HKUM4204 - Hukum Adat - 030954827-Neng Dewi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 9

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU) UAS

TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : Neng Dewi


Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 030954827

Tanggal Lahir : 25 Oktober 1999

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4204/ Hukum Adat

Kode/Nama Program Studi : 311/ Ilmu Hukum

Kode/Nama UPBJJ : 24/ UPBJJ UT Bandung

Hari/Tanggal UAS THE : Rabu/ 7 Juli 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halamanini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuranakademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulistangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuranakademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN
UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Neng Dewi


NIM : 030954827
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4204/ Hukum Adat
Fakultas : FHISIP
Program Studi : Ilmu Hukum
UPBJJ-UT : Bandung

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepadasiapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UASTHE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di UniversitasTerbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
UniversitasTerbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Bandung, 7 Juli 2021

Yang Membuat Pernyataan

Neng Dewi
1. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki suku yang beragam. Suku yang terdapat di
Indonesia diantaranya adalah suku Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan dan suku Bali.
a. Silahkan Anda analisis, bagaimana corak dan sifat hukum adat pada masyarakat Dayak ?
Hukum adat pada masyarakat dayak yang berada di kaimantan memang sangat beragam,
tergantung wilayah adatnya masing masing. Masyarakat adat Dayak sebenarnya saat ini terbagi dalam
enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-
Ngaju, Iban, Murut, Klemantan atau Bidayuh dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak
yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil
asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan).
Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-
etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor
penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak.
Adapun corak dan sifat hukum pada masyarakat dayak ini yaitu
1. Bersifat religius dan dinamis
Masyarakat adat dayak tidak hanya terkenal dengan budayanya yang khas tetapi masyarakat
adat ini juga memiliki sifat yang religius yakni senantiasa mempertahankan agama dan ritual-ritual
dari nenek mooyangnya. Agama yang terkenal dalam masyarakat hukum adat dikenal dengan agama
Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang (Ijambe) dalam ritual penguburan
sekunder. agama leluhur masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan
ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering
dinamakan sebagai agama Balian.
Namun untuk saat ini pengaru agama lai mulai masuk di kalangan suku dayak ini
Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini
memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan.
Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga
Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini
tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam
namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan
berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan
Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-
Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama
Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan.
Meskipun demikian sifat religius dari masyarakat dayak tersebut sebenarnya masih
sangat melekat terbukti dari mudahnya berkembang masuk berbagai agama kedalam lingkungan
masyarakat adat ini. Bukti udah berkembang masuknya agama pada masyarakat dayak ini juga
membuktikan bahwa sifat dari masyarakat dayak ini bersifat dinamis artinya mereka dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi tanpa meninggalkan ciri khas dari
masyarakat dayak itu sendiri.
2. Tradisional
Yang menjadi corak dan sifat hukum dari masyarakat adat Dayak yang berada di
kalimantan adalah masih bersifat tradisional. Umumnya masyarakat adat ini masih mengikuti
ritual-ritual yang dilakukan pada zaman nenek moyangnya seperti ritual penguburan yang khas.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia
di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan: penguburan
tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat, penguburan di dalam peti batu
(dolmen), penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan
sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Tradisi inlah yang masih dipertahankan oleh masyarakat adat Dayak sebagai bukti bahwa
masyarakat adat dayak masih mengikuti ritual-ritual atau hukum dari nenek moyangnya.
3. Komunal (kebersamaan) dan menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat
Pada masyarakat dayak di Kalimantan ini , masyarakatnya sangat kental dengan rasa
kekeluargaan dan kebersamaan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah dan mufakatnya,
sebagai contoh pada masyarakat dayak Mualang .
di sini masih sangat kental dengan rasa kekeluargaan dan kebersamaannya. Rasa
kekeluargaan dan kerbersamaan, tidak terlepas dari dipatuhi dan ditaatinya aturan (hukum) adat
sebagai pedoman hidup bersama. Bagi Dayak Mualang di sini, setiap ada masalah atau sengketa di
kampung, maka penyelesaiannya mengutamakan hukum adat. Dayak Mualang di Kampung Resak
Balai percaya bahwa hukum adat merupakan jalan terbaik dan masih memberi rasa keadilan dalam
menyelesaikan masalah atau sengketa yang terjadi. Tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan
cara hukum adat. Bagi Masyarakat Adat Dayak Mualang, tujuan adanya hukum adat adalah untuk
mengatur tata tertib dalam hidup bermasyarakat. Hukum adat sangat penting karena menjaga dan
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam, serta manusia
dan Sang Pencipta agar tetap terjaga, seimbang, damai dan harmonis.
Hukum adat dalam Dayak Mualang terdiri dari beberapa jenis atau tingkatan. Mulai dari hukum
adat yang mengatur prilaku pribadi seseorang, antar sesama, hingga hukum adat yang berkaitan
dengan tanah dan pengelolaan sumber daya alam. Maka, bagi Dayak Mualang, hukum adat
merupakan hal yang sangat sakral. Itulah sebabnya, setiap ada pelanggaran terhadap hukum adat,
maka semua pelanggar harus dikenakan sanksi adat dan wajib memenuhi sanksi adat dalam bentuk
tail. Tail adalah satuan untuk menyebutkan sanksi adat menurut Dayak Mualang.
Salah satu hukum adat yang hingga kini tetap dipatuhi Masyarakat Adat Dayak Mualang di Kampung
Resak Balai adalah adat butang atau hukum adat butang. Hukum Adat ini merupakan bagian dari
hukum adat perkawinan. Perkawinan adalah bersatunya dua insan manusia yang sangat berbeda dan
tidak dapat dipisahkan oleh siapapun, sehingga apabila terjadi pengingkaran terhadap perkawinan,
baik oleh suami ataupun istri, maka terhadap keduanya dikenakan hukum adat butang. Butang adalah
perbuatan selingkuh atau zinah yang dilakukan oleh laki-laki yang telah beristri atau sebaliknya
perempuan yang telah bersuami. Hukum adat butang ini diperuntukkan bagi setiap orang (laki-laki dan
perempuan) yang telah memiliki pasangan yang sah atau telah berumah tangga.

