Anda di halaman 1dari 33

Alam pun Butuh Hukum & Keadilan

© Mas Achmad Santosa,

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


All rights reserved

Penataletak / Desain sampul


S Mediana

Penerbit: as@-prima pustaka


Jl. Hikmah No. 141 Cilangkap
Jakarta Timur

as@ 021_01.02.016
Cetakan pertama: 2016

ISBN 978-602-14145-7-6
MEMBUKA AKSES
KEADILAN MELALUI
CITIZEN LAW SUIT (CLS)
DI INDONESIA
Mas Achmad Santosa,
Margaretha Quina
dan Lakso Anindito
AWAL PENGAKUAN CLS DI INDONESIA : MENGAPA
DAN BAGAIMANA?
Penerimaan pertama CLS (gugatan warganegara) di Indonesia
dilakukan dalam kasus Nunukan yang diajukan oleh Munir, cs. mengenai
Penelantaran Negara terhadap TKI Migran yang dideportasi di Nunukan,
diputus oleh PN Jakpus dalam Putusan No: 28/PDT.G/2003/PN. Gugatan
perdata Munir, cs. merupakan gugatan pertama yang mendalilkan CLS
sebagai dasar kedudukan hukum para pihak dan menuntut diterimanya
dalil-dalil hukum mengenai gugatan warga Negara.

Sekalipun pertimbangan hakim mengenai CLS dalam kasus ini masih


belum sempurna, dan belum menjawab persyaratan formil CLS, namun
diterimanya CLS dalam perkara ini merupakan langkah progresif dari
majelis hakim dalam hal akses terhadap keadilan. Sebelum mencermati
substansi CLS yang dipahami saat awal pengakuannya, penting untuk
memahami pertimbangan para hakim dalam menerima konsepsi ini
melalui putusan Nunukan.

Dari pertimbangan hukum majelis hakim di Putusan Nunukan, majelis


hakim merujuk pada pasal-pasal berikut, yaitu :

1. Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan


Kehakiman, yaitu “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat
dan berbiaya ringan”

2. Pasal 5 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004, yaitu “Pengadilan membantu


pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat,
dan berbiaya ringan”

3. Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, yaitu “Pengadilan tidak


boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya,”

Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, yaitu “Hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”

Pertimbangan ini tercermin kembali dalam perkara-perkara CLS lainnya


yang telah diputus hingga saat ini, di mana dasar hukum penerimaan CLS
merujuk pada Pasal 14 ayat (1) dan pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 atau
pasal-pasal yang bernafas sama dalam UU yang memperbaruinya. Pasal 14

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 175
ayat (1) menyatakan bahwa,

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan


memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.”

Sementara pasal 28 ayat (1) menyatakan,

“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai - nilai


hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”

Kedua pasal ini merupakan dasar dari dilakukannya penemuan hukum


dan pembaruan hukum oleh hakim, akan tetapi belum melihat secara lebih
fundamental mengenai hubungan antara kapasitas sebagai Warga Negara
dengan kepentingan publik secara luas yang menjadi objek gugatan CLS.

Mengenai substansi CLS, kasus Nunukan merupakan perkara yang


mempengaruhi konsepsi CLS di Indonesia dalam memutus kasus-kasus
CLS berikutnya. Hal ini tampak dari beberapa substansi dari Putusan
Nunukan yang dikutip para hakim dalam memutus kasus-kasus serupa
berikutnya, seperti kasus UN dan KPU. Semangat penerobosan hukum
dan pemenuhan hak dasar warga negara tampaknya merupakan alasan
utama yang menonjol dalam pertimbangan hakim,

“Bahwa dengan mengacu pada landasan yuridis, filosofis dan moral


dalam rangka sistem dan doktrin hukum, maka Majelis Hakim berpendapat
bahwa dalam instrumen citizen suit atau actio popularis, hak mengajukan
gugatan bagi warga negara tidak harus orang yang mengalami sendiri
kerugian secara langsung, dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus
dari anggota masyarakat yang diwakili.”

Mahkamah Agung sendiri dalam pertimbangan perkara belum


memberikan batasan yang jelas mengenai kriteria atau karakter CLS.
Salah satu rujukan ilmiah yang muncul dalam pertimbangan MA di
perkara CLS KPU adalah pendapat dari Michael D. Axline dalam bukunya
Environmental Citizen Suit, yang menyatakan bahwa terminologi ‘citizen
suit’ digunakan sedemikian luasnya. Semua bentuk tindakan dimana
warga Negara mencapai perlindungan terhadap hak-hak publik, termasuk
tindakan-tindakan yang menentang peraturan pemerintah, termasuk
dalam citizen suit.

Masih dalam perkara CLS KPU, MA merujuk pada pertimbangan hakim


dalam CLS UN yang mendefinisikan CLS sebagai:

176 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


“Gugatan perwakilan dengan mengatasnamakan kepentingan
umum yang diajukan oleh warga Negara atau kelompok warga
Negara. Dalam bentuk gugatan ini, warga Negara yang mengajukan
gugatan tidak perlu membuktikan bahwa dirinya mewakili
kepentingan hukum atau sebagai pihak yang mengalami kerugian
secara langsung (riil).”

Pada 2009, dalam penelitian Mahkamah Agung mengenai class action


dan citizen law suit, MA memaparkan CLS sebagai:

“[...] perwujudan akses individu/perorangan warga Negara untuk


kepentingan keseluruhan warga Negara, atau kepentingan publik
dimana setiap warga Negara dapat melakukan gugatan terhadap
tindakan atau bahkan pembiaran (omisi) oleh Negara terhadap
hak-hak warga Negara. [...] Pengertian citizen lawsuit adalah
mekanisme bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab
penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak hak
warga negara.”

Definisi sebagaimana dikutip di atas memberikan konsekuensi bahwa


CLS diterima secara luas, yang menitikberatkan adanya kelalaian Negara
dalam memenuhi hak-hak warga negara. Namun, dalam pertimbangan
hakim, hak-hak warga Negara tidak didefinisikan secara jelas, akan tetapi
dijelaskan dalam pertimbangan mengenai hak asasi manusia dan tanggung
jawab Negara terkait dengan hak tersebut.

Dimensi hak asasi manusia ini terlihat dalam Putusan CLS KPU, dimana
hakim menggarisbawahi kepentingan dan kedudukan hukum warga
Negara untuk memperjuangkan dan membela hak asasi manusia terhadap
penyelenggara Negara, yang karena kelalaian atau kesengajaannya telah
mengakibatkan hak untuk memilih dalam Pemilu. Ditegaskan pula bahwa
berdasarkan definisi CLS sebagaimana dikutip dari Putusan CLS terkait
UN maupun CLS terkait KPU (yang mendasarkan pada pendapat Michael
D. Axline), CLS mencakup kepentingan akan hak-hak asasi warga Negara.

Konsep lain yang dirujuk dalam pertimbangan hakim dalam perkara CLS
KPU adalah konsep ‘tanggung jawab Pemerintah’ yang berlandaskan Pasal
8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan
bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Ditegaskan
dalam pertimbangan Hakim, bahwa berdasarkan tanggung jawab Negara
tersebut, jika Negara atau Pemerintah ‘dianggap’ tidak melaksanakan

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 177
tanggung jawab tersebut, setiap warga Negara berhak untuk mengajukan
gugatan atas kelalaian maupun kesengajaan Negara atau Pemerintah.

Terlihat jelas dalam putusan MA bahwa nafas konstitusionalitas


dalam CLS merupakan suatu unsur yang khas dari CLS di Indonesia.
Pertimbangan kasus KPU tersebut adalah salah satu butir pertimbangan
hakim dalam memutus diterimanya CLS merujuk pada Yurisprudensi
Mahkamah Agung No: 383/K1Sip/1970 yang menyatakan bahwa gugatan
perbuatan melawan hukum dapat diajukan dengan berdasarkan pada
pelanggaran terhadap hak asasi warga negaranya.

Dalam putusan Perkara CLS KPU, hakim merujuk pada kosepsi


‘kepentingan umum’ dalam Black’s Law Dictionary, yang menyatakan
kepentingan umum (public interest) adalah kepentingan masyarakat luas
ataupun warga Negara secara umum yang berkaitan dengan pemerintah
atau Negara.

Sementara itu, dari beberapa rujukan hakim dalam perkara, tampak


bahwa para hakim memang menyepakati bahwa CLS merupakan konsep
gugatan yang berasal dari common law. Hakim dalam perkara CLS
KPU maupun CLS UN menyatakan bahwa CLS adalah konsep gugatan
yang berasal dari sistem common law, yang sayangnya tidak dianalisis
lebih lanjut mengenai perbandingannya dalam civil law. Hal ini tidak
sepenuhnya tepat, karena di AS, CLS sendiri bukan merupakan konsep
yang tumbuh dari common law, melainkan merupakan private rights of
action (‘PRA’) yang diberikan oleh Kongres secara spesifik dalam undang-
undang tertentu.

