perkembangan Islam secara global di Nusantara tetapi juga mengenai perkembangan Islam di
Berbicara mengenai masuknya Islam ke suatu wilayah di Nusantara, maka kita akan
sering kali dihadapkan kepada tiga persoalan, yaitu kapan Islam pertama kali sampai, siapa
yang membawa Islam dan bagaimana proses islamisasi. Islam sebagai sebuah kepercayaan
atau agama yang bukan tergolong ke dalam agama pribumi sebelumnya, tentunya hal ini
Perkembangan Islam di Nusantara dapat berjalan dengan lancar dan tanpa ada
hambatan yang besar, karena ada yang menopang penyiaran Islam tersebut. Salah satu
penopang dari penyiaran dan perkembangan Islam di Nusantara, ialah kerajaan atau
kesultanan. Hal ini karena, kesultanan merupakan sebuah kerajaan yang bercorak Islam serta
perbincangan dikalangan para sejarawan khusunya bagi kesultanan yang minim dari
penulisan sejarah seperti kesultanan yang berada di pedalaman serta tidak sebagai tonggak
awal perkembangan Islam di Nusantara seperti Kerajaan Samudera Pasan dan Kesultanan
Malaka dll,. Salah satu wilayah kesultanan yang mengalami kemerosotan dalam penulisan
sejarah, ialah Kesultanan Jambi. Sehingga dapat dikatakan bahwa, sejarah Islam di Negeri
Jambi serta Kesultanan Jambi termasuk sebuah kajian yang diamnesikan dalam sejarah.
Sultan (bahasa Arab: سلطان, sulthaanun, wanita: Sultanah) merupakan istilah dalam
bahasa Arab yang berarti "raja", "penguasa", "keterangan" atau "dalil". Sultan kemudian
dijadikan sebutan untuk seorang raja atau pemimpin Muslim, yang memiliki suatu wilayah
tersebar, dari Sabang sampai Merauke yaitu Kesultaanan Aceh hingga Kesultanan Ternate
Islam. Islam itu sendiri dikembangkan serta disyiarkan oleh para ulama ke Nusantara yang
tidak terlepas dari bantuan raja-raja di Nusantara kala itu sebelum terbentuk sebuah
Sementara itu, sultan sebagai penguasa atau pemimpin sebuah kerajaan Islam yang
lazim disebut kesultanan harus bertanggung jawab tentang segala hal yang menyangkut
1[1] Ahmad Warson Al Munawir, Kamus Bahasa Arab, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997,
hlm. 650.
2[2] Lihat M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, Yogyakarta: PT.
Kurnia Kalam Sejahtera, hlm. 11-99.
tanggung jawab seorang sultan, ialah dibidang ideology tepat dalam penyebaran agama
Islam.
bahwa adanya hubungan antara ulama dan sultan dalam menumbuhkembangkan Islam di
Nusantara. Dalam hal ini, terlihat keeratan antara sultan yang duduk di istana/kraton dengan
ulama yang berkedudukan di Masjid dalam penyebaran Islam. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa, perkembangan Islam di Nusantara ditopang oleh kepemimpinan para sultan di istana
Sebuah teori yang mengemukakan tentang peran seorang sultan dalam penyebaran
Islam seperti halnya teori yang sering dipakai oleh Uka Trandrasasmita mengemukakan
(sultan/raja) menganut ajaran atau agama baru rakyat akan mengikutinya. Hal ini dikarenakan
para raja/sultan mereka pandang sebagai wakil tuhan di dunia. 3[3] Salah satu kesultanan di
Indonesia yang sangat memperhatikan tentang penyebaran agama Islam ini, ialah Kesultanan
Jambi.
