Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Perkawinan Dan pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat Adat Jawa Tengah

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah hukum kekerabatan dan perjanjian adat

Dosen pengampuh : Ujang Hibar SH, MH

Kelas : 5A - HKM

Kelompok : 1

1. Kenny Izul Haq refra. 12011900032

2. Tribuana 12011900085

3. Siti Bulan Sari 12011900049

4. Tilah 12011900111

5.M. Ilham Alfarizi 12011900027

6. Buhori Muslim. 12011900096

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BINA BANGSA
TAHUN 2021
Kata Pengantar

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Perkawinan Dan pembagian Harta Warisan Dalam
Masyarakat Adat Jawa Tengah" dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah hukum Kekerabatan dan perjanjian
adat . Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang perkawinan dan
pembagian harta warisan masyarakat adat Jawa tengah bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Ujang Hibar SH, MH selaku dosen Mata
kuliah Hukum kekerabatan dan perjanjian adat . Kami Ucapkan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang

membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Serang , 25 November 2021

Penulis
Daftar isi

Kata Pengantar .....................................................................................................................

Daftar Isi................................................................................................................................

BAB I Pendahuluan

1. 1 Latar Belakang Masalah.....................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................

1.3 Tujuan...................................................................................................................................

BAB II Pembahasan

.2.1 Definisi Masyarakat Jawa..................................................................................................

2.2 Adat Perkawinan Jawa Tengah.........................................................................................

2.3 Hukum Waris Adat Jawa.................................................................................................

2.4 Harta Warisan Masyarakat Adat


Jawa........................................................................................................................................

2.5 Ahli Waris Dan Bagiannya................................................................................................

2.6 Proses Pewarisan Dalam Masyarakat Adat


Jawa..........................................................................................................................................

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, dimana budaya tersebut tersebar dari

Sabang sampai merauke. Budaya yang ada di Indonesia tidak hanya dalam hal seni budaya
melainkan dalam hal yang lebih spesifik pun terdapat keberagamannya. Misalnya dalam hal
adat istiadat dalam hukum keluarga yang berkenaan dengan budaya perkawinan, budaya
kekerabatan sampai dengan budaya dalam hal kewarisan pun terdapat keberagamannya di
Indonesia.

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Pancasila mengupayakan penyatuan terhadap


berbagai keberagaman yang ada dalam negara ini dalam tatanan Bhineka Tunggal Ika, dimana
keberagaman yang ada dijadikan satu kesatuan yang disebut dengan negara republik Indonesia.
Ketika membahas budaya maka konstitusi pun memberikan jaminan kepada setiap masyarakat
adat untuk melestarikan budayanya. Maka tidak pernah ada pembatasan pengembangan
budaya di Indonesia karna memang dasar negara pun (konstitusi ) telah menjaminnya.

Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik
yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda- beda,
yang menjadi dasar dari sistem suku - suku bangsa atau kelompok - kelompok etnik. Misalnya
adat Lampung mengatur adat perkawinan dengan mengedepankan garis keturunan patrilinial,
sedangkan Minangkabau menggunakan sistem Matrilineal sedangkan Jawa menggunakan
sistem parental. Dari ketiga sistem tersebut, mungkin masih ada variasi lain yang merupakan
perpaduan dari sistem tersebut misalnya "sistem patrilinial beralih (alternelend ) dan sistem
unilateral berganda ( double unilateral ). Namun tentu saja masing - masing sistem memiliki ciri
khas yang berbeda dengan sistem yang lainnya.

Hukum waris diartikan sebagai suatu aturan yang mengatur tentang warisan, sedangkan dalam
konteks hukum adat waris maka diartikan sebagai atauran dalam pembagian harta warisan
menurut hukum adat sesuai dengan adat (suku ) masing - masing individu. Perihal waris
sebenarnya merupakan suatu hal yang muncul dari adanya suatu perkawinan, dalam undang -
undnag perkawinan nomor 1 tahun 1974, perkawinan diartikan sebagai suatu ikatan yang kuat
antara seorang laki - laki dan perempuan untuk membentuk keluarga yang kokoh dan bahagia
berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Setelah adanya perkawinan maka terdapat hal yang berkenaan dengan harta yaitu,
pewarisan yang berkenaan dengan harta peninggalan orang yang sudah meninggal. Dalam
suasana hukum di Indonesia, perihal kewarisan diatur dalam hukum nasional, hukum agama
( misalnya hukum Islam ) dan hukum adat. Dimana dari ketiganya dalam pembagian warisan
dan cara pembagiannya pun memiliki perbedaan begitu pula dengan hukum adat.

