BAB I
RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Menurut Sarbaiugh (1998) dalam Samover,et,al. (2006: 12-14) bahwa ada tiga
elemen pokok persepsi budaya yang memiliki tiga pengaruh besar dan langsung
terhadap individu- individu peserta komunikasi antarbudaya. Yang pertama adalah
pandangan budaya dunia (kepercayaan, nilai sistem tingkah laku), kedua sistem
lambang (verbal dan non verbal) dan ketiga organisasi sosial (keluarga dan institusi).
B.Sifat Persepsi
Menurut Sarbaiugh (1998) dalam Samover,et,al. (2006: 12-14) bahwa ada tiga elemen
pokok persepsi budaya yang memiliki tiga pengaruh besar dan langsung terhadap individu-
individu peserta komunikasi antarbudaya. Yang pertama adalah pandangan budaya dunia
(kepercayaan, nilai sistem tingkah laku), kedua sistem lambang (verbal dan non verbal) dan
ketiga organisasi sosial (keluarga dan institusi).
budaya. Dengan cara-cara yang tidak terlihat dan tidak nyata, pandangan dunia sangat
mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Oleh itu, sebagai anggota dari suatu budaya,
setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada orang yang
sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lainnya
memandang dunia sebagaimana dia memandangnya. Pandangan dunia membentuk
budaya dan berfungsi untuk membedakan satu budaya dengan budaya lainya. Penington
(1985) menyatakan bahwa pandangan dunia merupakan yang tertinggi walaupun bukan
yang pertama dan menjadi prioritas dalam studi mengenai budaya karena hal tersebut
mencakupi semua komposisi budaya.
ditunjukkan adanya persamaan keyakinan. Menurut beliau umumnya etnis Tionghoa yang
menganut agama Islam sangat sukar karena berkaitan perubahan identitas budaya.
1.1.1. Nilai
Nila merupakan norma dimana suatu etnis memberitahukan pada seseorang
anggotanya mana yang baik dan yang tidak boleh. Meskipun memiliki penilaian yang
unik tentang nilai, tetapi nilai-nilai itu tidak bersifat universal karena kecenderungannya
berbeda antara satu budaya dengan budaya lainya, dan nilai-nilai itu dipelajari. Nilai-
nilai merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dipegang oleh partisipan-partisipan
komunikasi antarbudaya karena nilai-nilai mengembangkan standar-standar dan
memandu membangun tingkat layak atau tudaknya di dalam masyarakat.
Nilai-nilai budaya adalah aspek penilaian daripada sistem kepercayaan, nilai dan
sikap. Nilai-nilai tersebut pada dasarnya bersifat normatif, yang dapat menjadi rujukan
kepada anggota budaya tentang perkara yang baik, buruk, benar,salah, positif, negatif
dan sebagainya. Nilai-nilai budaya juga menekankan perilaku-perilaku yang penting dan
harus dikesampingkan. Nilai-nilai budaya adalah suatu aturan yang tersusun untuk
membuat pilihan-pilihan dan mengurangkan konflik dalam masyarakat (Mulyana, 2000:
27)
Menurut Lubis (1999: 152-153), nilai merupakan suatu hal yang sangat penting
untuk dipegang oleh peserta-peserta komunikasi antar budaya karena nilai
mengembangkan kepiawaian dan membantu membangunkan tahap kelayakan atau
tidaknya didalam masyarakat. Hal tersebut sebagai mana temuan beliau, bahwa: dalam
budaya Tionghoa, mengenal hubungan segi tiga yaitu hubungan konfusius, keluarga dan
kerja. Penanaman moral pertama sekali harus terjadi dalam keluarga, karena apabila
didalam keluarga terjadi hubungan yang serasi maka masyarakat dunia akan tertib dan
damai. Kerja ditunjukkan oleh ajaran Jen untuk membuat orang rajin berkerja dan
mengejar serta menyimpan kekayaan. Ajaran tentang kerja memberikan pengaruh
kepada keluarga, seperti kerja untuk bakti, kebahagiaan, dan kesetiaan keluarga. Etos
kerja pada etnis Tionghoa terletak pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan
memperoleh pahala kelak di akhirat.
Nilai-nilai budaya yang berbeda dan tidak dapat dipahami oleh sekelompok
berbagai budaya dari mana-manapun asalnya akan menyebabkan konflik, yang berakhir
dengan kekerasan, peperangan saudara, perang antar suku bangsa, perilaku anarkhi dan
lain-lain. Seperti contohnya: Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Gerakan Anti Tionghoa,
kejadian Ambon, sampit dan lain-lain. Hal ini bermula pada adanya kecenderungan
setiap masyarakat memandang kelompoknya, daerah, provinsinya bahkan negaranya
sebagai yang paling baik,
melahirkan kerangka rujukan yang menilai kewujudan kerangka rujukan yang lain.
