Anda di halaman 1dari 5

Nama : Gladys Vania Gracia

NIM : 2004551168

MatKul : Perjanjian Internasional

Soal :

1. Jelaskan mekanisme amandemen dan modifikasi yang diatur di dalam VCLT 1969 !

2. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidaksahan Perjanjian


Internasional !

Jawaban :

1. Amandemen (Article 39)


Amandemen merupakan suatu media atau cara yang resmi (formal legal device) untuk
melakukan perubahan terhadap teks daripada sebuah perjanjian internasional, baik itu
terhadap ketentuan pokok atau terhadap annex atau appendices. Ketentuan mengenai
amandemen haruslah dipertimbangkan secara matang dalam proses drafting sebuah
perjanjian internasional, khususnya dalam perjanjian internasional yang bersifat multilateral.
Sebelum Perang Dunia Kedua, amandemen terhadap perjanjian internasional dilaksanakan
dengan prinsip unanimity. Permasalahannya adalah sangat susah untuk mencapai kata
mufakat sehingga muncul praktik-praktik dimana amandemen hanya berlaku (entry into
force) terhadap pihak-pihak yang menyatakan persetujuannya. Ini berarti perjanjian
internasional yang asli/awal tetap berlaku kepada pihak-pihak yang tidak menyatakan
persetujuannya terhadap amandemen dan antara pihak tersebut dengan pihak yang telah
menyatakan persetujuannya terhadap amandemen. Kondisi ini semakin diperparah dengan
adanya beberapa amandemen terhadap suatu perjanjian internasional. Anthony Aust
kemudian memberi contoh The Warsaw Convention 1929 (Convention for the Unification of
Certain Rules relating to International Carriage by Air) yang diamandemen oleh Protokol
pada tahun 1951 dan 1971, oleh empat tambahan Protokol pada tahun 1975, dan dilengkapi
oleh Konvensi pada tahun 1961, yang mana beberapa masih belum berlaku (entry into
force). Pihak yang terikat terhadap instrumen-instrumen ini bervariasi, ada yang terikat
hanya kepada satu instrumen dan ada yang terikat kepada beberapa instrumen. Ini
mengakibatkan batasan tanggung jawab (liability) internasional sebuah maskapai terhadap
penumpang bergantung kepada kewajiban dalam perjanjian internasional mana yang
disetujui oleh negara terkait. Maksud atau kehendak daripada Warsaw Convention untuk
menciptakan sebuah rejim yang seragam untuk penerbangan internasional pun tidak
terpenuhi. International Law Commission menyadari akan hal ini saat sedang menyusun draf
daripada VCLT 1969 pada tahun 1964. Proses amandemen dalam suatu perjanjian
internasional tersebut akhirnya diatur di dalam Part IV Vienna Convention on the Law of
Treaties. 1969 VCLT mengatur mengenai prinsip-prinsip dasar tertentu daripada
amandemen tersebut. Dimulai dari Article 39, yang menetapkan mengenai prinsip umum
daripada amandemen perjanjian internasional, yaitu bahwa “Suatu perjanjian internasional
dapat diamandemen oleh perjanjian di antara para pihak. Peraturan yang tertulis di Bagian II
berlaku terhadap perjanjian tersebut kecuali perjanjian internasional tersebut mengatur
berbeda” (A treaty may be amended by agreement between the parties. The rules laid down
in Part II apply to such an agreement except in so far as the treaty may otherwise provide).
Prinsip umum yang terdapat di dalam Article 39 dikaitkan dengan ketentuan di dalam Article
lainnya, yang akan dijelaskan selanjutnya. Prinsip umum ini bergerak dari dua prinsip, yaitu
pacta sunt servanda (Article 26) dan res inter alios acta merujuk kepada tidak ada Negara
yang dapat dibatasi oleh perjanjian internasional yang melawan kehendaknya (Article 34).
Pengaturan Article 39 juga harus dibaca dan dimengerti bersama dengan Article 40 dan
Article 41. Berdasarkan Commentary di dalam Final Draft, ILC mengartikan kata amandemen
yang mencakup amandemen terhadap ketentuan tertentu dan seluruh ketentuan perjanjian
internasional. Tidak ada perjanjian internasional yang tidak dapat diamandemen. Ketika di
dalam perjanjian internasional tidak ada ketentuan mengenai durasi keberlakuannya
(misalnya waktu atau keadaan tertentu), perjanjian internasional tersebut dapat
diamandemen setiap saat. Bahkan ketika terdapat kondisi-kondisi tertentu misalnya batasan
waktu terhadap amandemennya, dapat digantikan oleh perjanjian yang berdasarkan hasil
mufakat antar pihak. Amandemen terjadi berdasarkan perjanjian di antara para pihak
(terkadang disebut dengan Protokol). Ini berarti tidak dikenal adanya hak unilateral dalam
melakukan amandemen atau modifikasi terhadap perjanjian internasional. Konsepsi sebuah
