Anda di halaman 1dari 28

PENDAHULUAN

BAB I

RUMUSAN MASALAH

BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian

Persepsi secara falsafah mengandung arti cara memberikan makna (John R.


Wienburg dan William W.Wilmot dalam Purwasito, 2003: 172) sedangkan menurut
Mulyana (2002: 167), persepsi itu muncul karena setiap penilaian dan pemilihan
seseorang terhadap orang lain diukur berdasarkan penyertaan budaya sendiri. Dengan
persepsi, peserta komunikasi akan memilih apa-apa yang diterima atau menolaknya.
Persepsi yang sama akan memudahkan peserta komunikasi mencapai kualitas hasil
komunikasi yang diharapkan.
Del Vito (1997: 31) menjelaskan bahwa persepsi bermula dari diri sendiri dalam
bertemu dengan orang lain, berpengaruh terhadap indera melalui umpan balik yang
berharga (kesadaran) yang mengenai perasaan, pemikiran dan prilaku kita sendiri.
Daripada perjumpaan tersebut lahir suatu kesadaran tertentu yaitu bahwa perasaan kita
ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Hal ini adalah pengukuhan
positif yang membantu diri seseorang merasa biasa saja hidup dalam lingkungan
berbagai budaya. Oleh itu, Philip Goodacre dan Jennifer Follers menyebut persepsi
sebagai proses mental yang digunakan untuk mengenali rangsangan (dalam Mulyani
2002: 168)
Dalam pengertian yang sederhana, persepsi adalah dimana setiap individu
memilih mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan (stimuli) yang berasal dari
dunia luar. Persepsi adalah proses dimana kita mempertahankan hubungan dengan
dunia dilingkungan kita, karena kita biasanya mampu mendengarkan, melihat
mencium, menyentuh dan merasa. Kita dapat menyadari apa yang terjadi di luar kita
sebenarnya apa yang kita lakukan adalah menciptakan citra dari segi fisik dan objek
sosial serta peristiwa yang kita temukan dalam lingkungan.
Dengan kata lain, persepsi adalah sebuah proses internal dikarenakan pergantian
energi-energi yang berasal dari dalam sekitar menjadi pengalaman yang penuh arti
(Singer, 1987 dalam Samovar dan Porter, 2003: 11).
Tahap penting dari persepsi menyangkut pemberian arti kita objek sosial dan
peristiwa dalam lingkungan. Objek sosial dan kejadian dapat sangat berubah dalam
kemampuan untuk memberikan pengertian yang luas menurut individu dan
kebudayaan individu. Sifat alami budaya, bagaimanapun memperkenalkan kepada kita
pengalaman yang tidak sama.

Menurut Sarbaiugh (1998) dalam Samover,et,al. (2006: 12-14) bahwa ada tiga
elemen pokok persepsi budaya yang memiliki tiga pengaruh besar dan langsung
terhadap individu- individu peserta komunikasi antarbudaya. Yang pertama adalah
pandangan budaya dunia (kepercayaan, nilai sistem tingkah laku), kedua sistem
lambang (verbal dan non verbal) dan ketiga organisasi sosial (keluarga dan institusi).

