Anda di halaman 1dari 8

UAS ARSITEKTUR DAN TEKNOLOGI (AR-5121)

Program Studi Magister Arsitektur


Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
Institut Teknologi Bandung

KAJIAN MENGENAI TEKNIK PENYUSUNAN MATERIAL KONSTRUKSI


CANDI BOROBUDUR

Ida Ayu Shanty Pradnya P. (25218004)

ABSTRAKSI
Candi Borobudur merupakan salah satu peninggalan terbesar abad ke-9 yang terletak di
Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang dan diperkirakan dibangun
sekitar abad ke VIII – IX masehi pada zaman keemanasan Dinasti Syailendra. Bangunan ini
digolongkan sebagai bangunan zaman purba dan bisa dikatakan berbeda dengan susunan
candi pada umumnya karena tidak didirikan di atas landasan datar sebagaimana lazimnya,
dan di dalamnya sama sekali tidak terdapat bilik-bilik untuk menempatkan arca pemujaan.
Candi Borobudur disusun seperti limas berundak-undak terdiri atas sembilan tingkat yang
semakin ke atas semakin kecil ukurannya, untuk akhirnya diberi mahkota sebuah stupa yang
besar. Terkait penyusunan materialnya, candi Borobudur merupakan bangunan berupa
tumpukan batu yang diletakkan di atas gundukan tanah sebagai intinya yang bagian atasnya
diratakan. Batuan penyusun Candi Borobudur berjenis andesit dengan porositas yang tinggi
yang diambil dari sunga terdekat. Dalam proses penyusunan batu andesit tersebut
mempergunakan hubungan mendatar antar batu dan diperkuat dengan beberapa jenis
sambungan. Cara penyambungan batu tanpa perekat ini dapat menjamin adanya fleksibilitas
struktur yang menyebabkan bangunan tidak mudah runtuh ketika menerima goncangan
seperti halnya gempa bumi.
Proses konstruksi Candi Borobudur merupakan salah satu pertanyaan yang belum
memiliki jawaban yang absolut karena minimnya literatur kuno berupa prasasti atau enkripsi
yang menceritakan secara pasti soal teknik pembangunannya. Salah satu asumsi yang
berkaitan dengan proses konstruksi candi ini adalah bahwa manajemen konstruksi yang baik
adalah titik berat keberhasilan struktur dan arsitektur Candi Borobudur jika ditinjau dari
proses penyusunan material yang sederhana dan waktu pengerjaan yang cukup lama.
Kata Kunci: Candi Borobudur, susunan material, proses konstruksi.
PENDAHULUAN
Bangunan-bangunan kuno yang berasal dari zaman purba Indonesia (permulaan tarikh
Masehi sampai akhir abad ke-15) biasa disebut dengan “candi”, tanpa memperhatikan fungsi
apa yang ditampungnya. Sehingga definisi candi tidak terbatas pada kuil atau tempat
pemujaan, tetapi juga gapura-gapura dan tempat-tempat pemandian juga bisa dikatakan
sebagai candi. (Soekmono, 1978) Sebagian besar candi tidak diketahui nama aslinya
sehingga candi-candi tersebut memiliki kencenderungan untuk diberi nama berdasarkan desa
tempat ditemukannya candi tersebut. Kecenderungan penamaan candi berdasarkan lokasi
ditemukannya sepertinya juga terjadi pada penamaan Candi Borobudur seperti yang dikutip
dalam babad (kitab sejarah Jawa) dari abad ke-18 ada disebutkan kata “Bukit Borobudur”.
Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten
Magelang dan diperkirakan dibangun sekitar abad ke VIII – IX Masehi pada zaman
keemanasan Dinasti Syailendra. Candi Borobudur ini dianggap berbeda dengan candi-candi
di Jawa pada umumnya, seperti Penataran, Singosari, dan Jawi. Perbedaannya bukan hanya
pada tujuan dari bangunan itu didirikan, melainkan juga teknik pembuatannya.
Candi Borobudur dibangun di atas bukit alam yang berbentuk memanjang Timur-Barat.
Punggung bukitnya telah diratakan menjadi semacam dataran tinggi, sedangkan puncaknya
menjadi tempat mendirikan candi, dan tanah datar yang membentang sebelah Barat
diperuntukkan untuk tempat membangun sebuah biara. Dataran tinggi yang menjadi halaman
candi terletak 15 meter di atas daerah disekelilingnya dan puncaknya menjulang 19 meter di
atas halaman candi tersebut. Candi dibangun mengitari dan melingkupi puncak bukit. Hal ini
menjadi menarik untuk dibahas karena susunan Candi Borobudur bisa dikatakan berbeda
dengan susunan candi pada umumnya. Candi tersebut tidak didirikan di atas landasan datar
sebagaimana lazimnya, sedangkan di dalamnya sama sekali tidak terdapat bilik-bilik untuk
menempatkan arca pemujaan. Candi Borobudur disusun seperti limas berundak-undak terdiri