Kondisi ini berbeda dengan pewarisan yang terjadi di Jawa dengan sistem kekerabatan
bilateral atau parental. Berdasarkan tradisi di Jawa, anak perempuan termuda yang merawat
orangtuanya dapat mewarisi rumah dari orangtuanya tersebut. Rumah orangtua dalam
masyarakat Jawa memiliki nilai yang penting dan pada akhirnya dapat diwariskan pada anak
perempuan. Tren keseimbangan posisi anak laki-laki dan anak perempuan dalam pewarisan di
Jawa juga ditunjukkan oleh Kevane dan Levine. Menurut penelitian Kevane dan Levine,
diskriminasi terhadap perempuan di Jawa dalam pewarisan masih lazim di era 1950an tetapi
kemudian makin menurun di era 1990an.

Keseimbangan porsi anak laki-laki dan anak perempuan di Jawa terjadi secara alamiah,
sedangkan keseimbangan tersebut di masyarakat Batak awalnya didorong lewat putusan
pengadilan pasca-kemerdekaan yang kemudiaan diikuti dalam putusan berikutnya. Kondisi yang
sama juga terjadi dalam pewarisan pada masyarakat Timor yang patrilineal. Keseimbangan
porsi harta waris melalui putusan pengadilan dapat dilihat pada beberapa putusan Mahkamah
Agung yang mengarahkan pada terciptanya keseimbangan porsi dalam pewarisan. Namun
adanya putusan Mahkamah Agung tersebut tidak secara mudah mengubah pandangan
masyarakat dalam pewarisan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaiman tahapan tahapan dari pernikahan adat jawa ?

2. Bagaimana budaya hukum waris dalam masyarakat adat Jawa ?

1.3 Tujuan

1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah hukum Kekerabatan dan perjanjian adat
fakultas hukum universitas bina bangsa

2. Untuk mengetahui bagaimana adat atau budaya pernikahan dan pembagian harta warisan
bagi masyarakat Jawa
BAB II

Pembahasan

2.1 Definisi Masyarakat Jawa


Menurut Soerjono Soekanto (2004: 24) "Masyarakat adalah suatu kebiasaan tata cara dari
wewenang dan kerja sebagai kelompok dan golongan dari pengawasan tingkah laku serta
kebiasaan manusia. Keseluruhan selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat
merupakan jalinan hubungan sosial dan selalu berubah ." Berdasarkan pendapat diatas bahwa
masyarakat adalah sekumpulan manusia yang memiliki ciri-ciri berbeda dan saling berinteraksi
satu sama lain dan dapat menghasilkan ikatan yang kuat akibat adanya latar belakang
masyarakat yang sama.

Salah satu masyarakat yang memiliki ikatan yang kuat adalah masyarakat Jawa. Masyarakat
Jawa sering juga disebut dengan masyarakat adat Jawa. Masyarakat Adat merupakan istilah
umum yang dipakai di Indonesia untuk merujuk pada jenis masyarakat asli yang ada didalam
negara bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal masayarakat
Hukum Adat.

Masyarakat Jawa juga erat dengan kebudayaan yang diwariskan oleh leluhurnya secara
turun-temurun yang meliputi daerah kebudayaan Jawa yang sangat luas. Daerah-daerah yang
secara kolektif disebut dengan kejawen. Sebelum ada perubahan status wilayah seperti saat ini
daera Jawa meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri.
Daerah di luar tersebut dinamakan daerah Pesisir dan Ujung Timur.

Sistem keturunan atau kekerabatan yang terdapat pada masyarakat Jawa adalah prinsip
bilateral. Sistem kekerabatan ini ialah sistem klasifikasi menurut angkatanangkatan. Semua
kakak laki-laki atau perempuan dari ayah dan ibu, beserta istri dan suami mereka masing-
masing diklasisifikasikan menjadi satu yaitu dengan istilah uwa atau siwa. Sedangkan adik-adik
dari ayah dan ibu yang berbeda jenis kelamin, yaitu paman bagi adik lakilaki dan bibi bagi adik
perempuan.

Dalam hal tertentu, masyarakat Jawa juga mengenal adanya sistem patrilineal. Misalnya saja
dalam peristiwa perkawinan, dimana menurut adat untuk syahnya seorang perempuan menjadi
istri seorang laki-laki harus ditunjuk wali yang biasanya dilakukan oleh ayahnya. Apabila
ayahnya telah meninggal, maka sebagai penggantinya harus salah seorang anak laki-lakinya
yang tertua, bila ini tidak ada, boleh dilakukan oleh saudara laki-laki ayahnya. Dalam peristiwa
semacam ini, mereka yang mewakili ayah itu disebut pancer wali. Dengan demikian, pancer wali
ini harus seorang laki-laki dari kerabat ayah(suami).

2.2 Adat Perkawinan Jawa Tengah


Menurut Hukum Adat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan,
martabat, bisa juga merupakan urusan pribadi, bergantung pada tat susunan masyarakat yang
bersangkutan.

Adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentukbentuk
perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.
(Hilman Hadikusuma, 1990: 97). Berdasarkan pendapat tersebut disimpulkan bahwa adat
perkawinan adalah aturan-aturan, atau tata cara pelaksanan upacara perkawinan yang berlaku
di masyarakat setempat. Karena Indonesia merupakan Negara pluralis yang kaya akan adat
istiadat, budaya dan suku maka aturan-aturan hukum adat perkawinannya pun berbeda
diberbagai daerah di Indonesia. Perkawinan adalah sesuatu yang suci, yang kalau dapat akan
diusahakan untuk sekali saja seumur hidup, orang yang menikah dua kali atau lebih tanpa
disebabkan kematian salah satu pihak baik dari pihak suami ataupun istri, maka merupakan hal
yang tidak terpuji. Dalam perkawinan adat jawa pada umumnya mempunyai patokan yang
ideal, patokan tersebut dapat di lihat melalui :
a.Bibit
Bibit adalah penilaian seseorang ditinjau dari sudut keturunan. Siapakah yang menurunkan
orang yang akan menjadi pilihan tersebut. Misalnya: apakah dia berasal dari keluarga baik-baik
atau dari keluarga yang tidak baik.
b.Bebet

Bebet adalah penilaian seseorang berdasarkan pergaulannya. Artinya dengan siapakah calon
pilihan tersebut biasa bergaul. Apakah orang tersebut biasa bergaul dengan orang baik-baik,
atau dengan orang yang mempunyai reputasi yang kurang baik.
c.Bobot

Bobot adalah penilaian terhadap orang berdasarkan tinjauan keduniawian. Misalnya apakah
calon pilihan tersebut mempunyai pangkat/kedudukan yang tinggi atau rendah, kaya atau
miskin, cantik atau tidak cantik. Bagi laki-laki bobot lebih diutamakan, sebab zaman dahulu
pada umumnya istri itu tidak bekerja. Supaya kebutuhan rumah tangga tercukupi, maka suami
harus mempunyai pangkat yang tinggi atau pandai mencari nafkah.
Tata upacara adat perkawinan Jawa Tengah terdiri dari lima tahap penting, yang mana dari
masing-masing tahap tersebut masih terdiri dari beberapa tata cara lagi. Tata upacara adat
perkawinan Jawa Tengah meliputi :
1). Babak I (tahap pembicaraan)

Tahap pembicaraan ini merupakan tahap awal antara pihak yang akan punya hajat mantu
(pihak perempuan) dengan pihak calon besan (laki-laki). Mulai dari pembicaraan tingkat awal
yaitu menyampaikan maksud dan tujuannya untuk meminang anaknya sampai melamar dan
menentukan hari acara perkawinan (gethok dina).
2.) Babak II (tahap kesaksian)

Babak kedua ini merupakan tahap selanjutnya setelah tahap pembicaraan. Pada tahap
kesaksian ini meruakan peneguhan pembicaraan yang disaksikan pihak ketiga, yaitu warga
kerabat dan atau para sesepuh di tempat tinggalnya (tetangga). Tahap kesaksian ini biasa juga
disebut Tahap lamaran ini biasanya dibarengi dengan acara-acara lainnya. Artinya tidak hanya
acara lamaran saja, tetapi juga melalui acara-acara lainnya sebagai berikut :
a. Srah-srahan merupakan acara yang tidak baku, tetapi hanya sebagai upaya nepa palupi atau
melestarikan adat budaya yang telah berjalan dan dipandang baik.
b. Peningsetan yaitu lambang kuatnya ikatan pembicaraan untuk mewujudkan dua kesatuan
yang ditandai dengan tukar cincin antara kedua calon pengantin. Paningset berarti tali yang
kuat (singset). Paningset adalah usaha dari orangtua pihak pria untuk mengikat wanita yang
akan dijadikan menantu.
c. Asok tukon secara harafiah asok berarti memberi, tukon berarti membeli. Namun, secara
kultural asok tukon berarti pemberian sejumlah uang dari pihak keluarga calon pengantin pria
kepada keluarga calon pengantin wanita sebagai pengganti tanggung jawab orangtua yang
telah mendidik dan membesarkan calon pengantin wanita.
d. Gethok dina yaitu menentapkan kepastian hari untuk pelaksanaan dari tiap tahap-tahap tata
upacara adat perkawinan Jawa Tengah baik dari sebelum ijab qobul sampai pada acara resepsi
pernikahan. Untuk mencari hari, tanggal, bulan, yang biasanya diminta saran kepada orang
yang ahli dalam perhitungan Jawa.

