Anda di halaman 1dari 21

Scribd

Upload a Document
Search Documents
Explore

Documents

 Books - Fiction
 Books - Non-fiction
 Health & Medicine
 Brochures/Catalogs
 Government Docs
 How-To Guides/Manuals
 Magazines/Newspapers
 Recipes/Menus
 School Work
 + all categories

 Featured
 Recent

People

 Authors
 Students
 Researchers
 Publishers
 Government & Nonprofits
 Businesses
 Musicians
 Artists & Designers
 Teachers
 + all categories

 Most Followed
 Popular

 Sign Up
 |
 Log In

                     
  /  22
Download this Document for Free

Di samping alasan keilmuan yang tinggi dan kemampuan meneliti masyarakat desa,
banyak pihak memposisikan Prof. Dr. Sajogyo menjadi patokan nilai-nilai kehidupan yang luhur. Dalam
ungkapan bahasa sehari-hari, seorang muda memilihnya untuk memenuhi kebutuhan generasi muda akan
panutan. Seorang ilmuwan (Wiradi, 1996) juga menuliskan, komunitas ilmiah membutuhkan ilmuwan yang
berkarakter. Pilihan aksiologis tersebut tidak boleh dibiarkan mengambang, melainkan perlu didaratkan
pada serangkaian argumen etis. Dibutuhkan penjelasan yang mendalam untuk mempertanggungjawabkan
pilihan yang didasarkan contoh sikap Dr. Sajogyo, sebagai

suatu
pilihan
yang
menumbuhkan
etos
bertindak

lu
hur. Argumen etis atau kategoris harus disampaikan, karena, memakai bahasa David Hume (Scruton, 1986),
kalimat deskriptif hasil penelitian sosiologi sekalipun tidak masuk akal untuk diubah menjadi kalimat
normatif atau posisi etis. Tidak bisa menarik kesimpulan dari kalimat berita untuk menjadi kalimat perintah.
Oleh karena itu akal tidak bisa digunakan sebagai ukuran bagi cara untuk seharusnya bertindak. Bertindak
secara bertanggung jawab bukan berarti menguatkan akal, melainkan memperdalam

perasaan
demi
kesejahteraan
orang

l
ain. Dalam konteks pembicaraan di sini, ilmu sosiologi pedesaan menyelesaikan tugasnya dengan
mendeskripsikan pola tindakan warga desa dan pihak lain yang berkaitan dengannya. Langkah berikutnya
menjadi tugas perasaan atau etika untuk menentukan makna maupun kegunaan informasi sosiologi
pedesaan itu bagi pihak lain: lapisan bawah,

lapisan
atas,
orang
kota,
pemerintah,
atau

lainn
ya. Dalam wilayah inilah Dr. Sajogyo mengulurkan suluhnya. Dalam terang sikap atau karakternya inilah
kolega-kolega menemukan etos untuk mendidik, etos meneliti, dan etos memberdayakan masyarakat.
Trilogi dimensi etos tersebut sejajar tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Ini bukanlah trilogi kognitif, melainkan trilogi etis yang benar-benar bisa
dipraktekkan, sebagaimana direfleksikan sebagai pengalaman hidup Dr. Sajogyo (2004). Dirumuskan dari
tulisan-tulisannya sendiri (Sajogyo, 1977; Tjondronegoro, 1996), Dr. Sajogyo mengetengahkan posisi
aksiologis untuk berpihak kepada lapisan bawah. Dan

ia
bergeming
pada
posisi
itu
(Sajogyo,
2004).
Pendidikan
untuk
Lapisan
Bawah

Aksiologi pemihakan kepada lapisan bawah memberikan terang akan ilmu pengetahuan yang selalu bisa
dipraktekkan di tengah masyarakat. Praktek dari ilmu tersebut diarahkan kepada pemecahan masalah.
Orientasi kepada pemecahan masalah dapat dipautkan dengan pembelajaran seumur hidup. Dalam proses
berkelanjutan ini, pendidik juga belajar dari peserta didik atau murid. Dalam konteks yang diperluas,
pendidik selayaknya juga belajar dari lapisan terbawah di pedesaan. Penting pula dicatat bahwa perumusan
masalah sendiri menjadi areal etis. Oleh karenanya rumusan masalah dalam sosiologi pedesaan sebaiknya
berkisar pada sejauhmana upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan terbawah di pedesaan,

atau
di
perkotaan
(migran
dari

d
esa). Pola pemecahan masalah masyarakat tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk penyuluhan, atau kini
boleh dinamakan juga pendampingan. Sehubungan dengan upaya meningkatkan dimensi partisipatif lapisan
bawah, maka pendidikan yang cocok dengan aksiologi “berpihak kepada lapisan terbawah” lebih tepat
berwujud pendidikan untuk orang dewasa. Seluruh partisipan dalam proses belajar atau mengajar itu
berkedudukan setara. Semua tidak berangkat dari pengetahuan kosong, melainkan saling mendiskusikan
pola pandang yang berbeda sesuai dengan akumulasi pengetahuan
yang
sudah
pada
masing-masing

pi
hak. Dalam bahasa Dr. Sajogyo (2004), pendidikan sosiologi pedesaan dirumuskan sebagai