perjanjian internasional hanya dapat diamandemen oleh sebuah perjanjian baru dan
terpisah berangkat dari pendekatan prinsip pacta sunt servanda. Bentuk perjanjian ini
merupakan diskresi daripada Negara-Negara Pihak tersebut. Mereka dapat memilih bentuk
mana yang menurut mereka tepat. Bentuk yang paling umum adalah perjanjian secara
tertulis, perjanjian secara lisan (oral agreement) atau berisi perjanjian lisan dari menteri,
pertukaran nota diplomatik, resolusi dari Konferensi Para Pihak dan perjanjian secara diam-
diam atau tersirat (tacit agreement). Menurut Waldock dalam Rapat ILC, tacit agreement
masih dimungkinkan meskipun susah untuk ditangani. Tacit agreement dapat dilihat dari
munculnya sebuah praktik yang berulang (a subsequent practice) dan aturan hukum
kebiasaan. Perbedaan antara praktik yang berulang dan hukum kebiasaan terletak di pihak
yang terlibat dan fokus daripada kebiasaan mereka. Praktik yang berulang merujuk kepada
kebiasaan Negara Pihak berkaitan dengan ketentuan tertentu dari perjanjian internasional,
sedangkan Perjanjian internasional juga dapat diubah (amended) secara efektif oleh
perjanjian yang berulang antar pihak berkaitan dengan interpretasi dan aplikasi perjanjian
internasional (Article 31 (3)(a)). Terkait dengan berbagai bentuk daripada tacit agreement
dimungkinkan juga untuk mengubah (amend) suatu perjanjian internasional berdasarkan
kemunculan dari peraturan baru di ius cogens. Ini sesuai dengan Article 64 yang mengatakan
bahwa sebuah perjanjian internasional yang ketentuannya berlawanan dengan peremptory
norm hukum internasional akan kehilangan kekuatan hukumnya (void). Dikaitkan dengan
Article 44 para 3, menjadi jelas apabila di dalam kasus yang ada ketentuan yang terpisah
(severability), maka hanya ketentuan tertentu lah yang hanya diganti. Perjanjian itu
tersebut, berdasarkan Article 39 tidak dimaksudkan untuk disetujui oleh semua Negara
Pihak. Jika dalam kasus perjanjian internasional yang bilateral, maka memang harus
dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam kasus perjanjian
internasional yang bersifat multilateral, maka amandemen dapat berlaku hanya kepada
Negara tertentu saja. Isu terakhir yang timbul adalah peraturan prosedur mana yang akan
berlaku terhadap perjanjian amendemen sesuai Article 39. Terdapat dua kondisi yang lahir
dari kalimat kedua (The rules laid down in Part II apply to such an agreement except in so far
as the treaty may otherwise provide) yaitu perjanjian internasional itu diam dan tidak
mengatur secara spesifik mengenai prosedur amandemennya dan kedua, perjanjian
internasional tersebut yang mengatur secara spesifik mengenai prosedur itu secara tertulis.
Kondisi pertama berarti peraturan dalam Part II berlaku terhadap prosedur amandemennya.
Sedangkan untuk prosedur dalam kondisi kedua, prosedur yang digunakan adalah sesuai
dengan apa yang tertulis di dalam perjanjian internasional tersebut. Jimenez di dalam Rapat
ILC mengatakan bahwa persyaratan dalam amandemen yang terdapat dalam ketentuan
perjanjian internasional yang akan berlaku, persyaratan itu dapat lebih ketat atau longgar
daripada persyaratan dalam proses adopsi teks perjanjian internasional asli/pertama
(adoption of the text). Namun, menurut Villiger, Article 39 gagal dalam mempertimbangkan
kondisi ketiga, dimana perjanjian perubahan (amending) tidak dalam bentuk tertulis
berkaitan dengan perjanjian internasional tersebut tidak mengatur mengenai persyaratan
amandemen secara spesifik. Peraturan dalam Part II tidak akan berlaku terhadap perjanjian
internasional ini. Persyaratan amandemen yang diinginkan akan diserahkan kepada Negara
Pihak yang akan merumuskannya secara oral atau tacit. Yang harus diperhatikan dalam
prosedur ini adalah keseimbangan antara stabilitas dari suatu perjanjian internasional,
dinamisme, dan adaptibilitasnya. Dalam beberapa konteks, misalnya pada perjanjian
internasional yang menghasilkan organisasi internasional, stabilitas daripada struktur
institusi dan prosedur akan menjadi hal terpenting dari maksud perjanjian internasional
tersebut. Stabilitas ini juga menjadi tolok ukur dalam isuisu seperti Hak Asasi Manusia. Untuk
kasus lingkungan, misalnya perjanjian internasional akan diukur keberhasilannya lewat
dinamismenya, yaitu kemampuan adapsi dan bereaksi dalam menangani tantangan-
tantangan baru dan yang sedang berkembang.

