Anda di halaman 1dari 103

Copyright

© pada Djambatan Anggoa IKAPI

(Cetakan pertama tahun pertama Hujan Panas, 1964 Cetakan kedua, dilengkapi Kabut Musim, 1990)
Gambar sampul: Ipong Purnama Sidhi

ISBN 979 428 154 9 Percetakan Antm Kosong Anem

bukuLIAT ...

ini harus kalian ketahui ... apa yang kami lakukan sama sekali tidak ada tendensi kepedulian melestarikan
lingkungan. sebenarnya kami suka menyentuh dan membuka kertas buku lembar demi lembar halaman
demi halaman, bunyi gesekan kertas dan baunya yg khas melahirkan sebuah sensasi tersendiri ... karena itu
kami tidak peduli jika untuk menghasilkan buku harus menebang berpuluh-puluh pohon karena kami
percaya pada teori kekekalan energi. tapi kami akan marah jika berpuluh-puluh pohon ditebang hanya untuk
membuat tisu atau tusuk gigi.

siapa kami ?

kami hanya salah satu dari masyarakat pengumpul dan peramu di dunia maya, kami pun bagian dari para
cyber-crafter yg mengumpul dan mendaur ulang sampah-sampah informasi menjadi sesuatu yg betul-betul
berguna

siapa kami ?

kami bukanlah bagian dari orang-orang yg mencoba beralih dari era paper menuju era paperless. kami
hanyalah orang-orang yg ingin mengakses buku-buku, hanya saja di dunia "yg jauh dari keyboard" tidak
jarang kami diperhadapkan pada pilihan makanan atau buku (sesuatu yg tidak seharusnya diperhadap-
hadapkan) dan tidak jarang (dengan sangat terpaksa) kami memilih buku dengan konsekuensi kami harus
mengencangkan ikat pinggang berhari-hari.

siapa kami ?

rasanya tidak penting untuk memperjelas siapa kami, anggap saja kami adalah anda dan anda adalah kami
....

yang terpenting adalah ...

apa itu www.bukuliat.info ?

www.bukuliat.info hanyalah salah satu dari sekian banyak perpustakaan di dunia maya yg menyediakan
ebook. ebook-ebook yang berhasil kami kumpulkan dari berbagai sumber di dunia maya. hanya begitulah
kami, tidak lebih !

Catatan:

buat anda yg mempunyai uang lebih kami harap anda tetap membeli buku aslinya demi mempertahankan
kelangsungan hidup penulis, penerbit (khususnya penerbit-penerbit kecil) dan para distributor.

Ucapan Terima Kasih :

terima kasih untuk mereka-mereka yg telah bekerja keras membuat ebook


terima kasih juga untuk mereka-mereka yg telah meluangkan waktunya untuk meng-upload ebook-ebook
miliknya

... kami juga mengucapkan terima kasih untuk mereka-mereka yg review atau resensi bukunya telah kami
gunakan dalam postingan kami. kami tetap menghormati anda dengan selalu mencantumkan alamat sumber
dari review atau resensi yg kami gunakan.

terima kasih juga buat seluruh netizen yg telah berkunjung dan memanfaatkan apa yg kami buat, terima
kasih telah menjadikan kami sedikit berguna.

PERINGATAN ATAU PEMBERITAHUAN ATAU HIMBAUAN ATAU APALAH NAMANYA :

semua ebook yg kami posting sama sekali tdk diperuntukkan untuk kepentingan komersil, semua postingan
kami sepenuhnya untuk berbagi pengetahuan demi kemajuan ilmu pengetahuan. bagi pihak yg merasa
dirugikan atau/dan tidak suka dengan kehadiran salah satu postingan kami harap menghubungi kami dengan
cara meninggalkan komentar/laporan pada postingan terkait ebook yg dimaksud. kami akan memproses
semua komentar/laporan paling lambat 7 hari setelah komentar/laporan kami baca.

Isi

Pengantar VI

Bagian Pertama : HUJAN PANAS 1

1. Politik Warung Kopi 3

2. Orang dari Luar Negeri 24

3. Baginda Ratu. 46

4. Kisah Seorang Amir 60

5. Pak Menteri Mau Datang 84

Bagian Kedua : KABUT MUSIM 117

1. Orde Lama 119

2. Pelamar 129

3. Efcndi 148

4. Orang Baik yang Malang 159


5. Sepasang Jas dari Menteri 170

Pengantar

Sepuluh cerita pendek dalam buku ini dibagi dalam dua kumpulan. Hujan panas
dan Kabul Musim. Kumpulan pertama ditulis pada tahun 1955 - 1960 dan pernah
diterbitkan sebagai buku pada tahun 1964 dengan judul yang sama. Kumpulan
kedua. Kabut Musim, ditulis pada tahun 1965 — 1985, pernah dimuat dalam
majalah Sastra dan Horison serta harian Kompas. Cerita pendek Orang Dari
Luar Negeri dan pak Menteri Mau Datang sudah diterjemahkan ke bahasa
Perancis. Sedangkan Sepasang Jas Dari Menteri sudah diterjemahkan ke bahasa
Inggeris.

Pemberian judul Hujan Panas dan Kabut Musim atas buku ini, dimaksud sebagai
kiasan dari suasana cerita. Hujan panas merupakan kondisi alam, dimana hujan
turun selagi matahari marak, maka iklim sangat tidak sehat. Menurut tahyul,
kondisi itu memberi isyarat ada orang besar akan meninggal atau ada yang mati
terbunuh. Sedangkan musim berkabut dipandang sebagai saat yang tidak baik
untuk suatu perjalanan.

Sebagaimana yang dikiaskan oleh judul buku ini, maka semua tema cerita
diangkat dari suasana yang tak menyenangkan, potret dari ironi kehidupan yang
berlangsung dalam masyarakat. Dibandingkan dengan penerbitan sebelumnya,
pada beberapa cerita telah dilakukan perbaikan redaksional.

Padang, 20 Juni 1990


VII

Bagian Pertama
1. Politik Warung Kopi
2. Orang dari Luar Negeri

3. Baginda Ratu.

4. Kisah Seorang Ainir

5. Pak Menteri Mau Datang

1 Politik Warung Kopi


Di warung Mak Lisut, di simpang liga dekat rumahku di kampung, saban waktu
bisa terjadi sidang politik yang menarik. Terutama kalau beberapa gembongnya
sudah hadir dengan lengkapnya. Mereka itu hanya berlima. Yaitu Mak Malin,
Mak Gindo, Mak Datuk, Mak Muneak dan Mak Caniago. Kadang-kadang
mereka menamakan dirinya dengan Big Five atau Panca Tunggal. Sedang orang-
orang lain tidak terhitung sebagai gembong. Mereka hanya pendengar. Dan
dalam mengambil po kok masalah mereka selamanya tidak kekurangan bahan.
Situasi politik tanah air, terutama tentang jatuh bangunnya sebuah kabinet,
menjadi bahan yang paling menarik.

Keistimewaan mereka selamanya terletak dalam cara meninjau sesuatu masalah.


Kenapa sebuah kabinet bisa jatuh, dan kabinet apa yang mungkin bangun. Juga
mereka meramalkan beleid atau kebijaksanaan sebuah kabinet yang akan datang
terhadap masalah luar dan dalain negeri. Ramalan mereka hampir selamanya
tepat. Dan yang tidak pernah cocok, hanyalah masalah komposisi dan personalia
sebuah kabinet. Dan mereka selamanya mengeluh. Meskipun mereka mengerti
kenapa kabinet demikian rupa harus juga terjadi.

Jika dalam memperbincangkan suatu masalah yang sedang terjadi di tanah air,
mereka menempatkan diri sebagai menteri kadang-kadang. Siapa yang akan jadi
perdana menteri, siapa yang jadi menteri luar negeri, keuangan, dan sebagainya.
Menteri-menteri yang mereka perebutkan adalah yang penting-penting saja. Tapi
mereka tidak pernah berebutan untuk menduduki kursi menteri. Karena untuk
mengatasi perebutan kursi, mereka ambil saja potongan kertas. Lalu dilotrc.
Meski pun nasib telah menentukan salah seorang menjadi menteri keuangan,
mereka masih diizinkan menolak jabatannya itu. Dan dalam memperbincangkan
sesuatu masalah, mereka berkewajiban sebagai menteri sungguh-sungguh tanpa
melupakan dari partai mana datangnya menteri itu.
Kalau situasi politik di tanah air sedang sepi, mereka pun masih tidak
kekurangan bahan. Acara mereka berobah dengan topik lain, yang sudah terang
tidak terlepas dari bidang politik juga. Acara itu bernama: "Kalau aku jadi titik
titik titik". Titikan itu boleh diisi dengan jabatan apa saja yang dikehendaki.
Kadang-kadang mereka sampai mengisi jabatan presiden juga. Maka menjadi
presidenlah mereka itu secara berganti-ganti. Tapi dalam hal ini mereka tidaklah
membicarakan angan-angan politik mereka. Melainkan angan-angan si cebol
yang mereka ceritakan dengan berseloroh sekali. Seolah-olah mereka
menganggap bahwa seorang presiden tidak boleh berpolitik.

Sekali-sekali aku pun mengikuti sidang-sidang politik mereka tanpa perlu


menunjukkan kartu pengenal. Sidang terakhir yang aku hadiri ialah pada
beberapa tahun yang lalu. Waktu itu mereka membuat acara yang lain dari yang
lain. Yaitu acara: "Bagaimana Indonesia supaya Makmur". Pikiran ini keluar dari
Mak Lisut, si empunya warung. Kata Mak Lisut mengomentari usulnya, "Kita
sekarang tidak perang lagi, karena Belanda sudah pergi. Kita audah terbiasa
hidup dalam peperangan. Dalam peperangan kita sudah diajarkan untuk saling
mencurigai. Saling hantam-hantaman. S.iling menipu dan benci membcnci. Dan
selama perang kita tak bisa memakmurkan tanah air kita, apa lagi memakmurkan
diri kita sendiri. Sedang tujuan kita dalam peperangan itu, ialah kemerdekaan.
Dan tujuan kemerdekaan ialah kemakmuran. Sekarang perang telah habis. Tapi
kemakmuran belum juga tercapai."

Rupanya pikiran Mak Lisut begitu mendadak datangnya. Karena itu lama sekali
Big Five itu terdiam. Tapi setelah Mak Lisut menambahkan komentarnya, bahwa
yang jadi musuh kita sekarang adalah anti kemakmuran, yaitu kemiskinan,
barulah secara sendat-sendat timbul lagi keinginan bicara antara mereka.

Mula-mula Mak Gindo yang bicara. Katanya, "Ya, memang. Musuh kita
sebenarnya kemiskinan. Sebelum musuh itu sampai menjajahi kita lebih lama,
baik kita gempur dia itu. Seperti kita menggempur Belanda dulu."

Tapi gembong-gembong politik itu masih terdiam juga oleh tambahan komentar
Mak Gindo. Lalu Mak Lisut menambahi lagi komentarnya, "Ingat Kita baru saja
keluar dari peperangan. Dari peperangan itu kita memperoleh moril yang rusak.
Kalau kita tak cepat-cepat bertindak, kita sendiri akan hancur. Dalam diri kita tak
ada kedamaian lagi. Dalam diri kita terlalu tebal kemauan saling bermusuhan.
Supaya kita jangan sampai saling bermusuhan antara sesama kita, baik kita
bangunkan musuh kita yang baru. Yang bakal kita labrak bersama-sama. Musuh
kita yang nyata sekarang ini, ialah kemiskinan itu. Bagaimana kita bisa
melabraknya?"

Nampaknya semua gembong-gembong politik itu sudah mulai terpikat oleh


pokok acara itu. Duduk mereka sudah mulai mereka perbaiki. Tapi belum juga
ada keluar suara yang menghangat.

"Aku setuju," tiba-tiba Mak Gindo angkat bicara lagi. Dan orang-orang
memandang kepadanya. Seperi i mau meminta jalan agar terlepas dari kebuntuan
pikiran mereka.

"Aku juga setuju. Tapi bagaimana caranya?" tanya Mak Malin menyusuli.

"Ha. Begini. Aku dapat akal. Sidang kita harus ditukar coraknya. Tidak bisa
dengan cara sidang kabinet lagi. Sebab kabinet zaman sekarang begitu mudah
dijatuhkan dan begitu enteng menjatuhkan dirinya sendiri," kata Mak Datuk
mulai angkat bicara. Dan kalau sudah Mak Datuk yang mulai, itu berarti jalan
buntu boleh dikatakan sudah akan terternbusi.

"Kita adakan sidang para ahli?" tanya Mak Malin.

"O, tidak bisa. Sebab para ahli itu sebenarnya, sama dengan tukang-tukang.
Sidang kita ini tidak bisa dipisahkan dengan sidang dari segala partai. Sebab
partai-partai itulah yang punya pengikut. Sedang kemiskinan, musuh kita, adalah
lawan orang banyak. Bukan lawan para ahli. Kemakmuran adalah hak orang
banyak. Bukanlah hak para ahli. Dan partai-partai adalah wakil dari orang
banyak. Wakil rakyat," kata Mak Datuk pula.

Kini jalan buntu telah tertembus. Dan sidang akan dimulai. Sidang antara partai
dengan pokok acara: "Bagaimana Indonesia supaya Makmur". Setelah diadakan
lotre untuk menentukan wakil partai-partai, maka jadilah Mak Caniago wakil
PKI. Mak Malin, PSII. Mak Datuk, PNI. Mak Gindo Partai Adat Sedangkan
Mak Muncak PSI. Di luar kebiasaan, karena sidang sekarang adalah sidang
antara partai, maka supaya seluruh partai terwakili, kepada yang hadir pun diberi
kesempatan jadi anggota sidang. Hingga dengan demikian Masyurni, Murba,
Perti dan beberapa partai lainnya pun dapat terwakili. Hanya Mak Lisut saja
yang tidak kebagian partai, meski ia yang punya usul. Sebab waktu dilakukan
pembagian partai itu, ia lagi sibuk dengan segerobak jualannya yang baru
diantarkan orang dari toko langganannya.

Maka ahli-ahli politik yang mengangkat dirinya jadi pemimpin partai-partai di


seluruh Indonesia itu, mulailah mengemukakan pendapatnya masing-masing.
Dengan segala gaya dan keahliannya menguraikan segala keyakinan politiknya
untuk mencapai kemakmuran itu. Sudah dapat diduga hanya kelima gembong itu
saja yang punya suara lantang. Dan kelimanya pun sama berpendapat, bahwa
Indonesia adalah negara yang maha kaya raya dan mempunyai penduduk yang
cukup banyak. Dan mereka pun sama sependapat, jika negara Republik
Indonesia itu tak bisa memakmurkan rakyatnya, hal itu karena kesalahan
kabinet-kabinet yang lalu. Hanya yang jadi perbedaan dalam pendapat ialah
dalam cara mencapai tujuan itu juga. Dalam mempertahankan pendirian mereka
itu, kadang-kadang mereka lupa pada partai yang diwakilinya masing-masing.
Mereka jadi berbicara atas pikiran mereka sendiri. Lama sekali perdebatan itu.

Yang paling banyak mendapat tantangan ialah buah pikiran Mak Datuk. Ia
bilang, bahwa untuk mencapai kemakmuran yang merata, setiap orang harus rela
sama-sama miskin lebih dulu. Dari situ barulah sama-sama mengangkat diri
untuk menjadi makmur bersama-sama.

"Dulunya, semenjak lahir malah, kita sudah miskin juga. Buat apa memiskinkan
diri lagi?" bantah seseorang.

Perdebatan begitu sengitnya. Kadang-kadang diselang-seling oleh ejekan dan


seloroh yang menerbitkan tertawa, tapi memencong-kan senyum yang kena
ejekan.

Salah seorang hadirin yang tidak termasuk gembong Big five angkat bicara pula.
Katanya, "Kalau masing-masing kita saling mempertahankan pendiriannya saja,
tiada kompromi, bagaimana kita dapat bersatu mencapai tujuan?"

"Jadi kita perlu kompromi? "tanya Mak Caniago tengik.

"Tentu."

"Kompromi inilah yang mencelakakan kita selamanya. Tidak pernah suatu


kemenangan dicapai dengan kompromi. Kalau sekali kita sudah belajar
berkompromi, maka untuk lain kali kita belajar bagaimana menerima kekalahan.
Ingal saja pada sejarah penjajahan yang dilakukan Belanda dulu," kata Mak
Caniago lantang.

Si pengusul nampaknya hendak mempertahankan pendapatnya. Tapi ia tak


pandai berbicara seperti yang diinginkannya. Hanya pada air mukanya saja
kelihatan perlawanan. Maka sunyilah segalanya seketika. Terasa udara warung
itu sudah pengap oleh asap rokok yang mengepul di ujung mulut dan menyebar
di udara. Dan di kala itu terdengarlah seot-seot langkah dari luar mendekat. Dan
kini mata mereka sama tertuju ke pintu. Dan di pintu muncullah orang yang
membawa seotan langkah itu. Ucin dia. Dengan menggaruki belakang kepalanya
hingga kopiahnya miring kedepan, Ucin memandangi semua orang, ia ragu-ragu
ketika tegak di pintu.

"Cin," seru Mak Lisut selagi menghitung barang dagangannya yang baru selesai
di bongkar dari gerobak. "Kalau kau mau kopi, tolong aku mengangkat ini."

Mata Ucin mengalih ke Mak Lisut. Lalu tanpa peduli, sambil memperbaiki letak
kopiahnya, ia pun pergi lagi.

"Bagaimana, Cin?" tanya Mak Lisut pula.

'Tak kena strateginya," jawab Ucin setelah ia jauh.

Suatu keunikan di kalangan gembong politik kampung itu, bila mereka tersua
pada suatu kemuskilan politik, berteriaklah hati mereka mengharapkan
datangnya suatu masalah baru, agar terhindarlah pikiran yang menumpul itu.
Dan kali ini teriakan hati mereka itu terjelma oleh munculnya Ucin.

"Kenapa ia tidak diobati, ha?" tanya Mak Gindo memulai trobosannya pada
lobang permatalah baru itu.

Semua mata sama tertuju pada Mak Gindo sekarang. Nafas mereka sama-sama
membesar kelegaan. Tapi Mak Gindo melontarkan pertanyaan itu tidak untuk
siapa pun. Hingga tak perlu jawaban, la menekurkan kepalanya tenis sambil
tetap memutar gelas kopi di atas tadahnya. Namun seperti sudah semestinya
begitu, setiap pertanyaan yang dilontarkan taklah akan menunggu lama untuk
mendapat jawaban.
"Siapa yang mesti mengobatinya?" masih sebuah tanya entah dari siapa.

"Tentu keluarganya, kan?" masih juga bersifat pertanyaan.

Tapi tebang yang ditrobos Mak Gindo itu terlalu kecil untuk dimasuki bersama-
sama. Dan sunyilah lagi yang mengepung mereka. Hingga suara gelas yang
diputar di alas 'tadahnya, begitu nyaring kedengarannya. Bunyi gelas itu seperti
diatur dengan suara Mak Lisut yang tengah menghitung. Kring, satu. Kring, dua.
Kring, tiga. Seperti bunyi musik tanpa melodi saja. Dan mereka seolah-olah
sama terpesona mendengarkan musik Itu.

Sekali ini rupanya gembong-gembong politik di warung Mak Lisut itu benar-
benar kehilangan daya imajinasinya. Mungkin karena masalah Ucin yang baru
timbul itu bukanlah masalah yang menarik untuk melepaskan diri dari
kemuskilan persoalan upaya memakmurkan rakyat tadi. Karena seorang Ucin
hanya seorang yang tidak mempunyai arti bagi pokok masalah yang layak untuk
diperbincangkan. Karena semua orang tahu bagaimana Ucin. Ucin gila. Sebelum
ia gila dulu, Ucin seorang pemuda yang jadi semarak kampung kami. la pelatih
Lasykar Pesindo. Ketika semua lasykar dilebur ke dalam TNI, Ucin tak ikut
terleburkan. Apa sebabnya, semua orang tak tahu. Tapi ketika perang selesai,
Ucin menjadi buah bibir orang lagi. Karena dengan berangsur-angsur otaknya
mulai miring dan kian miring juga. Ada yang mengatakan, sebabnya karena
Ucin terlalu banyak menyembelih orang waktu perang baru lalu, sehingga mala
orang-orang yang disembelihnya yang terbeliak meminta nyawa padanya itu,
lama-lama mencekau jiwa Ucin. Lain pendapat mengatakan, bahwa aktivitas
Ucin selama bergerilya lidak mendapat penghargaan yang wajar dari pemerintah.
Ia mengharapkan pangkat letnan, tapi yang dikasi sersan. Ada pula yang
mengatakan, karena kekasihnya tidak setia. Tapi yang lain mengatakan karena
otaknya dihantam malaria.

Gembong-gembong politik di warung Mak Lisut tidak pernah membicarakan


soal Ucin dengan sungguh-sungguh. Paling banyak mereka hanya mentraktir
segelas kopi bila diminta Ucin. Tapi yang paling banyak yang diberikan kepada
Ucin ialah makian. Kadang-kadang juga dengan gertakan mau memukuli bila
Ucin sudah makin liar. Untungnya miring Ucin, miring yang baik-baik saja.
Karena sering ditampik permintaannya dan malah sering dimaki dan digertak,
lama-lama Ucin tak mau lagi mengganggu kemegahan tahta orang-orang politik
warung kopi itu. Ia hanya duduk dengan diam-diam di sudut warung. Dan mau
minum kalau ia punya uang.

Setelah pergi beberapa lama dari warung itu, Ucin muncul lagi di ambang pintu.
Mulutnya menyanyikan lagu "Darah Rakyat". Sekali lagi perhatian ditujukan
kepadanya, seperti mengharapkan semoga dari Ucin yang gila itu akan datang
ilham bani untuk mengatasi kebuntuan pikiran mereka. Ucin muncul dengan
tangan kanannya menyelam dalam saku jas yang bersih tapi tak pernah
diseterika. Sedangkan tangan kirinya masih juga menggaruk-garuk belakang
kepalanya.

"Ucin punya duit sekarang. Serupiah," katanya setengah menyanyi dengan suara
parau ketika ia sampai di ambang pintu. Lalu dipandangnya Mak Lisut dengan
perasaan geli. Kemudian dengan gaya seorang komandan pasukan, ia
memerintah, "Lisuuuut. Ambil kopi. Perintah." Habis itu ia tertawa ketika
dilihatnya Mak Lisut memandangnya dengan dongkol.

Dan Mak Gindo kembali melihat lagi sebuah lobang keluar dari kebuntuan yang
telah begitu lama mereka deritakan. Dengan suaranya yang besar ia berkarta,
"Mari kita lihat apa si Lisut mau diperintah Ucin, apa tidak. Terkaanmu
bagaimana, Datuk?"

"Pasti dia mau."

"Kalau aku si Lisut, aku tak mau," Mak Malin menyela.

"Itu salah. Tidak realis. Bagiku, kapitalis ini, yang penting uang masuk," sela
Mak Mun-cak menyindir. "Kenapa buat Ucin tidak, bagi bajingan tengik pun aku
bersedia meladeni sebagai budak. Yang penting uang masuk."

"Betul begitu," teriak Mak Lisut dari luar. Kemudian ia berkata pada Ucin, "Kau
mau kopi susu atau kopi telor, Cin?"

'Sembarang saja. Asal harganya sepuluh sen," kata Ucin, "Apa pakai susu, apa
pakai telur atau pakai darah rakyat, aku tak perduli, asal harganya sepuluh sen."

Ucin kadang-kadang dapat juga berbuat seperti orang yang paling terkemuka di
kampung kami. Kalau peruutya sudah kenyang dan ada uangnya, lalu
dirasakannya dunia telah bersumbu pada tempat tegaknya. Bicaranya
mengalahkan pikiran orang lain, yang waras olaknya. Sehingga mereka itu tak
punya kesempatan untuk bicara lagi. Harus bungkam. Apa orang mau
mendengarkan omongannya apa tidak, bukan soal bagi Ucin. Dan setelah ia
mereguk kopinya yang panas, mulailah keluar suaranya. Katanya, "Kapitalis,
imprealis, ooo, bronsitis, komunis, sosialis, ooo ooo. ..

"Pak Komis," sela Mak Malin membantu.

"Ya. Pak Komis itu borjuis. Materialis lagi," Ucin melanjutkan.

"Sipilis?" ulas Mak Gindo.

"Kencing manis?" Mak Caniago ikut pula.

"Itu kunci Inggris," sekarang Mak Sutan ingin pula menyertai.

"Jangan lupa linggis," kata Mak Datuk yang lagi asyik mencongkel-congkel
telinganya dengan kelingking.

"Ya. Semua yang pakai is is is itu, mesti kita gempur habis dengan taktis dan
strategis, sampai kikis dari tanah air kita yang manis," kata Ucin melanjutkan.
Bangga benar ia karena begitu banyak mengucapkan istilah yang bersanjak. Dan
orang-orang pun jadi gembira, seolah-olah terlepas dari kesenyapan yang telah
lama mencekau.

Lalu Ucin tertawa terbahak-bahak setelah matanya mengedari setiap orang yang
telah bergembira itu. Dan ketika matanya terpandang pada Mak Lisut yang lagi
menyusun barang dagangannya di rak pajangan, ia pun berseru, "Lisuuut. Kopi
apa ini? Pakai tuba, ya? Pahit benar. Ayo, tambah gulanya."

Mak Lisut tahu benar pada tingkah laku semua langganannya. Jangankan Ucin
yang tak waras itu, yang waras pun akan selalu mengatakan kopinya terlalu
manis atau terlalu tawar atau terlalu pahit setelah meminum setengah gelas. Tak
obahnya seperti cerita anak-anak dalam membeli cendol saja.

Setelah minum setengah gelas, lalu mengatakan cendolnya terlalu manis. Dan
setelah ditambah cendolnya, dikatakan terlalu tawar. Pada tambahan ketiga,
genaplah setengah gelas lagi jumlah tambahan cendolnya dan di bayar tetap saja
dengan harga satu gelas. Dan Mak Lisut selalu saja melayani mereka dengan
sabar. Kalau tidak demikian, tentulah sidang politik akan beralih ke warung lain.
Dan itu berarti warungnya akan lengang. Dan tingkah laku Ucin yang mengakali
mak Lisut itu tentu saja tidak termasuk bahan olok-olok yang menarik oleh
gembong politik itu. Karena itu kebiasaan mereka juga, kebiasaan yang tak layak
untuk dijadikan bahan olok-olok.

"DI, TII, Kahar Muzakar sebetulnya patriot bangsa kita," kata Ucin lagi ketika
gelas kopinya telah penuh lagi, "Mestinya mereka mati pada waktu perang
melawan Belanda supaya namanya dikekalkan sebagai bunga bangsa. Patriot tak
bisa hidup dalam zaman damai. Patriot akan mati kalau damai datang. Bahkan
bisa dianggap jadi pengkhianat bangsa kalau mau terus berperang. Itulah ruginya
pahlawan yang tak mati waktu berperang."

Kata-kata Ucin itu tak diberi komentar oleh hadirin di warung itu. Lebih-lebih
oleh gembong politik itu. Karena menurut pendapat mereka, betapa pun
benarnya kata-kata seorang orang gila, kata-kata itu tetap menjadi kala kata
orang gila saja. Dan barangkali juga mereka tiba-tiba lelah sadar diri, bahwa
ucapan orang gila tak sepantasnya dilayani. Mereka semuanya terdiam. Dan
sebagai juru pidato yang kehilangan bahan pidatonya jika pendengar tidak
bertepuk tangan oleh kata-kala-nya yang tepat. Ucin pun kehilangan bahan pula.
la tidak lagi melanjutkan omongannya. Lama juga suasana seperti beku itu
menyungkupi warung itu.

Tiba-tiba datanglah suasana bani. Di ambang pintu kedengaran suara pecah


mengambang. Suara pengemis yang minta sedekah. Begitu bebasnya suara itu
mengawang ke dalam sidang politik yang telah lama bungkam itu, bagai
menekani suasana dengan pemberat timah berton-ton. Demikian sunyinya
keadaan. Malah bernafas pun orang-orang itu bagai hendak menghentikannya.
Dan suara Mak Lisut yang lagi asyik menghitung-hitung bagai seperti ketokan
martil.

Di saat yang pengap itulah licin mengambil inisiatif. Katanya kepada Mak Datuk
yang duduk di sebelahnya, "Mak Datuk ninik mamak, bukan? Kenapa
kemenakan Mak Datuk dibiarkan jadi pengemis, he?"

Mak Datuk terkejut oleh ucapan itu. Mukanya memerah semu. Tapi ia gembong
politik di warung kopi itu, salah seorang anggota Big Five, maka cepat ia
memandang pada Mak Malin. Tapi Ucin melanjutkan kata-katanya, "Ya, Datuk-
datuk zaman sekarang cuma memikirkan dirinya sendiri saja."
"Ah, itu masalahnya si Malin. ajarannyalah yang melembagakan orang-orang
harus minta sedekah kalau sudah miskin," kata Mak Datuk dengan tangkasnya.

Mak Malin tak mau kalah. Pukulan itu dirasanya tidak tepat diarahkan pada
dirinya. Ajaran agamanya memang menyuruh orang-orarig agar memberi
sedekah, tapi tidak pernah menyuruh orang-orang meminta sedekah. Dan kalau
ada orang yang meminta sedekah karena miskinnya, itu bukan kesalahannya. Itu
kesalahan orang lain. Katanya, "Tadi siapa yang bilang balnva untuk mencapai
kemakmuran, kita harus rela untuk sama-sama miskin dulu? Siapa bilang tadi?
Aaa, kau yang bilang tadi, bukan Gindo? Cobalah kau praktekkan apa yang kau
katakan tadi."

Sebagaimana Mak Malin. Mak Gindo juga gembong politik. Otaknya encer
untuk mclemparkan kewajiban pada orang lain. Dan katanya, "Yang miskin itu
siapa? Yang miskin itu kan kaum proletar. Y'ang mengaku teman kaum proletar
itu si Caniago orangnya. Ayo, Caniago belalah bangsamu itu."

Mak Caniago orangnya memang bersemangat tinggi. Suaranya pun tinggi. Dan
dengan suaranya yang tinggi pula cepat ia berkata, "Aku bukan tukang
pembasmi kemiskinan kaum proletar. Aku cuma tukang anjurkan agar kaum
proletar melemparkan kemiskinannya dengan merebut kekayaan kaum borjuis.
Supaya... supaya.. "

"Supaya apa? Supaya dari hasil perebutan itu kau dapat bagian yang lebih
banyak, heh? "tukas Mak Muncak ketika Mak Caniago tergagap-gagap
berbicara.

Mak Caniago tidak mau mengalah begitu saja. Lalu katanya sambil menuding-
nuding Mak Muncak, "Kau yang begitu getol meneriakkan persatuan, bukan?
Kau yang paling getol untuk menyatukan segala-galanya, menyeragamkan
segala-galanya, bukan? Jangan hanya suku-suku bangsa saja yang ingin kau
persatukan, jangan hanya pandangan-pandangan hidup bangsa kita saja yang
ingin kau seragamkan, Muncak. Seragamkan juga nasib mereka dengan nasibmu
yang sudah empuk itu. Jangan hanya bersatu dan persatuan itu kau

anjurkan bagi keperluan politikmu saja. Tapi pakai juga untuk kemakmuran dan
untuk kemiskinan.''
"Itu kampanye adu domba, ya? Subversi itu namanya." balas mak Muncak
sambil ter-sengeng-sengeng senyumnya.