..... hubungan antara kerja “penyuluhan yang menyertakan peranan masyarakat (tani
dan desa)” dan dilain pihak pilihan “corak sosiologi dan lain cabang ilmu sosial”

yang lebih sesuai keperluan pembangunan yang lebih demokratis, dalam


kerjasama dan saling menghargai antara sejumlah pelaku (“stakeholders”) pembangunan, terutama

(dimulai
dari)
masyarakat
lokal.
Penelitian
untuk
Lapisan
Bawah

Aksiologi pemihakan kepada lapisan bawah lebih tepat dipraktekkan dalam ranah metodologi partisipatif.
Pengikat dari beragam paradigma partisipatif ialah epistemologi pragmatisme. Di sini kebenaran diuji
melalui kesepakatan oleh semua pihak yang terlibat. Semakin banyak yang menyetujuinya maka kebenaran
dari hasil kegiatan penelitian tersebut juga meningkat. Jika dibandingkan dengan metodologi lain yang
bercirikan epistemologi korespondensi dan koherensi, dengan segera paradigma partisipatif ini dikenali dari
ciri kepraktisan penggunaannya untuk mengembangkan masyarakat. Peneliti (seringkali lebih tepat
dimaknai sebagai pendamping) bekerja bersama masyarakat lokal untuk mengenali dunianya sendiri,
mendefinisikan dunia tersebut, kemudian meletakkan suatu tujuan ke depan yang akan dicapai bersama
(Heron, 1996). Paradigma metodologi positivisme dan pasca positivisme tidak memberikan ruang
partisipasi bagi responden secara politis (turut berpikir dan menentukan desain penelitian) dan bagi peneliti
secara epistemis (melakukan aksi dalam proses penelitian). Berlainan dengan hal itu, paradigma
metodologi partisipatif memberikan ruang secara parsial maupun penuh bagi responden (ko-peneliti) secara
politis dan peneliti secara epistemis. Sementara itu, paradigma kualitatif lainnya dicirikan oleh partisipasi
parsial pada responden untuk menentukan desain penelitian dan partisipasi parsial peneliti dalam aksi.
Paradigma partisipatif sendiri bercirikan partisipasi penuh informan (bersama peneliti) dalam merumuskan
desain penelitian, sekaligus partisipasi penuh peneliti (bersama informan)

dalam
aksi-aksi
sebagai
konsekuensi

peneliti
an. Dr. Sajogyo mengambil eksemplar Siregar (2001) dalam membumikan metode partisiaptif di bumi
Indonesia. Terdapat perbedaan antara posisi Orang Luar (OL, peneliti) dan Orang Dalam (OD,
masyarakat). Keduanya harus berinteraksi, agar menghasilkan kesepakatan tentang pengetahuan yang
bermanfaat bagi semua pihak. Peneliti juga perlu mengatasi tradisi Barat yang membedakan teori dari
praktek. Jamak dilakukan dalam paradigma partisipatif untuk menggunakan beragam metode, karena
kebutuhan untuk mengevaluasi realitas masyarakat yang kompleks. Hasil dari analisis eklektik ini tetaplah
menunjukkan pembedaan pengetahuan (yang sebenarnya merupakan pengetahuan berbasis perbedaan
pengalaman), antara Orang Luar (OL) dan

Orang
Dalam

(
OD). Oleh karena epistemologi pragmatis tersebut hanya mungkin berjalan melalui interaksi dan
kesepakatan bersama di antara semua pihak (peneliti, informan, dan pihak lain) yang terlibat dalam
penelitian, teori yang akan dibangun perlu diletakkan atau dilegitimasi ke dalam definisi ilmu pengetahuan
dan teori berbasis kesepakatan bersama

pula.
Pemberdayaan
Masyarakat
Lapisan
Bawah

Dasar konseptual pemberdayaan (empowerment) ialah kekuasaan (power). Akan tetapi konsep kekuasaan
yang dianut tidaklah dalam pengertian tunggal selama ini, bahwa kekuasaan sebagai kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi atau memaksa pihak lain yang berkedudukan lebih rendah, agar bertingkah laku
sesuai dengan keinginan pihak yang lebih tinggi. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, konsep
kekuasaan klasik ini kini lebih tepat dibaca sebagai dominasi, yaitu suatu kekuasaan yang meliputi (power
over) pihak lain, sehingga biasa digunakan sebagai alat strategis untuk mencapai tujuan (Stewart, 2001).
Strategi utama yang dilakukan ialah dengan memobilisasi sumberdaya dari pihak yang dikuasai menuju
kepada pihak yang

menguasai.

