Anda di halaman 1dari 12

Agitasi dan Propaganda

Definisi
Mendefinisikan propaganda tampaknya bukan perkara mudah. Para pakar
komunikasi saja tidak pernah mencapai kata mufakat dalam mendefinisikan
propaganda. Hampir setiap pakar mempunyai definisi yang berbeda satu
sama lain, meskipun di beberapa bagian terdapat kemiripan. Berikut ini
adalah beberapa definisi propaganda yang dikemukakan oleh sejumlah
pakar dan sumber. Beberapa definisi diadaptasi dari Sastropoetro (1991:
21-34).
1. Encyclopedia International: ‘propaganda adalah suatu jenis komunikasi
yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa
mengindahkan tentang nilai benar atau tidak benarnya pesan yang
disampaikan’.
2. Everyman’s Encyclopedia: ‘propaganda adalah suatu seni untuk
penyebaran dan meyakinkan suatu kepercayaan, khususnya suatu
kepercayaan agama atau politik’.
3. Qualter: propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja
oleh beberapa individu atau kelompok untuk membentuk, mengawasi
atau mengubah sikap dari kelompok-kelompok lain dengan menggunakan
media komunikasi dengan tujuan bahwa pada setiap situasi yang
tersedia, reaksi dari mereka yang dipengaruhi akan seperti yang
diinginkan oleh sang propagandis)'.
4. Laswell: Propaganda dalam arti yang luas adalah teknik untuk
mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasi representasinya
(representasi dalam hal ini berarti kegiatan atau berbicara untuk suatu
kelompok’.
5. Barnays: propaganda modern adalah suatu usaha yang bersifat konsisten
dan terus-menerus untuk menciptakan atau membentuk peristiwa-
peristiwa guna mempengaruhi hubungan publik terhadap suatu usaha
atau kelompok)’.
6. Ralph D. Casey: propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara
sengaja dan sadar untuk memantapkan suatu sikap atau merupakan
suatu pendapat yang berkaitan dengan suatu doktrin atau program dan
di pihak lain merupakan usaha sadar dari lembaga-lembaga komunikasi
untuk menyebarkan fakta dalam semangat objektivitas dan kejujuran)’.
7. Lindley Fraser: Propaganda dapat dirumuskan sebagai aktivitas atau
seni mengajak atau menyebabkan orang lain berperilaku sedemikian
rupa yang tidak akan dilakukan tanpa adanya propaganda tersebut)’.
8. Michael H. Prosser: Propaganda adalah suatu penyebaran sajian
sejumlah nilai atau kebijakan tertentu yang disusun secara sistematis
dan disampaikan secara luas)’.
9. Sastropoetro: Propaganda adalah suatu penyebaran pesan yang terlebih
dahulu telah direncanakan secara seksama untuk mengubah sikap,
pandangan, pendapat dan tingkah laku dari penerima sesuai dengan
pola yang telah ditetapkan oleh komunikator.
10. Leonard W. Doob (dari Nurudin, 2001: 10): ‘Propaganda adalah usaha
sistematis yang dilakukan oleh individu yang masing-masing
berkepentingan untuk mengontrol sikap kelompok individu lainnya
dengan cara menggunakan sugesti dan sebagai akibatnya mengontrol
kegiatan tersebut’.
11. Political Dictionary, Fast Times, Inc: Propaganda adalah sebuah kata
Latin yang pertama kali digunakan oleh Paus Gregory XV pada 1622,
ketika dia mendirikan Sacred Congregation of Propaganda, sebuah
komisi yang dirancang untuk menyebarkan agama Katolik ke seluruh
dunia. Sejak itu propaganda memiliki makna yang lebih meluas, dan
mengacu pada setiap teknik, apakah itu dalam kepenulisan,
pembicaraan, musik, film, ataupun sarana-saranan lain, yang berusaha
mempengaruhi opini publik masyarakat)”.
12. Columbus dan Wolf (Pengantar Hubungan Internasional, hal. 184):
‘propaganda sering diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan
seorang komunikator yang bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat,
dan perilaku penduduk yang menjadi sasarannya melalui simbol-simbol
verbal, tulisan, dan perilaku, dengan menggunakan media seperti buku-
buku, pamflet, film, ceramah, dan lain-lain. Propaganda merupakan
salah satu metode standar yang digunakan negara untuk mengamankan,
memelihara, dan menerapkan kekuasaan dalam rangka memajukan
kepentingan nasionalnya’.
13. International Encyclopedia of the Social Sciences (1968): Propaganda
adalah upaya sengaja untuk memanipulasi pemikiran dan perbuatan
orang lain berkaitan dengan keyakinan, nilai, dan perilaku yang oleh
orang tersebut dianggap kontroversial, dengan menggunakan simbol-
simbol (kata, gestur, bendera, gambar, monumen, musik, dll.