Modifikasi
Modifikasi artinya adalah perubahan untuk ketentuan-ketentuan tertentu dalam sebuah
perjanjian internasional yang hanya berlaku bagi pihak-pihak tertentu dari perjanjian
internasional tersebut. Perjanjian internasional yang bersifat multilateral sangat sulit untuk
diamandemen, apalagi bagi perjanjian internasional yang mengikat banyak negara sebagai
pihaknya karena banyak kepentingan yang muncul bila terdapat banyak pihak yang terikat.
Maka, bisa jadi pihak-pihak tertentu, terkait dengan kepentingan mereka memodifikasi
suatu perjanjian internasional demi kepentingan mereka dengan alasan - alasan tertentu.
Syarat-syarat bagaimana pihak-pihak dalam perjanjian internasional multilateral juga diatur
dalam Pasal 41.

Penjelasan Pasal

• Pihak-pihak dalam modifikasi.


Berbeda dengan amandemen yang harus melibatkan seluruh pihak dalam suatu perjanjian
internasional, untuk melakukan modifikasi hanya terbatas bagi dua atau lebih pihak dari
suatu perjanjian internasional multilateral. Bisa jadi dari 100 pihak yang terikat, 99 dari
mereka yang ingin melakukan modifikasi. Pada pokoknya, tidak bisa bila melibatkan seluruh
pihak dalam perjanjian internasional multilateral untuk melakukan modifikasi. • Syarat
dilakukan modifikasi Syarat-syarat dalam melakukan modifikasi diatur dalam Pasal 41
Konvensi Vienna. Syarat - syaratnya adalah sebagai berikut:
1. Modifikasi disediakan oleh perjanjian; Contoh: Pasal 73 (2) Konvensi Vienna tentang
Hubungan Konsuler “nothing in the present convention shall preclude States from
concluding international agreements confirming or supplementing or extending or
amplifying the provisions thereof”.
2. Modifikasi tidak dilarang oleh perjanjian dan: a. Tidak memberikan efek pada hak dan
kewajiban dari pihak-pihak lain; b. Tidak mengganggu maksud dan tujuan dari perjanjian.
Kecuali memang disediakan oleh perjanjian, pihak-pihak yang ingin melakukan modifikasi
harus memberitahukan pihak-pihak yang lain atas intensi pihak-pihak yang ingin melakukan
modifikasi untuk melakukannya. Dapat juga disimpulkan bahwa terdapat perjanjian
internasional yang melarang dilakukan modifikasi terhadanya.

• Notifikasi
Notifikasi diatur dalam Part VII mengenai DEPOSITARIES, NOTIFICATIONS, CORRECTIONS
AND REGISTRATIONS. Notifikasi perlu dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin melakukan
modifikasi pada sebuah perjanjian internasional, tetapi perjanjian tersebut tidak
menyediakannya dan perjanjian internasional tersebut juga tidak melarang dilakukan
modifikasi terhadap perjanjian internasional tersebut. Notifikasi dibuat ketika negosiasi
terkait modifikasi dari perjanjian internasional telah mencapai “mature stage” atau dapat
dikatakan matang. Notifikasi berisikan intensi untuk melakukan kesepakatan (tekait
modifikasi) dan konten dari modifikasi yang diintensikan tersebut. Seperti halnya dengan
prinsip amandemen, pihak-pihak lainnya memeriksa apa yang dimodifikasi pihak-pihak yang
melakukan modifikasi, namun tidak diperlukan untuk mengumpulkan teks dari modifikasi
dari pihak-pihak yang ingin melakukan modifikasi. Akan tetapi, bukan berarti pihak-pihak
yang lain mempunyai hak untuk bergabung sebagai pihak yang melakukan modifikasi, hal ini
tergantung dari persetujuan terkait modifikasi. • Agreement Dalam konvensi tidak dijelaskan
mengenai bagaimana agreement dalam hubungannya dengan perjanjian. Artinya, tidak
harus tertulis, bisa jadi dalam bentuk apapun. Pada akhirnya, bila melakukan modifikasi pada
perjanjian internasional, akan menghasilkan perjanjian internasional dan modifying
agreement.

