OLEH:
1.1.LatarBelakang
Sektor informal memiliki peran yang besar di negara-negara sedang berkembang (NSB)
termasuk Indonesia. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak
teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Di negara
sedang berkembang, sekitar 30-70 % populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sector
informal. Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam
skala kecil; kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga
kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, akses ke lembaga keuangan daerah,
produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah
dibandingkan sektor formal (Wibowo, 2005). Istilah sektor informal biasanya digunakan untuk
menunjuk sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil.
Sektor informal di kota dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam
produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evolusi daripada dianggap
sebagai sekelompok perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan (inputs) modal
dan pengelolaan (managerial) yang besar. Agar pembangunan ekonomi mampu berjalan dengan
baik serta mencapai tujuan yang diharapkan, maka tidak hanya menumbuhkan dan
mengembangkan industri-industri besar rata program-program resmi pemerintah yang dikenal
dengan sektor informal. Namun juga menumbuhkan usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-
pribadi yang sangat bebas menentukan bagaimana cara dan dimana usaha tersebutdijalankan.
Usaha yang sangat efektif sebagai rakyat itu disebut sektor informal.
Kota merupakan salah satu tempat kehidupan manusia yang dapat dikatakan paling
kompleks, karena perkembangannya dipengaruhi oleh aktivitas pengguna perkotaan yang
menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan hidup. Kota, sebagai suatu proses
yang dapat dilihat hasilnya dan perkembangannya lebih menonjol dibandingkan dengan
kawasan luar kota, serta cenderung lebih menekankan pada segi ekonomi, dianggap sebagai hasil
rekayasa manusia untuk memenuhi kehidupan ekonomi penggunanya. (Mulyandari, 2011)
Semangat pergi ke kota untuk memperolah kehidupan yang lebih baik telah dilakukan oleh
masyarakat kota-kota Mesopotamia pada musim peradaban awal sampai dengan masyarakat
kontemporer di kota-kota minapolitan pada saat ini. Sejak dahulu, kota adalah tujuan hidup bagi
sebagian besar masyarakat baik usia kanak-kanak, muda dan tua. (Heryanto, 2011). Semangat
hidup tersebut membuat wajah kota beranekaragam melalui kegiatan yang dilakukan dalam
kehidupannya.Wajah kota-kota selalu berubah dan bentuk akhirnya mencerminkan karakter
budaya, politik, sosial dan ekonomi yang dianut masyarakatnya.
Salah satu fungsi kota sebagai tempat melangsungkan kehidupan manusia adalah fungsi
ekonomi. Fungsi ekonomi menurut Williams dan Brunn (1993) dalam (Heryanto, 2011),
memainkan peran yang besar dalam perkembangan kota. Kota yang baik menyediakan ruang
(Space) untuk kegiatan dan orientasi, disamping mempunyai karakter sebagai jiwa tempat untuk
diidentifikasi. Karakter yang spesifik dapat membentuk suatu identitas, yang merupakan suatu
pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah perkotaan, yang secara
umum disebut a sense of place. Pemahaman dan nilai dari tempat merupakan pemahaman
tentang keunikan dan kekhasan dari suatu tempat secara khsusus, bila dibandingkan dengan
tempat lain (Norbeg-Schulz, 1984).
Sektor informal memberikan kemungkinan kepada tenaga kerja yang berlebih di
pedesaan untuk migrasi dari kemiskinan dan pengangguran. Sektor informal sangat berkaitan
dengan sektor formal di perkotaan. Sektor formal tergantung pada sektor informal terutama
dalam hal input murah dan penyediaan barang-barang bagi pekerja di sektor formal. Sebaliknya,
sektor informal tergantung dari pertumbuhan di sektor formal. Sektor informal kadang-kadang
justru mensubsidi sektor formal dengan menyediakan barang-barang dan kebutuhan dasar yang
murah bagi pekerja di sektor formal
Kawasan kota lama Kupang merupakan cikal bakal terbentuknya kota Kupang yang
memiliki nilai kesejarahan yang tinggi. Pada masa penjajahan Belanda kawasan ini bermula dari
sebuah pelabuhan, berkembang menjadi pusat perdagangan yang berdampak pada pembangunan
fisik di sekitar kawasan dan menjadi pusat Pemerintahan Belanda. Seiring berjalannya waktu,
setelah kemerdekaan pembangunan fisik mulai mengarah keluar dari Kota Lama. Pelabuhan di
pindahkan ke bagian Alak (Tenau dan Bolok), begitu pula dengan kantor-kantor pemerintahan
dan permukiman yang bertumbuh keluar dari kawasan tersebut sesuai dengan arahan tata guna
lahan dari pemerintah setempat. Arah pembangunan yang cukup laju pada kota Kupang tidak
membuat daerah perdagangan beralih, kawasan ini masih berdiri sebagai kawasan perdagangan.