Definisi ini bisa disebut definisi normatif. Menurut definisi ini, propaganda
tidak bisa dinilai baik atau buruk. Definisi kedua lebih melihat propaganda
dari segi keumuman praktik di lapangan. Berdasarkan keumuman,
propaganda terkait dengan manipulasi, kebohongan, dan semacamnya.
Definisi semacam ini dapat disebut definisi empiris.
Secara keilmuan propaganda termasuk dalam disiplin ilmu komunikasi.
Dalam peta ilmu komunikasi, propaganda termasuk ke dalam metode
komunikasi (lih Effendy, 2002: 6-9). Metode berarti cara. Dalam hal ini
propaganda merupakan suatu cara penyampaian pesan. Sebagai sebuah
cara, propaganda dianggap sekadar alat, sehingga ia bersifat bebas nilai.
Masalah baik-buruknya alat itu ditentukan oleh faktor lain, yaitu
penggunaan alat tersebut.
Pisau sering dipakai untuk menunjukkan bagaimana suatu alat yang sama
bisa dianggap baik atau buruk. Di tangan seorang koki, pisau akan dianggap
baik karena difungsikan sebagai alat dapur. Di tangan seorang pembunuh,
pisau yang sama akan dianggap jelek karena digunakan sebagai alat
pencabut nyawa orang. Pisaunya sama, penggunaannya berbeda.
Penggunaan alat yang sama secara berbeda itulah yang akan menghasilkan
penilaian yang berbeda terhadap alat tersebut. Perbedaan itu mewujud
dalam bentuk tujuan, kalau tujuannya baik maka nilainya baik.
Dengan kata lain, ilmu komunikasi ingin mengatakan bahwa propaganda
adalah alat. Sebagai alat, propaganda bisa digunakan oleh siapa saja
dengan tujuan apa saja dan caranya terserah. Siapa yang menggunakan
dengan tujuan apa dan cara yang terserah itulah yang akan menentukan
baik-buruknya propaganda. Propaganda yang dilakukan demi kemaslahatan
umat akan dianggap sebagai propaganda yang baik. Misalnya propaganda
antinarkoba (narkotika dan obat-obat terlarang) akan dianggap propaganda
yang baik. Atau propaganda berantas KKN (korupsi-kolusi-nepotisme).
Secara naluriah semua orang akan mengatakan propaganda dalam dua
masalah itu baik. Tapi semua orang juga akan menganggap propaganda
yang dilakukan Amerika Serikat ketika menyerang Afghanistan dan Irak
sebagai propaganda yang buruk.
Unsur-Unsur Propaganda
Sebagai metode komunikasi, unsur-unsur propaganda tentu saja mengikuti
unsur-unsur komunikasi. Dengan demikian komponen propaganda
merupakan turunan dari komponen komunikasi seperti yang bisa kita lihat
berikut ini (bdgk. Sastropoetro: 1991, Nurudin: 2001).
Propagandis. Propagandis adalah pihak atau pelaku yang secara sengaja
melakukan penyebaran pesan dengan tujuan mengubah pola sikap dan pola
pikir sasaran propaganda. Propagandis bisa berupa individu, individu yang
melembaga (institutionalized person), atau lembaga. Adapun yang
dimaksud dengan individu yang melembaga adalah seseorang yang ketika
berpropaganda selalu mengatasnamakan atau dikaitkan dengan suatu
lembaga.
Daya tarik propagandis akan dipengaruhi oleh tiga faktor berikut (Nimmo,
2000).
1. Status komunikator. Setiap orang memiliki dan memainkan peran
tertentu, seperti mahasiswa, guru, pejabat pemerintah, politisi,
ekonom, jurnalis, dan sebagainya. Setiap peran itu memiliki status
prestise masing-masing. Umumnya, semakin tinggi status propagandis,
semakin tinggi daya persuasifnya.
2. Kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda mempersepsi para
komunikator dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi bahwa
propagandis itu memiliki keahlian, kompetensi, keandalan, dapat
dipercaya, dan otoritas, mereka akan menganggap bahwa komunikator
itu kredibel. Umumnya, semakin kredibel seorang propagandis, semakin
efektif persuasinya dalam jangka pendek. Meski demikian, seiring
meningkatnya daya kritis masyarakat, orang-orang kini mampu
membedakan antara apa yang dikatakan dan kredibilitas sumbernya.
Dengan demikian, orang-orang tak ragu untuk mempertanyakan isi pesan
yang disampaikan meskipun pada saat yang sama memegang opini
komunikator.