3.) Babak III (tahap siaga)


Tahap siaga ini, yang akan mempunyai hajat akan mengundang para sesepuh dan sanak
saudara untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan upacara adat perkawinan.
Pada tahap ini yang akan mempunyai hajat akan membentuk panitia guna melaksanakan
kegiatan acara-acara pada waktu sebelum, bertepatan dan sesudah acara hajatan tersebut.
a. Sedhahan yaitu cara mulai merakit sampai membagi undangan. Pada acara ini, keluarga calon
pengantin perempuan mulai menentukan dan memilah siapa saja kerabat yang akan diundang
dalam acara perkawinan tersebut.
b. Kumbakarnan yaitu membentuk panitia hajatan mantu, dengan cara:
1. pemberitahuan dan permohonan bantuan kepada sanak saudara, keluarga, tetangga,
handai taulan, dan kenalan.
2. adanya rincian program kerja untuk panitia dan para pelaksana.
3. mencukupi segala kerepotan dan keperluan selama hajatan.

4. pemberitahuan tentang pelaksanaan hajatan serta telah selesainya pembuatan undangan.


4.) Babak IV (tahap rangkaian upacara)
Tahap ini bertujuan untuk menciptakan nuansa bahwa hajatan mantu sudah tiba. Ada beberapa
tahap acara lagi pada babak IV ini, yaitu :
a. Majang

Majang artinya menghias. Dalam rangkaian upacara perhelatan perkawinan, majang berarti
menghias rumah pemangku hajat.
b. Cethik geni

Cethik geni yakni menghidupkan atau membuat api yang akan digunakan untuk menanak nasi
dengan segala pirantinya.
c. Pasang tarub Tarub

dibuat menjelang acara inti dari perkawinan tersebut. Pemasangan tarub diawali dengan
pemasangan bleketepe oleh bapak dan ibu pemangku hajat. Bleketepe adalah anyaman daun
kelapa tua (bukan janur) yang kemudian pelepah kelapa dibelah menjadi dua.
d. Pasang tuwuhan (pasren)

Pemasangan tarub dilengkapi dengan pasang tuwuhan. Tuwuhan merupakan pajangan mantu
yang berupa paduan batang-buah-daun tertentu di gapura tarub depan rumah.
e. Kembar mayang

Kembar mayang berasal dari kata kembar artinya sama dan mayangartinya bunga pohon jambe
atau sering disebut Sekar Kalpataru Dewandaru, lambang kebahagian dan keselamatan.
f. Sengkeran
Sengkeran adalah pengamanan sementara bagi calon pengantin putra dan putri sampai acara
panggih selesai (Bratasiswara, 2000: 705).
g. Siraman
Siraman adalah upacara mandi kembang bagi calon pengantin wanita dan pria sehari sebelum
upacara panggih. Siraman juga disebut adus kembang, karena air yang digunakan dicampur
dengan kembang sritaman.
h. Adol dawet
Acara ini dilakukan setelah acara siraman. Penjualnya adalah ibu calon pengantin putri yang
dipayungi oleh bapak. Pembelinya adalah para tamu dengan uang pecahan genting (kreweng).
i. Midodareni
Midodareni adalah upacara untuk mengharap berkah Tuhan Yang Maha Esa agar memberikan
keselamatan kepada pemangku hajat pada perhelatan hari berikutnya.
5.) Babak V (tahap puncak acara)
Tahap ini merupakan acara puncak dari upacara adat perkawinan Jawa Tengah, yang mana
pada tahap ini masih terdapat beberapa acara-acara lagi antara lain :
a. Ijab qabul

Ijab merupakan inti utama dalam rangkaian perhelatan pernikahan. Ijab merupakan tata cara
agama, sedangkan rangkaian acara yang lain merupakan tradisi budaya Jawa.

b. Panggih
Upacara panggih juga disebut upacara dhaup atau temu, yaitu upacara tradisi pertemuan
antara pengantin pria dan wanita. Acara panggih dilakukan setelah ijab qabul atau akad nikah
(bagi pemeluk agama islam). Tata cara urutan upacara panggih antara lain sebagai berikut :
1. Liron Kembar Mayang saling tukar kembar mayang antar pengantin, bermakna menyatukan
cipta, rasa, dan karsa untuk bersama-sama mewujudkan kebahagiaan dan keselamatan.
2. Gantal, yaitu daun sirih digulung kecil diikat benang putih yang saling dilempar oleh
masingmasing pengantin, dengan harapan semoga semua godaan akan hilang terkena
lemparan itu.
3. Ngidak Endhog pengantin putra minginjak telur ayam sampai pecah sebagai simbol seksual
kedua pengantin sudah pecah pamornya.
4. Pengantin Putri mencuci kaki Pengantin Putra dengan air bunga setaman dengan makna
semoga benih yang diturunkan bersih dari segala perbuatan yang kotor.
5. Minum Air Degan maknanya air ini dianggap sebagai lambang air hidup, air suci, air mani
(manikem)