atas sembilan tingkat yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya, untuk akhirnya diberi
mahkota sebuah stupa yang besar.
Data mengenai Candi Borobudur baik dari sisi desain, sejarah, dan falsafah bangunan
begitu banyak tersedia. Banyak ahli sejarah dan bangunan purbakala menulis mengenai
keistimewaan candi ini. Namun keunikan proses konstruksi dari Candi Borobudur ini
sebenarnya belum memiliki kekuatan literatur kuno berupa prasasti atau enkripsi yang
menceritakan secara pasti soal teknik pembangunan Candi Borobudur. Sehingga pokok
bahasan terkait proses konstruksinya masih menjadi kajian yang unik untuk ditelaah kembali.
Pada paper ini juga akan dijelaskan teknik penyusunan batu candi pada umumnya sebagai
bagian dari proses konstruksi Candi Borobudur yang dirasa tidak ada perbedaan yang
signifikan.dengan candi-candi lainnya.
DESAIN CANDI BOROBUDUR
Candi Borobudur adalah candi terbesar peninggalan abad ke-9. Candi ini terlihat begitu
impresif dan kokoh sehingga terkenal di seluruh dunia dunia bahkan sempat menjadi salah
satu dari tujuh keajaiban dunia. Bentuk Borobudur menggabungkan ide stupa Budha denngan
konsep Meru – gunung dunia suci – secara simbolis merepresentasikan kursi para dewa,
dengan mandala, desain geometris simbol ritual dan spiritual.
Candi Borobudur merupakan tumpukan batu yang diletakkan di atas gundukan tanah
sebagai intinya, sehingga bukan merupakan tumpukan batuan yang masif. Inti tanah juga
sengaja dibuat berundak-undak dan bagian atasnya diratakan untuk meletakkan batuan candi
(Sampurno, 1966). Candi Borobudur terlihat cukup kompleks dilihat dari bagian-bagian yang
dibangun. Terdiri dari 10 tingkat dimana tingkat 1-6 berbentuk persegi dan sisanya bundar.
Dinding candi dipenuhi oleh gambar relief sebanyak 1460 panel. Terdapat 504 arca yang
melengkapi candi.
Pembagian vertikal Candi Borobudur menjadi dasar candi, badan candi dan bagian atas
candi, secara sempurna sesuai dengan konsepsi alam semesta menurut kosmologi Budha.
Mereka meyakini bahwa alam semesta dibagi menjadi tiga bidang lapisan: Kamadhatu,
lapisan dimana kita terikat dengan keinginan-keinginan kita; Rupadhatu, lapisan dimana kita
meninggalkan keinginan kita, namun masih terikat dengan nama dan bentuk; dan
Arupadhatu, lapisan dimana sudah tidak ada lagi nama maupun bentuk. Di Candi Borobudur,
Kamadhatu diwakili oleh dasar candi, Rupadhatu oleh lima teras persegi dan Arupadhatu
oleh tiga pelataran melingkar beserta stupa besar.
Bagian bawah Candi Borobudur, yang menjadi kaki bangunannya, memiliki denah bujur
sangkar dengan penampil-penampil pada pertengahan tiap sisinya. Tanpa penampil, sisi-sisi
itu berukuran 113 x 113 meter; tetapi jika diukur pada sisi-sisi penampilnya denah itu
menjadi 123 x 123 meter. Kaki candi itu sendiri berupa batur yang tingginya tidak kurang
dari 4 meter, sedangkan bagian bawahnya dipertebal lagi dengan tembok setinggi 1,5 meter
dan tebal 3 meter.
Bagian tengah candi, yang merupakan tubuh bangunannya, terdiri dari lima tingkatan
yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya dan masing-masing denahnya berbentuk bujur
sangkar. Untuk mempertegas adanya peralihan dari bagian satu ke bagian yang lainnya maka
tubuh candi alasnya diposisikan mundur kira-kira 7 meter dari sisi batur candinya. Dengan
demikian terciptas sebuah selasar yang lebar mengitari tubuh bangunannya. Selasar lainnya
dengan dimensi yang lebih sempit terdapat pula pada tiap tingkatan yang disebabkan oleh
mundurnya dinding tiap tingkatan sejauh 2 meter. Hanya saja selasar ini dibatasi pagar-pagar
langkan pada sisi luarnya sehingga diperoleh lorong-lorong yang mengitari tubuh candi pada
tipa tingkatan.
Bagian atas Candi Borobudur berbentuk baturan bersusun tiga yang semakin ke atas
semakin kecil pula ukurannya. Denahnya tidak lagi bujur sangkar, melainkan bundar,
sehingga keseluruhannya merupakan tiga lapis lingkaran sepusat. Perbedaan lebar lingkaran
dari tingkat ke tingkat dijadikan tempat berdirinya stupa-stupa yang masih berlubang
dindingnya. Jajaran stupa yang melingkar tiga susun itu akhirnya diberi mahkota berupa
stupa induk yang besar dan menjulang hingga hampir 35 meter dari halaman candi.

