Anda di halaman 1dari 4

Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1,C 125-128

https://doi.org/10.32315/sem.1.c125

Bangunan Berarsitektur Tradisional Jawa dengan Pengaruh


Arsitektur Eropa
Haneke Tiara

Mahasiswa Arsitektur, Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, ITB.
Korespondensi: hnktiara@gmail.com

Abstrak

Arsitektur kolonial yang berkembang di Indonesia banyak berpusat di Pulau Jawa. Hal ini terjadi
akibat besarnya potensial pulau dalam strategi penaklukan Indonesia. Untuk melaksanakan rencana
tersebut, perlu didirikan bangunan-bangunan sebagai basis operasi Belanda di Jawa. Dengan
demikian terjadilah percampuran gaya arsitektur dalam pembangunan. Penyelesaian isu iklim tropis
menjadi salah satu masalah penting yang diangkat oleh arsitek-arsitek pada masa kolonial. Salah
satu contoh menarik yang menjadi hasil dari kombinasi pemikiran ini adalah tercampurnya arsitektur
tradisional Jawa dengan arsitektur Eropa. Tulisan ditujukan untuk menunjukan contoh bangunan
yang muncul dari percampuran tersebut dan juga membahas kesamaan antar kedua langgam.
Diharapkan tulisan ini dapat mengingatkan keberadaan bangunan bergaya campur tradisional yang
harmonis.

Kata-kunci : Jawa, kolonial, tropis, tradisional

Pendahuluan

Arsitektur Indonesia adalah warisan budaya negara yang perlu dilestarikan, sayangnya masyarakat
masa kini cenderung meninggalkan arsitektur tradisional dan lebih gemar dengan trend arsitektur
internasional. Padahal jika dicermati, trend tersebut tidak selalu cocok untuk diterapkan pada kondisi
lingkungan dan iklim Indonesia. Masyarakat perlu menyadari pentingnya identitas dan jati diri dalam
cinta tanah air. Pemikiran memilih budaya luar yang dirasa lebih 'baik' perlu dikonsiderasi ulang.
Sudah waktunya masyarakat terlepas dari pola pikir demikian. Arsitektur tradisional terbentuk dari
dekade demi dekade uji coba nenek moyang dalam menyempurnakan tipologi yang cocok untuk
kondisi iklim Indonesia. Hasil yang keluar tentu tidak kalah canggih dengan arsitektur luar negeri
yang melakukan metode yang kurang lebih sama pada masa lampau.

Kombinasi antara tipe arsitektur tradisional dan luar negeri tentu merupakan suatu hal yang menarik.
Dalam pembelajaran kedua tipe ini, dapat dipastikan kesamaan dan perbedaan akan nampak.
Pembahasan akan memberikan penjelasan terhadap desain bangunan yang muncul pada arsitektur
zaman kolonial. Bangunan yang dipilih merupakan sebuah pertemuan antara kedua tipe arsitektur,
tradisional dan Eropa. Bangunan memberikan contoh fisik dimana aplikasi arsitektur 'luar' tidak
mengurangi kentalnya budaya Indonesia pada bangunan, melainkan saling melengkapi pada
komponen-komponen yang ada.

Rancangan saling melengkapi secara desain dan menjadikan bangunan serupa tapi tak sama.
Tulisan ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam indahnya nilai-nilai budaya
Indonesia. Diharapkan masyarakat dapat melihat harta warisan budaya dengan kacamata orang-
orang asing yang dahulu terpesona dengan negeri zamrud khatulistiwa ini.

Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 125
ISBN 978-602-17090-6-1 E-ISBN 978-602-17090-4-7
Bangunan Berarsitektur Tradisional Jawa dengan Pengaruh Arsitektur Eropa
Kegiatan

Munculnya arsitektur modern yang peka terhadap iklim tropis merupakan sebuah momentum
penting dalam sejarah arsitektur Indonesia. Pencarian bentuk identitas arsitektur ini terjadi sekitar
tahun 1920 sampai tahun 1930, dimulai oleh dua arsitek bernama Maclaine Pont dan Thomas
Karsten. Thomas Karsten mengatakan bahwa, arsitektur Indonesia memang seharusnya memiliki
dampak, pada Notes on the possibilities on development of indigenous building art. Pendapat yang
didukung kuat oleh Berlage, yang mengatakan bahwa supaya arsitektur indo europe dapat semakin
berkembang, harus terjadi sintesa antara sistem konstruksi eropa dan bentuk seni oriental. Jika hal
tersebut tercapai maka terjadilah harmoni antara konstruksi dan desain, tujuan utama dari setiap
desain rancangan bangunan.