3. Daya tarik komunikator. Status dan kredibilitas seorang komunikator
menentukan menarik-tidaknya dia di mata reaktor. Tetapi,
kepribadiannya, daya tariknya, dan kepercayaan dirinya juga turut
membantu daya tarik tersebut. Daya tarik ini akan meningkatkan daya
persuasi.
Pesan
Pesan propagandistik adalah isi atau materi yang propagandis susun
sedemikian rupa agar mampu mengubah pola pikir dan pola sikap reaktor.
Pesan ini disusun secara cermat dan matang agar reaktor dapat menerima
pesan yang disampaikan sehingga pola sikap dan pola pikirnya sesuai
dengan kehendak propagandis.
1. Isi pesan. Tidak ada rumusan yang pasti bagaimana seharusnya isi pesan
propagandistik disusun. Dalam kasus tertentu, ancaman bisa membuat
seseorang melakukan sesuatu. Dalam kondisi lain, ancaman itu bisa
menjadi bumerang. Agar efektif, setiap himbauan harus membela suatu
perubahan opini. Tetapi jika pesan itu terlalu berbeda dari pandangan
reaktor, ia akan diabaikan. Suatu pesan propaganda tidak boleh ceplas-
ceplos, namun ada kecenderungan lebih persuasif jika kesimpulan yang
harus diambil dari himbauan itu diberikan dengan tegas dan tidak
diserahkan kepada reaktor untuk menduga-duga. Di depan reaktor yang
bersahabat cukup dikemukakan satu sisi argumentasi; di depan reaktor
yang tidak bersahabat dan tidak memiliki komitmen, kemukakan kedua
sisinya. Ungkapan yang metaforis lebih meningkatkan daya persuasi
daripada ungkapan yang harfiah. Penggunaan distraksi, humor, anekdot,
dan sebagainya, seringkali, meski tak selalu, menambah keefektifan
himbauan.
2. Struktur pesan. Seperti dalam isi pesan, tidak ada ketetapan pasti
ihwal hubungan antara struktur pesan dan tanggapan orang
terhadapnya. Ada berbagai struktur pesan yang bisa dibuat. Misalnya,
menempatkan materi terpenting di akhir, atau di muka, atau di tengah-
tengah. Bila argumentasi propagandistik itu mengenai topik yang dikenal
baik oleh reaktor, yang lebih dulu dianggap penting akan lebih diingat
sehingga lebih persuasif. Jika topiknya tidak dikenal, argumentasi yang
disebut terakhir biasanya paling berpengaruh.
Media
Untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, propagandis menggunakan
pelbagai sarana yang dipilih secara cermat agar sesuai dengan sasaran
propaganda dan menimbulkan efek yang optimal. Propaganda kontemporer
menggunakan semua saluran komunikasi –interpersonal, organisasional, dan
massal– seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, film, poster,
anjangsono, dan sebagainya. Masalahnya bukan terletak pada penentuan
media mana yang akan digunakan, melainkan pada penentuan media mana
yang sesuai untuk tujuan dan sasaran yang diingini. Dalam hal ini, ada tiga
hal yang perlu dipertimbangkan.
1. Memilih media sesuai dengan yang digunakan orang. Setiap orang
memiliki karakteristik tersendiri dalam hal mengakses informasi. Ada
yang melalui televisi, ada juga yang melalui radio, ada yang sekadar
membaca koran atau majalah, bahkan ada yang merasa cukup dengan
Internet. Di Barat sana, orang terbiasa memperoleh informasi dari buku.
Di Indonesia, hal demikian masih terasa ‘aneh’. Ada juga kalangan
tertentu yang mengakses informasi dari seluruh media itu: baca koran,
nonton televisi, ngakses Internet, dengerin radio pun tak ketinggalan.
Propagandis harus mengetahui kebiasaan calon sasarannya dalam
mengakses informasi. Ini dilakukan agar propagandis bisa menentukan
media yang tepat untuk penyebaran pesannya.
2. Memilih media yang dipercaya orang. Kurang lebih setengah dari orang
Amerika menganggap televisi sebagai media yang dapat dipercaya,
seperempatnya memilih surat kabar, dan sisanya terbagi hampir sama
antara radio dan majalah. Jika mereka hanya boleh memiliki satu dari
keempat media itu –televisi, koran, radio, dan majalah– sebagai sumber
informasi yang dapat dipercaya, hampir enam puluh persen akan
memilih televisi (Nimmo, 2000). Bagaimana di Indonesia? Setahu saya,
hingga kini belum ada yang melakukan survei perihal ini. Anggaplah,
misalnya, orang Indonesia lebih percaya informasi yang disajikan televisi
ketimbang oleh surat kabar, radio, atau majalah. Dengan sendirinya
propagandis pun akan lebih banyak memanfaatkan televisi sebagai
media penyebaran pesannya.