Gambar 1. Potongan Candi Borobudur


(Sumber: http://manajemenproyekindonesia.com/?p=524, 2011)
Untuk mencapai puncak candi, disediakan jenjang di tengah keempat sisi bangunannya.
Jenjang ini memotong lorong-lorong yang ada pada setiap tingkat, sedangkan di tempat-
tempat persilangan terdapat gapura yang megah. Dari keempat jenjang tersebut, yang
menjadi jalur masuk utama adalah yang terdapat pada sisi timur. Hal ini disimpulkan dari
keberadaan relief-relief ceritanya yang selalu dimulai dari sisi timur. Sisa-sisa tangga batu
terdapat juga di lereng-lereng bukit yang menjadi tangga-tangga yang menghubungkan
dataran rendah sekitar candi dan halaman candi.

Gambar 2. Denah dan gambar penampang Candi Borobudur


(Sumber: Soekmono, 1978)
PENYUSUNAN MATERIAL CANDI BOROBUDUR
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa Candi Borobudur merupakan tumpukan batu
yang diletakkan di atas gundukan tanah sebagai intinya, inti tanah yang berfungsi sebagai
tanah dasar atau tanah pondasi Candi Borobudur dibagi menjadi 2, yaitu tanah urug dan tanah
asli pembentuk bukit. Tanah urug adalah tanah yang sengaja dibuat untuk tujuan
pembangunan Candi Borobudur, disesuaikan dengan bentuk bangunan candi. Menurut
Sampurno, tanah ini ditambahkan di atas tanah asli sebagai pengisi dan pembentuk morfologi
bangunan candi. Tanah urug ini sudah dibuat oleh pendiri Candi Borobudur, bukan
merupakan hasil pekerjaan restorasi. Ketebalan tanah urug ini tidak seragam walaupun
terletak pada lantai yang sama, yaitu antara 0,5-8,5 m.

