Anda di halaman 1dari 87

Manhajul Fikri

Wal Khidmah
(Metode Pemikiran dan Pengabdian)
MAJELIS ULAMA
INDONESIA

MAJELIS ULAMA INDONESIA


1443 H / 2021 M
MANHAJUL FIKRI WAL KHIDMAH
(METODE PEMIKIRAN DAN PENGABDIAN)
MAJELIS ULAMA INDONESIA

PENANGGUNG JAWAB
Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin (Ketua Dewan Pertimbangan MUI)
KH. Miftachul Akhyar (Ketua Umum MUI)
Prof. Dr. Dadang Kahmad (Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI)
Dr. H. Amirsyah Tambunan (Sekretaris Jenderal MUI)

TIM PERUMUS
Prof. Dr. Masykuri Abdillah
Drs. H. Sholahuddin Al-Aiyub. M.Si
Arif Fahrudin, M.Ag
KH. Zulfa Mustofa

LAYOUTER
Hilman Qurthuby. M.AP
Kisno Umbar, S.S., M.Pd.
Ruslani, S.Ag.

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia
Masa Khidmat 2020-2025

Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin Prof. Dr. Dadang Kahmad


Ketua Sekretaris
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Masa Khidmat 2020-2025

KH. Miftachul Akhyar Dr. H. Amirsyah Tambunan


Ketua Umum Sekretaris Jenderal
MAJELIS ULAMA INDONESIA
WADAH MUSYAWARAH PARA ULAMA ZU’AMA DAN CENDEKIAWAN MUSLIM
Jalan Proklamasi No. 51 Menteng Jakarta Pusat 10320 Telp. 021-31902666-3917853, Fax. 021-31905266
Website : http://www.mui.or.id, http://www.mui.tv E-mail : mui.pusat51@gmail.com

Kata Sambutan
Dewan Pertimbangan
Majelis Ulama Indonesia

‫بسم هللا وامحلد هلل والصالة والسالم عىل رسول هللا وعىل اهل وحصبه‬
‫ اللهم‬.‫ �سبحانك ال عمل لنا الا ما علمتنا انك انت العلمي احلكمي‬.‫ومن والاه‬
.‫ارزقنااملعارف الرابنية والعلوم الدلونية وبلغنا رتبة الاحسان ووحدة الشهود‬
‫وامحلد هلل رب العاملني‬
Alhamdulillah, Dewan Pertimbangan Majelis Ulama (MUI)
periode 2020-2025 telah berhasil merumuskan konsep Manhajul
Fikri wal Khidmah (Metode Pemikirian dan Pengabdian) MUI dan
kini sudah dijadikan sebagai Peraturan Organisasi (PO) MUI.
Konsep ini merupakan salah satu perwujudan dari fungsi Dewan
Pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 PRT MUI,
yakni (a) memberikan pertimbangan, nasihat, bimbingan dan
bantuan kepada Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
dalam pelaksanaan usaha Majelis Ulama Indonesia sesuai dengan
tingkatannya masing-masing; dan (b) membahas isu-isu strategis
yang dihadapi umat Islam dan solusinya, serta direkomendasikan
ke pimpinan harian.

v
Sebagaimana diketahui, MUI sebagai wadah permusya­
waratan ulama, zuama, dan cendekiawan muslim serta ormas
Islam di Indonesia, bisa diibaratkan sebagai rumah besar umat
Islam. MUI menjadi titik temu di antara mereka dengan beraneka
ragam latar belakang mazhab dan pemikiran keagamaan mereka.
Keragaman dan perbedaan latar belakang umat Islam di dalam
MUI membutuhkan sebuah metode pemikiran (manhajul fikri)
yang bisa menyamakan keragamaman metode pemikiran
(taswiyatul manhaj) di antara mereka. Di samping itu, keragaman
juga terjadi dalam hal pengabdian mereka sehingga diperlukan
pola pengabdian (manhajul khidmah) yang bisa menjadi rujukan
untuk melakukan koordinasi pengabdian atau gerakan (tansîqul
harakah) ormas-ormas Islam.
Sebenarnya konsep Manhajul Fikri wal Khidmah ini hanya
merupakan rumusan terhadap metode pemikiran, kebijakan, dan
khidmah yang dijalankan MUI selama ini dalam eksistensinya
sebagai pelayan umat (khâdimul ummah) dan mitra pemerintah
(shadîqul hukûmah atau syarîkul hukûmah). Konsep ini meliputi
visi, missi, nilai, karakteristik (khashâis), dan metode (manhaj)
MUI dalam perkhidmatannya kepada agama, negara, umat, dan
kemanusiaan, yang harus dipegangi, disadari, dan dikembangkan
secara dinamis dan produktif melintasi perjalanan waktu dan
generasi beserta tantangannya. Selama ini sebenarnya sudah
ada konsep Wawasan MUI, yang menggambarkan fungsi, visi,
missi, orientasi, dan peran MUI. Namun konsep Wawasan MUI
ini belum menggambarkan metode pemikiran dan pengabdian
secara lebih jelas, sehingga konsep Manhajul Fikri wal Khidmah ini
bisa dianggap sebagai pengembangan dari konsep Wawasan MUI
itu.
Semoga konsep Manhajul Fikri wal Khidmah Majelis Ulama
Indonesia ini menjadi komitmen bersama dan diperkuat secara
bersama-sama bagi seluruh keluarga besar MUI di setiap jenjang
kepengurusannya.

vi
vi
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wa billahit tawfiq wal hidayah
Fastabiqul khairat
Wassalamu ‘alaikum Wa rahmatullah wa barakatuh.

11 Muharram 1443 H
Jakarta, ——–———————
20 Agustus 2021 M
Dewan Pertimbangan
Majelis Ulama Indonesia
Ketua Sekretaris

Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin Prof. Dr. Dadang Kahmad

vii
MAJELIS ULAMA INDONESIA
WADAH MUSYAWARAH PARA ULAMA ZU’AMA DAN CENDEKIAWAN MUSLIM
Jalan Proklamasi No. 51 Menteng Jakarta Pusat 10320 Telp. 021-31902666-3917853, Fax. 021-31905266
Website : http://www.mui.or.id, http://www.mui.tv E-mail : mui.pusat51@gmail.com

Kata Pengantar
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia

‫بسم هللا الرمحن الرحمي‬


‫امحلد هلل ونشكره عىل ما اهلمنا ونس�أهل التوفيق للعمل مبا علمنا‬
‫والصالة والسالم عىل رسولنا �سيدان محمد صىل هللا عليه وسمل اذلي ارسل‬
‫لقدوتنا واسوتنا‬
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur ke hadirat Allah Swt atas segala nikmat dan karunia-
Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan teruntuk nabi
kita Muhammad Saw.
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia sangat
berterimakasih dengan hadirnya naskah Manhajul Fikri wal
Khidmah: Metode Pemikiran Dan Pengabdian Majelis Ulama
Indonesia. Naskah ini adalah sebuah rumusan terhadap rekam
jejak panjang cara berpikir dan perkhidmatan Majelis Ulama
Indonesia yang disistematisasi, disegarkan, dan diaksentuasikan
dengan dialektika kontemporer keumatan dan kebangsaan oleh
Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia. Hal ini sangat

ix
dibutuhkan untuk menjadi panduan dan bekal MUI dalam
menjalani dinamika dan pasang surut kehidupan keumatan dan
kebangsaan.
Manhajul Fikri wal Khidmah: Metode Pemikiran dan
Pengabdian Majelis Ulama Indonesia ibarat “Fiqih Perkhidmatan”
bagi keluarga besar Majelis Ulama Indonesia di seluruh
tingkatan kepengurusan dalam rangka meneguhkan pemikiran
dan pergerakan Islam Wasathiyah sebagai wujud kontribusi
bagi umat, bangsa, dan negara. Maka, Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia menyampaikan apresiasi setinggi-
tingginya atas kontribusi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama
Indonesia ini. Manhajul Fikri wal Khidmah : Metode Pemikiran
Dan Pengabdian Majelis Ulama Indonesia ini akan kami perkuat
dengan perangkat regulasi yang ada di lingkungan Majelis
Ulama Indonesia agar seluruh tingkatan majelis ulama Indonesia
bersama-sama menginternalisasikan, mengejawantahkan,
dan mensosialisasikannya sehingga Majelis Ulama Indonesia
senantiasa terus tetap berjalan di atas rel perkhidmatannya secara
konsisten dan konsekwen. Amin.
Hasbunallahu wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’man nashir
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

2 Safar 1443 H
Jakarta, ——–———————
9 September 2021 M
Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

KH. Miftachul Akhyar Dr. H. Amirsyah Tambunan

xx
Daftar Isi

Kata Sambutan Dewan Pertimbangan MUI ........................... iii


Kata Pengantar Dewan Pimpinan MUI .................................. vii
Daftar Isi ................................................................................. ix

Bab 1 Pendahuluan................................................................... 1
Bab 2 Visi, Misi, dan Orientasi MUI..................................... 7
A. Visi dan Misi............................................................... 7
B. Orientasi dan Peran................................................... 8
B. Peran............................................................................ 10

Bab 3 Manhajul Fikri (Metode Pemikiran).......................... 13


A. Karakteristik (Khashâish) Pemikiran........................ 13
1. Manhajiyyah.......................................................... 15
2. Tawassuthiyyah/Wasathiyyah............................ 19
3. Tathawwuriyyah................................................... 20
4. Ishlâhiyyah............................................................ 22
5. Tasâmuhiyyah....................................................... 24
B. Penyamaan Metode (Taswiyatul Manhaj)................ 25

xi
Bab 4 Manhajul Khidmah (Metode Pengabdian)................ 29
A. Perlindungan dan Penguatan
(Himâyah wa Taqwiyah).............................................. 29
1. Perlindungan dan Penguatan Agama
(Himâyah wa Taqwiyatud Dîn).............................. 30
2. Perlindungan dan Penguatan Umat
(Himâyah wa Taqwiyatul Ummah)........................ 33
3. Perlindungan dan Penguatan Negara
(Himâyah wa Taqwiyatud Daulah)......................... 37
B. Penguatan Persaudaraan (al-Ukhuwwah)............... 40
1. Persaudaraan Islam (Ukhuwwah Islâmiyyah)..... 41
2. Persaudaraan Nasional (Ukhuwwah Wathaniyyah) 44
3. Persaudaraan Kemanusiaan
(Ukhuwwah Insâniyyah)........................................ 47

Bab 5 Koordinasi Gerakan (Tansîq Al-Harakah)............... 49


A. Pentingnya Koordinasi............................................. 50
B. Bidang-Bidang Koordinasi....................................... 52
1. Bidang Keagamaan.............................................. 52
2. Bidang Sosial Budaya.......................................... 53
3. Bidang Ekonomi................................................... 56
4. Bidang Politik ....................................................... 58
5. Hubungan dengan Pihak Luar........................... 59

Bab 6 Penutup............................................................................ 63

Daftar Pustaka............................................................................. 65
Lampiran-lampiran..................................................................... 67

xii
xii
1
Pendahuluan

A
llah menurunkan agama Islam dengan mengutus Nabi
Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah Islamiyyah
kepada umatnya. Risalah ini bersumber dari Al-Quran dan
Hadits yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia
(hudal linnâs), terutama bagi orang-orang yang bertakwa kepada
Allah (hudan lil muttaqîn). Setelah wafatnya Nabi Muhammad,
tugas kenabian ini diemban oleh para ulama, yang sudah
dinyatakan oleh Nabi Muhammad sebagai pewaris para Nabi,
sebagaimana disebutkan dalam Hadits:

‫ � َّن ْ َأالنْ ِبيَ َاء لَ ْم يُ َو ّ ِرثُوا ِدينَار ًا َو َال ِد ْر َهامً �ن َّ َما َو َّرثُوا‬،‫� َّن الْ ُعلَ َم َاء َو َرثَ ُة ْ َأالنْ ِبيَا ِء‬
‫إ‬ ‫إ‬ ‫إ‬
.‫الْ ِع ْ َل فَ َم َن أ�خ ََذ ُه أ�خ ََذ ِ َبظٍّ َوا ِف ٍر‬
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi
tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan
ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil
bagian yang banyak. (H. R. Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

Tugas kenabian ini disebutkan dalam Al-Quran:

1
‫ه َُو َّ ِالي ب َ َع َث ِف ْ ُأال ِ ّميّ َِني َر ُس ًول ِمنْ ُ ْم ي َ ْتلُو عَلَيْ ِ ْم � آ َي ِت ِه َويُ َز ِكّ ِهي ْم َويُ َع ِل ّ ُمهُ ُم‬
. ٍ‫اب َوالْ ِح ْكَ َة َو� ْن َكنُوا ِم ْن قَ ْب ُل لَ ِفي ضَ َللٍ ُمبِني‬ َ َ‫ْال ِكت‬
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul
‫إ‬
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah
(As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata (Q.S. Al-Jumu’ah: 2).

Di samping tugas tersebut, Islam juga memerintahkan kepada


umatnya, terutama para ulama dan tokoh Islam, untuk mengajak
umat manusia kepada kebaikan dan mencegah keburukan atau
kejahatan (amar ma’ruf nahy munkar), sebagaimana disebutkan
dalam Al-Quran:

‫وف َويَنْ َ ْو َن َع ِن الْ ُم ْن َك ِر‬


ِ ‫ون ِبلْ َم ْع ُر‬ َ ‫َولْ َت ُك ْن ِمنْ ُ ْك أ� َّم ٌة يَدْ ُع‬
َ ‫ون � َل الْخ ْ َِي َويَ�أ ُم ُر‬
‫إ‬
َ ‫ۚ َو أ�ولَ ٰ� ِئ َك ُ ُه الْ ُم ْف ِل ُح‬
.‫ون‬
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung (Q.S. Ali
‘Imran: 104).

Lahirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta pada 17


Rajab 1395 H bertepatan dengan 26 Juli 1975 M dimaksudkan
sebagai ikhtiar organisatoris para ulama Indonesia dalam
meneruskan tugas kenabian tersebut. Hal ini juga merupakan
bentuk kesadaran kolektif baik dari negara maupun para ulama
dan tokoh umat Islam, sehingga kedudukan MUI bisa menjadi
pemimpin kelembagaan (al-imâmah al-muassasiyyah) bagi
umat Islam di Indonesia. Kesadaran kolektif ini berorientasi
kepada pentingnya seluruh eleman bangsa Indonesia mengisi
kemerdekaan berupa pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya di segala bidang.
Di satu sisi, MUI diharapkan bisa membantu pemerintah
dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan keagamaan

22
dalam pelaksanaan pembangunan, sebagai jembatan penghubung
serta penerjemah komunikasi antara umara dan umat Islam. Di
sisi lain, MUI diharapkan juga bisa menjadi wadah pertemuan
dan silaturrahim para ulama dan zuama seluruh Indonesia
untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyyah dan sekaligus menjadi
wadah musyawarah bagi para ulama, zuama dan cendekiawan
muslim Indonesia. Wadah musyawarah ini berfungsi untuk
membicarakan permasalahan umat untuk kemudian dicarikan
solusinya (makhârij), serta memberikan fatwa terhadap peristiwa-
peristiwa atau persoalan-persoalan baru yang diajukan kepada
MUI.
Meskipun MUI merupakan wadah berhimpunnya ulama,
zuama, dan cendekiawan muslim, corak keulamaan menjadi
nafas dalam pemikiran, perkhidmatan, dan pergerakan MUI di
semua bidang, yang mencakup bidang sosial-budaya, ekonomi,
politik, dan sains-teknologi. Maka, MUI secara kelembagaan dan
kepengurusan harus mencerminkan sepak terjang keulamaan
yang bercirikan penguasaan keilmuan agama yang otoritatif
dan integritas akhlakul karimah sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Quran:

َ َّ ‫الل ِم ْن ِع َبا ِد ِه الْ ُعلَ َماء � َّن‬


.‫الل َع ِز ٌيز غَ ُف ٌور‬ َ َّ ‫�ن َّ َما َ ْي َش‬
‫إ‬ ‫إ‬
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun (Q.S. Fathir: 28).