3. Kesesuaian media yang akan digunakan. Ellul mengatakan bahwa media
tertentu lebih cocok bagi tipe propaganda tertentu. Misalnya, bioskop
dan hubungan interpersonal paling cocok untuk melakukan propaganda
sosiologi, sementara surat kabar, radio, dan televisi, akan sangat efektif
bagi propaganda politik (Nimmo, 2000). Reaktor. Reaktor adalah pihak
yang menjadi sasaran propagandis. Reaktor inilah yang pola pikir dan
pola sikapnya hendak diubah mengikuti kehendak propagandis. Agar
aktivitas propagandanya efektif, propagandis harus mengenal betul
karakter reaktor. Kumpulkan segala macam informasi mengenai reaktor;
usianya, pekerjaannya, agamanya, tingkat pendidikannya,
kebiasaannya, dan lain-lain.
4. Efek. Efek adalah umpan balik yang dikehendaki oleh propagandis,
berupa perubahan pola sikap dan pola pikir reaktor sesuai yang
dikehendaki propagandis.
Jenis-jenis Propaganda
Selain dalam hal definisi, pusparagam pendapat juga terjadi dalam hal
klasifikasi propaganda. Ada yang melihatnya dari sisi sumber propaganda,
ada yang meninjaunya dari segi jelas-tidaknya tujuan propaganda itu
William E. Daugherty dan Morris Janowitz dalam A Psychological Warfare
Casebook mengelasifikasi propaganda berdasarkan sumbernya sebagai
berikut.
1. White propaganda,
Yaitu propaganda yang sumbernya dapat diidentifikasi secara jelas dan
terbuka. White propaganda juga disebut overt propaganda alias
propaganda terbuka. Dalam ajang pemilu, propaganda jenis ini mudah
dijumpai. Juga dalam bidang periklanan yang sering disebut propaganda
komersil (commercial propaganda).
2. Black propaganda,
Disebut juga covert propaganda atau propaganda terselubung, yaitu
propaganda yang seolah-olah menunjukkan sumbernya, padahal bukan
sumber yang sebenarnya. Dengan kata lain, ini jenis propaganda lempar
batu sembunyi tangan. Karena sifatnya yang terselubung, sumber
aslinya tidak diketahui, sehingga jika kegiatan propaganda itu
melanggar etika atau norma tertentu, sulit untuk mengetahui kepada
siapa pelanggaran itu seharusnya dialamatkan. Propaganda jenis ini
biasanya digunakan untuk melancarkan tuduhan, teror, dan stigma
terhadap pihak yang dimusuhinya. Jenis ini galibnya digunakan dalam
perang opini.
3. Grey propaganda,
Yaitu propaganda yang seolah-olah berasal dari sumber yang netral,
padahal sebenarnya bersumber dari pihak lawan. Grey propaganda tidak
lebih dari black propaganda yang kurang mantap. Pasalnya, pelaku grey
propaganda ini berupaya menghindari identifikasi, baik dari sumber
yang bersahabat maupun yang berlawanan.
Sementara Mertz dan Lieber dalam Conflict in Context: Understanding
Local to Global Security, juga Doob dalam Public Opinion and Propaganda,
mengategorisasi propaganda menurut jelas-tidaknya tujuan di balik pesan
yang disampaikan.
1. Revealed propaganda (propaganda terang-terangan/terbuka), adalah
propaganda yang tujuannya jelas.
2. Concealed propaganda (propaganda tersembunyi/tertutup), adalah
propaganda yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain dengan
mengaburkan tujuan di balik pesan yang disampaikan.
Selanjutnya, Jacques Ellul (Nimmo, 2000: 126-127) membagi propaganda
dengan cara yang berbeda. Ellul membedakan propaganda politik dan
propaganda sosiologi, propaganda agitasi dan propaganda integrasi,
propaganda vertikal dan propaganda horizontal.
1. Propaganda politik melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai, atau
golongan yang berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis.
Ini dilakukan melalui himbauan-himbauan khas berjangka pendek.
2. Propaganda sosiologi kurang kentara namun efek yang ditimbulkannya
lebih berjangka panjang. Melalui propaganda ini orang didoktrin oleh
suatu pandangan hidup tertentu; sebuah ideologi yang berangsur-angsur
merembes atau tepatnya dirembeskan ke dalam pranata-pranata
ekonomi, sosial, dan politik suatu masyarakat. Hasilnya adalah suatu
konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh
setiap orang kecuali beberapa orang yang dihukum atau dikecam dengan
keras sebagai penyimpang.