Gambar 3. Lapisan tanah pembentuk inti Candi Borobudur


(Sumber: http://manajemenproyekindonesia.com/?p=524, 2011)
Batuan penyusun Candi Borobudur berjenis andesit dengan porositas yang tinggi, kadar
porinya sekitar 32%-46%, dan antara lubang pori satu dengan yang lain tidak berhubungan.
Kuat tekannya tergolong rendah jika dibandingkan dengan kuat tekan batuan sejenis. Dari
hasil penelitian Sampurno (1969), diperoleh kuat tekan minimum sebesar 111 kg/cm2 dan
kuat tekan maksimum sebesar 281 kg/cm2. Berat volume batuan antara 1,6-2 t/m3.
(Suananda, 2011)
Batu yang menjadi bahan bangunan Candi Borobudur tidak diambil dari galian-galian,
melainkan berasal dari sungai-sungai terdekat. Batu-batu tersebut kemudian dibentuk sesuai
dengan keperluan, kemudian diangkut ke tempat pembangunan candi untuk akhirnya disusun
menjadi dinding dan alas candi. Dalam penyusunan ini tidak mempergunakan mortel atau
bahan perekat lain melainkan mempergunakan hubungan mendatar antar batu dan diperkuat
dengan beberapa jenis sambungan. Cara penyambungan batu tanpa perekat ini dapat
menjamin adanya fleksibilitas struktur yang menyebabkan bangunan tidak mudah runtuh
ketika menerima goncangan seperti halnya gempa bumi. Adapun beberapa sambungan batu
yang diterapkan pada Candi Borobudur antara lain sebagai berikut.
1. Sambungan batu dengan tipe ekor burung
Sambungan batu tipe ekor burung ini adalah sambungan yang dipergunakan hampir
diseluruh bagian dinding Candi Borobudur. Kekutana sambungan ini terletak pada
bentuk menyudut yang lebih lebar pada arah keluar sehingga memiliki daya tahan
terhadap gaya tarikan.

Gambar 4. Sambungan batu dengan tipe ekor burung pada Candi Borobudur
(Sumber: Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, 2010:32)

2. Sambungan batu dengan tipe takikan


Sambungan batu tipe takikan ini pada dasarnya sambungan yang memanfaatkan
tonjolan-tonjolan yang sengaja disisakan untuk nantinya dimasukan ke lubang batu
lainnya baik secara horizontal maupun vertikal. Sambungan ini banyak terdapat pada
kala, doorpel, relung dan gapura dari Candi Borobudur.
Gambar 5. Sambungan batu dengan tipe takikan pada Candi Borobudur
(Sumber: Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, 2010:32)

3. Sambungan batu dengan tipe alur dan lidah


Sambungan batu tipe alur dan lidah adalah sambungan tegak lurus yang
memanfaatkan lekukan pada permukaan tiap batu sehingga batu yang satu dengan
yang lainnya saling mengait satu sama lain. Sambungan ini terdapat pada pagar
langkan selasar dan batu ornament makara di kanan dan kiri tangga undag dan
selasar.

Gambar 6. Sambungan batu dengan tipe alur dan lidah pada Candi Borobudur
(Sumber: Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, 2010:33)

4. Sambungan batu dengan tipe purus dan lubang


Sambungan ini banyak terdapat pada batu antefik dan kemuncak pagar langkan.