Berbeda pula dengan konsep aslinya serta praktek di beberapa Negara


di mana CLS pertama kali diterima dan diadopsi dalam konteks hukum
lingkungan, di Indonesia akar gagasan CLS justru muncul secara lebih
umum dari konsep mengenai hak warga Negara. Lebih spesifik, dalam
penanganan perkara lingkungan hidup, Mahkamah Agung memberikan
pedoman kepada para hakim bahwa CLS merupakan salah satu hak gugat
yang diakui.

Mengenai penerobosan hukum yang dilakukan, penting untuk melakukan


analisis terhadap putusan-putusan hakim untuk melihat apakah terdapat
penemuan hukum. Syarat-syarat dari penemuan hukum adalah:

a. Diskursus hukum, yang menunjuk pada proses intelektual untuk


mempengaruhi pikiran dan tindakan secara langsung, preservasi
dan pengembangan tradisi dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam

178 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


masyarakat hukum, preservasi dan pengembangan tradisi dan nilai-
nilai profesi hukum;

b. Retorika hukum, yang bercirikan ‘appeal to authority’ (mengacu


pada otoritas, kewenangan dan dasar hukum), yang berarti alasan-
alasan yang dikemukakan untuk melandasi suatu pendapat selalu
mengacu pada perangkat sumber hukum;

c. Logika hukum, yang bercirikan adanya:

i. Konsistensi dalam aturan-aturan hukum dan putusan-putusan


hukum;
ii. Mengacu pada aturan-aturan hukum;
iii. Mempertimbangkan klaim yang saling berlawanan yang diajukan
oleh para pihak.
Pada tataran praktik di Indonesia, berbagai putusan CLS hampir selalu
disamakan dengan actio popularis. Puslitbang MA memiliki pemahaman
bahwa terdapat kemungkinan kualifikasi CLS dalam konteks civil law
adalah actio popularis.1 Dalam putusan Nunukan, hakim merujuk actio
popularis sebagai padanan dari citizen suit di Indonesia. Putusan Nunukan
merupakan putusan pertama yang merujuk actio popularis sebagai
padanan CLS, dan kemudian diikuti oleh beberapa putusan berikutnya,
secara tekstual dengan rumusan ‘citizen lawsuit atau actio popularis’ –
yang sayangnya belum dielaborasi lebih mendalam mengenai kesamaan
dan perbedaan kualifikasi hukumnya.2

Konsep actio popularis yang diterima di Belanda juga terkait erat dengan
akses keadilan dalam hal lingkungan hidup, sebagaimana dinyatakan
dalam Introduction to Dutch Law,

“Konsepsi actio popularis berhubungan erat dengan akses keadilan


dalam hal-hal terkait lingkungan hidup, di mana warga negara
yang tidak memiliki kepentingan spesifik terkait dengan substansi
perkara dapat mengajukan gugatan ke pengadilan administratif
terkait perizinan dan kebijakan yang diambil. Filosofi yang
melandasi pengaturan yang lebih liberal dalam hal penerimaan
kedudukan ini adalah bahwa ketika kepentingan lingkungan
terancam, setiap orang harus dapat mencegah lingkungan hidup

1 Puslitbang MA, Op.cit., hlm. 53


2 Beberapa kasus yang memuat perumusan yang sama dalam membandingkan CLS
dengan Actio Popularis adalah PN Jakarta Pusat dalam perkara Standarkiaa v. Negara
Republik Indonesia cq. Komisi Pemilihan Umum, putusan akhir oleh Mahkamah
Agung No: 2801K/Pdt/2009.

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 179
dari dampak yang mungkin terjadi.”3

Apabila ditelusuri lebih jauh, actio popularis berasal dari bahasa Latin
‘actio’ dan ‘populi’ yang jika diterjemahkan secara harafiah berarti “Action
at law of the people”.4 Oxford Guide to Latin in International Law
mendefinisikan actio popularis sebagai,

‘Hak publik untuk mengajukan gugatan atau penuntutan. Dalam


hukum domestik, terminologi ini seringkali digunakan untuk
merujuk pada hak warga Negara (privat) untuk mengajukan
tindakan hukum mewakili negara, misalnya tindakan qui tam,’5

Pada perkembangannya, pengaturan legal standing berbeda-beda di


negara civil law. Di Portugal, bagian bagian ke- 4 dari Undang-undang
Actio Popularis dan Prosedur Partisipasi Publik (the Actio Popularis
and Participation Procedures Law) menjamin hak dari setiap warga
negara dan organisasi yang memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan,
sebagaimana berikut:

“Any citizen in full enjoyment of his/her civil and political rights


having or not a direct interest in the claim . . . ; Associations and
foundations that fulfill certain requirements . . .”

Hal tersebut didukung oleh penelitian para ahli. Menurut Lilla Farkas,
praktisi hukum dari Hongaria, menjelaskan bahwa berdasarkan racial
equality directive yang diadopsi tahun 2000 oleh Uni Eropa, NGO
Standing seharusnya diakui sebagai salah satu standing dari actio
popularis, sebagaimana dijabarkannya,

“Adopted in 2000, the Racial Equality Directive is a new-age


human rights instrument whose enforcement mechanism is
directly rooted in the national sphere through equality bodies
and judicial oversight culminating in preliminary referrals to the
European Court of Justice. It is supported by procedural tools that
member states were either obliged to introduce in their domestic
legal regimes or opted to provide themselves, such as actio
popularis standing of non governmental organisations.”

3 Jeroen M. J. Chorus, Piet-Hein Gerver, Ewoud Hondius, Ed., Introduction to Dutch Law,
4th Edition, (Alpen aan den Rijn, Nederlands: Kluwer Law International, 2006), hlm.
373
4 Jeroen M. J. Chorus, Piet-Hein Gerver, Ewoud Hondius, Ed., Introduction to Dutch Law,
4th Edition, (Alpen aan den Rijn, Nederlands: Kluwer Law International, 2006), hlm.
373
5 Ibid.

180 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, telah tergambar bahwa konsep
asal actio popularis bertujuan membuka akses dalam memperjuangkan
kepentingan publik bagi siapapun sesuai regulasi untuk mengajukan
gugatan termasuk di dalamnya gugatan yang diajukan oleh organisasi
kemasyarakatan maupun individu yang dirugikan secara langsung
sehingga actio popularis melingkupi CLS dan NGO Standing. (Lihat Bagan
1)

Bagan 1

Citizen
Law Suit

ACTIO POPULARIS

NGO
Standing

Berdasarkan penjelasan di atas, apabila dikaitkan dengan actio popularis,


CLS merupakan salah satu bagian dari tindakan actio popularis. Akan
tetapi, tidak berarti setiap actio popularis adalah CLS. Tindakan actio
popularis dapat berupa NGO standing to sue maupun CLS.

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 181
DAMPAK CLS DALAM PENEGAKAN HUKUM DAN
KEADILAN DI INDONESIA
Untuk dapat memahami dampak dari penerapan CLS maka diperlukan
kajian atas penerapan CLS pada kasus-kasus di Indonesia. Walaupun
secara umum cukup sulit untuk mengukur efektivitas penerapan CLS
di Indonesia karena penerapan konsep tersebut relatif masih minim di
Indonesia. Selain itu, kasus-kasus yang diajukan dengan standing CLS
cenderung stagnan dan belum terlihat keseragaman dalam penerimaan.
Berikut adalah beberapa kasus yang diajukan dengan CLS sebagai bahan
pertimbangan.

Kasus Komari dkk Vs. Negara Republik Indonesia Cq. Pemda


Kaltim dll

a. Abstraksi Kasus
Perkara dengan Nomor Perkara Putusan PN SAMARINDA Nomor 55/
Pdt.G/2013/PN.Smda Tahun 2014 antara Komari dkk yang menggungat
Negara Republik Indonesia Cq. Pemerintah RI Cq. Pemerintah Propinsi
Kalimantan Timur Cq. Pemerintah Kota Samarinda Cq. Walikota
Samarinda atas kelalaian dalam melaksanakan kewajiban untuk
menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat khususnya dengan
banyaknya tambang di Kalimantan Timur. Hal tersebut menyebabkan
kerugian bagi warga negara pada umumnya dan warga samarinda pada
khususnya. Gugatan tersebut dimulai pada 25 Juni 2013 dan diputuskan
pada hari Rabu, 16 Juli 2014 di Pengadilan Negeri Samarinda. Perkara ini
ditangani oleh Majelis Hakim Sugeng Hiyanto, SH., MH (Ketua Majelis),
Hongkun Otoh, SH., MH dan Yuli Effendi, SH., M.Hum (Anggota Majelis
Hakim) serta Mulyanto, SH sebagai panitera.

b. Legal Standing
Penggugat mendasarkan gugatan dengan kerugian yang dialami warga
negara atas lalainya pemerintah dalam menjaga lingkungan hidup dengan
memberikan izin dan membiarkan aktivitas pertambangan yang merusak
lingkugan. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim mempertimbangkan
baik penafsiran undang-undang, putusan dan Surat Keputusan Mahkamah
Agung.