B.Sifat Persepsi

a. Persepsi berdasarkan pengalaman


Persepsi manusia terhadap seseorang, objek, atau kejadian dan reaksi mereka
terhadap hal-hal itu berdasarkan pengalaman/pembelajaran masa lalu mereka berkaitan
dengan orang, objek atau kejadian serupa. Cara seseorang menilai wanita ideal, suami
ideal, pekerjaan, sekolah, perilaku yang pantas, cara berpakaian yang lazim dan lain
sebagainya sangat tergantung pada apa yang telah di ajarkan oleh budaya dimana orang
tersebut berada.
Ilustrasi berikut ini memperjelas prinsip ini. Orang Barat yang terbiasa makan
dengan sendok, garpu dan pisau akan menganggap orang Timur yang makan dengan
tangan sebagai hal jorok, meskipun alat-alat makan yang mereka gunakan sudah sering
digunakan orang lain, semantara orang Timur yang makan yang selalu menggunakan
tangannya sendiri yang belum pernah digunakan orang lain. Di Barat umumnya, juga
sebagian besar wilayah Indonesia, bersendawa ketika atau setelah makan adalah perilaku
yang tidak sopan, bahkan di Swedia seorang tamu yang bersendawa seusai makan dapat
membuat nyonya rumah pingsan, sementara di Arab, Cina, Jepang, dan Fiji, juga di
Aceh dan Sumatera Barat, bersendawa malah di anjurkan karena hal itu menanamkan
penerimaan makanan dan kepuasan makan. Demikian juga dalam berbicara dengan
intonasi yang tinggi, bagi orang Jawa dinilai kurang begitu sopan, namun beberapa
kultur seperti orang Sulawesi, Sumatera, Kalimantan adalah sebuah kewajaran.
b. Persepsi Bersifat Selektif
Setiap saat seseorang akan diberondongi oleh jutawan rangsangan inderawi.
Untunglah ada atensi pada manusia, sehingga orang hanya akan menangkap rangsangan-
rangsangan yang menarik perhatiannya saja. Ada dua faktor yang mempengaruhi atensi
ini, yaitu (1) faktor internal; dan (2) faktor eksternal. Faktor internal antara lain
dipengaruhi oleh faktor biologis (lapar, haus dan sebagainya); faktor fisiologis (tinggi,
pendek, gemuk, kurus, sehat, sakit,lelah, penglihatan atau pendengaran kurang
sempurna, cacat tubuh dan sebagainya); dan faktor-faktor sosial budaya seperti gender,
agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, peranan, status sosial, pengalaman
masa lalu, kebiasaan dan bahkan faktor-faktor psikologis seperti kemauan, keinginan,
motivasi, pengharapan dan sebagainya. Semakin besar perbedaan aspek-aspek tersebut
secara antar individu, semakin besar perbedaan persepsi mereka mengenai realitas.
Faktor eksternal yang mempengaruhi orang dalam melakukan persepsi terhadap
suatu obyek, yakni atribut-atribut objek yang dipersepsi seperti gerakan, intensitas,
kontras, kebaruan, dan perulangan objek yang dipersepsi. Suatu obyek yang bergerak
lebih menarik perhatian dari pada objek yang diam. Misalnya kita lebih menyenangi
televisi sebagai gambar bergerak dari pada komik sebagai gambar diam. Demikian juga
dengan suatu rangsangan yang intensitasnya menonjol juga akan menarik perhatian,
seseorang yang bersuara paling keras, yang tubuhnya paling gemuk, yang kulitnya
hitam, atau yang wajahnya paling cntik akan menarik perhatian kita.
Dalam pada itu, terhadap orang atau objek yang penampilannya lain dari pada
yang lain (kontras), juga akan menarik perhatian, seperti seorang bule, orang berkulit
hitam di antara orang-orang yang berkulit putih, seorang wanita yang berjilbab, wanita
berbikini di antara wanita-wanita lain yang berpakaian lebih sopan di pantai, pemuda
yang sebelah telinganya beranting di antara teman- temannya yang tidak berpenampilan
demikian. Demikian juga dengan hal kebaruan merupakan suatu unsur objek yang
menimbulkan perhatian, tampak jelas ketika kita melihat seorang mahsiswa baru yang
lebih menarik perhatian dari pada mahasiswa lama yang sudah dikenal. Pun kita
cenderung memperhatikan sesuatu yang baru misalnya baju baru yang dipakainya, mobil
baru yang dibawanya.
Suatu peristiwa yang selalu berulang-ulang jelas lebih potensial untuk
diperhatikan, sehingga memungkinkan untuk mudah mengingat terhadap objek yang
menjadi perhatian. Seperti iklan-iklan sebuah produk yang ditayangkan secara berulang-
ulang di televisi, akan lebih mendorong untuk membeli barang yang di iklankan.

c. Persepsi Bersifat Dugaan


Data yang diperoleh mengenai objek lewat penginderaan tidak pernah lengkap,
seringkali menyebabkan persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan. Proses
ini menyebabkan orang menafsirkan suatu objek lebih lengkap. Misalnya kita melihat
sebuah pesawat terbang di angkasa, kita tidak melihat awak pesawat dan
penumpangnya. Namun kita telah berulangkali melihat pesawat terbang di angkasa yang
menunjukkan bahwa setidaknya terdapat awak pesawat yang menerbangkan pesawat itu.
Demikian juga ketika kita melihat bila ada sebuah kapal laut dari kejauhan, kita
langsung membayangkan ada sejumlah orang di dalamnya, ada sejumlah mobil dan
peralatan kapal seperti skoci dan sebagainya.
d. Persepsi Bersifat Evaluatif
Kebanyakan orang menjalani hari-hari mereka dengan perasaan bahwa apa yang
mereka persepsi adalah nyata. Mereka beranggapan bahwa menerima pesan dan
menafsirkannya sebagai suatu proses yang alamiah. Sehingga derajat tertentu anggapan
itu benar, akan tetapi kadang-kadang alat-alat indra dan persepsi kita menipu kita
sehingga kita juga ragu seberapa dekat persepsi dengan realitas yang sebenarnya. Atau
dengan kata lain bahwa dalam mempersepsi suatu objek tidak akan pernah terjadi secara
objektif, hal ini karena dalam mempersepsi sangat dipengaruhi pengalaman masa lalu
dan kepentingan pribadi.
Persepsi bersifat pribadi dan subyektif. Menurut Andrea I. Rich yaitu persepsi
pada dasarnya mewakili keadaan fisik dan psikologis undividu alih-alih menunjukkan
karakteristik dan kualitas mutlak objek yang dipersepsi. Misalnya bila kita pendiam, kita
cenderung menilai orang yang periang sebagai orang yang supel dan mudah bergaul, dan
sebaliknya.
e. Persepsi Bersifat Kontekstual
Suatu rangsangan dari luar harus di organisasikan. Dari semua pengaruh yang
ada dalam persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh paling kuat. Konteks
yang melingkupi kita ketika dalam melihat suatu kejadian atau objek sangat
mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan dan oleh karenanya juga persepsi kita.
Persepsi besifat kontekstual ini menggunakan prinsip-prinsip: (1) kontekstual dalam
pengertian struktuir objek, atau kejadian berdasarkan prinsip
kemiripan atau kedekatan dan kelengkapan; (2) kontekstual dalam arti, kita cenderung
mempersepsi suatu rangsangan, atau kejadian misalnya ketika kita mengisi teka-teki
silang (TTS), prinsip ini jelas berlaku.
Ada tujuh unsur budaya yang secara universal dapat mempengaruhi persepsi kita
ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, yaitu:
1. Bahasa
2. Sistem teknologi
3. Sistem mata pencaharian
4. Organisasi social
5. Sistem pengetahuan
6. Religi
7. Kesenian

