Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH UAS

PERENCANAAN KEBIJAKAN SOSIAL


(PERMASALAHAN PENANGANAN SEKTOR INFORMAL DI KOTA KUPANG)

OLEH:

Nama: Maria Yasinta Wona


NIM: 1803030138
Kelas: Sosiologi C/VII
Dosen Wali: Dr. Drs. Blajan Konradus,MA

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG/2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.LatarBelakang
Sektor informal memiliki peran yang besar di negara-negara sedang berkembang (NSB)
termasuk Indonesia. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak
teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Di negara
sedang berkembang, sekitar 30-70 % populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sector
informal. Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam
skala kecil; kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga
kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, akses ke lembaga keuangan daerah,
produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah
dibandingkan sektor formal (Wibowo, 2005). Istilah sektor informal biasanya digunakan untuk
menunjuk sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil.
Sektor informal di kota dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam
produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evolusi daripada dianggap
sebagai sekelompok perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan (inputs) modal
dan pengelolaan (managerial) yang besar. Agar pembangunan ekonomi mampu berjalan dengan
baik serta mencapai tujuan yang diharapkan, maka tidak hanya menumbuhkan dan
mengembangkan industri-industri besar rata program-program resmi pemerintah yang dikenal
dengan sektor informal. Namun juga menumbuhkan usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-
pribadi yang sangat bebas menentukan bagaimana cara dan dimana usaha tersebutdijalankan.
Usaha yang sangat efektif sebagai rakyat itu disebut sektor informal.
Kota merupakan salah satu tempat kehidupan manusia yang dapat dikatakan paling
kompleks, karena perkembangannya dipengaruhi oleh aktivitas pengguna perkotaan yang
menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan hidup. Kota, sebagai suatu proses
yang dapat dilihat hasilnya dan perkembangannya lebih menonjol dibandingkan dengan
kawasan luar kota, serta cenderung lebih menekankan pada segi ekonomi, dianggap sebagai hasil
rekayasa manusia untuk memenuhi kehidupan ekonomi penggunanya. (Mulyandari, 2011)
Semangat pergi ke kota untuk memperolah kehidupan yang lebih baik telah dilakukan oleh
masyarakat kota-kota Mesopotamia pada musim peradaban awal sampai dengan masyarakat
kontemporer di kota-kota minapolitan pada saat ini. Sejak dahulu, kota adalah tujuan hidup bagi
sebagian besar masyarakat baik usia kanak-kanak, muda dan tua. (Heryanto, 2011). Semangat
hidup tersebut membuat wajah kota beranekaragam melalui kegiatan yang dilakukan dalam
kehidupannya.Wajah kota-kota selalu berubah dan bentuk akhirnya mencerminkan karakter
budaya, politik, sosial dan ekonomi yang dianut masyarakatnya.
Salah satu fungsi kota sebagai tempat melangsungkan kehidupan manusia adalah fungsi
ekonomi. Fungsi ekonomi menurut Williams dan Brunn (1993) dalam (Heryanto, 2011),
memainkan peran yang besar dalam perkembangan kota. Kota yang baik menyediakan ruang
(Space) untuk kegiatan dan orientasi, disamping mempunyai karakter sebagai jiwa tempat untuk
diidentifikasi. Karakter yang spesifik dapat membentuk suatu identitas, yang merupakan suatu
pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah perkotaan, yang secara
umum disebut a sense of place. Pemahaman dan nilai dari tempat merupakan pemahaman
tentang keunikan dan kekhasan dari suatu tempat secara khsusus, bila dibandingkan dengan