4. Sederhana
Karena memang pada umumnya masyarakat hukum adat ini senantiasa bersahaja, tidak rumit , tidak
beradministrasi, mudah di mengerti dan berdasar saling percaya mempercayai, nah begitupun pada
masyarakat adat Dayak ini sifatdan corak sederhana ini tentunya menjadi nilai yang senantiasa di
junjung dalam menjalani kehidupan masyarakatnya.

Reserensi: BMP HKUM4204 , https://kebudayaan-dayak.com/budaya/0-251/jenis-jenis-hukum-


adat-beserta-dendanya.html ,

b. Silahkan Anda analisis, sifat hukum adat yang bersifat dinamis dan berikan contohnya pada masyarakat
adat Bali !
Sifat hukum adat bersifat dinamis ini berarti bahwa hukum adat dapat berubah menrut keadaan
waktu dan tempat. Setiap perkembangan masyarakat hukum adat akan selalu menyesuaikan diri sesuai
dengan perkembangan yang terjadi. hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh berkembang
seperti hidup itu sendiri . Hukum adat akan terus ada dan berkembang selama masyarakatnya masih
hidup. Masyarakat tersebut akan terus menyesuaikan hukum adat mereka sesuai dengan keadaan yang
ada.
Kehidupan masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hukum adat dalam kesatuan
masyarakat hukum adatnya. Kebaradaan Hukum adat Bali umumnya diwarnai dengan unsur agama
terutama agama Hindu dan Budha. maka perkembangan agama Hindu dan Budha begitu mendalam dan
bahkan merembet ke dalam adat dengan begitu hebatnya, sehingga antara adat dan agama Hindu di Bali
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan lagi.
Masyarakat Bali tidak bisa menghidar dari pengaruh dunia luar, terlebih lagi di era globalisasi
dengan muatan pariwisatanya pengaruh tersebut akan semakin terasa. Memang sejak dahulu masyarakat
Bali sudah berkomunikasi dengan dunia luar, seperti pengaruh Kerajaan Majapahit,pengaruh Kerajaan
Belanda, Jepang, langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan perubahan-perubahan dalam
kehidupan masyarakat Bali karena pengaruh-pengaruh tersebut ikut mewaranai tatanan hidup
masyarakat.
Realitas sosial bukanlah suatu yang statis. Semua masyarakat di dunia ini selalu berubah,
demikian juga masyarakat adat di Bali lebih-lebih di era sekarang ini. di era sekarang ini pengaruh faktor
pergaulan internasional tidak bisa diabaikan. Kemampuan menerima perubahan merupakan suatu hal
yang sangat penting, karena itu perlu mereinterpretasi dan merevitalisasi nilai-nilai tradisi sejalan dengan
perkembangan masyarakat.
Bukti bagaimana masyarakat adat bali bersifat dinamis bahhwa masyarakat adat bali sudah
mampu mengkuti perkembangan zaman dengan adatnya , di Bali ada istilah aturan yang di sebut denga n
Awig-Awig khas dari Desa Adat Bali yaitu desa Pakraman, Awig-awig ini yang menjadi aturan agar
masyarakat adat bali bersifat dinamis. Sehingga aturan ini nantinya diharapkan menjadi aturan yang
membawa masyarakat adat bali bisa mengikuti perkembangan alur globalisasi saat ini
Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
iktan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri
dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Pada Mayarakatat bali terkenal dengan adanya Awig-
Awig yang menjadi ciri khas tatanan masyarakat bali.
Awig-awig merupakan tata dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat sendiri ditandai oleh
beberapa ciiri, seperti adanya interaksi, ikatan pola tingkah laku yang khas dalam semua aspek kehidupan
yang bersifat mantap dan kontinyu, serta adanya rasa identitas terhadap kelompok dimana individu yang
bersangkutan sebagai anggotanya Sebagai salah satu bentuk hukum adat di Bali yang tumbuh,
berkembang, dan berubah sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Sebagai salah satu bentuk
hukum adat, umumnya awig-awig ditaati oleh masyarakat.
Oleh karena itu, awig-awig merupakan hukum yang hidup (the living law), yang sifatnya luwes dan
dinamis sesuai dengan hukum adat. Sifat luwes berkaitan dengan pengeterapannya yang selalu dapat
disesuaikan dengan kebutuhan zaman melalui perarem, sedangkan sifat dinamis berkaitan dengan isi
atau ketentuan-ketentuannya yang dapat berubah dan dapat diubah sesuai dengan kebutuhan
perkembangan zaman. Keluwesan dan kedinamisan awig-awig dapat diketahui dari adanya klausula
”nguwah nguwuhin” awig-awig yang biasanya dituliskan pada bagian akhir dari awig-awig itu sendiri.
Dengan adanya sifat yang luwes dan dinamis tersebut bisa dimengerti bahwa awigawig dimasa
lalu tidak selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat masa kini, demikian juga kebutuhan masyarakat di
masa yang akan datang, karena rasa keadilan dan ukuran kepatutan juga mengalami perubahan.
Perubahan itu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, faktor kependudukan (demografi),
faktor ekonomi, faktor lingkungan (ekologi), faktor teknologi, faktor pendidikan dan juga faktor ideologi.
Khusus dalam hubungannya dengan penyelenggraan pemerintahan yang berada dalamtangan
pemerintah desa (pengurus/prajuru adat) selain memperhatikan pelaksanaan aturan hukum dalam
bentuk hak dan kewajiban dari warga terhadap kelompok masyarakatnya, seyogyanya juga
memperhatikan kondisi perkembangan kehidupan masyarakatnya, dengan kata lain bagaimana merespon
perkembangan masyarakatnya akhirnya dituangkan atau dirumus dalam aturan adatnya (awig-
awig/perarem) demi ketertiban warganya.
Secara umum yang dimaksud dengan awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku, baik
tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan
dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, dalam hubungan antara krama (anggota desa pakraman)
dengan Tuhan, antara sesama krama, maupun antara krama dengan lingkungannya.

Dengan pengertian demikian maka menjadi jelas bahwa semua desa pakraman di Bali mempunyai
awig-awig walaupun bentuknya ada yang belum tertulis. Belakangan, terutama sejak tahun 1969, ada
kecendrungan desa pakraman menulis awig-awignya dalam bentuk dan sistimatika yang seragam.
Tujuannya adalah agar prajuru adat dan generasi mendatang dapat lebih mudah mengetahui isi awigawig
desanya. Penulisan awig-awig dianggap penting atas dasar pertimbangan bahwa hukum adat dalam
bentuk tidak tertulis yang berupa kebiasaan-kebiasaan sangat sulit dikenali. Dengan penulisan awig-awig
diharapkan kepastian hukum dapat lebih terjamin baik bagi krama desa, prajuru, maupun bagi
pemerintah. Disamping itu penulisan awig-awig dipandang penting dalam rangka penemuan hukum, yaitu
memudahkan menemukan, mengetahui dan memahami isi hukum adat. Awig-awig inilah diharapkan
menjadi aturan yang bisa menjaga kekhasan adat bali yang bahkan bisa menjadikan masyarakat bali
senantiasa dinamis dan mengikuti arus zaman.

