Anda di halaman 1dari 16

CRITICAL JOURNAL REVIEW

PERKEMBANGAN TEORI KONSTITUSI UNTUK MENDUKUNG NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (ERRY
GUSMAN 2019)

KONSTITUSIONALITAS PERKAWINAN ANTAR-PEGAWAI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

(WINDA WIJAYANTI DAN ALBOIN PASARIBU 2020)

MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI FUNGSI AJUDIKASI KONSTITUSIONAL DI INONESIA

(DIYAR GINANJAR ANDIRAHARJA 2021)

DISUSUN OLEH :

(KELOMPOK 3)

Rizka Aprillia (2002060008)

Putri Tiara Dewi (2002060011)

Hamidah Dalimunthe (2002060018)

Ridho Hamdhi (2002060020)

JURUSAN PENDIDIDKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU


PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA 2021
EXECUTIVE SUMMARY

JURANAL UTAMA

Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi
dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-undang dasar dan dapat pula tidak tertulis.
Secara sederhana, konstitusi dapat didefinisikan sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara
sistematik untuk menata dan mengatur pada pokok-pokoknya struktur dan fungsi lembaga-lembaga
pemerintahan, termasuk hal ihwal kewenangan lembaga-lembaga itu. Dalam artinya yang lebih sempit,
konstitusi bahkan cuma diartikan sebagai dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan hukum tersebut.
Negara kesatuan adalah Negara yang tidak tersusun dari pada beberapa Negara, seperti halnya dalam
negarafederasi, melainkan Negara itu sifatnya tunggal, artinya hanya ada satu Negara, tidak ada Negara dalam
Negara. Jadi dengan demikian, dalam negara kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan, yaitu
pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan
pemerintahan. Pemerintahan pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi dapat memutuskan segala
sesuatu dalam Negara kesatuan.
EXECUTIVE SUMMARY

JURNAL PEMBANDING

Kebijakan perusahaan atau instansi yang melarang seorang pegawai menikah dengan rekan kerja sering
dianggap wajar untuk mencegah konflik kepentingan dan penurunan kinerja pegawai. Akibatnya pasangan
pegawai itu berada pada pilihan yang sulit yakni terpaksa berhenti bekerja ataukah merahasiakan status
perkawinan mereka. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa ketentuan di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang membuka ruang bagi perusahaan/instansi untuk menerbitkan larangan
demikian adalah inkonstitusional. Hal ini bertentangan dengan hak untuk bekerja yang diatur dalam UUD 1945.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal, menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 mengenai konstitusionalitas perkawinan antar-pegawai dalam perusahaan
yang sama belum sepenuhnya dipatuhi. Beberapa kantor yang masih menerapkan larangan ikatan perkawinan
antar-pegawai hendaknya segera mencarikan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak dalam rangka
melindungi hak konstitusional pegawai sekaligus kepentingan perusahaan.
EXECUTIVE SUMMARY

JURNALPEMBANDING

Penelitian ini ditujukan untuk menganalisa kewenangan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi sebagai
ajudikasi konstitusional menurut prinsip konstitusionalisme dan demokrasi. Muncul penilaian terhadap
Mahkamah Konstitusi selain menjadi negative legislator juga berkembang menjadi positive legislator yang
merupakan kewenangan lembaga pembentuk undang-undang. Metode yang digunakan berupa penelitian
hukum normatif. Kepustakan yang dikaji digunakan untuk menjwab pertanyaan penelitian. Dari penelitian ini
diungkapkan Mahkamah Konsitusi dalam menjalankan kewenangannya melakukan Judicial Review, pada
praktiknya terjadi suatu perdebatan di mana dalam model putusan Mahkamah Konstitusi dianggap
bertentangan dengan prinsip konstitusionalitas dan prinsip demokrasi dalam hal pembentukan suatu
kebijakan. Beberapa model tersebut dianggap melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi berupa adanya
putusan yang berisi argumen kebijakan serta adanya putusan yang di dalamnya ada perumusan norma baru.
Kesimpulan dari penelitian ini aktivitas menafsirkan UUD 1945 memungkinkan lahirnya sudut pandang judicial
activism yang dapat memposisikan Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan yang memiliki supremasi
dalam ajudikasi konstitusional, walaupun pembentukan Mahkamah Konstitusi itu sendiri sebenarnya sebagai
bagian dari upaya pembaharuan konstitusi dalam memperkuat prinsip pemisahan kekuasaan dan prinsip check
and balances. Sehingga perlu dikedepankan proporsionalitas peran Mahkamah Konstitusi dalam ajudikasi
konstitusional.
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT,yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas Critical Journal Review adapun yang menjadi judul tugas saya adalah ‘’Critical
Journal Review” Tujuan saya menyelesaikan tugas ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah ‘’Teori
Dan Hukum Konstitusi’’.

