Anda di halaman 1dari 7

Inner City- Outer City

Inner City dan Outer City adalah dua istilah yang digunakan untuk membedakan wilayah
di dalam kota. Inner City (Kota Bagian Dalam) mengacu pada wilayah pusat kota, sedangkan
Outer City (Kota Bagian Luar) mengacu pada wilayah di sekitar pusat kota atau pinggiran kota.
Di Indonesia, istilah ini tidak selalu digunakan secara resmi, namun konsep ini dapat diterapkan
pada banyak kota di Indonesia.Inner City di Indonesia biasanya terletak di pusat kota dan
memiliki sejarah dan karakter yang khas. Biasanya, wilayah ini memiliki banyak bangunan
bersejarah, pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat kebudayaan, dan kawasan wisata.
Contoh kota di Indonesia yang memiliki Inner City adalah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan
Yogyakarta. Di sisi lain, Outer City terletak di sekitar pusat kota atau pinggiran kota. Wilayah ini
biasanya terdiri dari perumahan, industri, dan kawasan perdagangan. Outer City seringkali
menjadi tempat tinggal bagi penduduk dengan ekonomi menengah ke bawah yang tidak mampu
tinggal di pusat kota yang lebih mahal. Beberapa contoh kota di Indonesia yang memiliki Outer
City adalah Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor.

Perbedaan antara Inner City dan Outer City bisa dilihat dari karakteristik dan fungsinya.
Inner City biasanya lebih padat dan memiliki aksesibilitas yang lebih baik ke fasilitas umum
seperti transportasi, fasilitas medis, dan fasilitas pendidikan. Di sisi lain, Outer City biasanya
lebih luas dan memiliki harga tanah dan properti yang lebih murah daripada Inner City.
Meskipun demikian, Outer City biasanya memiliki kemacetan yang lebih tinggi dan kebutuhan
transportasi yang lebih besar.Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan tren urbanisasi di
Indonesia. Banyak penduduk kota yang bermigrasi dari pusat kota ke wilayah pinggiran atau
Outer City. Hal ini terjadi karena harga tanah dan properti yang lebih terjangkau serta kebutuhan
akan ruang yang lebih luas. Namun, perlu diingat bahwa Inner City tetap penting untuk
pengembangan ekonomi dan kebudayaan suatu kota, sehingga harus dijaga dan dikembangkan
secara berkelanjutan.

Urban Oriented Paradigma (UOP)


Urban Oriented Paradigma (UOP) adalah pandangan tentang pembangunan yang
berfokus pada perkembangan kota atau wilayah perkotaan. Paradigma ini menganggap kota
sebagai pusat

1
kegiatan dan pengembangan ekonomi dan sosial, sehingga pembangunan dan pengembangan
kota dianggap penting untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. UOP berakar
pada gagasan bahwa kota memiliki keunggulan ekonomi dan sosial yang tidak dimiliki oleh
wilayah pedesaan. Karena kota memiliki lebih banyak sumber daya manusia, teknologi, dan
modal, maka potensi untuk menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi lebih besar di
kota. Selain itu, kota juga menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya, yang menarik orang untuk
berinteraksi dan berpartisipasi dalam kegiatan yang memajukan kebudayaan dan kesejahteraan
masyarakat. Dalam konteks Indonesia, UOP menjadi landasan bagi pembangunan kota-kota
besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung. Pemerintah dan investor swasta
memandang kota-kota ini sebagai sumber potensi ekonomi dan sosial yang besar, sehingga
mereka menanamkan investasi besar-besaran dalam infrastruktur, real estate, dan sektor bisnis
lainnya di kota-kota tersebut.

Namun, UOP juga memiliki kekurangan dan tantangan. Pertama, fokus pada
pembangunan perkotaan bisa mengabaikan potensi ekonomi dan sosial di wilayah pedesaan,
yang dapat menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang
cepat di kota- kota besar dapat menyebabkan krisis lingkungan dan sosial, seperti polusi udara
dan kemacetan lalu lintas, serta konflik sosial dan ketimpangan dalam distribusi kekayaan dan
kesempatan. Oleh karena itu, dalam membangun dan mengembangkan kota, perlu
mempertimbangkan pendekatan yang berkelanjutan dan inklusif, yang mengutamakan keadilan
sosial dan lingkungan, serta memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks UOP, hal
ini dapat diwujudkan dengan memperkuat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan,
memperkuat pengembangan sektor ekonomi pedesaan, dan memperhatikan pengelolaan
lingkungan dan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Dalam kesimpulannya, Urban Oriented Paradigma (UOP) adalah pandangan tentang


pembangunan yang berfokus pada pengembangan kota atau wilayah perkotaan. Paradigma ini
menekankan pada potensi ekonomi dan sosial kota, namun juga memiliki kekurangan dan
tantangan yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kota yang berkelanjutan dan
inklusif.