Dalam sejarah umat manusia, sejak masa Nabi sampi masa


kini, kehidupan dan peradaban umat manusia telah mengalami
perkembangan dan kemajuan-kemajuan, baik di bidang ekonomi,
pengetahuan, teknologi maupun sistem sosial dan kenegaraan.
Namun di samping kemajuan-kemajuan ini, juga muncul
permasalahan-permasalahan, yang sebagian dapat mengganggu
atau mengurangi peran agama dalam kehidupan masyarakat dan
negara. Permasalahan ini terutama berbentuk: (1) munculnya

3
paham atau gaya hidup yang menjauhkan peran agama, baik
dalam kehidupan individual maupun kolektif, seperti hedonisme,
materialisme, individualisme, sekularisme, liberalisme,
agnostisisme, dan ateisme, (2) munculnya pemahaman keagamaan
yang menyimpang (inhirâf) dengan munculnya aliran-aliran yang
menyimpang, (3) munculnya pemahaman keagamaan yang
berlebihan (al-ghuluww, tasyaddud) atau ektsrem (tatharruf), yang
justru bisa mencederai ajaran-ajaran agama, kemanusiaan, atau
sistem kenegaraan, dan (4) munculnya problem kemanusiaan
dan problem birokrasi, yakni dalam bentuk pelanggaran atau
kejahatan terhadap moralitas dan norma agama, norma sosial,
dan hukum negara.
Kecenderung-kecenderungan tersebut di samping ber­
pengaruh kepada eksistensi atau orisinalitas agama serta
kemanusiaan secara utuh, juga bisa berpengaruh kepada
terancamnya filosofi dan esksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), yang beradasarkan Pancasila. Dalam sejarah
republik ini, NKRI ini pernah terancam oleh pemberontakan-
pemberontakan baik yang berideologi kiri (komunis) maupun
berideologi kanan (keagamaan), yang mengganggu stabilitas
nasional sehingga hal ini menghambat upaya-upaya untuk
mewujudkan tujuan nasional, yakni masyarakat yang adil dan
makmur. Hal ini juga masih terjadi pada saat ini, yang dibuktikan
dengan adanya konflik sosial, konflik keagamaan, ekstremisme,
dan bahkan terorisme, baik atas nama kepentingan politik
maupun atas nama agama.
Dengan merujuk kepada tugas keulamaan, peristiwa-
peristiwa sejarah, dan porsoalan-persoalan tersebut, maka
setidaknya MUI memiliki tiga tanggung jawab, yakni tanggung
jawab perorangan (mas’uliyyah fardiyyah), tanggung jawab
kemasyarakatan (mas’ûliyyah jama’iyyah), dan tanggung jawab
kebangsaan (mas’ûliyyah wathaniyyah). Bahkan MUI pun tidak
bisa lepas dari tanggung jawab kemanusiaan (mas’ûliyyah

44
insâniyyah) di dunia. Dengan pelaksanaan tanggung jawab ini
MUI diharapkan bisa berperan dalam mengantarkan bangsa
Indonesia yang religius, maju, dan beradab serta bisa menjadi
lokomotif dalam membangun peradaban Islam yang maju dan
berprikemanusiaan.
Sebagai organisasi yang merupakan wadah komunikasi dan
kerjasama para ulama, zuama, serta organisasi kemasyarakatan
(ormas) Islam yang ada di Indonesia, MUI menyadari, bahwa
mereka memiliki paham (fikrah), pengabdian atau perkhidmatan
(khidmah), dan gerakan (harakah) yang bervariasi. Bahkan dalam
hal-hal tertentu kadang-kadang muncul perbedaan pendapat
di antara kelompok-kelompok Islam yang berujung pada
perselisihan antarumat Islam sendiri. Perselisihan ini kadang-
kadang juga terjadi dengan kelompok agama lain, terutama yang
disebabkan oleh pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama
yang umumnya tidak sesuai dengan regulasi.
Di samping itu, suatu hal yang tidak bisa dinafikan adalah
bahwa umat Islam masih menghadapi masalah internal
dalam berbagai aspek, baik sosial, pendidikan, kesehatan,
kependudukan, ekonomi, dan politik. Bahkan kini Dunia Islam
juga masih menghadapi banyak persoalan, baik terkait dengan
politik, keamanan, dan ekonomi, maupun terjadinya konflik dan
perang serta radikalisme, ekstremisme, dan kekerasan atas nama
agama. Termasuk dalam hal ini adalah tantangan perlindungan
hak-hak asasi manusia (HAM) dan penyelenggaran pemerintahan
yang demokratis, adil, akuntabel, dan menghargai hak-hak
rakyat. Atas dasar persoalan ini, maka MUI perlu merumuskan
suatu konsep tentang karakteristik pemikiran, khidmah, dan
gerakannya.

5
2
Visi, Misi,
dan Orientasi MUI

A. Visi dan Misi

S
ebagai sebuah organisasi yang merupakan wadah
silaturrahim dan kerjasama antara ulama, zuama, dan
organisasi-organisasi keagamaan Islam yang ada di
Indonesia, MUI memiliki fungsi utama sebagai pelayan umat
(khâdimul ummah) dan mitra pemerintah (shadîqul hukûmah atau
syarîkul hukûmah). Dalam menjalankan fungsi ini MUI memiliki
visi dan misi sebagai arahan dalam pemikiran dan pengabdian,
baik kepada agama, umat, bangsa, maupun negara.
Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasya­
rakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh
ridlo dan ampunan Allah swt (baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafûr) menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi
terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin (izzul Islâm wal-
muslimîn) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil
‘âlamîn).

7
Sedangkan misinya adalah:
1. Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara
efektif dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah
hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina umat
Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyyah,
serta menjalankan syari’ah Islamiyyah;
2. Melaksanakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahy mungkar
dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud
masyarakat berkualitas (khaira ummah) dalam berbagai aspek
kehidupan;
3. Mengembangkan ukhuwah Islamiyyah dan kebersamaan
dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Orientasi dan Peran


Sebagaimana disebutkan dalam Wawasan Majelis Ulama
Indonesia (MUI), bahwa MUI mempunyai sembilan orientasi
perkhidmatan, yang pada hakekatnya menjadi prinsip-prinsip
bagi Khidmah dan Harakah MUI, yaitu:
1. Dîniyyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
yang mendasari semua langkah dan kegiatannya pada nilai
dan ajaran Islam yang kaffah.
2. Irsyâdiyyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
dakwah wal irsyad, yaitu upaya untuk mengajak umat
manusia kepada kebaikan serta melaksanakan amar ma’ruf
dan nahy munkar dalam arti yang seluas-luasnya. Setiap
kegiatan Majelis Ulama Indonesia dimaksudkan untuk
dakwah dan dirancang untuk selalu berdimensi dakwah.
3. Istijâbiyyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
yang berorientasi istijâbiyyah, senantiasa memberikan

88
jawaban positif dan responsif terhadap setiap permasalahan
yang dihadapi masyarakat melalui prakarsa kebajikan (amal
saleh) dalam semangat berlomba dalam kebaikan (istibaq fi al-
khairât).
4. Istiqlâliyyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
independen yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung
maupun terpengaruh oleh pihakpihak lain dalam mengambil
keputusan, mengeluarkan pikiran, pandangan dan pendapat.
5. Ta’âwuniyyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
yang mendasari diri pada semangat tolong menolong
untuk kebaikan dan ketakwaan dalam membela kaum
dhu‘afa untuk meningkatkan harkat dan martabat, serta
derajat kehidupan masyarakat. Semangat ini dilaksanakan
atas dasar persaudaraan di kalangan seluruh lapisan umat
Islam (ukhuwwah Islâmiyyah). Ukhuwah Islamiyyah ini
merupakan landasan bagi Majelis Ulama Indonesia untuk
mengembangkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah
wathaniyyah) dan memperkukuh persaudaraan kemanusiaan
(ukhuwwah basyariyyah).
6. Syûriyyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
yang menekankan prinsip musyawarah dalam mencapai
permufakatan melalui pengembangan sikap demokratis,
akomodatif dan aspiratif terhadap berbagai aspirasi yang
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
7. Tasâmuh
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
yang mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam
menghadapi masalah-masalah khilafiyah.
8. Qudwah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan

9
yang mengedepankan kepeloporan dan keteladanan
melalui prakarsa kebajikan yang bersifat perintisan untuk
kemaslahatan umat.
9. Duwaliyah
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah perkhidmatan
yang menyadari dirinya sebagai anggota masyarakat dunia
yang ikut aktif memperjuangkan perdamaian dan tatanan
dunia sesuai dengan ajaran Islam.

B. Peran
Berdasarkan jati diri ulama sebagai waratsatu al-anbiyâ’ maka
Majelis Ulama Indonesia berperan:
1. Sebagai Ahli Waris Tugas Para Nabi (Waratsatul anbiyâ’)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai penerus risalah
kenabian tugas-tugas para nabi, yaitu menyebarkan ajaran
Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu kehidupan
sehari-hari secara arif dan bijaksana berdasarkan Islam. MUI
memperjuangkan perubahan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara agar berjalan sesuai ajaran Islam
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Sebagai Pemberi Fatwa (Mufti)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa
bagi umat Islam baik diminta maupun tidak diminta.
Sebagai lembaga pemberi fatwa Majelis Ulama Indonesia
mengakomodir dan menyalurkan aspirasi umat Islam
Indonesia yang sangat beragam aliran, paham dan pemikiran
serta organisasi keagamaannya.
3. Sebagai Pembimbing dan Pelayan Umat (Râ’iy wa Khâdimul
Ummah)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat
(khadim al-ummah), yaitu melayani umat dan bangsa dalam
memenuhi harapan, aspirasi dan tuntutan mereka. Dalam
kaitan ini, Majelis Ulama Indonesia senantiasa berikhtiar

10
10
memenuhi permintaan umat, baik langsung maupun tidak
langsung, akan bimbingan dan fatwa keagamaan. Berusaha
selalu tampil di depan dalam membela dan memperjuangkan
aspirasi umat dan bangsa dalam hubungannya dengan
pemerintah.
4. Sebagai Penegak Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai wahana penegakan
amar ma’ruf nahy munkar, yaitu dengan menegaskan
kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan
dengan penuh hikmah dan istiqamah. Dengan demikian,
Majelis Ulama Indonesia juga merupakan wadah perhidmatan
bagi pejuang dakwah (mujâhidud da’wah) yang senantiasa
berusaha merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat
dan bangsa dari kondisi yang tidak sejalan dengan ajaran
Islam menjadi masyarakat dan bangsa yang terbaik (khairu
ummah).
5. Sebagai Pelopor Gerakan Tajdid
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor gerakan
pembaruan (tajdîd), yaitu gerakan pemurnian (tashfiyah) dan
dinamisasi (tathwîr) pemikiran Islam.
6. Sebagai Pelopor Gerakan Perbaikan Umat (Ishlâhul Ummah)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor perbaikan
umat (ishlâhul ummah) yang meliputi:
a. Sebagai pendamai terhadap perbedaan pendapat dan
gerakan yang terjadi di kalangan umat. Apabila terjadi
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam maka Majelis
Ulama Indonesia dapat menempuh jalan kompromi dan
persesuaian (al-jam’u wat taufîq) dan mencari hukum
yang lebih kuat (tarjîh). Dengan demikian diharapkan
tetap terpelihara semangat persaudaraan (ukhuwwah) di
kalangan umat Islam Indonesia.
b. Sebagai pelopor perbaikan umat (ishlâh al-ummah) dengan
cara:

11
1) membina dan memelihara kehidupan umat (himâyat
al-ummah), terutama dalam aqidah, syari’ah, dan
akhlak;
2) penguatan dan pemberdayaan kehidupan umat
(taqwiyat al-ummah);
3) berusaha terus-menerus menyatukan umat (tauhîd al
ummah).
7. Sebagai pengemban kepemimpinan umat (Qiyadatul
ummah)
Majelis Ulama Indonesia sebagai elemen bangsa Indonesia
ikut bertanggungjawab atas maju mundurnya kehidupan
bangsa terutama dalam hal (1) terciptanya kerukunan
kehidupan umat beragama, (2) perbaikan akhlaq bangsa dan
(3) pemberdayaan umat Islam dalam semua segi kehidupan.
Majelis Ulama Indonesia perlu ikut berperan sebagai
pengemban kepemimpinan umat (Qiyâdat al-ummah) secara
kelembagaan.

12
12
3
Manhajul Fikri
(Metode Pemikiran)

A. Karakteristik (Khashâish) Pemikiran

O
rmas-ormas Islam serta para ulama, zuama, dan cendekiawan
Muslim di Indonesia secara umum memiliki pemikiran dan
metode yang cukup bervariasi, meski masing-masing merujuk
kepada dalil-dalil Al-Quran dan Hadits serta pendapat-
pendapat ulama terdahulu. Menyadari akan hal ini, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) berikhtiar untuk memiliki titik temu pemikiran
(multaqal arâ’) yang menjadi acuan dan kesepakatan umat Islam
Indonesia dalam merumuskan dan pemecahan problematika
keumatan dan kebangsaan. Titik temu ini berupa prinsip-prinsip
dan metode berpikir (manhajul fikri) serta upaya-upaya untuk
menyamakan prinsip-prinsip dan metode pemikiran (taswiyatul
manhaj) ini, dengan tetap mengacu kepada metode pemikiran
yang diakui (mu’tabar) oleh para ulama terdahulu.
Sejalan dengan perkembangan zaman di kalangan umat
Islam muncul pemahaman-pemahaman yang cenderung
berlebihan (ghuluww), memberatkan (tasyaddud), dan bahkan

13
ekstrem (tatharruf), yang teraktualisasi dalam bentuk tuduhan
bid’ah (tabdî’), tuduhan sesat (tadhlîl), tuduhan syirik (tasyrîk), dan
tuduhan kafir (takfîr) terhadap kelompok lain dan bahkan dalam
beberapa kasus diwujudkan dalam bentuk kekerasan atau teror.
Kecenderung kepada pemahaman yang demikian ini terutama
disebabkan oleh pemahaman teks-teks Al-Quran dan Hadits
secara harfiah, tanpa melihat konteks kalimat, konteks turunnya
(asbâbun nuzûl) ayat dan konteks terjadinya (asbâbul wurûd)
Hadits, serta tujuan syari’ah (maqashidus syari’ah). Di sisi lain,
seiring dengan terjadinya modernisasi di hampir seluruh negara
di dunia, yang berimplikasi pada sekularisme dan liberalisme,
muncul pula kecenderungan sebagian tokoh dan intelektual
Muslim yang memahami Islam secara liberal. Kecenderung
kepada pemahaman liberal ini disebabkan karena keinginan
seseorang untuk mencocokkan ajaran-ajaran dengan budaya dan
rasio masyarakat modern yang cenderung sekuler.
Hanya saja, terdapat perbedaan dalam respon umat terhadap
kedua fenomena tersebut. Pemahaman secara ekstrem telah
melahirkan radikalisme dan aktremisme, penolakan terhadap
sistem negara, bahkan kekerasan atas nama agama, baik yang
ditujukan kepada pemerintah, Muslim sendiri maupun non-
Muslim. Namun pemahaman secara liberal umumnya tidak
menarik bagi umat yang taat beragama untuk mengikutinya,
meski ada pihak-pihak tertentu yang terpengaruh dengan
pemahaman liberal ini. Di samping itu, dalam sejarah Islam
tidak jarang muncul aliran-aliran yang menyimpang (munharif)
dari pokok-pokok ajaran Islam baik yang bersifat transnasional
maupun lokal, seperti Ahmadiyah, Al-Qiyadah al-Islamiyyah/
GAFATAR, Jamaah Salamullah, dan sebagainya.
Oleh karena itu, MUI memandang perlu untuk menguatkan
metode berfikir (manhajul fikri) yang tetap berpegang apada aqidah
lslam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang responsif, kontekstual, dan
solutif terhadap perkembangan zaman dan permasalahannya.

14
14
Metode yang dimaksud meliputi pendekatan-pendekatan:
manhajiyyah, tawassuthiyyah, tathawwuriyyah, ishlâhiyyah, dan
tasâmuhiyyah.