3. Propaganda agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan
pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa
mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang
merupakan suatu rangkaian, tujuan demi tujuan. Melalui agitasi, para
pemimpin mempertahankan kegairahan para penganutnya dengan
memperoleh suatu kemenangan yang khas, kemudian memberi peluang
untuk bernapas, diikuti oleh usaha yang lain lagi dalam satu rangkaian
tujuan.
4. Propaganda integrasi berusaha menggalang kesesuaian di dalam
mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-
orang mengabdikan diri mereka kepada tujuan-tujuan yang mungkin
tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun, bahkan selama
mereka hidup.
5. Propaganda vertikal adalah propaganda satu-kepada-banyak dan
terutama mengandalkan media massa bagi penyebaran himbauannya.
6. Propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok
ketimbang pemimpin kepada kelompok; lebih banyak melalui
komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi ketimbang melalui
komunikasi massa. Secara tradisional partai-partai politik mengandalkan
propaganda horizontal, seperti kunjungan ke pengurus organisasi di
daerah, pelatihan kader partai, persekongkolan di dalam sel, dan
sebagainya.
Lain lagi dengan Paul Kescskemeti (dikutip dari Sastropoetro, 1991: 24-25).
Kescskemeti mengategorisasi propaganda ke dalam dua jenis utama, yaitu
propaganda komersial dan propaganda politik. Propaganda komersial
meliputi periklanan, kecakapan menjual, dan hubungan masyarakat (public
relations). Propaganda politik mencakupi kegiatan dan gerakan partai-
partai politik yang menuju kepada pemastian penerimaan doktrinnya,
mengerahkan anggota baru, memenangkan suara, dan lain sebagainya. Tipe
lain dari propaganda politik meliputi teknik promosi yang digunakan oleh
pemerintah dan kelompok penguasa untuk meningkatkan prestasinya, baik
di dalam maupun luar negeri, menjaga semangat warganya di dalam negeri,
dan menghancurkan moral para penentangnya baik dalam perang terbuka
ataupun dalam perang dingin.
Ada juga propaganda yang dilakukan di luar bidang komersial dan politik,
yaitu kampanye untuk amal, kampanye untuk mendapat perhatian umum
terhadap suatu kepentingan sosial, usaha untuk mendapat pengakuan
terhadap teori-teori ilmiah, atau suatu gaya arsitektur tertentu, dan
promosi untuk suatu prinsip higienis atau suatu kesukaan.
Beberapa ahli membedakan propaganda menjadi propaganda disengaja dan
tidak disengaja (Nimmo, 2000: 126). Nimmo mencontohkan perbedaan
antara seorang guru ekonomi yang dengan sengaja mendoktrin para
siswanya dengan pandangan-pandangan Marxis dan guru ekonomi yang
ketika menjawab suatu pertanyaan, secara spontan menunjukkan segi-segi
positif dalam filsafat ekonomi Marxis dibandingkan kapitalisme.
Selain jenis propaganda yang telah disebutkan di atas, ada juga yang
disebut dengan propaganda of the deed. Sejatinya propaganda berkarakter
antikekerasan. Namun demikian para ilmuwan telah memberikan jastifikasi
terhadap penggunaan kekerasan atau propaganda of the deed, dengan
merumuskannya sebagai berikut (Sastropoetro, 1991: 28-30): suatu
tindakan atau peragaan yang bersifat publik dengan tujuan atau akibat
meneruskan atau menghalangi suatu maksud). Dalam Encyclopaedia
Britannica termaktub uraian, ‘Efek komunikasi terkadang dapat diraih
dengan bantuan sarana fisik yang biasanya tidak digunakan untuk tujuan
tersebut. Tindak pembunuhan lazimnya bukanlah metode komunikasi,
namun pembunuhan dapat dianggap sebagai propaganda of the deed
manakala pembunuhan politis dilakukan sebagai sarana untuk
mempengaruhi sikap)’.
Termasuk kategori propaganda of the deed (propaganda tindakan nyata)
adalah tindak terorisme. Terlepas dari belum adanya definisi yang
disepakati bersama dari istilah terorisme, terorisme itu sendiri memiliki
cara yang khas yaitu penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politis.
Misalnya, peristiwa Bom Bali yang berhasil membuat publik, khususnya
dunia Barat, percaya bahwa Indonesia adalah “sarang teroris”.
Propaganda atau Perang Urat Syaraf?
Banyak orang yang menukarartikan propaganda dan perang urat syaraf.