Gambar 7. Sambungan batu dengan tipe purus dan lubang


(Sumber: Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, 2010:33)
HIPOTESIS TERKAIT PROSES KONSTRUKSI CANDI BOROBUDUR
Proses konstruksi Candi Borobudur ini merupakan salah satu pertanyaan yang belum bisa
dijelaskan secara gamblang dan dengan jawaban yang absolut karena minimnya literatur
kuno berupa prasasti atau enkripsi yang menceritakan secara pasti soal teknik
pembangunannya. Sampai pada tahun 1920, Edward Leedskalinin mulai membangun Coral
Castle seorang diri selama 30 tahun dan mengemukakan bahwa ia telah menemukan rahasia-
rahasia piramida dan bagaimana cara orang Mesir Purba, Peru, Yucatan, dan Asia (candi)
mengangkat batu yang beratnya berton-ton hanya denga peralatan primitif. Coral Castle
sendiri adalah struktur bebatuan yang terletak di Homestead, Florida. Struktur ini terdiri dari
batu-batu megalitik yang masing-masing memiliki berat beberapa ton. Kebanyakan batu
yang digunakan adalah jenis batu oolite yang mengandung fosil cangkang dan coral. Hingga
akhir hayatnya, Edward memang tidak pernah mengungkapkan proses konstruksi yang
dilakukannya seorang diri, namun keberadaan Coral Castle ini membuktikan bahwa
bangunan-bangunan megalitik pembangunannya dapat dijelaskan secara ilmiah.
Salah satu pendapat ilmiah terkait proses konstruksi Candi Borobudur diungkapkan oleh
Budi Suananda, seorang praktisi dan akademisi manajemen proyek dalam blog pribadinya.
Adapun beberapa hipotesis yang diungkapkan antara lain sebagai berikut.
1. Material utama Candi Borobudur adalah batuan andesit berporositas tinggi dengan
berat jenis 1, 6-2,0 t/m3. Diperkirakan terdapat 55.000 m3 batu pembentuk candi atau
sekitar 2 juta batuan dengan ukuran batuan berkisar 25 x 10 x 15 cm. Berat per
potongan batu sekitar 7,5 – 10 kg. Potongan batu tersebut dirasa cukup ringan dan
tidak memerlukan teknologi apapun. Masalah yang mungkin muncul adalah medan
miring yang harus ditempuh. Namun dengan melihat kenyataan bahwa berat per
potongan batu adalah hanya 7.5 kg, sehingga medan miring yang berundak-undak
tidak menjadi permasalahan.
2. Sumber material batu diambil dari sungai sekitar candi. Hal ini berarti jarak antara
quarry dan site cukup dekat. Walaupun jumlahnya mencapai 2.000.000 potongan,
namun massa material tiap potong batu cukup ringan dan dekatnya jarak angkut, hal
ini berarti proses pengangkutan pun dapat dilakukan dengan mudah tanpa perlu
teknologi khusus.
3. Candi dibangun dalam jangka waktu yang cukup lama. Ada yang mengatakan 23
tahun ada juga yang mengatakan 92 tahun. Jika berasumsi proses konstruksi
dilakukan 23 tahun, dengan persiapan lahan dan material awal adalah 2 tahun, maka
masa pemasangan batu adalah 21 tahun atau 7665 hari. Terdapat 2 juta potong batu.
Produktifitas pemasangan batu adalah 2000000/7665 = 261 batu/hari. Produktifitas
ini rasanya sangat kecil. Tidak perlu cara apapun untuk menghasilkan produktifitas
yang kecil tersebut. Apalagi menggunakan data durasi pelaksanaan yang lebih lama.
Dari beberapa poin hipotesis tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada teknologi
khusus yang sebenarnya diperlukan dalam pengerjaan Candi Borobudur dan masih
memungkinkan bahwa pengerjaan candi ini hanya memanfaatkan tenaga manusia. Proses
konstruksinya pun cukup sederhana jika ditinjau dari penyusunan material yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Dari asumsi-asumsi ilmiah yang ada, Candi Borobudur yang bernilai
baik dari sisi desain baik teknik sipil maupun seni arsitektur memiliki keunggulan
manajemen proyek yang cukup baik di masanya, bukan pada teknologi yang digunakan.

KESIMPULAN
Candi Borobudur sebagai peninggalan terbesar abad ke-9 di Indonesia, secara sederhana
dijelaskan terbentuk dari tumpukan batu yang diletakkan di atas gundukan tanah sebagai
intinya. Inti tanah juga sengaja dibuat berundak-undak dan bagian atasnya diratakan untuk
meletakkan batuan candi. Batuan penyusun Candi Borobudur berjenis andesit dengan
porositas yang tinggi yang diambil dari sunga terdekat. Dalam proses penyusunan batu
andesit tersebut mempergunakan hubungan mendatar antar batu dan diperkuat dengan
beberapa jenis sambungan. Cara penyambungan batu tanpa perekat ini dapat menjamin
adanya fleksibilitas struktur yang menyebabkan bangunan tidak mudah runtuh ketika
menerima goncangan seperti halnya gempa bumi. Proses penyusunan material yang
sederhana dan waktu pengerjaan yang cukup lama membuat proses konstruksi Candi
Borobudur menitikberatkan pada manajemen konstruksi yang baik bukan pada teknologi
yang digunakan kala itu.

DAFTAR PUSTAKA
Alvarez A. 2003. The Borobudur Temple Compounds, World Heritage. UNESCO Publishing
Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. 2010. Kearsitekturan Candi Borobudur, ISBN
Seri Terbitan Candi Borobudur – 3
Ministry of Education and Culture Republic of Indonesia & UNESCO. 2013. Conserving the
Borobudur Temple for the Future. Jakarta
Lake, Carol A. 1950. Coral Castle Book. Historical Museum of Southern Florida
Soekmono. 1978. Candi Borobudur. Firma Ekonomi: Bandung
Suandana, Budi. 2011. Misteri Pembuatan Candi Borobudur. Tersedia pada:
http://manajemenproyekindonesia.com/?p=524. Diakses pada tanggal 23 November
2018

Anda mungkin juga menyukai