Undang-undang Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48


Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :

182 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.”(Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman)

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,


dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.” (Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman)

Berdasarkan pasal tersebut majelis menafsirkan bahwa CLS merupakan


salah satu upaya hakim untuk menggali hukum yang hadir di masyarakat
dan di sisi lain hakim tidak diperbolehkan menolak perkara. Hal tersebut
diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung No: 2596/PDT/2008 dimana
ditafsirkan bahwa penggalian hukum juga seharusnya dilakukan dalam hal
formil (hukum acara perdata) demi terwujudnya rasa keadilan masyarakat.
Hal tersebut didukung pula dengan pernyataan dalam putusan Mahkamah
Agung tersebut, yaitu :

“Bahwa gugatan yang diajukan para Penggugat sebagai Warga


Negara Republik Indonesia yang memiliki kepentingan dan
kedudukan Hukum dalam memperjuangkan pemenuhan hak
asasi manusia setiap Warga Negara Republik Indonesia dalam
mekanisme gugatan Warga Negara terhadap penyelenggara
Negara (Citizen Lawsuit) merupakan terobosan hukum yang
dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan teknis di lembaga
peradilan dalam upaya penegakan keadilan dan kebenaran bagi
seluruh Warga Negara Republik Indonesia”

Serta yang terakhir mengambil juga dasar pertimbangan bahwa telah


diakuinya CLS (dalam hal ini diasosiasikan dengan actio popularis oleh
majelas hakim) dalam Bab IV Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
RI No.36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan
Perkara Lingkungan Hidup. Berdasarkan dasar-dasar tersebut maka
hakim mengakui bahwa warga negara memiliki kedudukan hukum (legal
standing).

c. Pokok Perkara dan Pembuktian


Penggugat mendasarkan bahwa telah terjadinya kelalaian dalam menjaga
lingkungan hidup melalui pemberian izin pertambangan secara berlebihan
sehingga menyebabkan perubahan iklim yang merugikan warga negara
pada umumnya dan warga Samarinda pada khususnya. Penggugat juga

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 183
berupaya untuk memberikan contoh dampak yang diterima oleh warga
negara secara langsung. Hal tersebut ditunjukkan melalui meningkatnya
terjadinya banjir sejak 2008, kekeringan di 9 (Sembilan) daerah, banjir
lumpur di beberapa kawasan yang menyebabkan rusaknya sumber air,
sawah dan banjir, serta meninggalnya 9 (Sembilan) anak akibat lubang
pasca tambang yang tidak direklamasi (masing-masing disebutkan
lokasinya). Hal-hal tersebut didukung pula oleh ahli yang dihadirkan
penggugat.

d. Putusan
Berdasarkan putusan, dalam provisi Majelis Hakim menolak tuntutan
provisi Para Penggugat. Di sisi lain, Majelis Hakim menolak eksepsi Para
Tergugat III dan dalam pokok perkara:

1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan PARA TERGUGAT lalai dalam melaksanakan


kewajibannya untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan
sehat yang mengakibatkan kerugian kepentingan umum bagi warga
Negara, khususnya warga Kota Samarinda;

3. Menghukum Para Tergugat untuk mengatur kembali suatu


kebijakan umum mengenai pertambangan batu bara yang meliputi:
evaluasi terhadap seluruh izin pertambangan batu bara yang
telah dikeluarkan, mengawasi pelaku usaha untuk merealisasikan
reklamasi dan pascatambang, perbaikan fungsi lingkungan hidup,
melakukan upaya strategis dalam perlindungan kawasan pertanian
dan perikanan masyarakat dari pencemaran sebagai akibat kegiatan
pertambangan batu bara;

4. Menolak gugatan Para Penggugat selain dan selebihnya; dan

5. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara


yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng sebesar
Rp.1.751.000,- (Satu Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Satu Ribu
Rupiah).

Putusan ini merupakan putusan pertama yang menerima gugatan dari


penggunggat dengan pendekatan CLS walaupun tidak seluruh gugatan
diterima. Melalui putusan ini maka pemerintah diwajibkan untuk membuat
suatu kebijakan yang memperbaiki kondisi lingkungan hidup khususnya
tata kelola pertambangan sehingga dapat menghindari kerugian warga
negara.

184 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


Kasus Kristiono Dkk Vs Pemerintah Republik Indonesia Cq.
Kementerian Pendidikan Dll

a. Abstraksi Kasus
Perkara ini berkaitan dengan gugatan warga negara yang merasa
pemberlakuan Ujian Nasional (UN) merupakan kebijakan yang tidak tepat
dan mengganggap kebijakan tersebut merugikan warga negara. Warga
meminta agar negara dinyatakan lalai dalam menjamin perlindungan
hak pendidikan yang baik bagi warga negara. Gugatan ini diajukan oleh
Kristiono Dkk melawan Negara Republik Indonesia Cq. Presiden Republik
Indonesia Cq. Wakil Presiden Republik Indonesia Cq. Menteri Pendidikan
Cq. Badan Standarisasi Nasional. Kasus tersebut diputus pada tingkat
pengadilan negeri dengan putusan No.228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST
tanggal 21 Mei 2007 dan diputus pada tingkat banding yang menguatkan
putusan PN dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan
No.377/PDT/2007/PT.DKI tanggal 6 Desember 2007. Putusan tersebut
kembali diperkuat dengan Putusan pada tingkat Mahkamah Agung dengan
putusan Nomor No.2596 K/PDT/2008.

b. Legal Standing
Mahkamah Agung mempertimbangkan pertimbangan dari putusan baik
pengadilan tingkat pertama maupun tinggi yang mendasarkan hak gugat
warga negara pada beberapa pertimbangan. Pertimbangan putusan yang
sudah dilakukan sebelumnya maupun peraturan perundangan. Pertama
melalui pertimbangan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili


dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan untuk memeriksa
dan mengadilinya;” (Pasal 16 ayat (1))

“Hakim wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai


hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;” (Pasal
28 ayat (1))

Penggunaan dasar hukum tersebut tersebut menekankan pada tugas


hakim untuk dapat secara aktif menemukan hukum dan menggali rasa
keadilan yang hadir di masyarakat. Dasar yang digunakan tidak jauh
berbeda dengan alasan yang digunakan pada kasus pertama yang mengakui
legal standing dari pengajuan CLS yang juga dirujuk sebagai putusan yang

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 185
mengakui CLS. Putusan gugatan Citizen Law Suit di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan perkara No.28/Pdt.G/2003 /PN.JKT.PST yang
diputus tanggal 08 Desember 2003 oleh Andi Sansan Nganro. SH. selaku
Ketua Majelis Hakim, H. lskandar Tjake, SH. dan Ny. Andriani Nurdin, SH.
masing-masing sebagai Hakim Anggota Majelis Hakim telah mengakui
adanya Gugatan Citizen Law Suit. Hal yang menarik adalah penggugat
menyertakan pula inovasi-inovasi lain yang ada dalam berbagai putusan
seperti class action dan NGO Standing.

c. Pokok Perkara dan pembuktian


Penggugat menggunakan pendekatan bahwa telah mengalami kerugian
atas hak warga negara melalui beberapa pendekatan yang dikerucutkan
dalam pelanggaran atas asas-asas tata pemerintahan yang baik. Penggugat
menggungkapkan mulai dari terhambatnya akses untuk dapat kuliah
di perguruan tinggi, penilaian yang mengabaikan proses pendidikan
yang telah berlangsung selama 3 (tiga) tahun, sampai kebijakan yang
mengakibatkan tekanan kejiwaan (baik bunuh diri maupun tekanan
perilaku akibat stress yang lain). Hal tersebut menjadi pertimbangan
hakim sehingga memutuskan untuk mengabulkan gugatan.

d. Putusan
Hakim menguatkan putusan pengadilan negeri dan tinggi yang menolak
eksepsi, menolak Provisi Para Penggugat dan dalam pokok perkara:

1. Mengabulkan gugatan Subsidair Para Penggugat;

2. Menyatakan :

a. Tergugat I, Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik


Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono;

b. Tergugat II, Negara Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia cq.


Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden Republik Indonesia, M. Yusuf
Kalla;

c. Tergugat III, Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik


Indonesia cq. Menteri Pendidikan Nasional cq. Bambang Sudibyo;

d. Tergugat IV, Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik


Indonesia cq. Menteri Pendidikan Nasional cq. Ketua Badan Standar
Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro;

186 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


e. Telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak
Asasi manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban
Ujian Nasional (UN) khususnya hak atas pendidikan dan hak-hak
anak;

3. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas


guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah akses informasi
yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan
kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut;

4. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-


langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental
peserta didik akibat penyelenggaran Ujian Nasional;

5. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali


Sistem Pendidikan Nasional; dan

6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang


hingga kini berjumlah Rp.374.000,- (tiga ratus tujuh puluh empat
ribu rupiah).