Hubungan Amandemen dengan Modifikasi


• Subjek
Amandemen harus melibatkan seluruh pihak dalam perjanjian. Modifikasi hanya melibatkan
pihak-pihak tertentu yang terikat dalam perjanjian.
• Objek
Amandemen dapat dilakukan untuk mengubah seluruh treaty, sedangkan modifikasi hanya
untuk sebagian atau ketentuan-ketentuan tertentu dalam treaty.
• Pihak yang ingin bergabung
Pihak baru yang ingin mengikatkan diri pada perjanjian internasional yang diamandemen
dapat melakukan ratifikasi. Pihak baru tidak bisa begitu saja bergabung dengan pihak-pihak
yang melakukan modifikasi.
• Prosedur
Amandemen memiliki prosedur yang lebih lengkap dan diatur sedemikian rupa, baik itu oleh
Konvensi Wina 1969 maupun perjanjian internasional yang orisinil sebagaimana
merumuskan perjanjian internasional yang baru. Modifikasi pengaturannya lebih sedikit dan
terbuka.
• Intensi
Amandemen ingin mengubah suatu perjanjian internasional yang mengikat semua pihak.
Sedangkan modifikasi hanya ingin mengubah ketentuan-ketentuan tertentu terhadap pihak-
pihak tertentu

2. Terdapat sejumlah alasan untuk menyatakan Suatu perjanjian internasional tidak sah yaitu
alasan berdasarkan hukum dan perundang-undangan, kesalahan atas fakta atau situasinya,
kecurangan dari negara mitra berundingnya, korupsi dari wakil suatu negara, paksaan yang
dilakukan oleh wakil dari suatu negara, ancaman atau penggunaan kekerasan oleh suatu
negara, dan perjanjian internasional yang bertentangan dengan Jus Cogens. Adapun
penundaan terhadap keberlakuan perjanjian internasional dapat dilakukan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional itu sendiri atau dilakukan setiap waktu
dengan kesepakatan dari semua pihak setelah berkonsultasi dengan negara perunding
lainnya. Terdapat sejumlah alasan umum untuk mengakhiri perjanjian internasional yakni
telah dibuatnya perjanjian internasional yang baru, dilakukannya pelanggaran atas substansi
perjanjian internasional oleh salah satu pihak, ketidakmungkinan untuk melaksanakannya
serta perjanjian internasional bertentangan dengan jus cogens. Alasan yang dapat digunakan
dengan pembatasan dengan sangat ketat adalah terjadinya perubahan keadaan yang
fundamental yang berkaitan dengan perjanjian internasional.

Menurut Konvensi Wina 1969, ada beberapa hal yang bisa menyebabkan batal atau
berakhirnya sebuah perjanjian internasional ( tidak sah ) Hal-hal itu adalah:

 Terjadi sebuah pelanggaran pada ketentuan-ketentuan hukum nasional dari salah satu
negara yang bersangkutan.
 Terjadi sebuah unsur kesalahan saat perjanjian itu dibuat sehingga pelaksanaannya menjadi
tidak maksimal.
 Terjadi penipuan dari negara yang satu pada negara yang bersangkutan yang lain sewaktu
perjanjian itu dibuat.
 Terdapat penyalahgunaan atau kecurangan melalui segala jalan seperti kelicikan atau suap
yang dilakukan oleh negara peserta.
 Terjadi paksaan pada wakil sebuah negara peserta. Paksaan itu bisa dengan ancaman atau
dengan kekuatan.
 Perjanjian Internasional yang dilakukan bertentangan dengan dasar hukum internasional.

Anda mungkin juga menyukai