Dan semua orang sama terbahak-bahak oleh pertengkaran politik yang mereka
lakukan sendiri dalam membincangkan nasib seorang pengemis yang meminta
sedekah. Sedangkan pengemis itu masih tercenung berdiri di ambang pintu.
Begitu tololnya kelihatan karena mendengar perdebatan politik yang Lak
terjangkau oleh pikirannya yang miskin itu.

"Jadi bagaimana? Apa kita bilang saja: "maaf, Pak" kepada pengemis itu? " salah
seorang berkata setelah tawa terbahak mereda.

"Apa? Minta maaf pada pengemis? Bikin malu saja. Masa minta maaf pada
pengemis. Itu tidak patriotik," ujar Ucin vang rupanya dapat menanggapi
perdebatan itu.

"Siapa yang bilang orang-orang politik halus minta maaf pada orang miskin
tadi?" Mak Lisut ikut pula menyela.

"Itu si Saun. Mana si Saun tahu politik," kata Mak Datuk.

"Jadi kalau tak tahu politik, bagaimana?" sela Mak Lisut. Warna mukanya
memerah karena kegembiraan telah dapat mengolok-oloki orang-orang politik di
warung kopinya itu. "Jangan banyak bicara, bung. Jangan banyak bicara. Yang
perlu bukti. Libat aku. Aku tidak mau main politik, tapi aku bisa memberi.
Karena aku hanya mau main uang, maka aku dapai memberi uang pada orang
miskin."

"Meski hanya uang paling kecil dan kumal pula," sambung Ucin.

Mak Lisut yang sudah mulai melangkahkan kakinya seperti jenderal dalam
parade militer ke arah laci uangnya, tertegun sejenak, la kc-tawa tanpa suara.
Dan yang lain-lain terbahak-bahak lagi.

Ucin lantas berdiri. Diacungkannya tangannya tinggi-tinggi seperti cara


gerilyawan menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas yang menantang
mati ketika diminta oleh komandannya. "Aku. Aku patriot bangsa. Patriot
bangsa pun sanggup memberi. Jauh lebih banyak dari uang kecil kaum
kapitalis."
Kemudian didekatinya pengemis ini. Disodorkannya uang kertas serupiah satu-
satunya yang dimilikinya kepada pengemis itu.

"Alhamdulillahirabilulamiin," ucap pengemis itu setelah menerima uang


serupiah dari Ucin.

"Aku. Aku patriot bangsa, tahu. Aku telah memberimu seluruh uangku yang ada.
Cukup, bukan? Kalau masih belum cukup, aku masih bisa kasi nyawaku
padamu. Itulah patrim yang tak segan-segan memberi apa saja, termasuk
nyawanya," kata Ucin lagi. Dan kepada Lisut ia berkata, "Lisuuuul. uangku
sudah habis. Kopimu saya ulang, ya?"

"lak usah utang, Cin. Masukkan saja rekeningku sepuluh sen dalam sedekah
yang kau berikan ilu," kata Mak Lisut pula. Dan kemudian ia jatuhkan uangnya
ke lacinya lagi dan ditolakkannya laci itu ke bawah mejanya.

Dan semenjak itu lahirlah pameo bani di warung kopi ilu, bahwa sedekah yang
diberikan oleh orang kapitalis diambilkannya dari hak-hak orang lain dan
uangnya sendiri lelap disimpannya dalam laci. Dan tingkah lakunya itu jauh
lebih gila daripada perbuatan orang gila sungguhan.

Aku tidak tahu, apakah kesimpulan yang sudah jadi pameo itu sudah tak berlaku
lagi kini. Setelah keadaan telah begitu banyak berobah di tanah air kita. Ingin
sekali aku kembali ke kampung lagi. untuk menyertai permainan politik di
warung kopi di simpang tiga itu.

2 Orang dari Luar Negeri

PADANGPANJANG adalah kota yang berbahagia. Aku di situ lahir. Hampir


seperlima abad aku dihidupinya. Kota itu memang banyak memberi hidup. Di
situ ada batukapur yang memberi hidup. Ada sungai yang memberi hidup. Ada
pasar yang memberi hidup. Ada oto, ada kereta api yang memberi hidup, meski
kadang-kadang orang mati juga digilingnya. Banyak sekolah yang memberi
hidup. Banyak tentara, polisi dan kantor-kantor yang memberi hidup. Tapi di
waktu perang Revolusi dulu, tentara dan polisi itu banyak juga yang mengambili
hidup orang. Hujan banyak turun di situ, juga memberi hidup. Pada sawah dan
tanaman tentunya. Sawah dan tanaman itu memberi hidup pada manusia. Toko-
toko banyak, juga memberi hidup. Dan rumah-rumah yang berjejeran di
sepanjang jalan melindungi orang yang hidup.

Setahuku, tiada kota yang pernah kulihat, yang lebih dari kota kelahiranku dalam
memberi hidup. Jakarta tidak. Medan tidak. Bandung tidak, meski kota itu di
kaki gunung juga.

Di kota-kota itu orang hidup dengan mati-matian. Dan matinya, meski mati
kehilangan nyawa seperti biasa, kadang-kadang caranya sangat mengerikan.
Tidak juga seperti kota Denpasar, kota di pulau sorga itu. Sebab sor-ganya cuma
buat pelancong, tapi mereka juga bagi perempuan janda yang miskin.

Di kota kelahiranku tak seorang pun yang hidup dengan mati-matian. Mereka
hidup seenaknya. Berjalan boleh lenggang kangkung. Setiap hari, dari pagi
sampai tengah malam, orang dapat duduk-duduk atau bermain kartu di kedai-
kedai kopi sambil menghutang segelas kopi, tanpa dapat masam muka dari si
empunya kedai. Di kota kelahiranku memang air berlebihan. Ilingga kemanapun
kita bertandang, perempuan atau gadis-gadis cepat-cepat menyediakan minuman
bagi kita. Air-air di kotaku tidak sejahat air di kali Musi atau Ciliwung. Tak ada
banjir. Tak ada menghanyutkan bangkai. Kalaupun ada orang yang terbenam di
sebuah bandar, itupun karena sakit sawan. Dan seisi kota jadi gcmpaT.

Demikianlah kota kelahiranku yang bahagia yang banyak memberi hidup. Yang
semenjak hampir lima belas tahun yang lalu telah kutinggalkan, karena takdir
menghendaki aku hidup di tempat lain.

Namun bagaimanapun banyaknya sudah

orang meninggalkannya, lapi ia tetap juga jadi kota yang berbahagia. Banyak
orang yang sudah mendapat nama di situ (bukan nama yang diberikan di waktu
lahir). Ulama-ulama di seluruh Sumatcra Barat memulai kemasyhurannya di
situ. Mula-mula ia belajar di situ. Kemudian namanya disebut di seluruh
Nusantara, sebagai orang besar tanah air. Meskipun demikian, orang di kota
kelahiranku tidak ketagihan membuat tugu-tugu. Untung juga tidak. Karena di
masa sekarang tugu-tugu dibuat orang, seperti orang mencetak pamflet
propaganda saja.

Memang kota kelahiranku kota yang berbahagia. Meskipun majunya tidak bukan
main seperti kota lain, lapi dengan beringsutan ada juga. Terutama pada saat
terakhir ini, telah bertambah lagi orang dari luar negeri. Orang dari luar negeri
ini, orang-orang Indonesia juga. Kelahiran kota kelahiranku. Mereka belajar
setahun dua di luar negeri. Dan kini mereka telah berpulangan. Memang dulu-
dulunya orang dari luar negeri sudah banyak juga di koia kelahiranku itu. Tapi
kebanyakan mereka itu karena jadi anak kapal. Atau petualang yang kecewa
hidup, lalu pergi ke Malaya. Kadang-kadang petualangannya sampai ke Mckah.
Pulang membawa sorban. Tentu saja mereka itu tidak banyak memberi kesan
apa-apa untuk kota kelahiranku. Sebab memangnya mereka tidak untuk
mendapat apa-apa pergi ke luar negeri itu. Ada memang, beberapa orang yang
pergi ke luar negeri untuk belajar. Ketika pulang, mereka telah hapal ayat-ayat
dan hadis-hadis. Lalu mereka jadi pemimpin ulung di seluruh Nusantara.

Tapi semenjak pemimpin ulung tidak dicetak di luar negeri lagi, semenjak partai
partai di Jakarta lelah mampu mencetaknya, maka orang luar negeri
menimbulkan harapan yang lain. Harapan yang ditimbulkan oleh kehendak akan
ilrnu yang praktis bagi hidup yang serba bani. Demikianlah terhadap orang luar
negeri yang baru pulang, kota kelahiranku sedang menunggu suatu perobahan
sejarah yang segemilang dulu dalam bentuk yang lain.

Apakah harapan itu akan terkabul dengan kepulangan mereka?

\ku hanya dapat mendengar ccritanya dari saudara sepupuku, la ini orang
istimewa dalarn tabiat dan wataknya. Dan oleh ceritanya itu aku dapat
tersenyum.

Henini ceritanya: Kau kenal sama si Bah-rum? l idak? Si Bahrum anak Mak Jaya
yang hrrlepau di simpang stasiun itu? Ia kan sudah prrgi ke Lropah. la dapat
tunjangan belajar. I mi i tahun. Semenjak ia pergi, meskipun ia ani ih jauh, tapi
dalam semua percakapan danangan-angan kami, ia selalu kami bawa serta. Kami
ikut merasa bangga dia ada di Eropa itu. Tentu saja, bukan? Karena ia sahabat
kami, kawan selapik seketiduran.

Lebih-lebih di masa darurat dulu. Dan kalau salah seorang di antara kami
menerima suratnya, berhari-hari lamanya surat itu di kantpngi. Ke mana kami
pergi, surat itu kami bawa. Seolah jimat yang keramat saja. Kepada setiap orang
akan selalulali surat itu diperagakan. Orang-orang jadi kagum pada kami. Atau
orang-orang jadi iri pada kami. Karena kami punya kawan orang luar negeri.
Dan ini sangat menyenangkan hati kami.

Sekali rasa bangga kami meluncur juga. Seperti meluncurnya salju di puncak
gunung ketika musirn panas tiba. Kami tak bisa berla-gak-Iagak karena punya
sahabat orang luar negeri. Seperti halnya salju yang cair menjadi air, kini
tergenanglah di rawa-rawa, demikian pula kami. Hingga kami tak berani
memperagakan surat-surat Bahrum yang datang.

Matahari yang datang mencairkan salju di puncak gunung kebanggaan kami itu,
ialah seseorang yang baru kembali dari luar negeri, la setahun di Amerika. Dan
ia tidaklah sahabat kami. Tapi ia orang kota kelahiran kami juga.

Gagahnya bukan main. Bajunya wol semua. Berdasi kupu-kupu yang sahan hari
bertukar saja ragamnya. Bertopi dan bermantel besar.

Dan di bahunya tersandang tali kamera kecil. Langkahnya satu-satu. Dan setiap
melangkah, satu anggukkan kepala. Jika mengingat betapa gantengnya, wah,
kami jadi seperti anak ayam yang mencericit di keram-pang induknya bila ada
elang di udara. Dan bila ia lewat dekat kami sedang berkelompok, lenyaplah
segala tawa besar kami. Dan kepala kami jadi teminduk tanpa disengaja, seperti
ada malaikat maut lewat di dekat kami. Tapi mata kami mengikutinya dengan
menyudut serta iringan hati yang mengiri.

Setiap sore, setiap pagi, di mana orang-orang ramai, ia tentu akan lewat pada
waktu-waktu yang tertentu. Ayahnya mengiringkan di belakang. Bila ayahnya
bertemu dengan setiap orang, selalu ia menegur dengan senyum sambil
memperkenalkan anaknya: "Ini .makku. Dari luar negeri. Dari Amerika."

Kemudian ia pergi meninggalkan mulut orang yang melongo.

Dan yang menyakitkan hati kami benar, ke-Lisih-kekasih kami ikut-ikut pula
mempercakapkan orang Amerika itu bila setiap mulut inrrcka bisa terbuka.
Segala pujian bukan untuk Tuhan lagi, tapi untuk orang Amerika itu. Dan ilu
berarti, setiap celaan, setiap kehengakan hanya tertentu buat kami.

Kami yang dari tahun ke tahun sepanjang umur kami, hanya tahu berbegar di
sekitar dapur ibu saja.

Ketika terdengar sudah, bahwa orang Amerika itu mau cari bini, kawan-kawan
yang punya kekasih cantik, jadi cemas. Dan segala gadis-gadis asik berbedak
dan bergincu. Dan dengan pakaian serba bani mereka jadi rajin keluar nimah.
Kurang ajarnya, jika mereka bertemu dengan kami, mereka tidak mau lagi
omong dengan kami. Apalagi berjalan berduaan. Meskipun berjalan itu cuma
kebetulan seiring jalan. Kami tahu maksudnya. Tentu saja supaya jangan
disangka orang Amerika itu, bahwa dia sudah berpunya. Dan kalau orang
Amerika itu lewat di hadapan rumahnya, beramai-ramai mereka ke depan,
kadang-kadang juga sampai ke gerbang mmahnya. Lalu dengan semanis
tengguli, mereka menegur, "Mampir duluuu."

Memang merapung benar hidup kami ketika itu. Seperti ikan-ikan yang
kolamnya dituba dengan kapur saja.

Dan iapun tak pandai lagi berbahasa awak. la bicara dalam bahasa Indonesia
saja. Meskipun kepada orang lua-tuanya di kampung. Kadang-kadang bercampur
aduk dengan bahasa Inggris: "Ile yu. Kemon." Atau sekali-sekali kami dengar:
"Oke boi." Kepada orang tua-tua pun sering ia bilang: "Oke boi." Astaga bukan
main dia ilu. Lagaknya.

Pada suatu hari terbitlah matahari lain. hingga orang Amerika yang telah jadi
salju di puncak gunung tertinggi itu lalu cair pula, meleleh seperti nanah ke luar
dari telinga di dalam pandangan kami. Matahari itu seorang luar negeri pula. Ia
ini dari Eropah. Dua tahun ia disitu. Jadi lebih lama.

Kau temu kira, ia akan lebih ganteng, bukan? Ya. la lebih ganteng. Selain semua
peragat apa yang pernah dibawa orang Amerika itu pulang, iapun membawa
skuter. Lambretta mereknya. Mengikuti jejak orang Amerika

yang selalu diiringi ayahnya, maka skuter itu meraung-raung setiap petang dan
pagi. Suaranya mengatasi segala kekaguman orang terhadap si Amerika selama
ini. Lain daripada dasi dan topi dan mantel, ia juga pakai sarung tangan. Sarung
tangan putih. Bila ia bersalaman dengan gadis-gadis barulah sarung tangannya
itu dilepaskannya. Tentu ini maksudnya mau merabai kelembutan tangan gadis,
kiraku Tapi kemudian ia katakan itu etiket.

Tentu kau kira sekarang, pongahnya dua kali lipat, bukan? Tidak. Hatinya rendah
bukan main. Hingga terjela-jela dan kadang-kadang rasa-rasa dapat dipijak saja.
la jadi sahabat kami. Selalu ia suka datang

kc kedai dimana kami biasanya menghabiskan hari. Dan ia omong-omong


dengan karni. Banyak sekali omongannya. Sebaiknya matanya tertutup saja
hendaknya. Kalau ia sudah melihat sesuatu kebiasaan orang kita, lalu ia bilang,
"Tidak seperti di Eropah."

la lihat jalan becek, lalu ia bilang, "Tidak seperti di Eropah." Banyak lalar, dia
bilang, "Tidak seperti di Eropah. Berebur-rebut orang naik kereta api atau beli
karcis bioskop, ia bilang, "Tidak seperti di Eropah." Dilihatnya anak-anak
telanjang dalam hujan, dia bilang, "Tidak seperti di Eropah." Semua-muanya
dibandingkannya dengan Eropah saja. Tapi ceritanya itu tidak menarik hati kami
benar. Dan ia sendiri pun lebih suka cerita tentang perempuan Eropah. Dan cerita
itu membikin kami ingin pula ke Eropah.

Tahu kau bagaimana ceritanya? Katanya, ia sudah pergi kc Skandinavia.


Katanya, gadis-gadis di situ dapat dipeluk saja bila mau. Dan sambil berbisik dia
bilang, 'Tahu kalian, di negeri itu tidak ada gadis yang perawan?"

"Eh. Jadinya kalau begitu, gadis di sini saja yang dilahirkan punya perawan? "
tanya kami keheranan.

"Oh. Bukan begitu, maksudku Perawannya dengan mudah mereka berikan,"


katanya dengan sungguh-sungguh.

"Bagaimana kau tahu? " kami ingin tahu.

"Sudah kau coba?" tanya kami lagi ketika ia hanya kctawa menjawab pertanyaan
kami.

Sekali lagi ia kctawa. Tapi pertanyaan kami tinggal pertanyaan saja. Sebab
kemudian ia bilang tentang gadis-gadis di Negeri Belanda. Betapa pula di Paris.
Lain lagi di Roma. Dan cerita-ceritanya itu membikin kami ngiler.

"Dan di Napoli," katanya lagi, "kita dapat menyewa kamar hotel dengan 1000
lira semalam. Lengkap dengan seorang perempuan untuk kawan tidur."

"Ondeh, Mak. Seribu semalam?" kata kami terkejut


"Di Jakarta 100 rupiah sudah hebat," komentar yang lain.

"Seribu lira itu cuma 10 rupiah saja. Dan perempuannya potongan Gina tulen,"
katanya.

Kami senang sekali mendengar ceritanya yang demikian. Karena ceritanya itu,
selamanya kian lama kian menarik. Jauh lebih menarik dari segala cerita cabul
yang dilarang polisi menyiarkannya.

Tapi pelitnya orang Eropah itu bukan main pula. Dalam sesering itu kami
mengobrol di kedai kopi, haram sekali ia yang membayar. Selalu saja kami yang
kena. Tapi kami selalu scnang kepadanya. Bukan saja ia punya cerita

yang menagihkan, juga ia sangat hormat kepada kami. Kalau salah seorang kami
mengambil rokoknya, cepat-cepat ia bertindak. Rokok itu ia ambilkan buat kami.
Lalu disuguhkannya dengan segala hormat. Lalu diambilnya korek api.
Dicetuskannya. Lalu dibakarkannya rokok kami. Dan sebaliknya, kalau kami
pula yang menyuguhkannya rokok, lalu kami bakarkan pula, selamanya dengan
mengangguk ia ucapkan terima kasih. Katanya, cara demikian juga etiket bualan
Eropah.

Tapi dalam hal ini, aku memang kurang ajar benar. Kalau aku mau mengisap
rokoknya, lalu aku katakan, "Sim, aku mau merokok."

"Oh," katanya. Dan dengan cepat ia menyuguhkannya padaku. Lalu


dibakarkannya pula.

"Terima kasih," kataku menirukan suara rendahnya dan lagak tingkahnya juga.

Melihat aku terlalu sering berbuat demikian, kawan-kawan lainnya pun berbuat
demikian. Maka jadilah orang Eropah itu jadi tukang suguhkan dan tukang
bakarkan rokok kami. Tapi kalau kami sama kami saja, kami hanya seperti biasa
yang kami lakukan. Ambil sendiri dan bakar sendiri. Akhirnya ia tahu juga etiket
buatan Eropahnya itu hanya kami tempel-tempelkan pada mukanya saja. Dan ia

merasakan kelakuan kami seperti mengejek. Kemudian ia tak mau lagi berbuat
demikian. Maka kembalilah ia jadi orang Minangkabau tulen lagi.

Kalau ia bicara dengan kami selamanya dengan tenang. Tidak tergopoh-gopoh.


Tapi satu kata demi satu kata. Dan selamanya ia tak mau bicara berebutan. Kalau
ia hendak menyela, selamanya ia akan berkata, "Tunggu dulu. Boleh aku
menyela?" Atau kadang-kadang ia bilang "Maaf. Aku ingin bicara."

Tapi aku ini juga yang kurang ajar. Akupun meniru dia itu. Dan kawan-kawan
pun berbuat demikian pula. Bicara satu-satu dan pelan-pelan. Dan kalau mau
menyela, kami bilang, "Tunggu dulu. Boleh aku menyela?" Atau kami katakan,
"Maaf. Aku ingin bicara." Tapi kami keseringan berbuat demikian, bila
dekatnya. Dan bila kami dengan kami saja, ya seperti orang awak saja. Kelibut.
Siapa yang keras suaranya, ialah yang didengar. Ialah yang menang. Akhirnya ia
kembali jadi melayu lagi, setelah tahu kami terlalu banyak cemooh.

Sekali hari ia bilang, ia telah membalaskan dendam bangsa kita terhadap


Belanda.

"Bagaimana?" tanya kami serentak.

"Aku telah menghardik-hardik Belanda itu di negerinya sendiri. Aku perintah-


perintah

ia seperti jongos. Angkat ini. Ambil itu, kataku dengan membelalakkan mataku
besar-besar, seraya menunjuk dengan tangan kiriku," katanya seraya
mencobakan gerakan tuan menghardik jongosnya.

"Siapa-siapa yang kau damprat? Juliana juga?" tanya kami pula.

Ia tertegun dari omongannya. Dan matanya berputar-putar kehilangan kata


melihat kepada kami.

'Tentu jongos-jongosnya saja, bukan? " tanya kami lagi.

"Biar jongos, tapi kan Belanda? " sela yang lain.

"Tapi Belanda itu pernah menghardik Datuk kita, ketika Datuk kita itu masih
jadi loper," kata yang lain.

Dan akhirnya pembicaraan kami jadi meriah dan kami tertawa terbahak-bahak.
Sedang orang Eropah dua-tahun itu sudah bungkem suaranya. Dan untuk
seterusnya hilanglah dengungan cerita Eropah di telinga kami.
Namun demikian tiba juga pertanyaan-pertanyaan dalam hati kami. Bagaimana
pula lagaknya si Bahrum kalau ia pulang nanti. Yang setahun di luar negeri,
sudah kami lihat poaknya. Yang dua tahun, sudah kami ketahui pula lagaknya.
Dan Bahrum lima tahundi luar negeri.

Kalau tidak lima kali lipat orang Amerika, tentulah sekurangnya dua kali lipat
orang Eropah dua tahun itu dalam segala gaya dan bawaannya.

Kembalilah, kami mengomongi sahabat kami itu. Tapi kami tidak bicara tentang
surat-suratnya lagi. Karena kini terasa suratnya itu tak ada isinya sama sekali,
selain cerita ilmu bumi anak sekolah saja sampainya kepada kami. Dan cerita-
ceritanya tentang perempuan, orang Eropah dua tahun punya cerita lebih serem.
Cuma kini kami merekakan lagak bagaimana pula yang akan kami tonton kelak.
Tambah dekat ia pulang, tambah seringlah kami mengomonginya.

Dan kamipun sama sepakat, bahwa si Diah, tunangannya, gadis yang telah 28
tahun umurnya, akan sia-sia menunggu. Kini badannya sudah kerempeng. Tapi
putihnya bertambah-tambah. Sebab tak pernah berpanas matahari lagi, dan rajin
berbedak tebal-tebal. Namun kepandaiannya sudah bertam hah-tambah juga.
Segala macam kursus dimasukinya. Dari menjahit, menambal dan menyulam
sampai pada menghias bunga dan muka. Dan kepandaiannya memasak, konon
kabarnya sejak dari Barat, melalui India terus ke Timur jauh. Maksudnya tentu
mau menempatkan dirinya sebadai bidadari si Bahrum itu. Tapi dia tidak tahu,
bidadari si Bahrum bisa menari-nari dengan telanjang di hadapan orang ramai di
Eropah itu. Dan tentu saja si Diah tak pernah memperoleh surat yang berisikan
kisah bidadari Eropah itu.

Akhirnya Bahrum tibalah. Apa yang kami duga selama ini, meleset sama sekali.
Cuma satu yang tidak meleset, yaitu tentang kesia-siaan si Diah menunggu
hingga berumur 28 tahun. Baru saja ia turun dari kapal dan bertemu dengan Diah
yang matanya menyinarkan kelaparan cintanya, Bahrum hanya bilang "Eh, si
Diah."

Ketika si Bahrum pulang itu, sama saja keadaannya dengan ketika ia pergi
dulunya. Memang ia punya pakaian wol juga, tapi wolnya wol kasar. Kaus
kakinya usang, sama usangnya dengan sepatunya. Dan hatinya, seperti hati si
Bahrum dulu juga. Meski ada kelainannya. Itu pun dalam pembawaan bicaranya
saja. Ada juga etiket buatan Eropahnya ia bawa, selain etiket-etiket itu, ia juga
bawa skuter. Juga sebuah piano dan radio pikap dan sebuah teprekorder. Sebuah
mesin tulis dan kamera tak ketinggalan.

Ya. Tentu saja ia rendah hati dan tidak punya tingkah dibikin-bikin. Aku kira,
karena ia seorang seniman. Ia belajar musik di situ. Terutama biola. Dan kami
mengira-ngirakan, tentulah ia sudah sehebat Jasha Heifetz atau Yehudi Menuhin
benar-benar. Sedangkan dulu ia sering bilang, bahwa ia Ychudi Menuhin
Indonesia.

Tentu saja kami ingin benar mendengar betapa seronoknya gesekan biolanya.
Betapa pula jari-jari kirinya menari-nari di atas tali. Apa sudah seperti lidah ular
yang kehausan cepatnya. Dan biolanya hebat benar. Dari kayu yang sudah 300
tahun usianya.

Maka sekali hari, ketika orang-orang tidak ramai lagi mengunjunginya, kami
datang. Kami datang bukanlah hendak mendengar cerita luar negerinya lagi,
sebab cerita luar negeri itu sama saja dengan cerita siapa pun juga. Keinginan
kami hanyalah hendak mendengarkan gesekan biolanya.

"Rum. Coba main, ah," kata kami. "Rindu benar kami mendengar mainmu."

Ia hanya tersenyum. Barulah setelah kami berulang mendesaknya ia pergi ke


kamarnya. Karni kira tentu ia mengambil biola. Dan hati kami bukan main
senangnya. Tapi ketika ia keluar, ia hanya menjinjing teprekorder. Dan ketika
teprekorder itu berbunyi, kedengaranlah suara biola dengan iringan piano. Maka
ia mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Bunyinya nget ngot nget ngot
saja. Dan kami tidak mengerti. Dan kami tidak merasakan keindahannya.

"Kau yang mainkan itu?" tanya kami.

"Yang main piano kau juga, ya?" tanya yang lain.

Kemudian katanya,"Masa bisa orang main biola sekaligus dengan piano."

"Les Paul konon kabarnya bisa. Ia main gitar, ia main hawaian dan ia pula main
bas. Isterinya menyanyi dalam empat suara. Kenapa ia bisa, kau tidak?" kata
kami.

"Yang main piano itu seorang nona," katanya menyahuti tanya kami.
'Tunanganmu, yaaa?" kami bertanya dengan nakal-nakalan.

Dan ia mengerdipkan matanya sebelah. Kemudian ia ceritakan segala


rencananya dengan segala alat-alat yang ia bawa.

"Aku mau menyelidiki lagu-lagu daerah kita. Lagu-lagu rakyat di daerah kita,
tidak kalah indahnya dengan lagu rakyat Eropah," katanya.

Kemudian ia berbicara panjang sekali tentang rencananya yang sudah lama


diperaninya di luar negeri. Ia juga menceritakan, bagaimana lagu-lagu orang
Janggi di Spanyol. Bagaimana polka-polka di Eropah Timur. Lalu musik orang
Negro yang telah menyusup ke seluruh jiwa pemuda di seluruh dunia. Kami
mengangguk saja mendengarkannya seraya dengan mulut yang ternganga.

"Piano yang kubawa itu, untuk penyusun kembali lagu-lagu yang telah
kuselidiki. Teprekorder, untuk menyalin lagu-lagu asli di kampung-kampung.
Kamera untuk foto dokumentasi. Mesin tik, ya, tentu saja untuk men-tik hasil
penyelidikan ilmiah tentang musik daerah. Dan pikap untuk mempertinggi selera
tukang musik kita di sini," katanya.

Apapun cita-citanya yang diuraikannya dengan penuh semangat, namun dalam


hati kami mendesak-desak juga rasa ingin tahu bagaimana kepandaiannya
memainkan biola setelah jarinya di sepuh lima tahun di Eropah itu. Ingin tahu
kami itu, kian besar juga. Dan akhirnya kami desak juga supaya ia mainkan
biolanya yang dari kayu 300 tahun itu. Akhirnya ia main juga setelah ia tak
dapat mengelak lagi oleh desakan kami. Tapi lagunya nget ngot nget ngot seperti
yang dibunyikan teprekorder tadi juga. Lalu kami minta saja ia memainkan lagu
"Pelayaran". Sebab lagu itu lebih kena di hati kami. Dan tentu saja kami kira,
kalau ia memainkannya lebih seronok dan lebih sahdu. Maklum jari-jarinya
sudah lima tahun disepuh oleh Akademi Musik.

"Kalau demikian saja cara mainmu, kakek Taik tentu bisa jadi profesor biola di
Eropah," kata kami setelah ia selesai.

Sungguh kami heran benar, kenapa orang

luar negeri jadi kaku memainkan lagu nenek moyangnya. Percuma saja ia
sekolah lima tahun di Eropah. Lebih baik uang sekolahnya yang telah habis
sebanyak itu, digunakan oleh Pemerintah untuk pembrantas kemiskinan.

Dan mendengar komentar kami itu, rupanya tersinggung benar perasaannya.


Hingga sampai sekarang, tak pernah lagi kami mendengar gesekannya.

Kemudian ia jarang bersua dengan kami. Sebab, katanya, ia lagi sibuk. Tiap
sebentar ia pergi ke kantor Pemerintah di Bukittinggi. Kami kira mulanya ia mau
minta kerja. Dan kami jadi heran, kenapa seorang pemain biola minta kerja di
kantor. Tapi rupanya ia sedang merencanakan pendirian sebuah sekolah musik.
Pemerintah sudah setuju. Dan meminta kepadanya untuk membuat rencananya.
Siang malam ia bekerja membuat rencana itu. Hingga badannya kelihatan jadi
kurus dan pucat. Dan ketika rencananya selesai, diajukannya kepada Pemerintah.

"Ini rencana apa?" kata orang Pemerintah itu. "Mana anggaran belanja
pegawainya? Mana anggaran pembangunan gedungnya? Bagaimana sekolah
bisa berdiri kalau gedungnya tidak ada?"

"Yang penting bukan gedungnya. Tapi rencana sekolahnya," kata Bahrum.

"Ya. Sekolah ilu kan gedung?" kata orang Pemerintah itu lak mau kalah.
"Rencana ini tidak laku."