Padahal, propaganda dan perang urat syaraf adalah dua istilah yang
berbeda meski keduanya memang bagian dari ilmu komunikasi. Malah,
keduanya sama-sama berstatus metode komunikasi. Perang urat syaraf
adalah istilah bahasa Indonesia sebagai padanan untuk istilah bahasa Inggris
psychological warfare. Menurut US Department of Defense (DOD) dan Inter-
American Defense Board (IADB), psychological warfare adalah “Penggunaan
propaganda dan tindak psikologis lainnya secara terencana dengan tujuan
utama mempengaruhi opini, emosi, sikap, dan perilaku kelompok musuh
asing sedemikian rupa untuk mendukung ketercapaian tujuan nasional”.
Dalam Encyclopedia International terdapat definisi dan keterangan sebagai
berikut, “Perang urat syaraf adalah penerapan psikologi dalam tindak
perang sebagai upaya meraih kemenangan tanpa penggunaan kekerasan.
Meskipun perang urat syaraf mencakup penggunaan teknik-teknik militer
ortodoks atau instrumen perang yang tak lazim untuk membuat musuh
panik, ciut nyali, atau tertekan, istilah itu sendiri secara umum berarti
penggunaan propaganda, yang telah didefinisikan sebagai ‘persuasi yang
terorganisasi dengan cara-cara tanpa kekerasan’. Tujuannya ialah untuk
mengubah pikiran musuh. Dalam pengertian yang paling luas, perang urat
syaraf mengawinkan upaya-upaya politik, propaganda, subversif, dan
militer dengan psikologi modern untuk meraih tujuan tertentu”.
Paul M.A. Lineberger (diadaptasi dari Effendy, 2002: 161) membagi
pengertian perang uraf syaraf secara sempit dan luas. Secara sempit,
perang urat syaraf adalah: ‘Penggunaan propaganda untuk melawan musuh,
yang dibarengi tindakan-tindakan operasional dalam bidang militer,
ekonomi, atau politik yang dibutuhkan untuk melengkapi propaganda)’.
Secara luas, perang urat syaraf adalah: ‘Penerapan ilmu psikologi untuk
memperkuat upaya tindakan politik, ekonomi, atau militer’.
Dari beberapa keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa propaganda
menjadi inti dari kegiatan perang uraf syarat. Bedanya, propaganda lebih
luas cakupannya karena meliputi setiap aktivitas yang berusaha mengubah
pola sikap dan pola pikir khalayak. Sedangkan perang urat syaraf
merupakan istilah perang dan penggunaannya terbatas pada bidang politik,
ekonomi, dan militer. Meskipun secara operasional, apa yang berlaku bagi
propaganda, juga berlaku bagi perang urat syaraf.
Saat ini yang namanya perang tidak selalu bersifat fisik. Perang secara fisik,
atau secara militer, merupakan perang konvensional dan lebih merupakan
pilihan terakhir untuk menaklukkan musuh ketika cara-cara politik dan
ekonomi (baca: diplomasi) mengalami kebuntuan. Artinya, ketika kita
mendapati aktivitas propaganda, khususnya propaganda politik, yang
dijalankan oleh suatu negara, kita harus memiliki kerangka berpikir bahwa
propaganda yang dilakukan itu merupakan bagian dari upaya perang urat
syaraf negara tersebut.
Perbedaan Umum Agitasi dan Propaganda
Menurut kamus Oxford, mengagitasi adalah “membangkitkan perhatian
(to excite) atau mendorong (stir it up)”, Sedangkan propaganda
adalah sebuah “rencana sistematis atau gerakan bersama untuk
penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin.
Definisi ini bukan merupakan titik pijak yang buruk. Agitasi memfokuskan
diri pada sebuah isu aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan terhadap
isu tersebut. Propaganda berurusan dengan penjelasan gagasan-gagasan
secara terinci dan lebih sistematis.
Seorang marxis perintis di Rusia, Plekhanov, menunjukkan sebuah
konsekuensi yang penting dari pembedaan ini. “Seorang propagandis
menyajikan banyak gagasan ke satu atau sedikit orang; seorang agitator
menyajikan hanya satu atau sedikit gagasan, tetapi menyajikannya ke
sejumlah besar orang (a mass of people)”. Seperti semua generalisasi yang
seperti itu, pernyataan di atas jangan dipahami secara sangat harfiah.
Propaganda, dalam keadaan yang menguntungkan, bisa meraih ribuan atau
puluhan ribu orang. Dan ‘sejumlah besar orang’ yang dicapai oleh agitasi
jumlahnya sangat tidak tetap. Sekalipun demikian, inti dari pernyataan
Plekhanov itu memiliki landasan yang kuat (sound).