tempat lain (Norbeg-Schulz, 1984).
Sektor informal memberikan kemungkinan kepada tenaga kerja yang berlebih di
pedesaan untuk migrasi dari kemiskinan dan pengangguran. Sektor informal sangat berkaitan
dengan sektor formal di perkotaan. Sektor formal tergantung pada sektor informal terutama
dalam hal input murah dan penyediaan barang-barang bagi pekerja di sektor formal. Sebaliknya,
sektor informal tergantung dari pertumbuhan di sektor formal. Sektor informal kadang-kadang
justru mensubsidi sektor formal dengan menyediakan barang-barang dan kebutuhan dasar yang
murah bagi pekerja di sektor formal
Kawasan kota lama Kupang merupakan cikal bakal terbentuknya kota Kupang yang
memiliki nilai kesejarahan yang tinggi. Pada masa penjajahan Belanda kawasan ini bermula dari
sebuah pelabuhan, berkembang menjadi pusat perdagangan yang berdampak pada pembangunan
fisik di sekitar kawasan dan menjadi pusat Pemerintahan Belanda. Seiring berjalannya waktu,
setelah kemerdekaan pembangunan fisik mulai mengarah keluar dari Kota Lama. Pelabuhan di
pindahkan ke bagian Alak (Tenau dan Bolok), begitu pula dengan kantor-kantor pemerintahan
dan permukiman yang bertumbuh keluar dari kawasan tersebut sesuai dengan arahan tata guna
lahan dari pemerintah setempat. Arah pembangunan yang cukup laju pada kota Kupang tidak
membuat daerah perdagangan beralih, kawasan ini masih berdiri sebagai kawasan perdagangan.
Ruang jalan Soekarno dan Siliwangi pada kawasan kota lama Kupang telah ada sejak
terbentuknya kota Kupang dan merupakan jalan yang memiliki nilai histori tinggi ditunjukkan
oleh keberadaan pelabuhan lama dan kawasan heritage. Secara fisik saat ini Jalan Kota Lama
Kupang adalah jalur primer yang dilalui kendaraan umum maupun pribadi ke arah Timur dan
Selatan Kota.
Kota Kupang sebagaimana kota lain yang menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian
di suatu kawasan selalu menghadapi persoalan demografi yaitu memanfaatkan sumber daya
manusia (tenaga kerja) yang melimpah namun cenderung tidak terlatih sebagai implikasi
besarnya arus urbanisasi (migrasi) dari daerah satelitnya (Bappenas, 2009). Mengikuti
Adiningtyas, dkk (2010), Kota Kupang adalah kota persinggahan penting di NTT yang
komposisi penduduknya sangat dipengaruhi arus migrasi yang tinggi. Sebagai kota pusat
migrasi, percepatan jumlah penduduk saat ini (BPS, 2017) mencapai 2,92 % (2015-2016) di atas
rata-rata pertumbuhan penduduk NTT sebesar 1,63 %. Meskipun belum ada data pasti besaran
kontribusi migrasi terhadap laju pertumbuhan penduduk Kota Kupang yang besar, namun patut
diduga kondisi ini juga dikontribusi oleh tingkat migrasi di Kota Kupang (Adiningtyas,dkk,
2010).
Isu penting bagi kebijakan sosial (ketenagakerjaan) dan ekonomi (pengangguran) di Kota
Kupang saat ini adalah memanfaatkan kelimpahan tenaga kerja (termasuk tidak terlatih)
sehingga produktif bagi pembangunan Kota Kupang dan tidak sebaliknya (beban pembangunan).
Pada situasi semacam inilah, sektor informal menjadi penting untuk dikaji sebagai sektor penting
mengelola dinamika pembangunan wilayah perkotaan. Di Kota Kupang sendiri, Data BPS Tahun
2017 (berdasarkan data tahun 2015) jumlah pekerja pada sektor informal
cukup besar mencapai 34.250 (25 %).
Untuk mengungkap bagaimana sebenarnya strategi sector informal dalam menghambat
usaha masyarakat di kota Kupang sehingga tidak mengalami peningkatan penghasilan yang
cukup berarti, yang pada akhirnya peningkatan kesejahteraan yang kurang terpenuhi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan
mengambil judul: “PERMASALAHAN PENANGANAN SEKTOR INFORMAL DI KOTA
KUPANG”.
1.2. Perumusan Masalah
Dalam tulisan ini permasalahan yang muncul adalah “bagaimana permasalahan
penanganan sector informal di kota Kupang.?