Apabila hal ini dikesampingkan maka akan menjadi halangan dalam berkomunikasi
antar budaya.
Samovar,et,el (2006: 11-12) memandang nilai-nilai budaya yang diyakini secara
berlebihan pada masyarakat sukubangsa akan menyebabkan berkembangnya
etnosentrisme pada kelompok tersebut. Sebagaiman kita ketahui bahwa etnosentrisme
adalah kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan
ukuran kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk segala
penilaian.
Rogers dalam (Mulyana dan Rahkma, 2000: 76-77), mendapati: semakin besar
persamaan kita dengan orang lain/kelompok lain maka semakin dekat kita dengan
mereka. Sebaliknya, semakin besar perbedaan maka semakin jauh kita dengan mereka.
Artinya adalah para peserta dalam tindakan komunikasi harus mampu saling memahami
karakter masing- masing dengan jalan membangun isu komunikasi sebagai person to
person contact. Seterusnya Purwasito (2003: 178-179), mengatakan bahwa
“ketidakharmonian dan disentegrasi biasanya muncul karena adanya perbedaan
informasi yang besar, terhalangnya komunikasi sosial budaya serta sikap-sikap sinis dan
persaingan yang didasarkan bukan atas prestasi tetapi rasa kalah dan tidak percaya diri”.
Prasangka menjadi jarak sosial atara berbagai kelompok dalam masyarakat yang
berkecenderungan adaptif, tidak fleksibel, besikap tertututp dan tidak mau membuka diri
disebabkan berbagai alasan yang kurang rasional.
1.1.2. Perilaku
Perilaku atau sitem tingkah laku adalah perwujudan daripada kepercayaan dan
nilai- nilai yang dipedomani oleh setiap individu. Tingkah laku dibentuk oleh sebuah
proses belajar dari kebudayaan yang membentuk komponen evaluasi dan sebuah
intensitas atau komponen harapan. Lewat ketigak omponen inilah terbentuk realisasi
objek yang ada di lingkungan kita. Menurut Ruben (1984: 129-155) perwujudan dari
tingkah laku itu adalah melalui simbol- simbol verbal seperti bahasa yang digunakan
baik lisan maupun tulisan dan melalui simbol non verbal seperti gerakan tubuh,
penampilan, persepsi indrawi. Seterusnya menurut Paige dan Marrtin (1996)
mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan salah satu lensa dalam manusia
memandang realita dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan bersifat abadi
dan merupakan landasan paling mendasar bagi suatu budaya. Dengan cara-cara tidak
terlihat an tidak nyata, pandangan dunia sangat mempengaruhi komunikasi antarbudaya.
sebagai yang palig bermoral. Pandangan ini menuntut kesetiaan yang pertama dan
Oleh karenanya sebagai anggota dari suatu budaya, setiap pelaku komunikasi
mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada jiwa yang sepenuhnya dinggap benar
dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lainya memandang sebagaiman ia
memandang. Menurut Sarbaugh (1988) perbedaan corak perilaku dan kepercayaan
dalam kalangan manusia selalunya ditentukan secara stereotip berdasarkan masalah
yang dipelajari dari pengalaman sepanjang hidupnya.
Satu yang menarik dari kajian Thung Yu Lan (1999b: 21-35) menunjukkan
bahwa “ untuk kasus orang Tionghoa yang telah berganti agama menjadi islam tetap saja
stereotip yang timbul daripada sebahagian orang pribumi indonesia sebagai hanya
sebagai strategi untuk dapat berniaga secara lebih meluas dengan menguntungkan orang
Tionghoa dibawah simbol agama Islam. Apa yang timbul disini yaitu adanya prasangka
yang condong negatif yang berdampak kepada diskriminasi sosial. Sangat disadari
bahwa diskriminasi merupakan faktor yang merusak kerjasama antara manusia maupun
komunikasi antara mereka.
1.3.1. Keluarga
Keluarga merupakan perwujudan dari institusi tidak formal. Peranan keluarga
sangat penting seiring perjalanan dari waktu ke waktu, yang mana budaya luar akan
mempengaruhi anak. Melalui keluarga, individu belajar mengenal kebudayaannya dan
menilai kebudayaanya paling baik dibandingkan kebudayaan etnis lain, dan lain
sebagainya. Gavin dan Brommel
(1991), menunjukan beberapa sikap dasar, nilai-nilai dan tingkah laku dimulai dari
keluarga, seperti tanggung jawab, kepatuhan, dominasi, kemampuan bergaul, kesetian
dan lain-lain. Hasil pengamatanya mendapati bahwa “seorang anak yang lahir di India
dapat merasakan semua orang hidup di dalam satu rumah dan belajar akan luasnya
sebuah keluarga. Dengan hidup bersama orang yang lebih tua di dalam satu rumah, anak
akan belajar akan nilai sebuah umur. Anak-anak bertingkah laku dimasyarakat
sebagaimana yang dipelajarinya di rumah.