1. Manhajiyyah
Kerangka berpikir yang disepakati MUI adalah berdasarkan
pada Al-Quran dan Hadits, dengan merujuk kepada paham
lslam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang berarti mengikuti manhaj
yang dilakukan oleh para ulama generasi awal (as-salafus shâlih)
dalam arti luas, baik generasi para sahabat, tabi’in, maupun tabi’it
tabi’in, dengan memperhatikan konteks pada masa itu dan masa
kini serta komitmen dengan orientasi berbangsa dan bernegara
yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Paham Ahlus Sunnah tersebut adalah sejalan dengan Hadits:

‫افْ َ َتقَ ْت الْيَ ُو ُد عَ َل إ� ْحدَ ى َو�سَ ْب ِع َني ِف ْرقَ ًة َوافْ َ َتقَ ْت النَّ َص َارى عَ َل ِث ْنت َ ْ ِي‬
,‫ ُكُّهَا ِف النَّ ِار‬,‫َو�سَ ْب ِع َني ِف ْرقَ ًة َو �سَ َت ْف َ ِت ُق أ� َّم ِت عَ َل ثَ َل ٍث َو�سَ ْب ِع َني ِف ْرقَ ًة‬
َ ْ ‫ َما �أنَ عَلَ ْي ِه َو‬: ‫الل ؟ قَا َل‬
.‫�أص ِاب‬ ِ َّ ‫ َم ْن ُ ْه َي َر ُسو َل‬: ‫ ِقي َل‬.ً‫� َّإل َوا ِحدَ ة‬
Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan umat Nasrani
terpecah menajdi menjadi 72 golongan. Umatku akan terpeyah
menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.
Sahabat bertanya: “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah
SAW menjawab: “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para
sahabatku” (HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah).

Di samping itu, paham tersebut juga berdasarkan Hadits:

‫ ُ َّث َيِي ُء أ� ْق َوا ٌم تَ� ْسب ُِق‬،‫ ُ َّث َّ ِال َين يَلُونَ ُ ْم‬،‫ ُ َّث َّ ِال َين يَلُونَ ُ ْم‬،‫خ ْ َُي النَّ ِاس قَ ْر ِن‬
.ُ‫ َوي َ ِمي ُن ُه َشهَا َدتَه‬،ُ‫َشهَا َد ُة أ� َح ِد ِ ْه ي َ ِمينَه‬
Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang hidup pada masaku,
kemudian orang-orang setelah mereka, dan kemudian orang-orang
setelah mereka. Kemudian akan datang suatu kaum yang kesaksian
salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya
mendahului kesaksiannya (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).

15
Termasuk dalam kelompok as-salafus shâlih adalah para imam
pendiri mazhab empat, karena Imam Hanafi termasuk tabi’in,
sedangkan Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali termasuk
tâbi’ut tâbi’în. Mereka telah membangun fondasi ilmu-ilmu agama
Islam beserta metodologinya, terutama ‘ulumul Quran, ‘ulumul
Hadits, dan ushul fiqh, yang kemudian disempurnakan oleh para
ulama generasi sesudah mereka. Manhaj para imam mazhab di
lingkungan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu diakui dan bahkan
diikuti oleh mayoritas ulama di dunia, baik pada masa lalu
maupun pada masa kini.
Kerangka berpikir Ahlus Sunnah wal Jamaah menjadi
pegangan mutlak oleh MUI sebagaimana yang tergambarkan
dalam sabda Rasulullah SAW:

.‫ﻟﺴَّﻮﺍﺩِ ْ َﺍﻟﻋ َْﻈ ِﻢ‬


َ ‫ﺇِﻥَّ ﺃ ُِﻣَّﺘ َﻟ َ ْﺗ َﺘ ِﻤ ُﻊ ﻋَ َﻠ ﺿَ َﻠ َ ٍﻟ ﻓَ ِﺈﺫَﺍ ﺭَﺃَﻳْ ُ ْﺘ ﺍ ْﺧ ِﺘ َﻠﻓًﺎ ﻓَ َﻌﻠَ ْﻴ ُ ْﻜ ِﺑ‬
Sesungguhnya Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan.
Sekiranya kamu lihat perselisihan, maka hendaklah kamu ambil
pendapat mayoritas (as-sawadul a’dham) (H.R. Ibnu Majah).
Dalam mengartikan as-sawadul a’dham (golongan mayoritas)
Imam Al-Munawi menyebutkan:

‫ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﻱ ﺍﻟﺰﻣﻮﺍ ﻣﺘﺎﺑﻌﺔ ﺟﺎﻤﻫﺮﻴ‬-‫ﻓﻌﻠﻴﻢﻜ ﺎﺑﻟﺴﻮﺍﺩ ﺍﻷعظم ‏‬


‫ﺍﻤﻟﺴﻠﻤﻦﻴ ﻓﻬﻮ ﺍﺤﻟﻖ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻭﺍﻟﻔﺮﺽ ﺍﻟﺜﺎﺑﺖ ﺍﺬﻟﻱ ﻻ ﺠﻳﻮﺯ ﺧﻼﻓﻪ ﻤﻓﻦ‬
.‫ﺧﺎﻟﻒ ﻣﺎﺕ ﻣﻴﺘﺔ ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ‬
Hendaklah kamu ikut as-awadul a’dham dari kaum Muslimin,
yaitu konsisten mengikut pendapat mayoritas orang Islam, karena
ia adalah kebenaran yang wajib dan fardhu yang pasti, yang tidak
boleh menyalahinya. Barangsiapa menyalahinya, lalu ia mati, maka
ia mati dalam keadaan jahiliyyah.

Pemikiran yang menjadi acuan MUI senantiasa mendahulukan


pijakan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Keduanya mencakup
semua hal yang melingkupi kejadian alam dan kehidupan
manusia, sesuai firman Allah SWT dalam Al-Quran:

16
16
.‫ُش ٰى ِللْ ُم ْس ِل ِم َني‬
َ ْ ‫ش ٍء َوهُدً ى َو َر ْ َح ًة َوب‬ َ َ‫َونَ َّزلْنَا عَلَ ْي َك ْال ِكت‬
ِّ ُ ‫اب ِت ْب َيانً ِل‬
َْ ‫ك‬
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri (Q.S. Al-Nahl: 89).

Di samping itu, dalam suatu Hadits disebutkan:

.‫هللا َو � ُسنَّ َة َر ُس ْو ِ ِل‬


ِ ‫اب‬َ ‫ ِك َت‬: ‫تَ َر ْك ُت ِف ْي ُ ْك أ� ْم َرْي ِن لَ ْن ت َِضل ُّ ْوا َما تَ َم َّس ْك ُ ْت بِ ِ َما‬
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara .Kamu tidak akan
sesat selama berpegang kepada keduanya( ,yaitu )Kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya. (H.R. Malik).
Dalam bidang aqidah dan ibadah, Al-Quran dan Hadits telah
menyebutkan ketentuannya secara rinci, tetapi dalam bidang
hubungan antarmanusia dan manusia dengan alam, ketentuan
Al-Quran dan Hadits hanya merupakan garis besar, karena
persoalan-persoalan keduniaan ini berkembangan secara dinamis,
yang tentu saja membutuhkan jawaban dari para ulama. Untuk
memecahkan atau menjawab persoalan-persoalan yang muncul,
MUI melakukan ijtihad dengan menggunakan metode (manhaj)
berpikir yang tetap berpegang pada metode ulama yang diakui
(mu’tabar) dan responsif terhadap persoalan-persoalan baru.
Manhaj berpikir yang telah dipraktikkan oleh MUI, baik dalam
bentuk penetapan fatwa maupun respon terhadap persoalan-
persoalan lainnya, senantiasa berorientasi kepada ketentuan
syari’ah baik secara tekstual (nushûshî) maupun kandungan
makna (maqâshidî) serta upaya menemukan solusi (makhârijî).
Dalam operasionalnya, ijtihad MUI menempuh langkah-langkah
sebagai berikut:
1) Pemikiran atau penetapan fatwa terhadap masalah yang
telah jelas hukum dan dalil-dalilnya (ma’lûmah minad dîn
bidh dharûrah) dilakukan dengan menyampaikan hukum
sebagaimana apa adanya, seperti wajibnya shalat lima waktu,
zakat, puasa Ramadhan, dan haji, serta haramnya membunuh,
berzina, makan babi, dan munum minuman keras.

17
2) Pemikiran atau penetapan fatwa terhadap masalah yang
terjadi perbedaan pendapat (masâil khilafiyah) di kalangan
madzhab, maka :
a) Pemikiran atau penetapan fatwa didasarkan pada hasil
usaha pencapaian titik temu di antara pendapat-pendapat
yang dikemukakan melalui metode al-jam’u wa al-taufîq;
b) Jika tidak tercapai titik temu antara pendapat-pendapat
tersebut, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih
melalui metode muqaranah (perbandingan) dengan
mengguna-kan kaidah-kaidah ushul fiqih muqaran.
c) Jika pendapat-pendapat itu dalam proses perjalanan
waktu sudah tidak relevan untuk dijadikan rujukan pada
saat ini karena adanya alasan hukumnya (‘illah) sudah
mengalami perubahan, maka dilakukan telaah ulang
(i’adatun nadhar) terhadap pendapat-pendapat itu.
3) Pemikiran atau penetapan fatwa terhadap masalah yang
tidak ditemukan pendapat hukum di kalangan madzhab atau
ulama yang mu’tabar didasarkan pada ijtihad kolektif melalui
metode bayânî dan ta’lîlî (ilhaqî, qiyâsi, istishlâhî, istihsanî, dan
saddudz dzarî’ah) serta metode penetapan hukum (manhaj)
lainnya yang dipedomani oleh para ulama madzhab.
4) Jika terdapat perbedaan di kalangan pengurus MUI tentang
suatu masalah dan tidak tercapai titik temu, maka pemikiran
atau penetapan fatwa disampaikan tentang adanya perbedaan
pendapat tersebut disertai dengan penjelasan argumen
masing-masing serta penjelasan dalam hal pengamalannya
yang sebaiknya mengambil pendapat yang paling hati-
hati (ihtiyâth) serta sedapat mungkin keluar dari perbedaan
pendapat (al-khurûj minal khilâf).
5) Pemikiran atau penetapan fatwa selalu merujuk kepada
nash-nash Al-Quran dan Hadits yang terkait dengan
memperhatikan otoritas pengaturan hukum oleh syari’at serta
mempertimbangkan kemaslahatan umum (al-mashlahatul
‘âmah) dan tujuan utama syariat (maqâshidusy syarî’ah).

18
18
2. Tawassuthiyyah/Wasathiyyah
Pendekatan berpikir MUI juga didasarkan pada prinsip tawassuth
atau pemahaman yang moderat, yakni pemahaman ajaran agama
secara adil dan seimbang, yang akan menghasilkan cara pandang,
sikap, dan perilaku yang selalu mengambil posisi jalan tengah di
antara dua sisi (ekstremitas). Dalam hal ini Musyawarah Nasional
di Surabaya pada 2015, MUI telah mempromosikan Islam moderat
(wasathiyyah Islam), yang dalam Bahasa Indonesia disebut Islam
wasathiyyah. Hal ini sejalan dengan ayat Al-Quran:

‫َو َك ٰذ ِ َل َج َعلْ ٰن ُ ْك ُا َّم ًة َّو َس ًطا ِل ّ َت ُك ْون ُْوا ُشهَدَ ۤا َء عَ َل النَّ ِاس َويَ ُك ْو َن َّالر ُس ْو ُل‬
.‫عَلَ ْي ُ ْك َشهِ ْيدً ا‬
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu. (Q.S. Al-Baqarah: 143).

Tawassuth adalah jalan tengah di antara dua sisi yang


berlawanan dengan tidak terpolarisasi pada satu titik berpikir
secara ekstrem, terutama antara wahyu dan ra’yu (akal) serta
antara nash dan wâqi’ (realitas). Dengan demikian, pemahaman
Islam wasathiyyah adalah pemahaman yang tidak tekstual dan
tidak pula liberal, tidak berlebihan (ifrâth) tetapi juga gegabah
(tafrîth), dan tidak pula memperberat (tasyaddud) tetapi juga
tidak mempermudah (tasâhul). Pemahaman wasathiyyah dapat
diwujudkan dengan penguasaan ilmu-ilmu agama Islam,
terutama ilmu-ilmu yang menjadi metode (manhaj) ijtihad untuk
memahami ayat-ayat Al-Quran dan Hadits, yakni ‘ulum al-
Quran, ‘ulum al-Hadits, dan Ushul al-fiqh. Pemahaman dengan
penggunaan manhaj ini tidak hanya memahami ayat-ayat Al-
Quran dan Hadits berdasarkan zhahirnya kalimat, tetapi juga
perhatian terhadap maqâshidus syarî’ah serta persepktif ilmu
pengetahuan dan realitas perkembangan masyarakat.

19
Dengan pemahaman moderat tersebut umat Islam bisa
menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai
konsensus nasional (mîthaq wathanî), yang telah dibangun dan
disepekati oleh Bapak Pendiri Bangsa, yang sebagian dari mereka
adalah ulama dan tokoh agama. NKRI ini disebut sebagai Darul
Mitsaq (Negara Kesepakatan atau Negara Konsensus) dengan
mengacu kepada Q.S. Al-Nisa’: 90 dan praktik Nabi di masa-masa
awal kedatangan di Madinah yang melakukan kesepakatan atau
perjanjian bersama dengan kelompok-kelompok sosial yang ada
dalam bentuk Piagam Madinah (Mîthaq al-Madînah). Argumentasi
ini dimaksudkan juga untuk menjawab keinginan kelompok-
kelompok yang ingin mengganti ideologi negara Pancasila
dengan negara Islam atau negara khilafah.
Di samping itu, dengan sikap tawassuth MUI bisa secara
lugas menjalin komunikasi lintas arah, baik dengan pihak yang
cenderung memiki paham yang berlawanan yang kadang-kadang
teraktualisasi dalam bentuk ketegangan. Dalam konteks ini MUI
berupaya memecah kebuntuan komunikasi dengan menjadi
mediator untuk saling menyayangi (tarâhum), saling memahami
(tafâhum), saling membantu (ta’âwun), dan saling menoleransi
(tasâmuh) di antara sesama anak bangsa baik agama, suku, dan
kelompok politik.

3. Tathawwuriyyah
Sebagaimana diketahui, bahwa jumlah teks-teks Al-Quran
dan Hadits yang terkait dengan kehidupan kemasyarakatan
(mu’amalah) sangat terbatas, sementara kehidupan manusia
sangat dinamis dan peristiwa-peristiwa atau persoalan-persoalan
baru pun semakin banyak. Peristiwa-peristiwa atau persoalan-
persoalan baru ini terjadi karena beberapa sebab, antara lain:
1) Perubahan sosial, yang meliputi perubahan budaya, ekonomi
dan politik pada masa kini mengharuskan para ulama untuk
melakukan telaah ulang terhadap pendapat-pendapat ulama

20
20
terdahulu yang tidak sesuai lagi dengan konteks sosial saat
ini.
2) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat
berpengaruh terhadap upaya mencari pendapat yang lebih
kuat (râjih) di antara pendapat-pendapat yang berkembang
dalam fikih klasik di mana pada masa klasik ilmu pengetahuan
dan teknologi belum berkembang pesat. Dengan bantuan
ilmu dan teknologi, para ulama dapat menelaah kembali
ketentuan hukum-hukum lama yang telah menjadi diskursus
pada abad pertengahan untuk dikontekstualisasikan dengan
kondisi kekinian.
3) Tuntutan perkembangan zaman mengharuskan para
ulama pada masa kini untuk melihat kompleksitas masalah
kontemporer dan memilih pandangan-pandangan dan fatwa
hukum yang lebih memudahkan (taisîr) dan menghindari
kesulitan (al-haraj) dalam hukum-hukum furu’, baik dalam
masalah ibadah maupun muamalat.
4) Munculnya kasus-kasus baru dan yang terbarukan mengha­
rus­kan adanya ijtihad baru karena masalah-masalah tersebut
belum pernah dijawab oleh para ulama pada masa lalu.

Dengan sebab-sebab tersebut, pada masa kini persoalan-


persoalan yang muncul semakin banyak, yang belum pernah terjadi
pada masa Nabi maupun pada masa shahabat, tabi’in dan tabi’ al-
tabi’in, sementara nash-nash Al-Quran dan Hadits terbatas, maka
pada saat ini diperlukan ijtihad, yang harus mempertimbangkan
dimensi waktu, tempat, tradisi, dan tantangan zaman. Hal inilah
yang telah dinyatakan oleh Imam Haramain al-Juwaini: “Inna
mu’zhamal-syarî’ah shadara minal ijtihâd” (Sesungguhnya sebagian
besar dari syari’ah bersumber dari ijtihad). Hal ini terjadi karena
jumlah nash Al-Qur’an dan Hadis terbatas, sedangkan fenomena,
fakta, dan peristiwa tidak terbatas (An-nushûsh mahdûdah wa
lâkinnal hawâdits wal waqâi’ wan nawaâzil ghairu mahdûdah).