1.3. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui permasalahan penanganan sector informal
di kota Kupang.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sektor Informal


a) Pengertian sector informal
Sektor informal termasuk salah satu upaya yang dilakukan masyarakat agar bisa
mendapat pekerjaan dan penghasilan. Sektor informal juga membuka lapangan pekerjaan
bagi masyarakat yang membutuhkannya. Sektor informal berbeda dengan sektor formal.
Sektor informal lebih mengutamakan keterampilan atau kemampuan untuk bekerja.
Sedangkan sektor formal lebih menitikberatkan pada latar belakang pendidikannya. Menurut
Annisa Ilmi Faried dalam buku Sosiologi Ekonomi (2021), ekonomi sektor informal
merupakan kumpulan usaha kecil yang membentuk sektor ekonomi, di mana kelompok usaha
tersebut memproduksi serta mendistribusikan barang atau jasa, untuk menciptakan lapangan
pekerjaan dan memunculkan kesempatan memperoleh pendapatan. Dibandingkan sektor
formal, ekonomi sektor informal cenderung lebih mudah dimasuki dan diciptakan. Namun,
keberlangsungan sektor ini sangat bergantung pada perkembangan usaha dan konsumennya.
Kehadiran sektor informal perkotaan dianggap se-bagai salah satu sektor ekonomi yang
muncul sebagai akibat dari situasi pertumbuhan tenaga kerja yang tinggi di kota. Mereka
yang memasuki usaha berskala kecil ini, pada mulanya bertujuan untuk mencari kesempatan
kerja dan menciptakan pendapatan. Kebanyakan dari mereka yang terlibat adalah orang-
orang migran dari golongan miskin,berpendidikan rendah dan kurang terampil. Latar
belakang mereka bukanlah pengusaha dan juga bukan kapitalis yang mengadakan investasi
dengan modal yang besar. Namun harus diakui bahwa banyak di antara mereka telah berhasil
mengembang-kan usahanya dan secara perlahan-lahan memasuki dunia usaha berskala
menengah bahkan berskala besar. Ada tiga fenomena penting yang perlu disikapi sedang
terjadi dalam ketenagakerjaan pada berbagai kota di negara yang sedang berkembang,
khususnya Kota Kupang yaitu:(1) Kecenderungan semakin meningkatnya peranan usaha
sektor informal dalam ketenagakerjaan dan mampu memberikan pendapatan bagi pelakunya;
(2) Kecenderungan fleksibelnya sektor informal dalam menerima tenaga kerja dari berbagai
latar belakang yang berbeda (jenis kelamin, umur, pendidikan, kete-rampilan/ keahlian dan
modal); dan (3) Adanya peluang sektor informal perkotaan untuk berkembang/produktifsama
seperti sektor formal.
Teori tentang sektor informal pertama kali diperkenalkan Keith Harth, seorang
antropolog Inggris dari Manchester University dalam penelitiannya yang berjudul Informal
Income: Opportunities and Urban Employments in Ghana pada tahun 1971 (Rahmatia,
2004:49; Hidayat, 1998). Harth menggambarkan sek-tor informal sebagai angkatan kerja
perkotaan (urban labour force), yang berada di luar pasaran tenaga kerja yang terorganisir
dan teratur. Kemudian istilah tersebut diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1977 melalui
penelitian Moir (Manning, 2001) dengan mengem-bangkan konsep ILO dan menyatakan
bahwa sektor informal perkotaan di Indonesia disamping merupa-kan urban labour force
yang berada di luar pasaran tenaga kerja yang terorganisir dan teratur, juga tidak mempunyai
hubungan formal dengan pemerintah dan tidak tergantung pada bahan-bahan atau teknologi
im por, serta jangkauan (radius) pemasarannya tidak terlalu luas.
Hidayat (1998) menyatakan bahwa sektor informal di Indonesia muncul berhubungan
dengan be-sarnya populasi dan pertumbuhan angkatan kerja yangtidak seimbang dengan
pertumbuhan perekonomian dan ketersediaan lapangan kerja dalam suatu wilayah. Sedang
menurut Rahmatia (2004) sektor informal perkotaan muncul disamping sebagai
ketakseimbangan antara pertumbuhan angkatan kerja dengan keterse-diaan lapangan kerja
juga sebagai pertanda kegagalan pemerintah dalam penataan sistim ketenagakerjaan,
peningkatan pendidikan serta lemahnya pemerintah dalam perencanaan pengembangan
wilayah yang menciptakan lapangan kerja. Berbeda dengan beberapa pendapat di atas, Alis-
jahbana (2006) melihat sektor informal sebagai akibat dari daya dorong pedesaan dan daya
tarik perkotaan. Banyaknya sektor informal diberbagai kota besar di dunia, termasuk di
Indonesia tidak lepas dari adanya urbanisasi dan daya dorong sulitnya mendapatkan
pekerjaan, serta tingkat upah yang sangat rendah di desa.
Pandangan yang sama di kemukakan oleh Set-iono (2004:12) yang menyebutkan bahwa
kota dengan berbagai kemajuan dan fasilitasnya merupakan daya tarik, sementara desa
dengan berbagai keterbatasan dan keterbelakangannya akan merupakan daya dorong,
sehingga menjadikan kehidupan di kota menjadi alternatif utama bagi sebagian mereka yang
ingin menyelamatkan diri dari tekanan kemiskinan di desa. Akibatnya secara berangsur-
angsur terjadilah sebuah situasi akilbalik yang sangat dramatis yang disebut sektor informal
atau sering disebut ekonomi dibawah tanah (underground economy) atau ekonomi bayangan.
Banyak ahli seperti B.J. Habibie yang mendukung keberadaan sektor informal perkotaan
dalam suatu tatanan perekonomian suatu wilayah karena sektor ini telah terbukti lebih tahan
terhadap resesi ekonomi dibandingkan dengan usaha-usaha yang berskala besar. Salatta
(2007:46), dan Haris (2004:73), juga ber-sepakat bahwa sektor informal telah
menyelamatkan ketenagakerjaan di kota-kota besar di Indonesia dengan menyerap banyak
tenaga kerja dan memberikan tam-bahan pendapatan bagi pelakunya. Setiono (2004:5)
menyebutkan bahwa sektor ini telah memberikan andil ± 65% dalam penyerapan tenaga
kerja. Kondisi ini sangat berarti bagi kelangsungan hidup penduduk Indonesai yang telah
berjumlah ± 40 juta yang hidup dibawah garis kemiskinan. Sisi positifnya juga dirasa-kan
ditempat asal mereka, karena para pelaku sektor informal perkotaan umumnya mengirim
uang ke desa minimal sekali setahun.

