Anda di halaman 1dari 39

Page |1

TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI


WATER’S METHOD

Laporan Praktek Disusun untuk memenuhi tugas Praktek Laboratorium I

Disusun Oleh

KHAFIDZUL FIQIH REVIYANT TOHA

NIM 4501.06.19.A.018

PROGRAM STUDI

DIII TEKNIK RADIODIAGNOSTK DAN RADIOTERAPI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CIREBON

2020/2021
Page |2

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas ke hadirat Allah SWT. Atas semua rahmatnya

sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus ini yang berjudul “ TEKNIK

PEMERIKSAAN RADIOGRAFI WATER’S METHOD “ oleh karena itu tidak lupa saya

mengucapkan terimakasih terhadap pihak yang sudah memberikan bantuan dan dukungannya

sehingga tersusun lah Laporan Kasus ini untuk memenuhi tugas Praktek Laboratorium I,

dalam mengerjakan laporan kasus ini saya dapat banyak hal yang berarti bagi saya dalam

dunia pekerjaan nyata nanti. Dan tidak lupa juga saya ucapkan terimakasih terhadap pihak

yang berkontribusi langsung dalam memberikan kritik dan sarannya kepada saya dalam

menyelesaikan laporan ini, khususnya kepada :

1. Mas Nanda Pratama S.Tr.Kes (Rad) selaku dosen pembimbing yang sudah banyak

membantu dalam menyelesaikan tugas Praktek ini

2. Orang tua serta teman-teman saya atas doa dan dukungannya sehingga tugas Praktek

ini berjalan dengan lancar

Saya menyadari dalam Laporan ini masih banyak kekurangannya oleh karena itu saya

mohon kritik dan sarannya dan semoga laporan yang saya buat ini bisa berguna bagi semua

pihak yang membacanya termasuk saya. Terimakasih.

Indramayu, 15 Januari 2021


Penulis

Khafidzul Fiqih Reviyant Toha


Page |3

HALAMAN PENGESAHAN

Telah diperiksa dan disahkan untuk memenuhi Tugas Praktek Laboratorium I Jurusan

Diploma III Radiodiagnostik dan Radioterapi STIKes Cirebon.

Nama : Khafidzul Fiqih Reviyant Toha

NIM : 4501.06.19.A.018

Judul Laporan : Teknik Pemeriksaan Radiografi Water’s Method

Tempat : Laboratorium Radiologi

Cirebon, 15 Januari 2021


Pembimbing

Nanda Pratama, S.Tr.Kes (Rad)


Page |4

DAFTAR ISI

Halaman judul...................................................................................................

Kata pengantar .................................................................................................

Daftar isi ..........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................

1.1 Latar Belakang ...................................................................................

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................

1.3 Tujuan Masalah..................................................................................

1.4 Manfaat ..............................................................................................

BAB II TEORI DASAR...................................................................................

1.1 Anatomi................................................................................................

1.2 Patofisiologi........................................................................................

1.3 Sejarah Sinar-X dan teori terjadinya sinar-X.......................................

1.4 Teknik Pemeriksaan...........................................................................

1.5 Processing Flim..................................................................................

1.6 Proteksi Radiasi..................................................................................

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................

3.1 Identitas pasien...................................................................................

3.2 Alat dan bahan (dilaboratorium).........................................................

3.3 Proyeksi pemeriksaan.........................................................................

3.4 Alur Pemeriksaan (pembahasan)........................................................

BAB V PENUTUP........................................................................................

4.1 Kesimpulan.........................................................................................

4.2 Saran ..................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
Page |5

DAFTAR GAMBAR

Gambar.1 A. Anatomi Sinus Paranasal posisi AP

B. Anatomi Sinus Paranasal posisi Lateral

Gambar.2. Proyeksi Parietoacanthial (Close Mouth Waters Method) sinus paranasal

(Lampignano,2018)

Gambar.2.1 Proyeksi Parietoacanthial (Close Mouth Waters Method) sinus paranasal

(Lampignano,2018)

Gambar.2.2. Proyeksi Parietoacanthial Transoral (Open Mouth Waters Method) Sinus

Paranasal (Lampignano, 2018)

Gambar.2.3.Proyeksi Parietoacanthial Transoral (Open Mouth Waters Method) Sinus

Paranasal (Lampignano, 2018)

Gambar.2.4. Proyeksi parietoacanthial / waters method close mouth (Bontrager,2010)

Gambar.2.5. Radiograf Proyeksi parietoacanthial / waters method close mouth Bontrager

(2010)

Gambar.2.6.Proyeksi parietoacanthial Transoral / waters method open mouth

(Bontrager,2010)

Gambar.2.7. Proyeksi parietoacanthial Transoral / waters method open mouth

(Bontrager,2010)

Gambar.2.8.Meja Kontrol Pesawat X-Ray Lab Radiologi STIKes Cirebon

Gambar.2.9. Pesawat X-Ray Lab Radiologi STIKes Cirebon


Page |6

Gambar.3.0.Kaset dan Film Lab Radiologi STIKes Cirebon

Gambar.3.1.Automatic Processing

Gambar.3.2.View Box Lab Radiologi STIKes Cirebon

Gambar.3.3.Radiografi Pemeriksaan Parietoacanthial (Close Mouth Waters Method)

Gambar.3.4.Radiografi Pemeriksaan Parietoacanthial Transoral (Open Mouth Waters

Method)
Page |7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan Radiologi mencakup dua bidang penting yaitu