21
MUI berusaha untuk menghasilkan pemikiran atau
ijtihad yang bersifat tathawwuriyyah, yakni responsif terhadap
pekembangan zaman yang berbeda dengan masa lalu. Hal ini
berarti MUI melakukan ijitihad terhadap persoalan-persoalan
baru yang belum ada pada masa lalu, atau persoalan-persoalan
yang telah mengalami perkembangan yang berbeda dengan
masa lalu, sesuai dengan pendapat para fuqaha, antara lain Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah:

‫تغري الفتوى واختالفها حبسب تغري ا ألزمنة وا ألمكنة وا ألحوال والنيات‬


.‫والعوائد‬
Perubahan fatwa disebabkan adanya perubahan masa, tempat,
kondisi, niat, dan adat tradisi.

Sejalan dengan pendekatan tathawwuriyyah tersebut,


MUI juga menggunakan pendekatan siyâqiyyah (kontekstual),
yakni pemahaman nash-nash Al-Quran dan Hadits dengan
memperhatikan konteks kalimat ayat dan Hadits (siyâqul kalâm)
serta konteks sosial pada saat turunnya ayat (asbâbun nuzûl) dan
terjadinya Hadits (asbâbul wurûd). Jika konteks sosial pada saat
ini berbeda dengan konteks sosial pada saat turunnya ayat dan
terjadinya Hadits, maka ayat dan Hadits itu perlu dipahami
dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi serta konteks dunia
pada saat ini.

4. Ishlâhiyyah
Di sisi lain, perkembangan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut telah melahirkan kemajuan dunia yang sering
disebut sebagai dunia modern. Terdapat beberapa kriteria tentang
modernitas ini, yakni tingkat pertumbuhan yang keberlanjutan
dalam ekonomi, tingkat kebebasan politik dan partisipasi rakyat
yang tinggi dalam penyelenggaraan negara, penyebaran norma-
norma sekuler dan rasional dalam kebudayaan, serta peningkatan
mobilitas dalam masyarakat. Meski dalam modernitas ini terdapat

22
22
banyak hal yang posititif, seperti rasional, kerja keras, inovatif, dan
disiplin, modernitas juga melahirkan hal-hal yang negatif, seperti
kecenderungan kepada individualisme, sekularisme, liberalisme,
dan hedonisme.
Hal-hal tersebut merupakan tantangan yang memerlukan
jawaban dari ulama, zuama, dan organisasi-organisasi Islam,
baik dalam bentuk penerimaan dan legitimasi terhadap hal-hal
yang positif maupun dalam bentuk penolakan terhadap hal-hal
yang negatif. Oleh karena itu, pemikiran MUI juga berorientasi
pada pendekatan ishlâhiyyah, yakni ijtihad atau pemikiran yang
berorientasi untuk melakukan reformasi atau pembaruan (tajdîd)
demi kemajuan umat dan peradaban Islam. Hal ini sesuai dengan
dengan Hadits:

ّ ِ ُ ‫هللا ي َ ْب َع ُث ِلهَ ِذ ِه ْ ُأال َّم ِة عَ َل َر أ� ِس‬


.‫ك ِمائ َ ِة �سَنَ ٍة َم ْن ُ َي ِّد ُد لَهَا ِدينَ َا‬ َ ‫� َّن‬
‫إ‬
Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir
seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama
mereka (H.R. Abu Dawud).

Perlunya kontekstualisasi dan pembaharuan pemahaman


ajaran-ajaran Islam sesuai dengan perkembangan zaman juga
dikemukan oleh Imam Al-Syihab al-Qarafi:

‫امجلود عىل املنقوالت أ�بدً ا ضالل يف ادلين وهجل مبقاصد علامء املسلمني‬
.‫والسلف املاضني‬
Selalu bertahan dalam kondisi stagnasi (jumud) terhadap suatu
teks adalah sebuah bentuk ketersesatan berpikir dan sekaligus
ketidaktahuan akan maksud tujuan cara berpikir ulama salaf yang
terdahulu.

Dengan pendekatan ishlâhiyyah tersebut, pemikiran dan


pemahaman MUI terhadap Al-Quran dan Hadits tidak hanya
dilakukan secara harfiah, yang bisa menjadikan ajaran Islam
itu statis (jumud), tetapi juga memahami maqâshidus syarî’ah dan
meneladani praktik pemahaman ulama masa lalu yang sangat

23
dinamis. Pemahaman secara harfiah, yang hanya memahami teks-
teks Al-Quran dan Hadits, tutama yang terkait dengan kehidupan
masyarakat dan negara, tanpa rasionalisasi dan kontekstualisasi
dengan realitas akan menghasilkan pemahaman yang statis dan
bahkan ekstrem, yang bisa menyesatkan, seperti ayat-ayat terkait
dengan jihad dan amar ma’ruf nahy munkar yang dipahami
dengan tindak kekerasan.
Prinsip pembaruan pemikiran yang dicanangkan oleh MUI
adalah pemikiran yang tetap mempertahankan pemikiran masa
lalu yang baik (tetap relevan) dan mengambil pemikiran baru
yang lebih baik, sesuai dengan qaidah: “Al-Muhâfazhah a’alal
qadîmis shâlih wal akhdzu bil jadîdil ashlah” (Mengambil pemikiran
lama yang baik dan mengambil pemikiran baru yang lebih baik).
Tentu saja, pemikiran pembaharuan ini tetap berdasarkan pada
metode pemahaman Al-Quran dan Hadits yang diakui oleh para
ulama (mu’tabar).

5. Tasâmuhiyyah
Sejak masa awal sejarah Islam setelah Rasulullah wafat dan
berlanjut pada masa tabi’in dan ulama mujtahidin, perbedaan
pendapat di kalangan para sahabat sudah sering terjadi, terutama
dalam masalah-masalah yang bersifat furu’iyyah, bukan masalah-
masalah yang bersifat dasar. Dalam beberapa kasus perbedaan
di antara sahabat yang terjadi pada masa kenabian, Rasulullah
membenarkan perbedaan itu. Demikian pula, para sahabat
juga bersikap toleran terhadap perbedaan, dan hal yang sama
juga ditunjukkan oleh para ulama mujtahidin pada masa lalu,
termasuk di kalangan ulama pendiri mazhab. Imam Syafi’i,
misalnya, mengatakan:

.‫ر أ�يي صواب حيمتل اخلط�أ ور أ�ي غريي خط�أ حيمتل الصواب‬
Pendapatku adalah benar tetapi ada kemungkinan salah, sedangkan
pendapat selainku adalah salah tetapi ada kemungkinan benar.

24
24
Hanya saja, pada masa lalu perbedaan pendapat ini dijadikan
sebagai alat untuk memecah belah umat Islam oleh pihak luar.
Gesekan-gesekan akibat perbedaan pendapat itu kini juga masih
terjadi, meski pengaruhnya tidak seburuk pada masa lalu. MUI
menghargai atau menoleransi (tasâmuh) terhadap perbedaan
pendapat dalam hal-hal yang bersifat furû’iyyah, yang notabene
merupakan wilayah ijtihad (majâlul ijtihâd). Sebaliknya, MUI
menolak pemikiran-pemikiran yang absolutis, yang dengan
mudah menganggap kelompok lain sebagai bid’ah (tabdî’), sesat
(tadhlîl), syirik (tasyrîk), atau bahkan kafir (takfîr). Tuduhan-
tuduhan kepada kelompok lain dalam hal-hal yang sebenarnya
bersifat khilafiyah ini bisa mengakibatkan perpecahan di antara
umat.
Namun, MUI tidak menoleransi terhadap perbedaan yang
bersifat mendasar, dan menganggapnya sebagai penyimpangan
(inhirâf), seperti aliran Ahmadiyyah, Al-Qiyadah al-Islamiyyah/
GAFATAR, Jamaah Salamullah Lia Eden, dan sebagainya. Meski
mereka dinyatakan sebagai aliran menyimpang, MUI tetap
mewajibkan kepada umat untuk mematuhi hukum negara dan
tidak melakukan kekerasan terhadap mereka. Dalam konteks
ini, MUI juga menyadari perlunya toleran terhadap perbedaan
agama, ras, dan suku, yang dalam konteks kehidupan masyarakat
dan negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Demikian
pula, MUI juga menghargai perbedaan dalam pilihan politik, baik
dalam hal pilihan partai politik maupun pilihan kandidat dalam
pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

B. Penyamaan Metode (Taswiyatul Manhaj)


Perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan
dalam kehidupan ini, termasuk dalam kehidupan beragama.
Perbedaan selain bisa menimbulkan dampak negatif tidak jarang
juga memberikan dampak positif. Perbedaan bisa memberikan
warna dalam berbagai hal, sehingga ia bisa saling melengkapi

25
antara satu dan lainnya. Islam tidak melarang adanya perbedaan
di antara umatnya, meski dalam sejarah Islam, sebagian dari
perbedaan itu telah mengakibatkan adanya perselisihan dan
konflik di kalangan umat. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi
umat pada saat ini, agar perbedaan itu tidak berkembang menjadi
perselisihan, konflik, dan perpecahan.
Perbedaan bisa memberikan dampak positif, karena ia
merupakan manifestasi dari beragamnya pemikiran, baik
yang disebabkan oleh adanya perbedaan dalam metodologi
maupaun disebabkan oleh perspektif berfikir dan sudut pandang
yang berbeda. Perbedaan dalam hal metodologi bisa berupa
perbedaan dalam penafsiran terhadap dalil-dalil syari’ah (al-
adillah al-syar’iyyah) dan perbedaan dalam metode berpikir
untuk merespons persoalan-persoalan baru yang terjadi. Namun
demikian, perbedaan tersebut bisa membawa dampak negatif
jika ia tidak disertai dengan adanya etika perbedaan sehingga
menimbulkan perselisihan dan bahkan perpecahaan di kalangan
umat, terutama jika ada kelompok yang menganggap hanya diri
mereka yang benar dan yang lain salah atau sesat.
Para ulama telah bersepakat tentang pokok-pokok ajaran
Islam yang tidak boleh diperselisihkan, yakni ajaran-ajaran
Islam yang sudah diketahui secara jelas oleh umat Islam tanpa
memerlukan pemikiran (ma’lûmah min al-dîn bidh dharûrah), seperti
wajibnya sahalat, zakat, dan puasa Ramadhan, serta haramnya
membunuh, berzina, makan babi, dan munum minuman keras.
Perbedaan dalam hal-hal yang bersifat khilâfiyyah atau ijtihâdiyyah
perlu dihormati, karena perbedaan ini bisa membawa hikmah dan
rahmat bagi umat, sesuai dengan ucapan seorang tabi’in: “ikhtilâf
ummatî rahmah”. Sedangkan perbedaan yang di luar majâlul ijtihâd
atau berbeda tentang masalah-masalah yang ma’lûmah min al-dîn
bi al-dharûrah dinilai sebagai penyimpangan.
Sebagai tenda besar bagi ormas-ormas Islam, para ulama,
zuama dan cendekiawan Muslim, MUI berusaha untuk

26
26
menyamakan metode (taswiyatul manhaj) dalam pemahaman
Islam sesuai paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang disebutkan
di atas. MUI pun telah menyusun konsep Penyamaan Pola Pikir
dalam Masalah Keagamaan (taswiyatul manhaj) dan Koordinasi
Langkah Strategis dalam Masalah Keagamaan (tansîqul harakah)
yang diputuskan dalam Forum Ijtima’ Ulama Se Indonesia II
tahun 2006 sebagai berikut:
1. Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam
merupakan suatu yang wajar, sebagai konsekwensi dari
pranata “ijtihad” yang memungkinkan terjadinya perbedaan.
2. Sikap yang merasa hanya pendapatnya sendiri yang paling
benar serta cenderung menyalahkan pendapat lain dan
menolak dialog, merupakan sikap yang bertentangan
dengan prinsip toleransi (at-tasâmuh) dan sikap tersebut
merupakan ‘anâniyyah (egoisme) dan ‘ashabiyyah hizbiyyah
(fanatisme kelompok) yang berpotensi mengakibatkan saling
permusuhan (al-’adawah), pertentangan (at-tanâzu’), dan
perpecahan (al-insyiqâq).
3. Dimungkinkannya perbedaan pendapat di kalangan umat
Islam harus tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas
(bilâ hudûd wa bilâ dhawâbith).
4. Perbedaan yang dapat ditoleransi adalah perbedaan yang
berada di dalam majâlul ikhtilâf (wilayah perbedaan).
Sedangkan perbedaan yang berada di luar majâlul ikhtilâf
tidak dikategorikan sebagai perbedaan, melainkan sebagai
penyimpangan, seperti munculnya perbedaan terhadap
masalah yang sudah diketahui secara jelas tanpa memerlukan
pemikiran (ma’lûm minad dîn bidh dharûrah).
5. Dalam menyikapi masalah-masalah perbedaan yang
masuk dalam majâl al-ikhtilâf sebaiknya diupayakan dengan
jalan mencari titik temu untuk keluar dari perbedaan (al-
khurûj minal khilâf) dan semaksimal mungkin menemukan
persamaan.

27
Taswiyatul manhaj ini sangat diperlukan, terutama dalam
merespons persoalan-persoalan yang tidak ada dalilnya dalam
Al-Quran dan Hadits, baik terkait dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, ekonomi, maupun
perkembangan politik dan kebijakan negara serta munculnya
aliran-aliran baru yang berbeda dengan paham keagamaan yang
ada. Dengan taswiyatul manhaj ini MUI bisa merespons persoalan-
persolan baru yang muncul dengan pemikiran yang sejalan atau
tidak saling kontradiksi antara satu fatwa dengan fatwa lainnya.
Demikian pula, taswiyatul manhaj bisa memproduksi pemikiran-
pemikiran pembaruan (tajdîd) ajaran-ajaran Islam tetap releven
dengan perkembangan zaman, tanpa penolokan dari suatu
kelompok Islam tertentu.
Di samping itu, dengan taswiyatul manhaj ini diharapkan juga
adanya saling pengertian di antara ormas-ormas dan kelompok-
kelompok Islam yang ada, sehingga terhindar dari terjadinya
perselisihan dan konflik di antara mereka, walaupun mereka
berbeda pendapat dalam merespons persoalan-persoalan itu.
Dengan taswiyatul manhaj ini pula keputusan-keputusan MUI,
terutama dalam hal fatwa, akan sama antara MUI pusat dan MUI
daerah. Penyamaan ini penting untuk menjaga integritas MUI
sendiri serta agar tidak terjadi kebingungan di kalangan umat jika
terdapat fatwa yang berbeda antara MUI pusat dan MUI daerah.

28
28
4
Manhajul Khidmah
(Metode Pengabdian)

A. Perlindungan dan Penguatan (Himâyah


wa Taqwiyah)

S
ebagai manifestasi dari visi dan misi sebagaimana disebutkan
di atas, Majelis Ulama (MUI) memiliki tanggung jawab
perlindungan (himâyah) dan penguatan (taqwiyah), yang
meliputi tiga bidang, yakni agama, umat, dan negara. Tugas
perlindungan ini tidak terlepas dari maqâshidus syarî’ah, yakni
untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia dan menghindari
hal-hal yang membayakan terhadap mereka (tahqîqu mashâlihin
nâs wa daf’idh dharari ‘anhum). Kemaslahatan ini terwujud melalui
upaya-upaya perlindungan terhadap enam hal yang merupakan
keniscayaan (dharûriyyât) yang disebut “al-dhurûriyyât al-sitt”,
yakni perlindungan agama (hifzhud dîn), perlindungan jiwa
(hifzhun nafs), perlindungan akal (hifzhul ‘aql), perlindungan
keturuan (hifzhun nasl), perlindungan harta (hifzhul mal), dan
perlingan kehormatan (hifzhun ‘irdh). Perlindungan terhadap
zharûriyyât ini sejalan dengan dengan missi Islam sebagai rahmat

29
bagi alam semesta (rahmatan lil ‘âlamîn), sebagaimana disebutkan
dalam Al-Quran:

.‫َو َما أ� ْر َسلْنَاكَ � َّل َر ْ َح ًة ِللْ َعالَ ِم َني‬


‫إ‬
Dan tidaklah kami utus engkau (Muhammad) kecuali menjadi
rahmat bagi sekalian alam (Q.S. Al-Anbiya’: 107).

1. Perlindungan dan Penguatan Agama (Himâyah


wa Taqwiyatud Dîn)
Allah sudah menyatakan dalam Al-Quran, bahwa Dia akan selalu
menjaga kebenaran Al-Quran, baik dari segi susunan lafazh
dan kalimat (lafdhiyyah) maupun dari segi arti (ma’nawiyyah),
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:

.‫ِانَّ َ ْن ُن نَ َّزلْنَا ِّاذل ْك َر َوِانَّ َل لَ ٰح ِف ُظ ْو َن‬


Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (Q.S. Al-Hijr: 9).