Rurban Oriented Paradigma (ROP)


Rurban Oriented Paradigma (ROP) adalah sebuah konsep pembangunan yang berfokus

2
pada keseimbangan antara perkembangan wilayah perkotaan dan pedesaan. Konsep ini bertujuan
untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial dalam

3
wilayah perkotaan dan pedesaan. ROP menekankan pentingnya meningkatkan kualitas hidup
masyarakat di pedesaan dan memperkuat ekonomi desa, sambil juga memperhatikan tata kota
dan lingkungan yang berkelanjutan di perkotaan. Salah satu cara untuk mencapai tujuan ini
adalah dengan membangun hubungan sinergis antara kota dan desa melalui integrasi berbagai
aspek pembangunan, seperti pengembangan infrastruktur, pertanian, industri, perdagangan, dan
pariwisata.

Peri Urban
Kawasan Peri-Urban (KPU) adalah kawasan di sekitar kota, yang mengalami
perkembangan dan perubahan pola pemanfaatan lahan akibat perkembangan kota yang pesat,
sehingga memiliki sifat-sifat yang merupakan sintesa dari sifat desa dan sifat kota. Kawasan
Peri- Urban mengalami pembangunan yang sangat pesat, sehingga perlu ada pengendalian
terhadap pembangunan di kawasan ini, terutama pembangunan permukiman dan pembangunan
industri.

Peri-urban merupakan kawasan di sekitar atau pinggiran kota yang juga mempunyai sifat
kekotaan secara fisik, sosial dan ekonomi, sehingga kawasan tersebut terintegrasi dengan kota
inti. Salah satu permasalahan Wilayah Peri-Urban adalah pola perkembangan kota tidak
terstruktur (urban sprawl), pesatnya perkembangan perumahan dan permukiman pada Wilayah
Peri-Urban (urban fringe) dengan perencanaan guna lahan tidak seimbang, kepadatan rendah,
banyak lahan yang terbuang atau terabaikan fungsinya. Hal tersebut telah menyebabkan kota
kehilangan orientasi/identitas ruang, monoton, tersebar, dan pemborosan lahan. Kondisi tersebut
menurut Wunas (2011:22) menyebabkan inefisiensi dan pemborosan dalam pengembangan
sistem transportasi dan sistem perkotaan antara lain: (1) pemborosan energi: (2) waktu; (3)
tenaga; dan
(4) pemborosan biaya.

Tipologi ini dapat dijadikan salah satu instrumen pemantauan peri-urban agar
menghindari dampak negatif yang dialami wilayah peri-urban tersebut dan dapat pula diadopsi
sebagai bahan pertimbangan dalam berbagai produk perencanaan wilayah dan kota. Namun
demikian, perkembangan pesat yang terjadi di dalam sebuah kota pada kenyataannya tidak selalu
diikuti pengembangan-pengembangan serta perubahan perubahan yang mendukung dalam
kawasan tersebut sehingga terjadilah ketimpangan-ketimpangan baik secara sosial, ekonomi,

4
budaya, politik dan pendidikan (Mirsa, 2012:3). Oleh karena itu, menurut Yunus (2008:449)
secara garis besar beberapa prioritas pengembangan Wilayah Peri-Urban adalah:

5
1. Pengembangan kompleks perdagangan.
2. Pengembangan kompleks pendidikan.
3. Pengembangan industri.
4. Pengembangan pertanian.
5. Pengembangan permukiman.
6. Pengembangan jalur hijau.
Lebih lanjut Yunus (2008:450) menyatakan bahwa pembangunan fisikal yang menunjang
kesejahteraan sosial adalah pembangunan fasilitas pendidikan baik formal maupun non formal.
Remaja usia sekolah sebaiknya tidak usah pergi ke tempat yang jauh untuk belajar dan hal ini
hanya mungkin apabila di lingkungannya sudah tersedia fasilitas pendidikan yang dimaksudkan.

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 494/PRT/M/2005 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota) dinyatakan bahwa upaya dalam
mengembangkan keseimbangan dan keterkaitan antar kota dan antara kota-desa melalui upaya
pengembangan perkotaan seiring dengan peningkatan efektifitas keterkaitan sosial ekonomi
antara kota dan desa (wilayah hinterlandnya) agar saling menguntungkan dan memperkuat dalam
kerangka pengembangan kawasan.

6
7

Anda mungkin juga menyukai