Dan semenjak itu, laklah lagi ia menyibukkan dirinya dengan kantor-kantor


Pemerintah itu. Dan mukanya selalu berkerut masam dan hatinya selalu
meluapkan benci. Apalagi ketika orang-orang Pemerintah selalu mengiriminya
surat, supaya segera menjadi pegawai Kantor Pemerintah, sebagai pemenuhi
perjanjian Ikatan Dinasnya.

"Biar aku masuk penjara saja," katanya menggerutu. Lalu kepada kami ia
katakan, "Kalau aku jual segala barang-barang yang aku bawa dulu, berapa
harganya kira-kira?"

"Piano dan pikap itu?" tanya kami heran dan penuh harap. Sebab kamipun ingin
juga menolong menjualkannya, karena mencatut adalah pekerjaan kami juga.

"Semuanya," katanya.

"Biola juga?" tanya kami.


"Ya. Biola juga," katanya tegas.

Dan kini keheranan kami jadi bertambah. Lalu kami tanva ia lagi, "Hendak jadi
apa kau lagi?"

"Aku inau beli tanah. Aku mau jadi petani. Itu lebih baik," katanya. Bagaimana
itu, pikir kami, sudah begitu lama helajar musik, di Eropah pula, kini mau jadi
petani.

Dan semenjak itu kami hanya mendengar keluhan dan kebenciannya yang
meluap-luap kepada setiap orang. Serupa saja tabiatnya dengan orang Amerika
itu, yang setiap hari mengeluh karena tak dapat berdangsa. Dan di Eropah dua
tahun mengeluh juga, karena tak punya uang. Sudah mengeluh, mereka mencela.
Habis mencela mereka mengutuk.

Kami tak mengerti sama sekali, kenapa mereka jadi demikian. Padahal jika
menurut pepatah orang tua-tua, kalau nak tahu disayang kampung, pergilah
merantau. Tapi barangkali juga, orang yang membuat pepatah itu yang salah.
Karena merantaunya orang dahulu tidak sampai ke luar negeri.

Akhirnya semua orang keluaran luar negeri itu pergi. Perginya lain dari perginya
orang Belanda dan Jepang yang betul-betul orang luar negeri tulen. Mereka itu
pergi dengan hati sedih karena meninggalkan Indonesia kita yang makmur dan
sentosa. Sedang orang luar negeri buatan dalam negeri itu, perginya karena benci
dan mengutuki tanah tumpah darahnya. Apakah tidak aneh itu?

Dan si Amerika, setelah belajar ilmu pertanian di Amerika kini ia bekerja di


kantor. Menulis-nulis surat di Kementerian. Dan di waktu ia pergi ke
Kementcrian, sawah orang tuanya digadaikannya pula. Dan si Bahrum, yang
belajar kesenian, lebih suka jadi petani. Hanya si Kasim yang lain pendiriannya.
Ia belajar ilmu grafika di Eropah. Dan kini ia bekerja di Kebayoran mencetak
uang. Meskipun percetakan orang tuanya dibiarkannya saja di injak dengan kaki
baru jalan. Tapi itu bolehlah,

setelah ia pandai mencetak uang banyak-banyak, tentu ia takkan mengeluh oleh


sebab kekurangan uang lagi.

Apakah tidak aneh orang luar negeri buatan dalam negeri itu, menurut
sangkamu?

3 BagindaRatu
Baginda Ratu yang terkenal di kota kami, badannya kokoh. Rambutnya lebat,
juga tegang, dan selalu disisir rapi. Pakaiannya senantiasa apik. Disetrika licin
oleh (lobi (ia menyebutnya waserai) yang termahal. Karena bahan kainnya
mahal dan menurut mode terakhir guntingannya. Tapi tentang pakaian ini,
tidaklah ia istimewa benar. Sebab banyaklah orang lain yang mampu
mempunyainya di kota kami. Maklumlah di kota kami banyak barang
selundupan dijual orang. Meski setiap orang mampu mempunyai apa saja yang
dijual orang di kota kami, tidaklah setiap orang punya selera yang baik. Tapi
Baginda Ratu punya selera yang baik. Itulah keistimewaannya.
Keistimewaannya yang paling istimewa ialah pada dasi dan kaos kaki.
Kebanyakan pemakai apik di kota kami, biasanya punya dasi satu dua saja. Dan
kaos kakinya seringkah kedapatan semenjak dibeli hingga hancur, tak pernah
dicuci. Sudah banyak kerak dan baunya pun tengik. Bukanlah demikian halnya
dengan Baginda Ratu. Ia punya pastilah lebih dari siapapun. Janganlah mencoba
mengatakan kepadanya, bahwa ada lain orang punya lebih bagus. Sebab nanti
mulutnya yang pengomong, pastilah akan terkatup.

Tapi aku tentulah tidak bermaksud menceritakan Baginda Ratu ini dari sudut
dasi dan kaos kaki.

Tidak seorang pun akan merasa rugi jika bersahabat dengan Baginda Ratu.
Terutama bila seseorang punya leher longgar yang dapat mengangguki segala
omongan. Dan sesudah mengangguk-angguk barang tiga kali, ia akan gelisah
benar bila belum mengajak saudara makan-minum di restoran.

Tentu saudara akan bertanya sekarang, yang manakah Baginda Ratu itu?

Ia akan mudah ditemui pada setiap resepsi orang-orang terkemuka (ia


menyebutnya elite) di kota kami. Tertawanya paling banyak. Dan dengan
gerakannya yang lincah ia sudah terbang kian kemari menemui setiap orang.
Omong-omong sebentar dan tertawa terbahak-bahak, ha ha he he, lalu ia akan
pergi ke kelompok lainnya. Seperti ia diburu waktu saja. Ini dapat dipahami,
karena begitu banyaknya kenalannya dan begitu sempitnya waktu pada resepsi
itu.

Kalau banyak dijumpai orang yang bcrgelagat demikian, perhatikanlah dasi atau
kaos kakinya. Di sana akan terlihat bahwa Baginda Ratu punya memang lain
dari yang lain. Dalam artian yang tidak menyolok tentunya.

Tentu saja menemuinya dalam suatu resepsi tak banyak menolong, karena orang-
orang terkemuka itu tidak saban hari mengadakannya. Maka carilah ia pada
setiap petang Sabtu di sositet. Yah, tentu saja sositet orang-orang terkemuka
pula. Ia selalu datang kc situ. Ia tidak bermain judi seperti orang-orang lainnya.
Ia hanya main bilyar. Dalam permainan itu ia jarang bersungguh-sungguh. Meski
ia tidak termasuk pemain jelek, tapi taklah pernah ia memenangkan dirinya.
Oleh sebab itu jadilah ia sehagai lawan main yang paling menyenangkan oleh
Walikota atau Sekretaris Gubernur atau seorang dokter yang pernah jadi calon
Menteri. Ketiga orang itu sudah tua-tua. Matanya sudah pada rabun dan
permainannya lebih banyak jeleknya daripada baiknya. Namun Baginda Ratu tak
pernah menempatkan dirinya sebagai pemenang pertama.

"Tak ada gunanya mengalahkan orang-orang itu," katanya sekali padaku ketika
pembicaraan kami melantur ke soal tersebut. "Mereka main untuk bersenang-
senang. Bukan untuk jadi juara. Lain halnya kalau mereka itu mau jadi juara."

"Kalau begitu," kataku menyoal," kenapa kau tidak bermain sama orang yang
pintar saja?"

"Siapa yang pintar di sana?"

"Jadi tidak ada orang yang pintar di sana?" tanyaku cepat. Sebab setahuku ada
dua orang jagoan bilyar yang sering main di sositet itu.

Dan pertanyaanku tidak dijawabnya secara langsung. Melainkan katanya, "Kalau


aku main sendirian, aku bisa dapat angka seratus lebih satu kiu."

"Kalau begitu kau sudah jagoan. Jagoan tanpa lawan."

Dan kami tertawa gelak-gelak. Lalu aku dibawanya ke restoran. Kemudian aku
tahu dari orang lain, bahwa di kalangan orang-orang terkemuka di kota kami,
kepintaran seseorang tidak boleh terlalu menonjol. Siapa yang terlalu pintar,
tidak disukai. Mereka hanya menjadi barang tontonan yang menyenangkan saja.
Bukan jadi kawan.

Baginda Ratu juga bermain tenis. Dan klub yang dimasukinya, bukanlah tempat
orang melatih diri supaya jadi jagoan. Melainkan klub orang tua-tua yang
memelihara kesehatannya agar tetap utuh. Ya, tentu saja klub orang tua-tua
golongan terkemuka pula.

"Enak bermain dengan mereka, "katanya memberi alasan pada pertanyaanku


ketika suatu hari aku bertemu dengannya." Sebab saban hari main dapat bola
baru."

"Di klub Fortuna juga orang selalu memakai bola terbaru," kataku.

Sebagaimana biasa ia tentu punya alasan yang tak terbantah ketepatannya. Ini
aku tahu benar, setelah aku bergaul agak lama dengan dia.

"Bermain dengan mereka, kita sungguh-sungguh puas," katanya.

"Mana yang lebih puas jika bermain dengan orang yang pintar?" tanyaku.

Tentu sekali lagi ia akan berianya, siapa yang pintar bermain di kota kami. Dan
aku menunggu jawabannya. Dan ia berkata, "Aku sudah coba bermain di mana-
mana. Aku tidak bisa betul-betul puas. Orang tua-tua itu senang bermain dengan
aku. Karena aku bisa memelihara bola selama sepuluh menit dalam satu skor.
Kadang-kadang bola out pun aku ambil."

Sebelum aku selesai berpikir tentang bagaimana mungkin orang bisa senang
dengan cara bermain seperti itu, ia melanjutkan lagi. Katanya, "Di klub itu
aku dapat bermain dalam setiap partai. Sebab mereka itu semua ingin berpartner
atau berlawan dengan aku."

"Kalau begitu terus menerus, tentu kau tidak bisa jadi juara," kataku.

"Buat apa jadi juara? Kalau sport, ya, sport. Sport bukan untuk mengalahkan
orang. Sport bukan untuk cari nama atau uang. Men sana incorporo sano,"
katanya pula. Dan lalu ia tertawa terbahak-bahak. Ini sudah kuduga lebih dahulu.
Sebab ia akan selalu tertawa terbahak-bahak bila ia merasa ucapannya tepat.
Ketika di kota kami hampir setiap orang pada tergila-gila bermain bridge, ia
datang kepadaku untuk belajar.

"Oh, sama saja dengan main truf, ya?" katanya ketika aku mulai memberikan
keterangan bagaimana caranya bermain bridge itu.

Tapi ketika aku memberikan teori bagaimana seharusnya mengajukan tawaran,


ia mulai memperhatikan sungguh-sungguh dan mencatatnya dalam sehelai
kertas. Namun demikian sukar juga ia memahami. Lalu ia minta saja aku
membuatkan catatan untuknya. Tapi aku menyuruhnya saja membeli sebuah
buku teori yang lengkap. Sepanjang yang kuketahui, ia tak pernah berhasil
menempatkan dirinya menjadi teman atau lawan bermain yang disenangi.

"Susah sekali mendapat partner yang cocok," katanya ketika aku mencoba
menanyainya tentang kenapa ia tak ikut perlombaan bridge baru-baru ini.

"Kalau demikian," kataku, "bermain caturlah yang paling tepat buatmu."

"Ya. Memang. Main catur aku paling gemar. Dulu, ketika zaman darurat, Mr.
Siddik, staf kedutaan kita di Mesir sekarang, ia lawan mainku benar," katanya
dengan wajah yang berseri-seri.

"Kalau begitu," kataku berbohong, "tentu kau akan datang hari Sabtu depan ke
rumah Ir. Kumala Pontas, ya?"

Sebentar ia kulihat begitu gelisahnya. Tapi segera air mukanya berobah hingga
melukiskan betapa keccwanya ia. "Ah, sayang sekali, liari itu benar aku sudah
berjanji dengan Letnan Kolonel Sofyan, Kepala Staf. Tak dapat aku
membatalkan janjiku. Sayang sekali."

Tapi selanjutnya aku tak pernah lagi mendengar mulutnya membicarakan kedua
permainan itu. Bila pun sekali-sekali aku menyebutnya, ccpal-cepat dialihkannya
pokok pembicaraan. Agaknya ia tidak berhasil menjadi pemain yang disenangi.

Sudah terlalu panjang aku menceritakan Baginda Ratu dari segi permainan.
Seolah-olah hidupnya hanya dalam permainan belaka. Seolah-olah ia tak punya
pekerjaan dan cita-cita. Tantang pekerjaannya dulu, tak banyak kuketahui. Selain
dari sejumput omongannya yang keluar sepotong dani sepotong. Kalanya, di
zaman Jepang ia baru mulai bekerja. Sebelumnya ia masih jadi anak sekolah.
Dan kemudian di zaman siap-siapan ia menjadi pelatih calon opsir. Menurut
katanya, kebanyakan dari komandan kompi yang berada di daerah kami adalah
bekas muridnya. Tentu saja aku jadi kagum. Di samping itu aku tidak mengerti
kenapa ia lepaskan jabatannya yang bagus itu. Pada hal di saat sekarang, opsir
tentara selalu memegang pimpinan segala kegiatan. Lalu aku tanya dia, "Jadi
pelatih apa?"

"Olah raga," jawabnya pendek.

Dan aku terperangah karena rasa kagumku terjatuh ke bawah kakiku. Tapi
kemudian ia ceritakan betapa takutnya beberapa calon opsir itu kepadanya dulu.
Dalam latihan tentunya. Ada yang sampai menangis kena pukulan ketika main
boksen. Namun tak diterangkannya apa sebabnya ia berhenti jadi tukang ajar
calon-calon opsir itu. Katanya kemudian ia jadi pemborong. Lalu jadi juru buku
di suatu kantor dagang di ibu kota. Dan setelah kantor dagang itu bangkrut, ia
kembali ke kota kami. Dan menganggur sebentar. Dua tahun terakhir ia bekerja
di suatu lembaga pemerintah.

"Aku diminta dengan hormat untuk bekerja di situ," katanya menerangkan.


"Karena aku punya pergaulan yang luas di kalangan orang-orang terkemuka.
Dari itu tenagaku sangat dibutuhkan oleh Kepala Lembaga itu."

Semenjak ia bekerja di situlah aku mulai berkenalan dengan Baginda Ratu.

"Sebanyak itu kantor-kantor yang kumasuki, inilah yang paling cocok buatku.
Enak bekerja di lembaga itu," katanya pula.

"Apa enaknya?" tanyaku ingin tahu.

"Kita banyak torne. Dan kita tak perlu duduk-duk di kantor sejak jam tujuh
sampai jam dua. Kenapa kau tersenyum?" katanya kemudian ketika aku
tersenyum mendengar alasan kesenangannya bekerja di lembaga itu.

"Kau di-pegepe-kan?" tanyaku main nakal-nakalan. Karena aku tahu, bahwa ia


diklerekan oleh pegepe.

"Pcgepe tidak penting bagi orang seperti aku. Yang penting jabatanku.
Sebenarnya, aku jadi penasehat pak Kepala. Kau mengerti saja, pak Kepala tak
mengerti apa-apa dengan tugasnya. Maka itu kalau ada tamu-tamu dalang,
akulah yang ke muka," katanya.

Tapi aku tahu hatinya mulai merasa tidak enak untuk melanjutkan omongan itu.

Pada suatu hari Minggu aku dimintanya datang ke rumahnya. Lembaganya


bermaksud akan mengadakan sebuah pameran. Pada jam yang ditentukan aku
sudah berada di halaman rumahnya. Ketika itu ia sedang tegak menunggu
dengan pakaian yang sangat apik. Dasinya terjela di lehernya. Dan
bamboosharskin di seluruh tubuhnya. Takjub juga aku oleh sambutan hangatnya
itu. Apa lagi jika diingat bahwa kedatanganku hanya sekedar hendak
membantunya merencanakan suatu pameran yang bakal diadakan.

"Ah, sayang sekali, bung," katanya ketika kakiku baru saja menginjak teras
rumahnya. "Aku harus pergi."

Sekali lagi rasa takjubku jatuh kc kaki. Dan kini terpijak-pijak oleh kekesalan.
Karena sudah begitu payah aku jalan kaki dari rumah yang hanya datang untuk
membantu pekerjaan kantornya, tahunya aku mendapatinya akan pergi. Tapi aku
orang Timur, yang menurut para ahli harus berbudi tinggi. Maka aku tanyalah
sebagai basa-basi, hendak kemana ia pergi. Jawabnya, "Setengah jam yang lalu,
aku ditilpun Mr. Zainul. Ia mengajakku pergi ke Batusangkar. Ada pesta turun
mandi seorang bayi."

Dan bertambah terperangahlah aku mendengar betapa penting urusannya jika


dibandingkan dengan menyusun rencana pameran itu. Tapi apa hendak dikata,
jarak jalan yang kutempuh tidaklah sampai seperlima puluh jarak yang akan
ditempuhnya ke Batusangkar itu. Dalam aku berpikir-pikir hendak berbuat apa
lagi pada hari sepagi itu, sambil mene-nang-nenangkan deburan jantungku yang
keras karena payah dan jengkel, datanglah anak-anaknya dari dalam rumah.
Mereka bekejaran memperebutkan sebuah buku. Buku itu berjudul Jurnalistik
dalam Teori dan Praktek.

"Dulu aku sangat ingin jadi wartawan," katanya ketika ia tahu aku lama
memperhatikan buku yang di tangan anaknya itu. "Wartawan punya pergaulan
luas di kalangan orang-orang terkemuka. Tapi wartawan masa sekarang, peranan
tuak belaka. Patahlah hatiku hendak jadi wartawan itu."

Baru saja ia selesai berkata, berhentilah sebuah mobil Plymouth model 1955 di
depan rumahnya. Baginda Ratu berlari-lari kecil mendekati seperti jongos
dipanggil tuannya. Kepala Mr. Zainul yang telah ubanan tersembul keluar.
Perempuan-perempuan dan anak-anak yang penuh sesak di atas Plymouth itu
pada melihat kepada Baginda Ratu.

"Ah, sayang sekali, Baginda. Isteri dan anak-anakku jadi juga mau pergi ke
Batusangkar. Lain kalilah, ya, kita pergi," kata Mr. Zainul ketika Baginda Ratu
telah di dekatnya.

"Untung benar aku tak jadi pergi. Aku banyak pekerjaan sekarang. Kami akan
membuat pameran penting. Hari ini rencananya akan disusun. Nah, selamat saja,
pak Mister," kata Baginda Ratu. Lalu mereka tertawa-tawa sejenak. Starter
berbunyi. Dan gas keluar dari knalpotnya di belakang seperti hendak mencibiri
Baginda Ratu.

"Untung benar aku tak jadi pergi," katanya kepadaku. "Marilah kita kerjakan
rencana itu. Eh, kau mau apa? Kopi susu atau kopi coklat?"

Lalu ia ke belakang rumahnya. Dan ketika ia keluar, di kepitannya terangkut


sebuah tas kulit yang padat. Tapi baru saja kami mulai menyusun rencana
pameran itu, kedengaran lagi bunyi klakson mobil di depan rumahnya, la seperti
sudah kenal betul pada setiap bunyi klakson, lalu katanya, "Itu tentu Sekretaris
Gubernur."

Dengan berlari-lari kecil seperti jongos dipanggil tuannya pula, ia buru-buru ke


luar meninggalkan aku begitu saja. Tapi tak lama kemudian ia kembali lagi. Juga
berlari-lari anjing. Dan aku tak diperdulikannya. Ia terus ke ruang belakang. Dan
ia berkata pada isterinya, bahwa ia akan pergi bersama Sekretaris Gubernur. Ada
urusan penting. Dan kepadaku ia katakan sambil lewat, "Kau saja yang
mengerjakan rencana itu, ya?"

Tanpa menunggu apa kataku, ia terus berlari jongos dipanggil tuannya. Aku pun
mengikutinya sampai di teras.

"Eh, kau ada teman, Baginda?" tanya Sekretaris itu ketika ia melihat aku.

"Ya, ia tinggal di rumah," jawab Baginda Ratu tanpa memandang kepadaku


sampai ia memasuki mobil itu.
"Kami sebentar saja, bung," kata Sekretaris itu kepadaku. "Kami melihat kuda
pacuku yang sakit. Sebentar saja. Barang sejam paling lama."

Dan starter berbunyi. Asap gas pun keluar dari knalpot di belakang. Kini asap itu
yang mencibiriku, aku rasa. Semenjak itu aku tak perduli lagi dengan Baginda
Ratu. Apa ia mau mengadakan pameran apa tidak, aku tidak perduli. Dan
memang pameran itu belum juga jadi-jadinya hingga kini. Juga aku tidak perduli
tentang cerita-cerita orang, kenapa ia lebih suka bermain tenis di klub orang tua-
tua, kenapa ia suka ke sositet, kenapa selalu hadir pada setiap resepsi orang-
orang terkemuka. Aku tak perduli.

Juga aku tak hendak perdulikan dia ketika aku ketemu dia pada suatu senja. Tapi
aku orang Timur. Orang Timur menurut petuah ahli-ahli zaman sekarang, mesti
baik budi. Dan aku tanya juga sambil lalu, "Ke mana?"

"Aku ambil kursus Inggris dan Buku Dagang A dan B sekaligus," katanya sambil
menghadang jalanku.

Dan sebagai orang Timur yang harus baik hati terpaksa juga aku bertanya lagi,
"Eh, apa di lembaga itu sudah mengurus urusan dagang?"

"Kau belum tahu, ya? Aku sudah diminta Prof. Syaaf untuk jadi sekretaris
Universitas Andalas, tahu? Aku kira pekerjaan di situ bakal lebih enak. Sebab
nanti aku bisa berkenalan dengan segala orang yang punya titel bila para
mahasiswa itu tamat kuliahnya," katanya.

Dan aku tidak perduli apa bicaranya lagi. Juga tak perduli pada
penghadangannya. Aku terus berjalan menuju arahku semula. Untuk
meladeninya aku tak mau lagi. Meski aku berhenti jadi orang Timur yang harus
baik hati karena itu.

4 Kisah Seorang Amir


Di kampungku banyak benar orang yang bernama Amir. Entah apa sebabnya
nama Amir itu sangat disukai orang pada suatu masa di kampungku itu.
Mungkin karena terpesona pada cerita, bahwa setiap raja di negeri Arab disebut
Amir. Atau mungkin juga karena nama Amir lebih indah dari pada nama
Kundur, Godok, Binuak, Ulok atau Tonyok. Demikianlah pada suatu masa
banyak benar orang yang bernama Amir di kampungku. Karena sangat
banyaknya nama Amir itu, timbullah kesulitan lain. Sebab bila orang bicara
tentang seorang Amir, orang tidak akan segera tahu, Amir mana yang
dimaksudkan. Tapi kesulitan itu lekas pula diatasi.

Kebetulan pula di kampungku itu, setiap orang yang bernama Amir punya
keistimewaan masing-masing, menyolok atau tidak. Keistimewaan masing-
masing itulah yang dijadikan nama tambahan untuk membedakan seorang Amir
dengan Amir yang lain. Jadi ada yang bernama Amir Mataloak, karena matanya
besar, di samping ada Amir Sipit. Ada Amir Cina, karena wajahnya mirip Cina,
di samping ada Amir Keling karena kulitnya hitam. Karena dua orang

Amir yang hitam kulitnya, maka yang seorang lagi dipanggil Amir Tambi. Ada
Amir Balok, karena badannya seperti balok, di samping ada Amir Rangkik,
karena badannya kecil akibat sakit-sakitan. Ada Amir Kate. Seorang Amir yang
kate lain nya tapi berkulit kuning dipanggilkan dengan Amir Jepang. Ada Amir
Panjang, meski yang sebenarnya orangnya tinggi. Mungkin karena di
kampungku setiap orang sama tingginya dan sama pula rendahnya menurut
ajaran dari pandangan hidup mereka, maka di samping tidak dipakaikan gelar
tinggi, juga tidak dipakaikan gelar rendah. Untuk Amir yang rendah tubuhnya
dipanggil dengan Amir Pendek. Di samping itu ada Amir guru, karena ia
memang guru. Ada Amir Gadis, tapi tidak ada Amir Bujang. Yang Amir Gadis
dikarenakan oleh tingkah lakunya keperempuanan, lama-lama yang paling sering
disebutkan orang ialah nama tambahan itu. Misalnya si Loak, si Sipit, si Keling,
si Tambi, si Cina, si Japang, si Kate, si Pendek, si Panjang, si Guru. Dan yang
paling celaka ialah si Amir Gadis, dipanggilkan namanya si Gadis pada hal ia
laki-laki dan sudah dua orang isterinya, dan lima orang anaknya.

Tapi yang akan kuceritakan sekarang ialah tentang seorang Amir, yang lain dari
Amir-Amir yang banyak itu, Ia bukanlah orang kampungku. Ia pindah dari suatu
kota dan menyewa rumah di salah satu jalan di kampungku. Ia seorang pegawai
pemerintah. Tapi ia lebih suka disebut amtenar, seperti term masa

Belanda. Tubuhnya besar, matanya besar. Mulutnya besar dengan bibirnya


laksana jeruk mawar yang terkelupas kulitnya. Perutnya pun besar dalam arti
harfiah dan maknawiah, dalam kenyataan dan kiasan. Untuk orang kampungku
memang ia dipandang sebagai orang besar. Bukan karena fisiknya, melainkan
karena jabatannya yang amtenar.
Maka itu tidak adalah celanya apabila ia berkata di lepau kopi di simpang tiga
kampungku, bahwa ia betul-betul dilahirkan sebagai orang istimewa.

"Aku memang dilahirkan sebagai orang istimewa. Ketika aku lahir, sudah ada
tanda-tandanya, kata ibuku. Tapi baru nyata kelihatan keistimewaanku semenjak
aku mulai dewasa. Sebab aku selalu menjadi pemimpin di dalam bentuk apa pun
juga. Di kalangan orang inuda, sampai kini aku tidak segan-segan bertingkah
seperti anak muda pula. Di kalangan orang tua-tua, meski aku masih muda, aku
pun mempunyai bakat pengasuh, pelindung, pengadil yang bijaksana. Aku bisa
main gambus, bisa main keroncong, bisa nyanyi, bisa menari. Minum tuak pun
aku biasa. Sehingga sebotol dua botol tuak yang kuminum, taklah akan
memahukkanku. Aku juga bisa mengaji. Ayat-ayat dan hadis-hadis banyak yang
hafal di kepalaku, dan fasih pengucapannya. Menjadi khatib dan imam waktu
sembahyang Jumat, itu telah ibarat minum rokok bagiku, karena biasanya. Aku
sebenarnya segala tahu. Apa yang tuan-tuan ketahui, aku tahu semua. Tapi apa
yang kuketahui, tuan-tuan ti-

dak akan tahu kalau tidak aku beritahu. Dulu-dulunya aku pun pemain sepak
bola juga. Malah aku pernah jadi kampiun main badminton di pasar malam.
Karena aku segala tahu, tidak pun akan jadi amtenar, aku akan bisa juga hidup
senang, memperoleh nafkah seperti sebanyak sekarang. Sekurang-kurangnya,
aku beri pengajaran agama di mesjid-mesjid, berkeliling dari satu kota kc kota
yang lain, akan kuperoleh juga nafkah yang lumayan. Tapi justeru karena aku
segala tahu itulah sebabnya aku memilih jadi amtenar, tahu?"

Oleh karena ia terlalu sering mengatakan dirinya segala tahu itu, di mana saja
asal ada kesempatan, maka orang kampungku menamakannya Amir Tahu.

Di kampungku ia lekas benar populer. Segala lapisan masyarakat digaulinya.


Ketika ia mula datang, ditemuinya ninik mamak dan segala penghulu yang ada
di kampungku, sebagai memperkenalkan dirinya. Dan kepada Penghulu Tua dari
suku Caniago, Datuk Pcrpatih, dimintanya supaya ia dipandang sebagai anak-
kemenakan orang suku Caniago pula. Sesuai dengan ajaran adat; Terbang
menumpu, hinggap mencekam. Bagai burung yang berpindah dari satu dahan ke
dahan yang lain.

Kepada yang muda-muda diperkenalkan dirinya dengan memasuki pergaulan


lepau kopi di simpang liga itu, di mana orang-orang suka main domino, remi dan
catur. Dan kepada orang tua-tua diperkenalkan dirinya dengan ikut berlama-lama
di mesjid dari Magrib sampai Isya.

Orang kampungku menakar jabatan amtenar itu sangatlah tingginya. Maka itu
ketika ia mula menetap di kampungku, berebutanlah berbagai macam
perkumpulan kampungku mengajaknya agar ikut jadi pengurus, menjadi tiang
perkumpulan. Ada perkumpulan kematian, ada perkumpulan simpan-pinjam, ada
perkumpulan pencak silaL, ada perkumpulan randai, perkumpulan musik, sepak
bola dan juga badminton. Karena untuk menjadi anggota biasa saja tidaklah
dipandang pantas bagi seorang amtenar. Baik oleh Amir sendiri, apalagi oleh
penduduk. Itulah sebabnya ia diajak jadi pengurus, meski sebelumnya ia belum
lagi jadi anggota.

"Tuan-tuan," katanya pada setiap pengurus yang mengajaknya jadi anggota


pengurus, "untuk menjadi salah seorang pengurus aku ini memang patut. Bahkan
menjadi ketua pun aku lebih patut lagi. Akan tetapi mengingat jasa tuan-tuan,
tentu saja aku tidak sepantasnya langsung menerima jabatan ketua itu, bukan?
Aku memang seorang yang terbilang berpendidikan tinggi. Karena aku telah
mengikuti berbagai kursus, seperti Inggeris, Belanda, Arab. Bahkan kursus
dagang, ilmu ukur untuk jadi mantri opnemer. Karena itulah aku sudah
sepatutnya menjadi

ketua saja, bukan? Akan tetapi karena aku amtenar, lebih baik aku jangan
diminta jadi ketua, apalagi jadi anggota pengurus yang lebih rendah dari ketua.
Mintalah aku menjadi penasihat saja. Minta secara resmi. Alamatkan suratnya ke
kantorku. Soalnya, karena jabatan penasihat sangatlah penting. Bahkan lebih
penting dari jabatan ketua. Oleh karena itu janganlah disepelekan." Demikianlah
katanya atau kira-kira yang akan dikatakannya bila berbagai anggota pengurus
suatu perkumpulan kampungku mengajaknya jadi pengurus.

Kemudian semua perkumpulan yang ada di kampungku, bahkan di luar


kampungku juga, mencantumkan namanya menjadi penasihat. Itu pun setelah
dimajukan permohonan secara resmi ke alamat kantornya dan dijawab pula
dengan resmi kepada perkumpulan-perkumpulan tadi. Dan sebagai penasihat ia
aktif sekali. Segala apa yang hendak dilakukan setiap perkumpulan kampungku,
haruslah meminta nasihatnya lebih dahulu. Sebab kalau tidak, baik karena lupa
atau karena menganggap tidak perlu sebab acaranya tidak penting, ia akan marah
besar. Sepanjang hari ia akan bertura-tura dan membusuk-busukkan nama
pengurus, kepada siapa saja dan di mana saja.