Sebagai rasul yang membawa risalah Islam, Nabi Muhammad


telah melakukan tugas penjagaan dan perlindungan ini, yang
kemudian diteruskan oleh para ulama yang merupakan pewaris
Nabi. Dalam konteks Indonesia pada masa kini, MUI merupakan
organisasi keagamaan yang berkewajiban untuk menjaga agama
(hamâyatud dîn atau hirâsatus dîn) ini. Himâyah atau perlindungan
ini berbentuk:
1) Pengawasan terhadap keaslian ayat-ayat Al-Quran pada
mushaf atau nasakah buku/kitab serta kebenaran isi buku/
kitab yang beredar, baik dalam bentuk cetak maupun digital.
2) Pengawasan aliran-aliran atau paham-paham yang ada,
terutama yang menyimpang, baik dalam bentuk bimbingan
ar-rujû’ ilal al-haqq (kembali kepada jalan yang benar) atau
tuntutan proses hukum terhadap aliran menyimpang sesuai
dengan UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

30
30
3) Pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang menodai atau
melecehkan agama Islam, sesuai dengan UU PNPS Nomor 1
Tahun 1965 dan pasal 156a KUHP.
4) Koreksi atau klarifikasi terhadap pendapat-pendapat yang
tidak sesuai dengan manhaj, baik pendapat yang bersifat
tasyaddud (pemberatan) atau ghuluww (berlebihan) maupun
pendapat yang bersifat liberal.
5) Memperjuangkan eksistensi agama dan aspirasi Islam
dalam proses pengambilan kebijakan, sehingga perundang-
undangan dan kebijakan negara ini tetap susuai dengan sila
pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945.

Sejalan dengan tanggung jawab perlindunagn terhadap agama


(himâyatud dîn) tersebut, MUI juga memiliki tanggung jawab untuk
melakukan penguatan agama (taqwiyatud dîn). Penguatan agama
ini dilakukan dengan beberapa upaya, yakni: (1) pendalaman
dan pengembangan ilmu-ilmu agama, (2) pendidikan, dakwah,
amar ma’ruf nahy munkar, dan (3) penguatan syiar agama dalam
kehidupan masyarakat, dan (4) penguatan kedudukan agama
dalam negara. Pendalaman dan pengembangan ilmu-ilmu agama
merupakan fardhu kifayah (kewajiban kolektif), berdasarkan ayat
Al-Quran:

‫ك ِف ْرقَ ٍة ِمنْ ُ ْم َطائِ َف ٌة ِل َي َت َفقَّهُوا‬ َ ُ‫َو َما َك َن الْ ُم ْؤ ِمن‬


ّ ِ ُ ‫ون ِل َي ْن ِف ُروا َكف َّ ًة ۚ فَلَ ْو َل ن َ َف َر ِم ْن‬
َ ‫ِف ّ ِادل ِين َو ِل ُي ْن ِذ ُروا قَ ْو َمه ُْم � َذا َر َج ُعوا �ل َيْ ِ ْم لَ َعلَّه ُْم َ ْي َذ ُر‬
.‫ون‬
‫إ‬ ‫إ‬
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya (Q.S. At-Taubah: 122).

Pendalaman ilmu-ilmu agama dilakukan di lembaga-lembaga


pendidikan keagamaan Islam, yakni pesantren, madrasah diniyah,

31
dan ma’had ‘ali, serta lembaga-lembaga pendidikan yang bercirikhas
Islam mulai dari tingkat Ibtidaiyah, Tasanawiyah, Aliyah, dan
Perguruaan Tinggi Agama Islam, yang meliputi program S1, S2,
dan S3. Dalam hal ini, MUI mendorong peningkatan kaulitas guru
dan dosen agama serta da’i/muballigh, yang notabene memiliki
peran sangat sangat penting untuk melakukan transfer ilmu
agama kepada umat. Di samping itu, MUI juga mendorong para
ulama dan akademisi untuk melakukan penelitian, penulisan, dan
penerbitan buku-buku atau kitab-kitab agama yang berkualitas,
yang diharapkan bisa mendapatkan pengakuan dunia.
Di samping itu, MUI terus mendukung pemberian pendidikan
agama di sekolah/madrasah, yang berarti pencantuman agama
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan penyebutan
secara eksplisit dalam Peta Pendidikan Nasional. Sedangkan
dakwah atau penyiaran ajaran-ajaran agama dilakukan melalui
ceramah-ceramah agama dan pengajian-pengajian di masjid,
mushalla, majelis ta’lim, dan sebagainya. Hanya saja, saat ini
masih ada da’i/khatib yang masih terbatas dalam penguasaan
ilmu-ilmu agama Islam. Mereka tidak memiliki latarbelakang
pendidikan agama, tetapi hanya berbekal kemampuan retorika
dan pengetahuan agama hasil belajar sendiri. Oleh karena itu,
MUI berkewajiban untuk memberikan bimbingan kepada da’i/
khatib tersebut, antara lain melalui pelatihan atau orientasi da’i
dan khatib serta pemberian sertifikat bagi mereka yang dinilai
mempu melakukan tugas dakwah dan khutbah dengan baik.
Pelatihan ini juga penting dalam rangka menanamkan etika
dakwah dan amar ma’ruf nahy munkar, yang harus dilakukan
dengan cara bijaksana (hikmah) dan santun (mau’izhah hasanah),
sesuai dengan Al-Quran:

َ ِ ‫ِيل َرب ّ َِك ِبلْ ِح ْكَ ِة َوالْ َم ْو ِع َظ ِة الْ َح�سَنَ ِة ۖ َو َجا ِدلْه ُْم ِبل َّ ِت‬
‫ه‬ ِ ‫ا ْد ُع � َ ٰل َسب‬
ِ ِ ‫أ� ْح َس إ ُن ۚ � َّن َرب َّ َك ه َُو أ� ْع َ ُل ِب َم ْن ضَ َّل َع ْن َسب‬
.‫ِيل ۖ َوه َُو أ� ْع َ ُل ِبلْ ُمهْ َت ِد َين‬
‫إ‬
32
32
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. An-Nahl: 125).

Penguatan syiar agama dilakukan dengan penciptaan


lingkungan kehidupan masyarakat yang religius, dalam bentuk
bangunan masjid dan mushalla yang representatif, pakaian
muslim/muslimah, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.
Sedangkan penguatan kedudukan agama dalam kehidupan
bernegara dilakukan agar perundang-undangan dan semua
kebijakan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah, selalu
memperhatikan dimensi agama ini serta terhindar dari proses
sekularisasi ideologi dalam kehidupan bernegara. Dalam konteks
ini, MUI di semua tingkat perlu memperbanyak dialog dengan
pengambil kebijakan publik tentang berbagai hal yang strategis,
terutama yang berimplikasi terhadap kehidupan umat beragama.

2. Perlindungan dan Penguatan Umat (Himâyah


wa Taqwiyatul Ummah)
MUI juga berkewajiban untuk melindungi atau manjaga umat
(himâyatul ummah), agar mereka bisa melaksanakan ajaran-
ajaran agama secara benar. Hal ini merupakan wujud dari tugas
amar ma’ruf nahy munkar sebagaimana disebutkan dalam Q.S.
Ali ‘Imran: 104 di atas. Kewajiban ini menempatkan posisi MUI
sebagai khâdimul ummah (pelayan umat), yang memiliki kewajiban
untuk:
1) Menjaga umat dari aqidah dan aliran sesat.
2) Menjaga umat dari pemikiran keagamaan yang menyimpang.
3) Menjaga umat dari akhlak yang tercela.
4) Menjaga umat dari konsumsi makan-makanan, minuman,
dan obat-obatan yang tidak halal.
5) Menjaga umat dari muamalah maliyah yang tidak halal.
6) Menjaga umat dari perpecahan.

33
Untuk melakukan perlindungan kepada umat dari aliran
sesat tersebut, MUI selalu mengadakan pengecekan, penelitian,
dan evaluasi, serta pernyataan opini atau fatwa terhadap
munculnya aliran-aliran baru atau praktik-praktik tradisi atau
gaya hidup yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Dalam hal jaminan halal, MUI memberikan sertifikasi halal
untuk produk-produk makanan dan minuman serta obat-obat
suplemen, sedangkan dalam hal jaminan non-ribawi terhadap
produk-produk industri keuangan, MUI melakukan pengawasan
melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada masing-masing
lembaga keuangan syariah.
Dengan himâyatul ummah ini pula MUI berkewajiban
untuk mewujudkan persatuan umat (tauhîdul ummah) baik
dengan penyamaan metode pemikiran (taswiyatu manhajil fikr)
sebagaimana disebutkan di atas maupun dengan kordonisasi
pelayanan dan gerakan (tansîqul khidmah wal harakah). MUI juga
berkewajiban untuk memperbanyak silaturrahim dan dialog
antara ormas-ormas dan kelompok-kelompok Islam yang ada
untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi umat.
Dalam konteks ini pula, MUI berkewajiban untuk melakukan
mediasi jika terjadi perselisihan atau konflik internal umat Islam.
Sejalan dengan tanggung jawab perlindunagn umat (himâyatul
ummah) tersebut, MUI juga bertanggung jawab untuk melakukan
penguatan umat (taqwiyatul ummah). Dilihat dari pertumbuhan
kesadaran dan pengalaman ajaran agama, jumlah umat Islam
yang taat dinilai semakin meningkat, yang dapat dilihat misalnya
dari banyaknya tempat ibadah yang ketika shalat Jum’at dipadati
oleh umat, serta semakin banyaknya wanita-wanita Muslimah
yang menutup aurat (memakai kerudung atau jilbab). Namun
jumlah umat yang belum taat melaksanakan ajaran agama juga
masih banyak, yang disebabkan oleh banyak faktor, terutama
pemahaman agama yang masih minim serta berkembangnya
kehidupan modern yang sekularistik dan materialistik. Sedangkan

34
34
tingkat pendidikan rakyat juga masih rendah, yang bisa dilihat
dari fakta bahwa angka rata-rata lama sekolah pada tahun 2019
adalah 8,75 tahun atau kelas tiga Sekolah Menengah Pertama
(SMP) atau Madrasah Tsanawiyyah (MTs). Hal ini mengandung
pengertian, bahwa kualitas SDM bangsa ini masih rendah,
terutama di kalangan umat Islam.
Oleh karena itu, diperlukan penguatan umat (taqwiyatul
ummah), baik dari segi keimananan dan keberagamaan maupun
dari segi kualitas SDM dan kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan
Hadits:

‫ َو ِف ْـي ُك ٍ ّـل‬،‫هللا ِم َن الْـ ُم ْؤ ِم ِن الضَّ ِع ْي ِف‬ ٌ ْ ‫َالْـ ُم ْؤ ِم ُن الْ َقـ ِو ُّي خ‬


ِ ‫َـي َو أ� َح ُّب �لَـى‬
‫إ‬
.‫خَـ ْي ٌـر‬
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa
Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada masing-masing dari
keduanya ada kebaikan (H.R. Muslim).

Untuk penguatan keimanan atau keberagamaan umat


diperlukan upaya-upaya peningkatan pengetahuan agama
serta pendidikan umat baik formal maupun informal. MUI
mendukung upaya-upaya peningkatan pendidikan umat, baik
yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Peningkatan pendidikan dilakukan dalam rangka peningkatan
kualitas SDM secara umum dan sekaligus peningkatan ahli-
ahli di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan berbagai macam
teknologi sebagai modal utama untuk membangun peradaban
Islam Indonesia. Peningkatan kepemilikan ilmu pengetahuan
ini akan meningkatkan kesejahteraan umat dan sekaligus
mengangkat derajat umat dan bangsa Indonesia lebih tinggi,
sebagaimana firmal Allah dalm Al-Quran:

َ ُ‫الل ِب َما تَ ْع َمل‬


‫ون‬ ٍ ‫الل َّ ِال َين � آ َمنُوا ِمنْ ُ ْك َو َّ ِال َين أ�وتُوا الْ ِع ْ َل د ََر َج‬
ُ َّ ‫ات ۚ َو‬ ُ َّ ِ ‫يَ ْرفَع‬
. ٌ‫َخبِري‬

35
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al-Mujadilah:11).

Pada dasarnya pendidikan memang merupakan tanggang


jawab pemerintah, tetapi karena kemampuan pemerintah masih
terbatas dalam penyelenggaraan bidang ini, maka pendidikan
juga diselenggarakan oleh masyarakat. Dalam hal ini ormas-ormas
dan lembaga-lembaga Islam sebenarnya sudah terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan ini sejak sebelum negara ini merdeka.
Namun karena masih ada keterbatasan-keterbatasan tertentu pada
sebagian ormas dan lembaga Islam dalam penyelenggaraan ini,
maka seyogyanya pemerintah juga memberikan pembinaan dan
bantuan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan ini.
MUI juga mendorong penguatan ekonomi umat dalam rangka
peningkatan kesejahteraan umat dan rakyat Indonesia secara
umum. Penguatan ekonomi ini dilakukan di samping melalui
pendidikan formal, juga melalui pendidikan informal, seperti
palatihan kerja, agar umat memiliki keterampilan tertentu yang
dibutuhkan oleh dunia kerja. Dengan pendidikan dan latihan kerja
ini diharapkan seseorang bisa bekerja di perusahaan-perusahaan,
yang memang memerlukan adanya tenaga kerja yang terampil.
Di samping itu, dengan diklat ini pula seseorang diharapkan bisa
membangun usaha secara mandiri dengan bantuan modal dari
pemerintah dan/atau dari lembaga-lembaga keuangan Syariah.
Tingkat pendidikan dan ekonomi yang tinggi akan
berpengaruh kepada meningkatnya kesadaran dan kedewasaan
rakyat terhadap hak-hak dalam kehidupan politik, terutama
dalam pemilu/pilkada. Hal ini akan berimplikasi pada tingginya
tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu/pilkada serta tingginya
kualitas demokrasi sehingga persaingan dalam pemilu/pilkada
berlangsung secara demokratis, jujur, dan damai. Dengan tingkat
pendidikan yang tinggi ini pula umat tidak mudah dijadikan
sebagai alat untuk kepentingan politik oleh pihak-pihak tertentu.