Dalam konteks Islam di Jambi, Islam menyandangi kekuasaan para Sultan Jambi
dengan legitimasi. Hal ini karena, adanya anggapanan bahwa keluarga Kesultanan Jambi
berasal dari tokoh legendaris Jambi berketurun Turki. Pada periode itu, Turki dipandang
sebagai perwujudan ideal Jambi tentang kekuatan ilahi dan sebagai juru selamat.4[4]
Islamisasi di Jambi
Azyumardi Azra mengemukakan, wilayah Jambi termasuk daerah yang paling awal
disinggahi oleh pedagang Muslim dari Arab. Hal ini karena terletak di persimpangan Selat
Malaka, membuat perairan Jambi menjadi salah satu jalur the favoured commercial coast
3[3] Uka Trandrasasmita, The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia in Relation to
South-east Asia, dalam Mulyanto Sumardi (ed.), International Seminar on Islam in Southeast Asia,
Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1986), hlm. 24.
4[4] Elsbeth Locher, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial (Hubungan Jambi-Batavia
(1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, Jakarta: Banana KITLV, 2008, hal. 23.
oleh pedagang dari Cina, India, dan Arab, dan menjadi semakin penting dengan memudarnya
Selama ini ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai masuknya dan
berhubungan dengan masuknya Islam ke Palembang. Nakhoda Buzurg bin Shahryar yang
menulis kitab ‘Aja’ib al- Hind (sekitar tahun 1000) meriwayatkan serta memberi kabar
tentang kunjungan pedagang Muslim Arab ke Kerajaan Zabaj (Sabak) atau Sribuzah
(Sriwijaya). Selain itu, Ibnu Khurdazbih ahli geografi berkebangsaan Persia dan penulis
Kitab al- Masalik wa al-Mamalik (literatur geografis deskriptif berbahasa Arab paling awal,
sekitar tahun 846 M), menyebutkan nama-nama tempat atau pulau, seperti Pulau Jabah. 6[6]
Penulis duga bahwa, Pulau Jabah yang dimaksud adalah negeri Sabak yang terletak di
Mengenai hal yang disebut di atas tadi, ada dua surat yang menerangkan tentang
hubungan Jambi dengan Muslim Arab, yaitu surat yang dikirim raja Sriwijaya ke khalifah di
negeri Arab. Surat pertama diterima oleh Khalifah Muawiyah (w.41 H /661 M) dan surat
kedua diterima oleh Umar bin Abd al-Aziz (99-102 H /717-720 M). 7[7] Dalam kedua surat
ini disebut wilayah Sriwijaya dialiri dua sungai yaitu, Batanghari dan Musi, maka dapat
diperkirakan bahwa letak Sriwijaya meliputi Jambi dan Palembang. Jadi dari informasi
tersebut dapat disimpulkan Muslim Arab telah datang ke Jambi pada masa Sriwijaya, yakni
Pendapat kedua, Islam sudah masuk dan berkembang di Negeri Jambi pada abad ke
XV M bersamaan dengan kebangkitan Kerajaan Jambi. Saat dipimpin oleh Putri Selara
5[5] B. J. O. Schrieke, Indonesia Sociological Studies, Part One, Den Haag dan Bandung: Van
Hoeve, 1955, hal. 16
6[6] Uka Tjandrasasmita, Op cit., hal 11 dan Lihat juga Azzumardi Azra, Jaringan Ulama
Timut Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII : Melacak Akar-akar Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung ; Mizan , 1992, hal. 42
7[7] Azzumardi Azra, Ibid., hal. 42
Pinang Masak, Kerajaan Melayu kedatangan seorang Muslim dari Turki seorang saudagar
dan ulama bernama Ahmad Salim atau Ahmad Barus II. 8[8] Ahmad Salim adalah raja Turki
keturunan dari Sultan Saidina Zainal Abidin bin Saidina Husen bin Fatimah Zahra binti