Saya sadar bahwa tugas yang saya selesaikan ini masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan
maupun dari segi materi yang dituangkan pada tugas ini, karena keterbatasan ilmu yang saya miliki, saya
memohon maaf atas segala kekurangan dari tugas yang saya perbuata ini.mudah-mudahan dengan adanya
pembuatan tugas ini dapat memberikan berupa manfaat berupa ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi saya
sebagai penulis maupun bagi pembaca.

Meadan,15 JUNI 2021

Penulis
DAFTAR ISI

EXECUTIVE SUMMARY.....................................................................................................

KATA PENGANTAR...........................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................

1.Rasionalisme pentingnya CJR.................................................................................................

2. Tujuan Penulisan CJR.............................................................................................................

3. Manfaat CJR...........................................................................................................................

4. Identitas Journal yang Direview............................................................................................

BAB II RINGKASAN ISI JOURNAL........................................................................................

1.Pendahuluan..........................................................................................................................

2.Deskripsi isi.............................................................................................................................

BAB III PEMBAHASAN.......................................................................................................

1.Pembahasan isi journal..........................................................................................................

2. Kelebihan dan kekurangan journal........................................................................................

BAB IV PENUTUP..............................................................................................................

1.Kesimpulan.............................................................................................................................

2.Saran.......................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1. Rasionalisasi Pentingnya CJR

Critical Journal Review (CJR) merupakan suatu hal yang penting bagi mahasiswa karena mempermudah
dalam membahas inti hasil penelitian yang telah ada. Terdapat beberapa hal penting sebelum kita mereview
jurnal, seperti menemukan jurnal yang sesuai dengan topik yang diangkat, membaca keseluruhan dari isi jurnal
dan mencoba untuk menuliskan kembali dengan bahasa sendiri pengertian dari jurnal tersebut. Jurnal memiliki
beberapa ciri-ciri, seperti dibatasi sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh organisasi penerorganisasi yang
memuat jurnal ilmiah, memiliki judul dan nama penulis, terdapat abstrak yang berisi ringkasan dari isi jurnal,
introduction, metodologi yang dipakai sebelumnya dan metodologi yang diusulkan, implementasi,kesimpulan
dan daftar pustaka. Langkah penting dalam mereview sebuah jurnal, yaitu menegmukakan bagian
pendahuluan, perlu ditampilkan dalam critical journal review, yaitu mengungkapkan beberapa landasan teori
yang digunakan oleh peneliti sebagai acuan dalam penelitiannya dan tujuan apa yang ingin dicapai,
mengungkapkan metode yang digunakan, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, alat pengumpul data,
dan analisis data yang digunakan, mengambil hasil dari penelitian yang telah dilakukan dengan memberikan
deskripsi secara singkat,jelas,dan padat, serta menyimpulkan isi dari jurnal.Seringkali kita bingung memilih
jurnal untuk kita baca dan pahami. Terkadang kita memilih satu jurnal namun kurang memuaskan hati kita.
Misalnya dari segi analisis bahasa, pembahasan tentang Kriminologi. Oleh karena itu penulis membuat Critical
Journal Review ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih jurnal referensi terkhusus pada pokok
bahasan tentang Teori Dan Hukum Konstitusi.

2. Tujuan Penulisan CJR

.Tujuan dari penulisan CJR ini yaitu untuk mengkritisi atau membandingkan topik pembahasan materi kuliah
Kriminologi dalam beberapa Jurnal yang berbeda. Selain itu, untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah
Teori Dan Hukum Konstitusi.