Pada putusan tersebut pemerintah diminta untuk melakukan upaya


tertentu untuk memulihkan keadaan dan mencegah terjadinya suatu
kebijakan. Selain itu, pemerintah diminta untuk mengevaluasi kembali
sistem pendidikan nasional yang didalamnya terdapat UN. Putusan
itu menunjukan fungsi CLS “memaksa” pemerintah untuk melakukan
perbuatan tertentu dan mengevaluasi suatu kebijakan.

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 187
Tabel 1.1. Rekapitulasi Gugatan CLS
ISI PUTUSAN SIGNIFIKANSI
KASUS PUTUSAN
TERKAIT CLS PUTUSAN
Dikeluarkannya
UU No. 39 Tahun
2004 tentang
Menerima
PN Jakarta Pusat Penempatan dan
legal standing
(Putusan No: 28/ Perlindungan
Penggugat dengan
PDT.G/2003/PN) TKI (sesuai
Munir cs. CLS
dengan amar
(Kasus
putusan yang
Penelantaran
memerintahkan
Negara terhadap
TKI Migran yang
dideportasi di Gugatan para
Nunukan) penggugat ditolak
PT DKI Jakarta
seluruhnya karena
(Putusan No: 480/ -
para penggugat
PDT/2005/PT DKI
tidak terbukti telah
melakukan PMH;

Bentuk gugatan Tidak ada.


LBH Apik CLS tidak diterima Justru
PN Jakarta Pusat
(Kenaikan BBM) Majelis Hakim PN mencerminkan
Jakpus inkonsistensi.
Bentuk gugatan
CLS tidak diterima
LBH Jakarta
PN Jakarta Pusat Tidak ada. Justru
(Operasi Yustisi)
mencerminkan inkonsistensi.
Majelis Hakim PN
Jakpus
Pemerintah
Legal standing
PN Jakarta Pusat diminta untuk
CLS diterima.
LBH Jakarta (Putusan No. 145/ meninjau ulang
Gugatan
(Ujian Nasional) PDT.G/2009/ kebijakan
dikabulkan untuk
PN.JK.Pst.) penyelenggaraan
sebagian.
UN.

Menguatkan
PT DKI Jakarta Putusan -
Pengadilan Negeri

Menguatkan
putusan di tingkat
Mahkamah Agung
sebelumnya.
(Putusan No: -
Putusan PT
2596K/PDT/2008)
berkekuatan
hukum tetap.

188 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


ISI PUTUSAN SIGNIFIKANSI
KASUS PUTUSAN
TERKAIT CLS PUTUSAN
Gugatan tidak Mulai
PN Jakarta Selatan dapat diterima memberikan
Masyarakat
(Putusan No: 40/ karena tidak bentuk pada CLS
Pengguna Jalan
PDT.G/2008/ terpenuhinya yaitu dengan
Tol JORR
PN.JKT.Sel) syarat formil melihat pada
berupa notifikasi. syarat formil.
Gugatan tidak
dapat diterima
Warga Negara PN Jakarta Pusat karena tidak
Pemegang Hak (Putusan No: 145/ terpenuhinya
-
Pilih dalam PDT.G/2009/ syarat formil, yaitu
Pemilu 2009 PN.JKT.Pst) tidak memenuhi
syarat jangka
waktu notifikasi.
Menghukum
tergugat untuk
mengundangkan
Undang-Undang
tentang Badan
Penyelenggara
Jaminan Sosial
(BPJS) sesuai
dengan perintah
pasal 5 ayat
(1) UU SJSN,
Gugatan
Komite Aksi membentuk
dikabulkan untuk
Jaminan Sosial peraturan
sebagian dan
(KAJS) melawan PN Jakarta Pusat pelaksana
legal standing
Pemerintah dan Peraturan
Penggugat
DPR Pemerintah
diterima.
dan Peraturan
Presiden
sebagaimana
diperintahkan
UU SJSN,
melakukan
penyesuaian 4
(empat) BUMN
penyelenggara
Jaminan sosial
terhadap UU
SJSN.

Tabel di atas memperlihatkan bagaimana para hakim masih belum


memiliki kesamaan pendapat dalam memutuskan perkara yang diajukan
dengan standing CLS. Bahkan, Majelis Hakim yang berasal dari satu
institusi peradilan memberikan pengakuan yang berbeda terhadap
standing penggugat yang diajukan dengan CLS sebagaimana terlihat
dalam kasus Munir cs. (Nunukan) yang mengakui CLS, sementara dalam

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 189
kasus kenaikan BBM dan Operasi Yustisi, CLS dinyatakan tidak diterima.
Ketiga kasus ini sama-sama diputuskan di PN Jakarta Pusat.

Perubahan pertimbangan hakim mengenai CLS mulai terlihat di tahun


2008, di mana permasalahan hukum bukanlah lagi mengenai diterima
atau tidaknya CLS secara substantif, melainkan sudah lebih jauh melihat
syarat formil CLS yaitu notifikasi.

Sejauh mana CLS dapat berdampak erat pula kaitannya dengan


belum adanya kesepahaman mengenai diterima/tidaknya CLS dalam
hukum Indonesia, serta kurangnya penggunaan CLS dalam litigasi
strategis dengan argumen hukum yang kuat. Hal ini berkaitan dengan
kecenderungan yang terjadi di Indonesia di mana gagasan-gagasan baru
cenderung diterima terlebih dahulu, tidak dengan assessment mengenai
konsekuensi perubahan yang harus dilakukan atau pertentangan dengan
asas dalam kerangka regulasi yang telah ada sebelumnya.

Permasalahan lain yang mengemuka mengenai CLS adalah bentuk


gugatan CLS sendiri. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
mengenai bentuk gugatan CLS yang telah diterima kini. Indro Sugiarto
menyatakan bahwa secara teoritis atau dalam praktik, idealnya hal-hal
prosedural yang perlu diperhatikan dalam gugatan CLS adalah:

a. Dari praktik internasional yang telah diterima dalam CLS, Notifikasi


dilakukan oleh Penggugat kepada Tergugat dengan tujuan: (1)
Memberikan dorongan/insentif untuk pelanggar agar mulai
melakukan penaatan; (2) Memberikan kesempatan secara adil
kepada tergugat untuk mengajukan bantahan dalam kesempatan
paling awal dari proses penanganan perkara; (3) Kegagalan
dalam menyediakan pemberitahuan yang memenuhi syarat dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk menolak gugatan; dan (4)
Memberikan pendidikan kepada penggugat untuk mengajukan
gugatan dengan dilengkapi bukti dan fakta yang akurat;

b. Waktu pemberitahuan harus dikirimkan selambat-lambatnya


60 hari sebelum tuntutan diajukan. Batas waktu pemberitahuan
ini, dalam praktek yang secara umum diterima di dunia, menjadi
suatu hal yang penting dalam prosedur pengajuan gugatan CLS
karena pelanggaran terhadap batas waktu pemberitahuan ini akan
dapat dipergunakan sebagai dasar alasan untuk mengajukan mosi
penolakan CLS;

190 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


c. Bentuk dan isi pemberitahuan harus dibuat dalam bentuk
tertulis dan harus dikirimkan baik kepada pelanggar yang
dituduh maupun kepada instansi yang bertanggung jawab untuk
mengimplementasikan UU yang dilanggar. Walaupun demikian,
beberapa ketentuan CLS mensyaratkan pemberitahuan ini juga
dikirimkan kepada Lembaga Negara yang bertanggung jawab dalam
penegakan hukum.

Lebih jauh, dinyatakan bahwa suatu pemberitahuan gugatan CLS


setidaknya memuat a.l.: (1) Informasi tentang pelanggar yang dituduh
dan lembaga yang relevan dengan pelanggaran yang berdasar hal itu
penggugat berniat untuk menggugat (Tergugat/Para Tergugat); dan (2)
Jenis pelanggaran yang menimbulkan gugatan CLS (objek gugatan).

PROSPEK PENGATURAN CLS DI INDONESIA KE DEPAN


Untuk dapat melakukan penelahaan secara mendalam mengenai
prospek CLS dalam memajukan hukum di Indonesia, berdasarkan kajian
yang telah dilakukan di dua bab sebelumnya maka perlu dilakukan
pendalaman terhadap beberapa isu yang masih menjadi perdebatan
saat ini. Hal tersebut penting untuk dapat menjadi pertimbangan dalam
pengaturan CLS ke depan. Hal tersebut terkait dengan perkembangan
hukum di Indonesia. Pasca reformasi 1998 di Indonesia, berbagai
prosedur dan lembaga telah hadir untuk dapat melindungi hak dari warga
negara Indonesia. Misalnya, saat terdapat masyarakat yang dirugikan
terhadap keputusan administratif tertentu oleh warga negara, sejak tahun
1986, masyarakat dapat mengajukan gugatan hukum ke Pengadilan Tata
Usaha Negara sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1986 serta berbagai
perubahannya. Ketika terdapat undang-undang yang dirasa tidak sesuai
dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi (UUD 1945) dan mereka
merasa dirugikan maka masyarakat memiliki legal standing untuk
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sejak 15 Oktober
2003 dan dalam level peraturan maka dapat dilakukan pengajuan ke
Mahkamah Agung. Selanjutnya, ketika terdapat kerugian secara langsung
akibat suatu tindakan negara maka dapat diajukan class action kepada
negara. Oleh karena itu, menjadi suatu diskusi yang menarik untuk
mengelaborasi posisi yang dapat diisi oleh CLS di Indonesia ke depan.