C. Elemen Pokok Persepsi Budaya

Menurut Sarbaiugh (1998) dalam Samover,et,al. (2006: 12-14) bahwa ada tiga elemen
pokok persepsi budaya yang memiliki tiga pengaruh besar dan langsung terhadap individu-
individu peserta komunikasi antarbudaya. Yang pertama adalah pandangan budaya dunia
(kepercayaan, nilai sistem tingkah laku), kedua sistem lambang (verbal dan non verbal) dan
ketiga organisasi sosial (keluarga dan institusi).

1.1. Pandangan Dunia


Untuk memahami dunia, nilai-nilai dan tindakan tindakan orang lain kita harus
memahami kerangka persepsinya. Dalam berkomunikasi antar budaya yang ideal kita
berharap banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi budaya. Tetapi karakter
budaya berkecenderungan memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang
tidak sama atau berbeda berdasarkan pandangan dunia (word view) yang terbentuk
semula. Oleh sebab itu ia membawa persepsi budaya yang berbeda-beda pada dunia luar
budaya sendiri. Kemudian, cara budaya mengoorganisasikan dirinya dan lingkungannya
juga berpengaruh terhadap anggota budayanya dalam mempersepsi dunia dan cara
mereka berkomunikasi. Menurut kajian-kajian yang telah dilakukan, didapati bahwa
keluarga dan sekolah merupakan dua elemen yang dominan dalam membentuk dan
mengubah persepsi budaya individu (Galvin dan Brommel, 1991; Crippen dan Leah
Brew, 2007; saurbaugh, 1988; Mulyana, 2001; Susiyanto, 2006; Pelly, 2003).
Menurut Mulyana dan Rakhmat (2000: 28), pandangan dunia merupakan dasar
dari suatu budaya. Impaknya mempengaruhi kepercayaan/agama, nilai-nilai, prilaku
penggunaan waktu dan banyak aspek budaya lainya. Oleh itu, pandangan budaya
membentuk budaya dan berfungsi untuk membedakan satu budaya dengan budaya yang
liannya.
Penington (1985) menyatakan bahwa pandangan dunia merupakan yang tertinggi
walaupun bukan yang pertama dan menjadi keutamaan dalam kajian mengenai budaya
karena hal tersebut mencakup semua komposisi budaya (dalam Satoshi Ishii,et,al. 1999:
302-317). Sedangkan menurut Parsudi Suparlan (1981), budaya suatu masyarakat
biasanya mengandung potensi daya tenaga yang membentuk corak atau warna sikap
mental dan watak yang khas (budaya) bagi individu-individu kelompok masyarakatnya.
Rata-rata sikap mental daripasa suatu kelompok masyarakatnya memiliki persamaan
antara satu individu dengan individu lainnya. Namun jika berbeda budaya, akan berbeda
pula keunikannya dan pandangan dunia yang terbentuk. Pada giliranya akan
membedakan pula sikap mental individu yang berasal daripada satu kelompok
masyarakat dengan masyarakat lainya.
Paige dan Martin (1996) menjelaskan bahwa pandangan dunia merupakan satu
lensa daripada pandangan manusia yang memandang realitas dunia dan tentang
kehidupan dunia. Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling
dasar dari pada satu

budaya. Dengan cara-cara yang tidak terlihat dan tidak nyata, pandangan dunia sangat
mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Oleh itu, sebagai anggota dari suatu budaya,
setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada orang yang
sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lainnya
memandang dunia sebagaimana dia memandangnya. Pandangan dunia membentuk
budaya dan berfungsi untuk membedakan satu budaya dengan budaya lainya. Penington
(1985) menyatakan bahwa pandangan dunia merupakan yang tertinggi walaupun bukan
yang pertama dan menjadi prioritas dalam studi mengenai budaya karena hal tersebut
mencakupi semua komposisi budaya.