3. Manfaat CJR

Manfaat dari pengerjaan tugas CJR yaitu untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang Kriminologi
dari berbagai sumber yang tersedia, meningkatkan kemampuan dan menguatkan pembahasan yang ada pada
sebuah jurnal dengan pembahasan yang ada pada jurnal lain.
4.Identitas Journal Yang Direview

JURNAL 1

1.Judul : Perkembangan Teori Konstitusi Untuk Mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia

2. Edisi : Vol.1 No.2.2 Januari 2019

3.Pengarang Artikel : ERRY GUSMAN

4. Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Padang

5.Kota Terbit : Sumatera Barat (Padang)

JURNAL 2

1.Judul : Konstitusionalitas Perkawinan Antar-Pegawai Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

2. Edisi : Vol 17,No3,September 2020

3.. Pengarang Artikel : Winda Wijayanti dan Alboin Pasaribu

4.Penerbit : Pusat penelitian dan pengajian perkara mahkamah konstitusi RI

5. kota Terbit ; Jakarta

JURNAL 3

1.Judul : Mahkamah Konstitusi SebagainFungsi Ajudikasi Konstitusional di Indonesia

2. Edisi : Vol.3N0.2 :70-79

3. Pengarang Artikel : Diyar Ginanjar Andiraharja

4. Penerbit : Bdan Pengawas Pemilu

5.Kota Terbit : Cimahi,indonesia


BAB II

RINGKASAN JOURNAL

1.PENDAHULUAN

JURNAL UTAMA

Sebelum membahas teori konstitusi terlebih dahulu membahas apa itu teori.Teori berasal dari kaya
"theoria" dalam bahasa lain yang berarti "perenungan" yang pads giliran nya berasal dari kata "thea" dalam
bahasa yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang di sebut dengan realitas ( soetandyo
wignjoesobroto,2003.

Kata teori pada dasarnya banyak di gunakan. Sebanyak seperti dalam kehidupan sehari hari. Misal nya
menurut kamus shorter oxfrod dioctonary teori mempunyai beberapa defenisi yang salah satu nya tepat di
siplin akademik " suatu skema atau sistim gagasan atau pernyataan yang di anggap sebagai penjelasan atau
keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena, suatu pernyataan tentang sesuatu yang di anggap sevagai
hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang di ketahui atau fi amati, sedangkan dalam kamus besar
indosesia teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan didukung oleh data dan
argumentasi. Konstitusi dalam kamus besae bahasa indonesia adalag segala letentuan danaturan
ketatanegaraan/perundang undangan dasar suatu negara.

2.DESKRIPSI ISI

JURNAL UTAMA

menggambarkan bantuan hukum terhadap perlindungan tenaga kerja outsorcing pasca putusan Mahkamah
Konstitusi, karenaMetode yang di terap kan ini digunakan sebagai pedoman untuk mempersiapakan
bagaimana cara atau bagaimana prospek pembentukan daerah istimewa sumatera barat dalam koridor negara
kesatuan republik indonesia yang berdasarkan konstitusi indonesia. Karena konstitusi adalah payung hukum
yang paling tinggi dinegeri ini, maka apapun yang tertuang atau tertulis didalamnya dapat dijadikan pedoman
guna mencapai tujuan berbangsa yakni untuk membentuk pemerintahan negara indonesia dan seluruh
tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi.
PENDAHULUAN

JURNAL PENDAMPING

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pelaku kekuasaan kehakiman memiliki wewenang untuk menguji
Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945).1Dalam perkembangannya, MK juga berwenang melakukan pengujian atas peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perpu) terhadap UUD 1945. Hal ini disebabkan karena Perpu melahirkan norma
hukum yang akan dapat menimbulkan status hukum baru, hubungan hukum baru, dan akibat hukum baru
yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang.2Kewenangan MK dalam menguji undang-undang
selalu menjadi perhatian banyak kalangan sebab putusan-putusannya merumuskan arah politik hukum ke
depan atas suatu persoalan. Salah satu diantaranya adalah terkait dengan larangan perkawinan dengan rekan
kerja dalam satu kantor. 8 (delapan) pegawai dan mantan pegawai PT. Perusahaan Listrik Negara/PLN
(Persero) mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undangan
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Para pemohon mendalilkan bahwa
ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 berbunyi
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja”.

