Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN PRAKTIKUM 1

PEMILIHAN HEWAN PERCOBAAN

Di susun oleh :
1. ANNISA AGUSTRIANA (KHGF20001)
2. WILLY JANUAR PRATAMA (KHGF20040)
KELAS : 1A
Dosen Pengampu :
Nurul, M.Farm., Apt.
Dani Sujana, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI D3 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARSA HUSADA
GARUT
2021
1.1. Tujuan Praktikum
Pada praktikum ini, mahasiswa dapat memilih hewan percobaan yang baik
dengan menggunakan metode Body Condition Scoring (BCS).

1.2. Dasar Teori


Pada uji farmakologi suatu sediaan dilakukan uji praklinis dan uji klinik
dimana uji praklinik dilakukan pada hewan coba seperti mencit (Mus musculus), tikus
(ratus Novergikus), kelinci (oryctogal us cuniculus), marmot (carvia parcellus) dan
untuk uji klinik dilakukan pada manusia. Namun, tidak sembarang hewan uji tersebut
bisa digunakan karena harus mematuhi beberapa kriteria hewan uji.
Pemanfaatan hewan percobaan demi pengembangan ilmu dan teknologi
semakin meningkat, baik dalam penggandan jumlah, ras,maupun aneka kondisi
hewan. Sejalan dengan hal tersebut terjadi pula peningkatan teknik dalam tata
laksana peternakan dan pengembanganbiakan, serta cara-cara perlakuan dan
penanganan terhadap hewan percobaan (Sulaksono,1987).
Hewan coba / hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah
hewan yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Mencit
merupakan hewan yang paling umum di gunakan pada penelitian laboratorium
sebagai hewan percobaan yaitu sekitar 40-80%. Mencit memiliki banyak keunggulan
sebagai hewan percobaan yaitu siklus hidup yang relative pendek, jumlah anak
perkelahian banyak, variasi sifat sifat nya tinggi dan mudah dalam penanganannya
(Ridwan,2013).
Dalam penggunaan hewan percobaan di samping mutu harus baik, juga
pengadaan harus mudah dan siap setiap saat bila mana diperlukan . Dengan
demikian tidak terjadi kendala dalarn merencanakan suatu percobaan. Rancangan
percobaan yang makin komplek banyak perlakuan, makin banyak memerlukan
hewan. Lebihlebih kalau merencanakan membunuh hewan pada periode
berbedabeda, hewan perkelompok harus tersedia cukup banyak. Lama penggunaan
hewan percobaan dapat pula mempengaruhi cara pengadaannya (Sundari,1986).
Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus
diterapkan prinsip 3R dalam protokol penelitian, yaitu: Replacement, Reduction,
dan Refinement.
Replacement adalah banyaknya hewan percobaan yang perlu digunakan
sudah di hitung sebelumnya secara seksama. Perhitungan tersebut bisa dilihat
berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang sejenis atau berdasarkan literatur
untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh makhluk
hidup lain seperti sela tau biakan jaringan.
Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian harus
seminimal mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimal
biasa dihitung menggunakan rumus Frederer yaitu (n1) (t-1) >15, dengan n adalah
jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan. Kelemahan
dari rumus ini adalah semakin sedikit kelompok penelitian, semakin banyak jumlah
hewan yang diperlukan, serta sebaliknya. Untuk mengatasinya, diperlukan
penggunaan desain statistik yang tepat agar didapatkan hasil penelitian yang sahih.
Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi
(humane), memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta
meminimalisasi perlakuan yang menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan
hewan coba sampai akhir penelitian. Didalam penelitian, ada beberapa hewan uji
yang sering digunakan, yakni tikus, kelinci, dan primata. Permasalahannya adalah
tidak sembarang hewan uji bisa digunakan untuk penelitian. Hewan hewan uji
tersebut harus memenuhi beberapa kriteria sehingga hewan uji dapat dikatakan
sesuai untuk fungsi atau penyakit yang di jadikan obyek penelitian kita. Berikut
beberapa spesies hewan uji beserta karakteristiknya serta seringnya peneliti
menggunakannya.
BCS adalah titik akhir klinis yang lebih baik daripada berat badan.
Penggunaan berat badan saja tidak dapat membedakan antara lemak tubuh atau
simpanan otot. Berat badan hewan yang kurang dapat tertutupi oleh kondisi
abnormal (misalnya pertumbuhan tumor, akumulasi cairan ascetic, dan pembesaran
organ) atau pada kondisi normal (misalnya kehamilan). selain itu jika suatu hewan
telah kehilangan berat badan lebih dari 20% namun berdasarkan penilaian BCS
kondisinya masih di nilai 3 (BCS 3) maka mungkin belum perlu dilakukaan euthanasia
segera. Dengan demikian, BCS adalah penanda yang lebih komprehensif dan akurat
untuk kesehatan hewan dibandingkan kehilangan berat badan.
Nilai BCS yang kurang dari 2 biasanya akan dianggap sebagai titik akhir klinis.
Endpoint klinis lain juga dapat dilaporkan seperti:
1. Penurunan perilaku eksplorasi
2. Keengganan untuk bergerak (penurunan penggerak / mobilitas),
3. Postur membungkuk,
4. Piloereksi (rambut berdiri),
5. Dehidrasi sedang hingga berat (mata cekung, lesu),
6. Nyeri tak henti-hentinya (misalnya distress vokalisasi).