Adapun konsep kekuasaan yang lebih tepat digunakan dalam program pembangunan masa kini
merupakan kebalikan dari dominasi, yaitu pemberdayaan (empowerment). Dalam domain kekuasaan,
pemberdayaan dimaknai sebagai kekuasaan yang digunakan terhadap orang atau pihak lain (power to)
sehingga lapisan yang terbawah sekalipun dapat membuka peluang bagi kemandirian dirinya sendiri. Arti
baru terhadap kekuasaan ini tertuju kepada kekuatannya untuk meningkatkan solidaritas di antara warga.
Solidaritas tersebut dapat bersifat struktural. Mungkin dalam konteks demikian akan muncul semacam
revolusi, atau minimal perubahan institusi yang radikal (Althusser, 2004). Institusi tersebut akan
mengembalikan alokasi sumberdaya secara adil kepada tiap pihak dalam suatu negara. Solidaritas juga bisa
dibentuk melalui dialog-dialog yang setara antar pihak (Habermas, 1989). Di sini diciptakan ruang publik
yang bebas dari penindasan. Aturan-aturan kelembagaan yang hierarkis dan kaku di tingkat lebih tinggi,
pada arena dialogis ini dilupakan. Selanjutnya tiap pihak berkomunikasi dua arah pada tataran
yang

s
ama. Pembagian komponen sosial atas sektor negara (public), masyarakat (civil society) dan swasta
(private) relevan, disebabkan beragam paradigma pemberdayaan masyarakat yang saat ini beradu, ternyata
merupakan kaki dari ketiga sektor di atas. Pemberdayaan yang bersifat desentralistis atau sebaliknya
kompromistis terhadap kekuasaan merupakan kaki dari negara. Pemberdayaan yang menekankan sifat
persaingan antar aktor menjadi perpanjangan kaki swasta. Adapun pemberdayaan sebagai

perubahan
struktural
beranjak
dari
kaki
lapisan

ba
wah. Justru dengan menyadari perbedaan posisi dan kekuatan di antara ketiga sektor tersebut, maka
diajukan alternatif pembacaan atas hubungan di antara sektor negara, swasta dan masyarakat. Solidaritas
sosial merupakan bahasa ciptaan Dr. Sajogyo, dalam kerangka menghubungkan dan mengikat ketiga sektor
tersebut. Justru karena menyadari ketidaksamaan sosial di antara ketiga sektor tersebut, maka yang
dibutuhkan ialah suatu upaya sosial untuk saling mendudukkan diri sejajar dengan yang lain. Upaya sosial
ini dapat dinyatakan sebagai reformasi dari konsep rekayasa sosial. Adapun jalan reformasi konsep tersebut
ialah melalui dialog (Habermas, 1989).

makalah aksiologi
Download this Document for FreePrintMobileCollectionsReport Document
This is a private document.

Info and Rating

guna pengetahuan
pseudo
pendidikan aksiologis
keilmuan dalam
aspek ontologis
tentang filsafat
(more tags)
Follow

ferlijajang2494
Share & Embed

Related Documents

PreviousNext
1.

p.

p.

p.

2.

p.
p.

p.

3.

p.

p.
p.

4.

p.

p.

p.

5.

p.
p.

p.

6.

p.

p.
p.

7.

p.

p.

p.

8.

p.
p.

p.

9.

p.

p.
p.

10.

p.

p.

p.

11.

p.
p.

p.

12.

p.

p.
p.

13.

p.

p.

p.

14.

p.
p.

p.

15.

p.

p.
p.

16.

p.

p.

p.

17.

p.
p.

More from this user

PreviousNext
1.

2 p.

22 p.

Recent Readcasters
Add a Comment

Submit
Characters: 400

This document has made it onto the Rising list!

12 / 30 / 2009
Ads by Google
Pendidikan
Cari/Pasang Iklan Lowongan kerja
Di berniaga.com: Cepat & Gratis!
www.berniaga.com

Universitas Luar Negeri


Program persiapan berbahasa Inggris
Jaminan Penempatan di Universitas
www.ef.com

Isa Al-Masih & Al-Fatihah


Rahasia Tersembunyi Dlm Al-Fatihah
Free Buletin Dikirim Tiap Minggu!
www.isadanislam.com

Send me the Scribd Newsletter, and occasional account related communications.

Why Sign up?

Discover and connect with people of similar interests.

Publish your documents quickly and easily.

Share your reading interests on Scribd and social sites.

Email address:
Submit
Upload a Document
Search Documents
 Follow Us!
 scribd.com/scribd
 twitter.com/scribd
 facebook.com/scribd

 About
 Press
 Blog
 Partners
 Scribd 101
 Web Stuff
 Scribd Store
 Support
 FAQ
 Developers / API
 Jobs
 Terms
 Copyright
 Privacy

Copyright © 2011 Scribd Inc.


Language:
English
scribd. scribd. scribd. scribd.

http://www.scribd.com/doc/9212538/makalah-aksiologi

Anda mungkin juga menyukai