Saidina Rasul. Ia menikah dengan Putri Selara Pinang Masak dan dikurnai empat orang anak
yaitu Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Kedaratan, Orang Kayo Hitam dan Orang Kayo
Gemuk.9[9] Melalui pernikahan ini, Islam berkembang pesat di Negeri Jambi dan menjadi
agama resmi Kerajaan Melayu, serta titik awal Kesultanan Jambi yang menjadikan Islam
Pendapat ketiga, sesuai dengan laporan tim peneliti IAIN STS Jambi, mengungkapkan
tentang kedatangan seorang ulama dari tanah Arab pada abad ke-17 M yang bernama Sayyid
Husin Ahmad Baraqbah tepatnya pada tahun 1615 M. Ketika sampai di Negeri Jambi, ia
tinggal di Pecinan daerah tempat menetapnya para pedagang dari Negeri Cina. Di daerah
tersebut lah, ia mengenal dan menikah dengan Putri Sin Tay yang bernama Sin Ing tau Siti
Fatimah. Akhirnya banyak warga/pedagang Cina di wilayah ini memeluk agama Islam. 10[10]
Nampaknya dalam hal ini ulama yang bernama Sayyid Husin Ahamd Baraqbah, memakai
metode perkawinan untuk menyebarkan serta menyiarkan ajaran Islam di Negeri Jambi
Jadi dari pendapat di atas, Islam sudah bersentuhan dengan Negeri Jambi semenjak
abad ke-7 dan 8 Masehi. Akan tetapi, pada masa ini Islam belum menampakkan wujudnya ke
permukaan atau Islam belum mengepangkan syapnya ini Negeri Jambi dengan kata lin belum
di kenal oleh masyarakat luas. Islam baru menampakkan wujudnya di Negeri Jambi, ketika
islam telah menjadi agama resmi Kerajaan Jambi pasca kedatangan Ahmad Salim atau Datuk
8[8] Lindayanti, dkk., Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, Jambi: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jambi, 2013, hlm. 129.
9[9] Naskah Melayu yang ditulis oleh Ngabihi Shuto Dilogo, Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak
Tahun 700 Hijriah, Lembaran ke tiga belas dan lembaran pertama.
10[10] Tim Penulis, Kesultanan Jambi Dalam Konteks Sejarah Nusantara, Jakarta: Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011, hlm. 75-76.
Panduko Berhalo yang menikah dengan Puti Selaras Pinang Masak Raja Kerajaan Jambi di
abad ke-15 Masehi. Kemudian beberapa dekade berikutnya tepatnya abad ke-17 Masehi,
ketika Islam muali mengalami perkembangan para ulama dari tanh Arab tetap bertangan ke
Negeri Jambi untuk menyebarkan syiar Islam, seperti yang dilakukan Oleh Sayyid Husin
Sebagai sebuah Kesultanan yang memiliki sejarah yang panjang, tentunya Kesultanan
Jambi juga memiliki bebrappa orang raja/sultan yang memerintah dan berkuasa di Negeri
berdirinya Kerajaan Jambi pasca terpecahnya Kerajaan Melayu Menjadi dua, yaitu Kerajaan
Pagaruyung dan Kerajaan Jambi sekitar awal abad ke-15 Masehi. Setidaknya kerajaan ini,
dimulai dari masa kepemimpinan Puti Selaro Pinang Masak (1460-1480) sampai Sultan
Jika dirunut jumlah semua raja/sultan yang pernah memimpin Kesultanan Jambi lebih
kurang 21 orang, terdiri dari delapan orang raja (Rajo) dan tiga belas orang sultan. Adapun
1. Puti Selaro Pinang Masak (1460-1480); pada masa ini Raja Jambi dikenal dengan sebutan
Pada kepemimpinan lima raja di atas, raja dikenal dengan sebutan Rajo Melayu Islam Tanah
Pilih.
Masa kepemimpinan Sultan Agung Abdul Qahar, sebagai tonggak awal raja/penguasa
Sultan Sultan Mahmud Syah berkedudukan di Tanah Pilih Jambi, sedangkan Sultan Sri
Maharajo Batu berkedudukan di Mangun Jayo (M. Tebo) sebagai sultan tandingan.