Ruang jalan Soekarno dan Siliwangi pada kawasan kota lama Kupang telah ada sejak
terbentuknya kota Kupang dan merupakan jalan yang memiliki nilai histori tinggi ditunjukkan
oleh keberadaan pelabuhan lama dan kawasan heritage. Secara fisik saat ini Jalan Kota Lama
Kupang adalah jalur primer yang dilalui kendaraan umum maupun pribadi ke arah Timur dan
Selatan Kota.
Kota Kupang sebagaimana kota lain yang menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian
di suatu kawasan selalu menghadapi persoalan demografi yaitu memanfaatkan sumber daya
manusia (tenaga kerja) yang melimpah namun cenderung tidak terlatih sebagai implikasi
besarnya arus urbanisasi (migrasi) dari daerah satelitnya (Bappenas, 2009). Mengikuti
Adiningtyas, dkk (2010), Kota Kupang adalah kota persinggahan penting di NTT yang
komposisi penduduknya sangat dipengaruhi arus migrasi yang tinggi. Sebagai kota pusat
migrasi, percepatan jumlah penduduk saat ini (BPS, 2017) mencapai 2,92 % (2015-2016) di atas
rata-rata pertumbuhan penduduk NTT sebesar 1,63 %. Meskipun belum ada data pasti besaran
kontribusi migrasi terhadap laju pertumbuhan penduduk Kota Kupang yang besar, namun patut
diduga kondisi ini juga dikontribusi oleh tingkat migrasi di Kota Kupang (Adiningtyas,dkk,
2010).
Isu penting bagi kebijakan sosial (ketenagakerjaan) dan ekonomi (pengangguran) di Kota
Kupang saat ini adalah memanfaatkan kelimpahan tenaga kerja (termasuk tidak terlatih)
sehingga produktif bagi pembangunan Kota Kupang dan tidak sebaliknya (beban pembangunan).
Pada situasi semacam inilah, sektor informal menjadi penting untuk dikaji sebagai sektor penting
mengelola dinamika pembangunan wilayah perkotaan. Di Kota Kupang sendiri, Data BPS Tahun
2017 (berdasarkan data tahun 2015) jumlah pekerja pada sektor informal
cukup besar mencapai 34.250 (25 %).
Untuk mengungkap bagaimana sebenarnya strategi sector informal dalam menghambat
usaha masyarakat di kota Kupang sehingga tidak mengalami peningkatan penghasilan yang
cukup berarti, yang pada akhirnya peningkatan kesejahteraan yang kurang terpenuhi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan
mengambil judul: “PERMASALAHAN PENANGANAN SEKTOR INFORMAL DI KOTA
KUPANG”.
1.2. Perumusan Masalah
Dalam tulisan ini permasalahan yang muncul adalah “bagaimana permasalahan
penanganan sector informal di kota Kupang.?
KESIMPULAN
Dari keseluruhan uraian tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi sektor informal
yang ada di kota Kupang sangat fleksibel dalam menerima tenaga kerja dengan latar belakang
yang berbeda-beda (jenis kelamin, umur, suku, tingkat pendidikan, bahkan modal). Produktivitas
sektor ini juga sangat tinggi, kare na omzet yang dihasilkan oleh seorang pelaku sektor informal
jauh lebih besar dari biaya yang digunakan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
fleksibilitas sektor informal di kota Kupang adalah sumberdaya manusia dan permintaan, karena
tingkat pendidikan pelaku sektor informal di kota Jayapura masih relatif rendah, mayoritas hanya
menggunakan 1 (satu) tenaga kerja, penyebaran penduduk kota Kupang juga tidak merata,
sehingga bersifat lokal, dan terakhir adalah karena adanya kesenjangan ekonomi masyarakat
Kupang.
Namun, ada beberapa hal yang berpengaruh negatif terhadap fleksibilitas, misal karena
fleksibelnya sektor ini, menyebabkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah pelaku dan
pekerja sektor informal yang melebihi peningkatan jumlah penduduk. Oleh karena lebih
tingginya persentasi peningkatan jumlah pelaku dan pekerja sektor informal dibanding
peningkatan jumlah penduduk, akan menurunkan jumlah konsumen untuk setiap pelaku sektor
informal. Kualitas sumberdaya manusia yang ada didalam sektor iniformal tidak akan
mempunyai kemampuan untuk dapat meningkatkan produksi mereka.
SARAN
Melihat faktor-faktor lain selain dari faktor lokasi, permintaan dan SDM, sehingga dapat
diketahui peranan faktor lainnya dalam mem-pengaruhi fleksibilitas dan produktivitas sektor
infor-mal. Perlunya penelitian tentang fleksibilitas maupun produktivitas pada sektor lain (bukan
sektor informal) agar dapat diperbandingkan mana yang lebih fleksibel dan produktif.
Pemerintah seharusnya membina dan meningkat-kan kemampuan sumberdaya manusia pelaku
sektor informal melalui pelatihan, kursus atau magang, agar mereka lebih mampu dalam
mengembangkan usahanya menjadi usaha yang lebih besar, sehingga suatu saat da-pat
memungkinkan untuk beralih masuk sebagai pelaku usaha formal.