DESKRIPSI ISI

JURNAL PENDAMPING

undang-undang tersendiri yang memberikan kemandirian dalam mengatur urusan kepegawaian atau
personalia menjadi alasan tidak diikutinya kehendak putusan MK pada kedua instansi ini. Namun demikian,
pokok-pokok pengaturan di bidang ketenagakerjaan haruslah mengacu pada UU Ketenagakerjaan. Undang-
undang ini menggariskan standar minimal yang harus dipenuhi atas hak-hak dan kewajiban pekerja/buruh,
perjanjian kerja, dasar pemutusan hubungan kerja, dan hal-hal terkait lainnya. Oleh karenanya, alangkah tepat
bila menyelaraskan pengaturan demikian di internal instansi yang dibentuk berdasarkan undang-undang
seperti BI dan OJK.Merumuskan peraturan yang memungkinkan terwujudnya kondisi kerja yang baik,
profesional, dan berkeadilan hendaknya menjadi jalan keluar yang perlu dipertimbangkan. Misalnya dengan
menempatkan pegawai yang memiliki ikatan perkawinan dalam divisi, unit bisnis, atau wilayah kerja yang
berbeda sebagaimana dilakukan oleh PT. PLN (Persero). Merumuskan aturan lain yang lebih ketat juga dapat
dilakukan sepanjang tidak menjadikan adanya ikatan perkawinan sebagai alasan pemutusan hubungan kerja.
Sebab, hak atas pekerjaan merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh instrumen hukum nasional dan
internasional. Keberadaan putusan MK yang menafsirkan norma undang-undang adalah upaya menyelaraskan
kehendak konstitusi ke dalam peraturan perundangundangan di bawahnya. Sesuai pertingkatan norma hukum,
konstitusi merupakan hukum tertinggi suatu negara yang memiliki sifat fundamental.
PENDAHULUAN

JURNAL PENDAMPING

Satu ciri yang dapat ditemui di kebanyakan negara, baik yang memakai sistem Common Law maupun Civil Law
adalah berupa hak untuk menguji (toetsingsrecht) yakni hak untuk menguji apakah regulasi atau peraturan
hukum yang hirarkinya lebih rendah dari undang-undang bersesuaian atau tidak dengan undang-undang yang
bersangkutan (Qamar, 2012). Namun di beberapa negara, Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk
menguji apakah suatu undang-undang telah bersesuaian atau tidak dengan Undang-Undang Dasar serta guna
menolak melaksanakan undang-undang serta peraturanperaturan lainnya yang dianggap berlawanan dengan
Undang-Undang Dasar, hal ini disebut dengan ‘Judicial Review’ (Budiardjo, 2003; Mubarok & Al Hadad, 2021).
Asshiddiqie (2019) menyatakan ‘Judicial Review’ sebagai suatu usaha pengujian oleh lembaga yudisial
terhadap suatu produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif
dalam rangka menerapkan ‘check and balances’ berdasar atas prinsip pembatasan kekuasaan, yang salah satu
implementasinya berupa pemisahan kekuasaan (Gandara, 2020). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.”