Sultan Thaha Syaifuddin adalah sultan terakhir Kesultanan Jambi, ia gugur ketika
melawan Belanda pada tahun 1904 di Desa Betung Berdarah (Tebo). Selain itu juga terdapat
sultan produk Belanda atau sultan yang diangkat oleh penguasa Belanda, dikenal dengan
sebutan sultan Bayang. Sultan pada masa ini terdiri dari tiga orang yang memimpin berkisar
dari tahun 1858 sampai dengan tahun 1899 Masehi. Adapun nama sultan/raja yang dibawah
dalam hal ini Kesultanan Jambi juga berperan sebagai tokoh utama dalam penyebaran Islam
di Negeri Jambi. Hal ini dikarenakan, Islam telah ditopang oleh kepemimpinan yang
berbentuk kerajaan/kesultanan. Dalam artian, apabila seorang raja telah menganut ajaran
Islam maka masyarakat akan ikut menganut ajaran yang dianut oleh rajanya. Berikut ini akan
dijabarkan serta dijelas beberapa orang Raja/Sultan Jambi yang ikut berperan dalam
Islamisasi.
Datuk Paduko Berhalo setelah mengislamkan serta menikahi Tuan Putri Selaras
Pinang Masak seorang Raja Jambi keturunan Pagaruyung, iapun menjadi Raja Kerajaan
Jambi bersama istrinya. Sebagaimana diketahui bahwa Datuk Paduko Berhalo titik awal
Islam di Kerajaan Jambi atau Negeri Jambi, 12[12] sudah jelas memiliki peran dalam
Pada tahun 1500 sampai dengan 1515 Masehi, Kerajaan Jambi dipimpin oleh Orang
Kayo Hitam. Pada masa ini, Kerajaan Jambi dikenal dengan dengan Kerajaan Melayu Islam
11[11] Lihat dalam Muchtar Agus Cholif, Timbul Tenggelam Persatuan Wilayah Liak XVI
Tukap Tuhut di Bumi Undang Tambang Teliti, Jambi: [t.p], 2009, hal. 79-80. Lihat juga Lindayanti, op
Cit., hlm.131-132. Selain itu, lihat juga Ngebi Sutho Dilogo Priyayi Rajo Sari, Silsilah Raja-raja Jambi:
Undang, Piagam dan Cerita Rakyat Jambi, disunting oleh Ratu Mas Zahra, Jambi: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2005, hlm. 40-41.
12[12] Naskah Melayu yang ditulis oleh Ngabihi Shuto Dilogo, op Cit., lembaran ke Sembilan
belas.
Tanah Pilih Jambi.13[13] Jadi, sudah jelas Islam telah menjadi agama resmi dan identitas
Kerajaan Jambi.
Islam telah berkembang di Kesultanan Jambi dan Negeri Jambi pada masa Orang
Kayo Hitam, terbukti dengan adanya disebut dalam naskah sejarah Jambi.
Pasal yang tiga puluh enam: Pri menyatokan awal Islam di Jambi zaman Orang Kayo Hitam
bin Datuk Paduko Berhalo yang mengislamkannyo. Kepado hijrat Nabi Sallallahi Alaihi
Wassalam 700 tahun kepado tahun Alif bilangan Syamsiah, dan kepado sehari bulan
Muharam, hari Kemis, pada waktu zuhur, maso itulah awal Islam di Jambi mengucap duo
kalimat Syahadat, sembahyang limo waktu, puaso sebulan ramadhan, zakat dan fitrah,
barulah berdiri rukun Islam yang limo.
Sementara itu, selain mengislamkan rakyat Jambi, Orang Kayo Hitam juga
mengislamkan tiga orang saudara sepupunya dari keturunan ibunya. Ketiga saudaranya
tersebut diberi gelar Sunan Muaro Pijoan, Sunan Kembang Sari dan Sunan Pulau Johor.