Legal Standing CLS


Menurut Legal Information Institute, School of Law of Cornel
University, legal standing adalah:

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 191
“Standing, or locus standi, is capacity of a party to bring suit in
court. State laws define standing. At the heart of these statutes
is the requirement that plaintiffs have sustained or will sustain
direct injury or harm and that this harm is redressable.”

Artinya, legal standing adalah kapasitas dari pihak untuk mengajukan


gugatan ke pengadilan. Dalam pemahaman konservatif, legal standing
mengikat hanya pada pihak yang dirugikan. Akan tetapi, dalam
perkembangannya mulai diakui adanya pihak ketiga yang dapat melakukan
intervensi seperti pada NGO Standing. Di Indonesia, kedudukan
Hukum legal standing didasarkan pada asas hukum acara perdata point
d’interest, point d’action. Sedangkan, dalam konstitusi Amerika Serikat,
legal standing adalah prinsip konstitusi sebagai dasar bagi pengajuan
ke pengadilan federal sehinga pengadilan dapat membuat keputusan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, perbedaan tingkat pengaturan ini
berdampak pada ketat – longgarnya penerimaan terhadap kedudukan
hukum CLS. Di Indonesia di mana standing bukan merupakan syarat
konstitusional, dan dalam perkembangan hukumnya tidak ada doktrin
injury in fact yang harus konkrit dan dapat didetilkan, serta actual dan
dapat terjadi dalam waktu dekat, seharusnya CLS dapat lebih mudah
diterima. Terlebih lagi, perluasan konsep ‘kepentingan’ dalam point
d’interest point d’action dapat dilakukan dengan logika hukum yang
rasional, sehingga penerimaan kedudukan hukum CLS dalam hukum
Indonesia tidak bertentangan dengan asas apapun.

Selain itu, CLS dalam konteks Indonesia dapat mengambil pembelajaran


dari teori intervensi yudisial dengan Public Trust Doctrine yang
dikemukakan Prof. Sax dalam awal perkembangan CLS. Secara historis,
terdapat beberapa landasan teoritis yang diungkapkan oleh Prof. Sax dalam
menjelaskan alasan diakuinya legal standing dari warga negara melalui
pendekatan Public Trust Doctrine. Berangkat dari sejarah, terdapat dua
pendekatan hak publik yang diakui dalam sejarah Roman Law dan
English Law. Pada masa tersebut, penjelasan terkait dengan masalah
status dari sungai, lautan lepas dan pantai yang dianggap sebagai milik
publik. Hal tersebut dilakukan dengan dua pendekatan yang saling terkait.
Pendekatan pertama, kepentingan tertentu, artinya suatu sumber daya
alam yang dimiliki publik dapat digunakan oleh setiap orang. Contohnya
penangkapan ikan dan navigasi yang dapat dilakukan setiap orang. Akan
tetapi, hak tersebut terkait dengan pendekatan kedua bahwa kepemilikan
atas suatu sumber daya alam adalah publik seperti sungai, laut dan

192 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


pantai. Pendekatan tersebutlah yang secara kesejarahan mempengaruhi
pandangan bahwa setiap anggota dari masyarakat memiliki hak untuk
memastikan bahwa eksploitasi dari sumber daya alam tidak mencederai
haknya atas tetap terjaganya sumber daya alam yang dimiliki publik.
Terkait hal ini, Sax mengungkapkan :

“There is often a recognition, albeit one that has been regularly


perceived in legal doctrine, that certain uses have a peculiarly
public nature that makes their adaptation to private use
inappropriate. The best known example is found in the rule of
water law that one does not own a property right in water in the
same way he owns his watch or his shoes, but that he owns only an
usufruct-an interest that incorporates the needs of others..”

Berdasarkan hal tersebut, menurut Public Trust Doctrine, setiap orang


yang merupakan bagian dari suatu komunitas harus dapat memahami
bahwa sumber daya alam tidak dapat disamakan pemakaiannya
sebagaimana hak privat biasa karena dibalik hak tersebut terdapat
kepentingan publik sebagai komunitas. Doktrin tersebut telah digunakan
dalam berbagai kasus untuk mengakui legal standing dari warga negara.
Salah satunya pada kasus Gould v. Greylock Reservation Commission.
Kasus tersebut diajukan oleh lima warga negara yang mengganggap
penggunaan kawasan tersebut sebagai resor telah merugikan hak warga
negara dalam melindungi kepentingan publik atas kawasan konservasi
yang dilindungi konstitusi Negara bagian. Lebih lanjut, pengembangan
doktrin tersebut sebagai dasar bagi warga negara mengajukan gugatan
juga dijelaskan oleh David Tacaks bahwa,

“Sax finds a procedural right to challenge government decisions


that violate stewardship responsibilities inherent in the Public
Trust Doctrine. The Public Trust Doctrine “ -is no more and no less-
than a name courts give to their concerns about insufficiencies of
the democratic process”. Citizen must be allowed to intervene in the
process between the powerfull private interest and the corruptible
professional regulator.”

Berdasarkan penjelasan tersebut, David ingin menggambarkan bahwa


Public Trust Doctrine berkembang dan menjadi dasar bagi warga negara
untuk dapat mengintervensi tindakan pemerintah dan pihak swasta yang
berkuasa dengan tujuan memastikan terlindunginya hak warga negara
tersebut. Penerapan CLS tidak hanya lagi berkaitan terbatas pada isu
lingkungan hidup tetapi isu lain yang berdampak signifikan untuk publik.
Berdasarkan hal tersebut kita dapat memahami bahwa legal standing CLS

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 193
berkaitan dengan kepentingan untuk mempertahankan hak yang dimiliki
publik atas suatu ancaman perbuatan atau kelalaian yang berdampak
secara luas. Lebih lanjut, apabila kita lihat kembali pada putusan UN dan
Nunukan, dalam putusannya terdapat pertimbangan hakim bahwa pihak
yang mengajukan tuntutan tidak perlu membuktikan bahwa dia mewakili
seluruh kelompok yang dirugikan dan mengalami kerugian riil secara
langsung. Artinya terdapat sedikitnya tiga syarat sebagai dasar dari legal
standing, yaitu :

a. Warga negara yang menggugat harus dapat menjelaskan bahwa


suatu perbuatan atau kelalaian menyebabkan kerugian atas hak yang
dilindungi oleh konstitusi, yang dengan demikian menjadi landasan
kerusakan/kerugian (injury) terhadap kepentingan publik;

b. Walaupun demikian, warga negara yang menggugat tidak harus


dapat menjelaskan kerugian yang dialami secara langsung secara riil
serta materil baik oleh dirinya sendiri maupun oleh warga Negara
lainnya; dan

c. Warga negara yang menggugat tidak harus membuktikan mewakili


seluruh kelompok. Artinya dia dapat mengajukan sebagai diri sendiri
yang dirugikan hak konstitusinya atas kelalaian atau perbuatan
tertentu.

Persoalan selanjutnya adalah batasan warga negara seperti apa yang


dapat mengajukan CLS. Hal tersebut terkait dengan keberadaan suku-
suku terdalam yang belum tercatat secara resmi sebagai penduduk
Indonesia. Hal ini penting kaitannya dengan diakuinya hutan Putusan MK
No. 35/PUU-X/2012 serta telah diaturnya pengakuan atas masyarakat
hukum adat dalam berbagai undang-undang seperti UU Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan Pasal 4 huruf i UU
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yaitu:

“Warga Negara Indonesia adalah: (i) anak yang lahir di wilayah


negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas
status kewarganegaraan ayah dan ibunya;”

Oleh karena itu, definisi warga negara dalam hal ini bukanlah sama
dengan hanya orang yang secara resmi terdaftar sebagai penduduk. Akan
tetapi, orang yang secara hukum diakui sebagai warga negara berdasarkan
tempat kelahiran walaupun dia belum didata sebagai penduduk.

194 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut, legal standing CLS sangat
berbeda dengan mekanisme yang saat ini sudah hadir seperti CA dan
NGO Standing karena legal standing CLS hanya didasarkan pada adanya
kerugian atas tidak terpenuhinya hak warga negara yang dilindungi
konstitusi. Akan tetapi, terkait legal standing, sekilas terdapat tumpang
tindih dari sudut dirugikannya hak konstitusional warga negara dengan
kewenangan pengajuan judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
yaitu:

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau


kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu:a. perorangan warga negara
Indonesia;….”