Kesimpulannya bahwa meski pengaruh globalisasi dan modernisasi datang kepada masayarakat adat Bali ini
dengan pengaruh pariwsatanya namun tetap Keberadaan Hukum Adat Bali yang dinamis untuk mengatur pola-
pola perilaku yang diharapkan tersebut bersumber dari catur dresta yakni sastra dresta (ajaran agama), kuna
dresta (nilai budaya), loka dresta (pandangan hidup) dan desa dresta (adat istiadat) akan berhadapan
kebijakan pengembangan industrialisasi pariwisata yang tidak terlepas dari modernisasi pembangunan dan arus
budaya global. Oleh karena itu Hukum adat senantiasa bertarung dengan dua kekuatan besar, yaitu
pembangunan sistem hukum nasional yang mengarah pada pembentukan hukum modern dan
kepentingan globalisasi itu sendiri. Eksistensi Hukum Adat Bali akan dapat dipertahankan jika Struktur, yaitu
para pemangku adat (prajuru) Bendesa sebagai pimpinannya selalu mendasarkan putusannya pada kesepakatan
paruman warga yang mempertimbangkan dari berbagai aspek kehidupan. actor Budaya masyarakat
adat yang bersifat terbuka yaitu memiliki pola berfikir global dengan tetap dalam kontek lokal dalam
pelaksanannya.

2. Dalam suatu perkawinan antara suami dan istri, senantiasa memerlukan keturunan atau anak, sebab anak
adalah sebagai penerus keturunannya, walaupun ada pasangan tertentu yang tidak mampu melahirkan
anak sebagai keturunannya. Dalam keadaan yang demikian ini, kadangkadang timbul pikiran untuk
melakukan pengangkatan anak. Dalam hukum adat Bali, apabila orang tua tidak memiliki anak maka dapat
melakukan pengangkatan anak dengan cara – cara yang diatur dalam hukum adatnya.
a. Menurut analisis Anda, apakah anak angkat memperoleh kedudukan dalam menerima waris menurut
hukum waris adat Bali ?
Pengertian pengangkatan anak menurut hukum adat Bali pada dasarnya yaitu mengangkat anak
orang lain dan menempatkannya sebagai anak kandung dengan tujuan melanjutkan keturunan dari si
pengangkat Pewarisan menurut hukum adat Bali tidak identik dengan membagi harta peninggalan
(warisan) orang tua dan leluhur (pewaris) oleh ahli waris, melainkan mengandung makna pelestarian,
pengurusan dan penerusan swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) terhadap peninggalan
pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya .
Pada hukum adat Bali pengangkatan anak dikenal dengan beberapa istilah seperti meras pianak
atau meras sentana. Kata sentana berarti anak atau ketururan dan kata meras berasal dari kata Peras
yaitu semacam sesajen atau banten untuk pengakuan/pemasukan si anak ke dalam keluarga orang tua
angkatnya. Disamping istilah tersebut diatas ada pula yang memakai istilah atara menyebut dengan ngidih
sentana/ngidih pianak. Penyebutan tersebut mengandung pula pengertian sama dengan pengertian
meras sentana ataupun meras pianak.
Anak angkat dalam hukum adat Bali adalah anak orang lain diangkat oleh orang tua angkatnya
menurut hukum adat setempat, sehingga dia mempunyai kedudukan sama seperti seorang anak kandung
yang dilahirkan oleh orang tua angkatnya tersebut.
pada masyarakat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilinial, maka anak laki-laki lebih
memegang peranan penting daripada anak wanita. Atas dasar itu apabila tidak adanya anak kandung,
maka upaya yang ditempuh untuk mempertahankan garis keturunan/marga dari masing-masing sistem
kekeluargaan itu adalah pengangkatan anak. istilah untuk anak angkat Nyentanayang (di Bali).