Disamping itu, Orang Kayo Hitam juga berhasil memadukan dasar hukum pemerintah
Kerajaan Melayu dengan ajaran Islam, dikenal dengan sebutan “Adat Bersendi Syarak dan
Adanya perbaduan dasar Kerajaan Melayu Jambi dengan ajaran Islam oleh Orang
undang pemerintahan Pucuk Undang Nan Delapan, hukum ini berdasarkan al-Qur’an dan al-
hukum adat dengan syarak. Penjelasan-tersebut disertai dengan dalil al-qur’an, seperti Ahadu
Hasyar’an Mulazimu Wassani ‘Adatil Qauwiyi salah satu dari pada syarak yang lazim dan
adat yang kawi, Lianna Syar’an Mueafiqatil Ulama dari karena bahwasanya syarak itu
memufakat segala ulama, serta Lianna ‘Adatil Qawiyi Muwa Fiqati Bisyaiidi Fil Bilad dari
karena bahwasanya adat yang kawi itu mufakat dengan penghulu dalam negeri.
dijelaskan bahwa dakwa dalam hukum syarak tiga perkara pertama syarak, kedua dakwa serta
makruf dan ketiga dakwa majhul namanya. Jawab dari tiga dakwa ini tiga perkara pula
pertama jawab isabat, jawab naïf dan ketiga jawab nuntut dan nafi isabat. Nampak pada
bagian ini, undang-undang mengatur tentang hukum dakwa yang didasarkan pada kitab
Dakwa Al Mudda’I ‘Ala Bayyina Walyamini A’la Munkir artinya saksi atas yang
Dua pasal di atas, adalah pasal bagian awal dalam pucuk undang ngan delapan.
Berikut ini akan dilihat isi dari undang ini bagian tengah, yaitu pasal ke tiga puluh dua.
Dalam pasal ini dijelaskan tentang ketentuan saksi, pertama keluar perempuan masuk laki-
laki, kedua keluar pasik masuk taat, ketiga keluar gila masuk berakal, keempat keluar sahaya
masuk merdeka. Inilah yang boleh dan sah menjadi saksi. Selain itu, dalam bagian ini juga
disebut bahwa bermula Allah SWT jua yang sebenar-benar saksi yang lebih mengetahui dan
Pasal-pasal di atas, ialah bebrapa isi dari pucuk undang ngan delapan. Ketentuan ini
diterapkan serta diberlakukan oleh Orang Kayo Hitam dalam mengarungi kepemimpinannya
di Kerajaan Jambi. Bahkan pemakaian pucuk undang ini, juga diteruskan sampai masa raja
atau sultan berikutnya setelah Orang Kayo Hitam mangkat dan turun tahta dari Kerajaan
Jambi.
Pada tahun 1615 sampai dengan tahun 1643 Masehi, kerajaan ini diperintah oleh
Pangeran Kedak atau dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Qahar. Pada masa inilah
penggunaan gelar sultan untuk nama Raja Jambi di proglamirkan. 14[14] Hal ini ditandai
dengan pergantian gelar raja (rajo) atau panembahan menjadi sultan. Ini merupakan sebuah
bentuk yang menunjukkan bahwa pada masa ini Islam telah menunjukkan jati dirinya di
Kerajaan Jambi karena penguasanya telah bergelar sultan seperti Kerajaan Islam lainnya,
14[14] Tim Penulis, op Cit., hlm. 49.
maka kerajaan ini pun berubah menjadi sebuah kesultanan sesuai dengan nama gelar yang
Pada tahun 1690 sampai dengan tahun 1696 Masehi, Kesultanan Jambi diperintah
oleh Sultan Kiyai Gede atau Raden Candra serta ia juga bergelar Pangeran Depati
Negeri Jambi saja melainkan sampai ke negeri jirannya yaitu negeri pucuknya yang dikenal
Sultan Kiyai Gede, mengembangkan ajaran Islam tepatnya dibidang penguatan tauhid
serta himbauan menhentikan hal yang dilarang atau bertentangan dngan syarak. Hal ini
tersurat dalam naskah di Wilayah Alam Kerinci yang berbunyi sebagai berikut.