b) Penanganan sector informal di kota kupang


Temuan menarik dari sektor informal di Kota Kupang adalah ternyata usaha informal
sebetulnya relatif cukup berkembang lama di Kota Kupang jika dilihat dari lama waktu
usaha. Sektor informal sudah digeluti pekerja (termasuk usia produktif) dengan lama waktu
mencapai di atas lima tahun. Pada batas tertentu, lama waktu ini menunjukkan
kestabilan,baik dari segi keuntungan maupun penilaian prospektif usaha yang dilakukan.
Seorang ibu di Oesapa yang diwawancarai, bahkan sudah berusaha secara informal yaitu
menjahit di rumah sendiri, selama 20 Tahun sejak muda (belum menikah) hingga saat ketika
sudah berkeluarga. Pendapatan yang stabil meskipun kecil menjadi alasan kuat untuk
bertahan pada sektor ini. Situasi ini paling tidak menunjukkan bahwa usaha sektor
informal menjadi penyanggah ekonomi yang relatif stabil digeluti sebagian warga
Kota Kupang di usia produktif. Ada beberapa kecenderungan yang dapat diidentifikasi terkait
dengan masuknya tenaga kerja ke sektor informal.
Pertama, peluang usaha dan adanya rencana untuk berusaha sendiri menjadi pintu masuk
penting yang mendorong orang ingin masuk atau berusaha pada sektor usaha informal.
Kedua, pada batas tertentu, ketiadaan pekerjaan (sektor formal) tidak dipungkiri “memaksa”
tenaga kerja untuk berusaha pada sektor usaha informal. Ketiga, hal ini juga terlihat sebagai
“mencoba-coba” jenis usaha baru yang berbasis pada pilihan usaha informal yang dilakukan
untuk mengantisipasi keterbatasan daya akses terhadap pekerjaan di sektor formal.
Selanjutnya karakter sektor informal cenderung tumbuh secara komunal, baik dari cara
berpikir dan cara berusaha sebagai hal yang dapat menjelaskan daya tumbuh dan daya tahan
sektor usaha informal. Perkembangan usaha informal di kota ini cenderung berbasiskan pada
ajakan teman, mengikuti usaha yang sudah sukses, dengan melakukan usaha yang sama
menjadi ciri lain yang menandai karakter usaha di sektor ini.
Hal ini nampak pada “menjamur”nya usaha “nasi sei”, ikan bakar yang cenderung
berkembang pesat dengan pola semacam ini. Karakter lain yang terindentifikasi dari kajian
ini adalah persoalan keterampilan berusaha bagi tenaga kerja usia produktif digeluti
cenderung masih ditopang dengan sikap hanya mencoba-coba, mengikuti orang lain, tanpa
ditopang keterampilan yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa sektor informal memang
menjadi alternatif di tengah kegagalan persaingan di sektor formal yang membutuhkan
persyaratan kompetensi dan keterampilan yang memadai. Di saat yang bersamaan, nampak
bahwa daya akses kebijakan Pemerintah terhadap segmen/kelompok ini relatif rendah.
Keterampilan kerja dari pelaku usaha informal misalnya, justru diperoleh melalui proses
otodidak, baik itu dengan mencoba-coba hingga meniru yang telah dilakukan orang lain,
diajarkan oleh teman atau menjadi “keterampilan bawaan” sejak kecil karena diajarkan
orang tua, serta mengikuti kursus tertentu, namun itupun dilakukan dengan biaya sendiri.
Selain keterampilan dalam berusaha, hal lain yang penting ditunjukkan terkait dengan
karakter sektor usaha informal adalah menyangkut modal usaha. Hal yang nampak adalah
ternyata modal yang dipakai untuk pembiayaan usaha mereka pada umumnya masih terbatas.
Sebagian besar memulai usahanya dengan modal di bawah Rp. 1.000.000 hingga Rp.
2.000.000. Besaran angka ini bagi sebagian besar pelaku usaha informal dianggap cukup
memadai untuk memulai usaha, pembiayaan dan keberlanjutan usaha.
Hal ini cukup masuk akal karena karakter usaha ini cenderung berbasis pada usaha
sendiri, dan terbatasnya keterampilan, meski demikian cukup mampu untuk membiayai
kebutuhan usahanya, terutama biaya produksi. Kecilnya modal usaha ini sejalan dengan
sumber modal usaha mereka yang adalah dana pribadi, pemberian (sumbangan) keluarga
maupun pinjaman skala kecil dari keluarga atau teman. Kondisi ini sekaligus mempertegas
karakter kemandirian personal yang ditopang secara komunal. Karakter komunal ini nampak
juga pada tertumpunya usaha ini pada jejaring sosial keseharian demi memperluas informasi