1.1.1. Agama dan Sistem Kepercayaan


Menurut Khaldun (1962: 26), emosi keagamaan sebagai sumber elementer dalam
kehidupan keagamaan manusia bersumber pada kesadaran kolektif manusia. Fungsi
sosial agama dapat memperkuat struktur sosial dan prinsip-prinsip moral masyarakat
agama/ sistem kepercayaan manusia berperan untuk memperbaiki akhlak manusia.
Seperti mana temuan Emerson (1996) dimana agama memiliki pengaruh yang penting
mengenai seseorang. Agama menjelaskan apa yang seharusnya dan memadukan
semuanya dengan alam semesta/ persekitaran.
Peranana agama dalam etnis manapun merupakan unsur utama karena agama
mengandung nilai-nilai universal yagn berisikan pendidikan dan pembinaan dan
pembentukan moral dalam keluarga. Rumah dijadikan aktivitas ritual keagamaan seperti
sholat bagi agama islam, pemujaan leluhur bagi agama konghucu (Tionghoa).
Penemuan Susiyanto (2006: 93), bahwa: interaksi agama dalam kalangan
keluarga, etnis Tionghoa tidak membedakan satu agama dengan agama lainya. Orang
tua memberikan kebebasan beragama kepada anggota keluarga. Agama Kristen
Protestan, Katolik dan Budha menjadi pilihan utama, berikutnya baru agama islam.
Sedangkan agama Budha merupakan wadah gabungan ajaran Konghucu dan bukan
suatu peralihan agama, maka mereka berkecenderungan menyatakan sebagai penganut
Budha. Bagi etnis Tionghoa tidak ada halangan untuk tetap melaksanakan ajaran-ajaran
nenek moyangnya karena merupakan adat istiadat yang tidak mungkin dilepaskan (hal
ini serupa denga ajaran Budha). Susiyanto juga mendapati: bahwa etnis Tionghoa yang
beragama Islam, sebahagian besar bukan karena faktor keluarga melainkan faktor
pergaulan dengan etnis pribumi yang beragama islam. Kenyataan ini menguatkan
bahwa kewujudan mereka dapat diterima oleh etnis lain dengan

ditunjukkan adanya persamaan keyakinan. Menurut beliau umumnya etnis Tionghoa yang
menganut agama Islam sangat sukar karena berkaitan perubahan identitas budaya.

1.1.1. Nilai
Nila merupakan norma dimana suatu etnis memberitahukan pada seseorang
anggotanya mana yang baik dan yang tidak boleh. Meskipun memiliki penilaian yang
unik tentang nilai, tetapi nilai-nilai itu tidak bersifat universal karena kecenderungannya
berbeda antara satu budaya dengan budaya lainya, dan nilai-nilai itu dipelajari. Nilai-
nilai merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dipegang oleh partisipan-partisipan
komunikasi antarbudaya karena nilai-nilai mengembangkan standar-standar dan
memandu membangun tingkat layak atau tudaknya di dalam masyarakat.
Nilai-nilai budaya adalah aspek penilaian daripada sistem kepercayaan, nilai dan
sikap. Nilai-nilai tersebut pada dasarnya bersifat normatif, yang dapat menjadi rujukan
kepada anggota budaya tentang perkara yang baik, buruk, benar,salah, positif, negatif
dan sebagainya. Nilai-nilai budaya juga menekankan perilaku-perilaku yang penting dan
harus dikesampingkan. Nilai-nilai budaya adalah suatu aturan yang tersusun untuk
membuat pilihan-pilihan dan mengurangkan konflik dalam masyarakat (Mulyana, 2000:
27)
Menurut Lubis (1999: 152-153), nilai merupakan suatu hal yang sangat penting
untuk dipegang oleh peserta-peserta komunikasi antar budaya karena nilai
mengembangkan kepiawaian dan membantu membangunkan tahap kelayakan atau
tidaknya didalam masyarakat. Hal tersebut sebagai mana temuan beliau, bahwa: dalam
budaya Tionghoa, mengenal hubungan segi tiga yaitu hubungan konfusius, keluarga dan
kerja. Penanaman moral pertama sekali harus terjadi dalam keluarga, karena apabila
didalam keluarga terjadi hubungan yang serasi maka masyarakat dunia akan tertib dan
damai. Kerja ditunjukkan oleh ajaran Jen untuk membuat orang rajin berkerja dan
mengejar serta menyimpan kekayaan. Ajaran tentang kerja memberikan pengaruh
kepada keluarga, seperti kerja untuk bakti, kebahagiaan, dan kesetiaan keluarga. Etos
kerja pada etnis Tionghoa terletak pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan
memperoleh pahala kelak di akhirat.
Nilai-nilai budaya yang berbeda dan tidak dapat dipahami oleh sekelompok
berbagai budaya dari mana-manapun asalnya akan menyebabkan konflik, yang berakhir
dengan kekerasan, peperangan saudara, perang antar suku bangsa, perilaku anarkhi dan
lain-lain. Seperti contohnya: Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Gerakan Anti Tionghoa,
kejadian Ambon, sampit dan lain-lain. Hal ini bermula pada adanya kecenderungan
setiap masyarakat memandang kelompoknya, daerah, provinsinya bahkan negaranya
sebagai yang paling baik,