Banyak Gagasan ke Sedikit Orang
"Seorang propagandis yang, katakanlah, berurusan dengan persoalan
pengangguran, mesti menjelaskan watak kapitalistis dari krisis, sebab dari
tak terhindarkannya krisis dalam masyarakat modern, kebutuhan untuk
mentransformasikan masyarakat ini menjadi sebuah masyarakat sosialis,
dsb. Secara singkat, ia mesti menyajikan “banyak gagasan”, betul-betul
sangat banyak, sehingga gagasan itu akan dipahami sebagai suatu
keseluruhan yang integral oleh (secara komparatif) sedikit orang. Meskipun
demikian, seorang agitator, yang berbicara mengenai persoalan yang sama,
akan mengambil sebagai sebuah ilustrasi, kematian anggota keluarga
seorang buruh karena kelaparan, peningkatan pemelaratan
(impoverishment) dsb., dan penggunaan fakta ini, yang diketahui oleh
semua orang, akan mengarahkan upayanya menjadi penyajian sebuah
gagasan tunggal ke “massa”. Sebagai akibatnya, seorang propagandis
bekerja terutama dengan mamakai bahasa cetak; seorang agitator dengan
memakai bahasa lisan."
Mengenai pokok pikiran yang terakhir, Lenin keliru, karena ia terlalu berat-
sebelah. Seperti yang ia sendiri nyatakan, sebelum dan sesudah ia menulis
pernyataan di atas, sebuah surat kabar revolusioner bisa dan mesti menjadi
agitator yang paling efektif. Tetapi ini merupakan masalah sekunder. Hal
yang penting adalah bahwa agitasi, apakah secara lisan atau tertulis, tidak
berupaya menjelaskan segala sesuatu. Jadi kita menyatakan, dan mesti
menyatakan, bahwa para individu buruh tambang yang menggunakan
pengadilan kapitalis untuk melawan NUM adalah buruh pengkhianat,
bajingan (villains), dipandang dari segi perjuangan sekarang ini; betul-betul
terpisah dari argumen umum tentang watak negara kapitalis. Tentu kita
akan mengajukan argumen, tetapi kita berupaya ‘membangkitkan
perhatian’, ‘mendorong’, ‘membangkitkan rasa tidak senang dan
kemarahan’ terhadap pengadilan di sebanyak mungkin buruh. Ini mencakup
mereka (mayoritas besar) yang belum menerima gagasan bahwa negara,
negara apapun dan pengadilannya, pasti merupakan sebuah instrumen dari
kekuasaan kelas.
Atau ambil sebuah contoh lain. Lenin berbicara tentang “ketidakadilan
yang amat parah” (crying injustice). Namun, sebagai seorang pengikut Marx
yang mendalam, ia betul-betul mengetahui bahwa tidak ada ‘keadilan’ atau
‘ketidakadilan’ yang terlepas dari kepentingan kelas. Di sini, ia menunjuk
dan berseru pada kontradiksi antara konsep ‘keadilan’ (‘justice’ or
‘fairness’) yang dipromosikan oleh para ideolog masyarakat kapitalis
dengan realitas yang terekspos dalam perjalanan perjuangan kelas. Dan hal
itu mutlak benar dari sudut pandang agitasi.
Seorang propagandis, tentu saja, mesti menyelidiki secara lebih mendalam,
mesti meneliti konsep keadilan, perkembangan dan transformasinya melalui
berbagai masyarakat berkelas yang berbeda, isi kelasnya yang tak
terhindarkan. Tetapi hal itu bukan merupakan tujuan utama dari agitasi.
Para ‘marxis’ yang tidak memahami pembedaan ini menjadi korban dari
ideologi borjuis, menjadi korban dari generalisasi yang lepas dari konteks
waktu (timeless generalisations), yang mencerminkan masyarakat berkelas
yang diidealisasikan. Yang paling penting, mereka tidak memahami secara
konkrit bagaimana sebenarnya sikap kelas buruh berubah. Mereka tidak
memahami peran pengalaman, sebagai contoh, pengalaman tentang peran
polisi dalam pemogokan para buruh tambang. Mereka tidak memahami
perbedaan antara agitasi dan propaganda.
Kedua hal itu penting, sangat diperlukan, tetapi keduanya tidak selalu bisa
dikerjakan. Agitasi memerlukan kekuatan yang lebih besar. Tentu saja
seorang individu terkadang bisa mengagitasi sebuah keluhan tertentu
secara efektif, katakanlah, keluhan mengenai kurangnya sabun atau tissue
toilet yang layak di sebuah tempat kerja tertentu, tetapi sebuah agitasi
yang luas dengan sebuah fokus yang umum tidaklah mungkin tanpa
sejumlah besar orang yang ditugaskan dengan pantas untuk
melaksanakannya, tanpa sebuah partai.