“………………….Maka yang terlebih mungkar pada syara’ itu yaitu empat perkara: Pertama
jikalau kematian jangan diarak dengan gendang, gung, serunai dan bedil dan kedua, jangan
diberi laki-laki bercampur dengan perempuan bertauh nyanyi suatu tempat dan kedua jangan
bersalih memuji hantu dan syetan dan batu, kayu dan barang sebagainya dan ketiga jangan
menikahkan perempuan dengan tiyada walinya dan keempat jangan makan minum yang
haram dan barang sebagainya daripada segala yang tiyada diharuskan syarak. ……….”.15[15]
Naskah ini dikirim oleh Sultan Kiyai Gede melalui Pangeran Temenggung di Muaro
Mesumai,yakni Pangeran Ratu Negara ke Depati Sandaran Agung serta Depati Empai dan
Delapan Helai Kain. Naskah ini juga diketahui oleh Tuan Sidi Abdulmu’min. Kemungkinan
beliau merupakan penasehat bidang keagamaan di Kesultan Jambi pada masa kepemimpinan
Pada masa kepemimpinan Sultan Anom Sri Ingologo tahun 1770 sampai dengan
tahun 1790 Masehi, juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Sultan Kiyai
Gede dalam menyebarluaskan atau mengeras hukum Islam di Alam Kerinci. Hal ini
untuk wasyah yang karim wakalbu salim yaitu Kiyai Dipati Sanggaran Agung, Depati Empat,
Dipati Tujuh dan Dipati Dua Belas serta dipati yang ada dalam Alam Kerinci. Naskah ini
Usaha menyebarluaskan atau penyiaran Islam terakhir dilakukan oleh sultan, ialah
pada masa Sultan Ratu Sri Ingologo atau Pangeran Mas’ud Badaruddin di tahun 1790 sampai
dengan tahun 1812 Masehi. Ia juga ikut dalam usaha meningkatkan eksistensi Islam di Alam
Kerinci. Sebagaimana tersurat di dalam naskah piagam tersebut, adapun bunyinya sebagai
berikut:
“…… . Menitahkan segala haji-haji dan segala Syekh dan segala Pakih dan segala Imam
Khatib akan jadi penghubung segala hukum depati dengan hukum Kitabullah, karena segala
Malim yang tersebut itu mengetahui segala yang patut didenda segala depati dan mengetahui
segala halal haram pekerjaan depati, karena syara’ itu ibu bapak segala pekerjaan. Itulah
perintah dari duli Sultan serta Pangeran Suria Kesuma serta Pangeran Ratu, serta Kadli dalam
Negeri Jambi adanya.17[17]
Sementara itu, dalam naskah tersebut banyak diselingi dengan ayat-ayat Al-
Qur’an.Salah satu diantaranya, yaitu terdapat pada baris ketiga dalam naskah tersebut.
“….. Dalil di dalam qur’an 'in takhkum bainannaasi ‘an takhkum bil’adlihi, artinya:
hukumkan antara segala manusia dengan hukum yang adil dan pula firman Allah fa’in
tanaazaktum fi shay’in farudduuhu ‘ilallahi warrasuli, artinya: maka jika bersalahan mereka
itu pada suatu2 kembalilah pada kata Allah dan kata Rasul,… .18[18]
16[16] Ibid.,
17 [17] Dalam Naskah Surat di Mendapo Rawang, baris ke 11 s/d 14.