6. Di-kepyok dengan bunga warnawarni, mengandung harapan mudah-mudahan keluarga yang


akan mereka bina dapat berkembang segala-galanya dan bahagia lahir batin.
7. Masuk ke pasangan bermakna pengantin yang telah menjadi pasangan hidup siap berkarya
melaksanakan kewajiban.
8. Sindur atau Isin Mundur, artinya pantang menyerah atau pantang mundur. Setelah melalui
tahap panggih, pengantin diantar duduk di sasana riengga di sana
dilangsungkan tata upacara adat Jawa, yaitu :
a) Timbangan yaitu, bapak pengantin putri duduk diantara pasangan pengantin, kaki kanan
diduduki pengantin putra, kaki kiri diduduki pengantin putri.
b) Kacar-kucur, yaitu pengantin putra mengucurkan penghasilan kepada pengantin putri berupa
uang receh beserta kelengkapannya.
c) Dulangan, antara pengantin putra dan putri saling menyuapi. Hal ini mengandung kiasan laku
memadu kasih diantara keduanya (simbol seksual).
d) Sungkeman adalah ungkapan bakti kepada orang tua, serta mohon doa restu.

2.3. Hukum waris adat jawa

Hukum waris adat memuat tiga unsur pokok, yaitu:

1. Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang menjadi ahli
waris.

2. Mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan dalam
pengalihan harta waris tersebut. Serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris.

3. Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang dinamakan harta
warisan, serta apakah harta-harta tersebut semua dapat diwariskan.

Di dalam masyarakat adat Indonesia, secara teoritis sistem kekerabatan dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu:

1. Sistem Patrilineal

Sistem Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari Pihak Bapak, maksudnya
dalam hal ini setiap orang hanya menarik garis keturunan dari Bapaknya saja. Hal ini
mengakibatkan kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam hal
mewaris. Sistem ini dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung, Seram, NTT dan
lain-lain.

.2. Sistem matrilineal

Sistem Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang ditarik dari garis Pihak Ibu. Sehingga dalam
hal kewarisan kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari pada garis Bapak. Sistem
kekerabatan ini dianut oleh masyarakat Minangkabau, Enggano dan Timor.

.3. Sistem parental/bilateral

Sistem parental /bilateral adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua
belah pihak Bapak dan Ibu, sehingga kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal
mewaris adalah seimbang dan sama. Masyarakat yang menganut sistem ini misalnya Sumatera
Timur, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan dan lain-lain.

Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari jenis sistem
kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya,
asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku.
Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang menganut
sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang menganut asas patrilineal,
misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal, tetapi dalam mewaris,
memakai asas individual.

Masyarakat adat jawa yang memiliki hubungan kekerabatan parental atau bilateral memiliki
system kewarisan yaitu system individual , dimana harta warisan yang dipeeeroleh dapat
dimiliki perseorangan,hal tersebut jelas berbeda dengan system mayorat yang digunakan
masyarakat adat lampung. Secara umum, asas yang digunakan dalam hukum adat waris ini
sesuai dengan system kekerabatan yang dimiliki oleh suatu masyarakat adat,begitu pula dengan
adat jawa.

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa masyarakat jawa menganut system kekerabatan parental
atau bilateral dengan system waris individual yang berarti adanya suatu keharusan bagi ahli
waris untuk mendapatkan bagian sehingga dapat menguasai harta warisan yang telah dibagi
secara perseorangan. Adapun factor yang menyebabkan hal tersebut perlu dilakukan adalah
dikarenakan tidak adanya lagi keinginan untuk menguasai harta warisan secara kolektif. Hal ini
dikarenakan para ahli waris tidak lagi berada dalam satu rumah orangtuanya melainkan sudah
tersebar sendiri-sendiri mengikuti suami atau istrinya (mencar). Adahal positif dalam system
kewarisan individual yang diterapkan oleh masyarakat adat jawa ini, yaitu adanya suatu
kebebasan untuk mengolah harta warisan tanpa adanya pengaruh dari orang lain baik kerabat
maupun pihak lainnya yang memiliki kepentingan. Sedangkan hal negative nya yaitu adanya
suatu kerenggangan tali kekerabatan karena memang sifat pewarisannyaa individual yaitu
mengurus masing-masing sehingga dapat merenggangkan kekerabatan antara keluarga atau
kerabat.