usaha. Bagi beberapa pelaku usaha informal, hal ini dianggap menjadi “modal lain” yang
penting dalam usaha. Di sisi lain, daya akses terhadap sumber modal eksternal bagi usaha
informal nampak masih terbatas. Bantuan Pemerintah yang seharusnya menjadi garda
terdepan dalam menjangkau sektor ini ternyata masih belum memadai. Selain itu, akses
bantuan modal ke lembaga perbankan juga masih rendah.
Namun berbeda dengan kedua sektor ini, koperasi (termasuk koperasi harian)2
nampaknya menjadi pilihan yang paling diminati oleh mereka yang bekerja di sektor
informal dalam mengakses modal tambahan usaha. Prosedur yang tidak terlalu rumit dengan
sistem pelayanan yang cepat dianggap menjadi faktor yang menjelaskan mengapa Koperasi
cenderung dipilih sebagai lembaga yang diakses untuk mendapatkan modal usaha bagi usaha
informal. Di tengah keterbatasan daya akses mereka terhadap sektor penyedia bantuan
modal, baik Pemerintah. Perbankan, maka meminjam kepada saudara dan teman cenderung
menjadi mekanisme bertahan, selain menjual aset yang dimiliki. Situasi ini menunjukkan
bahwa, meskipun usaha sektor informal cenderung berkembang di Kota Kupang, upaya
aksesibilitas sektor ini terhadap program (bantuan dana), terutama dari Pemerintah maupun
Lembaga Keuangan (Bank) cenderung masih terbatas.
Persepsi tentang usaha informal sebagai usaha yang tidak serius, tidak prospektif, usaha
sampingan dan persepsi negatif lainnya secara psikologis dan teknis, menjadi pembatas akses
usaha informal ke Lembaga Keuangan. Dalam posisi ini, Koperasi kemudian menjadi pilihan
utama, selain dana pribadi (termasuk pinjaman, penjualan aset) dalam mengakses dana dalam
rangka pengembangan usaha mereka. Pola semacam ini cenderung belum efektif dalam
memicu pertumbuhan usaha sektor informal secara memadai. Kecenderungan utama usaha
sektor informal adalah sifatnya yang praktis yang ditandai dengan lokasi usaha berada di
rumah atau tempat sendiri. Hal ini adalah implikasi dari terbatasnya modal usaha yang
dipakai pada usaha ini. Pembiayaan usaha cenderung untuk membeli sarana produksi,
sedangkan lokasi cenderung efisien karena berada di rumah.
Bagi mereka yang tidak memiliki lokasi/rumah, maka lokasi yang akan dipilih adalah
lokasi yang cenderung “bebas” semisal di pelataran trotoar atau pertokoan, namun dengan
resiko cenderung berpindah-pindah dari satu lokasi maupun ke lokasi yang lain yang
memungkinkan. Beberapa orang yang usahanya cenderung stabil mulai berani menyewa
lokasi tertentu sebagai lokasi usahanya. Karakter khas yang juga nampak dalam
perkembangan sektor usaha informal adalah menyangkut profile tenaga kerjanya. Pada
umumnya mereka yang bekerja di sector informal cenderung bekerja sendirian atau bahkan
melibatkan saudara/keluarga sendiri. Jumlah tenaga kerjanya sangat kecil dan biasanya
berjumlah 1-3 orang saja.
Pada umumnya mereka yang berusaha di sektor informal cenderung tidak memiliki
tenaga kerja tetap, namun tenaga harian yang bebas/tidak tetap sehingga mereka cenderung
menyebutnya sebagai tanpa status. Strategi ini adalah bagian dari fleksibilitas usaha untuk
menjamin usaha secara berkelanjutan dengan pendekatan yang sederhana/tidak rumit, terkait
dengan “orang yang membantu” pekerjaan. Fleksibilitas ini paling tidak nampak pada jam
kerja usaha informal. Jam kerja pada usaha informal cenderung tidak menentu. Pada
umumnya jam kerja mereka diatas 5 jam dalam sehari.
Namun demikian, dalam sistem yang fleksibel, mereka juga mempekerjakan orang
dengan waktu yang pendek yaitu 1-2 jam sesuai dengan kebutuhan usaha. Berbagai uraian ini
menunjukkan karakter sektor informal Kota Kupang yangditunjukkan oleh beberapa hal
pokok, bahwa perkembangan sektor informal di Kota Kupangdidorong/ditopang oleh 3
(tiga) aspek utama : a) limitasi daya akses sebagian warga Kota Kupang terhadap sektor
formal yang berkembang di Kota Kupang; b) berkembangnya “rasionalitas ekonomi” warga
yang ditandai oleh kemampuan mengidentifikasi peluang usaha baru yang diikuti oleh
perilaku “mencoba” usaha baru; c) “rasionalitas sosial” yang menunjukkan bahwa sektor
informal berkembang di Kota Kupang, terutama ditopang oleh perilaku sosial seperti ajakan,