"Aku sebagai amtenar yang telah diminta dengan cara resmi jadi penasihat,
berhak diberi tahu apa yang akan kalian lakukan. Meski pada soal-soal yang
kecil sekalipun. Kalau aku katakan tidak baik, ya, tidak baik. Jangan lakukan.
Tapi kalau aku katakan baik, ya baik, baru boleh dilakukan. Ingatlah aku ini
amtenar," katanya dalam bertura-tura itu.

Maka karena terlalu sering pula ia menyebut dirinya penasihat itu, namanya pun
disebut Amir Penasihat, setelah Amir Tahu. Karena kata penasihat terlalu
panjang bagi lidah umum, maka disebutkan saja namanya dengan Amir Sihat.

Rumah yang didiaminya di kampungku, ialah rumah sewa yang terbaik. Sesuai
dengan martabatnya sebagai amtenar. Akan tetapi kebutuhannya pada rumah itu
tidaklah mutlak benar nampaknya. Barangkali ia hanya memerlukan sebuah
kamar tidur saja dan sebuah kamar mandi. Sebab ia sendiri jarang ada di rumah.
Pagi-pagi benar, jam enam kira-kira, ia telah keluar dari rumahnya. Mampir di
lepau kopi simpang tiga sebelum pergi ke kantor. Kantornya tutup jam dua, tapi
ia baru akan muncul di rumahnya apabila ia sudah ingin tidur.

Ketika ia mula dalang di kampungku, sebelum ia pergi kc kantornya, ia mampir


dulu di lepau kopi simpang tiga untuk sarapan pagi. Pada mulanya semua orang
ingin dan senang mentraktirnya. Dan setiap orang yang sempat mentraktirnya
dengan segelas kopi, sepiring ketan serta goreng pisang, senantiasa akan merasa
bahagia sekali. Sebab yang ditraktirnya bukan sembarang orang, melainkan
seorang amtenar yang berkancing baju dari perak dan berinisial "W" pula, yaitu
inisial dari nama Wilhelmina, ratu kerajaan Belanda. Tapi setelah lama
kelamaan, setelah setiap orang telah pernah mentraktirnya ganti berganti, entah
telah berapa kali masing-masingnya, rasa bahagia semua mulai berobah menjadi
rasa tersiksa. Lalu orang mencoba dengan liciknya membayari saja apa yang
lelah dimakannya, lalu pergi dengan diam-diam. Akan tetapi Amir kita ini
lambai maklum rupanya. Dan ketika ia mulai maklum, maka ia menunjuk saja
seseorang yang terdekat duduknya untuk membayarkan apa yang disarapannva.
Cuma segelas kopi, sepiring ketan dan goreng pisang. Setelah orang tahu betapa
perangainya, orang-orang datang ke lepau itu lebih pagi lagi dan cepat-cepat
pergi sebelum Amir datang. Hanya sehari dua Amir kita terkecoh. Maka
selanjutnya ia datang lebih pagi lagi. Tapi ketika semua orang sudah tahu, bahwa
ia datang lebih pagi pula, maka orang-orang merobah waktunya. Mereka baru
datang ke lepau setelah Amir

berangkat ke kantornya. Tapi tak mudah mengecoh seorang amtenar yang segala
tahu itu. Karena demi ia tahu bahwa orang-orang baru muncul setelah ia
berangkat ke kantor, maka ia akan meninggalkan pesan pada pemilik lepau, agar
disampaikan kepada salah seorang untuk membayarkan sarapannya. Nampaknya
ia tidak begitu perduli, apakah orang suka membayar atau tidak. Biasanya orang
tenis juga membayarkannya, meski dengan sungut-sungut. Akan tetapi
kemudiannya ia jarang ke lepau kopi itu waktu pagi-pagi. Jam enam lewat
sedikit ia telah berangkat ke kantornya tanpa mampir lagi lebih dahulu. Dan
orang menduga tentu ada orang-orang di lepau lain yang akan digetahinya. Sejak
itu, lepau kopi simpang tiga itu telah hidup seperti biasa lagi.

Aku tidak tahu persis di mana Amir makan siang dan makan malam. Orang
kantornya pulang jam dua. Tapi ia tiba di rumahnya bila matanya sudah
mengantuk. Kalau ia sudah pulang jam empat, maka jam lima sore ia lelah pergi
lagi. Pulangnya setelah larut malam, setelah kedai-kedai tutup. Paling cepat ia
pulang apabila bioskop telah usai pertunjukan pertamanya.

Setelah lama kehidupan lepau kopi simpang tiga itu tertib dan teratur seperti
sediakala sebelum Amir pindah ke kampungku, keadaan pun terguncang lagi.
Amir kembali sering muncul lagi. Tapi waktunya tidak teratur. Ada kalanya
pagi-pagi benar, setelah orang selesai sembahyang subuh di mesjid. Ada kalanya
sedikit siang, yaitu sebelum waktu kantor. Ada kalanya ia muncul sore, atau
lewat senja atau pada waktu lepau hampir tutup dekat lengah malam. Dan siapa
saja yang ada waktu itu, terkena getahlah dia dengan semangkok kopi dan
sepiring ketan sama goreng pisang. Dan kalau lepau kopi telah tutup, ia ikan
beralih tempat ke pos ronda yang tidak begitu jauh letaknya.

Ia bukan sama sekali tidak disukai orang di kampungku. Ia pandai membuat


lelucon hingga orang terpingkal-pingkal tertawa. Kalau ia bercerita, gerak-
geraknya mengasyikkan. Melihat gerak-geriknya saja orang takkan mungkin
tidak ikut memperlihatkan giginya. Cerita-ceritanya tidak pernah jorok atau
merendahkan orang lain. Dan kadang-kadang ia menyuarakan sepotong
nyanyian. Nyanyian yang sering didendangkan yaitu lagu Arab "Al-Afain".
Memang suaranya syahdu. Tapi guraunya datang bila hatinya senang. Hatinya
senang kalau perutnya sudah kenyang. Soal isi perut ia tak memilih. Asal bisa
dimakan dan empuk, sudah cukup. Pada saat-saat yang menyenangkan itu,
sesungguhnya orang tidak keberatan mentraktirnya.

Tapi kenikmatan yang paling besar baginya, ialah bila diundang orang kenduri,
baik untuk suatu hajat atau pesta kawin. Di saat itu ia memperlihatkan benar
betapa kapasitas perutnya. Ia selalu akan memilih tempat duduk di sebelah
ujung, tempat orang yang dimuliakan didudukkan. Biasanya di bagian itu lauk
pauk yang terlezat ditaruhkan. Misalnya kepala kambing, ikan besar atau
singgang ayam. Jika tidak ada orang mempersilakannya duduk di sana, ia
sendirilah yang berinisiatif. Tak malu-malu ia menyuruh orang bergeser ke
tempat lain. Tentu saja dengan gayanya yang bergurau. Sehingga orang tak
merasa tersinggung.

Dan kalau ia makan, seluruh piring lauk-pauk di hadapannya bisa licin isinya,
selicin habis dijilat kucing. Kalau kebetulan lauk-pauk yang disukai habis, tak
malu-malu pula ia minta lauk-pauk ditempat orang lain. Semuanya
digayakannya dengan bergurau. Sehingga suasana menjadi meriah.

Akan tetapi apabila kenduri itu sangat sederhana hidangannya, sehingga ia


takkan dapat melepaskan seleranya, diambilnya dua buah pisang, diremas-
remasnya bersama nasi yang telah berkuah gulai, sampai melejit di sela-sela
pangkal jarinya. Tentu saja ada orang yang kejijikan, hingga seleranya patah.
Itulah vang dikehendakinya. Maka dapatlah ia makan enak dan memilih lauk-
pauk vang disukainya.

Setelah orang tahu betapa besar kemampuan dan nafsu makannya, lalu orang
sebutkanlah namanya jadi Amir lambung. Lambung artinya perut, seperti perut
kapal yang dapat memuat segala macam dalam jumlah yang bukan main
banyaknya.

Selain ia mendapat gelar Amir Tahu, Amir Sihat, Amir Lambung atau Amir
macam-macam lainnya, ia pun pernah memperoleh gelar Amir Ula. Ula dalam
bahasa kampungku artinya ular. Sebagai ular ia dapat membelit sesuatu sebelum
dipatoknya. Tanpa menghilangkan arti ular, Amir Ula berasal dari kata ulama
yang dihilangkan "ma"nya, karena ia beberapa kali membawakan profesi ulama.

Orang-orang di kampungku pada masa itu ialah orang baik-baik, alim-alim dan
taat-taat beribadah. Mesjidnya meski tidak sebesar dan seindah mesjid di
kampung lain, akan tetapi selalu ramai dikunjungi orang. Terutama pada
sembahyang malam hari, seperti Magrib, Isya dan juga Subuh. Setiap sore hari
Selasa, perempuan belajar memahirkan bacaan Quran. Dan setiap sore Kamis
belajar ilmu agama, tentang etik, moral dan tentang yang halal dan yang haram,
yang sunat dan yang makruh. yang wajib dan yang tidak. Guru-guru untuk
pelajaran agama sering kali juga didatangkan dari kampung atau tempat lain
yang jauh. Dan selagi guru-guru itu memberikan pelajaran, sebuah bekas kaleng
sardencis diedarkan secara beranting.

Berdentang-berdenting bunyi uang dijatuhkan kc dalamnya. Uang itu, selain


untuk sedekah untuk guru, juga untuk infak mesjid. Sedangkan orang laki-laki
mendapat pelajaran pada waktu malamnya. Dan setiap hari sehabis sembahyang
Asyar, anak-anaklah yang meramaikan mesjid itu. Mereka belajar membaca
Quran.

Dan setiap penetap baru akan lekas dihormati dan disenangi orang apabila ia
sering kelihatan bersembahyang di mesjid. Amir pun melakukannya untuk
menarik simpati penduduk kampungku. Pada mulanya ia sangat rajin
sembahyang berjemaah pada Magrib dan terus tinggal di mesjid sampai waktu
Isya. Antara kedua waktu itu, ia bacalah Quran. Alangkah indahnya bacaannya
dan merdu suaranya. Orang terpesona mendengarkannya. Sekali-sekali ia ikut
menyerukan Azan. Semua telinga yang dapat disentuhnya menimbulkan
gerinding pada pori mereka yang peka.

Itulah pangkal mulanya ia dipandang sebagai ulama juga. Beberapa kali ia telah
menjadi imam sembahyang. Dan beberapa kali pula ia jadi imam pada waktu
sembahyang Jumat. Akhirnya ia diminta jadi khatib. Sedangkan kaum
perempuan memintanya pula memberikan pelajaran agama pada petang Kamis
itu. Dan meski ia orang penetap di kampung kami, dan menjadi amtenar pula,
kaum perempuan itu tidak hendak melupakan kewajiban mereka untuk
mengedarkan kaleng sardencis secara beranting.

Karena terpikat oleh kajiannya, isi kaleng sardencis itu lebih banyak dari
biasanya. Dalam memberi pelajaran, ia tidak saja mengutip ayat dan hadis dalam
bahasa Arab dengan fasih, sering pula ia menyelipkan pepatah dan petitih, serta
pantun-pantun. Mengutip pepatah dan petitih serta pantun dalam pengajian
sangat jarang dilakukan orang. Namun ketika Amir mengutipnya, hati
perempuan yang mendengarnya jadi sangat terpikat padanya. Hati perempuan
terpikat itu, tidaklah disalahgunakannya. Ia tak hendak menduai isterinya,
katanya, ketika pada suatu ketika ada orang yang meninjau hatinya untuk
mengambil seorang janda atau gadis di kampungku.

Pada suatu kali, ia diminta orang lagi menjadi khatib Jumat. Sebagaimana biasa
yang dikehendakinya, permintaan haruslah disampaikan secara resmi dengan
surat dan dialamatkan ke kantornya. Pada Jumat yang ditentukan tiba, hampir
saja ia lupa. Di mesjid orang sudah mulai gelisah menantinya. Seseorang telah
pergi ke rumahnya menanyakannya. Di simpang ia telah dilihat-lihat kalau sudah
muncul dari salah satu jalan. Pekerjaan itu seperti sia-sia saja. Sehingga
pengurus mesjid segera saja mencari kata sepakat untuk memilih salah seorang
dari yang hadir sebagai khatib. Karena tanpa khotbah, rukun sembahyang Jumat
akan kurang.

Ketika kata mufakat sudah putus dan telah disampaikan ke alamatnya, dan orang
yang diminta itu telah setuju pula, Amir pun muncul dengan suarabaritonnya
mengucapkan salam di pintu mesjid.

Ia langsung kc mimbar yang terletak di mihrab. Sekali ini khatib di kampungku


memang istimewa. Bukan karena ia seorang amtenar, melainkan karena khatib
yang seorang ini memakai pakaian dinasnya yang berkancing perak dan
berinisial lcttcr "W". Kopiahnya agak sempit kelihatan. Karena ketika akan naik
mimbar salah satu kopiah orang yang hadir di situ dicomotnya saja, sebab
menjadi sangat ganjil apabila khatib tidak memakai tutup kepala waktu
membawakan khotbahnya.

Mula-mula tentu saja ia minta maaf kepada hadirin, karena ia terlambat datang
dan tak sempat mengganti pakaiannya di rumah lebih dahulu. Kelambatannya
karena ketika ia hendak pulang dari kantornya, ia dibawa Tuanku Demang untuk
menghadap tuan Aspiran bersama-sama untuk membicarakan sesuatu masalah
penting. Sehingga ia tak sempat mandi dulu dan dengan keringat di badannya ia
sudah harus berdiri di mimbar.

Meski badannya berkeringat, khotbahnya lancar dan menarik, hingga tak


seorang pun yang bosan mendengarkannya. Pada ujung khotbahnya pandai
sekali ia membelokkan persoalan agar kaum muslimin yang hadir ingat pada
kewajibannya atas kondisi mesjid mereka. Mula-mulanya ia memandang
ke loteng agak lama. Orang menyangka mulanya,bahwa ia telah kehilangan
bahan khotbah. Tapi tidak demikian halnya. Ketika segenap mata ikut
memandang loteng itu, tangannya menunjuk seraya berkata, "Itu.'' Dan segenap
mata beralih ke arah sasaran di loteng.

"Itu," katanya seraya menunjuk ke arah yang lain.

Dan semua mala mengikuti arah telunjuk Amir menunjuk.

"Itu." kata Amir pula mengalih telunjuknya.

Semua mala pun mengikuti arah telunjuk itu lagi.

Amir menunjuk ke berbagai arah di loteng, di dinding dan di tiang-tiang


penyangga. Karena gayanya yang meyakinkan, memaksa seluruh mala menoleh
ke arah yang ditunjuknya.

"Semuanya sudah rusak, bobrok, wahai kaum muslimin yang beriman," katanya
setelah ia menunjuk-nunjuk itu. "Akan kita biarkan sajakah rumah Tuhan ini
tetap rusak, tetap bobrok? Tidak, tidak boleh kita biarkan. Marilah kita perbaiki
bersama-sama. Marilah kita buang daki dunia lebih banyak dari biasanya. Agar
Tuhan tidak memurkai kita. Agar Tuhan tidak memasukkan kita kc neraka
jahanam, wahai kaum muslimin yang beriman. Kita telah dibcri-Nya rahmat.
Rahmat itu bila tidak kita gunakan untuk jalan Allah, ia akan menjadi daki
dunia, akan menjadi laknat. laknatullah. Agar setiap orang dapat memberikannya
dengan secara ikhlas, aku akan berdiri di pintu mesjid ini sehabis sembahyang
menanti keikhlasan kaum muslimin. Dan

Jumat itu adalah Jumat yang paling bersejarah di kampungku. Sejarah yang
paling tidak menyenangkan, meski pun hasil infak mesjid mencapai rekor yang
belum pernah terjadi. Dan hari itu, hari dimulainya suatu pengkajian dan
pergunjingan tentang tingkah laku yang serba buruk dilakukan Amir.
Sembahyangnya dan kecakapannya tentang ilmu agama itu hanya digunakannya
untuk mengelabui mata orang banyak. Untuk popularitasnya saja. Lalu orang
mengkajinya lebih mendalam. Bahwa ia datang ke rumahnya untuk tidur saja.
Kemanakah ia pada waktu-waktu sembahyangnya. Karena ia tidak pernah hadir
di mesid pada sembahyang Lohor dan Asyar. Bahkan pada waktu Magrib serta
Isya pun ia jarang kelihatan, selain pada waktu ia mula-mula datang dulu.
"Coba pikir," kata seseorang, "pada hari Jumat itu ia datang langsung dari
kantornya. Setelah menanggalkan sepatunya, ia langsung berkhotbah. Habis
berkhotbah langsung bersembahyang. Dan siapa yang melihatnya mengambil
wuduk dulu. Berkhotbah dan bersembahyang tanpa wuduk tidak syah, bukan?"

"Jelas kesediaannya mengajar mengaji agama selama ini, bukan karena Allah.
Melainkan karena sedekah," kata yang lain pula.

"Di lepau si Liput tak pernah ia membayar apa yang ia makan," yang lain lagi
menambahkan.

"Pada hal ia amtenar. Tentu gajinya besar, lapi kemana saja uangnya?"

"Kalau begitu, ia bukan ulama. Melainkan ula," kata seorang yang lain lagi.

"Amir Ula dia kalau begitu. Tukang belit," seseorang membuat kesimpulan.

Sejak itu ia kehilangan simpati secara total di kampungku. Bila ia datang ke


tempat orang sedang berkumpul-kumpul, dengan diam-diam orang pun
membubarkan diri. Seorang demi seorang berlalu. Kalau ia ketemu seseorang
dan akan diajaknya beromong-omong, mendadak saja orang itu mengatakan
bahwa ia ingat pada urusannya yang penting. Itu terjadi di mana saja, di jalan, di
lepau kopi simpang tiga, di tempat orang main badminton. Lama sekali baru ia
mengerti mengapa orang menghindar darinya. Dan ketika ia sadar bahwa ia telah
dikucilkan orang kampungku, ia pun angkat kaki ke kampung lain di kota kami.

Di kampung itu ia membuat sejarah yang sama. Tapi orang kampung itu
membalasnya dengan sempurna kontan.

Kejadian itu pada bulan puasa, la menampilkan dirinya sebagai imam


sembahyang tarawih. Dipilihnya ayat-ayat yang panjang dengan irama yang
indah-indah. Di mesjid itu orang membiasakan sembahyang tarawih termasuk
witirnya hanyalah sebelas rakaat. Tapi ia melakukannya dua puluh dua rakaat.

Entah karena kekenyangan di waktu berbuka puasa atau karena tablig yang
cukup panjang juga hari itu disampaikan buya Haji Makmur, di antara jemaah
ada yang tak mampu lagi menahan kantuknya selagi Amir membacakan ayat-
ayat sembahyang. Ada orang yang tak mampu melawan kantuknya lagi, persis di
saat sedang rukuk. Sehingga badannya terdoyong ke depan menubruk orang di
depannya. Orang yang kena tubruk itu pun tak dapat mengendalikan dirinya
pula. Ia menubruk orang yang di depannya lagi. Orang yang kena tubruk itu
sudah terlalu tua. Sehingga ia terjerembab ketika hendak berdiri sehabis rukuk.
Orang pun riuh karena ada yang tak mampu menahan ketawanya. Namun
sembahyang diteruskan juga.

"Atagafirullah, sampai begitu? Tak tahu aku. Betul-betul tak tahu. Begitu
khusuknya aku sembahyang,!" kata Amir setelah mendengar apa yang terjadi
waktu sembahyang yang diimaminya.

Dan beberapa malam kemudian, ia tampil lagi hendak mengimami sembahyang


tarawih. Semua orang, terutama yang tua-tua, sudah gelisah. Takut kalau-kalau
tarawih akan kacau balau lagi. Dan ia akan melakukan rakaat sampai dua puluh
dua kali lagi, hal yang tidak dilakukan jemaah di mesjid itu. Pengurus mesjid
serta merta memperingatinya agar memilih ayat yang pendek-pendek saja dan
tarawihnya hanya sebelas rakaat sudah cukup seperti yang dilazimkan.

Amir memang memilih ayat yang pendek-pendek saja. Akan tetapi rakaat
ketujuh, ia memilih ayat yang meski pun cukup pendek, tapi jarang dibaca
orang. Sehingga ia salah mengucapkannya. Kesalahannya segera dibetulkan oleh
salah seorang ulama dengan mengulanginya dengan suara yang keras. Pada
rakaat kesepuluh Amir melakukan kesalahan yang sama pada ayat vang lain.
Sehingga terpaksa jemaah itu mengulanginya sekali lagi.

Dan setelah selesai rakaat ke sebelas, ulama itu lalu mengucapkan salam dengan
suara lebih keras sebagai penutup sembahyang. Namun Amir yang jadi imam,
nampaknya hendak mencukupkan tarawihnya sampai dua puluh dua rakaat. Tapi
ulama yang telah dua kali mengkoreksi bacaan Amir, tidak hendak meneruskan
sembahyangnya. Ia berdiri juga, tapi untuk pergi. Melihat ulama itu pergi, maka
jemaah lain, jadi kebingungan. Karena peristiwa itu baru pertama kali terjadi.
Namun kepergian ulama tua itu, yang biasa juga menjadi imam di mesjid itu,
membawa pengaruh juga. Mulailah ada orang yang meneruskan. Mungkin
karena berpendirian, lebih banyak rakaat dipakai, lebih baik. Meski yang mereka
biasakan hanya sebelas rakaat saja tarawihnya.

Ketika rakaat keempat belas, Amir terus rukuk setelah mambaca alfatihah, dan
tidak membaca ayat lainnya, orang pun mulai sadar, bahwa imam mereka sudah
sesat. Tapi tak ada orang yang hendak memperbaiki kesesatan itu. Lalu keluarlah
seorang demi seorang dari mesjid itu. Maka tinggallah imam

yang sesat itu seorang diri meneruskan tarawihnya sampai dua puluh dua rakaat.
Dan ketika ia selesai memandang ke kiri dan ke kanan sambil mengucapkan
salam, barulah ia sadar, bahwa mesjid telah kosong. Yang tinggal hanya dia
seorang dan para jemaah wanita, karena rasa segannya.

Di luar mesjid, orang tua yang pertama-tama meninggalkan mesjid itu berkata
pada orang-orang yang merubunginya. "Tidak wajib bagi umat Islam mengikuti
imam yang sesat," katanya, "Apalagi setelah diperbaiki, masih juga sesat."

Beberapa orang pergi berlindung di tempat vang gelap untuk mengetahui apa
yang dilakukan oleh imam yang ditinggalkan jemaahnya itu, setelah ia tahu tak
seorang pun lagi yang mengikutinya.

Tak seorang pun yang tahu, apa yang dikatakan dan dilakukan Amir ketika tahu
bahwa pengikutnya telah meninggalkannya. Apakah ia berteriak-teriak, "Wahai
pengikutku, kemana kalian?" seperti yang diteriakkan raja Richard III yang
ditinggalkan kuda setelah terjatuh pada satu peperangan yang menentukan. Tidak
seorang pun yang tahu.

5 Pak Menteri Mau Datang


"Pak Menteri mau datang. Pak Menteri mau datang. Pak Menteri mau datang."

Entah sudah berapa ribu kali kalimat itu diucapkan oleh para pegawai jawatan
itu semenjak tiga minggu yang lalu. Yaitu semenjak telegram yang mengabarkan
kedatangan menteri tiba. Sekurangnya sepuluh kali sehari, mestilah telah
terloncat dari setiap mulut seorang pegawai. Tentu saja harus begitu. Sebab
kedatangan menteri, merupakan peristiwa penting dalam sejarah dunia
kepegawaian di provinsi-provinsi. Meski kedatangan itu tidak akan tercatat
dalam buku sejarah anak sekolah.

Setiap orang talhu, bahwa menteri itu seorang makhluk yang punya darah dan
daging seperti manusia biasa saja, seperti dirinya sendiri atau seperti Mak Uyun,
si jaga kantor yang selalu merasa demam kalau tidak kena hardik sekali dalam
sehari. Namun orang pun tahu juga, bahwa pada darah dan daging seorang
menteri mengalir semacam mukjizat sekeramat lampu Aladin. Malah lebih
istimewa

lagi dari lampu Aladin, seorang menteri juga punya semacam zat yang dapat
melamurkan seseorang dari jabatannya yang tinggi, seperti kerjanya zat cair
yang dapat melamurkan logam. Terutama oleh Kalikulah, yang baru saja
diangkat jadi Kepala Jawatan itu; sangatlah diinsyafinya betapa artinya
kedatangan Menteri itu.

Ketika telegram itu sampai ke tangan Kalikulah, tanpa tunggu apa-apa, keluarlah
perintahnya untuk mengadakan rapat Kepala Bagian di jawatannya.

"Pak Menteri mau datang. Apa usul Saudara-saudara?" tanyanya memulai rapat
tanpa basa basi dan kata pengantar.

Kepala Bagian itu semua terdiam saja. Karena mereka belum mengerti tujuan
rapat itu. Dan mereka saling memandang dengan sudut mata.

"Lekaslah Saudara. Lekaslah. Sebulan lagi Tak Menteri sudah ada di sini," desak
Kalikulah yang sudah kehilangan kesabaran. Seorang Kepala Bagian yang
tertua, Pak Pono, mengarungkan telunjuknya seperti murid sekolah yang
ditanyai guru ketika membuat ulah, pelan-pelan dan kemalu-maluan.

"Ya? Apa usul saudara?"

"Supaya. .. supaya. . kata Pak Pono tertegun-tegun.

"Cepatlah. Cepatlah. Waktu sebulan, bukan waktu yang panjang," desak


Kalikulah bertambah tak sabar.

"Oleh karena Pak Menteri kita ini, baru pertama kali datang ke sini, sedangkan
Menteri sebelumnya belum. . ."

"Usul. Usul. Usul. Aku perlu usul," Kalikulah memotong dengan ucapan yang
kian lama kian ccpat. "Apa usul Saudara untuk menyambut kedatangan Pak
Menteri?"

"Usul saya supaya Pak Menteri. . ia tertegun lagi. "Usul saya supaya beliau, Pak
Menteri kita itu, sebelum ia eh, beliau, sebelum beliau datang kemari lebih baik,
ya, maksudku yang sebenarnya ialah .. ."

"Itu usul atau pidato?" sela Kalikulah tambah tak sabar, karena merasa seolah
Menteri sudah tiba saja di ambang pintu kantornya.

"Ya ini usul."

"Penting apa tidak?"

"Ya. Penting, kalau dikatakan penting. Tapi kalau dikatakan tidak penting. . . ya.
. . anu.. ."

"Sudah. Sudah. Sudah. Aku perlu hanya usul yang penting. Yang kuperlukan
sekarang, yaitu usul bagaimana seharusnya kita menyambut kedatangan Menteri
kita," kata Kalikulah, memotong lagi. Ia bicara begilu cepatnya, hingga Tan
Tejo, si Kepala Kantor yang bertindak jadi sekretaris rapat dan duduk

di ladapan Kalikulah, terpaksa menutup mulut dan hidungnya untuk


membendung percikan air ludah dari mulut Kalikulah.

"Ooo, begitu?" kata lain-lain Kepala Bagian hampir serentak. Rupanya mereka
baru mengerti maksud rapat itu diadakan.

Maka berpancaranlah usul demi usul. Dan segala usul disaring dan disaring lagi.
Jadilah suatu rencana. Untuk itu habislah waktu sehari penuh. Tapi pada hari
esoknya rencana itu dirobah lagi. Karena semalam-malam harinya setelah ia
berbicara dengan isterinya, ditemukan rencana baru yang lebih hebat. Rupa-
rupanya setiap Kepala Bagian punya rencana baru yang mentereng pula. Dan
dalam tiga hari berapat terus menerus, barulah rencana itu selesai sama sekali.
Karena begitu besar dan hebatnya, maka Kalikulah memerintahkan supaya mulai
saat itu segala urusan dinas kantor dibekukan. Segala tenaga dan pikiran harus
dikerahkan untuk menyelenggarakan segala rencana penyambutan. Seluruh
pegawai harus kerja siang dan malam. Melembur. Dan jika perlu di kantor
disediakan makan.

"Ini seperti rencana penyambutan raja saja, l'ak Kalik," kata salah seorang
Kepala Bagian yang termuda usianya.

"Apa salahnya?" cctus Kalikulah heran.


"Eh. Negeri kita ini suatu Republik yang demokratis. Bukan kerajaan."

"Juist. Justeru karena itulah. Karena kita tidak punya raja, Pak Menteri kita
muliakan sebagai raja. Dan penyambutan ini bukan perintah Pak Menteri,
melainkan kehendak kita yang jadi rakyat. Jadi samalah dengan kehendak
'rakyat. Apa itu tidak demokratis?" sanggah Kalikulah.

Dan Kepala Bagian yang muda itu terdiam. Sebab sekaranglah ia baru tahu,
bahwa di Negara Republik yang demokratis, seorang Menteri harus dipandang
sebagai raja. Sedangkan selama ini, seorang Menteri hanya dianggapnya sebagai
pemimpin dari beberapa jawatan saja.

Semenjak selesai urusan rapat-rapat, Pak Pono yang selama ini jadi kebencian
gadis-gadis juru tik karena selalu suka mencari kesalahan tik, tak lagi sececah
pun pantatnya lekat di kursinya. Ia selalu mondar mandir sambil memijit
keningnya yang kerinyutan. Sedang pada hari-hari sebelumnya ia hanya
terbenam pada kursinya saja dan di atas mejanya bertimbun segala macam surat.
Tapi kini mejanya sudah penuh oleh debu dan kertas bertebaran. Dan kerjanya
selalu mondar mandir, mondar dan mandir. Seperti orang yang tak tahu lagi

apa yang harus dikerjakannya. Mukanya yang pucat, kini sudah jadi kelabu.
Namun meski bagaimana pun keadaannya, taklah berani ia beristirahat di
rumahnya. Sebab Kalikulah setiap waktu menanyakannya. Kadang-kadang juga
ia dibawa melihat-lihat persiapan di tempat-tempat lain. Malah sampai ke luar
kota, dan pulangnya baru larut tengah malam.

