Anda di halaman 1dari 5

Tipologi Pemahaman Hadits Normatif-Tekstual

a) Tipologi Pemahaman Hadits Normatif

Secara normatif, prasyarat untuk melakukan kajian pemahaman hadis adalah


memastikan kualitas hadis tersebut. Sebuah hadis, dianggap laik untuk dikaji lebih jauh dari
sisi pemaknaannya jika dinyatakan otentik dari sumbernya. Di samping itu, sumber hadis
yang paling otoritatif,secara berturutturut, adalah Nabi, sahabat, dan tabi’in, inilah yang
dalam ilmu hadis dikenal dengan trikotomi marfu‘, mawquf, dan maqthu‘. 1

Secara umum, jenis penelitian hadis dapat dibedakan menjadi dua, yaitu normatif dan
empiris. Penelitian hadis yang secara operasional tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah
tersebut di atas disebut dengan penelitian hadis normatif. Biasanya, penelitian seperti ini
menghasilkan fatwafatwa keagamaan, maupun fatwa-fatwa khusus seputar hadis. Tujuan
utamanya adalah untuk pengamalan hadis sesuai dengan aturan yang berlaku dalam ajaran
agama, sehingga selamat dari berbagai kekeliruan dan kesesatan dalam beragama, serta
menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu bantu yang umum dipakai adalah ilmu
takhrij hadis, ilmu sanad hadis, dan ilmu matan hadis.

Penelitian hadis normatif lebih fokus pada variabel-variabel daripada proses interaktif
maupun realitas dan pengalaman di lapangan. Karena itu, untuk mengukur akurasi
penelitiaannya, tak jarang dikonfirmasikan kepada hadis-hadis lain, ayat al-Quran, maupun
kualitas para penyampainya, bahkan tak jarang pula diukur secara kuantitatif(many cases
subjects). Dari sini, penelitian hadis normatif dapat disebut sebagai penelitian yang
mengandalkan reliabilitas, ketelitian, atau ketepatan pengukuran daripada autentisitas.
Artinya, meskipun penelitian hadis normatif seringkali berbetuk penelitian otentisitas hadis,
namun ia tidak didasarkan pada kebenaran wacana terkini (on going issues), melainkan
didasarkan pada ketapatan pengukuran data.

Di samping itu, penelitian hadis normatif juga tidak terikat oleh nilai-nilai yang hidup di
masyarakat. Bahkan ia menghasilkan nilai yang mengikat masyarakat. Sedangkan penelitian
hadis empiris cenderung menampilkan, menghadirkan, dan mempertimbangkan secara
matang nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Karena itu, dalam penelitian tentang hadis-hadis
tentang bidah misalnya, penelitian normatif tidak akan peduli dengan tradisi yang telah
mendarah daging di masyarakat, melainkan ia justru memproduk nilai-nilai yang mengikat

1
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, “Normatif Dan Empiris Dalam Penelitian Hadis”, Jurnal Samawat,
Vol.01 No.01 (2017) hal. 13
tradisi tersebut. Sedangkan penelitian yang sama jika dilakukan secara empiris, maka akan
cenderung memerhatikan proses pembentukan tradisi tersebut dalam kaitannya dengan
wacana hadis yang ada di balik realitas tradisi tersebut. Terakhir, pelaku penelitian hadis
normatif cenderung lepas dan terpisah dari objek yang diteliti, sedangkan dalam penelitian
hadis empiris, peneliti cenderung terlibat/menyatu dengan objek yang diteliti.2

Note: Perlu tambahan

b) Tipologi Pemahaman Hadits Tekstual

Tekstual berasal dari kata teks yang berarti kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari kitab suci
untuk pangkal ajaran atau alasan, bahan tertulis sebagai dasar memberikan pengajaran. 3
Pendekatan tekstual adalah cara memahami hadis yang cenderung memfokuskan pada data riwayat
dengan menekankan kupasan dari sudut gramatika bahasa dengan pola pikir episteme bayani.
Eksesnya, pemikiranpemikiran ulama terdahulu dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.

Pendekatan tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama yang dalam
memahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat dengan menekankan kupasan
dari sudut gramatikal bahasa dengan pola pikir episteme bayani. Eksesnya, pemikiran-
pemikiran ulama terdahulu dipahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.4

Analisa teks hadits sebagai upaya menemukan pesan-pesan moral atau pesan-pesan agama yang
terkandung di dalamnya, ada beberapa asumsi dasar yang perlu digarisbawahi. Tanpa landasan yang
jelas dalam proses pemahaman, seorang analisis tidak dapat menentukan pangkal tolak analisisnya
dan tidak dapat memilih dan memilah kasus-kasus kehadisan. Tanpa itu, dapat saja orang akan
terjebak pada kasus yang sesungguhnya merupakan masalah marginal dalam agama dan
mengabaikan atau tidak berkesempatan menelaah, memikirkan, dan mengembangkan hal-hal yang
bersifat substantif. Orang dapat terjebak dan disibukkan oleh warna kulit tanpa sempat menguak
isinya.