Kemudian Di Bali terdapat pengangkatan anak yang mengubah status anak perempuan menjadi
status laki-laki dalam perkawinan keceburin, yang disebut Sentana rajeg (Meliala, 1982:8). Hal ini mirip
dengan perkawinan ambil anak yaitu seorang anak laki-laki diambil menjadi suami dari seorang gadis yang
tumbuh pada sistem kekeluargaan patrilinial. Tujuannya untuk mencegah punahnya keturunannya, maka
perkawinan ambil anak itu dilakukan agar anak yang lahir dari perkawiran tersebut termasuk dan si istri
Adapun kalau masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan parental, ahli warisnya akan berhak
mewaris baik dari garis bapak maupun dari garis ibu.
Di Bali proses meneruskan harta benda keluarga baru dimulai sejak kedua orang tuariya
meninggal dunia dan jenazah kedua orang tuanya telah diabenkan (Soeripto, 1973 : 49). Jadi sistem
pewarisan di Bali itu baru terbuka selebar-lebarnya apabila kedua orang tua telah meninggal dunia dan
jenazah telah diabenkan. Pada saat pewarisan terbuka maka harta peninggalan yang terpencar-pencar
dikumpulkan kembali kemudian dibagi-bagi.
Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang menjadi ahli
waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian
dari sistem patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali, apabila pewaris hanya mempunyai anak
perempuan maka si anak dapat dijadikan Sentana rajeg dengan melakukan perkawinan Nyeburin yaitu si
wanita kawin dengan si laki-laki dengan menarik laki-laki itu kedalam rumpun keluarganya. Di sini si
wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki berkedudukan sebagai perempuan.
Bagi si wanita akan berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi laki-
laki yang kawin Nyeburin, kedudukannya dalam warisan adalah sebagai wanita.
Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat anak laki-
laki dari saudara kandung lelaki terdekat, demikian seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli
waris dan terhadap segala sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota
kerabat . Pendapat ini sesuai dengan Paswara Residen Bali dan Lombok tahun 1900, yang menentukan
syarat-syarat pengangkatan sentana. Pasal 11 dari paswara itu menentukan seorang boleh mengangkat
sentana dari keluarga kepurusa terdekat dan paling jauh dalam derajat kedelapan (mingtelu menurut
stelsel klasifikasi) menyimpang dari ketentuan ini hanya dibolehkan dengan persetujuan keluarga lebih
dekat dari calon pertama itu atau dengan izin pemerintah .
Di Bali akibat dari pengangkatan anak dalam hukum adat adalah bahwa anak itu mempunyai
kedudukan sebagai anak yang lahir dari perkawinan suami istri yang mengangkatnya sama seperti anak
kandung dan hubungan dengan keluarga asal jadi putus .Demikian halnya dengan kedudukan anak angkat
di Bali menurut Gde Panetje ,bahwa : Pada umumnya anak sentana memperoleh kedudukan dan hak
(antara lain hak waris) yang sama dengan seorang anak kandung.
Sistem Pewarisan Dalam Hukum Waris Adat Hukum waris adat Bali bersumber pada awig-awig
yang tertulis dan kebiasaan masyarakat di masing-masing daerah. Awigawig merupakan peraturan-
peraturan yang tertulis yang berlaku di teritorial masyarakat hukum adat di masing-masing daerah di Bali.
Kebiasaan yang berlaku senada dengan desa mawacara, desa, kala dan patra yang artinya disesuaikan
dengan tempat, waktu dan keadaan.