2.4 Harta Warisan Masyarakat Adat Jawa

Menurut Djamat Samosir, harta warisan adalah harta yang dikuasai atau harta yang diperoleh
atau dikuasai suatu keluarga sebagai basis materil untuk kelangsungan hidup satu keluarga.
Fungsi harta warisan adalah sebagai basis material kehidupan suami-isteri dan anak-anaknya
(keluarga) dalam membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. Secara umum ada beberapa yang
menjadi objek atau harta warisan, yaitu:

1. Harta Pusaka

2. Harta Bawaan

3. Harta Pencaharian

4. Harta Dari pemberian seseorang kepada suami atau istri atau keduanya.

Menurut Djojodigoeno dan Tirtawinata dalam bukunya ‘’ adat Privaatrecht Van Middle-java’’
sebagaimana dikutib oleh Tolib Setiady menegaskan: Rakyat jawa tengah mengadakan
pemisahann harta warisan ini dalam 2 (dua) golongan, yaitu :

1.) Gawan ( Harta Bawaan )


Harta ini adalah harta yang dibawa oleh suami istri pada saat akan dilangsungkan perkawinan.
Dimana bila terjadi suatu perceraian dikemudian hari maka harta warisan berupa harta bawaan
ini akan kembali kepada masing- masing belah pihak yang membawanya, seperti yang
dinyatakan oleh orang Jawa " tetep dadi dueke dewek-dewek, Bali menyang asale." Kecuali
apabila dalam perkawinan yang memiliki perbedaan derajat dalam ekonomi (kaya dan miskin )
misalnya, suami tinggi (kaya ) atau disebut manggih koyo dengan istri rendah, maka harta
warisannya menjadi hak suami atau dikuasai oleh suami.

2.) Harta Gono - Gini (Harta bersama)

Harta Gono -gini adalah harta yang diperoleh semasa perkawinan yang didapat secara bersama
- sama. Dijawa harta Gono gini adalah " sraya ne wong lan duweke wing loro" yang berarti hasil
kerja 2 orang ( suami dan istri ) sehingga menjadi harta 2 orang (harta bersama )

Sebenarnya kedua harta diatas belum termasuk kedalam kategori harta warisan, melainkan
baru harta peninggalan karena harta warisan adalah harta yang sudah siap dibagi ( sudah
dikurangi hutang piutang dan sebagainya).

2.5. Ahli Waris dan bagiannya

Dalam hukum waris yang menjadi ahli waris adalah anak- anaknya, janda/duda yang
diutamakan menjadi ahli waris. Jika memungkinkan barulah keluarga terdekat yang sesuai
dengan ketentuan menjadi ahli waris. Dalam masyarakat adat Jawa semua baik anak laki - laki
maupun perempuan lahir lebih dahulu atau belakangan semuanya berhak menjadi ahli waris
dan mendapatkan warisannya. Akan tetapi, jika pewaris tidak memiliki anak sama sekali, anak
angkat atau anak Pipin pun tak punya maka yang berhak menjadi ahli warisnya adalah :

1. Orang tua pewaris (bapak atau ibu )

2. Jika orang tua tidak ada baru saudara kandung pewaris dan keturunannya, dalam hal ini
masih banyak menjadi perdebatan apakah anak angkat juga termasuk kedalam ahli waris apa
bukan

3. Jika point' dua tidak ada barulah kakek atau nenek pewaris berhak mewarisi
4. Jika point' tiga tidak ada baru kepakan atau bibi pewaris dari garis ayah maupun ibu.

Pada asasnya dalam masyarakat adat Jawa, janda atau duda bukanlah ahli waris dari pewaris
yang meninggal, karna dipahami janda dan duda mendapatkan harta warisan dari harta
bersama atau harta perkawinannya.

2.6 . Proses Pewarisan dalam Masyarakat adat Jawa

Proses yang dimaksud dalam hal ini adalah tentang bagaimana cara pewaris meninggalkan,
membagi atau meneruskan harta warisannya ketika masih hidup dan sudah meninggal, dimana
proses tersebut merupakan bagian dari budaya masyarakat adat Jawa dalam hal pewarisan.

Dalam masyarakat adat, begitupula dengan masyarakat adat Jawa, dalam proses pemberian
harta warisan dilakukan dengan dua cara yaitu sebelum pewaris meninggal dan setelah
pewaris meninggal dunia. Dalam masyarakat adat Jawa pembagian harta waris ketika pewaris
masih hidup dapat dilakukan dengan cara lintiran ( penerusan atau pengalihan ) cungan
(penunjukan ) atau dengan cara Weling atau wekas ( berpesan atau berwasiat ).