melahirkan kerangka rujukan yang menilai kewujudan kerangka rujukan yang lain.
Apabila hal ini dikesampingkan maka akan menjadi halangan dalam berkomunikasi
antar budaya.
Samovar,et,el (2006: 11-12) memandang nilai-nilai budaya yang diyakini secara
berlebihan pada masyarakat sukubangsa akan menyebabkan berkembangnya
etnosentrisme pada kelompok tersebut. Sebagaiman kita ketahui bahwa etnosentrisme
adalah kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan
ukuran kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk segala
penilaian.
Rogers dalam (Mulyana dan Rahkma, 2000: 76-77), mendapati: semakin besar
persamaan kita dengan orang lain/kelompok lain maka semakin dekat kita dengan
mereka. Sebaliknya, semakin besar perbedaan maka semakin jauh kita dengan mereka.
Artinya adalah para peserta dalam tindakan komunikasi harus mampu saling memahami
karakter masing- masing dengan jalan membangun isu komunikasi sebagai person to
person contact. Seterusnya Purwasito (2003: 178-179), mengatakan bahwa
“ketidakharmonian dan disentegrasi biasanya muncul karena adanya perbedaan
informasi yang besar, terhalangnya komunikasi sosial budaya serta sikap-sikap sinis dan
persaingan yang didasarkan bukan atas prestasi tetapi rasa kalah dan tidak percaya diri”.
Prasangka menjadi jarak sosial atara berbagai kelompok dalam masyarakat yang
berkecenderungan adaptif, tidak fleksibel, besikap tertututp dan tidak mau membuka diri
disebabkan berbagai alasan yang kurang rasional.

1.1.2. Perilaku
Perilaku atau sitem tingkah laku adalah perwujudan daripada kepercayaan dan
nilai- nilai yang dipedomani oleh setiap individu. Tingkah laku dibentuk oleh sebuah
proses belajar dari kebudayaan yang membentuk komponen evaluasi dan sebuah
intensitas atau komponen harapan. Lewat ketigak omponen inilah terbentuk realisasi
objek yang ada di lingkungan kita. Menurut Ruben (1984: 129-155) perwujudan dari
tingkah laku itu adalah melalui simbol- simbol verbal seperti bahasa yang digunakan
baik lisan maupun tulisan dan melalui simbol non verbal seperti gerakan tubuh,
penampilan, persepsi indrawi. Seterusnya menurut Paige dan Marrtin (1996)
mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan salah satu lensa dalam manusia
memandang realita dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan bersifat abadi
dan merupakan landasan paling mendasar bagi suatu budaya. Dengan cara-cara tidak
terlihat an tidak nyata, pandangan dunia sangat mempengaruhi komunikasi antarbudaya.

sebagai yang palig bermoral. Pandangan ini menuntut kesetiaan yang pertama dan

Oleh karenanya sebagai anggota dari suatu budaya, setiap pelaku komunikasi
mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada jiwa yang sepenuhnya dinggap benar
dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lainya memandang sebagaiman ia
memandang. Menurut Sarbaugh (1988) perbedaan corak perilaku dan kepercayaan
dalam kalangan manusia selalunya ditentukan secara stereotip berdasarkan masalah
yang dipelajari dari pengalaman sepanjang hidupnya.
Satu yang menarik dari kajian Thung Yu Lan (1999b: 21-35) menunjukkan
bahwa “ untuk kasus orang Tionghoa yang telah berganti agama menjadi islam tetap saja
stereotip yang timbul daripada sebahagian orang pribumi indonesia sebagai hanya
sebagai strategi untuk dapat berniaga secara lebih meluas dengan menguntungkan orang
Tionghoa dibawah simbol agama Islam. Apa yang timbul disini yaitu adanya prasangka
yang condong negatif yang berdampak kepada diskriminasi sosial. Sangat disadari
bahwa diskriminasi merupakan faktor yang merusak kerjasama antara manusia maupun
komunikasi antara mereka.