18[18] Ibid,.baris ke 3
Naskah di samping, di tulis oleh Haji dan seorang Imam atas perintah Sultan dan
Sultan Kesultanan Jambi. Tepatnya disurati (ditulis) oleh Haji ‘Umar serta tuan Imam Dereuh
di Sungai Tabir atas perintah Pangeran Suria Kesuma, Pangeran Ratu dan Raja Sultan
Mas’ud Badruddin serta qadli dalam Negeri Jambi untuk para depati di Alam Kerinci pada
tahun 1208 H atau 1793 M. Naskah tersebut, dikirim ke Mendapo Hamparan Rawang untuk
para depati di Alam Kerinci khususnya Depati Empat Delapan Helai Kain. Hal ini karena,
Hamparan Besar Tanah Rawang sebagai balairung pertemuan Depati Empat Pemangku Lima
Islam, karena masa berikut sultan Kesultanan Jambi disibukan pengaruh dari luar seperti
konflik antara Jambi dengan Palembang. Selain itu, Sultan Kesultanan Jambi memfokuskan
pada pertahanan dan keamanan Negeri Jambi dari kolonial Belanda dengan misi
Kesimpulan
19[19] Deki Syaputra. ZE, Islamisasi di Wilayah Alam Kerinci (Studi Terhadap Naskah Surat
dan Piagam), (Padang: Skripsi Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIn Imam Bonjol Padang, 2013), hlm. 72.
Agaman Islam merupakan agama resmi dan sebagai identitas Kerajaan/Kesultanan
Jambi semenjak masa kepemimpinan Orang Kayo Hitam di Negeri Jambi. Berbagai bentuk
islamisasi yang dilakukan oleh Orang Kayo Hitam dalam mengakkan syiar Islam di
Kesultanan Jambi. Salah satunya dengan memberlakukan perpaduan antara adat dengan
Sementara itu, para sultan/raja yang memerintah setelah Orang Kayo Hitam juga
melakukan eksistensi penyiaran dan pengembangan Islam di Negeri Jambi. Bahkan para
raja/sultan juga sampai menyiarkan Islam dalam bidang mengeraskan hukum syarak seperti
yang dilakuakan di Alam Kerinci. Hal ini dilakuakan dengan pengiriman sepucuk surat dan
piagam dari Kesultanan Jambi melalui Pangeran Temenggung yang berkedudukan di Muaro
Dengan dekimian, dalam penyebaran Islam di Negeri Jambi tidak hanya dilakuakan
oleh para ulama. Akan tetapi juga dilakukan oleh raja/sultan yang memerintah kala itu, maka
dalam hal ini dapat dikatakan sultan sebagai penyiar agama Islam di Negeri Jambi selain para
ulama.
Daftar Pustaka
Naskah:
Naskah Melayu yang ditulis oleh Ngabihi Shuto Dilogo, Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak Tahun
700 Hijriah.
Naskah Ngebi Sutho Dilogo Priyayi Rajo Sari, Silsilah Raja-raja Jambi: Undang, Piagam dan Cerita
Rakyat Jambi.
Buku
Azra, Azzumardi. Jaringan Ulama Timut Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII :
Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung ; Mizan , 1992.
Al Munawir, Ahmad Warson. Kamus Bahasa Arab, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997.
Deki Syaputra. ZE. Islamisasi di Wilayah Alam Kerinci (Studi Terhadap Naskah Surat dan Piagam),
Padang: Skripsi Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIn Imam Bonjol Padang, 2013.
Harun, M. Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam
Sejahtera,1994.
Locher, Elsbeth. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial (Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907)
dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, Jakarta: Banana KITLV, 2008.
Lindayanti, dkk., Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jambi, 2013.
Muchtar Agus Cholif, Timbul Tenggelam Persatuan Wilayah Liak XVI Tukap Tuhut di Bumi
Undang Tambang Teliti, Jambi: [t.p], 2009.
Sumardi, Mulyanto (ed.). International Seminar on Islam in Southeast Asia, Jakarta: Lembaga
Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1986.
Schrieke, B. J. O,. Indonesia Sociological Studies, Part One, Den Haag dan Bandung: Van Hoeve,
1955
Tim Penulis, Kesultanan Jambi Dalam Konteks Sejarah Nusantara, Jakarta: Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011.
Voerhove. Tambo Kerinci, Salinan Tulisan Jawa Kuno, Incung dan Melayu Disimpan Sebagai
Pusaka Di Kerinci, Leiden [t.p, 1969].