Pada hal satu-satunya orang yang benar-benar sibuk, selain Kalikulah, ialah
Kepala Bagian Keuangan dan Perlengkapan. Tak hentinya ia kedatangan tamu.
Semuanya adalah anggota Panitia Penyambutan, yang datang meminta segala
macam ini dan itu bagi kepentingan seksinya. Sungguhpun demikian berat
kerjanya, disambilkannya juga membeli segala macam tetek bengek berbagai
keperluan dan bahan penyambutan Pak Menteri itu. Umpamanya, sejak dari
kertas-kertas berwarna sampai kepada bambu untuk gaba-gaba. Sejak dari lem,
paku, kain bendera dan spanduk sampai kepada membeli nasi ramas ke kedai. Itu
dilakukannya sendiri. Dan karena tergesa-gesa selalu, oleh karena kesempitan
waktu, segala blangko kuitansi tak sempat diisi. Hanya disuruh tanda tangani
saja kepada pemilik toko. Lengkap dengan stempelnya. Beruntung isterinya
dapat membantu mengisikan kuitansi itu dalam empat rangkap di rumahnya.
Kesibukan itu bukan sekedar di kantor saja terjadinya. Malahan ada
pengaruhnya ke seluruh kota. Ibu-ibu di rumah ikut bertambah kerjanya. Sebab
setiap anaknya yang masih bersekolah mesti punya pakaian seragam putih.
Anak-anak sekolah dengan pakaian serba putihnya akan disuruh berbanjar di
sepanjang jalan di kala menteri datang nanti. Kelas-kelas sekolah kini mulai
kosong semua. Karena semua murid sekolah menengah berlatih aubade dan
tarian massal setiap hari di tanah lapang sepak bola. Untuk itu, setiap harinya
dengan berbaris mereka berangkat dari sekolah masin-masing ke tanah lapang.
Sehingga hampir pada setiap simpang dirasa perlu dijaga oleh polisi untuk
mengatur lalu lintas. Dan polisi itu perlu pula diberi uang makan. Tak kurang
dari seribu murid berlatih aubade dan dua ribu pula yang melakukan tarian
massal. Tarian massal itu dua macam pula jenisnya. Ada yang Timur dan ada
yang Barat. Yang dikatakan tarian Timur ialah semacam tari payung dan tari
selendang. Dan yang Barat semacam senam dengan alat golong-golong dan
tongkat. Murid-murid yang ikut menari tarian Timur itu, yang laki-laki akan
memakai pakaian teluk belanga sedang yang perempuan memakai baju kurung.
Bahan kainnya disediakan oleh Jawatan. Yang menjahitnya ibu-ibu mereka.

Pakaian itu akan jadi inventaris, yang sewaktu-waktu bila ada Menteri lain
berkunjung, akan digunakan kembali. Dan kepada seratus orang gadis sekolah
menengah yang cantik diwajibkan meminjam pakaian kebesaran nenek moyang
zaman purbakala. Untuk mencarinya ke mana-mana, mereka dibenarkan tidak
masuk sekolah. Dengan mengenakan pakaian nenek moyang purbakala itu
mereka akan dibariskan menyambut kedatangan Pak Menteri.

Seminggu lagi menjelang kedatangan Pak Menteri, seluruh program telah


tersusun rapi. Menyusun program itu tidaklah semudah membuat program
sandiwara atau pun program rapat raksasa yang akan dihadiri anak sekolah dan
pegawai negeri. Sebab segala sesuatunya harus tersusun, bukan saja rapi, tapi
harus tepai pula. Misalnya jam berapa pesawat terbang mendarat. Berapa menit
Pak Menteri istirahat di airport. Berapa menit perjalanan mobil yang melalui
jalan protokol dari airport itu sampai ke penginapan. Bahkan juga sudah dihitung
waktu yang dihabiskan jika Pak Menteri berjalan kaki dari satu tempat ke tempat
yang lain yang bakal ditinjaunya. Dan jalannya Pak Menteri bukanlah jalannya
para atlit di kala pawai dalam suatu upacara di stadion, melainkan seperti
jalannya seorang penganten baru pergi keija. Pendeknya, ke tempat mana pun
akan dikunjungi Pak Menteri, bukan
jauh jaraknya yang dikirakan, melainkan berapa lama jarak itu ditempuh. Untuk
mengukurnya, Kalikulah sendiri yang pergi. Di tangannya tergenggam sebuah
stopwatch. Sedangkan Pak Pono yang selalu membayangi kc mana Kalikulah
pergi, mencatati pada buku kecil.

Dan telegram sudah pula dikirimkan ke Ke-menterian. Menanyakan jam berapa


biasanya Pak Menteri bangun pagi, jam berapa tidur siang dan tidur malamnya.
Jam berapa waktu makannya, baik pagi, siang atau malamnya. Dan makanan itu
apa pula macamnya bila pagi, bila tengah hari dan bila malam. Bahkan makanan
apa yang paling disukai sebagai cuci mulut. Juga sampai ditanyakan pula,
apakah Pak Menteri suka duren dan jengkol, karena waktu itu kedua buah-
buahan itu lagi musimnya. Dan jawabannya sudah diterima.

Tambah dekat waktunya Pak Menteri tiba, tambah berdebarlah segala hati. Dan
tambah sibuklah setiap orang. Tambah seringlah marah tersembul dari mulut
Kalikulah. Dan muka Pak Pono yang sudah kelabu, kini sudah mulai hijau.
Matanya sudah cekung. Dan tangannya sudah semakin sering memijit jangat di
pangkal hidungnya. Sedang nafasnya sudah segan keluar masuk secara teratur.

Bukan Pak Pono saja yang keletihan. Seluruh

pegawai di Jawatan Kalikulah sudah dihinggapi wabahnya. Kebanyakan mereka


itu baru jam sembilan datang ke kantor. Itu sudah termasuk lekas. Namun ilu
tidak lagi menjadi soal benar oleh Pak Pono, yang biasanya begitu teliti terhadap
kehadiran para pegawainya setiap hari. Sebab ia sendiri dalang sudah selalu pula
terlambat. Ketika datang itu, matanya merah bukan karena marah, tapi karena baru
bangun tidur. Sebab setiap malam ia baru pulang pada jam dua dari menghadiri
latihan sandiwara, yang sesungguhnya tak perlu dihadirinya. Tapi Kalikulah
selalu mengajaknya pergi bersama. Dan para pegawai itu, bila sudah ada di
kantor, lebih menyukai duduk bergerombolan, omong-omong tentang segenap
pemandangan yang menarik mata muda mereka selama diadakan berbagai
latihan-latihan itu. Bekerja untuk keperluan kantor yang rutin, praktisnya mereka
tidak lagi. Dan kalau datang Pak Pono ke kelompok pegawai itu bergerombol,
bercerai berailah mereka semua, seperti lebah yang sarangnya kena tampar
elang. Pada hal sebenarnya mereka hanya memindahkan tempat mengobrol ke
tempat yang lebih aman.

Dalam suasana seperti itulah. Pak Ayub datang dari suatu dusun yang terpencil.
Ia dalang hendak mengurus supletoir gajinya yang sudah setahun lebih

belum juga selesai. Setiap bulan ia sudah menyurati jawatannya minta diuruskan.
Namun bagaimana pun ia menunggu, tak sebetik berita balasan diterimanya.
Lalu kini ia sendirilah yang datang.

Mula-mula ia cari Pak Pono. Tapi Pak Pono semenjak kemarin tidak masuk,
demikian keterangan pegawai kantor itu kepadanya.

"Bagaimana dia? Sakit?" tanya pak Ayub.

"Tak tahu."

"Kapan ia masuk?"

"Tak tahu."

"Mengapa tak tahu?"

"Pak Menteri mau datang."

"Jadi kalau Pak Menteri mau datang, semua orang tak perlu kerja lagi? Kenapa?"
Pak Ayub bertanya heran karena tidak melihat seorang pegawai pun bekerja
menurut pengetahuannya.

"Itu bukan urusanku. Itu urusan Pak Menteri," kata pegawai itu seraya
meninggalkan Pak Ayub yang belum lagi puas dan pulih perasaannya dari
keheranan dan tak mengerti itu.

Kemudian ia pergi ke kamar Kepala Bagian Keuangan dan Perlengkapan.


Kepala Bagian ilu sedang dihadapi oleh beberapa orang yang sedang bermata
merah dan bermuka merah. Ia sedang menggores angka-angka di atas kertas.
Dalam menggores itu ia mengomel juga.

"Ini sudah melampaui anggaran. Ini sudah terlalu/' katanya.

"Terlalu? Melampaui anggaran?" sela salah seorang tamunya.

"Ya. Masa sampai tiga ribu rupiah."


"Jangan banyak bicaralah. Kalau mau bayar, bayar. Kami sudah mau menolong
kalian. Yang datang bukan Menteri kami. Tapi Menteri kalian," kata tamu itu
tambah meradang.

Kepala Bagian Keuangan itu memandang jengkel kepada tamunya. Mata jengkel
bertemu dengan mata merah tamunya. Tapi Kepala Bagian Keuangan itu
badannya kerempeng, maka kepalanya cepat tertekur, seperti seekor anjing kurus
melihat buldog yang galak.

"Berapa saudara minta sekarang?"

"Semua."

"Semua?"

"Ya. Semua."

"Aku dapat perintah, hanya separoh anggaran boleh dibayar."

"Aku tidak perduli dengan perintah itu. Aku perlu semua. Aku sudah bosan
dengan semua komedi kampungan kalian. Setiap aku datang kemari minta uang,
saudara bilang sama Pak Kalik. Aku minta sama Pak Kalik, dia bilang sama
saudara. Aku tidak mau jadi bola lagi Kalau hari ini aku tidak terima uang itu
semua, yah, selamat tinggal. Takkan kuterus-

kan pekerjaan Panitia ini lagi."

Kepala Bagian Keuangan itu jadi kalang kabut pikirannya. Sebentar ia termangu.
Lalu katanya kepada semua tamunya tanpa kehilangan keangkuhannya; "Saudara
juga perlu uang sekarang?"

"Kalau tidak untuk itu, mengapa kami kemari?" jawab tamu-tamu itu dengan
hampir serentak dan tidak kalah angkuhnya pula.

"Berapa?"

"Tentu saja semua. Di sini bukan pasar, bung. Tak ada tawar menawar. Mau kasi,
kasi."
Kepala Bagian Keuangan itu merasa jalan darahnya terhenti. Belum pernah ia
berhadapan dengan pembangkangan seperti itu selama ia menjadi Kepala Bagian
Keuangan. Pikirannya terkacau balau. Ia tahu, bahwa tamunya sudah pada
marah. Tapi kalau permintaan mereka diluluskan, keuanganlah yang jadi kacau
balau. Lama ia mempertimbangkan antara kacau pikiran dengan kacau
keuangan. Kalau sampai keuangan kacau, muka Kalikulah yang penuh bekas
jerawatan itu akan menjadi hitam. la tak mau dibentaki sepnya itu. Tapi kalau
diminta pertimbangan Kalikulah, ia sudah tahu apa yang dikatakan Kalikulah,
"Bijaksana, saudara. Bijaksana."

Dan dalam pada ia merenung itu, matanya teralih pada Pak. Ayub yang sedang
berdiri di ambang pintu. Pak Ayub memandang sayu kepadanya. Sebentar
pandangan mereka bersabung, lalu Pak Ayub bicara.

"Aku Ayub. Datang dari dusun yang jauh. Aku datang ke sini minta keterangan
tentang supletoir gaji yang sudah setahun tak berketentuan."

"Itu bukan urusanku," kata Kepala Bagian Keuangan yang merasa dirinya
terkecoh oleh pandangan sayu Pak Ayub, yang mulanya disangkanya solider
kepadanya.

Tapi ucapan itu sebagai bentakan sampai ke telinga Pak Ayub. Ia dari tadi sudah
mulai marah juga. Lagi pula ia sudah meraba sudah tua untuk menerima
bentakan. Lalu katanya, "Aku jangan dibentak, Sutan. Aku datang ke mari bukan
untuk dibentak. Aku datang meminta hakku."

"Tak ada waktu. Pak Menteri mau datang," kata Kepala Bagian Keuangan itu
lebih mengeraskan suaranya. Dan cepat ia berkata kepada tamunya dengan suara
lembut yang di hejan-hejan, "Bikinlah tanda terima sementara."

"Berapa?"

"Tidak lebih dari tujuh puluh lima prosen dari anggaran yang dimajukan dulu."

"Oh, tidak bisa. Aku mau semua," kata tamu yang sedari tadi telah bersuara
besar.

Tapi yang lain telah mengeluarkan notes kecilnya. Mereka menulis tanda terima
sementara sebanyak yang telah ditetapkan. Lalu memberikannya kepada Kepala
Bagian Keuangan. Tamu yang ribut-ribut tadi pun ikut-ikut menulis. Kepala
Bagian Keuangan itu membaca isi kertas secarik itu. Lalu disesuaikannya
dengan angka-angka pada daftar yang tersedia di hadapannya. Lalu dibukanya
laci mejanya. Dikeluarkannya seikat uang kertas. Kemudian dihitungnya sampai
sejumlah tertentu. Dipisahkannya uang yang tinggal. Yang di tangannya
dihitungnya lagi. Sampai dua kali ia menghitung, sebelum diserahkannya kepada
yang berhak.

Melihat itu Pak Ayub tidak mau ketinggalan. Dia tulis pula tanda terima
sementara. Tidak banyak jumlahnya. Cuma dua ratus dua puluh setengah rupiah.
Dan diberikannya. Lalu menghitung uangnya dua kali. Kemudian diberikannya
kepada Pak Ayub sambil matanya melihat pada daftar anggaran yang di
depannya. Tapi ketika Pak Ayub hendak mengambil uang itu, tiba-tiba Kepala
Bagian Keuangan itu menarik uang itu kembali seraya berkata, "Uang untuk apa
ini?"

"Tapi supletoir gajiku," kata Pak Ayub ter-

cengang setelah kegembiraannya mulai hilang.

'Tak ada urusan supletoir sekarang. Pak Menteri mau datang," kata Kepala
Bagian Keuangan itu sambil memasukkan uang itu ke laci mejanya. Lalu laci itu
dikunci. Dan tanpa pamit ia berlalu pergi dengan gesitnya.

Dan Pak Ayub, orang tua yang sudah berdinas kepada negara lebih dari tiga
puluh tahun serta karena usianya, ia sudah menjadi orang yang penyabar dan
penerima segala apa yang ditimpakan ke atas perutnya oleh orang yang lebih
muda, meski orang muda itu seusia anaknya, tapi sudah sepanjang itu umurnya
dan dinasnya, justeru di masa kedatangan seorang menteri dari negara yang
berkedaulatan rakyat ia baru merasakan perlakuan yang sedemikian rupa. Sudah
setahun lebih urusan supletoirnya terbenam-benam. Sudah setiap bulan ia
menyurati jawatannya, dan sekarang ia sendiri yang datang. Namun dampratan
vang diterimanya. Begitu tajam tusukan itu pada perasaannya, melampaui
kesanggupannva memelihara kesabaran.

"Terlalu. Sangat keterlaluan," kata hatinya.

Tapi ia sama sekali tidak bisa mengerti dan tak terikuti oleh otaknya, bahwa
revolusi kemerdekaan telah menghasilkan suatu tata kehidupan baru. Bahwa
seorang menteri yang baru berdinas kurang dari setahun, datang meninjau daerah
selama tiga hari saja,

dan akan menelan biaya lebih lima ratus kali dari supletoir yang ditunggu-
tunggunya lebih dari setahun, adalah sangat begitu penting dibandingkan dari
melayani hak-hak seorang pegawai yang telah berdinas tiga puluh tahun lebih,
yang urusannya takkan memakan waktu sepuluh menit. Yang dipahami Pak
Ayub hanyalah keperluannya seorang. Bahwa sebulan lagi anaknya yang
perempuan, yang paling bungsu, akan kawin. Seekor kambing perlu dipotong.
Dan untuk seluruh biaya perkawinan itu, ia memerlukan supletoir gajinya yang
sudah setahun terbenam terus.

Lupa ia betapa kesibukan orang-orang di jawatan itu, yang telah parau suaranya
mengucapkan kalimat, "Pak Menteri mau datang." Lupa ia betapa muka-muka
sudah pada bengis, pucat, kelabu bahkan hitam karena kelelahan. Tak tahu ia
bahwa semua mata sudah merah, karena kurang tidur dan perasaan yang
tersinggung. Yang itu semuanya hanya oleh sebab kedatangan telegram kira-kira
sebulan yang lalu. Juga tidak tahu ia, bahwa seluruh kota pun sibuk. Seluruh ibu-
ibu sudah pedih matanya menjahitkan pakaian anak-anaknya yang ikut aubade
dan ikut tarian Ti mur dan Barat secara massal untuk menyambut kedatangan
Pak Menteri. Bahkan ia tidak tahu bahwa

puluhan murid sekolah yang klenger karena dipanggang terik matahari ketika
latihan aubade atau tarian Timur dan Baiat itu.

"Aku perlu uang. Uang itu harus kuterima sebelum aku pulang besok. Kalau
keperluan seorang menteri dapat dikeluarkan sekian ribu rupiah dalam sekejap
mata, tentu aku sepantasnya menerima hak-hakku yang sudah setahun lebih
kuurus," kata Pak Ayub mengomel sendirian.

Sesungguhnya sudah tiga hari Pak Ayub menunggui kantor jawatannya. Dan
hanya kepada Kalikulah dan Pak Pono saja lagi ia menggantungkan harapannya.
Tapi Kalikulah tidak pernah dapat ditemuinya, karena ia banyak pekerjaan di
luar. Dan kalau ia datang agak sekejap di kantornya, Pak Ayub pulalah yang
terpica karena ia perlu membasahi kerongkongannya di lepau kecil di belakang
kantor itu. Sedangkan Pak Pono sudah jatuh sakit rupanya.
Bertambah lama ia di kantor itu, tambah tak mengerti ia pada segala apa yang
dilihatnya. Karena ia hanya melihat dengan kaca mata dusunnya, dan
pengalaman dinasnya sejak masa penjajahan, bahwa semua orang yang sibuk
hanyalah bicara tentang omong kosong belaka. Omong kosong tentang pesta

besar yang bakal diselenggarakan. Dan bahkan omong kosong tentang gulai dan
ikan pada nasi ramas yang akan mereka makan tengah hari itu. Tak seorang pun
yang bekerja, mengerjakan pekerjaan dinas mereka. Namun demikian, semuanya
mengatakan sedang lagi sibuk. Sekurang-kurangnya sibuk pada air muka mereka
bila di dekat salah seorang Kepala Bagian.

Ketika Kalikulah datang juga bertepatan dengan hadirnya Pak Ayub di kantor
itu, cahaya harapan menyorotlah dalam pancaran mata tuanya orang tua itu. la
yakin benar, bahwa apa yang dikehendakinya pasti akan mendapat perlakuan
semestinya. Seekor kambing jantan akan disembelih juga di bulan depan. Dan
anak gadisnya yang bungsu bekal punya junjungan. Sebab Kalikulah sudah pasti
mau menolongnya. Bukan saja karena uang yang diperlukan cuma seperlima
ratus biaya penyambutan Pak Menteri, juga karena di zaman revolusi dulu,
Kalikulah mengungsi di rumahnya selama lebih dari enam bulan. Tanpa ragu-
ragu ditemuinya Kalikulah di kamar kerjanya. Tapi rupanya Kalikulah sedang
berunding dengan beberapa orang. Merundingkan masalah penting. Karena
seluruh Kepala Bagian pada hadir.

Kalikulah mengedarkan pandangannya waktu hendak memulai rundingan. Lalu


matanya tertumbuk

pada Pak Ayub. Pak Ayub mau bicara. Tapi terlambat, karena suara Kalikulah
lebih cepat keluar menanyakan Pak Pono.

"Sakit," jawab seseorang.

"Sakit? Omong kosong saja itu. Panggil dia segera. Waktu kita sudah sangat
sempit," kata Kalikulah pula.

"Tapi dia di rumah sakit."

"Ya. Panggil juga. Biar ia di neraka sekali pun, panggil."

"Panggil?" tanya yang memberi keterangan itu keheranan.


"Ya. Panggil. Segera," kata Kalikulah pula.

"Apa Bapak tidak tahu, Pak Pono sudah dua hari di rawat di rumah sakit?"

"Astaga. Jadi dia betul-betul sakit? Ah, sayang sekali ia tak dapat menunda
sakitnya agak beberapa hari lagi," katanya tanpa memerlukan jawaban.
Kemudian katanya dengan tiba-tiba, "Saudara, sebenarnya soal kita sekarang
sudah beres. Besok dan lusa akan diadakan latihan besar. Semua acara disatukan.
Tapi semua guru-guru ngomel dengan mengatakan bahwa murid-murid mereka
tak dihargai. Mulanya guru-guru itu cuma minta bon-bon saja untuk murid-
murid mereka pada waktu latihan. Tapi tadi ini, mereka minta sebotol lemon

untuk setiap murid pada latihan besar dan pada acara. Aku tidak keberatan asal
keuangan mengizinkan, kataku. Mereka tidak mau diberi janji lagi. Maka
saudara Binu harus.menyelesaikannya."

"Tapi, Pak, anggaran untuk konsumsi sudah habis," kata Kepala Bagian
Keuangan.

"Masa? Sepuluh ribu rupiah sudah habis saja. Padahal Pak Menteri belum lagi
datang," kata Kalikulah keheranan.

Ketika catatan pengeluaran diberikan oleh Binu, Kepala Bagian Keuangan, mata
Kalikulah terbelalak melihat angka-angka yang tertera di dalamnya. Tak dapat ia
mempercayai pandangannya, bahwa uang sepuluh ribu tinggal sedikit lagi
sisanya, sedangkan Pak Menteri belum lagi berangkat dan Jakarta.

"Ini tidak patut. Ini tidak patut. Masa untuk membeli nasi ramas pegawai saja
sudah menelan biaya lebih dari dua ribu rupiah. Mereka kan terima uang lembur
nanti. Namun nasi ramas mereka sungkahi juga sesuka hati. Ini betul-betul tidak
patut. Saudara Binu harus mempertanggungjawabkannya. Dan lemon untuk
murid-murid itu? Oh, tobat, tobat. Gila. Sungguh gila. Berapa harga lemon
sebotol?"

'Tiga puluh sen sebotoJ kalau beli banyak. Tiga ribu murid, masing-masingnya
tiga botol, itu berarti duaribu tujuh ratus rupiah," kata Kepala Bagian Keuangan
itu seraya mencoret-coret pada sehelai kertas.
"Gila. Sungguh gila. Menteri saja belum berangkat dari Jakarta, tapi biaya
konsumsi sudah habis. Mana lagi biaya makan Pak Menteri dan rombongan
selama di sini, belum lagi biaya konsumsi untuk resepsi. Sungguh gila. Suruh
saja anak-anak itu minum air sungai. Ya Allah, ya Tuhan. Jatuhkan sajalah
kabinet ini. Biar Pak Menteri tak jadi datang," kala Kalikulah menyumpah-
nyumpah.

"Dulu sudah juga aku bilang. Menteri kita, Menteri dari suatu Negara Republik
yang demokratis, bukan feodal," kata Kepala Bagian yang termuda menyela
sumpali serapah Kalikulah.

Kata-kata itu bagai mengejek menurut pendengaran Kalikulah. Dan tak pantas
diucapkan oleh seorang bawahan, lalu katanya de ngan kasar, "Ini rapat dinas,
Saudara. Tidak ada oposisi, tahu?"

Tapi Kepala Bagian yang muda itu tak mau kalah, la berkata lagi, "Ini bukan
masalah nposisi atau politik, Pak. Ini masalah betapa Ironinya kehidupan politik
itu sendiri. Mente-tl itu saban dilantik, saban datang ke daerah. Pulang dari
daerah setelah bikin janji-janji, kabinet bubar. Lantik lagi yang baru. Meninjau
lagi. Bikin janji lagi. Kemudian selelah kembali ke Jakarta, lalu kabinet bubar.
Dan rakyat, hanya kenyang oleh janji."

"Saudara. Sebagai pegawai negeri Saudara tidak pantas mengeluarkan kata-kata


yang tak senonoh itu. Saudara bukan anggota parlemen," Kalikulah berkata
dengan nada yang tajam. Tapi ia lupa bahwa ia sendiri baru saja menduakan agar
kabinet jatuh. Tapi ketika ia ingat, cepat-cepat ia berkata, "Saudara. Kita boleh
kesal, kita boleh tidak setuju dengan ironinya kehidupan politik negeri ini. Tapi
ingatlah, bahwa kita sedang mengadakan rapat keija dinas. Bukan rapat politik.
Oleh karena itu, cerita tentang kabinet mau jatuh atau mau bangun, kita hentikan
saja sampai sekian."

Namun Kepala Bagian yang muda itu tak hendak berhenti berbicara, "bulu.
kalau Menteri datang kita sambut dengan sederhana saja, seadanva saja, tanpa
menghilangkan rasa hormat kita kepadanya. Tapi kini, semenjak akan diadakan
pemilihan umum, menteri-menteri itu datang disambut besar-besaran, seperti
kedatangannya itu berfungsi sebagai kampanye pemilihan umum."

"Stop. Stop. Saudara dari partai apa? Dari partai oposisi, ya? Tak senang sama
menteri ini, ya? " tukas Kalikulah seperti mengancam.

Dan Pak Ayub yang sedari tegak di pintu tambah tak mengerti pada apa yang
terjadi. Yang ia mengerti

cuma satu. Bagaimana ia bisa terima uang supletoirnya. Ia sudah terlalu lama di
kota itu. Sebulan lagi anaknya bakal kawin. Seekor kambing jantan perlu
dipotong. Dan tepat di saat orang terdiam, seperti yang dipikirkannya, Pak Ayub
maju mendekati Kalikulah. Kalikulah jadi heran memandang kepadanya.
Menurut setahunya, orang tua itu bukanlah salah seorang anggota panitia
penyambutan Pak Menteri. Tapi wajah yang lesu itu, serasa pernah dikenalnya.
Tak asing baginya. Tapi siapa? Payah ia mengingat. Dan akhirnya
dibuangkannya saja usaha untuk mengingat orang tua itu. Tapi kemudian terpikir
olehnya, jangan-jangan orang tua itu disuruh salah seorang Kepala Jawatan
untuk urusan panitia.

"Ya? " tanyanya dengan bahasa yang manis menegur Pak Ayub.

Pak Ayub merasa dapat hati. Lalu berentetanlah segala keluhan dan segala
maksudnya datang ke kantor itu. "Sebulan lagi anakku yang perempuan akan
kawin. Seekor kambing jantan perlu dipotong. Maklumlah anak perempuanku
itu anakku yang paling bungsu. Kalau supletoirku tidak keluar sekarang,
celakalah aku."

"Biarlah celaka. Sekarang tidak ada urusan kawin. Pak Menteri mau datang,"
bentak Kalikulah

melampiaskan kejengkelan karena merasa terkecoh telah begitu lama


mendengarkan persoalan tetek bengek seorang pegawai rendah.

Tapi Pak Ayub tak hendak mundur setapak pun lagi. Tekadnya sudah tunggal.
Dan mesti ia pertahankan. Kalau ia tak hendak celaka dari nasib bcrperawan tua.
la tegangkan urat lehernya, la lemparkan jauh-jauh kejengkelan hatinya. Dan ia
tutup lobang telinganya dari segala macam makian yang bakal diterimanya. Ia
mendesak Kalikulah. Dan mendesak terus. Dan ketika Pak Ayub akhirnya
berkata: bahwa uang supletoir yang dua ratus rupiah itu tak ada artinya
dibandingkan biaya penyambutan Pak Menteri, maka Kalikulah mendapat
peluang. Segala yang tersendat dalam lehernya selama ini meletuslah seperti
letusan gunung berapi, "Karena tidak ada artinya itulah kamu boleh pergi."

"Bagaimana aku bisa pulang ke Palangkai tanpa membawa uang yang jadi
hakku? " kata Pak Ayub yang sengaja menyebut dusun tempat tinggalnya,
supaya Kalikulah ingat padanya.

"Kalau tidak bisa, ya, pulang saja ke neraka," kata Kalikulah.

Pak Ayub jadi gugup. Keseimbangannya jadi buyar. Sebelum selesai ia


memulihkan dirinya, Kalikulah telah berkata lagi. Tapi bukan masalah Pak

Ayub Kutanya, "Bagaimana, saudara-saudara? Tiga ribu rupiah untuk membeli


air yang tak sampai satu kubik itu, itu memang terlalu. Anggaran tidak cukup.
Sedangkan yang telah disediakan, sudah hampir habis. Pada hal Pak Menteri
belum lagi berangkat dari rumahnya."

Kalikulah lalu mengedari pandangannya ke segenap orang-orang yang hadir.


Satu demi satu ditatapnya. Tapi setiap ia menangkap mata masing-masing
mereka itu, mata mereka pada lari melalui jendela yang terbuka. Hanya Binu,
Kepala Bagian Keuangan, yang tertekur dalam kepalanya. Lama Kalikulah
menatapnya. Namun kepala Binu tak terangkat juga. Akhirnya mata Kalikulah
tertumbuk kepada mata Pak Ayub lagi. Dan lehernya kembali membengkak.
Pada matanya bergayutan iblis yang meradang. Dan seperti pekikan orang digigit
kalajengking, Kalikulah berteriak, "Keluar kamu. Nanti aku pecat."

Muka Pak Ayub yang memerah karena begitu lama mengumpulkan segala
keberaniannya, memucat dengan tiba-tiba. Dirasakannya kakinya berpijak di
tanah yang longsor. Rasanya ia mau terbang. Dibangkitkannya lagi
keberaniannya. Ia mau bicara. Tapi ketika mulutnya mau bergerak, didengarnya
lagi bentakan Kalikulah yang mengusirnya pergi. Rupanya

keberanian orang tua itu tinggal pada angan-angannya saja. Kini semuanya jadi
gelap. Sempoyongan ia kc luar. Dan di luar pintu ia terduduk pada kursi. Lemas
seperti balon bocor.

Tapi di dalam kamar kerja Kalikulah muncullah sinar benderang. Sinar itu
datangnya dari otak Kepala Bagian Keuangan. Katanya, lemon itu tak usah saja
dibagi-bagikan pada murid-murid. Karena itu hanya akan memperkaya kantong
pengusaha asing saja. Lebih baik uang itu diberikan untuk isi kas POMG sekolah
masing-masing. Semua guru diperkirakan akan setuju.

"Kalau guru-guru itu tidak setuju?" tanya Kalikulah pula."

"Kita ambil saja lemon itu. Pembayarannya kemudian."

"Uangnya dari mana?" "Asal saja Pak Menteri merasa puas dan senang dengan
penyambutan kita, biasanya segala urusan keuangan akan beres. Sering terjadi
begitu. Namun mengurusnya memang agak lama juga. Mesti diurus langsung ke
Jakarta."

Kalau Kalikulah sudah dapat diyakinkan sepenuhnya , itu berarti segala daun
jendela sudah terbuka, segala daun pintu terkembang. Dan hati yang

sempit tadinya, kini mengambang seperti balon yang telah terisi penuh gas. Tapi
balon Pak Ayub sudah pecah. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana meniup balon
itu Pagi. Tapi Tuhan tidak hendak campur, karena makhluk itu telah ditempatkan
ke dunia dengan segala fasilitas dan peralatan hidup. Sehingga setiap manusia
dapat hidup sesuka hati. Tak tergugat oleh siapa pun. Hanya hati manusia itu
sendirilah yang akan dapat menggugatnya, sepanjang mereka mau.