Bennett, Wolin and Mc Avity (1998) dalam kajian mengatakan bahwa di dalam
sebuah keluarga, budaya dapat menggambarkan batasan-batasan, harapan-harapan,
aturan- aturan untuk berinteraksi, pola komunikasi, cara penyelesaian masalah dan lain-
lain. Pengembangan identitas keluarga dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu identitas
keluarga asli dan identitas yang dibentuk sejalan dengan pernikahan dan keturunan.
Melalui sebuah keluarga akan membentuk pandangan dunia seperti mengakui akan
adanya tuhan sehingga patuh dan bertanggung jawab tehadap lingkungannya, memiliki
nilai-nilai yang dapat membedakan yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dan
lain-lain.
Dengan demikian, sistem perilaku wujud dari kepercayaan dan nilai yang
dipedomani oleh setiap individu. Perilaku atau sikap dibentuk atas sebuah proses belajar
yang dipelajari daripada pengalaman sepanjang hidupnya melalui keluarga (Galvin dan
Brommel, 1991).
Penemuan Tubbs dan Moss (dalam Mulyana, 2001: 218-219) juga menunjukkan
sebuah keluarga dapat bertahan dengan adanya komunikasi yang berkesan dengan
perbedaan budaya yang melatarbelakanginya. Beliau mendapati bahwa “di Amerika
Serikat lebih dari 50% pasangan yang menikah berakhir dengan perceraian, di Britain
lebih dari 70% pasangan yang menikah juga berakhir sama. Hal ini disebabkan tidak
adanya komunikasi yang harmonis dalam keluarga”. Beliau menekankan bahwa
komunikasi akan berkesan apabila pemberian makna bersama antara peserta komunikasi
yang berusaha memahami orang lain sebagaimana yang ia lakukan.
Selain itu, hasil penelitian penulis (Lubis, 2011a: 421) menegaskan bahwa
interaksi komunikasi antarbudaya diantara etnis yang berbeda budaya bermula dari
persepsi sebuah keluarga dalam menanamkan pandangan dunia, nilai-nilai dab terwujud
dalam perilaku. Keluarga berperanan dalam mengajarkan para anggota keluarga untuk
mengenali budaya yang dibawa oleh orang tuanya.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, kita harus mengakui bahwa perjalanan
sebuah keluarga dalam mendidik generasinya dalam sebuah keluarga antarbudaya
mempunyai pengalaman budaya yang tidak sama antara satu keluarga dengan keluarga
lainnya. Banyak
1.3.2. Sekolah
Selain keluarga, peranan lembaga formal seperti sekolah tidak kalah pentingnya.
Melalui lembaga sekolah, seorang individu diperkenalkan dengan sejarah kebudayaan
dengan menceritakan kepada anggota baru apa yang telah terjadi, memberikan fakta-
fakta, menanamkan nilai-nilai dan sikap dari kebiasaan-kebiasaan yang baik yang dapat
diterima dalam kebudayaan yang besar, dan lain sebagainya.
Hasil penelitian Pelly (1986), mendapati bahwa pada lima sekolah pembauran
etnis cina dan pribumi yang ada di kota Medan-Sumatera Utara, seperti sekolah Kalam
Kudus, Sutomo, Methodis, Amir Hamzah, dan Budi Murni, diantara pelajar sekolah
menengah pertama (SMP) dan pelajar sekolah Menengah Atas (SMA) ada terdapat
keberhasilan asimilasi dalam bidang struktural, perkawinan antara suku bangsa/etnis dan
kewarganegaraan. Hal ini ditandai dengan para siswa SMP masih terikat kuat dengan
kelompok primernya (keluarga dan kerabat dekat) sehingga membuat pergaulannya
dengan orang lain (pribumi) masih sangat terbatas. Berbeda dengan pelajar SMA, yang
disebabkan usia dan pengalaman mereka yang sudah mulai meluas maka mereka tidak
terlalu terikat pada keluarga dan kerabat dekat, mereka lebih bebas dalam bergaul dan
aktif dalam kelembagaan sosial seerti osis dan organisasi sosial lainya. Bahkan
pandangan mereka tentang perkawinan antara suku bangsa, pertemanan antara laki-laki
dengan perempuan dari etnis yang berbeda lebih terbuka dan fleksibel.
Selain sekolah, peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong
menolong (STM), kelompok perkumpulan, maupun tempat kita berkerja, individu-
individu yang