1.2. Sistem Lambang


Menurut Ruben (1984: 129-155) perwujudan dari perilaku itu adalah melalui
sistem lambang yang digunakan seperti melalui percakapan, bertulis dan melalui isyarat
badan (bahasa tubuh) penampilan dan lain-lainnya.
Budaya membingkai komunikasi dengan secara langsung mempengaruhi isi dan
susunannya. Penggunaan sistem lambang seperti bahasa lisan sehari-hari misalnya, oleh
Forgas (1988) mencatat sebagai suatu peristiwa komunikasi dimana orang-orang setiap
harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat spesifik. Contohnya, dalam
mengucapkan atau memberi salam banyak budaya berbeda dalam peraktiknya. Bahasa
merupakan media utama yang digunakan budaya untuk menyampaikan maksud dan
tujuan melalui interaksi diantara individu. Bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme
untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial.
Bahasa sebagai peta realitas budaya yang tidak dapat dialihkan secara sempurna
kedalam suatu bahasa lain. Bahkan satu katapun tiada secara tepat dapat dicarikan
padanannaya dalam bahasa lain. Sedikit banyaknya ada nuansa hilang ketika kata
diterjemahkan kedalam kata dalam bahasa lain tersebut.
Kesulitan-kesulitan itu disebabkan oleh beberapa faktor: 1) kata-kata memiliki
lebih dari satu makna, 2) banyak kata terikat budaya dan tidak dapat diterjemahkan
secara langsung, 3) orientasi budaya dapat membuat terjemah langsung menjadi tidak
masuk akal
dan, 4) mungkin suatu budaya ridak memiliki latarbelakang yang memungkinkan
terjemahan pengalaman dari budaya lain (dalam Mulyana, 2004: 109-110)
Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran.
Oleh karenanya bahasa merupakan suatu sistem yang tidak pasti untuk mengajukan
realitas secara simbol. Hal mana ini diakui oleh Ruben (1975: 171) bahwa komunikasi
adalah suatu proses yang mendasari intersubjektivitas suatu fenomena yang terjadi
akibat simbolisasi publik dan penggunaan serta penyebaran simbol. Melalui komunikasi
individu-individu ‘menyetel’ perasaan-perasaan, pikiran-pikiran dan perilaku-perilaku
antara satu dengan yang lainya (dalam Mulyana 2000: 142).
Selanjutnya makna kata sangat bergantung pada berbagai penafsiran individu-
individu yang berkomunikasi. Misalnya kata ‘awak’, dalam bahasa indonesia sebagai
kata ganti saya, sedangkan di Malaysia kata ‘awak’ berarti kamu.
Menurut Gudykunts dan Kim (1984), untuk menjembatani ini semua, pesan
harus jelas dan komunikator harus tahu apa yang ingin dibicarakan agar terjadi
penerimaan yang benar-benar cermat atas kandungan pesan oleh si komunikan. Selain
itu, pola-pola berpikir oleh suatu budaya dituntut sebagaimana individu-individu dalam
budaya yang berbeda itu berkomunikasi. Begitupun beliau mengatakan bahwa kita tidak
dapat mengharapkan orang- orang akan menggunakan pola-pola berpikir yang sama
dalam memahami sebuah makna pesan disebabkan faktor-faktor kerumitan diatas.
Selanjutnya, dalam proses pengembangan hubungan, anggota dari kebudayaan
konteks tinggi (budaya timur seperti Indonesia dan Cina), untuk mengurangi
ketidakpastian mereka menggunakan sedikit makna verbal dan lebih makna nonverbal
daripada yang dilakukan kebudayaan konteks rendah (budaya barat). Bagi kebudayaan
konteks tinggi, mereka memiliki tingkat ketelitian yang relatif tinggi dalam
memprediksikan perilaku orang lain, karena informasi diinternalisasikan oleh tiap-tiap
anggota sebagai akibatnya kebudayaan konteks tinggi orang-orang mengharapkan
rekan-rekan mengetahui apa yang mereka pikirkan.
Bahasa lisan merupakan media utama yang digunakan dalam berkomunikasi
antarbudaya untuk menyampaikan maksud dan objektif melalui interaksi diantara
individu. Bahasa berfungsi sebagai mekanisme untuk berkomunikasi sekaligus
berpedoman untuk melihat realitas sosial. Selanjutnya Gudykunst dan Kim (1984)
mengakui bahwa kegagalan utama dalam berkomunikasi adalah ketidakpastian dalam
menyampaikan isi secara cermat. Hal ini ada hubungan positif antara teori pengurangan
ketidakpastian dengan komunikasi efektif. Beliau mengilustrasikan Selanjutnya
Gudykunst dan Kim (1984) mengakui bahwa
kegagalan utama dalam berkomunikasi adalah ketidakpastian dalam menyampaikan isi
secara cermat. Hal ini ada hubungan positif antara teori pengurangan ketidakpastian
dengan komunikasi efektif. Beliau mengilustrasikan melalui penurunan ketidakpastian
akan membawa peningkatan pada komunikasi dan interaksi interpersonal. Jika jumlah
ketidakpastian pada awal interaksi tidak dikurangi, kedepanya komunikasi akan sukar
dan hubungan tidak akan berlanjut. Dengan makna lain bahwa komunikasi tidak
berjalan secara efektif.
Proses verbal merupakan media utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan,
namun proses nonverbal tidak kalah pentingnya digunakan dalam berkomunikasi
ataupun lebih pentingnya digunakan dalam berkomunikasi ataupun lebih penting bahkan
walupun tidak kita sadari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 55%
komunikasi dilangsungkan melalui proses tidak verbal, 38% dengan suara
(paralinguistik) dan 7% dengan kata-kata (Albert Mehrabian, 1972 dalam Liliweri,
2003: 181).
Temuan Andersen melihat bahwa sistem lambang nonverbal berlangsungdalam
diri individu sebagai sistem yang spontan dan ditetapkan tanpa pikir panjang
sebelumnya. Hal ini jelas kelihatan melalui penampilan fisik seperti cara
berpakaian.sikap suatu budaya akan mengarah kepada stereotip etnis.
Seterusnya Samovar dan Porter (2003: 16), dalam berkomunikasi ‘jarak’ sebagai
aspek penting dalam sistem lambang nonverbal. Orang Arab dan Latin condong
berinteraksi secara akrab dibandingkan Amerika Utara dan adanya ketidaknyamanan
ketika mereka berbicara terlalu dekat. Orang Amerika Utara lebih suka berbicara dengan
duduk berhadap- hadapan. Berbeda dengan orang Cina lebih menyukai duduk
bersebelahan ketika berbicara.