Dalam hal ini, akan kita lihat bagaimana budaya dalam hukum waris adat ketika pewaris masih
hidup, karena pada dasarnya untuk pewaris yang sudah wafat atau meninggal budaya
pewarisannya sama seperti yang berlaku dalam hukum nasional yang berlaku di Indonesia pada
umumnya. Seperti yang sudah disebutkan diatas, untuk proses pemberian harta warisan ketika
pewaris masih hidup dapat dilakukan dengan beberapa cara yang biasa digunakan dalam
masyarakat adat Jawa yang sering disebut dengan istilah adat Jawa dalam pembagian harta
warisan meninggal dunia yaitu :

1.) Penerusan Atau Pengalihan ( Lintiran )

Ketika pewaris masih hidup , biasanya pewaris melakukan penerusan atau pengalihan harta
warisan kepada ahli warisnya, maka sejak pengalihan atau penerusan itulah ahrta warisan
sudah beralih kepada ahli waris. Dalam pemberian harta warisan dengan cara pengalihan atau
penerusan ini dilakukan dengan cara pemberian bekal kepada anak yang akan meneruskan
kehidupan baik itu meneruskan keturunan (perkawinan ). Misalnya untuk membangun rumah
dan sebagainya. Dalam masyarakat adat Jawa hal ini disebut dengan istilah mencar atau
mentas. Biasanya dalam kebiasaan masyarakat adat Jawa masyarakat yang akan menikah
dibekali tanah atau rumah atau ternak, dimana benda- benda tersebut, dihitung kan dalam
harta keluarga ketika pewaris sudah meninggal. Penerusan ini dapat dilakukan juga terhadaoan
anak angkat yang dinilai sudah memberikan banyak pengorbanan, jasa, kontribusi
dalamkeluarga tersebut, sehingga ditakutkan apabila warisan diberikan ketika pewaris sudah
meninggal maka anak angkat dapat atau tersingkirkan oleh anak kandung. Sehingga budaya
masyarakat adat Jawa dalam pembagian harta warisan ini sangatlah mempertimbangkan
keadilan bagi anak kandung dan anak angkat serta menghindari adanya permasalahan yang
muncul sebagai akibat dari harta warisan yang ditinggalkan.

2.) Penunjukan (cungan )

Berbeda dengan proses penerusan, dalam cungan harta warisan yang diberikan akan beralih
hak penguasaan dan pemilikan nya setelah pewaris meninggal dunia. Sehingga dapat dikatakan
bahwa proses cungan ini memberikan dan membawa suatu akibat hukum. Sehingga setelah
dilakukannya cungan maka pewaris masih memiliki wewenang untuk menguasai harta yang
ditunjukan itu .

Kemudian dalam keadaan yang mendesak, maka pewaris dapat merubah maksudnya dalam hal
penunjukan harta warisan ini, maka dalam proses cungan ini dapat dikatakan masih berupa
penunjukan sementara yang bukan merupakan suatu pemberian secara mutlak ( masih dapat
berubah apabila terdapat suatu hal yang mendesak ). Penunjukan ini bukan hanya sebatas
benda bergerak saja, melainkan benda tidak bergerak seperti tanah lahan, kebun, sawah dan
sebagainya yang dalam bahasa Jawa disebut istilah garisan.

Dalam Masyarakat adat Jawa, adakalanya setelah pemberian garisan itu ditunjukan atau
diteruskan penguasaannya kepada anak lelaki atau perempuan yang sudah mencar dan
hidupmandiri harus memberikan punjunga yaitu kewajiban bagi setiap anakyang telah diberi
tanah itu untuk tetap memberi bagian hasil tertentu kepada orang tuanya selama masih hidup.
Cara tersebut juga masih berlaku meskipun sudah dioperkan dan diteruskan.
3.) Pesan atau wasiat ( Welingan Wekasan )

Welingan ini biasanya dilakukan pada saat pewaris sakit dan tidak ada harapan lagi untuk
sembuh atau pewaris akan pergi jauh seperti naik haji. Dimana Welingan ini berlaku apabila
pewaris benar- benar tidak pulang lagi atau benar- benar meninggal, sedangkan apabila pewaris
sehat kembali atau pulang dari bepergian jauh maka Welingan ini dapat dicabut kembali.
Tujuan dari cara ini adalah agar para ahli waris membagikan harta warisannya dengan cara yang
layak menurut anggapan pewaris dan agar tidak terjadi perselisihan dan tujuan lainnya yaitu
pewaris menyatakan secara mengikat sifat -sifat barang / harta yang ditinggalkannya. Pewaris
dapat mencambut atau menarik kembali suatu wasiat yang telah dibuat atau diikrarkan. Tetapi
selama wasiat tidak dicabut atau ditarik kembali , para ahki waris berkewajiban untuk
menghormati wasiat tersebut.

Sedangkan pewarisan ketika pewaris meninggal dunia dilakukan dengan cara menurut adat
masyarakat adat Jawa yaitu harta peninggalan dikuasai oleh tokoh adat dan kemudian
dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan prinsip pembagian warisan sistem individual yang
dianut oleh masyarakat kekerabatan parental atau bilateral. Dalam masyarakat asdt Jawa
pembagian warisan dapat dilakukan setelah acara slametan (selamatan ), dimana pelatana itu
ada ada beberapa macam seperti, mitung Dino , matang puluh, nyaris atau nyewu. Namun
biasanya dilakukan setelah nyewu ( setahun setelah wafatnya pewaris).