Dan memanglah orang-orang yang sedang berada dalam kamar kerja Kalikulah
sedang tak mau tahu dengan apa yang terjadi di luar. Mereka sedang berwajah
yang berseri dengan tawa rianya. Dunia mereka sedang melapang, hingga
mereka dapat berpesta sendiri tanpa rintangan. Tapi keriaan itu terganggu juga.
Sedang mereka berpesta dengan keriaan itu, berbunyilah telepon. Cepat
Kalikulah mengangkat gagangnya ke telinga. Keriangannya terhenti sebentar.
Ya, hanya sebentar. Dan ketika gagang telepon itu diletakkannya, sisa-sisa
keriangannya masih kelihatan mengambang di wajahnya.

"Saudara-saudara," katanya dengan suara yang diharukan. "Saudara Pono telah


mati sebentar ini. Di rumah sakit."

"Mati?" tanya hati setiap orang dengan perasaan

terkejut. Dan suasana dalam kamar itu mendadak jadi sunyi seketika. Kesunyian
itu memecah ketika Kalikulah berkata dengan sayu, "Sayang benar saudara Pono
keburu mati. Kalau ia sempat menunggu Pak Menteri datang, alangkah baiknya.
Pak Menteri tentu akan menaikkan pangkatnya. Sayang sekali."

"Ya, sayang sekali," kata yang lain menimpali.

"Tapi, ya, untung juga," kata Kalikulah melanjutkan. "Eh, maksudku, jika Pak
Menteri kita beritahu tentang kematian Saudara Pono ini nanti, akibat payah
bekerja guna mempersiapkan penyambutan Pak Menteri, tentu Pak Menteri akan
sangat terharu. Tentu Pak Menteri juga akan menyangka, kita ini pun telah
bekerja sangat berat untuk memuliakan kunjungannya. Tentu Pak Menteri akan
lebih memperhatikan keadaan kita. Tentu Pak Menteri akan menyuruh Biro
Kepegawaian mempercepat penyelesaian kenaikan pangkat kita semua. Tentu
Pak Menteri akan lebih memperhatikan tambahan anggaran buat daerah kita. Ya,
kalau tidak sampai demikian Pak Menteri berpikir, percuma sajalah kita payah-
payah seperti ini. Percuma saja Saudara Pono mati. Ya, sebenarnya percuma saja
Pak Menteri itu dipanggilkan Yang Mulia kalau hatinya tak sampai mulia
memperhatikan keadaan

kita yang telah sekian lama terkatung-katung kenaikan pangkat kita. Sudah
hampir setahun usulan kenaikan pangkat kita dikirimkan ke pusat."

"Ya, sayang benar Pak Pono keburu mati," sela salah seorang.

"Tapi, kalau dipikir-pikirkan benar, yang payah bukan hanya kita saja. Pegawai-
pegawai kita pun payah," kata Kepala Bagian yang lain.

Cepat Kalikulah menimpali, "Aku sudah pikirkan juga tentang mereka. Pangkat
mereka tentu saja tidak bisa dinaikkan, kalau karena alasan kedatangan Pak
Menteri. Tapi aku pikir, mungkin kita beri mereka hadiah yang pantas.
Bagaimana Binu? Dapat saudara carikan anggarannya?"

"Sebenarnya ada beberapa anggaran yang tersedia. Karena Gubernur telah ikut
menanggulanginya," kata Binu dengan gayanya yang menunjukkan
keulungannya.

"Anggaran yang mana itu?" tanya seseorang.

"Itu belum pasti benar. Tapi mungkin anggaran keamanan, transportasi dan
akomodasi juga. Dan itu belum pasti benar," kata Binu pula.
"Asal jangan yang mahal, tokh," sela Kalikulah. Lalu ia ingat isterinya. Isterinya
tak kurang payahnya akibat kedatangan Pak Menteri. Hampir setiap malam ia
ikut menyaksikan latihan kesenian, kalau Kalikulah menyaksikannya. Hanya
pada waktu rapat-rapat saja isterinya tidak hadir. Akan tetapi tak urung,

ia akan terbangun tengah malam untuk membuka pintu bila Kalikulah pulang.
Isterinya sudah lama merindukan sepasang perhiasan bermata berlian. Dengan
gajinya tak mungkin bisa dibeli. Hanya dengan acara-acara seperti inilah
mungkin disisakan uang untuk pembelinya.

Sekejap ia ingat juga pada Pak Ayub. Rasanya wajah orang tua itu perilah
dikenalnya. Tapi kemudian, ia pikir pula bahwa tak mungkin ia begitu ingat
tentang siapa pegawainya yang memang banyak itu, maka pikirannya kepada
Pak Ayub segera saja ia lemparkan. Namun tentang masalah yang dikemukakan
Pak Ayub tentang supletoir gajinya yang telah setahun lebih masih terbenam
urusannya, dan dengan uang supletoir itu ia akan membiayai pernikahan anak
gadisnya yang bungsu, dan uang supletoir itu tidak sebanyak harga perhiasan
berlian yang diperlukan isterinya, tidaklah menjadi pikiran oleh Kalikulah.
Karena memang masalah itu tak pernah singgah dalam ingatannya.

Dan ketika orang-orang yang berapat di kamar kerja Kalikulah keluar untuk
menjenguk Pak Pono di rumah sakit, tak seorang pun yang memperdulikan Pak
Ayub. Ketika tadi ia siuman dari kehilangan kesadarannya, ia tak dapat
mengingat akan urusannya ke kantor itu. Yang ia ingat cuma, ia begitu letihnya,
lapar dan tak berdaya. Orang-orang itu melewati Pak Ayub begitu saja. Tak
seorang pun yang melihat kepadanya, selain Kalikulah yang tertegun juga

sejenak. Dan Pak Ayub yang dapat juga menangkap tatapan mata Kalikulah itu,
tak melihatnya sebagai suatu peristiwa.

Lama setelah orang-orang itu pergi, Pak Ayub tnasih di kursi itu. la sangat
merasa lelah, lesu, juga haus dan lapar. Tapi tak kepada seorang pun ia
mempunyai keberanian untuk minta tolong mencarikan segelas kopi. Ia takut
meminta-minta lagi. Bukan takut tidak dipenuhi, melainkan takut bila dikasari
lagi. Sedang meminta yang menjadi haknya, ia sudah dimaki, apa lagi meminta
tolong yang berbentuk belas kasihan. Dan ia membiarkan dirinya hampa. Tak
mengharapkan apa-apa, walau hanya sedikit perdulian. Orang-orang itu, bahkan
hampir semua pegawai telah pergi ke rumah sakit, namun Pak Ayub tertinggal
seorang diri dalam ruang kantor yang megah itu. Ruang kantor itu tidak
memberikan saran apa pun lagi kepadanya. Padahal, selama ini, segalanya yang
datang dari kantor itu banyak sekali menentukan dalam sikap dan pola hidupnya.

Dan ketika orang-orang itu mulai datang kembali dengan suara yang hiruk pikuk
mengatakan, "Pak Menteri tak jadi datang. Kabinet terancam jatuh."

Pak Ayub masih juga tak berdaya di kursi itu. Begitu lesunya dia. Loyo.

Bagian Kedua
1. Orde Lama

2. Pelamar

3. Efendi

4. Orang Baik yang Malang

5. Sepasang Jas dari Menteri

1 Orde Lama
Syahdan......

Di kala fajar dengan sinarnya mulai rnen gambang di puncak bukit sebelah timur
danau, bunyi canang pun kedengaran bertaiu-talu menembus telinga penduduk
meski yang tinggal jauh di pinggang bukit. Canang pemberitahuan lari Kepala
Desa.

"Bukan canang gotong-royong. Sebab kini hari Jumat," pikir Lemarn selagi
menyiangi ladang cabainya.

Semenjak desa sekitar danau itu dibebaskan dari pasukan PRRI, hampir setiap
hari penduduk dikerahkan bergotong-royong. Kalau tidak memperbaiki jalan,
tentu menebas pohon pisang di sekitar perkampungan, karena pohon pisang
dapat dijadikan perlindungan oleh pasukan PRRl jika menyerang desa. Kalau
tidak membersihkan halaman kantor kenamaan, tentulah membuat pagar bambu
di sepanjang jalan desa agar pasukan PPRl tidak leluasa menerobos ke dalam
desa. Hanya pada setiap hari Jumat gotong-royong ditiadakan. Kamu waktu pada
hari itu demikian pendek menjelang sembahyang Jumat.

Oleh karena itu Leman merasa lega juga. Meski ada canang ditabuh, pastilah
tidak akan mengganggu rencananya hari itu. Karena ia bermaksud pergi ke
Kecamatan untuk minta surat izin menikahkan Ramalah, anak gadisnya yang
sulung. Tanpa surat izin Kantor Urusan Agama Kecamatan, tidak seorang kadhi
pun dapat menikahkan Ramalah. Sedangkan pernikahan itu harus segera
dilaksanakan. Kalau tidak, akan sangat terlambat jadinya. Laki-laki yang bakal
jadi suami Ramalah akan mempunyai kesempatan untuk berhelah lagi. Itu tidak
boleh terjadi. Kalau sampai terjadi, wah, wah, wah, Leman tak mampu
memikirkannya panjang-panjang.

Ramalah telah hamil tiga bulan. Sedang laki-laki itu menolak menikahinya.
Dalihnya, Ramalah tidak perawan sebelum dengan dia. Tapi Ramalah berkeras,
bahwa laki-laki itulah satu-satunya yang telah menidurinya. Namun setelah
dibujuk-bujuk dan dijanjikan akan dibelikan sebuah sepeda, barulah laki-laki ini
bersedia menikahi Ramalah. Sungguh pun begitu, masih ada syarat laki-laki itu
lagi. la hanya mau menikahi saja, tapi ia takkan pulang untuk serumah.

"Baiklah. Pokoknya Ramalah pernah menikah, meski kemudian ia akan


menjanda seumur hidupnya.

Soalnya, anak yang dalam perut Ramalah perlu mempunyai ayah yang syah,"
Leman menegas dalam hatinya ketika laki-laki itu mengajukan syarat tambahan
itu. Keputusan itu baru diperoleh tadi malam. Dan kalau hari itu pernikahan
tidak sampai berlangsung, mungkin laki laki itu akan mungkir lagi.

Di kala matahari telah muncul di puncak bukit, Leman sudah menapaki jalan
raya ke Kecamatan. Di lepau simpang desa, ia diteriaki orang agar jangan ke
Kccamatan hari itu, karena akan ada razia. Tapi Leman tidak perduli. Ia tak takut
kena razia. Sebab ia telah punya surat keterangan yang cukup.

Jalan raya demikian sepi. Tidak seperti biasanya hari Jumat yang jadi hari pasar
di desa Kapur. Tapi itu tidak menjadi pikiran Leman. Pikirannya terpusat pada
masalah pernikahan Ramalah. Kata ulama yang jadi ikutan Leman, yang
berkewajiban menikahkan anak perempuan ialah bapaknya sendui. Kadhi cuma
jadi saksi saja. Kalau sesederhana itu cara pernikahan menurut agamanya,
sebetulnya ia tidak perlu ke Kantor Urusan Agama untuk memperoleh izin.
Seandainya pemerintah memerlukan pencatatan, itu bisa dilakukan kemudian
saja. Tapi pernikahan demikian tidak menurut aturan. Maka kini tiba-tiba saja
Leman merasakan, bahwa aturan dibuat

hanyalah untuk menyulitkan urusan.

Sulit atau tidak, ia mesti ke Kantor Urusan Agama hari itu juga. Dan oleh
tekadnya itu, sebuah rencana besar yang akan menjadi kebanggaan nasional
hampir saja berantakan. Karena........

Presiden telah memerintahkan, pada Hari Proklamasi yang akan datang ini,
Negara Republik Indonesia harus dinyatakan sebagai negara yang bebas buta
huruf. Karena itu perlu diadakan razia guna mengetahui apakah bangsa
Indonesia telah betul-betul bebas buta huruf selelah sekian lama dilakukan
kampanye pemberantasannya. Untuk propinsi kami, gubernur telah
memerintahkan agar razia dilakukan di Kapur, desa asal-usulnya. Sebagai suatu
simbolik. Karena sebagai putera utama negara, gubernur harus memperlihatkan
pada Presiden, bahwa desa asal-usulnya telah melaksanakan perintah presiden
dengan baiknya. Dan gubernur sendiri akan datang bersama panitia untuk
mengawasi razia itu.

"Jangan bikin malu aku," pesan gubernur pada bupati beberapa hari yang lalu.

Dan bupati meneruskan pesan itu kepada camat, "Jangan sampai aku dimarahi
gubernur."

Dan camat memerintahkan kepada kepala desa

di sekitar danau itu, "Kalau masih kedapatan yang buta huruf, kepala desanya
akan kumasukkan dalam tahanan."

Dan kepala desa memerintahkan pada o-rang ronda," Bunyikan canang. Suruh
semua orang yang buta huruf masuk hutan."

Tapi Leman hanya mendengar bunyi canang. Tidak mendengar suara ronda yang
berseru. Maka tiba-tiba saja Leman dicegat di ambang desa Kapur oleh petugas
yang melakukan razia. la dibawa ke hadapan papan-tulis yang disandarkan pada
sandaran kursi di tepi jalan raya. Semua mata orang yang berkerumun
memandang kepadanya.

"Baca," perintah seorang petugas sambil menunjuk dengan sepotong rotan pada
huruf putih di papan-tulis itu.

"Ya, Allah bencana apa yang akan menimpa Ramalah?" teriaknya dalam hati
sambil melirik-lirik kiri-kanan mencari celah tempat lari.

Setelah berulang-ulang petugas itu memerintah sampai membentak, tak ada juga
celah bagi tempat lari Leman. Hanya sekujur tubuhnya basah oleh keringat
karena selain kepayahan jalan kaki dari rumahnya juga karena uii menahan rasa
kecut.

Lidahnya menjadi kelu. Bukan hanya karena kecut oleh bentakan itu, melainkan
juga karena memangnya

ia tidak bisa membaca huruf yang ditunjuk oleh petugas itu. Selintas ia ingat
Tuhan dan ia ingin berdoa semoga ia diberi mukjizat. Tapi ia tidak tahu doa apa
yang harus dibacanya ketika itu.

Kulit wajah gubernur yang kehitam-hitaman menjadi kelabu karena naik pitam
ketika Leman digiring orang ke tempat para pejabat yang mengawasi razia itu.
Dengan bengis ia menegur bupati. Bupati yang kena tegur, mcmbalaskannya
pada camat. Dan camat membalaskannya dengan membentak Kepala Desa.
Kepala Desa punya kesempatan berpikir cepat, secepat pesawat pemburu yang
sering lewat desanya ketika mencari sisa pasukan PRRI. Ia maklum gubernur
akan merasa malu besar, karena masih kedapatan orang buta huruf, justeru di
kampung halamannya sendiri. Segera ia menjawab bentakan camat dengan gaya
bahasanya yang tenang.

"Tapi pak gubernur, orang ini bukan orang kampung halaman kita."

Wajah gubernur tiba-tiba menjadi cerah. Lalu ia berkata pada Ketua Tim Razia
yang sengaja datang dari Jakarta.. "Benar, kan, kataku? Tidak ada orang
kampung halamanku yang buta huruf."

"Jadi dari mana dia ini?" tanya Ketua Tim Razia itu.
"Dari desa Seberang Bukit, Pak," kata Kepala Desa dengan cepat.

"Jangan memojokkan aku, va?" tiba-tiba bupati yang bangkit berangnya oleh
jawaban Kepala Desa itu.

Sekali lagi Kepala Desa menunjukkan kecerdasannya. "Memang ia tinggal di


desa Seberang Bukit, Pak. Tapi aslinya ia penduduk desa Kiliran."

"Itu keterangan yang betul. Karena Minggu lalu aku telah mengadakan razia di
Seberang Bukit. Tidak ada orang Seberang Bukit yang masih buta huruf," kata
Bupati pula dengan membangga. Karena desa Seberang Bukit itu desa kelahiran
ibu-bapaknya.

"Kami percaya," ulas orang dari Jakarta itu dengan tenang-tenang saja.
"Masalahnya, bagaimana bunyi laporan ke Presiden aku tulis?"

Pertanyaan yang tidak mudah untuk diberikan jawabannya. Meski Leman bukan
penduduk desa Kapur, bukan pula penduduk desa Seberang Bukit, tapi toh dia
penduduk propinsi yang dibawahi gubernur itu? Semua orang yang hadir sibuk
berbisik-bisik dengan leman di sampingnya. Dan camat mendekati Leman. Lalu
ia berbisik ke telinga Leman. "Jahanam kau," katanya. *

Runding punya runding, akhirnya antara pejabat yang berkumpul itu kembali
membuktikan keampuhan

musyawarah untuk mufakat. Sehingga Ketua Tim Razia dari Jakarta itu berkata
pada wartawan yang banyak hadir, "PBB harus belajar kepada Indonesia,
bagaimana cara memberantas BH."

Dan Gubernur menyambung, "Perintah Presiden telah kita laksanakan dengan


sempurna."

Tapi tidak bagi Leman.. .

Karena musyawarah singkat yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang


mengikuti jalan razia itu telah memutuskan bahwa buta-huruf yang masih ada
pada Leman harus diberantas segera. Tugas itu diberikan pada camat dan akan
diawasi oleh bupati. Dan camat menyanggupi, bahwa dalam waktu tiga bulan
Leman tidak akan buta huruf lagi. Sehingga pada Hari Proklamasi depan ini,
Presiden sudah bisa mengumumkan ke seluruh dunia bahwa Indonesia telah
bebas BH. Lalu rombongan dari Ibukota itu meninggalkan desa Kapur dengan
membawa wajah yang berseri-seri.

Dan Leman tinggal dengan loyo, serta bertambah loyo oleh bentakan dan makian
para pegawai camat. Lalu jatuh pingsan ketika camat memberinya hukuman
mengangkut 40 karung semen dalam seminggu ke pintu air yang tengah
dibangun di kaki bukit Sarasah. Karena letak pintu air itu dua jam perjalanan
melalui pematang sawah dan tak ada

kendaraan bisa ke sana. Dan ia tidak bisa mengangkatnya sendiri. Ia harus


mengupah orang lain. Kalau ia mengupah, itu artinya sepeda untuk calon suami
Ramalah tak jadi dibeli.

Dengan menangis Leman mengadukan nasibnya kepada kepala desa. Ia


ceritakan segala kesulitan yang dihadapinya. Tapi kepala desa hanya bisa
menasehati agar menemui camat. Dengan harapan yang hilang-hilang timbul,
Leman menemui camat.

"Kau telah menyulitkan aku. Menyulitkan bupati. Menyulitkan gubernur. Malah


menyulitkan Presiden. Tahu? Tambah 10 karung semen lagi kau bawa ke sana,"
kata camat sebelum Leman habis menceritakan kesulitannya.

Mestinya Leman menemui bupati untuk minta belas kasihan. Tapi


pengalamannya dengan camat telah memberinya pelajaran. Yakni: tambah tinggi
tempat mengadu, tambah mahal harga tebusannya.

Tak ada jalan lain baginya kini. Selain menyerahkan Ramalah pada suratan
nasibnya sendiri.

Dan ketika Presiden mengumumkan Indonesia bebas BH pada Hari Proklamasi


seperti vang direncanakan semula, berteriaklah seorang bayi yang baru saja
keluar dari rahim ibunya. Kelahirannya terlalu cepat dua bulan. Tapi Leman
merasa lebih tua sepuluh tahun lagi, ketika memikirkan pertanyaan si bayi kelak,
"Siapa ayah saya?"

2 Pelamar
Suatu pagi, hari Jumat yang terpilih sebagai hari baik, Bidin datang ke kantor
Pak Kantor minta kerja. Bidin anak desa. Otaknya encer. Tapi dengan susah
payah barulah ia menamatkan SMA. Ini disebabkan ia anak tunggal seorang
janda miskin, yang hidupnya menjual kue. Dan Bidin anak tahu diri. Maka
sepulang dari sekolah, waktunya habis menolong ibunya. Menumbuk tepung dan
membelah kayu api serta membungkus kue di malam hari. Tak banyak waktunya
mengulangi pelajarannya di rumah. Dan tak ada waktunya untuk
mengembangkan dirinya sebagai anak muda di antara kawan sesama besar.

la tak berniat hendak menyambung ke sekolah yang lebih tinggi. Meski pun
ibunya ingin si anak jadi dokter atau mister atau insinyur. Tapi Bidin berpikir,
tamat SMA sudah cukup. Apa lagi ibunya sudah tua dan tak patut lagi bekerja
berat. Sedang umurnya sendiri dua puluh tahun.

Menurut pendapat Bidin, hidup senang harus dicapai dengan martabat yang
tinggi. Dapatnya martabat tinggi itu, haruslah bekerja agar supaya

pangkat tinggi. Dan pangkat tinggi dapat dirangkul via pendidikan tinggi pula.
Dan ia sudah tamat SMA. Apa lagi? Sedangkan orang yang hanya sekolah
rakyat saja, sudah bisa jadi wakil Gubernur. Ada orang yang hanya mulai dari
pintar mengaji, lalu akhirnya jadi Menteri. Ada kepala jawatan yang berasal dari
pemain trompet. Sedang ia, sudah bersekolah di SMA. Jabatan apakah yang
takkan mungkin ia peroleh kelak? Tapi ia tak sampai bercita-cita mau jadi
gubernur atau menteri. Ia cuma bercita-cita punya pangkat. Dengan demikian
dapatlah ia mengangkat kehidupan ibunya. Tak perlu ibunya kerja sampai larut
malam lagi. Tak perlu ibunya bangun di pagi buta lagi. Ibunya tentu akan dapat
duduk-duduk di sofa sambil mendengar radio. Tidak sampai bergantung ke
langit cita-citanya Bidin. Hanya sederhana saja. Untuk menyenangkan ibunya,
kalau ia berpangkat.

Ketika ia bangun pagi-pagi, ia sudah mengangankan bahwa ia pasti akan


berhasil. Bukankah diploma SMA yang keramat itu sudah ada di tangannya? la
pasti akan diterima pada salah satu kantor pemerintah. Ia nanti akan mendapat
sebuah meja. Pada meja itu nanti akan bertumpuk surat-surat yang minta
tebahannya. Alangkah hebatnya.

Apalagi menurut kata orang, di kantor pemerintah sangat sekali kekurangan


tenaga ahli. Kebanyakan pegawai hanya tamatan Sekolah Rakyat saja. Dan itu
pun sudah tua-tua pula. Sedikit sekali yang tamat SMP. Apa lagi SMA. Dan
sudah terang nantinya pegawai yang tidak bersekolah itu, langsung jadi anak
buahnya. Jika mereka itu berbuat tolol, sudah tentu akan kena murkanya pula.
Ah, agak seram juga dirasakannya, bila ia terpikir bahwa di antara anak buahnya
yang tolol itu, dan yang kena murkanya, adalah orang tua yang seusia dengan
mendiang ayahnya, kalau ayahnya itu masih hidup sekarang. Tentu orang tua
akan kecut oleh murkanya. Alangkah kejamnya. Alangkah jahatnya. Lebih lagi
bila ia ingat ibunya yang tua kalau dimarahi orang yang sebaya dengan anaknya
sendiri.

Tapi lamunannya itu, biar jadi kenyataan benar kelak tidaklah penting baginya
untuk dipikirkan sekarang. Yang penting baginya, ia dapat pekerjaan.
Pangkatnya tinggi. Ibunya senang. Habis.

Ketika ia berangkat dari rumah, ia diantarkan ibunya dengan pandangan mata


yang tak berkedip-kedip di pintu, serta dengan segala doa yang dapat disebutnya.
Dan Bidin sendiri tidak lupa membaca alfatihah dan melangkah dengan kaki
kanan pada lang-

kah pertama.

Dengan penuh keyakinan dan seraya menyebut kalimat Quran itu, akhirnya tiba
juga Bidin di kantor Pak Kantor. Apa sebabnya kantor ilu yang ditujunya, ia
sendiri tidak tahu. Kepada seorang tua, yang berbaju seragam coklat, ia bertanya
dengan sopan.

"Oh, Anak mau minta pekerjaan?" kata Lebong tua. "Catatkanlah nama, tujuan,
suku anak di buku ini."

Dan penerimaan yang baik itu dianggap Bidin sebagai suatu firasat dari suatu
permulaan yang berhasil. Mengapa tidak, pikirnya, hari itu, hari Jumat, hari yang
terbaik dalam seminggu. Dan ia mulai melangkah dengan kaki kanannya seraya
menyebut alfatihah. Dan sepanjang jalan yang ditempuhnya tak henti-hentinya ia
menyebut ayat-ayat Quran yang bisa dihafalnya.

"Itu," kata Lebong pula sambil menunjuk ke arah Pak Kantor yang lagi sibuk
menghadapi tamu-tarnunya. "Beliau itulah Kepala Kantor. Nanti kalau tamu
beliau sudah pergi, menghadaplah kepada beliau, tapi menjelang itu, duduklah di
sini."

Kemudian Lebong memberi petunjuk kepada Bidin, bagaimana mestinya


dilakukan bila mau menghadap Pak Kantor. "Nanti bapak menyampaikan
kedatangan anak. Kalau anak sudah diizinkan

masuk, mula-mula anak ketok pintu perlahan-lahan. Meski pun pintu itu tidak
tertutup. Mendehem tidak boleh. Jangan keras mengetoknya. Perlahan saja.
Kalau sudah didengar anak disuruh masuk, jangan lantas menyerbu saja. Sebut
merdeka atau assalamualaikum. atau selamat pagi saja juga boleh. Barulah
mendekat kepada beliau.

Di dekatnya sebut lagi salam itu. Merdeka atau assalamualaikum. Atau selamat
pagi. Ini maksudnya untuk beliau. Sedang salam yang tadi untuk kantor dengan
segala isinya. Kalau anak disuruhnya duduk, bilang terima kasih. Tapi jangan
duduk. Tegak saja. Kemudian barulah ceritakan apa maksud anak. Mudah-
mudahan Tuhan memberkati anak. Kalau sudah diterima nanti, jangan lupa
padaku. Isteriku membuka kedai. Anak tentu boleh mengebon di situ. Tapi yang
paling disenangi isteriku, ialah kontan."

Sambil menghafalkan segala petunjuk orang tua itu, Bidin mengedarkan


pandangannya ke seluruh ruangan. Beberapa belas orang menghadapi mejanya
masing-masing. Berjajar seperti murid sekolah di dalam kiasnya. Beberapa meja
kosong. Tapi di atasnya penuh oleh surat-surat yang bertumpukan dan
berserakan. Sedang pak Kantor duduk di meja di sudut ruangan. Menghadap ke
semua pegawainya. Hi-

ngga dengan demikian dapatlah ia dengan mudah mengawasi seluruh ruangan


itu. Ketika itu Pak Kantor sedang kedatangan tamu. Mereka itu gagah-gagah
semuanya. Memakai dasi. Dasinya panjang-panjang. Dan Bidin berpikir,
tentulah orang-orang itu pegawai tinggi semua. Tentulah mereka membicarakan
masalah pekerjaan yang penting pula. Lama benar mereka berunding, menurut
perasaan Bidin.

Untuk pelengah waktu, diedarkannya lagi pandangannya. Diamatinya segalanya


sam demi satu dengan lebih cermat. Ada pegawai yang berkerut-merut mukanya
membacai surat-surat di atas mejanya. Ada orang yang membalik-balik map.
Satu persatu surat dalam map itu diperiksanya. Lalu map itu diletakkannya pada
sudut meja sebelah kanan, apa bila ia selesai membaca seluruh surat di
dalamnya. Diambilnya map yang lain. Dibacanya surat-surat di dalamnya.
Kemudian map itu ditutupnya. Dan ditumpukkannya pada tumpukan map di
kanan meja. Diambilnya lagi map yang lain. Lama sekali ia berbuat demikian.
Begitu tekun dan telitinya. Kalau ia penat, diregangnya kedua belah tangannya
ke samping. Sambil kuap ia menggeliat. Pikir Bidin, alangkah rajinnya orang itu,
teliti lagi, sehingga penat dan mengantuk ia bekerja.

Seseorang yang sedari tadi asyik menulis, lalu mengeluarkan amplop dari laci
mejanya. Amplop itu

ditulisnya pada muka dan belakangnya. Kemudian kertas yang ditulisnya tadi
dimasukkannya ke dalam amplopnya. Dan dengan lidahnya yang panjang,
sepanjang lidah anjing yang menjilat daun bekas kuah sate, dijilatinya perekat
tutup amplop itu. Lalu direkatnya. Dan dari saku bajunya dikeluarkannya
sesuatu. Rupanya prangko. Dibubuhkannya pada amplop itu. Dan akhirnya
amplop itu dimasukkan ke dalam sakunya sendiri.

Seorang yang lain, lagi asyik membaca di balik map yang tertumpuk tinggi di
mejanya, tertawa senyum sendirian dia. Seperti orang gila. Kawan yang sebelah
mejanya melihat padanya. Ingin tahu dan bertanya dengan berbisik. Yang
membaca mengangkat apa yang menerbitkan senyumnya. Sebuah majalah di
tangannya.

Seorang gadis juru tik menekur di meja kerjanya. Ada sesuatu yang menarik
matanya pada ujung jarinya. Sudah itu jarinya dijauhkannya ke bawah meja.
Ditatap dengan sepenuh minat, seperti orang menatap suatu barang yang hendak
dibelinya di toko. Lalu ujung jarinya itu ditiup-tiupnya. Ujung jarinya itu merah
oleh kuteks. Dan seorang gadis juru tik yang lain, setiap sebentar menggaruk-
garuk

pinggangnya. Atau kadang-kadang kepalanya. Ia memandang sekejap pada Pak


Kantor, sebelum mulai mengetik lagi. Setelah mengetik beberapa baris, ia
menggaruk pinggangnya lagi atau kepalanya. Tenang sekali suasana di kantor
itu. Selain dari pada suara tawa Pak Kantor dan tamu-tamunya, tak ada suara
yang keluar dari mulut.

Lama kemudian tamu-tamu itu pada berdiri dan bersalaman dengan Pak Kantor.
Bidin pun berdiri. Disangkanya tamu-tamu itu mau pergi. Tapi mereka itu masih
juga berbicara dan tertawa-tawa sambil berdiri. Belum ada tanda-tanda mereka
itu betul-betul hendak pergi. Dan kemudian, salah seorang dari tamu itu duduk
lagi di kursinya. Pak Kantor pun kembali duduk. Yang lain-lain mengikutinya.
Bidin merasa kecewa benar. Ia berpikir, lebih baik ia pergi saja ke kantor lain.
Pada hal hari Jumat itu, kantor ditutup jam setengah dua belas. Alangkah
baiknya, kata hatinya, jika bukan hari Jumat hari yang terbaik dalam seminggu.
akan banyaklah waktu baginya untuk melamar pekerjaan ke berbagai kantor.