meniru dan juga oleh jejaring perkawanan, dan dukungan keluarga.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari keseluruhan uraian tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi sektor informal
yang ada di kota Kupang sangat fleksibel dalam menerima tenaga kerja dengan latar belakang
yang berbeda-beda (jenis kelamin, umur, suku, tingkat pendidikan, bahkan modal). Produktivitas
sektor ini juga sangat tinggi, kare na omzet yang dihasilkan oleh seorang pelaku sektor informal
jauh lebih besar dari biaya yang digunakan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
fleksibilitas sektor informal di kota Kupang adalah sumberdaya manusia dan permintaan, karena
tingkat pendidikan pelaku sektor informal di kota Jayapura masih relatif rendah, mayoritas hanya
menggunakan 1 (satu) tenaga kerja, penyebaran penduduk kota Kupang juga tidak merata,
sehingga bersifat lokal, dan terakhir adalah karena adanya kesenjangan ekonomi masyarakat
Kupang.
Namun, ada beberapa hal yang berpengaruh negatif terhadap fleksibilitas, misal karena
fleksibelnya sektor ini, menyebabkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah pelaku dan
pekerja sektor informal yang melebihi peningkatan jumlah penduduk. Oleh karena lebih
tingginya persentasi peningkatan jumlah pelaku dan pekerja sektor informal dibanding
peningkatan jumlah penduduk, akan menurunkan jumlah konsumen untuk setiap pelaku sektor
informal. Kualitas sumberdaya manusia yang ada didalam sektor iniformal tidak akan
mempunyai kemampuan untuk dapat meningkatkan produksi mereka.

SARAN
Melihat faktor-faktor lain selain dari faktor lokasi, permintaan dan SDM, sehingga dapat
diketahui peranan faktor lainnya dalam mem-pengaruhi fleksibilitas dan produktivitas sektor
infor-mal. Perlunya penelitian tentang fleksibilitas maupun produktivitas pada sektor lain (bukan
sektor informal) agar dapat diperbandingkan mana yang lebih fleksibel dan produktif.
Pemerintah seharusnya membina dan meningkat-kan kemampuan sumberdaya manusia pelaku
sektor informal melalui pelatihan, kursus atau magang, agar mereka lebih mampu dalam
mengembangkan usahanya menjadi usaha yang lebih besar, sehingga suatu saat da-pat
memungkinkan untuk beralih masuk sebagai pelaku usaha formal.

Anda mungkin juga menyukai