Pencapaian keinginan diatas tidak dapat diselesaikan tanpa pemahaman mengenai kebudayaan
Indonesia sendiri. Arsitektur tradisional sangat terikat erat pada budaya masyarakat setempat. Salah
satu diantaranya, rumah Jawa, tidak hanya merupakan bangunan dengan kepemilikan pribadi tapi
juga menjadi ruang terjadinya interaksi sosial (Santosa, 2000). Arsitektur rumah Jawa penuh dengan
makna dan nilai-nilai kebudayaan, disempurnakan dari generasi ke generasi dalam beradaptasi
dengan kondisi lingkungan dan iklim setempat. Dari bentuknya (Ismunandar, 2003), rumah Jawa
dapat dikategorikan menjadi, rumah Joglo, rumah Limasan, Kampung, rumah berbentuk Masjid dan
Tajug/Tarub, rumah Panggang Pe.

Dari lima tipe tersebut, Joglo merupakan jenis yang sering


dikatakan merepresentasikan arsitektur Jawa. Rumah Joglo dimiliki
oleh kalangan atas dalam komunitas Jawa karena membutuhkan
biaya yang tinggi dan material lebih. Joglo biasanya berbentuk
persegi dengan empat kolom utama. Komposisi ruang terbagi
menjadi tiga (Ismunandar, 2003) yaitu, 'pendapa' (ruang interaksi),
'pringgitan' (ruang duduk yang dapat digunakan sebagai panggung
wayang), dan bagian belakang rumah 'dalem/omah jero'. Bagian
belakang ini terbagi lagi menjadi sentong kiwa (ruang kiri), sentong
petanen (ruang tengah), dan sentong tengen (ruang kanan).

Contoh bangunan yang mengadaptasi bentuk ini adalah Teater


Sobokarti (1930) di Semarang dan Museum Sono Budoyo (1935) di
Gambar 1. Rumah Joglo Yogyakarta.
(Maqoffa, M, 2011)

Gambar 2. Teater Sobokarti (PKMvR Heritage Gambar 3. Desain awal Teater Sobokarti (Akihari, 1988)
Research Consultacy)

C 126 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017


Haneke Tiara
Bangunan Teater memiliki unsur idealis, nasionalis, dan memiliki nilai praktikal. Inovasi yang
diangkat oleh Karsten adalah menyatukan bagian pendapa dan pringgitan sebagai upaya
memperluas ruang panggung, dengan begitu panggung dapat dilihat dari dua sisi layar. Bentuk
spasial yang digunakan merupakan modernisasi dari rumah Hageng Joglo menjadi teater. Pada
desain awal, pintu masuk dipengaruhi oleh arsitektur hindu. Bangunan ini awalnya didesain pada
tahun 1920, namun baru didirikan pada 1930. Pengaruh desain pada perbedaan rancangan awal dan
akhir bangunan jelas terlihat dari perbedaan pintu masuk dan dinding bangunan.

Museum Sono Budoyo memanfaatkan


atap Lambangsari sebagai gudang
penyimpanan alat musik tradisional.
Dinding dibuat dengan bata dan
menempel pada atap Limasan dan
Joglo menciptakan efek pola cahaya
matahari yang jatuh tepat kolom
tengah ruang pamer.

Museum berbentuk simetris ini tidak


hanya mematuhi komposisi ruang
tradisional melainkan juga menambah
Gambar 4. Sonobudoyo Yogyakarta (museumjogja.org)
kesan Jawa pada detil ornamen
bangunan.