Secara garis besar, ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis:pertama, pemahaman atas hadis
Nabi tanpa mempedulikan proses sejarah yang melahirkannya “ahistoris”, tipologi inidisebut

2
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, “Normatif Dan Empiris Dalam Penelitian Hadis”, Jurnal Samawat,
Vol.01 No.01 (2017) hal. 22
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm 916.
4
Erlan Muliadi, Pendekatan-Pendekatan Dalam Memahami Hadis ( Tekstualisasi Dan
Kontekstualisasi Dalam Memahami Hadis). http://erlanmuliadi.blogspot.com/2011/05/pendekatan-
pendekatan-dalam-memahami.html?m=1
tekstualis; kedua, pemahaman kritis denganmempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadis,
dan konteksyang mengitarinya, pemahaman hadis dengan cara yangdemikian, disebut
kontekstual.

Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:5

1. Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang
tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan intersubjektif.
2. Bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental.
3. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’âsyarah bil ma’ruf.
4. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu
yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan dimana pun tanpa terpengaruh oleh
letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya
terleak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi,
menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun
memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat?” sangat tergantung pada
konteks si pelakunya. Maka tak heran bila terdapat berbagai macam khilafiyat pada
tataran praktisnya.

Aplikasi Hadits dengan Pendekatan Tekstual

agar lebih memahami hadits dengan pendekatan tekstual maka kita bisa dilihat dari sisi matan
hadits, yang mana ungkapan matan hadits mempunyai beberapa corak atau model, diantaranya:

1. Jawami’ al-Kalim (Ungkapan singkat namun padat makna) Nabi bersabda :


“ Saya dibangkit (Oleh Allah) dengan (kemampuan untuk menyatakan) ungkapan-ungkapan
yang singkat, namun padat makna. (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, dari Abu
Hurairah).
Hal ini merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki oleh sabda-sabda Nabi. 6 Sebagai
contoh : Minuman Khamar ٌ ‫ َخ ْمُر َو ُك ُّل ُم ْس ُم ْس ِكٍر َح َرا‬. ‫ “ م ُك ُّل ِكٍر‬Setiap (minuman) yang
memabukkan adalah khamar dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram. (HR.
Al-Bukhari Muslim dll, dari Ibnu Umar dengan lafal dari riwayat Muslim). Hadist tersebut
secara tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman khamar tidak terikat oleh waktu dan
tempat. Dalam hubunganya dengan kebijaksanaan dakwah, dispensasi kepada orang-orang
5

Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis”, dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.),
Bunga Bampai Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
6
M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994),
hlm 10
tertentu yang dibolehkan untuk sementara waktu meminum khamar memang ada
sebagaimna yang dapat dipahami dari proses keharaman khamar dalam Al-Qur’an.
2. Bahasa Tamsil (Perumpamaan) Sebagai contoh hadis Nabi : Kembali dari Haji Seperti Bayi
ُّ‫ي ْرفُ ْث َو َل ِ َف َل َم ْن َح َّج ِّلِ َّل‬
َ ‫ي ْم‬ َ ‫ م ُه ُ َولَدَ ْت ُه أ ْف ُس ْق َر َج َع‬.
َ ‫َكي ِْوم ْم‬
“ Barangsiapa melaksanakan ibadah haji karena Allah semata, lalu (selama melaksanakan
ibada haji itu) dia tidak melakukan pelanggaran seksual dan tidak berbuat fisik, niscaya dia
kembali (dalam keadaan bersih dari dosa dan kesalahan) seperti pada hari dia dilahirkan
oleh ibunya.” (HR Al-Bukhari Muslim dll, dari Abu Hurairah).
Secara Tekstual, hadis tersebut mengibaratkan orang yang berhasil menunaikan ibadah haji
menurut petunjuk syariah sebagai hari yang dia itu baru saja dilahirkan oleh ibunya.
Tegasnya, dia itu seperti bayi yang baru dilahirkan oleh Ibunya.
3. Ramzi (Ungkapan Simbolik) Sebagai contoh Hadis Nabi : Ususnya Orang Mukmin dan Orang
Kafir
ْ‫ ْ اَل‬.‫بع ِة أ ْ َوا ُمْ ؤ ِم ُن َيأ ُك ُل ِف ِم ًع َوا ِحٍد‬
َ + ‫ َ ل َكِف ٌر َيأ ُك ُل ِف َْس‬.‫“ م َعا ٍء‬Orang yang beriman itu makan
dengan satu usus (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus. (HR Al-Bukhari, Al-
Turmudzi, dan Ahmad, dari Ibnu’ Umar. Secara tekstual, hadist tersebut menjelaskan bahwa
ususnya orang yang beriman berbeda dengan ususnya orang kafir. Padahal dalam kenyataan
yang lazim perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman.
Dengan demikian, pernyataan hadist itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti harus
dipahami secara kontesktual.7
4. Dialog (Bahasa Percakapan) Sebagai contoh hadis Nabi : Kata Kunci tentang Islam
ِ ‫َّل‬+ ‫ ُق ِف قَ َّ َعْ ِبد‬:‫ َقا َل‬.‫ َيا ْ ل ّي‬،‫ ُق ْل ِلى ِف ا ُت‬،ِ‫َّلال‬+ ‫ن َع ْن ُسْ ف َيا َن ْب ُل َعْ ن ُه َ ْسأ َ َْو َلًأَل ِإل ْ َسلِم قَ َر ُسْ و َل‬
َ ‫ال الث َح ًد‬
ِ َ ‫اب ْع َد‬
)‫َمة َسا ُ ِى أ ب َ َو ِف َحِدي ِث أ َك‬ ْ ‫ َْغي‬: َ‫ ُق ْل ا‬:‫ِاهلل َفا ْس َة ِق ب َمْ ن ُة َر َك( َقا َل‬
ِ . ‫ْم أ‬
“ (Hadis riwayat) dari Sufyan bin Abd Allah al-Tsaqafi, dia berkata: “ Saya bertanya: Ya
Rasulullah, katakanlah kepada saya sebuah pernyataan tentang Islam, (sehingga) saya tidak
lagi perlu bertanya kepada orang lain sesudah anda (dalam hadist riwayat Abu Usamah
dinyatakan: selain anda). Beliau menjawab: katakan: ‘saya beriman kepada Allah’, lalu
berpegang teguhlah kamu ( dengan pernyataanmu itu)!”. (HR Muslim dan Ahmad)
Hadist ini mengemukakan “kata kunci” bagi seluruh ajaran Islam. Kata kunci itu ialah
pernyataan beriman kepada Allah dan berusaha keras untuk berpegang teguh atas
pernyataan keimanan itu. Kata kunci tersebut tidak hanya berlaku bagi Sufyan bin Aabd
Allah al-Tsaqafi saja, tetapi juga berlaku bagi siapa saja yang menyatakan diri sebagai orang
yang beriman sebagaimna yang dinyatakan oleh AlQur’an. Itu berarti, secara tekstual ajaran

7
M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994),
hlm 21
yang dikandung oleh hadist tersebut bukan bersifat temporal ataupun lokal, melainkan
bersifat universal. 8
5. Qiyasi (Ungkapan Analogi) Sebagai contoh hadist Nabi:Pernyataan Hasrat Seksual yang
Bernilai Sedekah. Dalam suatu matan hadis Nabi yang cukup panjang dikemukakan bahwa
antara lain bahwa menyalurkan hasrat seksual (kepada wanita yang halal) adalah sedekah.
Atas pernyataan Nabi itu, para sahabat bertanya: “Apakah menyalurkan hasrat seksual kami
(kepada istri-istri kami) mendapat pahala?” Nabi menjawab: َ ‫َضع َحا ِف َح َراٍم أ ْم َل ْي ُة‬
َ ‫كا َن َع َل َ َْوو‬
‫ َذ ْي ِه فِ ْي َحا‬+‫ُر؟ف َك‬
َ ‫َضع َحا ِف ل ِ َذا ِل َك إ ِو ْز‬
َ ‫ َ ََحل ِل َكا َن لَ ُه أ ْ َو‬.‫“ َرأ َ أ ْج ٌر‬Bagaimanakah pendapatmu
sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkanya dijalan haram, apakah (dia) menanggung
dosa? Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang halal, dia mendapat
pahala. (HR. Muslim, dari Abu Dzar). Matan hadist dalam bentuk ungkapan analogi tersebut
menyatakan bahwa kalau penyaluran hasrat seksual secara haram adalah dosa, maka
penyaluran hasrat seksual secara halal merupakan perbuatan yang diberi pahala. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa secara tekstual, hadist tersebut telah memberi petunjuk
tentang ajaran Islam yang bersifat universal sebab ketentuan itu berlaku untuk semua waktu
dan tempat.9

Kelemahan mendasar dari pemahaman secara tekstual adalah bahwa makna dan ruh yang
terkandung dalam hadis tersebut akan teralienasi dengan konteks atau situasi dan kondisi
yang terus berkembang pesat. Secara riil, hadis Nabi banyak yang mengambil setting dan
latar situasi serta kondisi Arab ketika itu. Sehingga hukum berlaku sesuai dengan konteks
masanya. 

8
M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994),
hlm 27
9
M.Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994),
hlm 31

Anda mungkin juga menyukai