Dan akhirnya tamu-tamu itu kembali berdiri. Rupanya mereka betul-betulan


hendak pergi. Tapi ketika tamu-tamu itu pergi, pak Kantor pun pergi. Dan Bidin
mulailah merasa, ia takkan berhasil pada hari yang baik itu. Payah-payah
menunggu,

tahu-tahu ditinggalkan begitu saja. Tapi ketika Bidin melihat orang-orang itu
terhenti di halaman kantor di dekat mobilnya dan omong-omong lagi, Bidin
yakin tentunya Pak Kantor takkan pergi. Tapi alangkah lambatnya segala urusan
selesainya. Waktu mereka habis oleh tawa dan omong-omong yang sedikit cabul.
Omongan yang tidak ada tertulis dalam tugas-tugas kantor pemerintah yang
mana pun juga. Lebih kotor cabulannya dari sekalian cerita cabul yang pernah
diomongkan kawan-kawan Bidin di sekolah dulu, menurut pikir Bidin. Mual ia
mendengarkan. Mual oleh kejengkelannya karena ia sudah begitu lama
menunggu.

Sekarang ia jadi lupa pada petunjuk orang tua yang telah diamalkannya tadi. Dan
ketika Pak Kantor hendak kembali ke dalam kantornya, Bidin menyongsongnya
dengan tabikan tangan yang dirasakannya kaku.

"Hamba ingin berbicara, Pak," kata Bidin dengan suara di kerongkongan dan tak
lupa menukar istilah aku dengan hamba, menurut tata krama yang sopan di
kampung halamannya.

"Sudah dicatatkan nama?" tanya pak Kantor tanpa memandang pada Bidin.

"Sudah, Pak."

"Bagus. Ada urusan apa?" tanya pak Kantor lagi.


Dan kini selain ia tidak melihat kepala Bidin, Pak Kantor terus saja ke meja
tulisnya.

Bidin jadi hilang akal mau berbuat apa. Akan menurutkan Pak Kantor itu atau
mengatakan saja, ia tahu, ia belum diberi izin masuk. Karena demikian kata
orang tua itu kepadanya tadi. Hendak dikatakannya saja apa yang hendak
dikatakannya, tentu dengan berteriak supaya bisa didengar Pak Kantor yang
sudah menjauhinya. Itu tentu saja tidak pantas. Hendak diketoknyakah pintu dan
kemudian mengucapkan merdeka atau assalamualaikum? Ia ragu-ragu.

"Mari sini," kata Pak Kantor dari meja tulisnya.

Barulah akal Bidin kembali ke kepalanya. Dan ia melangkah dengan kaki yang
serasa tidak berpijak di lantai. Dan samar-samar ia ingat lagi pada segala
petunjuk orang tua tadi. Tapi ia tak tahu juga, apa ia harus juga mengucapkan
merdeka atau assalamualaikum. Sedang ucapan selamat pagi rasanya tidaklah
tepat lagi, sebab hari sudah tinggi. Ataukah di rapatkannya saja jari tangannya
pada tepi keningnya seperti prajurit menghormati opsirnya? Dalam ia kehilangan
akal demikian, Pak Kantor menyuruhnya duduk. Akalnya kembali masuk ke
kepalanya. Maka ia kini telah dapat menguasai

dirinya. Sesuai dengan petunjuk orang tua tadi, Bidin tak lupa mengucapkan
terima kasih dan ia terus berdiri saja. Dan Pak Kantor memandangnya dengan
rasa puas. Pandangan itu menimbulkan kepercayaan yang lebih dalam pada
Bidin atas dirinya sendiri.

"Ada urusan apa?" tanya Pak Kantor lagi sambil menyilangkan tangannya di atas
meja. Tapi matanya, setelah memandang sekejap pada Bidin, lalu menjalar ke
seluruh meja tulisnya. Seperti ia mencari tuma di daun mejanya itu.

"Ibu hamba sudah tua, Pak. Tapi ayah hamba sudah mati," kata Bidin memulai
dengan gagap.

Pak Kantor masih juga mencari tuma pada mejanya.

"Hamba anak tunggal, Pak. Tapi ibu hamba miskin," kata Bidin lagi untuk
menarik belas kasihan Pak Kantor sedapat-dapatnya. "Umur hamba sudah dua
puluh tahun. Tentu tak patut hamba membiarkan ibu hamba yang telah tua itu
tetap seperti itu. Apa lagi, ya, apa lagi. Bidin berhenti bicara Semua apa yang
patut hendak dikatakan sudah dikatakannya, menurut perasaannya. Hendak
dikatakannya bahwa ibunya yang telah tua itu seorang perempuan, tentu tak
perlu dikatakannya. Ibu mana yang tak perempuan.

Apa perlu dikatakannya, bahwa sesudah ayahnya meninggal, ibunya tak kawin-
kawin lagi? Rasa hatinya itu pun tak perlu dikatakannya. Lalu digaruk-garuknya
belakang kepalanya. Dan sambil menggaruk itu ia paksakan juga menyudahkan
kalimat yang belum siap tadi, "Apa lagi, Pak, ibu hamba yang perempuan itu
sudah tua, Pak, dan miskin pula, Pak.

"Jadi maksudmu, mau kau bikin apa dengan ibumu yang perempuan tua dan
miskin itu?" tanya Pak Kantor.

"Tidak apa-apa, Pak. Selain hamba ingin hendak menyenangkan hidup beliau
itu."

"Menyenangkan ibumu kenapa di sini? Di rumahnya atau . . . ya. . . di pasar


malam orang bisa senang-senang. Biar sudah tua bangka sekali pun," kata Pak
Kantor yang maksudnya hendak bergurau saja.

Tapi bagi Bidin, keseimbangannya menjadi hilang. Ia merasa sekujur badannya


berkeringat. Lebih sulit dirasanya daripada menjawab pertanyaan gurunya di
waktu ujian dulu.

Dan setelah meniup tuma di atas mejanya. Pak Kantor bertanya lagi,
"Maksudmu minta pekerjaan?"

"Ya, Pak. Kalau Bapak ada belas kasihan kepada hamba dan ibu hamba,
perempuan yang sudah tua

lagi miskin ilu. Pak," kata Bidin dengan agak lebih lancar.

Pak Kantor lalu menyandarkan badannya ke kursinya yang besar itu. Dan kedua
tangannya bersilang di atas perutnya yang mulai gendut. Jari-jarinya bergerak-
gerak seperti alu kincir. Dan kemudian katanya, "Mana surat-suratmu?"

Bidin menjulurkan segulungan kertas yang sudah terasa basah dalam


genggamannya. Tapi melihat gulungan kertas yang dijulurkan itu, muka Pak
Kantor yang penuh perhatian tadi jadi merah sekarang. Dan dengan sedikit
membentak ia berkata; "Aku bukan tukang buka gulungan kertas. Aku kepala
kantor, tahu?"

Cepat Bidin menarik gulungan suratnya dan mengembangkannya baik-baik. Dan


dengan tangan yang gemetar dijulurkannya lagi surat itu. Tapi pegangannya
tidak kuat, sehingga surat-surat itu jatuh ke lantai. Lalu dipungutnya cepat-cepat.
Tapi ketika ia hendak mengangkat kepalanya, tepi meja membenturnya. Dan ia
merasa sekujur badannya benar-benar mandi keringat. Ini adalah permulaan
yang tidak baik, pikirnya.

"Oh, kamu tamat SMA?" tanya Pak Kantor ketika ia sudah melihat surat-surat
Bidin. "Angkamu baik sekali."

Bidin merasa perasaannya selapang alam.

"Kalau sebaik ini angka-angkamu," kata Pak Kantor menggantungkan


kalimatnya sejenak, "aku kira, kamu banyak harapan buat masa yang akan
datang. Kenapa tidak disambung saja ke sekolah yang lebih tinggi? Kau pasti
diterima. Mungkin juga bisa dapat ikatan dinas."

Terperangah oleh kekaguman Pak Kantor atas nilai ujiannya, Bidin jadi lancar
berbicara. Ia ceritakan segala alasannya, kenapa ia ingin bekerja dari pada
menyambung sekolahnya. Tapi kemudian Pak Kantor mengulang-ulang lagi rasa
sayangnya, jika otak yang seencer dimiliki Bidin itu dimatikan oleh hawa
kantoran. Lama kemudian setelah ia mengulang-ulang komentarnya, ia sarankan
agar Bidin menyambung sekolahnya ke sekolah yang lebih terjamin
penampungan kerjanya kelak dan yang berikatan dinas agar beban ibunya tidak
bertambah berat.

"Tidak lama-lama sekolah di situ. Paling lama tiga tahun. Ada juga yang cuma
setahun. Sayang sekali kalau kamu tak ambil kesempatan yang terbaik. Apalagi
angka-angkamu begitu baiknya. Cobalah masukkan rekes ke berbagai tempat.
Ke AURI, ke ALRI, ke Angkatan Darat, ke PTT, DKA. Atau ke Akademi Luar
Negeri saja, biar kau jadi Duta Besar di Paris kelak. Atau ke Akademi Dalam
Negeri,

biar kau bisa jadi Gubernur kelak. Atau ke Akademi Duane saja. Setahun kursus
di sana. Dan setamat dari situ kau bisa kaya raya. Masukkan rekes banyak-
banyak ke mana saja. Ibarat memancing, sebarkan pancing empat lima, salah
satu takkan mengena? Pasti mengena. Tak mungkin tak mengena, bukan?
Apalagi dengan angka-angkamu yang sebaik ini. Kalau tak mengena satu pun,
kamulah yang sial. Tapi kalau semuanya mengena, siapa tahu, kamu akan
senang. Kamu tinggal pilih saja yang mana kamu suka. Kalau aku diminta
pertimbangan, baik kau pilih saja Akademi Duane. Orang duane, masa sekarang,
lebih mudah kaya ketimbang orang-orang di jawatan lain."

Tapi Bidin sudah matang perhitungannya sehingga ia bertekad tidak hendak


melanjutkan sekolahnya lagi. Ia tak hendak berpisah dengan ibunya, perempuan
tua yang janda dan miskin pula.

"Sayang sekali angka-angkamu yang sebaik ini, cuma digunakan untuk bekerja
di kantor," kata Pak Kantor pula kemudiannya setelah Bidin mengemukakan
segala alasannya.

Bidin kian tak mengerti, kenapa orang yang memiliki angka sebaik itu,
disayangkan jika hanya bekerja di kantor. Meski ia melanjutkan sekolahnya ke
sekolah tinggi mana pun, tokh akhirnya ia akan bekerja di kantor juga. Orang
yang bekerja di kebun,

di jalan raya atau di pelabuhan, tokh tidak memerlukan diploma sekolahan,


pikirnya. Dan ia tambah tidak mengerti melihat wajah kekecewaan Pak kantor
karena ia punya diploma SMA.

"Kalau kau punya diploma SR, bereslah," akhirnya Pak Kantor berkata.

Bidin memang tidak punya diploma SR. Sebab ketika ia tamat sekolah rendah
itu dulu, perang pun datang. Dan ketika perang pergi, ia telah duduk di SMP.

"Tapi diploma SMP hamba ada, Pak," kata Bidin.

"SMP juga terlalu tinggi. Sayang. Sayang sekali kau terlalu pintar. Sayang," kata
Pak Kantor menyesali Bidin.

Maka leburlah segala harapan yang begitu lama dipendam Bidin. Sedangkan
dalam pada itu Pak Kantor terus juga berbicara. Mengemukakan rasa sayangnya,
penyesalannya. Sekarang ditambah dengan kata-kata, amat, terlalu, sangat
dimuka kata sayangnya. Tak ketinggalan gelengan kepala. Lalu diceritakannya
pula, ketidakmengertiannya sendiri terhadap peraturan yang dibuat pemerintah.
Betapa timpangnya komposisi kepegawaian. Kekakuan birokrasi. Dan pada
akhirnya dicelanya sistem pendidikan di zaman sekarang. Sekolah banyak,
lapangan kerja tak memadai, Sekolah banyak-banyak

memang baik, akan tetapi sistem pendidikan haruslah dirobah. Dirobah dari
sistem kolonial ke yang nasional sejati.

"Dari dulu," kata Pak Kantor selanjutnya. "Aku sudah hantam sistem pendidikan
kolonial itu. Hingga aku masuk penjara kolonial itu akibatnya. Tapi setelah kita
merdeka, sistem kolonial masih dipakai juga. Yah, itulah, kalau orang-orang
yang memerintah sekarang masih menggunakan bekas-bekas kaki tangan
kolonial. Peraturan pegawai juga kolonial. Coba. Masa seorang tamatan SMA
tidak boleh jadi juru tulis. Seorang juru tulis tidak boleh pula punya diploma
SMA. Kalau dengan cara begitu, mana bisa prestasi kantor pemerintah bisa
tinggi. Kalau lulusan SMA sudah banyak, mereka mau atau bisa kerja apa?"

Setelah Pak Kantor berbicara panjang pendek mengutuki segala yang tidak
disukainya, lalu ia bertanya lagi pada Bidin," "Siapa namamu? Oh, ya, Bidin, ya.
Kalau kau hanya punya diploma Sekolah Rakyat saja, aku bisa terima kau.
Sekarang juga."

Kaki Bidin yang menopang tegaknya yang kian loyo itu, berasa kejang sekarang.
Sudah sekian lama ia harus tegak mendengarkan wejangan Pak Kantor yang
panjang lebar itu, persis seperti ketika ia masih sekolah dulu yang dipaksa tegak
berjam-jam untuk

mendengarkan pidato seorang pemimpin yang ketagihan berdiri di podium rapat


umum, maka ia menyadari betapa tidak enaknya hidup jadi orang kecil. Tapi
kalau di rapat umum dulu, ia masih bisa duduk meski dalam panas terik, maka
sekarang ia harus tetap berdiri dalam hawa panas kantor yang terasa sudah
sumpek itu.

Tapi Pak Kantor yang enak-enak duduk di kursinya yang besar itu tak
memperdulikan kesengsaraan kaki Bidin. Ia siksa terus kaki Bidin dengan
wejangannya. Dan pada akhirnya Pak Kantor mengkritik habis-habisan orang
yang bersekolah tinggi. Katanya, "Bersekolah tinggi sebenarnya tidak berguna.
Otak pintar-pintar juga tidak perlu. Yang terpenting di dalam hidup dan bekerja
ialah kemauan. Kemauan baik. Dedikasi. lihat saja orang-orang yang bersekolah
tinggi-tinggi itu. Katanya mereka adalah pemimpin. Tapi sebagai pemimpin,
kecintaannya pada rakyat tipis sekali. Hampir boleh dikatakan, mereka tidak
mencintai rakyat. Tambah tinggi sekolah orang, tambah jauhlah hatinya dari
rakyat. Lihat aku. Aku tidak bersekolah tinggi. Tapi aku mencintai rakyat.
Berjuang untuk rakyat. Sudah dua puluh tahun sampai sekarang. Dan sekarang
aku jadi kepala di kantor ini. Siapa bilang aku tidak sanggup?

Aku sanggup. Tidak kalah dari orang yang bersekolah tinggi yang memimpin
kantor lain. Apalagi jika mengingat, bahwa stafku pun tak seorang juga yang
keluaran sekolah tinggi, namun aku masih bisa memajukan reputasi kantorku.
Kalau kepala kantor orang keluaran sekolah tinggi dan memiliki stafnya yang
keluaran sekolah tinggi pula, tapi prestasinya sama dengan prestasiku, itu
menunjukkan bahwa bersekolah tinggi saja tidak cukup, bukan? Apalagi kalau
prestasi kerjanya di bawah prestasi kerja kantorku. Bayangkanlah."

Ketika kaki Bidin telah betul-betul semutan, jam sudah setengah dua belas.
Pegawai-pegawai sudah mulai berkemas-kemas hendak pulang. Dan seperti
pegawai itu pula, Bidin keluar dari kantor Pak Kantor membawa kakinya yang
semutan berkat wejangan yang panjang lebar itu. Sehingga ia terpincang-pincang
melangkah.

Di luar ruang kantor Lebong bertanya pada Bidin tentang hasil permohonannya.
Tapi ketika ia tahu Bidin ditolak karena punya diploma SMA, lalu Lebong
berkata, "Begini saja, nak. Kalau diploma SMA tidak laku, datang lagi ke sini
besok dengan membawa diploma Sekolah Rakyat. Supaya tidak dikenal Pak
Kantor lagi, cukur kepala anak licin-licin."

3 Efendi
Kalau si Noni, anak tiri tuan Rotten yang indo, menikah pada usia sangat muda,
tidaklah luar biasa untuk diceritakan. Karena si Noni cantik. Sebagai gadis
cantik pastilah banyak orang mengincarnya. Jika si Noni menikah dengan orang
penting, juga tidak luar biasa. Setiap orang penting tentu ingin menikah dengan
gadis cantik.

Tapi jika orang penting itu Efendi, sobatku sejak kecil, ini memang patut
diceritakan.

Lebih sepuluh tahun Efendi menghilang dari kota kami. Ketika ia muncul
kembali, revolusi baru saja mulai. Efendi muncul dengan sepatu lars yang tinggi,
dengan pedang samurai dan dengan sepasukan laskar pengiring. Tentu saja
semua orang terpesona. Sehingga tuan Rotten, yang telah jadi Lutan sejak zaman
Jepang, dengan segala senang hati menerima Efendi jadi menantu. Meski si Noni
belum setahun kedatangan haidnya yang pertama.

"Mengawini si Noni berarti telah memenangkan sebagian dari perjuangan


melawan Belanda," tangkis

Efendi pada pimpinan partai dari laskarnya yang keberatan atas per nikahan itu
karena khawatir jika Efendi kehilangan semangat juangnya.

Kekhawatiran pimpinan partai terbukti. Efendi bertahan di rumah si Noni ketika


pasukan Belanda menduduki kota kami. Sedangkan pasukannya bergerilya di
pedalaman.

"Aku tidak berkhianat pada Republik, tokh?" tangkis Efendi ketika kami ketemu
di Ibukota Negara setelah perang kemerdekaan usai.

Tentu sulit dibilang ia berkhianat, kalau pengertian berkhianat itu sama dengan
bekerja sama dengan musuh untuk mengalahkan bangsa sendiri. Sebab hampir
selama masa pendudukan tentara Belanda yang kurang setahun itu, Efendi
didekam di penjara. Dipukul babak belur. Dan si Noni diambil gendak oleh
seorang opsir Belanda, sehingga ia melahirkan anak yang betul-betul pirang
rambutnya, melebihi rambut tuan Rotten, bapak tiri si Noni.

"Si Noni masih isterimu?" aku bertanya bodoh-bodohan.

la tidak menjawab langsung. Setelah lama merenung-renung ia berkata lagi


padaku. "Selama di penjara aku merenungi hidup ini. Hidup betul-betul ibarat
roda pedati. Sekali di atas sekali di bawah. Kini aku sedang di bawah. Suatu
waktu aku tentu akan

di atas lagi. Siapa tahu. Maka aku akan mengambil perempuan yang betul-betul
indo. Bukan pribumi yang punya bapak tiri indo."
Apa yang diucapkannya tercapai juga akhirnya. Itu kuketahui dari sebuah berita
dalam koran. Sobatku itu dilantik jadi anggota Dewan Kota. Bukan sembarang
kota. Tapi Ibukota dari Republik Indonesia, Jakarta.

"Kau betul-betul ingin tahu rahasia suksesku?" tanyanya ketika aku dibawanya
keliling kota dengan mobil sedannya. "Selama sengsara di Jakarta ini, aku
merenungi hidup sedalam-dalamnya. Aku yang tidak ikut gerilya, dicap sebagai
pengkhianat bangsa. Tapj orang KNIL yang terang-terangan memerangi
Republik, diterima bergabung dalam TNI. Maka aku menarik kesimpulan,
bahwa nilai-nilai ditentukan menurut keperluan yang sesuai dengan waktu,
tempat dan keadaan. Sang pemenanglah yang punya kuasa. Karena itu nilai dan
ukuran akan selamanya tidak tetap. Dalam keadaan yang tidak tetap itu, kita
harus menemukan kuncinya. Dan kunci itu terletak di sini," katanya seraya
mengetok-ngetok kepalaku dengan ujung jari telunjuknya.

"Bentuk apa kuncimu?" tanyaku.

Setelah lama merenung-renung, ia berkata lagi, "Banyak pejuang yang terlantar


sehabis perang.

Lalu mereka boyong ke Ibukota. Berperang melawan nasib. Karena tidak punya
modal, mereka jadi pedagang kaki lima. Sekali lagi mereka diuber-uber. Jika
dulu di hutan diuber serdadu Belanda, maka di kota mereka diuber oleh polisi
bangsanya sendiri. Mereka marah. Tapi tak berdaya. Karena mereka tak punya
komandan pasukan. Orang yang marah tak berdaya dan kehilangan pimpinan,
begitu mudah dipikat jantungnya dengan jaring harapan yang indah-indah. Lalu
jadilah aku pemimpin mereka."

"Bagaimana kau menggunakan kunci itu ?" tanyaku.

"Partai-partai tengah berebut massa. Setiap partai punya koran. Koran partai itu
berebut menokohkan aku, supaya aku memboyong massaku ke pihaknya. Isyu
dimunculkan. Tanggapanku bergelegar membakar emosi pejuang yang
dikecewakan, terthadap isyu yang kubuat sendiri. Itu taktik politik murahan yang
pernah kubaca teorinya. Walikota juga orang partai, la tokh tidak suka kotanya
meledak selagi ia jadi Walikota. Maka aku diundangnya. Bukan ke kantornya.
Tapi makan malam di Hotel Des Indes. Tawar menawar terjadi. Maka jadilah
aku anggota Dewan Kota," katanya seperti menceritakan suatu hal yang biasa-
biasa saja.

"Tapi pedagang kaki liar tetap liar saja," kataku.

Kau kira bisakah orang kecewa yang lapar akan mau ditertibkan? Lagi pula,
kalau mereka sudah ditertibkan, aku ini akan jadi apa?"

"Walikota, tidak menagih janjimu?"

"Ia tokh memerlukan ribut-ribut juga, supaya orang merasa ngeri menggantikan
kedudukannya." katanya lagi dengan nada yang datar.

Nasibnya betul-betul seperti perputaran roda pedati. Setelah Pemilihan Umum,


ia tidak lagi jadi anggota Dewan Kota. Karena partainya kalah. Maka aku tak
ketemu-ketemu dia pula. Namun aku yakin dia pasti akan muncul di atas
panggung lain, yang tak kalah pentingnya.

Benar juga dugaanku. Ketika aku ketemu dia lagi, suasana perang saudara
sedang merayap di kota kami. Efendi kulihat dengan seragam hijaunya. Revolver
di pinggang, senapan otomatis di punggung, dan tanda pangkat kapten di bahu.
Dalam pikiranku, apabila tentara pusat menyerbu, pastilah Efendi akan
membuang senjatanya lagi. Seperti dulu, ketika tentara Belanda menyerbu kota
kami

Kali ini dugaanku keliru. Ketika tentara pusat menyerbu ke kota kami, Efendi
tidak mau kehilangan

tongkat sampai dua kali. Ia sandang terus senjatanya ke pedalaman. Bergerilya


dia.

Tapi apa lacur, pilihannya lagi-lagi keliru. Kini tentara yang datang menyerbu
yang memenangkan perang. Yang bertahan di hutanlah yang menderita
kekalahan. Hancurlah dia, pikirku. Putaran roda pedatinya takkan naik-naik lagi.

Namun ibarat bajing melompat, yang kalau jatuh selalu pada kakinya, hingga
dengan gesit ia akan melesat lagi memanjat pohon tinggi. Demikianlah sobatku
Efendi itu. Karena ketika aku ketemu dia lagi, ia sudah di puncak putaran roda
pedatinya lagi. Bersama dengan Gubernur ia menyambut kedatangan delegasi
kami di kota Pekanbaru. Bukan main dia, pikirku.
Tapi aku ragu-ragu pada pandanganku, karena ketika aku diperkenalkan
kepadanya, tak tampak pada wajahnya bahwa ia mengenal aku. Begitu formal
gayanya. Keraguanku kian bertambah-tambah selama dalam pertemuan berlanjut
di kantor Gubernur. Karena andaikata orang yang tengah kuhadapi bukan
sobatku Efendi, mengapa wajahnya begitu mirip? Gerak-gerik khususnya yang
kukenal tetap terlihat nyata. Meski namanya Pendi Maja, tokh sama dengan
nama panggilannya waktu kecil sebagai

si Pendi. Yang kemudian mendapat gelaran Majoindo ketika menikah dengan si


Noni, tapi sehari-hari dipanggil mertuanya dengan Majo saja. Namun dari
pandangan matanya jelas sekali bahwa ia betul-betul tidak mengenal aku.
Akhirnya aku duga saja, bahwa Pendi Maja adalah saudara kembar sobatku
Efendi. Walau sejak kecilku mengenal Efendi, aku tak pernah tahu ia punya
saudara kembar.

Lagi pula, tidaklah mungkin seorang kapten PRRI akan bisa menjadi anggota
Badan Pemerintah mendampingi Gubernur pada zaman Nasakom. Apalagi
kedudukannya itu sebagai unsur dari golongan komunis. Jadi pastilah Pendi
Maja bukan sobatku Efendi.

Tapi aku tidak bisa melupakannya sungguh-sungguh. Ketika aku ketemu seorang
teman lama yang lama menetap di Pekanbaru, aku tanyai dia tentang mungkin
atau tidaknya Pendi Maja sama dengan Efendi.

Cerita temanku itu begini. Ketika tentara pusat telah merebut seluruh kota,
Efendi muncul di Riau. Kebetulan Caltex lagi menerima buruh untuk menebas
hutan. Efendi melamar. Mungkin ia pikir, daripada bersembunyi di hutan karena
takut ditembak tentara, lebih baik bekerja di hutan dengan mendapat gaji. Tapi
menebas hutan pasti bukan macam pekerjaan vang disukainya Konon ketika ia
menerima

gaji pertama, ia jamu semua teman sekerjanya makan besar. Tentu ia mendapat
simpati. Habis makan enak. ketika perut semua orang pada kenyang, Efendi
berpidato panjang lebar, menganjurkan agar buruh bersatu guna membela diri
dari lindasan majikan. Orang yang sudah dikasi makan kenyang, adalah orang
yang paling lapang hati dan sedikit malas berpikir karena mulai mengantuk.
Segera orang setuju mendirikan serikat buruh, dan Efendi jadi ketuanya.
Efendi bukan Efendi kalau ia berhenti sampai di situ. Lalu buruh mulai banyak
ulah. Efendi dipanggil ke kantor. Keluar kantor Efendi telah jadi mandor dari
teman-temannya sendiri. Sebagai mandor, Efendi tidak lagi mandi keringat.
Ketika didengarnya direksi akan meninjau tingkat upah yang baru,
digerakkannya buruhnya menuntut perobahan upah. Suatu delegasi dikirim.
Efendi yang jadi ketuanya. Tentu saja tuntutan itu berhasil, karena memang upah
akan dinaikkan. Pamor Efendi kian menanjak. Anggota serikat buruhnya
bertambah banyak. Hingga namanya lebih tinggi dari menara minyak yang
tertinggi di ladang minyak itu. Lalu datanglah partai-partai mendekatinya. Tawar
menawar terjadi. Efendi memilih tawaran tertinggi. Itu datangnya dari golongan
komunis. Karena golongan itulah yang

menjamin jabatan anggota Badan Pemerintah kepadanya, meski jabatan ketua


buruhnya ia lepaskan sebagai tukaran. Dan untuk memberi kesan revolusioner,
namanya diganti dengan Pendi Maja.

"Kenapa ia seperti tidak mengenal aku lagi?" tanyaku pula.

Itulah gayanya, karena kau datang sebagai delegasi kabir* yang setan kota,"
jawab temanku.

Karena maklum, aku tidak berpikir lagi tentang sobatku Efendi itu. Hingga aku
betul-betul melupakannya.

Akan tetapi ketika kaum komunis ditumpas habis karena pemberontakannya,


selenting aku ingat lagi pada sobatku itu. Aku pikir, habislah riwayatnya kali ini.
Kalau ia masih berumur panjang, roda pedatinya akan terus di bawah saja.
Takkan bangkit-bangkit lagi. Apabila rodanya masih bisa naik, sungguh
menakjubkanlah takdir yang disediakan kepadanya.

Ketika aku akan naik pesawat di Schiphol untuk pulang ke Indonesia, aku
melihat si Noni. Ia bersama seorang perempuan muda yang berambut pirang
dengan hidungnya yang tidak begitu mancung. Aku kira, perempuan itu anak si
Noni dengan opsir KN1L dulu. Aku kira juga, opsir itu akhirnya membawa si
Noni bersama anaknya ke Belanda, lalu jadi warga Negara leluhur bapak lilinya,
tuan Rotten. Melihat si
• Kabir, akronim dari kaum hinokrat. Istilah yang dipakai
kaum komunis untuk mengejek pejabat.

Noni, sudah tentu aku ingat pada sobatku Efendi lagi. Dan sepanjang terbang
pulang, aku sering melamunkan hidup manusia yang dibawa nasibnya masing-
masing. Si Noni jadi Belanda, sedangkan Efendi entah di mana. Dan ketika turun
di Bangkok, gatal juga aku hendak memperkenalkan diri pada si Noni ketika
kami sama-sama membeli barang souvenir. Memperkenalkan diri sebagai teman
sejak kecilnya Efendi. Tapi aku selalu ragu-ragu, meski sekali waktu mata kami
bertatapan, seolah-olah ia seperti ingat padaku. Perkenalan tidak terjadi. Dan aku
bersyukur sekali, karena aku tak perlu.sampai mengungkit-ungkit peristiwa lama
yang mungkin tak menyenangkan hatinya.

Alangkah tercengangnya aku ketika tiba di lapangan Halim di Jakarta. Noni


terbenam dalam pelukan seorang laki-laki yang menyambutnya. Dan laki-laki itu
Efendi. Efendi sobatku yang ajaib. Ia tak melihatku. Mungkin juga pura-pura tak
melihatku seperti dulu di Pekanbaru. Tapi ketika mobil Mercynya hendak melaju
meninggalkan airport Halim, ia melihat aku yang lagi menunggu taxi. Mercynya
berhenti. Aku dipanggilnya. Ketika aku mendekat, sehelai kartu nama
diberikannya padaku.

"Ini perusahaan menantuku. Datanglah kapan-kapan. Panjang ceritanya,"


katanya seraya tertawa dengan gembiranya.

Setelah rasa takjubku hilang, setelah Mercy itu jauh, aku baca kartu nama yang
di tanganku. Real Estate "Mahligai Agung". Dan di bagian sebelahnya tertera:
Effendi Majo. Direktur.

Sungguh menakjubkan jalinan hidup ini, kata hatiku.

4 Orang Baik yang Malang

Kalau bukan karena dia, aku tidak bisa membayangkan macam sejarah hidup
yang aku tempuh. Mestinya aku sudah dipenjarakan pada waktu di SMA kelas
dua dulu, karena menabrak dua orang pejalan kaki dengan sedan paman yang
aku larikan ketika parkir di rumah. Aku tidak punya rebewes dan belum pernah
belajar menyetir mobil. Tapi karena Tantawi, temanku itu punya ayah yang
kepala polisi di kota kami, maka aku tidak dipenjarakan. Perkaraku tak sampai
dibawa ke pengadilan. Akan tetapi aku harus segera pindah ke kota B. Lalu kami
berpisah beberapa lama. namun kami terus berhubungan dengan surat.