Kedudukan anak angkat di dalam pewarisan menurut hukum waris adat Bali

1. Efektivitas pelaksanaan pengangkatan anak agar absah berdasarkan hukum waris adat Bali.  Adanya
upacara peras
 Adanya pengesahan dari prajuru desa
 Adanya penetapan dari Pengadilan Negeri
2. Akibat hukum dari pengangkatan anak terhadap harta warisan orang tua kandung dan orang tua
angkat berdasarkan hukum waris adat Bali.
 Hubungan kekeluargaan anak angkat dengan orang tua kandung putus
 Kedudukan anak angkat dalam keluarga orang tua angkat sebagai anak kandung
 Berkedudukan sebagai ahli waris
 Anak angkat bukan dari clan sendiri hanya mewarisi harta guna kaya (harta pencaharian)
 Anak angkat tidak berhak mewarisi harta orang tua kandung karena telah putus hubungan
kekeluargaan

b. Menurut analisis Anda, apakah anak angkat masih mendapat warisan dari orang tua kandungnya ?

http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MWUzYjM3MjM4YzJiNDY1M2U
3NWZhNjBmZjYwZGUyMWYzNDY4NWE3Zg==.pdf
3. Sistem hukum waris adat sangat dipengaruhi oleh berbagai aturan dalam hukum, seperti sistem garis
keturunan dalam keluarga dan hukum perkawinan yang dilakukan oleh pewaris. Hal inilah yang menyebabkan
sistem waris di Indonesia memiliki perbedaan.
a. Menurut analisis Anda, apakah keberlakuan sistem hukum waris adat Bali saat ini condong pada sistem
matrilineal ?
b. Menurut analisis Anda, apakah saat ini telah terjadi pergeseran kewarisan dalam hukum waris adat Bali ?

4. Hukum adat bersumber dari kebiasaan yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang pada suatu
masyarakat tertentu yang kemudian diterima menjadi hukum secara turun temurun, seperti misalnya pada
masyarakat hukum adat Aceh tentu memiliki perbedaan dengan masyarakat suku Samin.
a. Menurut analisis saudara, apakah sengketa dalam faraidh (kewarisan) termasuk dalam delik adat pada
masyarakat Aceh ?
b. Menurut analisis saudara, apakah prosedur penyelesaian sengketa dalam peradilan adat sama dengan
penyelesaian sengketa dalam Mahkamah Syari’yah ?

Anda mungkin juga menyukai