Jadi apa pentingnya pembedaan tersebut sekarang ini? Untuk sebagian
besar, para sosialis di Inggris tidak berbicara ke ribuan atau puluhan ribu
orang. Kita sedang berbicara ke sejumlah kecil orang, biasanya berupaya
meyakinkan mereka (to win them) melalui politik sosialis yang umum, dan
bukan melalui agitasi massa. Jadi apa yang kita usulkan (arguing) pada
dasarnya adalah propaganda. Tetapi di sinilah kebingungan muncul. Karena
terdapat lebih dari satu jenis propaganda. Ada sebuah pembedaan antara
propaganda abstrak dan jenis propaganda yang diharapkan dapat mengarah
ke suatu aktivitas, yaitu propaganda yang konkrit atau realistik.
Propaganda abstrak memunculkan gagasan yang secara formal benar, tetapi
tidak terkait dengan perjuangan atau dengan tingkat kesadaran yang ada di
antara mereka yang menjadi sasaran dari penyebaran gagasan itu. Sebagai
contoh, menyatakan bahwa di bawah sosialisme sistem upah akan
dihapuskan adalah mutlak benar, menempatkan usulan yang seperti itu
kepada para buruh sekarang ini bukanlah agitasi, melainkan propaganda
dalam bentuk yang paling abstrak. Begitu pula, usulan terus-menerus
(constant demand) untuk sebuah pemogokan umum, terlepas dari apakah
prospek untuk melakukannya bersifat riil dalam situasi yang sekarang,
mengarah tidak ke agitasi, melainkan ke penarikan diri (abstaining) dari
perjuangan yang riil di sini dan sekarang.
Di sisi lain, propaganda realistis berpijak dari asumsi bahwa kelompok-
kelompok sosialis yang kecil tidak dapat secara meyakinkan mempengaruhi
kelompok-kelompok buruh yang besar sekarang ini di hampir setiap
keadaan. Tetapi hal itu juga mengasumsikan bahwa terdapat argumen
tentang isu-isu spesifik, yang dapat dicoba untuk dibangun oleh para
sosialis. Jadi seorang propagandis realistis di sebuah pabrik tidak akan
mengusulkan penghapusan sistem upah. Ia (laki-laki atau perempuan) akan
mengusulkan serangkaian tuntutan yang diharapkan dapat mengarahkan
perjuangan ke kemenangan, dan sudah tentu melebihi kemenangan kecil
(tokens) yang diberikan oleh bikorasi serikat buruh. Jadi mereka akan
mengusulkan, misalnya, peningkatan ongkos rata-rata setiap produk (a flat
rate increase), pemogokan mati-matian dengan tuntutan penuh (the full
claim, all out...strike) dan bukan pemogokan yang selektif, dsb.
Menyeimbangkan agitasi dengan propaganda secara benar
Semua ini bukanlah agitasi dalam arti yang dibicarakan oleh Lenin, hal itu
adalah satu atau dua orang sosialis yang memunculkan serangkaian gagasan
tentang bagaimana untuk menang. Tetapi hal itu juga bukan propaganda
abstrak karena hal itu terkait dengan sebuah perjuangan yang riil dan
karenanya bisa terkait dengan minoritas buruh yang cukup besar di suatu
wilayah. Ini berarti bahwa propaganda realistis dapat membangun
hubungan (strike a chord) dengan sekelompok orang yang jauh lebih besar
daripada mereka yang sepenuhnya terbuka untuk gagasan-gagasan sosialis.
Bahwa sekarang ini hanya sekelompok orang yang sangat kecil yang akan
terbuka untuk semua gagasan-gagasan sosialisme. Kelompok yang lebih
besar tidak akan seperti itu, tetapi masih bisa menerima banyak
propaganda dari kaum sosialis untuk tidak mempercayai para pejabat,
untuk mengorganisir di lapisan bawah (the rank and file) dan sebagainya.
Pentingnya pembedaan ini ada dua (twofold). Para sosialis yang
mempercayai bahwa mereka harus melakukan propaganda di kelompok-
kelompok diskusi mereka yang kecil, dan mengagitasi di tempat kerja
mereka, sangat mungkin menaksir terlalu tinggi (overestimate) pengaruh
mereka di sejumlah besar buruh dan dengan demikian kehilangan
kesempatan untuk membangun basis di sekitar sejumlah kecil pendukung.
Mereka yang percaya bahwa mereka hanya harus melakukan propaganda
abstrak dalam diskusi-diskusi mereka dengan para sosialis yang lain dan di
tempat kerja mereka bisa mengambil sikap menarik diri ketika perjuangan
yang riil benar-benar meletus.
Dengan melakukan propaganda realistis pada sebuah periode di mana
agitasi massa secara umum tidak mungkin, kaum sosialis akan jauh lebih
mungkin untuk dapat menghindari kedua jebakan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai