
perkembangan keluarga pada tahap ini antara lain sebagai
berikut:
1. Mempertahankan kesehatan
2. Mempunyai lebih banyak waktu dan kebebasan dalam arti
mengolah minat sosial dan waktu santai
3. Memulihkan hubungan antara generasi muda dengan generasi
tua
4. Keakraban dengan pasangan
5. Memelihara hubungan/kontak dengan anak keluarga
6. Persiapan masa tua atau pensiun dan meningkatkan
keakraban pasangan
8) Tahap VIII keluarga usia lanjut
Tahap terakhir perkembangan keluarga dimulai pada saat
salah satu pasangan pensiun, berlanjut salah satu pasangan
meninggal, sampai keduanya meninggal. Proses usia lanjut dan
pension merupakan realita yang tidak dapat dihindari karena
berbagai proses usia lanjut dan pensiun merupakan realita yang
tidak dapat dihindari karena berbagai proses stressor dan
kehilangan yang harus dialami keluarga. Tugas perkembangan
keluarga pada tahap ini antara lain sebagai berikut:
1. Mempertahankan suasana rumah yang menyenangkan
2. Adaptasi dengan perubahan kehilangan pasangan, teman,
kekuatan fisik, dan pendapatan
3. Mempertahankan keakraban suami istri dan saling merawat
4. Mempertahankan hubungan dengan anak dan social
merawat
5. Melakukan file review
6. Menerima kematian pasangan, kawan, dan mempersiapkan
kematian (Mubarak & Iqbal, 2012)
2.1.8 Tugas Kesehatan Keluarga
Tugas kesehatan keluarga menurut Friedman (1999), yaitu:
1) Mengenal masalah atau gangguan kesehatan keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang perlu mendapatkan
perhatian. Orang tua perlu mngenal keadaan kesehatan dan
perubuhan yang dialami anggota keluarganya terutama berkaitan
dengan kesehatan. Alasannya adalah ketika terjadi perubahan sekecil
apapun yang dialami 30 keluarga, maka secara tidak langsung akan
menjadi perhatian orang tua atau keluarga, sehingga segala kekuatan
sumber daya, pikiran, waktu, tenaga, dan bahkan harta keluarga akan
digunakan untuk mengatasi permasalahan kesehatan tersebut.
2) Mengambil keputusan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari
bantuan yang tepat sesuai dengan masalah kesehatan yang menimpa
keluarga. Suara sumber daya internal keluarga yang dianggap
mampu memutuskan akan menetukan tindakan keluarga dalam
mngatasi masalah kesehatan yang dialami. Jika secara internal
keluarga memiliki keterbatasan sumber daya, maka keluaarga akan
mencari batuan dari luar.
3) Merawat anggota keluarga yang sakit Tugas merawat anggota
keluarga yang sakit seringkalli harus dilakukan keluarga untuk
memberikan perawatan lanjutan setelah memperoleh pelayanan
kesehatan di institusi pelayanan kesehatan. Tidak menutup
kemungkinan juga ketika keluarga memiliki kempuan untuk
melakukan tindakan pertolongan pertama, maka anggota keluarga
yang sakit dapat sepenuhnya dirawat oleh keluarga sendiri.
4) Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan
keluarga Tugas ini merupakan upaya keluarga untuk
memdayagunakan potensi internal yang ada di lingkugan rumah
untuk mempertahankan kesehatan atau membantu proses perawatan
anggota keluarga yang sakit. Tindakan memodifiksi lingkungan
memiliki cakupan yang luas sesuai dengan pengetahuan keluarga
mengenai kesehatan.
5) Menggunakan fasilitas kesehatan Tugas ini merupakan bentuk upaya
keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan anggota keluarganya
dengan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
2.1.9 Peran Perawat Keluarga
Perawatan kesehatan keluarga adalah pelayanan kesehatan yang
ditujukan pada keluarga sebagai unit pelayanan untuk mewujudkan
keluarga yang sehat. Fungsi perawat membantu keluarga untuk
menyelesaikan kesehatan dengan cara meningkatkan kesanggupan
keluarga melakukan fungsi dan tugas perawatan kesehatan keluarga.
Peran perawat dalam melakukan perawatan kesehatan keluarga adalah:
1) Edukasi
Perawat kesehatan keluarga harus mampu memberikan pendidikan
kesehatan kepada keluarga, agar keluarga dapat melakukan
program asuhan kesehatan keluarga secara mandiri dan
bertanggung jawab terhadap masalah keehatan keluarga.
2) Koordinasi
Koordinasi merupakan salah satu peran utama perawat yang
bekerja dengan keluarga misalnya, klien yang pulang dari rumah
sakit memerlukan perawatan lanjutan dirumah, maka perlu
koordinasi lanjutan asuhan keperawatan dirumah.
3) Pelaksana perawatan dan pengawas perawatan langsung
Perawat yang bekerja dengan klien dan keluarga baik dirumah,
klinik maupun di rumah sakit bertanggung jawab memberikan
perawatan langsung atau mengawasi keluarga memberikan
perawatan pada anggota keluarga yang sakit.
4) Pengawas kesehatan
Perawat mempunyai tugas melakukan home visit yang teratur
untuk mengidentifikasi atau melakukan pengkajian tentang
kesehatan keluarga.
5) Konsultan atau penasehat
Perawat sebagi nara sumber bagi keluarga didalam mengatasi
masalah kesehatan.
6) Kolaborasi
Perawat komunitas juga harus bekerja sama dengan pelayanan
rumah sakit atau anggota tim kesehatan yang lain untuk mencapai
tahap kesehatan keluarga yang optimal.
7) Advokasi
Perawat sebagai advokat klien harus dapat melindungi hak dan
kewajiban klien.
8) Fasilitator
Peran perawat disini adalah membantu keluarga didalam
menghadapi kendala untuk meningkatkan derajat kesehatannya.
9) Penemu kasus
Perawat berperan mengidentifikasi masalah kesehatan secara dini,
sehingga tidak terjadi penyakit yang mewabah.
10) Modifikasi lingkungan
Perawat juga harus berperan dalam memodifikasi lingkungan, baik
lingkungan rumah maupun lingkungan masyarakat agar dapat
tercipta lingkungan yang sehat.

2.2 Konsep Stunting


2.2.1 Definisi Stunting
Senbanjo, et al (2011) mendefinisikan stunting adalah keadaan status
gizi seseorang berdasarkan z-skor tinggi badan (TB) terhadap umur (U)
dimana terletak pada <-2 SD. Indeks TB/U merupakan indeks antropometri
yang menggambarkan keadaan gizi pada masa lalu dan berhubungan dengan
kondisi lingkungan dan sosial ekonomi. SK Menkes RI (2012) menyatakan
bahwa pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunting (pendek) dan
severely stunting (sangat pendek). Pengaruh kekurangan zat gizi terhadap
tinggi badan dapat dilihat dalam waktu yang relatif lama. (Gibson, 2005).
Stunting adalah indikator dari hasil malnutrisi yang memperburuk
keadaan anak pada usia dini dan sangat terkait dengan kondisi jangka pendek
dan jangka 9 panjang (Takele, dkk. 2019). Stunting merupakan suatu kondisi
dimana terjadi gagal tumbuh pada anak balita (bawah lima tahun) disebabkan
oleh kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi berada di dalam kandungan dan pada
masa awal setelah bayi dilahirkan. Akan tetapi, kondisi stunting baru akan
muncul setelah anak berusia 2 tahun
2.2.2 Klasifikasi Stunting
Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah
diukur panjang dan tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standart dan
hasilnya berada di bawah normal. Secara fisik balita akan lebih pendek
dibandingkan balita seumurnya (Kemenkes,RI 2016). Kependekan mengacu
pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah. Pendek dapat mencerminkan
baik variasi normal dalam pertumbuhan ataupun defisit dalam pertumbuhan.
Stunting adalah pertumbuhan linear yang gagal mencapai potensi genetik
sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi yang suboptimal (Anisa, 2012).
Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan tinggi badan/panjang
badan menurut umur ditunjukkan dalam tabel.
2.1 Tabel Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks PB/TB

Kategori status gizi Ambsng bstas Z-core


Sangat pendek Z score <-3,0
Pendek Z score > 3,0 sampai dengan Z score <-2,0
Normal Z score >-2,0
(Sumber: Stimulasi. Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak,
2016.)

2.2.3 Etiologi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada
anak. Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung
maupun tidak langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah
asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsung
adalah pemberian ASI dan MP-ASI, kurangnya pengetahuan orang tua, faktor
ekonomi, rendahnya pelayanan kesehatan dan masih banyak faktor lainnya
(Mitra, 2015).
1) Faktor penyebab langsung
1. Asupan Gizi
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh. Usia anak 1 – 2,5 tahun merupakan masa kritis
dimana pada tahun ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan secara
pesat. Konsumsi makanan yang tidak cukup merupakan salah satu
faktor yang dapat menyebabkan stunting (Kinasih dkk, 2016).
2. Penyakit infeksi kronis
Adanya penyakit infeksi dalam waktu lama tidak hanya berpengaruh
terhadap berat badan akan tetapi juga berdampak pada pertumbuhan
linier. Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defisiensi energi,
protein, dan gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga asupan
makanan berkurang. Pemenuhan zat gizi yang sudah sesuai dengan
kebutuhan namun penyakit infeksi yang diderita tidak tertangani tidak
akan dapat memperbaiki status kesehatan dan status gizi anak balita.
(Dewi dan Adhi, 2016).
2) Faktor penyebab tidak langsung
1. Faktor ASI Eksklusif dan MP-ASI
ASI eksklusif merupakan pemberian ASI tanpa makanan dan
minuman tambahan lain pada bayi berusia 0-6 bulan. ASI sangat
penting bagi bayi karena memiliki komposisi yang dapat berubah
sesuai kebutuhan bayi. Pada ASI terdapat kolostrum yang banyak
mengandung gizi dan zat pertahanan tubuh, foremik (susu awal) yang
mengandung protein laktosa dan kadar air tinggi dan lemak rendah
sedangkan hidramik (susu akhir) memiliki kandungan lemak yang
tinggi yang banyak memberi energi dan memberi rasa kenyang lebih
lama (Ruslianti dkk, 2015).
Pemberian MP-ASI merupakan sebuah proses transisi dari
asupan yang semula hanya ASI menuju ke makanan semi padat.
Tujuan pemberian MP-ASI adalah sebagai pemenuhan nutrisi yang
sudah tidak dapat terpenuhi sepenuhnya oleh ASI selain itu sebagai
latihan keterampilan makan, pengenalan rasa. MP-ASI sebaiknya
diberikan setelah bayi berusia 6 bulan secara bertahap dengan
mempertimbangkan waktu dan jenis makanan agar dapat memenuhi
kebutuhan energinya (Ruslianti dkk, 2015).
2. Pengetahuan Orang Tua
Orangtua yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik akan
memberikaan asuhan pada keluarga dengan baik pula. Pengetahuan
orangtua tentang gizi akan memberikan dampak yang baik bagi
keluarganya karena, akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
kebutuhan gizi. (Nikmah, 2015).
3. Faktor Ekonomi
Pendapatan yang rendah, biasanya mengkonsumsi makanan
yang lebih murah dan menu yang kurang bervariasi, sebaliknya
pendapatan yang tinggi umumnya mengkonsumsi makanan yang lebih
tinggi harganya, tetapi penghasilan yang tinggi tidak menjamin
tercapainya gizi yang baik. Pendapatan yang tinggi tidak selamanya
meningkatkan konsumsi zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, tetapi
kenaikan pendapatan akan menambah kesempatan untuk memilih
bahan makanan dan meningkatkan konsumsi makanan yang disukai
meskipun makanan tersebut tidak bergizi tinggi. (Ibrahim dan
Faramita, 2014).
4. Rendahnya Pelayanan Kesehatan
Perilaku masyarakat sehubungan dengan pelayanan kesehatan
di mana masyarakat yang menderita sakit tidak akan bertindak terhadap
dirinya karena merasa dirinya tidak sakit dan masih bisa melakukan
aktivitas seharihari dan beranggapan bahwa gejala penyakitnya akan
hilang walaupun tidak di obati. Berbagai alasan dikemukakan mengapa
masyarakat tidak mau memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan
seperti jarak fasilitas kesehatan yang jauh, sikap petugas yang kurang
simpati dan biaya pengobatan yang mahal (Ma’rifat, 2010).
2.2.4 Manifestasi klinis
Gejala stunting menurut (kemenkes, 2017)
1) Anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya
2) Proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/kecil
untuk seusianya
3) Berat badan rendah untuk anak seusianya
4) Pertumbuhan tulang tertunda.
2.2.5 Patofisiologi
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi
ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai
usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar
tumbuh (catch up growth) yang memadai (Mitra, 2015).
Masalah stunting terjadi karena adanya adaptasi fisiologi pertumbuhan
atau non patologis, karena penyebab secara langsung adalah masalah pada
asupan makanan dan tingginya penyakit infeksi kronis terutama ISPA dan
diare, sehingga memberi dampak terhadap proses pertumbuhan balita
(Sudiman, 2018).
Tidak terpenuhinya asupan gizi dan adanya riwayat penyakit infeksi
berulang menjadi faktor utama kejadian kurang gizi. Faktor sosial ekonomi,
pemberian ASI dan MP-ASI yang kurag tepat, pendidikan orang tua, serta
pelayanan kesehatan yang tidak memadai akan mempengaruhi pada
kecukupan gizi. Kejadian kurang gizi yang terus berlanjut dan karena
kegagalan dalam perbaikan gizi akan menyebabkan pada kejadian stunting
atau kurang gizi kronis. Hal ini terjadi karena rendahnya pendapatan
sehingga tidak mampu memenuhi kecukupan gizi yang sesuai (Maryunani,
2016).
Pada balita dengan kekurangan gizi akan menyebabkan berkurangnya
lapisan lemak di bawah kulit hal ini terjadi karena kurangnya asupan gizi
sehingga tubuh memanfaatkan cadangan lemak yang ada, selain itu imunitas
dan produksi albumin juga ikut menurun sehingga balita akan mudah
terserang infeksi dan mengalami perlambatan pertumbuhan dan
perkembangan. Balita dengan gizi kurang akan mengalami peningkatan
kadar asam basa pada saluran cerna yang akan menimbulkan diare
(Maryunani, 2016).
2.2.6 Dampak Stunting
Masalah gizi terutama masalah balita stunting dapat menyebabkan
proses tumbuh kembang menjadi terhambat, dan memiliki dampak negatif
yang akan berlangsung untuk kehidupan selanjutnya. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa balita pendek sangat berhubungan dengan prestasi
pendidikan yang kurang dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa
(Astutik, Rahfiludin, & Aruben, 2018).
Menurut WHO (2018), dampak yang terjadi akibat stunting dibagi
menjadi dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang.
1) Dampak jangka pendek, yaitu :
1. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian.
2. Perkembangan kognitif, motorik dan verbal pada anak tidak optimal.
3. Peningkatan biaya kesehatan
2) Dampak jangka panjang, yaitu :
1. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek bila
dibandingkan pada umumnya)
2. Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya
3. Menurunnya kesehatan reproduksi
4. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa
sekolah
5. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal
2.2.7 Penatalaksanaan
Menurut Khoeroh dan Indriyanti, (2017) beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk mengatasi stunting yaitu:
1) Penilaian status gizi yang dapat dilakukan melalui kegiatan posyandu
setiap bulan. 2) Pemberian makanan tambahan pada balita.
2) Pemberian vitamin A.
3) Memberi konseling oleh tenaga gizi tentang kecukupan gizi balita.
4) Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai usia 2
tahun dengan ditambah asupan MP-ASI.
5) Pemberian suplemen menggunakan makanan penyediaan makanan dan
minuman menggunakan bahan makanan yang sudah umum dapat
meningkatkan asupan energi dan zat gizi yang besar bagi banyak pasien.
6) Pemberian suplemen menggunakan suplemen gizi khusus peroral siap
guna yang dapat digunakan bersama makanan untuk memenuhi
kekurangan gizi.

2.2.8 Pemeriksaan penunjang


Menurut Nurarif dan Kusuma, (2016) mengatakan pemeriksaan penunjang
untuk stunting antara lain:
1) Melakukan pemeriksaan fisik.
2) Melakukan pengukuran antropometri BB, TB/PB, LILA, lingkar kepala.
3) Melakukan penghitungan IMT.
4) Pemeriksaan laboratorium darah: albumin, globulin, protein total,
elektrolit seru
2.2.9 Pathway

Faktor nutrisi Penyakit infeksi Pemberian ASI & Pemberian ASI &
MP-ASI MP-ASI

Intake nutrisi
kurang

Gizi kurang

Kurang
pengetahuan orang
Kegagalan melakukan tua
perbaikan gizi yang
terjadi dalam waktu lama Defisit pengetahuan

Stunting

Intake kurang dari


kebutuhan tubuh defisit
protein dan kalori

Daya tahan
Hilangnya lemak Asam amino dan
tubuh menurun
dibantalan kulit produksi albumin
menurun
Gangguan
Keadaan umum pertumbuhan dan
Turgor kulit imun tubuh
lemah
menurun rendah
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pre eksperimental dengan metode
pendekatan one group pretest post test untuk melihat pengaruh pemberian jus kacang
hijau dan pemberian telur air rebus untuk pemenuan gizi pada balita.