Pasal tersebut memiliki kesamaan dengan CLS dari sudut pandang


meminta suatu perundangan yang dikeluarkan pemerintahan dibatalkan
dengan hanya membuktikan bahwa hal tersebut merugikan hak
konstitusinya dan bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena itu,
menjadi penting, ketika CLS diterapkan di Indonesia untuk tidak memutus
perkara kerugian hak konstitusional yang sudah menjadi kewenangan
Mahakamah Konstitusi. Maka itu, legal standing CLS di Indonesia
harus didasarkan pada adanya kerugian hak yang dilindungi konstitusi
atas lalainya atau tindakan tertentu yang dilakukan negara sehingga
menyebabkan perbuatan melawan hukum dengan tetap memastikan tidak
melampaui kewenangan lembaga lain.

Gugatan dan Batasan CLS


Persoalan selanjutnya, sejauh mana citizen lawsuit dapat diakomodir
oleh lembaga pengadilan karena terdapat kekhwatiran akan banyaknya
gugatan yang masuk dan harus ditangani oleh pengadilan karena cukup
longgarnya legal standing. Selain itu, terdapat ketakutan kewenangan
dalam memutus CLS melampaui yuridiksi dari pengadilan yang mengadili
dan mengganggu sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan
batasan-batasan yang perlu diatur sehingga pengaturan CLS dapat selaras
dengan peraturan perundangan yang lain.

Indro Sugiarto merangkum beberapa karakteristik CLS berdasarkan


kajian mengenai dasar, tujuan, pengertian, dan batasan CLS, sebagai
berikut:

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 195
a. Merupakan akses orang perorangan atau warga negara untuk
mengajukan gugatan di Pengadilan untuk dan atas nama
kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik;

b. Dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan


terjadinya kerugian sebagai akibat tindakan atau pembiaran dari
negara atau otoritas negara;

c. Memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat


negara dan institusi pemerintah yang melakukan pelanggaran
undang-undang atau yang melakukan kegagalan dalam memenuhi
kewajibannya dalam pelaksanaan (implementasi) undang-undang;

d. Orang perorangan warga negara yang menjadi penggugat dalam


CLS tidak perlu membuktikan adanya kerugian langsung yang
bersifat riil atau tangible; dan

e. Secara umum, badan peradilan cenderung enggan memenuhi


tuntutan ganti kerugian jika diajukan dalam gugatan CLS.

Berangkat dari praktek di berbagai negara dan putusan-putusan yang


ada dan dihubungkan dengan penerapan CLS di Indonesia, terdapat
beberapa hal yang dapat digugat melalui mekanisme CLS.

Pertama, kekosongan hukum untuk melindungi hak tertentu dari warga


negara yang dilindungi konstitusi. Saat ini mekanisme yang terdapat
dalam MK dan MA adalah mekanisme untuk menguji suatu peraturan
apakah sesuai atau tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi dan
merugikan hak dari yang pemohon. Sesuai dengan penjelasan dari Jimly
Asshiddiqie pada saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Dia
menyatakan bahwa posisi MK adalah sebagai negative legislator. Artinya,
MK hanya bisa memutus sebuah norma dalam UU bertentangan konstitusi,
tanpa boleh memasukan norma baru ke dalam UU. Akan tetapi, belum
terdapat mekanisme untuk dapat mengajukan permintaan agar negara
membuat suatu peraturan untuk memastikan hak konstituonal seseorang
terjamin. Terkait hal ini terdapat dua isu, yaitu:

Gugatan agar pemerintah membuat peraturan pelaksana dari suatu


undang-undang. Hal ini terkait dengan banyaknya peraturan pelaksana
yang belum dibuat oleh pemerintah padahal diamanatkan oleh undang-
undang untuk segera di buat dalam waktu tertentu. Akibat tidak dibuatnya
peraturan pelaksana (peraturan pemerintah/peraturan menteri) tersebut

196 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


menjadikan hak warga negara tidak terlindungi secara optimal sehingga
menimbulkan kerugian konstitusional karena undang-undang tersebut
tidak dapat dijalankan. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar
pemerintah membuat peraturan pelaksana agar hak konstitusionalnya
dapat terjamin. Alas gugat dari gugatan ini sebenarnya memiliki landasan
yang kuat karena posisinya adalah menegaskan kewajiban untuk membuat
suatu peraturan pelaksana sebagaimana diperintahkan suatu undang-
undang;

Permasalahannya adalah ketika gugatan yang diajukan meminta agar


pemerintah membuat suatu peraturan perundang-undangan yang baru
dan tidak diperintahkan secara eksplisit oleh undang-undang untuk
dibuat. Penggugat menyatakan dengan tidak adanya undang-undang
tertentu maka tidak dapat dilaksanakannya suatu pasal dari konstitusi
yang menjamin hak tertentu. Sebagai contoh, saat ini Indonesia belum
memiliki undang-undanng induk terkait sumber daya alam. Apakah
diperkenankan penggugat mendasarkan gugatan dengan dasar tidak dapat
dilaksanakannya Pasal 33 UUD 1945 karena tidak adanya undang-undang
tersebut. Gugatan jenis inilah yang perlu didalami secara mendalam
dalam peraturan perundangan karena hal tersebut mengintervensi fungsi
legislatif. Selain itu, hal tersebut dianggap melebihi kewenangan dari
pengadilan negeri.

Selanjutnya, perdebatannya apakah gugatan tersebut dapat pula


meminta agar suatu peraturan perundangan memuat setidaknya peraturan
tertentu. Untuk peraturan pelaksana sebaiknya dibatasi hanya pada hal
yang diperintahkan oleh undang-undang. Hal tersebut untuk menghindari
adanya penyelundupan hukum dalam proses pengajuan CLS. Sedangkan,
untuk gugatan untuk pembuatan peraturan perundangan yang belum ada
sebelumnya (hanya diatur pada level konstitusi) maka dapat diajukan
setidaknya beberapa isu yang dirasakan harus masuk.

Kedua, terkait dengan gugatan agar pemerintah melakukan kebijakan


tertentu. Untuk persoalan ini memiliki batasan terhadap kewenangan
dari Pengadilan Tata Usaha Negara karena kebijakan didasarkan pada
putusan. Oleh karena itu, CLS dapat diajukan gugatannya dalam batas
tidak melampaui kewenangan dari PTUN. Hal tersebut tentu didasarkan
terbatas pada kebijakan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan dalam
pemenuhan hak yang dilindungi konstitusi.

Ketiga, meminta negara melakukan perbuatan tertentu dalam rangka


pemulihan keadaan. Sebagai contoh, hal tersebut dapat dilakukan
melalui pengajuan gugatan agar pemerintah melakukan pemulihan

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 197
lingkungan hidup atas kerusakan yang dilakukan dikawasan hutan
konservasi. Penggugat yang merupakan warga negara dan tidak
tinggal di dalam atau sekalian kawasan konservasi dapat mendalilkan
kerusakan hutan konservasi mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Hal tersebut menyebabkan hilangnya potensi keanekaragaman hayati
dan menyebabkan bencana alam seperti banjir sehingga merugikan hak
konstitusional penggugat. Hal tersebut sebagaimana praktek penerapan
CLS yang terdapat dalam Bab 7002 Resource Conservation and Recovery
Act (‘RCRA’ 1976) di Amerika Serikat. Sebagai contoh lain, seperti
kelalaian negara dalam membuat peraturan pelaksana yang diwajibkan
untuk ada oleh suatu undang-undang dan menyebabkan tidak optimalnya
pemenuhan hak konstitusi warga negara.

Sedangkan terkait dengan proses pembuktian dan batasan penerapan


CLS, berdasarkan praktek di berbagai negara dan putusan yang sudah ada
terdapat argumentasi yang perlu dibuktikan oleh penggugat. Pertama,
mengalami dampak yang jelas atas kelalaian atau tindakan yang dilakukan
oleh warga Negara walaupun tidak harus terukur secara materil dan detail
dampaknya. Selama penggugat dapat menjelaskan dampak kerugiannya
secara jelas dan terang maka seharusnya menjadikan pertimbangan
untuk diterima sebagai gugatan. Hal tersebut terlihat pada kasus
Nunukan. Pengabaian perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) telah
menimbulkan dampak dengan hilangnya hak TKI sebagaimana diatur
oleh konstitusi. Kedua, dampak tersebut bukan bersifat pengajuan ganti
kerugian secara materil yang diterima secara langsung. Hal ini yang
menjadi salah satu pembeda dengan class action. Tujuan dari CLS adalah
memastikan hadirnya negara dalam memastikan setiap warga negara
terpenuhi haknya secara nyata sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Ketiga, notifikasi terkait dengan CLS. Diperlukan waktu dan syarat
tertentu untuk dapat memastikan bahwa kurangnya peran negara dalam
memenuhi hak konstitutional warga negara sehingga adanya kesempatan
bagi negara untuk berupaya. Sebagai contoh batas waktu 60 (enam puluh)
hari untuk pemerintah melakukan upaya semenjak dikeluarkannya
kebijakannya. Selain itu, CLS seharusnya tidak menghalangi upaya negara
dalam melakukan suatu langkah yang strategis dan penting sehingga perlu
adanya pembatasan tindakan-tindakan negara yang tidak dapat digugat.
Sebagaimana di Amerika Serikat CLS tidak dapat diajukan misalnya ketika
EPA sedang menjalankan fungsi pemulihan melalui dana superfund.

