Anda di halaman 1dari 2

Merlian "Lian" Gogali 

(lahir 28 April 1978), adalah seorang aktivis perempuan dan perdamaian.


[1]
 Ia adalah pendiri Sekolah Perempuan dan Institut Mosintuwu untuk perempuan lintas agama
di Kabupaten Poso.[2] Institut Mosintuwu menitikberatkan programnya pada meningkatkan
kesadaran gender, agama, toleransi dan perdamaian.

Lian Gogali lahir di desa Taliwan, Poso, Sulawesi Tengah.[4] Ketika konflik Poso pecah, keluarga
Lian menjadi korban dan saat itu ia sedang belajar untuk meraih gelar master di Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.[5] Saat pulang ke rumahnya, ia menyaksikan dan mengalami
langsung getirnya konflik yang terjadi.[5] Pengalaman buruk itu yang membuat Lian bertekad
meneliti, apa sebenarnya yang memicu konflik di Poso dan pada sekitar tahun 2003-2004, ia
melakukan penelitian di sejumlah tempat, termasuk pengungsian warga saat konflik Poso terjadi.
[1]
 Dalam penelitiannya, ia mewawancarai ratusan perempuan dan anak-anak, dan menemukan
perempuan sebenarnya memiliki peran pertama dan utama dalam perdamaian konflik dan paska
konflik Poso

Lian Gogali mendirikan Institut Mosintuwu pada tahun 2009, lembaga ini bertujuan untuk
membuat perempuan berdaulat atas hak-hak ekonomi, sosial, politik dan budaya.[6] Institut
Mosintuwu berawal dari dua unit sekolah yang berlokasi di Pamona dan pada tahun 2015,
Mosintuwu sudah berkembang ke 37 desa dengan 16 sekolah.[7] Dengan Project Sophia, ia
mendirikan perpustakaan keliling untuk anak-anak, sebagai jalan untuk membangun perdamaian
di tingkat akar rumput melalui pendidikan

Pada tahun 2015 Lian Gogali menerima penghargaan Indonesian Woman of Change 2015 dari
Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.[8] Penghargaan ini diterima bersama dengan
empat perempuan lainnya atas usaha mereka untuk meningkatkan kesetaraan gender di
Indonesia.[8] Sebelumnya pada tahun 2012, ia mendapatkan penghargaan Coexist Prize dari
Yayasan Coexist asal Amerika Serikat. untuk pengembangan dialog serta perdamaian antar-
agama dan keyakinan.[9][

Mendengar nama Poso, stigma konflik agama bagai tak pernah lenyap di kabupaten dengan luas
hanya sepersembilan Jakarta ini. Isu sebagai sarang teroris ikut memperburuk citra Poso. Deklarasi
Malino, yang digaungkan pada pengujung 2001, tak mampu mencegah letupan-letupan kecil-
besar. Tapi, Lian Gogali, 35 tahun, tak gentar berada di garis depan menjadi agen perdamaian
Muslim-Kristen.

Adalah Lian, perempuan kelahiran 24 April 1978 ini, merekatkan kembali hubungan Muslim-
Kristen dengan mendirikan Sekolah Perempuan Mosintuwu. Mosintuwu dalam bahasa Pamona,
nama kecamatan di Poso, berarti kebersamaan. Sekolah informal ini hanya diikuti kaum Hawa,
yang memiliki cita-cita luhur perdamaian antarwarga. Bukan cuma di Mosintuwu, sekolah tersebut
juga dibuka di lima tempat di Poso, yang 15 tahun didera konflik.

Lian sebenarnya juga bagian dari korban konflik Poso. Ketika kekerasan di Poso pecah dan
membakar rumahnya, Lian tengah menempuh pendidikan sarjana di Universitas Kristen Duta
Wacana, Yogyakarta. Akibatnya, kecamuk pada 1997 itu membuat kiriman uang dari Poso macet
total. “Saya pernah menjadi pembantu rumah tangga,” kata Lian, yang memiliki gelar S-1 Fakultas
Teologi Universitas Kristen Duta Wacana dan S-2 Fakultas Budaya dan Agama Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
Saat ditemui  Tempo, sekitar tiga pekan lalu, Lian tengah berdiskusi dengan para ibu korban konflik
Poso di hamparan pasir putih Pantai Imbo, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, Sulawesi
Tengah. Empat belas perempuan murid Lian berkerumun. Sebagian berkerudung, lainnya hanya
berkaus. Sebagian muslim, lainnya Nasrani. Berkali-kali tawa mereka memecah keheningan pantai
tempat sopir angkot bernama Imbo tewas tertembak pada 2004 lalu.
Hingga kini, sebanyak 158 perempuan lulusan Mosintuwu telah berbaur. Tak ada konflik Muslim-
Kristen di antara mereka. “Torang (kita orang) bersaudara,” kata Evi Tampakatu, 36 tahun, asal
Kelurahan Tegalrejo, Poso Kota Utara.

Namun, bukan tanpa tantangan Lian mewujudkan impiannya melihat perdamaian. Dalam
membangun Mosintuwu, Lian sempat dihadang banyak masalah. Misalnya, pernah didatangi para
pria yang mengaku sebagai suami dari wanita yang aktif di Sekolah Perempuan. Mereka ada yang
mengancam akan menceraikan istrinya.

Sebenarnya di Poso cukup banyak lembaga yang berperan menjembatani perdamaian. Namun
lembaga-lembaga itu timbul-tenggelam karena tidak terurus. Kelemahan inilah yang kemudian
mendorong Lian serius menjadi agen perdamaian di tanah kelahirannya. Perjuangannya
membuahkan penghargaan Coexist Prize dari Yayasan Coexist asal Amerika Serikat. Dia
mendapatkan penghargaan untuk pengembangan dialog serta perdamaian antar-agama dan
keyakinan.

Banyak tokoh di Poso memuji konsistensi Lian. Salah satunya Abdul Kadir Abdjul, Wakil Ketua
Himpunan Pemuda Alkhairaat Kabupaten Poso. “Dia istikamah dengan kegiatannya,” kata Abdul
Kadir.

Anda mungkin juga menyukai