3.2 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

3.2.1 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan dengan satu kali pengumpulan data yaitu
pengukuran berat badan dan tinggi badan serta melihat buku KIA posyandu
balita yang didapatkan dari ibunya dilakukan pada tanggal 25 November 202.

3.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Jatiroto dan Banyuputih Kidul.

3.2.3 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pada penderita stunting di dua


wilayah.Pada penelitian ini peneliti menggunakan dua balita yang berada di dua
wilayah yaitu Jatiroto dan Banyuputih Kidul.

3.2.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan data primer.
Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti secara langsung
terhadap sasaran. Data primer diperoleh dengan menggunakan teknik
pengukuran BB dan TB serta pengecekan buku KIA dan melakukan Tanya
jawab pada ibu balita tersebut.

No Nama da Usia Lokasi P/L BB TB Tgl Test Tanda dan Gejala


(kg) (cm)
1 Aisyah, 24 Bayuputih P 7,8 69 25 Berat badan kurang
bulan Kidul kg cm November
Tinggi bada lebih pendek
2021
untuk anak se-usianya
Proporsi tubuh cenderung
normal tetapi anak tampak
lebih kecil untuk anak
seusianya
2 Maulana, 42 Jatiroto L 25
bulan November
2021
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan selama 3, terdapat 4 stunting
yang berada di wilayah Jatiroto dan Banyuputih Kidul. Di bawah ini merupakan
hasil dari terapi pemberian jus kacang hijau da telur ayam rebus, diantaranya
No Nama Usia Hasil Hasil akhir Kesimpulan
awal
1 An.M 42 Bln
2. An.A 24 Bln

4.2 Pembahasan
Dari data diatas, didapatkan hasil bahwa ada pengaruh dari pemberian Jus
Kacanghijau dan telurayam rebus sebagai makanan tambahan yang memiliki
kandungan kombinasi protein nabati dan protein hewani yang menunjukan makanan
tambahan kombinasi yang memiliki kecenderungan positif terhadap perbaikan status
gizi balita berdasarkan kategori BB/U dan TB.
Intervensi yang kami lakukan yaitu terapi pemberian Jus Kacanghijaudan telur
ayam rebusbagi penderita balita stunting.

A. Cara pembuatan jus kacanghijau dan telurayam rebus:


Alat dan bahan :
1. Panci staniles
2. Blender
3. Saringan
4. Botol 250ml
5. Sendok makan
6. Cup sedang
7. Kacang hijau
8. 4 Butir telur ayam
B. Langkah-langkah:

Jus Kacang Hijau


1. Siapkan kacang hijau10 sendokmakan= 100g, yang sudah dicuci bersih
2. Kemudian direbus ke dalam panci selama kurang lebih 30 menit
3. Tunggu hingga kacang hijau lunak lalu tiriskan
4. Kemudian masukan ke dalam blender
5. Lalu blender hingga kacang hijau halus
6. Tunggu kacang hijau yang sudah di blender selama 5 menit
7. Kemudian saring dan masukan kedalam botol
Telur Ayam Rebus

1. Siapkan panci lalu masukan telur ke dalam panci


2. Tunggu selama 15 menit
3. Setelah itu masukan telur ke dalam air dingin agar mudah untuk mengupas
kulit telur
4. Lalu potong telur 2 bagian
5. Dan masukan ke dalam cup yang sudah disiapkan

Implementasi yang kami lakukan yaitu pemberian terapi jus kacang hijau dan
telurayam rebus sebagai makanan tambahan yang memiliki kandungan kombinasi
protein nabati dan protein hewani yang menunjukan makanan tambahan kombinasi
yang memiliki kecenderungan positif terhadap perbaikan status gizi balita
berdasarkan kategori BB/U dan TB.

Anda mungkin juga menyukai