198 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


Pengembangan CLS yang Masih Diperlukan
Dari perkara-perkara yang ditelaah di atas, tiga hal terkait dengan
pengajuan CLS masih memerlukan perhatian khusus, terutama mengambil
pembelajaran dari AS, di mana CLS berkembang dengan baik.

Pertama, mengenai ruang lingkup CLS. Di Indonesia, kasus-kasus yang


ada masih berfokus terhadap absennya pemerintah dalam pengundangan
dan pembuatan kebijakan tertentu dalam rangka memenuhi hak
konstitusional penggugat. Hingga kini, belum satu perkara pun diajukan
dalam hal penaatan izin dalam hal pemerintah lalai melakukannya,
untuk memaksa pemerintah memastikan pemegang izin melakukan
kewajibannya. Gugatan Komari, dkk dalam Samarinda Menggugat
sebetulnya telah mencerminkan bahwa hal ini diterima, dengan salah satu
amar putusan menghukum pemerintah untuk melakukan pengawasan
terhadap semua izin. Akan tetapi, gugatan ini masih menyasar kebijakan
secara umum, bukan kewajiban spesifik pemerintah untuk melakukan
penaatan izin, misalnya meminta penghentian kegiatan secara permanen
atau sementara dalam hal ditemukannya pelanggaran effluent berulang
yang tidak ditindak pemerintah. Selain itu, penting dicermati pula bahwa
kewajiban Pemerintah dalam perundang-undangan tidak terbatas pada
mengeluarkan regulasi atau produk kebijakan. Kewajiban melakukan
monitoring, menghitung daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup, melakukan inventarisasi dan menjaga data yang akurat mengenai
lingkungan hidup, menetapkan kelas sungai, menjaga kualitas udara,
semuanya merupakan kewajiban pemerintah yang tertuang dalam
Undang-Undang yang berlaku umum dan memberikan hak bagi setiap
warga Negara. Dalam hal ini, banyak ruang yang perlu dieksplorasi oleh
penggugat warga Negara untuk menguji dan mempertajam gagasan
CLS dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia. Dengan penggugat
mendalilkan substansi hukum berdasarkan analisis hukum dan reasoning
yang tajam, maka putusan hakim akan lebih mungkin terarah pada
landmark decision yang penting bagi perkembangan CLS.

Kedua, perihal kapan CLS dapat diajukan terkait dengan terjadinya suatu
pelanggaran atau pembiaran. Tidak satupun gugatan mendalilkan, dan
dengan demikian tidak satupun putusan hakim telah mempertimbangkan
secara seksama apakah penggugat warga Negara dapat menggugat untuk
pelanggaran yang telah terjadi sepenuhnya di masa lalu. Jika pun warga
Negara tidak dapat menggugat pelanggaran yang telah selesai dan perkara
di muka pengadilan merupakan perkara yang layak dengan pelanggaran
/pembiaran yang masih atau terus terjadi, apakah Tergugat dapat

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 199
melakukan tindakan korektif dalam masa tunggu atau masa persidangan
perkara? Di AS, perihal ini dikenal sebagai Gwaltney doctrine,
sebagaimana diputus dalam kasus landmark Gwaltney v. Cheapsake Bay
Found oleh Mahkamah Agung AS. Inti dari Gwaltney doctrine adalah tidak
diperbolehkannya CLS dalam hal pelanggaran / pembiaran telah selesai.
Pelanggaran / pembiaran yang dapat diajukan dengan CLS haruslah masih
terjadi, yang termasuk sedang terjadi, terus-menerus ataupun terputus-
putus. Hal ini terkait erat dengan logika CLS di AS, yang sebagian besar
menargetkan injunction atau dihentikannya pelanggaran, dan dengan
demikian tidak akan berguna jika pelanggaran telah selesai. Sementara
itu, mengenai pelanggaran yang terputus-putus, terdapat presumsi bahwa
pelanggaran jenis ini akan tetap terputus-putus hingga sumbernya diatasi.
Dengan demikian, tindakan yang diambil untuk mengatasi pelanggaran
terputus-putus ini harus bersifat permanen, jangka panjang, dan sangat
jelas bahwa pelanggaran tidak akan terulang di masa depan. Misalnya,
dengan meningkatkan teknologi kontrol limbah, menutup bagian tertentu
dari pabrik, dan lain-lain.

Ketiga, efek gugatan/dakwaan pemerintah terhadap hal yang


digugat dalam CLS, yang Pemerintah telah ajukan sebelum CLS terjadi.
Sebagaimana sempat disinggung di atas, jika Pemerintah telah ‘diligently
prosecuting,’ maka CLS tidak dapat lagi dilakukan. Dalam hal ini,
perdebatan hukum yang dapat timbul adalah mendefinisikan suatu
tindakan pemerintah sebagai ‘diligent prosecution.’ Di AS, terdapat
presumsi bahwa pemerintah telah menuntut (dalam hal ini termasuk
menggugat) secara diligent, sehingga beban pembuktian ada pada
Penggugat. Akan tetapi, Pengadilan Sirkuit di AS memutus secara berbeda:
(1) Tindakan hukum yang dilakukan pemerintah cukup menghasilkan
keluaran yang masuk akal dan dapat dilaksanakan untuk dianggap sebagai
‘diligent prosecution’; (2) Hakim harus menelaah indicia diligence,
yaitu tindakan aktual pemerintah dalam melakukan tindakan hukum
tersebut. Misalnya, jika Pemerintah membuat nota perdamaian dengan
Tergugat, perlu ditelaah apakah pemerintah benar-benar memonitor dan
melaksanakan perjanjian tersebut, apakah tindakan hukum yang diambil
pemerintah telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, besaran
hukuman dibandingkan dengan skala pelanggaran, dan lain-lain.

Keempat, kewajiban untuk mengganti ongkos pengacara jika penggugat


warga Negara menang. Hal ini juga merupakan pembelajaran dari AS,
yang rasionalnya menurut hemat Penulis beralasan baik. Mengingat
peran CLS adalah untuk meningkatkan efektivitas hukum lingkungan dan
menambah jumlah pelanggaran yang dapat ditindak secara hukum, maka

200 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


ongkos pengacara berfungsi sebagai insentif agar penggugat warga Negara
mau mengajukan gugatan. Perlu diingat bahwa litigasi merupakan proses
yang panjang dan melelahkan, dan penggugat dalam perkara lingkungan
seringkali bukan merupakan entitas yang memiliki sumber daya finansial
berlimpah. Rasional lainnya adalah sebagai hukuman bagi Terdakwa, agar
memberikan efek jera dan dengan demikian diharapkan tidak mengulangi
tindakannya. Ongkos Pengacara ditentukan sebagaimana penghitungan
pada umumnya, yaitu dengan mempertimbangkan jam kerja dan tarif
pengacara. Tarif tersebut masuk akal jika sesuai dengan tingkat kesulitan
pekerjaan dan pengalaman pengacara dibandingkan dengan harga pasaran
dan hasil perkara. Sekali lagi, di Indonesia, tidak satupun pertimbangan
mengenai hal ini dimunculkan oleh Penggugat, sehingga hakim tidak
pernah mempertimbangkan pemberian ongkos perkara jika penggugat
warga Negara menang.

Keempat hal inilah yang perlu diperhatikan, utamanya oleh penggugat


warga Negara di masa depan mengingat dalam perkara perdata hakim
tidak dapat memutus lebih daripada yang didalilkan.

Peran dan Posisi CLS ke Depan


Berdasarkan penjelasan CLS sebelumnya terdapat beberapa fungsi
yang dapat mengisi kekosongan hukum yang ada. Peran dan posisi CLS
tersebut adalah:

a. Mendorong pemerintah lebih hati-hati dalam mengambil kebijakan


yang berkaitan dengan kepentingan publik. Melalui mekanisme CLS
maka pengajuan gugatan dapat dilakukan tanpa perlu mengalami
kerugian langsung. Hal tersebut menjadikan setiap masyarakat
dapat mempunyai peran dalam melakukan pengawasan terhadap
kebijakan pemerintah;

b. Mendorong pemerintah untuk mengeluarkan legislasi dan regulasi


terkait untuk melindungi hak warga negara; dan

c. Mendorong pemerintah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu


untuk memastikan agar hak warga negara terlindungi.