Tabel 1. Karakteristik Dua Tipe Arsitektur pada Kawasan Tropis-Lembab

Parameter Arsitektur Tradisional Arsitektur Kolonial


Fungsi Bangunan Rumah Tinggal Kantor
Aktivitas Pengguna Aktivitas rumah Aktivitas kantor
Kepadatan Pengguna Tinggi Tinggi
Lokasi Pedesaan Tengah kota
Jenis Arsitektur Jawa Arsitektur Belanda/Eropa
Karakteristik Menyebar Padat
Atap: Genteng Atap: Genteng
Dinding/Kolom: Kayu Dinding/Kolom: Bata/Beton
Konstruksi Bangunan Lantai: Semen/tanah Lantai: Semen
Konstruksi: 1 lantai Konstruksi: 1-2 lantai
Tinggi langit-langit: 2,5m Tinggi langit-langit: +3,5m
Dinding dengan bukaan
pintu jendela
Dinding berpori, Ukuran pintu jendela besar
berornamen dengan Langit-langit hollow
bukaan pintu dan jendela Atap tinggi
Ventilasi Langit-langit hollow Jalan setapak mengelilingi
Atap berjeda untuk bangunan
sirkulasi udara Langit-langit sangat tinggi
Halaman bangunan dengan ventilasi berhubung
Menara sebagai penangkap
angin
Sangat terbuka (konstruksi Sangat terbuka (konstruksi
Karakteristik Ventilasi
tradisional) modern)
Terbatas
Sangat terbatas Pengondisian udara
Peralatan Pengondisian udara diperlukan, namun tidak
buatan tidak diperlukan efisien karena volume ruang
yang besar
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 127
Bangunan Berarsitektur Tradisional Jawa dengan Pengaruh Arsitektur Eropa
Dari tabel di atas dapat terlihat kesamaan-kesamaan yang ada. Perbedaan dari data diatas adalah
dari segi bahan bangunan dan penyelesaian isu iklim berdasarkan material lokal yang ada. Di
Indonesia permainan desain yang dapat digunakan adalah dalam penggunaan beton dan variasi
kolom dan selasar bangunan. Ditunjukan dalam dua contoh bangunan sebelumnya. Pada dasarnya
arsitektur Indonesia lebih mangarah pada 'tempat bernaung' daripada 'berlindung' akibat curah
hujan yang tinggi. Hal ini yang mengakibatkan uniknya bentuk atap-atap tradisional.

Pelajaran

Mulai lebih mengenali keberadaan bangunan dengan percampuran gaya tradisional dan Eropa yang
tersebar pada kota-kota kolonial Indonesia. Kepekaan dalam mengasimilasi gaya arsitektur untuk
pencapaian desain yang lebih baik. Secara teori, penggabungan unsur arsitektur luar negeri dengan
arsitektur tradisional sangat mungkin dilakukan. Namun pada kenyataannya, keinginan klien lebih
berpengaruh pada keluaran desain.

Kesimpulan

Bangunan-bangunan yang dibangun pada periode kolonial merupakan warisan fisik dan intelektual
bangsa. Hasil perancangan dengan percampuran gaya dapat menjadi acuan dalam penunjukan
identitas desain khas Indonesia.

Acknowledgements

Terima kasih kepada Bapak Bambang Setia Budi, S.T., MT.,Ph.D. selaku dosen mata kuliah arsitektur
kolonial dalam memberi masukan penulisan.

Daftar Pustaka

Akihari H. (1990). Architecture & Stedebouw in Indonesie 1870 – 1970, De Walburg Pers, Zutphen.
Handinoto. (1995). Dimensi Arsitektur Vol. 25.
Handinoto. (1996). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1780-1940), Penerbit Andy
Offset Yogyakarta.
Kusno, A. (2000). Behind the Postcolonial – Architecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia,
Roudledge, London.
Nas, Peter J.M. (2009). Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur di Indonesia, Penerbit Gramedia Jakarta.
Sumalyo, Y. (1993). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Ardiyanto, A. (2014). The Concept of Modern Dutch Colonial Architecture to the Development of Javanese
Architecture, Dimensi Journal of Architecture and Built Environment, Vol. 41 No. 1 July, 2014.

C 128 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Anda mungkin juga menyukai