1.3. Organisasi Sosial


Organisasi sosial adalah cara bagaimana suatu kebudayaan dikomunikasikan
kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan dalam membentuk
individu, yaitu keluarga dan sekolah (Samovar dan Porter, 1993: 16).

1.3.1. Keluarga
Keluarga merupakan perwujudan dari institusi tidak formal. Peranan keluarga
sangat penting seiring perjalanan dari waktu ke waktu, yang mana budaya luar akan
mempengaruhi anak. Melalui keluarga, individu belajar mengenal kebudayaannya dan
menilai kebudayaanya paling baik dibandingkan kebudayaan etnis lain, dan lain
sebagainya. Gavin dan Brommel

(1991), menunjukan beberapa sikap dasar, nilai-nilai dan tingkah laku dimulai dari
keluarga, seperti tanggung jawab, kepatuhan, dominasi, kemampuan bergaul, kesetian
dan lain-lain. Hasil pengamatanya mendapati bahwa “seorang anak yang lahir di India
dapat merasakan semua orang hidup di dalam satu rumah dan belajar akan luasnya
sebuah keluarga. Dengan hidup bersama orang yang lebih tua di dalam satu rumah, anak
akan belajar akan nilai sebuah umur. Anak-anak bertingkah laku dimasyarakat
sebagaimana yang dipelajarinya di rumah.
Bennett, Wolin and Mc Avity (1998) dalam kajian mengatakan bahwa di dalam
sebuah keluarga, budaya dapat menggambarkan batasan-batasan, harapan-harapan,
aturan- aturan untuk berinteraksi, pola komunikasi, cara penyelesaian masalah dan lain-
lain. Pengembangan identitas keluarga dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu identitas
keluarga asli dan identitas yang dibentuk sejalan dengan pernikahan dan keturunan.
Melalui sebuah keluarga akan membentuk pandangan dunia seperti mengakui akan
adanya tuhan sehingga patuh dan bertanggung jawab tehadap lingkungannya, memiliki
nilai-nilai yang dapat membedakan yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dan
lain-lain.
Dengan demikian, sistem perilaku wujud dari kepercayaan dan nilai yang
dipedomani oleh setiap individu. Perilaku atau sikap dibentuk atas sebuah proses belajar
yang dipelajari daripada pengalaman sepanjang hidupnya melalui keluarga (Galvin dan
Brommel, 1991).
Penemuan Tubbs dan Moss (dalam Mulyana, 2001: 218-219) juga menunjukkan
sebuah keluarga dapat bertahan dengan adanya komunikasi yang berkesan dengan
perbedaan budaya yang melatarbelakanginya. Beliau mendapati bahwa “di Amerika
Serikat lebih dari 50% pasangan yang menikah berakhir dengan perceraian, di Britain
lebih dari 70% pasangan yang menikah juga berakhir sama. Hal ini disebabkan tidak
adanya komunikasi yang harmonis dalam keluarga”. Beliau menekankan bahwa
komunikasi akan berkesan apabila pemberian makna bersama antara peserta komunikasi
yang berusaha memahami orang lain sebagaimana yang ia lakukan.
Selain itu, hasil penelitian penulis (Lubis, 2011a: 421) menegaskan bahwa
interaksi komunikasi antarbudaya diantara etnis yang berbeda budaya bermula dari
persepsi sebuah keluarga dalam menanamkan pandangan dunia, nilai-nilai dab terwujud
dalam perilaku. Keluarga berperanan dalam mengajarkan para anggota keluarga untuk
mengenali budaya yang dibawa oleh orang tuanya.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, kita harus mengakui bahwa perjalanan
sebuah keluarga dalam mendidik generasinya dalam sebuah keluarga antarbudaya
mempunyai pengalaman budaya yang tidak sama antara satu keluarga dengan keluarga
lainnya. Banyak