Bukan karena jasanya itu aku mengatakan Tantawi, temanku itu, orang baik.
Tanpa jasanya itu pun aku harus mengakui, bahwa Tantawi memang orang baik.
Sejak aku mulai kenal, ia telah memberi kesan yang meyakinkanku untuk
mengakuinya sebagai orang baik. Aku mengenalnya sejak SMP. Aku tidak
pernah melihatnya melakukan sesuatu yang ugal-ugalan sebagaimana yang
lazimnya kami

lakukan. Bahkan kalau atla keributan dalam bentuk apapun juga, pastilah ia lelah
menyingkir jauh lebih dahulu. Bukan karena dia pengecut. Aku tahu pasti hal
itu. Soalnya, karena dia sangat menjaga nama baik ayahnya yang jadi kepala
polisi.

Waktu menjadi mahasiswa pun namanya tidak tercela. Dia selalu serius dalam
belajar. Dan waktu dia jatuh cinta pada teman sekuliahnya, Wati, dia tidak
kurang seriusnya dalam bercinta. Lalu mereka segera kawin dan beranak. Waktu
itu perkawinan antara mahasiswa tidak sulit. Sebagai bekas lentera Pelajar,
Tantawi mudah dapat pekerjaan setelah jadi sarjana muda. Sambil bekerja dan
beranak, dia terus juga mengikuti kuliah. Hanya Wati yang tidak meneruskan.
Karena baginya lebih penting menjadi seorang ibu rumah tangga sejati daripada
menjadi seorang sarjana dan bekerja di kantor.

Sebagai pegawai, Tantawi tetap bertingkah laku seperti biasa. Tidak banyak
tingkah. Tidak suka keluyuran ke luar kantor meski di kantor tidak ada
pekerjaan. Dia baru keluar kantornya bila memang harus keluar. Umpamanya
untuk menghadiri rapat-rapat. Rapat-rapat apa saja macamnya. Menghadiri rapat
itu mungkin suatu kesenangan baginya. Sebagai pengimbuh kebosanan duduk di
kantor tanpa pekerjaan.

Konon dalam setiap rapat itu, jarang sekali dia ikut berbicara. Kalau pun sampai
dia berbicara, bahasanya rapi dan kalimatnya sangat terpelihara, sehingga tidak
akan ada orang yang tersinggung. Karena itu pula, orang pada senang
kepadanya. Sehingga bila dia dicalonkan jadi anggota panitia atau pengurus
organisasi, hadirin akan setuju saja. Tapi yang paling membantunya ialah
penampilannya yang memang meyakinkan. Kalau bobot badannya bisa
dikurangkan, ia cukup tampan untuk jadi bintang film. Wajah dan postur
tubuhnya mirip dengan bintang film Robby Sugara kalau lebih kurus dan
kepalanya tidak cepat botak.

Sebagai suami, ia tipe laki-laki yang langka untuk masa kini. Terakhir aku
ketemu dengan dia suami-isteri, tiga tahun yang lalu. Wati yang dulunya gadis
langsing dengan warna kulitnya yang kuning langsat serta senyumnya yang
menawan, telah begitu berubah kelihatannya setelah mereka mempunyai anak-
anak yang telah remaja. Wati begitu kerempeng dan malah mulai keriputan.
Pertemuan kami tiga tahun yang lalu, tak urung menimbulkan bahan gunjingan
anak-anakku yang gadis.

"Payah deh, mandi lulur setiap hari takkan menolong. Dokter bedah plastik pun
akan menolak melakukan operasi. Tak ketulurtgan sama sekali. Kasihan si Om
Tantawi," katanya kepada ibunya.

Percuma saja usahaku membela Tantawi dengan kesetiaannya yang tak ada
bandingannya itu. Tantawi yang begitu tampan. Sikapnya yang tenang, terlihat
begitu berwibawa. Dan pangkatnya sudah pegawai tinggi pula saat itu. Meski
Wati kelihatan telah lebih tua beberapa tahun, namun kesantunan dan kesetiaan
Tantawi tidak pernah berkurang kepadanya. Tapi isteriku bilang, bahwa pada
mata Wati selalu terlihat kegelisahan. Gelisah oleh karena kondisi tubuhnya yang
begitu cepat menua, sehingga perasaan waswasnya selalu menghantui.

"Ah, jangan pikirkan yang bukan-bukan. Aku kenal betul siapa Tantawi. Sejak
kecil ia telah menunjukkan tipe laki-laki yang setia dan tahu menjaga martabat
dirinya," kataku.

Tantawi memang orang baik. Aku akan senang dan merasa bahagia sekali kalau
bisa membantu menyenangkan hatinya. Bukan karena berkat jasanya yang telah
membebaskan aku dari hukuman penjara dulu. Tapi karena dia temanku. Dan
temanku ini adalah orang baik, terpercaya dan setia pada prinsip hidup yang
lelah ditanamkan oleh ayahnya yang jadi kepala polisi di kota kami pada masa
lalu. Maka itulah sebabnya aku segera saja menulis sepucuk surat kecil ke kepala
cabang kantorku di kota M, ketika. Tantawi mampir ke kantorku waktu akan
pergi

ke kota itu untuk menghadiri suatu konferensi: "Tolong layani sebaik-baiknya,


temanku ini, selama di kota Anda," tulisku dalam surat kecil yang kumasukkan
dalam amplop yang tidak dilem.
Tapi ketika konferensi itu selesai ia tidak mampir ke kantorku sebelum kembali
ke kotanya. Pada hal aku sudah menunggu-nunggu dengan sebuah paket oleh-
oleh untuk Wati. Lalu aku menelepon kepala cabang di kota M itu menanyakan
apakah Tantawi sudah kembali atau belum.

"Sudah, pak. Dia sudah pulang," jawab Beny dari seberang.

"Kau melayaninya dengari baik?" tanyaku. Karena menurut pikiranku, kalau


pelayanan Benv baik, pastilah Tantawi mampir ke kantorku untuk mengucapkan
terima kasihnya. Minimal pastilah ia akan menelepon.

"Aku lelah melayaninya dengan baik. Pak. Seperti biasa. Tapi itulah soalnya.
Barangkali aku telah salah kasi pelayanan, Pak," Beny menerangkan dengan
suara yang penuh sesalan.

"Kau beri apa dia di sana?"'

"Biasa, Pak. Aku kira dia mau. tapi tahunya ditolak."

"Apa yang kau kasi?"

"Biasa, Pak."

"Kau kasi cewek?"

"Iya, Pak. Yang tercantik, Pak."

"Astaga. Kau betul-betul jahanam. Masa kau suruh dia begitu-begitu di sana.
Apa kau tidak tahu temanku itu orang baik?"

"Ya, itulah, Pak. Saya tidak tahu. Pak."

Aku yakin, pastilah Tantawi sangat marah padaku, karena anak buahku
memberinya perempuan. Tapi Beny memang tidak bisa disalahkan, sebab itu
salah satu tugas yang perlu dilakukannya bila ada tamu-tamu yang berkunjung
ke kotanya. Lalu ia menyamaratakan semua orang. Kini Tantawi merasa
tersinggung.

Ketika Beny datang ke kantorku, beberapa waktu kemudian, aku tanya dia
tentang kasus temanku, Tantawi yang orang baik itu. Beny menempatkan
Tantawi di mess, karena kalau di hotel akan kurang santai. Tantawi merasa
senang sekali. Malamnya Beny menyuruh seorang stafnya untuk mencarikan
seorang perempuan yang paling top agar diantar ke mess.

"Kata stafku, mereka lama ngobrol macam-macam dengan Pak Tantawi. Hampir
dua jam. Pak Tantawi cukup senang. Bahkan matanya sering mencuri pandang
pada gadis itu, menurut kata stafku itu, Pak. Tapi ketika ia mau pamit dan
hendak meninggalkan perempuan itu, Pak Tantawi menolak. Tapi tidak dengan
marah-marah, Pak," keterangan Beny padaku.

Pikirku, dia memang mampu mengendalikan emosinya. Dan tidak marah-marah


pada mereka, karena dia tahu mereka hanyalah orang suruhan saja. Namun ia
merasa tersinggung rupanya, karena menyangka aku telah mencoba merusak
kesetiaannya pada Wati. Lalu aku menelepon ke kantor Tantawi di kotanya. Tapi
dia tidak masuk, kata bawahannya. Aku menelepon ke rumahnya. Yang
menyahut Wati. Aku mendengar suara Wati tidak bahagia. Meski telah habis
kepandaianku bicara tentang hal-hal yang paling menyenangkan, namun nada
suara Wati tidak berobah. Lalu aku tanya apakah dia sehat-sehat saja. Jawabnya,
dia sehat. Lalu aku beranikan saja menanyakan hubungannya dengan Tantawi.
Nada suaranya tambah tak bahagia.

"Tidak. Kami tidak bertengkar. Tidak ada apa-apa yang terjadi antara kami,"
jawab Wati dari telepon di seberang lautan itu.

"Syukurlah. Aku yakin tidak ada apa-apa dengan kalian. Tapi suaramu kok lain,
Wati," kataku.

"Memang tidak ada apa-apa antara kami. Sungguh. Tapi. . ."

Aku menunggu dengan merapalkan gagang telepon ke telingaku.

"Anu. . . sejak kembali dari M, Tawi seperti berobah."

"Berobah? Dia baik-baik saja di sana, bukan? Dan dia pulang segera sehabis
konferensi, bukan?"tanyaku.

"Memang. Tapi dia begitu pendiam sekarang. Banyak mengelamun. Aku tidak
tahu mengapa. Tapi dia tidak sakit, kok."
Aku ingin mengatakan kepada Wati tentang kesalahan kecil yang dilakukan anak
buahku di M. Sebagai hendak mengatakan suaminya orang baik, setia dan
tepercaya. Tapi tentu saja aku takkan mengatakannya. Karena bagaimana juga
kesalahan kecil itu termasuk rahasia laki-laki yang tak boleh diceritakan pada
isteri. Dan sebelum menutup telepon aku bilang pada Wati agar menyampaikan
salamku pada Tantawi dan minta padanya kapan-kapan ke kotaku agar jangan
tidak mampir.

"Aku sangat marah, karena ia tidak mampir," kataku pada akhirnya.

Enam bulan kemudian Tantawi muncul lagi di kantorku. Bobot badannya


memang kelihatan turun. Tapi senyumnya sama seperti masa lalu. Sungguhpun
demikian gerak-geriknya terlihat seperti telah berobah. Nampaknya ia
memaksakan kelincahan. Dia mengatakan akan ke M lagi. Untuk melakukan
studi perbandingan selama seminggu, katanya.

"Engkau mau aku menulis surat buat anak buahku di sana?" tanyaku dengan
menyimpan rasa was-was, karena telah terjadi kesalahan kecil dulu itu.

Ia senyum saja.

"Kau cukup dilayani di sana dulu? Kau merasa senang?"

"Ya, aku senang sekali di sana," katanya sambil tersenyum.

Lalu aku ambil kertas nota. Aku tulis Layanilah seluruh keperluan temanku ini
dengan lebih baik. Aku masukkan ke dalam amplop, tanpa dilem, aku berikan
kepadanya. Dan ketika dia sudah pergi, aku menelepon ke M untuk
memperingati Beny agar jangan melakukan kesalahan kedua kalinya. Tapi
sebaliknya agar dijaga jangan sampai Tantawi kesepian selama di M.

Karena kesibukan oleh pekerjaan aku lupa pada Tantawi dalam masa sebulan
waktu berlalu. Dan aku merasa aneh, kenapa ia tidak mampir ke kantorku
sebelum kembali ke kotanya. Aku ingin tahu kenapa. Lalu aku menelepon ke
kantornya. Dari pegawainya aku mendapat keterangan Tantawi masuk rumah
sakit. Seminggu setelah pulang dari M.

"Apa sakitnya tak tahu, Pak. Cuma suka merenung terus. Sesekali suka bicara
sendirian," jawab suara dari telepon di seberang lautan itu.

Aku pikir, tentulah anak buahku sudah salah layanan lagi terhadap Tantawi yang
orang baik itu. Maka aku menelepon Beny.

"Tidak, Pak. Aku tidak melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Tidak
kubiarkan dia kesepian, la kutemani ke rness bersama isteriku sampai dua
malam. Pada malam ketiga ia tidak mau keluar kamarnya ketika kami kunjungi
lagi. Pak. Malam berikutnya juga begitu. Sampai ia pulang ia suka marah-marah
pada pelayan. Kami tidak mengerti, kenapa dia begitu," jawab Beny dengan
sedikit ketakutan.

Aku tidak puas. Aku lalu menelepon ke kotanya lagi menanyakan pada dokter
yang merawat Tantawi. Tapi dokter itu tidak menerangkan banyak untuk
memuaskanku. la hanya bilang, Tantawi menderita sedikit gangguan psikologis.
Tidak berat. Meski memerlukan waktu. Pikirku, penyakit temanku itu bukan
tidak berat, kalau dokter itu sampai bilang bahwa penyembuhannya akan
memerlukan waktu. Menurut dugaanku, tentulah ada sesuatu yang mengganjal
hatinya selama di M. Lalu aku ceritakan semua yang kuketahui apa yang
dilakukan Beny selama dua kali Tantawi di M.

"Kalau begitu, obatnya ada di mess itu," kata dokter itu setelah agak lama
kemudian.

"Di sana tidak ada apa-apanya, dokter," kataku tak paham.

"Perempuan itu obatnya," kata dokter itu dengan tegas.

"Jangan gila-gilaan, dokter. Tantawi orangnya orang baik," kataku dengan


marah.

"Ada kalanya laki-laki memerlukan perobahan. Lebih-lebih mengingat isterinya.


. ."

Kata-kata dokter itu tak kubiarkan berlanjut. Aku letakkan gagang teleponku.
Lalu bersandar di kursi dengan perasaan lemas sambil berpikir. Apakah aku
harus membalas jasa Tantawi dulu, hingga aku tak jadi masuk penjara, dengan
mengirimnya ke M kalau memang demikian terapinya? Isteriku pasti tidak
setuju. Tapi bagaimana pendapat Anda?
5 Sepasang Jas dari Menteri
Saya selalu menderita salah kaprah dalam persoalan stelan jas. Terkecuali pada
masa perjaka. Pada masa itu ada rasa keren dan bergengsi bila memakainya.
Apalagi kalau melilitkan seutas dasi di leher. Waktu itu aku tinggal di
Bukittinggi, kota yang berhawa dingin. Stelan jas memang terasa lebih
bermanfaat. Misalnya kalau pulang dari resepsi di Gedung Nasional dengan
berjalan kaki di tengah malam, kelopak jas yang lebar itu dapat ditutupkan
sehingga seluruh dada terlindung dari serbuan hawa malam. Waktu itu aku
punya 2 stelan jas. Satu dengan model dubble brass, dan yang lain model
berkancing dua.

Ketika mau kawin, saya memesan satu stel lagi. Modelnya berkancing satu,
sesuai dengan mode masa itu. Karena ganjil rasanya kalau penganten baru tidak
mengenakan stelan jas pada waktu berkunjung ke rumah sanak-saudara setelah
upacara perkawinan rampung dengan selamat.

Setelah itu sava tidak pernah memesan stelan jas lagi. Soalnya, setelah saya
menikah perang PRRI meletus dan berkelanjutan dengan kekalutann

tanah air sampai peristiwa G30S meledak yang gemanya begitu lama
menghilang. Jangankan membeli stelan jas baru, memakai yang lama saja saya
tidak merasa tega. Tapi celananya menjadi usang karena sering dipakai.

Ketika saya dipilih jadi anggota DPRD Propinsi dan akan dilantik, stelan jas
menjadi sangat penting. Karena ada kesan, jika tidak memakai stelan jas waktu
dilantik, upacara akan bisa batal. Maka dibongkarlah kopor penyimpan jas yang
sudah lama terlupakan. Ternyata semuanya sudah menguning dan rusak dimakan
rayap. Untuk memesan yang baru tidak mungkin. Selain karena alasan waktu,
juga karena tidak punya kelebihan uang. Maklumlah sedang lagi menganggur.
Untuk mengatasi masalahnya, saya pinjam stelan jas saudara sepupu. Ukuran
tubuh sepupu itu agak tinggi sedikit. Maka waktu dicobakan memakainya,
celana agak kedalaman, lengan baju agak kepanjangan. Tapi lak apalah.
Pinggangnya nanti bisa dilipat. Sedangkan lengannya bisa disembunyikan
dengan terus menerus memasukkan tangan ke kantong baju atau celana.

Demikianlah saya dilantik menjadi "anggota yang terhormat" dengan


menggunakan stelan jas kebesaran menurut artinya yang harfiah serta dipinjam
dari sepupu yang merasa bersyukur karena saya tidak lagi

menganggur. Akan tetapi masalah stelan jas belum selesai sekian saja. Menjadi
anggota DPRD yang selalu dipanggilkan dengan "saudara anggota yang
terhormat" itu, perlu menghadiri acara dan upacara protokoler yang mewajibkan
semua orang memakai stelan jas. Karena dalam surat, undangan tertera kalimat
yang berbunyi: Pakaian Resmi, Lengkap.

Saya adalah orang yang berpikir rasional, menurut pendapat saya. Maka menurut
pikiran saya, aturan memakai stelan jas di negeri tropis seperti kota Padang pada
upacara siang hari di lapangan terbuka, betul-betul merupakan peraturan yang
ngawur. Lagi pula, mengeluarkan uang separoh dari penerimaan anggota DPRD
untuk membeli stelan jas yang akan digunakan 2 kali setahun dan masing-
masingnya untuk 2 atau 3 jam, betul-betul tidak rasional. Tapi apa yang harus
sava katakan, kalau pembuat peraturan itu adalah orang-orang yang memandang
bangsa Indonesia telah sama makmurnya dengan mereka? Akibatnya saya tidak
pernah hadir pada acara yang undangannya memuat catatan: Pakaian Resmi.
Lengkap itu.

Syukurlah. Karena semua orang sependapat, lebih baik tidak hadir pada acara itu
daripada datang tanpa stelan jas yang telah menjadi pakaian resmi.

Namun masalah stelan jas itu rupa-rupanya belum akan selesai melingkari hidup
saya. Sekali hari seorang penjahit datang ke rumah saya. la membawa guntingan
kain wol yang beraneka ragam raginya. Saya disuruh memilih ragi yang saya
sukai. Lalu mengukur tubuh saya. Sambil mengukur ia berkata, bahwa ia disuruh
ajudan dari Jenderal... Karena jenderal itu mau pindah dan ingin memberi
kenang-kenangan buat saya. Luar biasa sekali, kata hati saya. Ketika saya
menduga pemberian itu karena jenderal itu tahu saya tidak punya stelan jas, saya
termangu.

Waktu Itu saya sedang sakit. Sakit yang rutin mulanya, kiraanku. Akan tetapi
tidak kunjung sembuh, setelah memakan obat yang sudah rutin pula untuk
penyembuhannya. Sehingga saya perlu ke dokter. Dan dokter memberi saya
injeksi 2 kali seminggu selama 10 minggu. Dengan tambahan aturan yang lazim,
tidak boleh keluar rumah, terutama malam hari, harus minum susu, makan telor
dan berhenti merokok. Akibatnya saya tidak bisa melepas Jenderal. . . ketika
berangkat pindah tugas. Dan akibat lainnya saya lupa pada stelan jas di penjahit
itu. Si penjahit juga lupa setelah jenderal itu pindah.

172

173

Saya ingat kembali pada stelan jas itu, ketika saya akan ke Belanda. Saya pergi
mengambilnya, tapi stelan itu perlu dipaskan ke badan saya. Ternyata celana
begitu sempit pada panggul dan pinggang. Baju jas pun sempit pula pada perut
saya.

"Penjahit goblok," kata saya dalam hati. Dan penjahit itu sendiripun bingung.
Panggul dan perut saya diukur lagi. Dan dicocokkan dengan catatan pada
bukunya. Ternyata memang ada selisih yang cukup banyak. Andaikata sedikit
saja selisihnya stelan itu masih bisa dipermak, kata penjahit itu. Akhirnya baju
sempit itu saya bawa jugalah pulang.

Lalu saya timbanglah badan saya. Dulu normalnya berat badan saya 44 Kg.
Akan tetapi ketika ditimbang waktu itu menunjukkan angka 55 Kg. Sudah
menjadi abnormal rupanya akibat sakit saya yang sembuh.

Ketika berangkat ke Belanda, saya bawa jugalah jas yang sempit itu. Karena
menurut teman-teman yang sudah sering keliling dunia, stelan jas sangat
penting. Apalagi datang ke Belanda karena diundang, dan sudah tentu akan ada
resepsi atau pertemuan resmi.

"Dan jangan lupa, stelan jas kita kenal lewat Belanda dan orang Belanda terkenal
konservatifnya," kata teman-teman itu lagi. Tak apalah, pikir saya, jas itu bisa
juga dipakai asal tidak dikancingkan. Sempit sedikit tak akan kentara.

"Siapa tahu, baju sempit sedang jadi mode sekarang di Eropah," kata saya
menghibur isteri saya yang risau karena baju jas yang sempit itu. Tapi celananya
memang tidak bisa dipakai sama sekali. Dan akhirnya saya turunkan kepada
anak laki-laki saya dengan sedikit dipermak.

Berpikir bahwa stelan jas merupakan produk kebudayaan Belanda, maka saya
menjadi salah kaprah ketika tiba di Schiphol. Saya keluar dari pesawat dengan
memakai jas dan tentu saja dilengkapkan dengan dasi. Yang menyambut saya
ternyata hanya memakai jaket saja. Wah. Mulailah saya salah kaprah. Pikir saya,
masa saya yang Indonesia pakai jas dan dasi, sedangkan Belandanya sendiri
tidak? Kemudian datang seorang Belanda lainnya mendekati saya. Dan
menanyakan apakah barang-barang saya sudah cukup. Saya pikir, inilah
penyambut saya yang sesungguhnya. Bos dari yang tadi karena ia memakai
pakaian yang lengkap, berstelan jas dan berdasi. Akan tetapi ketika ia tiba-tiba
mengangkat koper saya, saya menjadi rikuh sekali. Dengan spontan saya cegah
ia melakukannya. Tapi ia tidak perduli. Kopor saya dimasukkannya ke ruang
bagasi mobil. Saya bingung sekali, seorang bos

yang berstelan jas mengangkat kopor saya. Ternyata kemudian dia bukan bos,
melainkan sopir. Dan saya pun bertambah bingung karenanya.

Pada waktu pengundang mengadakan resepsi khusus untuk saya, sekali lagi saya
kebingungan dalam memikirkan pakaian yang akan saya pakai. Kalau saya
memakai stelan jas, jangan-jangan saya akan disangka sopir. Kalau tidak saya
pakai, yang akan saya hadiri ialah resepsi untuk saya dan negeri ini adalah negeri
Belanda sumber ilham bangsa Indonesia untuk ikut berstelan jas. Masa bodoh,
kata saya. Saya pakai saja jas saya, meski tidak satu stel dengan celana. Benar
saja semua orang memakainya. Termasuk staf kedutaan Indonesia. Terkecuali J.
Thermoshuizen yang akan menyampaikan pidato. Ia cuma pakai jaket.

Di ruang resepsi, sebelum acara dimulai, semua orang masih berdiri sambil
ngobrol. Semuanya mengancingkan jasnya sehingga anggun dan apik kelihatan.
Dan saya meniru mereka pula. Namun perut saya harus dikempiskan benar-benar
agar kancing jas saya terpasang. Akan tetapi saya khawatir karicing itu akan
putus nanti. 'Kan saya perlu bernafas sehingga tidak mungkin perut saya
dikempiskan terus menerus. Mudah-mudahan saja mereka tidak melihat saya
telah memakai jas secara salah. Kalau pun mereka melihat dan mengejek saya,
mereka toh akan tetap di Belanda dan saya akan kembali ke Indonesia. Lagi pula
saya datang ke Belanda mewakili diri saya sendiri.

Tapi masalah stelan jas itu belum selesai lagi. Selama di Belanda saya
mengambil kesempatan untuk menghubungi suatu Lembaga yang penting bagi
kerja sama dengan lembaga yang saya urus. Saya menelepon mereka. Saya
diberi waktu dan bahkan diundang makan pada waktu itu. Tentu saja saya
mengenakan jas yang sempit itu lagi pada hari pertemuan itu. Waktu saya
berkaca di kamar hotel, memang terlihat keren jugalah saya waktu itu. Tapi apa
yang saya dapati? Tuan rumah saya hanya mengenakan jaket. Dan ia langsung
membawa saya makan ke restoran. Di restoran itulah pembicaraan berlangsung.
Dalam hati saya, kalau saya tahu saya tidak perlu datang mengenakan baju
sempit ini.

Berpengalaman di Belanda, motto "kleren maken de man" telah usang. "Orang"


tidak ditentukan lagi oleh bajunya. Saya buang pikiran yang beranggapan bahwa
stelan jas itu adalah resmi dan penting. Di Belanda sendiri ternyata tidaklah
seketat apa yang dipikirkan orang Indonesia, kata saya menegaskan diri sendiri.
Maka sejak itu saya tidak merasa tertekan lagi bila menghadiri setiap undangan
resmi dan protokoler. Saya kenakan saja batik lengan panjang. Akhirnya semua
orang menerima kehadiran saya dengan apa adanya. Namun demikian, setiap
orang yang tidak mengenal saya akan selalu bertanya pada temannya demi
melihat tamu yang berbaju batik. Dan jawab temannya selalu sama, "Ah, dia kan
seniman."

Namun masalah stelan jas itu belum selesai sampai sekian. Baru-baru ini saya
menghadiri suatu pertemuan sastrawan di negara tetangga yang kaya raya. Di
sela acara, seorang menteri ingin menjamu makan siang seorang dari setiap
anggota negara peserta. Tempatnya di Hotel Sheraton yang berjarak 50 meter
dari hotel tempat saya menginap. Karena begitu dekat, saya pikir, baik saya jalan
kaki saja. Tapi rupanya karena diundang menteri, saya tidak dibiarkan jalan kaki.
Sebuah sedan Mercedes datang menjemput. Protokol yang berstelan jas terbeliak
matanya melihat saya.

"Pak, mengapa tidak pakai stelan jas?" tanyanya, ' "Kenapa?"

Ya, bapak kan diundang menteri. Itu artinya bapak diundang negara. Di undang
raja."

"Tapi saya tidak punya stelan jas."

"Waduh, pak. Kalau dari tadi bapak katakan, saya bisa carikan."

"Kalau begitu tak usah saja saya ikut."

"Oh, jangan, pak. Itu sama saja artinya dengan bapak menolak undangan
menteri," katanya pula seraya menggaruk belakang kepalanya sehingga
kopiahnya terjongkek ke depan.

Nampak sekali wajahnya risau ketika mengantarkan saya ke lobby hotel. Banyak
orang telah hadir. Semuanya dengan stelan jas. Dan semua mata memandang
saya dengan cahaya mata yang memudar serta senyum terhejan, tidak seperti
biasanya kami ketemu. Sambutan demikian saya rasakan karena saya
mengenakan baju batik saja. Batik meteran malahan. Karena tahu diri saya
memencil. Tapi karena tahu saya dari Indonesia, wakil bangsa, saya sesali diri
sendiri.

Ketika menteri datang, semua kami berdiri. Menteri menyalami kami satu demi
satu. Tiba salamnya di tangan saya, saya rasakan tangannya tidak menggenggam
dan matanya lewat melampaui mata saya. Pastilah ia tersinggung.

Di meja makan saya dapat kursi di sebelah kiri teman dari Malaysia. Dan orang
Malaysia itu duduk persis di hadapan menteri. Artinya saya juga duduk di
hadapan menteri. Sedang makanan dihidangkan orang-orang berbicara. Sedang
makan pun mereka bicara. Menteri bicara dengan orang Malaysia di sebelah
kanan saya. Orang yang di sebelah kiri saya berbicara dengan orang yang
sebelah kirinya lagi. Dan yang di depan saya sudah punya teman bicara. Sayalah
satu-satunya yang tidak kebagian teman bicara. Sehingga makanan yang tidak
serasi dengan lidah saya itu, kian tidak enak rasanya. Alangkah tingginya nilai
sepasang jas, pikir saya.

"Pak Navis mau tinggal di sini?" tanya menteri tiba-tiba setelah semua piring
disingkirkan.

Kagok juga saya oleh pertanyaan yang tiba-tiba itu," Saya tidak bisa berpisah
dengan keluarga, Pak Menteri," kata saya.

"Bawa mereka ke sini. Tinggal di sini," katanya pula.

Saya bertambah kagok lagi. Lalu saya katakan saya sudah merasa senang tinggal
di Indonesia.

"Apa senangnya? Mungkin di sini akan lebih, barangkali," kata menteri itu pula.

"Di Indonesia hidup memang sulit, Pak Menteri. Tetapi bila setiap kesulitan
telah bisa diatasi, di situlah letak kebahagiaan, Pak Menteri. Dan anak-anak pun
setiap hari belajar mengatasi kesulitannya sendiri dengan berbagai alternatif,"
kata saya dengan merendah.

Menteri pun terpana nampaknya. Dan saya bahagia telah mampu mengatasi
suatu kesulitan yang baru saja ditemui.

Baru saja saya sampai di rumah lagi, isteri saya menyambut dengan berbagai
macam cerita duka. Seorang anak sepupunya meninggal di rumah sakit karena
terlambat mendapat donor darah. Seorang ipar saya meninggal ditabrak truk
ketika ia pergi ke mesjid untuk mengucapkan azan subuh. Tak seorangpun sanak
saudara yang mampu menjenguk ke Medan karena tidak punya uang.
Pertunangan si Mona putus karena tak mampu menyediakan uang biaya pesta di
rumah tunangannya. Malik, anak ipar isteri saya bakal tak jadi sarjana tahun ini.
Karena dosen pembimbing belajar ke luar neceri, sedang dosen pembimbing
yang baru menaruhnya melakukan riset yang lain. Biaya riset yang lalu saja,
telah menghabiskan uang setengah juta. Dari mana lagi ia dapat uang?

Rupanya kebahagiaan didapat bukan karena saya mampu mengatasi kesulitan


seperti saya katakan pada menteri di Hotel Sheraton itu. Melainkan karena
kemampuan membiarkan setiap kesulitan datang bersarang. Akibat pikiran itu
saya susah tidur. Akan tetapi wak tu tertidur saya bermimpi. Saya mendapat
kiriman stelan jas wol keluaran Inggeris dari menteri di Hotel Sheraton itu.
Waktu saya cobakan, ternyata stelan jas itu kelewat besar.

Mimpi itu saya ceritakan kepada anak-anak di meja makan. Tentu saja saya
menceritakan apa dan siapa menteri yang mengirimkan stelan jas itu.

Anak laki-laki saya yang mahasiswa menyeletuk, "Memang baju menteri terlalu
besar buat ayah."

Saya tersentak mendengar komentar yang kurang ajar itu. Dan semua mereka
tertawa. Saya buru-buiu minum, sambil berkata dalam hati, "Tidak ada yang
berpendapat bahwa semua orang telah salah mengukur saya."

Akan tetapi air di gelas saya telah sedikit, kesenakan saya tak teratasi pula.

182

Anda mungkin juga menyukai