DESKRIPSI ISI

JURNAL PENDAMPING

Konsep Judicial Review di negara Indonesia mengalami perkembangan pasca dilakukannya amandemen UUD
1945, utamanya melalui pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi. Konsep Judicial Review acapkali
memunculkan perdebatan dan sering disandingkan dengan toetsingrecht, constitutional review yang sering
tumpang tindih satu dan lainnya. Judicial Review berbeda cakupan artinya dengan istilah constitutional review,
hal ini karena Judicial Review dalam sistem hukum common law tak hanya berarti “the power of the court to
declare laws unsconstitutional”. Istilah ini juga terkait dengan aktivitas“examination of administration
decisions by the court”. Sehingga eksistensi Judicial Review memiliki objek yang lebih luas jika dibandingkan
dengan constitutional review yang terbatas pada pengujian konstitusional suatu regulasi terhadap Undang-
Undang Dasar (Helmi, 2019).Asshiddiqie (2019) menyatakan, objek Judicial Review dalam praktik dikenal
dengan tiga jenis norma yang dapat diuji. Pertama, keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan
(regelling). Kedua, keputusan non-normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking).
Ketiga, keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (vonnis). Menurut Sri Soemantri,
sebagaimana dikutip Rosidin & Rusdiana (2018) keberadaan Judicial Review dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia berkaitan dengan adanya sistem dan kebutuhan di Indonesia. Jika terkait masalah sistem, Judicial
Review hanya dapat dipraktikkan oleh negara yang menganut sistem trias politica. Sedangkan kebutuhan ,
Judicial Review dibutuhkan berdasar stuffen theory, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi atau lex superiori derogate legi inferiori.Selanjutnya objek dari Judicial
Review ini dapat terkait dengan legalitas suatu regulasi di bawah hirarki undang-undang terhadap undang-
undang (Simanjuntak, 2018). Tidak sekadar undang-undang terhadap konstitusi saja. Kemudian dari subjek
pengujinya , arti Judicial Review juga mengalami penyempitan makna, yakni Judicial Review hanya dapat
dilakukan oleh mekanisme peradilan yang dilakukan oleh hakim. Kemudian constitutional review subjek
pengujinya dapat dilakukan oleh pengadilan (Judicial Review), badan legislatif (legislative review), lembaga
eksekutif (executive review) Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi dengan alat uji konstitusi merupakan
aktivitas ajudikasi konstitusional. Ajudikasi konstitusional pada intinya merupakan bagaimana suatu pengadilan
bekerja terhadap konstitusi. Dengan kata lain bagaimana hakim memutus atau seharusnya memutus perkara
dalam ajudikasi konstitusional. Hal mendasar yang mesti dibahas dalam penafsiran konstitusi adalah
bagaimana konstitusi harus ditafsirkan, mengingat interpretasi menjadi aktivitas yang inheren dalam Judicial
Review. Dalam hal ini, Judicial Review tidak hanya sekadar menilai apakah bagian , pasal atau ayat dalam suatu
undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, tetapi lebih dari itu, yakni ketika
menerapkan kaidah-kaidah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, maka hakim mesti memutuskan makna
kaidah-kaidah tersebut. Oleh sebab itu, Judicial Review memiliki dimensi atas undang-undang yang diuji dan
penafsiran atas konstitusi sebagai alat uji. Pada aspek kedua, karena uji konstitusionalitas suatu undang-
undang tidak saja hanya memberi tafsir atas teks konstitusi, namun juga bagaimana suatu tafsir konstitusi itu
diterapkan dalam undang-undang yang diuji. Maka dari itu, Randy E. Barnet menyatakan Judicial Review suatu
undang-undang sering berada pada dua ranah yakni ranah interpretasi dan ranah konstruksi. Sehingga dalam
suatu ajudikasi konstitusional Hughes menyatakan ‘a constitution is without meaning until te judges pour
meaning into its provisions’ (Salman, 2017).
BAB III

PEMBAHASAN

1.Pembahsan Isi Jurnal.

Jurnal Utama

tersebut, atas dasar logika demikian itulah Mahkamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki
kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi peraturan produk legislatif (judicial riview) tehadap
materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit memberikan kewenangan demikian
kepada Mahkamah Agung. Oleh karena itu, pemakaian kata konstitusi lebih dikenal untuk maksud sebagai
pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu negara. Dengan kata lain secara sederhana konstitusi
dapat diartikan sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara yang dipersiapkan
sebelum maupun sesudah berdirinya negara yang bersangkutan. Berdasarkan fakta dan fenomena dan
didukuang oleh UUD NRI 1945, penggunaan teori konstitusi ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk
mempersiapakan bagaimana cara atau bagaimana prospek pembentukan daerah istimewa sumatera barat
dalam koridor negara kesatuan republik indonesia yang berdasarkan konstitusi indonesia. Karena konstitusi
adalah payung hukum yang paling tinggi dinegri ini, maka apapun yang tertuang atau tertulis didalamnya dapat
dijadikan pedoman guna mencapai tujuan berbangsa yakni untuk membentuk pemerintahan negara indonesia
dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi. Menurut
Fred Isjwara (1974), Negara kesatuan adalah bentuk kenegaraan.

JURNAL PENDAMPING

Aturan yang membatasi perkawinan seorang pegawai dengan rekan kerjanya dalam satu
kantor biasanya dituangkan dalam peraturan internal atau perjanjian kerja. Sebagai pemberi
kerja, pengusaha atau manajemen perusahaan/instansi memegang kendali yang kuat dalam
merumuskan aturan internal dan perjanjian kerja yang diberlakukan bagi seluruh karyawan.
Melalui wawancara secara formal terhadap 5 (lima) perusahaan/instansi, berikut ini
dikemukakan bagaimana respons perusahaan/instansi atas putusan MK yang membatalkan
frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersam” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan.

1. PT. PLN (Persero

Sekilas mengenai keberadaan Perusahaan Listrik Negara (PLN), perusahaan ini berawal dari
adanya Badan Pemimpin Umum Perusahaan Listrik Negara yang bergerak di bidang listrik,
gas, dan kokas. Pada tahun 1965, perusahaan yang menangani listrik dan gas dipisah.
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1972, status PLN
ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan (PKUK) untuk menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Seiring
kebijakan Pemerintah yang memberikan kesempatan kepada sektor swasta dalam bisnis
penyediaan listrik, maka sejak tahun 1994, status PLN beralih dari Perusahaan Umum
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam menyediakan listrik
bagi kepentingan umum.