faktor yang mempengaruhinya dan dapat menjadi hambatan dalam kelangsungan


interaksi komuniksi antarbudaya baik dalam keluarga tersebut dan di masyarakat secara
luas.
Oleh Romano (2001) dalam Crippen dan Lea Brew (2007: 111), memberikan
suatu jalan keluar untuk identitas keluarga yang dibentuk sejalan dengan perkawinan
dan keturunan, yaitu dengan melihat konflik serius antara orang tua dan anak dalam
perbedaan nilai-nilai dan kepercayaan, pendidikan dan disiplin gaya. Beliau mendapati
ada tiga cara penyelesaian yaitu dengan menyesuaikan diri terhadap norma-norma
budaya orang tuan rumah (tempatan), adaptasi dengan gaya daripada orang tua lain dan
adanya pembagian peranan dalam keluarga.
Nilai-nilai budaya sangat dipengaruhi oleh faktor internal (in Group). Dengan
melalui interaksi komunikasi antar budaya secara aktif dan berterusan dapat merubah
terhadap pemahaman nilai-nilai budaya in group (Lubis, 2011: 157-161).

1.3.2. Sekolah
Selain keluarga, peranan lembaga formal seperti sekolah tidak kalah pentingnya.
Melalui lembaga sekolah, seorang individu diperkenalkan dengan sejarah kebudayaan
dengan menceritakan kepada anggota baru apa yang telah terjadi, memberikan fakta-
fakta, menanamkan nilai-nilai dan sikap dari kebiasaan-kebiasaan yang baik yang dapat
diterima dalam kebudayaan yang besar, dan lain sebagainya.
Hasil penelitian Pelly (1986), mendapati bahwa pada lima sekolah pembauran
etnis cina dan pribumi yang ada di kota Medan-Sumatera Utara, seperti sekolah Kalam
Kudus, Sutomo, Methodis, Amir Hamzah, dan Budi Murni, diantara pelajar sekolah
menengah pertama (SMP) dan pelajar sekolah Menengah Atas (SMA) ada terdapat
keberhasilan asimilasi dalam bidang struktural, perkawinan antara suku bangsa/etnis dan
kewarganegaraan. Hal ini ditandai dengan para siswa SMP masih terikat kuat dengan
kelompok primernya (keluarga dan kerabat dekat) sehingga membuat pergaulannya
dengan orang lain (pribumi) masih sangat terbatas. Berbeda dengan pelajar SMA, yang
disebabkan usia dan pengalaman mereka yang sudah mulai meluas maka mereka tidak
terlalu terikat pada keluarga dan kerabat dekat, mereka lebih bebas dalam bergaul dan
aktif dalam kelembagaan sosial seerti osis dan organisasi sosial lainya. Bahkan
pandangan mereka tentang perkawinan antara suku bangsa, pertemanan antara laki-laki
dengan perempuan dari etnis yang berbeda lebih terbuka dan fleksibel.
Selain sekolah, peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong
menolong (STM), kelompok perkumpulan, maupun tempat kita berkerja, individu-
individu yang

berbeda budaya mencoba untuk saling belajar dan memahami perbedaan-perbedaan


yang terdapat pada masing-masing budayanya. Oleh Gudykunst dan Kim (1984)
menempatkan bahwa individu pada kebudayaan itu saling bergantung dan harus
menyesuaikan diri kedalam nilai-nilai dan norma-norma kelompok mereka. Pada
kebanyakan kebudayaan, sikap yang pertama adalah segera memelihara hubungan pada
pertama adalah dengan segera memelihara hubungan pada kelompok dan menyokong
hubungan sosial kekeluargaan. Tujuannya ke arah personal yaitu mempertinggi
eksistensi diri yang merupakan kepentingan kedua pada kebudayaan itu.

Anda mungkin juga menyukai