Landasan Hukum Penerapan CLS


Penerapan CLS di Indonesia telah menjadi topik diskusi dari para
akademisi di Indonesia. Khususnya bagaimana CLS dapat diterapkan dan
peran CLS untuk menutup kekosongan hukum di Indonesia. Sudikno

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 201
Mertokusumo merupakan salah satu akademisi yang berpendapat bahwa
penerobosan hukum yang dilakukan dalam pengakuan CLS di Indonesia
tanpa adanya legeslasi yang mengatur adalah kurang tepat secara prinsip,
dengan pertimbangan bahwa sifat hukum perdata formil seharusnya
adalah tidak dapat disimpangi,

“[...] Hukum atau peraturan yang mengatur cara melaksanakan


tuntutan hak merupakan “aturan permainan” (spelregels) dalam
melaksanakan tuntutan hak itu. Sebagai aturan permainan
dalam melaksanakan tuntutan hak maka hukum acara perdata
mempunyai fungsi yang penting, sehingga harus bersifat formil,
resmi, strict, fixed, correct, pasti, tidak boleh disimpangi, dan
bersifat imperatif (memaksa)”

Berdasarkan pemikiran ini, CLS, yang merupakan lembaga hukum


acara asing, pada prinsipnya tidak boleh diadopsi, kecuali sudah diatur
terlebih dahulu dalam Undang-undang. Penalaran hukum ini juga
mempertimbangkan Pasal 21 Algemeine Bepalingen bahwa hakim
dilarang menciptakan peraturan yang mengikat secara umum.

Terkait dengan amanat UU Kekuasaan Kehakiman bagi hakim untuk


menggali hukum di dalam masyarakat, Sudikno berpendapat bahwa hukum
yang dimaksud hanyalah terbatas pada hukum materiil. Akan tetapi,
sekalipun dalam ranah materiil, Hakim wajib untuk tetap memperhatikan
metodologi dalam menggali hukum dalam masyarakat tersebut, dan
berpegang pada asas-asas dalam hukum acara perdata.

Terdapat 2 (dua) asas yang menjadi titik perhatian Sudikno, yaitu: (1)
Point d’interest point d’action yang merupakan asas dasar utama hukum
acara perdata, yang berarti bahwa hanya orang yang berkepentingan
hukum secara langsung lah yang dapat mengajukan gugatan perdata;
dan (2) Actori incumbit probatio, yang merupakan asas mengenai beban
pembuktian, menyatakan bahwa barang siapa mempunyai sesuatu hak
atau mengemukakan suatu peristiwa harus membuktikan adanya hak atau
peristiwa itu. Lebih lanjut, Sudikno berpendapat bahwa dengan demikian
CLS seharusnya tidak dapat diterima oleh para Hakim, kecuali apabila
telah diatur dahulu dalam Undang-undang.

Penulis berpendapat bahwa CLS tidak bertentangan dengan asas ‘point


the interest point the action,’ melainkan hanya merupakan perluasan
atas konstruksi ‘kepentingan.’ Indro Sugianto menjelaskan bahwa CLS
merupakan perluasan dari doktrin ‘kedudukan hukum’ yang dikenal
dalam hukum perdata tradisional. Lebih spesifik lagi, perluasannya

202 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN


adalah terhadap unsur ‘kepentingan’ dimana konsep asli ‘citizen suit’
memberikan hak gugat kepada individu pribadi warga negara melakukan
aksi hukum mewakili warga negara atau nilai-nilai publik atau kepentingan
lingkungan atau untuk menegakkan hukum yang tidak sedang ditegakkan
oleh Negara/ pemerintah. Jadi CLS bukanlah gugatan tanpa kepentingan,
melainkan gugatan untuk dan atas nama ‘kepentingan publik,’ yang
haknya, sebagaimana dijamin dalam konstitusi, gagal dipenuhi oleh
negara, dan dengan demikian ditagih pelaksanaannya oleh warga negara.

Selain itu, CLS juga merupakan gagasan yang konsisten dengan asas
kedua, yang membebankan pembuktian kepada pihak yang mendalilkan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pihak yang mendalilkan kerugian
masih harus membuktikan kerugian warga Negara tersebut, pembiaran
yang dilakukan oleh Negara, serta kausalitasnya. Yang tidak harus
dibuktikan hanyalah detil dan kerugian materiil orang perseorangan
sebagaimana diharuskan dalam kasus perdata umum.

Dalam menyikapi hal ini, penulis menganalisis kedudukan CLS dalam


sistem hukum Indonesia khususnya peran CLS dalam mengisi kekosongan
hukum yang ada saat ini. sehingga kehadiran CLS tidak ditafsirkan secara
“liar” dan tumpang tindih dengan pendekatan gugatan demi kepentingan
publik lainnya seperti class action dan NGO legal standing yang sudah
diatur secara jelas di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, tampak
dengan jelas bahwa mengatur CLS dalam kerangka regulasi merupakan
kebutuhan yang perlu untuk segera dilakukan. Terdapat 2 (dua) alasan
utama mengenai hal ini. Pertama, untuk mengatasi perbedaan pendapat
yang terjadi mengenai pengaturan kedudukan hukum (standing) dalam
hukum acara perdata Indonesia yang restriktif. Pendapat Prof. Sudikno
mengenai restriksi penemuan hukum dalam hukum acara bukan
merupakan pendapat yang hanya ditemukan dalam sistem hukum civil
law, akan tetapi Negara-negara common law sendiri pun mengakui
terbatas dan ketatnya pengaturan dalam hal standing. Dengan demikian,
setiap penggugat yang ingin mendasarkan gugatannya dengan kedudukan
hukum CLS memerlukan peraturan hukum yang melegitimasi CLS dalam
peraturan formil. Kedua untuk mengisi kekosongan hukum yang ada saat
ini. Hal ini penting pula jika dikaitkan dengan pendetailan substantif dalam
area apa saja CLS dapat dilakukan. Misalnya, di Amerika Serikat, CLS
dicantumkan secara tersurat dalam pasal-pasal CAA (UU mengenai udara
bersih), CWA (UU mengenai air bersih), ESA (UU mengenai perlindungan
satwa terancam punah), dan RCRA (UU mengenai sampah dan limbah).
Dengan demikian, mekanisme ini tidak berlaku di perundang-undangan
yang tidak mencantumkan CLS secara tersurat, misalnya dalam NEPA

MEMBUKA AKSES KEADILAN MELALUI CITIZEN LAW SUIT (CLS) DI INDONESIA 203
(UU mengenai partisipasi masyarakat dalam kebijakan lingkungan) dan
CERCLA (UU mengenai pemulihan lingkungan tercemar B3). Hal ini
dapat menjadi panduan Indonesia dalam menentukan area substantif
dalam bidang lingkungan hidup dan manajemen sumber daya alam yang
mengizinkan intervensi yudisial melalui CLS.

PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan :

1. CLS merupakan bagian dari actio popularis, namun actio popularis


tidak sama dengan CLS. Hak gugat organisasi lingkungan (NGO
standing) dan CLS merupakan jenis-jenis dari actio popularis.

2. Walaupun belum ada pengaturan secara spesifik terkait CLS, hakim


seharusnya dapat menerima gugatan CLS yang memiliki landasan
kuat. Hal tersebut didasarkan pada kebutuhan CLS untuk mengisi
kekosongan hukum yang ada saat ini. Hal tersebut sesuai dengan
penjelasan di atas yang menjelaskan bahwa kekosongan yang
diisi CLS memiliki fungsi yang sangat penting untuk menjamin
terjaminnya hak warga negara. Akan tetapi, ke depan diperlukan
pengaturan CLS dalam undang-undang sehingga tidak ada keraguan
bagi masyarakat penggugat maupun hakim yang mengadili perkara
CLS.

3. Sejauh ini, rujukan yang dapat dimanfaatkan hakim dalam memutus


CLS adalah SK KMA No. 36 Tahun 2013. Bagaimanapun, Mahkamah
Agung sebagai institusi yang menaungi hakim sudah seharusnya
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung untuk menjamin
adanya kepastian hukum dan menghindari disparitas putusan CLS,
dengan pengaturan yang lebih detail dari SK KMA 36/2013. Hal
tersebut penting untuk menjamin CLS dapat dimanfaatkan secara
optimal dan menghindari penyimpangan.

4. Penggugat dapat mengeksplorasi hal-hal lain yang selama ini masih


belum diperdebatkan dalam perkara-perkara CLS, yaitu (a) ruang
lingkup CLS; (b) bilamana CLS dapat diajukan terkait dengan
terjadinya suatu pelanggaran atau pembiaran; dan (c) kewajiban
untuk mengganti ongkos pengacara (penasehat hukum) jika
penggugat warga Negara memenangkan perkara.

204 ALAM PUN BUTUH HUKUM DAN KEADILAN

Anda mungkin juga menyukai