Adapun mengenai juru bagi tidak ada ketentuan pasti siapa yang menjadi juru bagi dalam
warisan adat Jawa, akan tetapi yang menjadi juru bagi adalah sebagai berikut.

a. Orang tua yang masih hidup ( janda/ duda pewaris )

b. Anak tertua laki - laki atau perempuan

c. Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana

d. Anggota kerabata tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang diminta,
ditunjuk atau dipilih oleh ahli waris.
Dalam masyarakat adat Jawa, kebiasaan atau adat dalam pembagian harta warisan tidak dilihat
dari nilai ekonomis secara matematis, melainkan melihat wujud benda dan kebutuhan ahli
waris yang bersangkutan. Jadi meskipun dikenal dengan adanya persamaan hak antara laki - laki
dan perempuan tetapi dalam pembagian warisan juga memperhatikan kebutuhan dari ahli
warisnya.

Pada masyarakat adat Jawa dalam hal pembagian harta warisan dilakukan dengan dua cara
yaitu :

1. Segendong - Sepikul

Segending sepikul yaitu dalam hal pembagian harta warisan anak laki laki mendapatkan dua kali
lipat dari anak perempuan. Berarti dalam hal ini hampir sama dengan prinsip hukum Islam
dalam pembagian harta warisan, dimana laki laki mendapatkan dua bagian dan perempuan
mendapatkan satu bagian (2:1)

2. Dundum kupat

Sedangkan pembagian dengan cara dumdum kupat dilakukan dengan membagi secara
seimbang antara laki - laki dan perempuan ( kedudukan hak dan kewajiban yang sama ).
BAB III

Penutup

3.1 kesimpulan

Masyarakat Jawa erat dengan kebudayaan yang diwariskan oleh leluhurnya secara turun-
temurun yang meliputi daerah kebudayaan Jawa yang sangat luas. Daerah-daerah yang secara
kolektif disebut dengan kejawen. Sebelum ada perubahan status wilayah seperti saat ini daera
Jawa meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Daerah di
luar tersebut dinamakan daerah Pesisir dan Ujung Timur.

Sistem keturunan atau kekerabatan yang terdapat pada masyarakat Jawa adalah prinsip
bilateral. Sistem kekerabatan ini ialah sistem klasifikasi menurut angkatanangkatan. Semua
kakak laki-laki atau perempuan dari ayah dan ibu, beserta istri dan suami mereka masing-
masing diklasisifikasikan menjadi satu yaitu dengan istilah uwa atau siwa. Sedangkan adik-adik
dari ayah dan ibu yang berbeda jenis kelamin, yaitu paman bagi adik lakilaki dan bibi bagi adik
perempuan.

Dalam hal tertentu, masyarakat Jawa juga mengenal adanya sistem patrilineal. Misalnya saja
dalam peristiwa perkawinan, dimana menurut adat untuk syahnya seorang perempuan menjadi
istri seorang laki-laki harus ditunjuk wali yang biasanya dilakukan oleh ayahnya. Apabila
ayahnya telah meninggal, maka sebagai penggantinya harus salah seorang anak laki-lakinya
yang tertua, bila ini tidak ada, boleh dilakukan oleh saudara laki-laki ayahnya. Dalam peristiwa
semacam ini, mereka yang mewakili ayah itu disebut pancer wali. Dengan demikian, pancer wali
ini harus seorang laki-laki dari kerabat ayah(suami).

Adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentukbentuk
perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.
(Hilman Hadikusuma, 1990: 97). Berdasarkan pendapat tersebut disimpulkan bahwa adat
perkawinan adalah aturan-aturan, atau tata cara pelaksanan upacara perkawinan yang berlaku
di masyarakat setempat. Karena Indonesia merupakan Negara pluralis yang kaya akan adat
istiadat, budaya dan suku maka aturan-aturan hukum adat perkawinannya pun berbeda
diberbagai daerah di Indonesia. Perkawinan adalah sesuatu yang suci, yang kalau dapat akan
diusahakan untuk sekali saja seumur hidup, orang yang menikah dua kali atau lebih tanpa
disebabkan kematian salah satu pihak baik dari pihak suami ataupun istri, maka merupakan hal
yang tidak terpuji. Dalam perkawinan adat jawa pada umumnya mempunyai patokan yang
ideal, patokan tersebut dapat di lihat melalui
Daftar Pustaka

Hadikusuma, Hilman.1990. Hukum Waris Adat. cet. 4. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Bratasiswara, R. H. 2000. Bauwarna Adat Tata Cara Jawa. Jakarta: Yayasan Suryasuminat.
Hadikusuma, H. 1990. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya.
Bandung: Citra Aditya Bakti

Anda mungkin juga menyukai