36
36
3. Perlindungan dan Penguatan Negara (Himâyah
wa Taqwiyatud Daulah)
MUI mendukung sepenuhnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), sebagai sebuah kesepakatan yang dibangun
oleh Bapak Pendiri Bangsa, yang di antara mereka adalah
ulama dan tokoh Islam. Dalam perspektif Islam, konsensus
atau kesepakatan nasional (al-mîtsâqul wathanî) ini merupakan
perjanjian yang mengikat bagi seluruh komponen bangsa,
sehingga negara ini disebut sebagai Negara Perjanjian (Darul
Mitsaq). Istilah ini mengacu kepada Piagam Madinah (Mîthaq
al-Madînah), sebuah kesepakatan atau perjanjian yang dibuat
oleh Rasulullah di masa-masa awal kedatangannya di Madinah
bersama dengan kelompok-kelompok sosial yang ada untuk
hidup secara damai.
Kesepakat pendiri bangsa tersebut meliputi empat hal,
yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagai konsekuensinya, MUI ikut berkewajiban untuk menjaga
atau membela negara (himâyatud daulah) ini, baik dari ancaman-
anacam yang bersifat fisik maupun non-fisik. Secara historis, para
ulama dan umat Islam selalu ikut ambil bagian dalam perang-
perang kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan,
yang dianggap sebagai begian dari jihâd fî sabilillah. Para ulama
juga ikut mempertahankan sistem negara Pancasila dari kudeta
yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ingin
merubah ideologi Pancasila menjadi ideologi komunis, baik
dalam pemberontakan pada 1948 maupun pemberontakan 1965.
Sebagai mitra pemerintah (shadîqul hukumah atau syarîkul
hukûmah), MUI mendukung empat konsensus tersebut di atas,
serta berusaha mengkonter setiap pemikiran atau ideologi
yang mengancam ideologi negara atau mengajarkan kekerasan,
termasuk ideologi yang mengatasnamakan agama. Kemitraan
ini juga dilakukan dalam hal proses legislasi dan pengambilan
kebijakan publik secara umum, dengan ikut mengawal agar

37
kebijakan publik di negara ini sejalan dengan ajaran-ajaran Islam
dan berorientasi pada kemaslahatan rakyat, sesuai dengan qaidah
fiqhiyyah: tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manûthun bil mashlahah
(kebijakan pimpinan negara terhadap rakyat harus didasarkan
pada kemaslahatan).
Sejalan dengan perlindungan terhadap negara (himâyatud
daulah) tersebut, MUI juga bertanggung jawab untuk melakukan
penguatan negara (taqwiyatud daulah). Setidaknya terdapat
empat peran pokok negara terhadap agama, yakni proteksi
(perlindungan), fasilitasi (pemberian pelayanan), regulasi
(pengaturan), dan supervisi (pengawasan). Terdapat kewajiban
timbal balik antara negara dan umat beragama, termasuk umat
Islam. Ketika negara melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut,
masyarakat beragama juga memiliki kewajiban untuk menjaga
dan memperkuat negara. Dalam pandangan Islam, terdapat
korelasi antara dimensi keimanan dan kewajiban negara untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keamanan, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran:

.‫فَلْ َي ْع ُبدُ وا َر َّب ه ََذا الْ َبيْ ِت َّ ِالي أ� ْط َع َمهُم ِّمن ُجوعٍ َو� آ َمنَ ُم ِ ّم ْن خ َْوف‬
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan
(Q.S. Al-Quraisy: 3-4).
Di sisi lain, rakyat juga ikut bertanggung jawab untuk
menjaga negara, yang digambarkan dalam do’a nabi Ibrahim
yang disebutkan dalam Al-Quran:

‫َو� ْذ قَا َل � ْب َرا ِه ُمي َر ِ ّب ا ْج َع ْل َه ٰ� َذا ب َ َ ًلا � آ ِمنًا َو ْار ُز ْق أ�ه َ ُْل ِم َن الث َّ َم َر ِات َم ْن‬
‫إ‬
‫� آ َإم َن ِمنْ ُ ْم ِب َّ ِلل َوالْ َي ْو ِم ْالآ ِخ ِر ۖ قَا َل َو َم ْن َك َف َر فَ�أ َم ِتّ ُع ُه قَ ِل ًيل ُ َّث أ�ضْ َط ُّر ُه � َ ٰل‬
‫إ‬
.‫عَ َذ ِاب النَّ ِار ۖ َو ِبئْ َس الْ َم ِص ُري‬
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari

38
38
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka
kepada Allah dan hari kemudian”. Allah berfirman: “Dan kepada
orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian
Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk
tempat Kembali” (Q.S. Al-Baqarah: 126).

Dengan demikian, bela negara merupakan prinsip dan usaha


yang sangat penting guna meningkatkan kualitas dan kapasitas
manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi.
Bagi umat Islam Indonesia, bela negara telah dimanifestasikan
secara nyata dalam sejarah lahirnya NKRI. Hal ini tercermin dari
sejarah panjang umat Islam Indonesia yang telah mengamalkan
prinsip bela negara dalam bentuk cinta tanah air jauh sebelum
Indonesia merdeka. Negara Indonesia bukan negara agama
dan bukan pula negara sekuler, tetapi negara yang berdasarkan
Pancasila, yang sangat menghormati nilai-nilai keagamaan.
Hal ini diwujudkan dalam bentuk pendirian lembaga-lembaga
keagamaan dalam negara serta adopsi nilai-nilai dan norma-
norma hukum agama dalam pengambilan kebijakan publik.
Oleh karenanya, umat Islam dituntut untuk menjadi elemen
terdepan dalam menjaga keutuhan negara dan bangsa Indonesia,
sebagai manifestasi komitmen kebangsaan. Dalam hal ini,
MUI memberikan pedoman bagi umat Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sebagai berikut:
1) Umat Islam Indonesia wajib bersyukur atas berkat rahmat
Allah atas negeri yang indah, makmur, dan telah menjadikan
agama sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Umat Islam juga sepatutnya bersyukur dengan tetap lestarinya
Pancasila dan UUD NRI 1945 menjadi dasar negara dan tata
aturan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjamin
kemerdekaaan umat Islam Indonesia dalam menjalankan
syariat dan tuntunan agamanya.
2) Umat Islam Indonesia wajib mempertahankan, melanjutkan,
merawat, mengawal, dan menjadi garda depan. Umat Islam

39
Indonesia harus menyadari bahwa komitmen berbangsa
dan bernegara sebagai karakter dan jatidiri Islam Indonesia
dari segala rongrongan dan ancaman ideologi ekstrem
agama dan sekuler, maupun non ideologis seperti ancaman
disintegrasi nasional. Umat Islam Indonesia hendaknya
juga mempertahankan kedaulatan negara baik kedaulatan
kultural, politik, dan teritorial.
3) Umat Islam Indonesia hendaknya terus mempertahankan dan
menempatkan prinsip religiusitas sebagai ruh dasar negara
dalam sila Pertama Pancasila, dan tidak terus disibukkan
memperdebatkan hubungan agama dan negara. Umat Islam
Indonesia mari meningkatkan produktivitas membangun
negara dan mengisinya, sebagai implementasi baldah
thayyibah wa Rabbun Ghafur.
4) Umat Islam Indonesia hendaknya mengawal dan terus
melakukan amar ma’ruf nahy munkar terhadap praktik
kekuasaan yang jauh dari amanah UUD NRI 1945 dan
tuntunan agama, dengan tetap teguh berpegang kepada
konstitusi dan prinsip-prinsip religius sebagai bentuk
implementasi bela negara.
5) Umat Islam Indonesia wajib membela dan mempertahankan
segenap kekayaan sumber daya alam Indonesia dari
penguasaan asing dan tetap dikuasai oleh negara untuk
kesejahteraan rakyat sesuai pasal 33 UUD NRI 1945. Karena
apa yang dinikmati oleh rakyat dan umat Islam Indonesia
saat ini adalah “pinjaman” dari generasi rakyat dan umat
Islam masa depan.

B. Penguatan Persaudaraan (al-Ukhuwwah)


Sebuah masyarakat dan negara akan stabil dan bisa mewujudkan
kesejahteraan dan keamaan dengan baik, jika ada persatuan
bangsa, dan persatuan ini akan terwujud dengan baik jika ada
persaudaran (ukhuwwah) dalam kehidupan masyarakat dan

40
40
negara. Persaudaraan ini meliputi tiga bentuk, yakni ukhuwwah
Islâmiyyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan ukhuwwah insâniyyah.

1. Persaudaraan Islam (Ukhuwwah Islâmiyyah)


Sangat banyak ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menekankan
pentingnya persaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam.
Persaudaraan ini seyogyanya membawa umat Islam kepada
solidaritas dan kerjasama untuk membangun peradaban guna
menampilkan umat Islam sebagai umat yang toleran, maju, dan
unggul (khaira ummah). Hal ini antara lain disebutkan dalam Al-
Quran:

ِ َّ ‫الل َ ِجي ًعا َو َل تَ َف َّر ُقوا ۚ َو ْاذ ُك ُروا ِن ْع َم َت‬


‫الل عَلَ ْي ُ ْك � ْذ ُك ْن ُ ْت‬ ِ َّ ‫َوا ْع َت ِص ُموا ِ َب ْب ِل‬
‫إ‬
‫أ� ْعدَ ًاء فَ�أل َّ َف ب َ ْ َي ُقلُو ِب ُ ْك فَ�أ ْص َب ْح ُ ْت ِب ِن ْع َم ِت ِه �خ َْوانً َو ُك ْن ُ ْت عَ َ ٰل َش َفا ُح ْف َر ٍة ِم َن‬
‫إ‬
.‫ون‬ ُ َّ ‫النَّ ِار فَ�أنْ َق َذ ُ ْك ِمنْ َا ۗ َك َ ٰذ ِ َل يُ َب ِ ّ ُي‬
َ ُ‫الل لَ ُ ْك � آ َي ِت ِه لَ َعل َّ ُ ْك تَ ْ َتد‬
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-
musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena ni’mat Allah, orang-orang yang bersaudara, dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu
dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk (Q. S. Ali ‘Imran: 103).

Perintah Allah tentang persaudaraan dan persatuan Islam


serta upaya-upaya perdamaian jika terjadi perselisihan di antara
mereka juga disebutkan dalam Al-Quran:

َ ‫هللا لَ َعل َّ ُ ْك تُ ْر َ ُح‬


.‫ون‬ َ ُ‫�ن َّ َما الْ ُم ْؤ ِمن‬
َ ‫ون �خ َْو ٌة فَ�أ ْص ِل ُحوا ب َ ْ َي �أخ ََو ْي ُ ْك َوات َّ ُقوا‬
‫إ‬ ‫إ‬
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu,
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (Q.S.
Al-Hujurat: 10).

41
Namun, secara empiris kehidupan umat Islam di negara ini
secara umum masih belum sesuai dengan nilai-nilai ideal Islam
tersebut. Bahkan kehidupan umat Islam di sejumlah negara
Muslim menunjukan masih adanya pertentangan, pertikaian,
bahkan perpecahan, yang tentu membawa dampak sistemik ke
dalam kehidupan umat dalam berbagai bidang. Oleh karena itu,
diperlukan adanya etika dan pesan moral Islam untuk dijadikan
acuan atau rujukan oleh umat baik secara pribadi maupun secara
kelompok demi terwujudnya ukhuwwah Islamiyyah yang hakiki.
Upaya penguatan ukhuwwah Islamiyyah ini perlu terus-menerus
dilakukan secara terencana dan terorganisir dengan baik, sehingga
dirasakan sebagai sebuah keniscayaan sekaligus kebutuhan.
Sejalan dengan tugas MUI untuk menjaga umat (himâyatul
ummah) dan penguatan umat (taqwiyatul ummah), MUI terpanggil
untuk melakukan penguatan ukhuwwah Islamiyyah ini dalam
bentuk kode etik (ethical code of conduct) agar bisa dijadikan pedoman
praktis bagi umat Islam secara keseluruhan, sebagai berikut:
1) Setiap muslim memandang sesama muslim sebagai saudara
seiman, karenanya dia memperlakukan saudara seimannya
dengan penuh kasih sayang, kejujuran, empati dan solidaritas
bukan dengan rasa benci, antipati dan cenderung melukainya.
2) Setiap muslim wajib mengembangkan persaudaraan
keimanan, ke arah sikap dan budaya saling membantu dan
melindungi.
3) Setiap muslim mengutamakan kehidupan berjamaah dan
dapat mendayagunakan organisasi sebagai alat dakwah dan
perjuangan. Dalam hal ini, organsasi hanyalah alat bukan
tujuan.
4) Setiap organisasi/lembaga Islam memandang organisasi/
lembaga Islam lain sebagai mitra perjuangan, karenanya
hendaknya dikembangkan budaya kerjasama dan perlombaan
meraih kebaikan, bukan budaya pertentangan, permusuhan,
dan persaingan tidak sehat.

42
42
5) Dalam kehidupan politik, seperti pada pemilihan untuk
jabatan politis, setiap muslim dan organisasi/lembaga Islam
harus mengedepankan kebersamaan dan kepentingan
bersama umat Islam dan meletakannya di atas kepentingan
kelompok/organisasi.
6) Sesama pemimpin dan tokoh umat Islam wajib menghidupkan
silaturrahim tanpa memandang perbedaan suku, etnik,
organisasi, kelompok atau aliran politik.
7) Setiap pemimpin dan tokoh umat Islam perlu menahan diri
untuk tidak mempertajam dan mempertentangkan masalah-
masalah khilafiyah, keragaman ijtihad dan perbedaan
madzhab di dalam forum khutbah, pengajian dan sebagainya,
apalagi dengan mengklaim pendapat atau kelompok tertentu
yang paling benar dan menyalahkan pendapat atau kelompok
lain.
8) Hubungan antara sesama organisasi Islam haruslah dilandasi
pandangan positif (husnudzon) dan selalu mengedepankan
sikap saling menghargai peran dan kontribusi masing-masing
dalam pembangunan umat.
9) Setiap amal dan prestasi suatu organisasi Islam haruslah
dipandang sebagai bagian dari karya dan prestasi umat Islam
secara keseluruhan, dalam arti organisasi Islam yang lain
wajib menghormati, menjaga serta melindunginya.
10) Setiap kaum muslimin harus memandang sesama muslim
lain di berbagai negara dan belahan dunia, sebagai bagian
dari dirinya dan berkewajiban untuk membangun solidaritas
dan tolong menolong dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan etika ukhuwwah tersebut, MUI akan lebih mudah


mengupayakan persatuan umat (tauhîdul ummah) dan kerjasama
di antara ormas-ormas Islam. Dalam konteks ini, Forum Ukhuwah
Islamiyah (FUI) MUI bertanggung jawab untuk mewujudkan
ukhuwwah ini, yang dikoordinasikan oleh Dewan Pertimbangan

43
dan secara teknis dijalankan oleh Komisi Ukhuwah Islamiyah.
Anggota forum ini adalah pimpinan semua ormas Islam yang
terdaftar di MUI. FUI ini menjadi forum untuk merespons
berbagai permasalahan besar yang dihadapi umat, termasuk
menjadi mediator jika terjadi perselisihan atau konflik di antara
kelompok Islam atau antara kelompok Islam dengan kelompok
lain atau pihak luar.

2. Persaudaraan Nasional (Ukhuwwah Wathaniyyah)


Secara umum kini sebuah negara terdiri dari berbagai kelompok
masyarakat yang berbeda-beda latar belakangnya, baik dari segi
suku, etnis, maupun agama. Hal ini sesuai dengan Al-Quran:

ۚ ‫َي أ�يُّ َا النَّ ُاس �نَّ َخلَ ْقنَ ُ ْاك ِم ْن َذ َك ٍر َو أ�ن َ ْٰث َو َج َعلْنَ ُ ْاك ُش ُع ًوب َوقَ َبائِ َل ِل َت َع َارفُوا‬
. ٌ‫الل عَ ِل ٌمي َخبِري‬ ِ َّ َ‫� َّن أ� ْك َر َم ُ ْك ِع ْن إد‬
َ َّ ‫الل أ�تْ َق ُ ْاك ۚ � َّن‬
‫إ‬ ‫إ‬
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S.
Al-Hujurat: 13).

Ayat tersebut menyatakan, bahwa Allah menciptakan


manusia dalam berbagai bangsa (syu’ûb) dan suku (qabâil),
dan dalam kemajemukan ini mereka diperintahkan untuk
membangun sikap saling mengenal dan saling mengakui
keberadaan masing-masing. Hal ini mengandung pengertian
adanya berbagai negara-bangsa, yang pada umumnya terdiri
atas berbagai suku, agama, mazhab, dan etnis tetapi harus hidup
dalam kedamaian. Untuk mewujudkan kedamaian dalam sebuah
negara diperlukan adanya persatuan dan persaudaraan nasional
(ukhuwwah wathaniyyah), yang pada umumnya telah digariskan
sebagai bagian terpenting dalam kesepakatan atau konsensus

44
44
nasional (al-mîtsâq al-wathanî). Dengan persaudaraan nasional ini
warga negara dituntut untuk saling menghormati, menoleransi,
dan kerjasama serta menghindari sikap dan perbuatan saling
merugikan dan permusuhan.
Di awal kedatangannya di Madinah pada tahun 622 M, Nabi
Muhammad membangun Negara Madinah, yang penduduknya
terdiri dari berbagai suku (kabilah) dan penganut agama. Beliau
berusaha untuk mewujudkan persatuan dan persaudaraan di
antara mereka dengan membuat sebuah kesepakatan bersama
yang disebut Mîthâq al-Madînah (Kesepakatan atau Piagam
Madinah. Dalam pasal 1 Piagam ini disebutkan: “Mereka adalah
umat yang bersatu, yang berbeda dengan masyarakat lain.”
Memang sebagaian kelompok Yahudi ada yang kemudian
melanggar kesepakatan ini, namun upaya Nabi untuk
mewujudkan persatuan dan persaudaraan ini tetap perlu menjadi
rujukan bagai umat Islam pada saat ini, terutama dalam sebuah
negara yang masyarakatnya majemuk.
Sebagaimana diketahui, bangsa Indonesia adalah bangsa yang
sangat majemuk, terdiri dari bergai suku, agama, budaya, dan
etnis yang berbeda-beda. Dalam sebuah masyarakat yang plural,
persoalan perbedaan agama, suku, dan etnis serta kesenjangan
ekonomi dan kontestasi politik bisa menjadi pemicu munculnya
konflik dan perselisihan dalam masyarakat. Oleh karena itu, para
bapak bangsa telah mencanangkan motto “Bhinneka Tunggal Ika”
serta menjadikan frasa “Persatuan Indonesia” sebagai sila ketiga
Pancasila. Upaya-upaya untuk mewujudkan persaudaraan dan
persatuan pun dilakukan baik oleh negara/pemerintah maupun
tokoh masyarakat, termasuk ulama, intelektual, dan organisasi
kemasyarakatan.
Sebagai konsekuensi dari visi dan pemikiran MUI untuk
menjaga negara (himâyatud daulah) dan penguatan negara (taqwiyatud
daulah), MUI memiliki tanggung jawab untuk memperkuat
persaudaraan kebangsaan atau persaudaraan nasional (ukhuwwah

45
wathaniyyah) untuk mewujudkan persatuan bangsa (tauhîdus sya’b)
di negara ini. Upaya-upaya penguatan kerukunan dan persatuan
nasional ini dilakukan melalui empat bingkai, yakni:
1) Bingkai teologis, yakni penguatan kerukunan nasional
dan pencegahan konflik melalui pengembangan “teologi
kerukunan”, sebagai acuan dalam hubungan antar-umat
beragama, antar-warga negara, dan antar-manusia secara
keseluruhan. Teologi kerukunan ini juga mengandung arti
pemahaman keagamaan yang tidak mengarah pada konflik
dan kekerasan yang bisa disebut sebagai “teologi konflik”.
Dalam konteks Islam, hubungan antar-kelompok agama juga
didasarkan pada konsep mu’âhadah atau muwâtsaqah, yang
berarti adanya perjanjian antar kelompok-kelompok masyarakat
untuk membangun kehidupan yang damai dan rukun.
2) Bingkai politis (politik kebangsaan), yakni penguatan
kerukunan nasional dan pencegahan konflik melalui
penguatan wawasan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara meliputi empat konsensus, yakni Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
3) Bingkai yuridis, yakni penguatan kerukunan nasional dan
pencegahan konflik melalu penguatan regulasi tentang
kehidupan beragama secara komprehensif dan terintegrasi,
baik dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan
hukum di bawahnya.
4) Bingkai sosiologis (sosio-kultural), yakni penguatan kerukunan
nasional dan pencegahan konflik melalui penguatan budaya
kearifan lokal. Hal ini sangat memungkinkan karena setiap
daerah atau suku memiliki nilai-nilai budaya, yang dianggap
sebagai kearifan lokal (local wisdom).