2. Bank Indonesia (BI)

Sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (UU BI), BI bertujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Bank sentral Indonesia ini memiliki kantor perwakilan di dalam dan luar negeri, serta bidang
pekerjaan yang saling berkaitan (job family). Jumlah pegawai diperkirakan mencapai 6.000
orang dan job family yang dimaksud yaitu sistem pembayaran, moneter, Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK), supporting(enabler), dan market. Jumlah pegawai yang cukup besar dan job
family yang erat kaitannya sangat memungkinkan terjadinya perkawinan antar pegawai di
instansi ini.

Sebelum kebijakan larangan perkawinan di antara sesama pegawai BI ditetapkan pada tahun
1999, para pegawai di instansi ini masih diperbolehkan memiliki ikatan pernikahan dengan
sesama rekan kerjanya. Hal ini terjadi sekitar tahun 1980, namun menimbulkan dampak pada
pengambilan keputusan. Pembatasan perkawinan antar pegawai di lingkungan BI semakin
tegas dengan diberikannya independensi untuk mengatur sumber daya manusianya sendiri
melalui Peraturan Dewan Gubernur (PDG)11 berdasarkan Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 44 ayat
(3) UU BI.12.

3. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Meskipun tidak disebut secara eksplisit di dalam UUD 1945 dan dibentuk hanya melalui
Undang-Undang oleh lembaga yang berwenang, OJK memiliki constitutional importance14
dalam menjalankan fungsinya untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.15 Dengan
keberadaannya saat ini, pengaturan dan pengawasan perbankan beralih dari BI ke OJK.
Demikian pula pengaturan dan pengawasan di sektor pasar modal, perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan yang sebelum dipegang oleh
Menteri Keuangan dan Badan Pengawasa Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kini sudah
beralih ke OJK.OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner yang bersifat kolektif dan kolegial
dengan jumlah 9 (sembilan) orang. Sebagaimana halnya BI, OJK juga memiliki kewenangan
mandiri mengelola urusan kepegawaiannya sendiri Pengaturan mengenai kepegawaian
lembaga ini diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner.16 Di dalam struktur kelembagaan
OJK terdapat Komiter Etik yang bertugas mengawasi keppatuhan Dewan Komisioner,
pejabat, dan pegawai OJK terhadap kode etik.

4. Bank Mandiri

Bank Mandiri yang memiliki sekitar 30.000 karyawan19 berdiri tanggal 2 Oktober 1998
merupakan hasil restrukturisasi perbankan oleh pemerintah. Sebanyak 4 (empat) bank
pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia dan
Bank Pembangunan Indonesia dilebur menjadi Bank Mandiri pada bulan Juli 1999.20
Sebagaimana telah dikemukakan di awal tulisan, salah satu dari keempat bank ini, yakni
Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) telah menerapkan pembatasan perkawinan antar
pegawai melalui Keputusan Direksi Nomor 6 Tahun 1973.Sebelum terbitnya putusan MK,
benar adanya kebijakan larangan perkawinan antar-pegawai dalam sebuah bank yang sama.
Seorang pegawai harus mengundurkan diri jika diketahui telah mengikatkan diri dalam status
perkawinan dengan sesama rekan kerjanya. Usai dibacakannya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017, Bank Mandiri menindaklanjutinya dengan segera
menetapkan peraturan internal. Hal ini dilakukan karena putusan MK dianggap setara dengan
Undang-Undang. Sebelum menetapkan peraturan internal berupa petunjuk teknis, mereka
telah mengadakan beberapa kali pertemuan untuk membahas putusan MK dengan bank-bank
lainnya seperti Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI).

5. Kementerian Ketenagakerjaan

Kementerian Ketenagakerjaan merupakan salah satu organ kementerian yang bertanggung


jawab atas urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Berdasarkan klasifikasi urusan
pemerintahan setiap kementerian, bidang ketenagakerjaan masuk ke dalam kelompok urusan
pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945.23 Fungsi Kementerian
ini antara lain meliputi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan daya saing tenaga
kerja dan produktivitas, peningkatan penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan
kerja, pembinaan pengawasan ketenagakerjaan serta keselamatan dan kesehatan kerja.

Anda mungkin juga menyukai