1.3. Prinsip Percobaan


Memilih hewan percobaan berdasarkan kriteria Kesehatan mencit dengan
meraba bagian tulang sacroiliac (tulang antara tulang belakang hingga ke tulang
kemaluan) dengan menggunakan jari dan mencocokannya dengan nilai BCS.

1.4. Alat dan Bahan


1. Alat
- Sarung tangan
- Kandang mencit
- Alat pelindung diri
2. Bahan
Hewan percobaan berupa mencit jantan, galur local dengan berat badan 20-30
gram dan usia 6-8 minggu.
1.5. Cara Kerja

Cara Kerja Hasil Pengamatan


1. Menyiapkan 5 ekor mencit Dilakukan
2. Meletakkan satu ekor mencit di atas kendang yang Dilakukan
terbuat dari kawat
3. Biarkan mencit dalam keadaan istirahat Dilakukan
4. Mengamati kondisi tulang belakang mencit hingga ke Dilakukan
tulang dekat kemaluan (bokong)
5. Menyentuh secara perlahan (meraba) bagian tulang Dilakukan
belakang hingga ke tulang bokong
6. Mencatat hasil pengamatan dan perabaan Dilakukan
7. Melakukan pada ke 4 mencit yang lainnya Dilakukan

1.6. Hasil Pengamatan


Data pengamatan dan hasil percobaan pada mencit.

No. Berat Hasil


Mencit Badan (g)
Nomor BCS Keterangan
1 31 gram 4 Mencit di atas kondisi
standar. Tidak tampak adanya
benjolan tulang-tulang.
Terdapat tebalnya timbunan
lemat dan daging.
2 21 gram 3 Mencit dalam kondisi baik.
Tidak nampak benjolan
tulang.
3 17 gram 2 Mencit di bawah kondisi
standar, tulang terlihat jelas
dan terdapat sedikit daging.
4 24 gram 3 Mencit dalam kondisi baik.
Tidak nampak benjolan
tulang.
5 22 gram 3 Mencit dalam kondisi baik.
Tidak nampak benjolan
tulang.
Rata-rata 23 gram

1.7. Pembahasan
Pada praktikum farmakologi kali ini, telah dilakukan pemilihan hewan coba
berupa mencit. Untuk mengukur tingkat kesehatan hewan uji yang berupa mencit
adalah dengan menggunakan metode BCS (Body Condition Scoring).
Pada saat praktikum, mahasiswa melakukan pemindahan mencit dari
kandang ke wadah yang lebih besar. Setelah itu mahasiswa mulai meraba bagian
tulang sacroiliac pada mencit, lalu dilakukan pencocokan dengan nilai Body
Condition Scoring (BCS).
Pada praktikum ini mahasiswa dapat mengetahui cara memilih hewan uji
yang baik. Hewan uji yang dipilih berkelamin jantan karena sistem imun pada mencit
jantan cenderung lebih tidak dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Pada saat
praktikum mahasiswa juga dapat melakukan perabaan pada tulang sacroiliac untuk
pengukuran kesehatan hewan uji dan mencocokkannya dengan nilai pada BCS.
Hasil praktikum yang didapat pada data kelompok kami hanya mencit nomor
1 yang menunjukkan klasifikasi BCS Nilai 4, yang artinya mencit tersebut di atas
kondisi standar. Tidak tampak adanya benjolan tulang-tulang. Dan apabila diraba
agak sulit merasakan tulang karena tebalnya timbunan lemak dan daging. Mencit
terlihat berisi dan nampak juga lipatan-lipatan lemak di bawah kulit. Lalu, pada
mencit nomor 2, 4, dan 5 termasuk kategori BCS Nilai 3. Dimana mencit dalam
kondisi yang baik, tubuhnya tidak nampak benjolan tulang, namun jika diraba cukup
mudah merasakan adanya tulang-tulang. Tampak atas biasanya sudah lebih lurus
tampak berisi. Tulang pelvic dorsal sedikit teraba. Sedangkan untuk mencit nomor 3
termasuk kategori BCS nilai 2 dimana mencit dibawah kondisi standar. Tulang-tulang
masih kelihatan jelas, namun jika diraba masih terasa masih dirasa adanya daging
atau lemak. Tampak atas sudah tidak berlekuk-lekuk, agak berisi. Tulang pelvic dorsal
dapat langsung teraba.

1.8. Kesimpulan
Dalam praktikum Pemilihan Hewan Coba, kami menggunakan hewan mencit
jantan sebagai percobaan dan menggunakan metode BCS. Metode ini dilakukan
untuk mengukur tingkat kesehatan hewan uji yang berupa mencit adalah dengan
menggunakan metode BCS (Body Condition Scoring). BCS merupakan penilaian
kondisi tubuh untuk menilai endpoint klinis hewan. Lewat metode ini, kami
memperoleh data bahwa mencit yang kami gunakan memiliki nilai BCS 4 untuk
mencit nomor 1, mencit dan nilai BCS 2 untuk mencit nomor 3 dan 5, mencit dan
nilai BCS 3 untuk mencit nomor 2 dan 4. Perlu adanya pengawasan dan indikator
yang lebih jelas terhadap penggunaan nilai BCS. Sebab penggunaan metode BCS
dilakukan berdasarkan pengamatan kualitatif.

1.9. Daftar Pustaka


Ridwan, E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. Journal
of the Indonesian Medical Association Vol. 63, No. 3, Hal: 112-119.
Alfionika, Weni. 2020. Praktikum Farmakologi. Bekasi. STIKes Mitra Keluarga.
Syuhada. 2018. Pemilihan Hewan Coba. Tarakan, Kalimantan Utara.

Anda mungkin juga menyukai