Untuk penguatan kerukunan nasional tersebut, agama


semestinya menjadi faktor pemersatu (integratif) dalam kehidupan
masyarakat dan negara, bukan sebagai faktor pemecah belah

46
46
(disintegratif). Sejalan dengan hal ini, agama semestinya dipahami
secara moderat dengan memperhatikan pula konteks dan kondisi
obyektif bangsa Indonesia yang majemuk (multi-kultural, multi-
agama dan multi-etnis) berdasarkan Pancasila. Sebaliknya, agama
semestinya tidak dipahami secara eksklusif dan ekstrem, yang
terlepas dari misinya serta dari konteks masyarakat Indonesia
yang majemuk.

3. Persaudaraan Kemanusiaan (Ukhuwwah


Insâniyyah)
Al-Quran Surat Al-Hujurat: 13 tersebut di atas juga menjadi dalil
bagi prinsip persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insâniyyah),
yakni perintah saling mengenal, saling menghormati, dan saling
mengakui keberadaan berbagai kelompok manusia, baik dari
segi kebangsaan, ras, etnis, maupun suku dan bahkan agama.
Persaudaraan kemanusiaan meniscayakan adanya rasa kasih
sayang antara sesama manusia di dunia tanpa melihat latar
belakang primordial mereka, karena pada dasarnya semua manusia
merupakan anak keturunan nabi Adam, yang di dalam Al-Quran
disebutkan sebagai “nafs wâhidah” (individu yang satu), yakni:

‫ٰ ٓ َييُّ َا النَّ ُاس ات َّ ُق ْوا َربَّ ُ ُك َّ ِال ْي َخلَ َق ُ ْك ِّم ْن ن َّ ْف ٍس َّوا ِحدَ ٍة َّو َخلَ َق ِمنْ َا َز ْو َ َجا َوب َ َّث‬
َ ّ ٰ ‫الل َّ ِال ْي ت َ َس ۤا َءلُ ْو َن ِب ٖه َو ْ َال ْر َحا َم ۗ ِا َّن‬
‫الل‬ َ ّ ٰ ‫ِمنْ ُ َما ِر َج ًال َك ِث ْ ًيا َّو ِن َس ۤا ًء ۚ َوات َّ ُقوا‬
‫َك َن عَلَ ْي ُ ْك َرِق ْي ًبا‬
Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia
menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.143)
Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling
meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Dalam konteks ini, berdirinya Persatuan Bangsa-Bangsa


(PBB) pada tahun 1945 sebenarnya merupakan wujud dari

47
persaudaraan kemanusiaan ini, meski dalam kenyataannya,
badan ini belum bisa sepenuhnya mewujudkan tujuannya. Dalam
pasal 1 Piagam PBB (UN Charter) disebutkan, bahwa tujuan badan
dunia ini adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia,
membangun hubungan persaudaraan antarbangsa di dunia,
serta melaksanakan kerjasama dan menyelesaikan masalah-
masalah dunia. Masalah-masalah kemanusiaan di dunia yang
sampai kini masih terjadi antara lain adalah masalah kemiskinan
dan keterbelakangan, konflik dan peperangan, kekerasan dan
penindasan, penyakit menular (pandemi), serta bencana alam
dan kerusakan lingkungan hidup.
Dengan prinsip persaudaraan kemanusiaan tersebut MUI
mendorong terwujudnya perdamaian dan keamanan dunia serta
kerjasama antarbangsa dan antarnegara di dunia. Prinsip ini
juga diharapkan mendorong solidaritas dan saling membantu di
antara bangsa-bangsa di dunia, terutama ketika terjadi bencana
perang, bencana alam, atau wabah penyakit/pandemi yang
menimpa suatu masyarakat tertentu atau bangsa-bangsa di
dunia. Sebaliknya, MUI, menolak penjajahan atau penindasan
suatu bangsa atau negara tertentu terhadap bangsa atau negara
lain serta arogansi atau hegemoni peradaban tertentu terhadap
peradaban lainnya.
Sebagai organisasi yang memiliki tanggung jawab
kemanusiaan (mas’ûliyyah insâniyyah), MUI memiliki komitmen
untuk berkontribusi mewujudkan persaudaraan kemanusiaan
tersebut, baik dalam bentuk pemikiran maupun tindakan
solidaritas. Di antara kontribusi MUI adalah keterlibatan
dalam diplomasi publik dan dialog-dialog internasional
untuk mewujudkan perdamaian dunia, yang meliputi dialog
antarperadaban (al-hiwâr bainal hadhârât), dialog antarbudaya (al-
hiwâr bainas tsaqâfât), dialog antaragama (al-hiwâr bainal adyân),
dan dialog antarmazhab (al-hiwâr bainal mazhâhib).

48
48
5
Koordinasi Gerakan
(Tansîq Al-Harakah)

S
ebagai manifestasi dari visi dan misi sebagaimana disebutkan
di atas, Majelis Ulama (MUI) memiliki aktivitas-aktivitas,
program-program pelayanan dan gerakan-gerakan, baik
dalam bidang keagamaan, sosial, ekonomi maupun politik.
Hal ini merupakan perwujudan dari partisipasi MUI dalam
pembangunan nasional, baik dalam kapasitas sebagai pelayan
umat (khâdimul ummah) maupun mitra pemerintah (shidîqul
hukûmah atau syarîkul hukûmah). Sebagai mayoritas (87%)
penduduk di Indonesia, peran umat Islam sangat menentukan
keberhasilan pembangunan ini. Oleh karena itu, MUI memandang
penting untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ini, baik
dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evalusi, maupun
pemanfaatan program-program-orogram pembangunan,
terutama dalam hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak
pada kehidupan umat Islam.

49
A. Pentingnya Koordinasi
Agar pengabdian (khidmah) dan gerakan (harakah) organisasi-
organisasi Islam itu bisa terkoordinasi dengan baik dan tidak saling
bertabrakan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya
diperlukan penyelarasan atau koordinasi di antara mereka. Hal
ini sangat penting, karena umat Islam merupakan mayoritas
penduduk negeri ini, tetapi seringkali aspirasi atau kepentingan
umat tidak cukup terakomodasi dalam pengambilan kebijakan
publik. Di sisi lain, kelompok non-Islam serta kelompok sekuler
dan liberal tidak jarang mendominasi wacana mereka, baik dalam
media maupun dalam pengambilan kebijakan publik.
Dalam kenyataannya, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh
umat saat ini belum cukup terkoordinasi dengan baik, sehingga
gerakan yang ada kurang efektif dan dalam beberapa kasus
bahkan terjadi gesekan antarkelompok Islam. Oleh karenanya,
MUI menganggap penting perlunya koordinasi dan kerjasama
di antara ulama, zuama, dan organisasi-organisasi Islam dalam
mengagendakan setiap gerakan yang dilakukan. Hal ini sejalan
dengan firman Allah:

َ َّ ‫ول َو َل تَنَ َاز ُعوا فَتَ ْفشَ لُوا َوت َْذه ََب ِر ُحي ُ ْك َو ْاص ِ ُبوا � َّن‬
‫الل‬ ُ َ ‫الل َو َر ُس‬
َ َّ ‫َو أ� ِطي ُعوا‬
‫إ‬
.‫الصا ِب ِر َين‬
َّ ‫َم َع‬
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar (Q.S. Al-Anfal: 46).

Ijtima’ Ulama se-Indonesia ke II tahun 2006 telah memutuskan


tentang Koordinasi Langkah Strategis dalam Masalah Keagamaan
(tansîq al-harakah) sebagai berikut:
1) Umat Islam perlu mengefektifkan gerakan, baik yang sifatnya
dakwah Islamiyyah (harakah al-da’wah) maupun gerakan
pembelaan bagi Islam dan umatnya (harakah al-difâ’)

50
50
2) Gerakan umat Islam yang efektif itu adalah gerakan
yang bersifat ishlâhiyyah, terkoordinasi, tersinergi,
saling mendukung, dan tidak kontra-produktif, serta
mengedepankan cara-cara (kaifiyât) yang damai, santun, dan
berkeadaban, sekalipun aktifitas kegiatan tersebut beragam
dan tidak satu model.
3) Dalam melakukan aktifitas, ormas dan lembaga keagamaan
hendaknya selalu mendasarkan diri di atas prinsip: niat
yang baik, perencanaan yang terpadu, metode keagamaan
(manhaj) yang shahih, serta prinsip kehidupan sosial yang
mengedepankan semangat kekeluargaan (al-ukhuwwah),
moderasi (at-tawassuth), keseimbangan (at-tawâzun), dinamis,
dan memanfaatkan segala potensi yang ada.
4) Gerakan keagamaan (harakah diniyyah) harus mencakup
segala bidang, seperti aqidah, syari’ah, akhlak, pendidikan,
ekonomi, sosial, dan budaya.
5) Untuk tercapainya gerakan yang efektif tersebut, MUI
diharapkan dapat menjalankan fungsi-fungsi koordinasi,
sinkronisasi, dan sinergi sehingga tercapai tujuan gerakan
bersama.

Forum Ukhuwwah Islamiyyah (FUI) sebagaimana disebutkan


di atas, memiliki fungsi yang sangat strategis untuk melakukan
koordinasi dan kerjasama umat Islam yang saat ini dinilai kurang
terkoordinasi. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menyeragamkan
ormas-ormas Islam yang ada menjadi satu warna saja, tetapi lebih
pada upaya membangkitkan kesadaran setiap eksponen masing-
masing ormas tentang adanya pembagian peran dan tugas
serta kerjasama demi tercapainya tujuan bersama, yakni izzul
Islâm wal Muslimîn. Koordinasi ini tetap memberikan kebebasan
bagi masing-masing ulama, zuama, dan organisasi keagamaan
ataupun organisasi politik Islam untuk menjalankan visi dan misi
masing-masing.

51
B. Bidang-Bidang Koordinasi
1. Bidang Keagamaan
Sebagaimana diketahui, bahwa masing-masing ulama, zuama,
dan organisasi Islam tentu saja memiliki aktivitas dan program-
program di bidang keagamaan, terutama di bidang dakwah
dan pendidikan. Masing-masing organisasi ini memiliki paham
keagamaan yang bervariasi, baik yang bersifat konservatif, puritan,
tradisionalis, maupun modernis. Masing-masing pun berusaha
untuk menyebarkan paham-pahamnya baik untuk anggota sendiri
maupun pihak lain melalui kegiatan dakwah dan pendidikan. Agar
perbedaan-perbedaan itu tidak menimbulkan gesekan atau bahkan
konflik di antara kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi
Islam, diperlukan koordinasi secara terus menerus.
Konsep koordinasi pengabdian (khidmah) dan gerakan
(harakah) sangat diperlukan untuk dikembangkan dalam bidang
dakwah dan pendidikan, karena bidang ini merupakan ujung
tombak untuk melakukan perubahan kondisi umat menjadi lebih
baik. Tujuan dakwah dan pendidikan adalah untuk penguatan
keimanan dan ketakwaan umat melalui pemahaman ajaran-
ajaran agama yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
di semua bidang. Dakwah dan pendidikan juga dimaksudkan
untuk penguatan ukhuwwah dan persatuan umat, sebagaimana
dipesankan dalam Al-Quran:

‫وف َويَنْ َ ْو َن‬ ِ ‫ون ِبلْ َم ْع ُر‬


َ ‫ون َوالْ ُم ْؤ ِمنَ ُات ب َ ْعضُ ه ُْم أ� ْو ِل َياء ب َ ْع ٍض يَ�أ ُم ُر‬
َ ُ‫َوالْ ُم ْؤ ِمن‬
‫ول أ� ْولَـ ِئ َك‬
ُ َ ‫هللا َو َر ُس‬
َ ‫ون‬َ ‫ُون َّالز َك َة َويُ ِطي ُع‬
َ ‫الص َال َة َويُ ْؤت‬ َ ُ ‫َع ِن الْ ُمن َك ِر َويُ ِقمي‬
َّ ‫ون‬
.‫هللا َع ِز ٌيز َح ِك ٌمي‬
َ ‫هللا � َّن‬ ُ ‫س َ ْي َ ُحهُم‬
‫َ ُ إ‬
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;

52
52
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. At-
Taubah: 71).

Meski masing-masing ulama, zauma, dan organisasi atau


kelompok keagamaan memiliki paham yang bervariasi, seharusnya
masing-masing tetap sejalan dengan manhajul fikri MUI di atas,
yakni manhajiyyah, tawassuthiyyah, tathawwuriyyah, ishlâhiyyah,
dan tasâmuhiyyah. Hal ini sangat penting, karena jika manhaj ini
tidak diperhatikan, bisa jadi pemahaman itu hanya bersifat harfiah
dan statis, tidak toleran terhadap pemahaman kelompok lain,
dan bahkan bisa mengarah kepada radikalisme dan ektremisme
atas nama agama. Pemahaman keagamaan para ulama, guru
agama, tokoh ormas, da’i, dan muballigh sangat mempengaruhi
pemahaman keagamaan umat, dan paham keagamaan umat ini
mempengaruhi tingkat harmoni dan kerukunan umat beragama
dan kerukunan nasional. Jika suatu kelompok masyarakat memiliki
pemahaman keagamaan yang radikal dan ekstrem, maka yang
terjadi adalah sikap saling curiga, ketegangan, permusuhan, dan
bahkan kekerasan atas nama agama.
Dalam konteks ini, peran ulama dan tokoh-tokoh agama
sangat penting dalam menyebarkan pemahaman keagamaan yang
moderat dan toleran kepada umatnya melalui berbagai media
penyiaran agama dalam bentuk khutbah dan ceramah agama,
baik secara langsung maupun maupun melalui media cetak, radio,
televisi, dan media sosial lainnya. Peran ini juga penting dalam
memotivasi umat untuk berpartisipasi dalam pembangunan
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup mereka, baik di
bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun kesejahteraan
mereka. Hal ini berarti bahwa agama yang dipahami secara
dinamis menjadi motivator bagi kemajuan pembangunan bangsa.

2. Bidang Sosial Budaya


Proses modernisasi dan globalisasi di samping membawa kemajuan
juga membawa tantangan bagi eksistensi akhlak dan karakter

53
bangsa, karena dalam proses ini terjadi proses akomodasi nilai-
nilai (kebudayaan) yang datang dari luar, yang bisa mempengaruhi
perubahan nilai-nilai bangsa. Proses ini membawa dampak positif,
jika nilai-nilai yang diakomodasi itu merupakan nilai-nilai yang
bersifat universal dan bermanfaat bagi pembangunan manusia
seutuhnya, seperti kerja keras, disiplin, innovatif, dan orientasi pada
pengembangan keilmuan dan teknologi. Namun, proses ini juga
membawa dampak negatif, misalnya kesarakahan, meterialistis,
dan hedonistis, yang bisa menghasilkan sikap dan tindakan
yang tak terpuji, seperti korupsi, manipulasi, penyalahgunaan
wewenang, penghalalan segala cara, pemerasan, kekerasan,
pornografi, pergaulan bebas, dan sebagainya.
Karena agama menjadi sumber pembentukan etika, moral
dan karakter bangsa, maka agama memiliki peran penting
dalam pembinaan akhlak ini. Dalam konteks ini, ulama, zuama,
intelektual Muslim dan para tokoh organisasi keagamaan memiliki
tanggung jawab untuk pembinaan ini, yang antara lain dilakukan
melalui pemanfaatan tempat-tempat ibadah, lembaga-lembaga
pendidikan Islam, dan ormas-ormas Islam sebagai pusat-pusat
pembinaan moral dan karakter bangsa. Etika, moral, dan karakter
ini bahkan juga harus dicontohkan tidak hanya dalam keluarga
dan masyarakat, tetapi juga dalam aktivitas kerja, aktivitas bisnis,
aktivitas politik, aktivitas birokrasi, dan aktivitas profesional
lainnya.
Sejak sebelum Indonesia merdeka, umat Islam, baik secara
individual maupun secara kolektif (melalui organisasi-organisasi
Islam), telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan sosial,
terutama gerakan-gerakan untuk meningkatkan pendidikan dan
taraf hidup umat. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya lembaga
pendidikan yang didirikan oleh organanisasi-organisasi Islam
serta oleh ulama dan zuama. Pendirian ini merupakan bentuk
tanggung jawab mereka dalam rangka memberi bimbingan dan
pencerahan bagi umat. Mereka juga sudah terlibat dalam upaya-

54
54
upaya mengatasi kemiskinan, terutama dalam bentuk distribusi
zakat dan shadaqah serta panti asuhan anak yatim, meski
jumlahnya masih terbatas, karena terbatasnya ekonomi umat
pada saat itu.
Keterlibatan para ulama, ormas-ormas, dan yayasan-
yayasan Islam dalam bidang pendidikan dan sosial tersebut
tetap berlangsung di masa kemerdekan, dan hal ini kini bahkan
sudah berkembang lebih jauh sebagai bentuk partisipasi
masyarakat dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM),
pelayanan kesehatan dalam bentuk rumah sakit dan klinik,
penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan umat,
pemeliharaan kebersihan dan lingkungan hidup, dan sebagainya.
Organisasi-organisasi ini juga terlibat dalam pelayanan atau
bantuan untuk korban bencana alam, seperti banjir, gempa,
wabah, dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini memang benar-
benar berorientasi pada amal sosial dan tidak berorientasi pada
keuntungan.
Para ulama, zuama, dan organsiasi-organisasi Islam juga
terlibat dalam pembentukan dan pemeliharaan kebudayaan
yang sesuai dengan ajaran Islam, baik dalam bentuk gagasan
dan prilaku maupun karya seni. Budaya religius, musyawarah,
amanah, disiplin, kerja keras, tolong menolong, gotong royong,
kepedulian sosial, dan ramah merupakan nilai-nilai budaya
masyarakat Indonesia yang harus dipertahankan. Sebaliknya,
budaya-budaya seperti individualistis, materalistis, hedonistis,
dan apatis merupakan budaya yang harus dibendung dan
dihindari. Di sisi lain, kesenian-kesenian yang selama ini sudah
diidentikkan dengan kesenian Islam perlu dilestarikan dan
dikembangkan terutama dalam menghadapi seni budaya pop
(modern) yang berasal dari luar. Dalam hal ini, umat Islam idealnya
bisa mengembangkan seni budaya baru, tetapi dibenarkan juga
mengadopsi seni budaya dari luar dengan penyesuaian agar tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.

55
Namun, disadari juga bahwa di antara para ulama, zuama,
dan organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga itu tidak terlepas
dari misi untuk menyebarkan paham keagamaan tertentu. Di
antara mereka juga berusaha melakukan pengumpulan dana
masyarakat untuk menunjang kagiatan-kegiatan sosial itu, baik
melalui skema zakat, shadaqah, maupun bantuan sosial secara
umum. Akibatnya, dalam aktivitas di bidang sosial ini bisa terjadi
tumpang tindih dan bahkan gesekan atau perselisihan di antara
mereka. Oleh karenanya, MUI mendorong organisasi-organisasi
keagamaan itu melakukan kerjasama dan koordinasi untuk
memperbanyak amal sosial ini.

3. Bidang Ekonomi
Data Badan Pusat Statisitik (BPS) menunjukkan, bahwa angka
kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, yakni pada Maret
2020 sebesar 9,78% atau 26,42 juta orang. Karena mayoritas
penduduk negara ini beragama Islam, maka mayoritas penduduk
miskin adalah umat Islam. Di sisi lain, secara umum kekuatan
ekonomi di negara ini pun tidak dipegang oleh pengusaha-
pengusaha yang beragama Islam. Pemerintah memang telah
melaksankan program-program pembangunan ekonomi,
termasuk dalam rangka penanggulangan kemiskinan, namun
MUI dan ormas-ormas dan para tokoh Islam juga memiliki
tanggung jawab untuk melakukan upaya-upaya penanggulangan
kemiskinian guna menghilangkan kesenjangan antara ekonomi
kuat dan ekonomi lemah. MUI dan ormas Islam juga mendorong
penguatan ekonomi umat, termasuk munculnya pengusaha-
pengusaha muslim yang memiliki perusahaan-perusahaan besar.
Program-program pemberdayaan (tamkîn) dan penguatan
(taqwiyah) ekonomi umat dilakukan melalui beberapa upaya,
yakni:
1) Memotivasi umat untuk berwirausaha melalui pendekatan
keagamaan.

56
56
2) Mendorong pengambilan kebijakan atau regulasi di bidang
ekomomi yang sesuai dengan syari’ah dan berorientasi pada
pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah.
3) Mendorong penguatan lembaga-lembaga keuangan
syariah serta pengumpulan dana sosial keagamaan untuk
pemberdayaan ekonomi umat, terutama zakat, infak, sadaqah,
dan wakaf.
4) Mendorong pendirian usaha-usaha kecil dan koperasi serta
pemberian pelatihan keterampilan kerja kepada umat yang
memerlukan, baik di bidang pertanian, produksi, mapun
perdagangan dan jasa.
5) Mengupayakan pemberian modal usaha, termasuk
mendorong pendirian Bank Wakaf Mikro atau Baitul Mal
wa Tamwil (BMT), dan lembaga-lembaga keuangan mikro
syariah lainnya, yang bisa menjadi channel ke bank-bank
syariah dan dinaungi Lembaga Penjamin Simpanan (LSP).
6) Mendorong penggunaan teknologi digital dalam pelayanan
keuangan mikro syariah dan penggunaan platform online
dalam usaha-usaha mikro syariah.
7) Mengupayakan pemasaran hasil-hasil produksi pertanian dan
UMKM secara efektif, baik dalam bentuk kemitraan dengan
usaha-usaha besar dan dengan toko-toko online maupun
penggunaan website sendiri oleh UMKM untuk pemasaran
secara online.

Selama ini ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam sudah


melakukan program pemberdayaan ekonomi umat, tetapi jumlah
aktivitas mereka masih sangat terbatas. Oleh karena itu, MUI
mendorong untuk memperbanyak program pemberdayaan dan
penguatan ekonomi umat, termasuk dengan memberdayakan
lembaga-lembaga yang menurut misi utamanya tidak terkait
dengan perekonomian ini. Dalam konteks ini, MUI mendorong
masjid-masjid menjadi pusat kegiatan ekonomi, dengan

57
menjadikan para jama’ah sebagai mata rantai ekonomi yang
terintegrasi antara konsumen, produsen, dan pemilik modal. MUI
juga mendorong lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti
pesantren, untuk mengembangkan kegiatan ekonomi, baik di
sektor riil maupun sektor keuangaan berbasis syariah.

4. Bidang Politik
MUI mendorong umat Islam menjadi warga negara yang
baik, yakni warga yang mentaati hukum yang berlaku serta
melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai warga negara.
MUI juga mendorong umat untuk melaksanakan hak-hak
politik mereka secara demokratis yang diekspresikan secara
bertanggung jawab, baik kepada Allah maupun kepada hukum
yang berlaku, seperti partisipasi dalam pemilihan umum (pemilu)
dan pemilihan kepala daerah (pilkada). MUI juga mendorong
umat semakin dewasa dalam sistem demokrasi ini, sehingga
perbedaan pilihan partai politik atau perbedaan pilihan calon
dalam pemilu dan pilkada tidak mengarah kepada permusuhan
atau perpecahan. Namun dalam kenyataannya pada saat ini,
persaingan dalam politik terkadang menimbulkan gesekan atau
perselisihan di antara pendukung satu partai dengan pendukung
partai lain atau satu calon dengan calon lainnya. Dalam konteks
ini, MUI berupaya memberikan pencerahan kepada umat agar
perbedaan pilihan dalam pemilu dan pilkada tidak mengarah
kepada permusuhan dan konflik.
Meski MUI merupakan wadah komunikasi dan kerjasama
ulama, umara, serta ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam,
MUI juga tetap membangun komunikasi dengan organisasi-
organisasi politik, baik yang berbasis Islam maupun yang berbasis
nasionalis yang notabene mayoritas anggotanya juga beragama
Islam. Komunikasi ini dilakukan dalam hal-hal yang bersifat
strategis, terutama terkait dengan pengambilan kebijakan publik
yang berorientasi kerakyatan, atau jika terjadi persoalan-persoalan

58
58
yang dihadapi umat Islam yang memerlukan dukungan politik
dari partai-partai politik yang ada. Komunikasi juga dilakukan
dengan pemerintah di semua tingkatan sebagai perwujudan
posisi MUI sebagai mitra pemerintah (shadîqul hukûmah atau
syarîkul hukûmah).
Sejalan dengan hal tersebut, MUI melakukan koordinasi
ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam dalam menghadapi
hal-hal yang bersifat strategis, misalnya pengawalan Rancangan
Undang-Undang (RUU) agar Undang-Undang (UU) yang
dihasilkan sesuai aspirasi dan kepentingan umat Islam berdasarkan
Pancasila. MUI bahkan perlu melakukan kajian (review) terhadap
perundang-undangan atau regulasi yang ada yang dinilai tidak
sejalan dengan Islam dan Pancasila atau tidak berorientasi kepada
kemanusiaan. Hasil review ini disampaikan kepada lembaga
legislatif maupun eksekutif agar kemudian dilakukan perubahan
dan penyempurnaan. Koordinasi juga dilakukan dalam menyikapi
kebijakan pemerintah yang dinilai mempunyai dampak negatif
terhadap umat, serta koordinasi dalam membendung proses
sekularisasi, liberalisasi, dan sebagainya.

5. Hubungan dengan Pihak Luar


Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama, dan
cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat
Islam, MUI pada dasarnya adalah gerakan masyarakat. Dalam hal
ini, MUI tidak berbeda dengan organisasi kemasyarakatan lain di
kalangan umat Islam, yang memiliki eksistensi secara otonom
dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini
ditampilkan dalam kemandirian dalam arti tidak tergantung dan
terpengaruh kepada pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan
pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama
organisasi.
Namun perlu ditegaskan pula, bahwa kemandirian tidak
berarti menghalangi MUI untuk menjalin hubungan dan

59
kerjasama dengan pihak lain, baik di dalam negeri maupun luar
negeri, selama ini dijalankan atas dasar saling menghargai posisi
masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi
MUI. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran MUI
bahwa dirinya hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang
sangat beragam dimana dirinya menjadi bagian utuh dari tatanan
tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antar-
komponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap
MUI ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai
rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘âlamîn).
Hubungan dengan pihak luar meliputi hubungan dengan
majelis-majelis agama lain dan hubungan dengan lembaga-
lembaga keagamaan di luar negeri. Hubungan dengan majelis-
majelis agama dilakukan antara lain dalam bentuk dialog
antaragama serta keterlibatan dalam Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) yang dibentuk di semua kebupaten/kota dan
propinsi seluruh Indonesia. Hal ini mengandung arti, bahwa MUI
juga terlibat dalam upaya-upaya untuk memperkuat kerukunan
umat beragama serta menyelesaikan perselisihan atau konflik
umat beragama yang terjadi. Dalam hal ini MUI mendukung
substansi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat,
yang disingkat PBM.
Dalam konteks hubungan dengan lembaga-lembaga
keagamaan di luar negeri, MUI bisa berperan sebagai perwakilan
umat Islam Indonesia. Hubungan ini bisa berbentuk kerjasama
antarulama dan antarlembaga Islam di dunia, dialog antaragama
di dunia, seminar yang menghadirkan perwakilan Islam
Indonesia, atau kerjasama antara lembaga-lembaga keagamaan
di dunia. Kerjasama ini dilakukan dalam rangka pengembangan

60
60
ilmu-ilmu dan lembaga-lembaga Islam, serta upaya mewujudkan
perdamaian dunia atau menyelesaikan konflik-konflik
berlatarbelakang agama di luar negeri, terutama di negara-negara
Muslim. Eksistensi MUI sebagai perwakilan negara berpenduduk
Muslim terbesar di dunia sangat penting dalam melaksanakan
kerjasama umat Islam dan dialog antarumat beragama di dunia.

61
6
Penutup

S
ebagai forum silaturrahim dan kerjasama ulama, zuama,
dan organisasi-organisasi Islam, MUI memiliki metode
pemikiran (manhajul fikr) serta metode pengabdian dan
gerakan (manhajul khidmah wal harakah). Sehubungan
dengan hal ini, MUI memandang perlunya penyamaan metode
(taswiyatul manhaj) pemikiran di kalangan ulama, zuama, dan
orgainsasi-organisasi Islam. Meski masing-masing organisasi
atau kelompok keagamaan memiliki paham yang bervariasi,
seharusnya masing-masing tetap sejalan dengan manhajul fikri
MUI, yakni penggunaan pendekatan manhajiyyah, tawassuthiyyah,
tathawwuriyyah, ishlâhiyyah, dan tasâmuhiyyah. Hal ini sangat
penting, karena jika manhaj ini tidak diperhatikan, bisa jadi
pemahaman itu hanya bersifat harfiah dan tidak toleran terhadap
pemahaman kelompok lain serta tidak kontekstual dengan
masyarakat dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Demikian pula dalam hal pengabdian (khidmah) dan gerakan
(harakah), yang masing-masing ormas dan lembaga Islam telah

63
memiliki visi dan missi yang bervariasi, MUI bertanggung jawab
untuk melakukan koordinasi program gerakan-gerakan (tansîqul
harakah) itu. Dengan koordinasi ini umat, ulama, dan ormas Islam
dapat memeperkuat ukhuwwah Islamiyyah dan kerjasama di antara
mereka, serta memperkuat persatuan atau persaudaran nasional
(ukhuwwah wathaniyyah). Hal ini akan memperkuat kualitas umat
(taqwiyatul ummah) baik dari segi pengamalan agama, kualitas
SDM, maupun tingkat kesejahteraan mereka, serta memperkuat
negara (taqwiyatud daulah) menjadi negara yang maju dan beradab.
Tentu saja, penyamaan metode (taswiyatul manhaj) pemikiran serta
koordinasi pengabdian dan gerakan (tansîqul khidmah wal harakah)
ini akan berhasil, jika semua unsur dari umat, ulama, zuama, dan
organisasi-organisasi Islam menyadari dan mentaatinya.

64
64
Daftar Pustaka

Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia


Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Panduan Administrasi MUI
Keputusan Ijtima’ Komisi Fatwa MUI Tansiqal Haraqah di Gontor
tahun 2006
Taujihat MUI hasil Munas MUI IX Tahun 2015 di Surabaya

Keputusan Mumas MUI ke X di Jakarta 2020

65
LAMPIRAN

67
68
68
69
70
70
71
72
72
73
74
74
75
76
76
77

Anda mungkin juga menyukai