Radiodiagnostik dan Radioterapi. Makna radioterapi dalam kamus bahasa indonesia

diartikan sebagai pengobatan penyakit dengan menggunakan radiasi. Penyakit yang

banyak ditangani dengan radioterapi tumor dan kanker. Tumor yang letaknya

dalam, dilakukan tindakan terapi menggunakan unsur radioaktif seperti Cobalt 60,

sedangkan untuk letak tumor permukaan dilakukan terapi sinar-x dengan alat yang

disebut linac. Namun linac yang diproduksi menggunakan energi hingga

supervoltase atau megavoltase menghasilkan sinar-x yang dapat dipergunakan

untuk kasus tumor lebih dalam. ( Sudibyo Dwi Saputro, 2016)

Berbeda dengan radioterapi, radiodiagnostik bukan tindakan terapi, namun

dimaknai dengan diagnosis menggunakan sinar pengion. Pemeriksaan

radiodiagnostik secara umum menggunakan sinar-x, namun ada juga pemeriksaan

yang menggunakan unsur radioaktif seperti TC99m (technesium 99 metastabil) dan

I131 (Iod 131) yang ditemui pada kedokteran nuklir. Muara pada pemeriksaan

radiodiagnostik adalah menghasilkan gambar yang berkualitas, untuk menegakkan

diagnosa dengan pemberian radiasi kepada pasien seminimal mungkin ( Sudibyo

Dwi Saputro, 2016)

Ada 2 jenis pemeriksaan yang dilakukan di Instalasi Radiologi seperti

pemeriksaan kontras dan non kontras. Pemeriksaan kontras seperti tractus urinarius

(BNO-IVP, urethrography, cystography, urethrocystography, antegrade


Page |8

pyelography, retrograde pyelography), tractus digestivus (oesofagografi, OMD,

follow through, colon in loop), HSG (hysterosalpingography), lopography,

appendicography, angiography, dan venography, sedangkan pemeriksaan non

kontras seperti skull, vertebrae, thorax, BNO atau abdomen, pelvis, extremitas

upper (manus, wrist joint, antebrachi, elbow joint, humerus, shoulder joint,

clavicula, scapula) dan extremitas lower (ossa pedis, ankle joint, cruris, knee joint,

femur, hip joint) (Clark, 2011)

Menurut (Bontrager , 2014) Pemeriksaan radiografi sinus paranasal adalah

pemeriksaan radiologi untuk menampakkan kelainan pada rongga sinus.

Pemeriksaan radiografi sinus paranasal pada kasus sinusitis menggunakan proyeksi

Parietoacanthial Transoral ( Open mouth Water’s Method ) dan Parietoacanthial

( Close mouth Water’s Method ).

Dengan alasan diatas maka penulis tertarik mengkaji lebih lanjut mengenai

teknik pemeriksaan radiografi Water’s Method dan membahasnya dalam laporan

praktek Laboratorium “ Teknik Pemeriksaan Radiografi Water’s Method”.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah teknik pemeriksaan secara radiografi Water’s pada kasus sinusitis di

Laboratorium Radiologi?

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui teknik pemeriksaan secara radiografi Water’s pada kasus

sinusitis di Laboratorium Radiologi

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat institusi
Page |9

Menambah daftar kepustakaan dan sebagai bahan studi bagi Mahasiswa/i

STIKes Cirebon terutama pada Program studi DIII Radiodiagnostik dan

Radioterapi

2. Manfaat Pembaca

Menambah wawasan dan meningkatkan kemampuan tentang bagaimana teknik

radiografi Water’s pada kasus sinusitis yang benar


P a g e | 10

BAB II

I. Anatomi Fisiologi Sinus Paranasal

Tulang-tulang tengkorak mempunyai beberapa ruang atau sinus. Sinus frontalis, sinus

maksilaris, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis merupakan sinus paranasalis yang

berhubungan dengan hidung. Sinus udara ini meringankan berat tengkorak dan

memperkeras pembicaraan. (Evelyn C. Pearce, 2016)

Sinus Paranasal adalah ruang berisi udara yang terletak di dalam rongga tengkorak

dan wajah (Singh, 2017), Sinus Paranasal dibagi menjadi empat kelompok yaitu sinus

maksilaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis, sinus ethmoidalis. Hanya sinus maksilaris

yang berada pada struktur rongga wajah. Sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sinus

sphenoidalis berada pada tulang Cranial (Lampignano, 2018)

Keterangan :

1. Sinus frontalis
2. Sinus ethmoidalis
3. Sinus sphenoidalis
4. Sinus maksilaris

Gambar.1 A. Anatomi Sinus Paranasal posisi AP

B. Anatomi Sinus Paranasal posisi Lateral

Sinus Paranasal mulai berkembang sejak awal kehidupan janin, tetapi hanya sinus

maksilaris yang mulai berkembang pada saat kelahiran. Sinus frontalis dan sinus
P a g e | 11

sphenoidalis mulai tampak pada radiograf orang di usia 6 sampai 7 tahun. (Evelyn C. Pearce,

2016)

Sinus ethmoidalis adalah sinus yang mengalami perkembangan paling akhir

dibandingkan dengan yang lainnya. Semua sinus paranasal mengalami perkembangan secara

maksimal pada akhir masa remaja. (Lampignano, 2018)

Sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi

udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Sinus paranasal

merupakan lanjutan langsung dari bagian tractus respiratorius bagian atas dan karena nya

sering terlibat infeksi bagian tersebut. (Ballenger, 2010)

Menurut Long (2016), Sinus paranasal memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai ruang

resonansi suara, meringankan beban pada kepala, membantu melembabkan dan

menghangatkan udara yang kita hirup, sebagai penyerap getaran serta berperan dalam

pengontrol sistem immune.

a. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris merupakan sinus terbesar dan terletak dalam tulang maksila. Setiap

sinus maksilaris berbentuk seperti pyramid bila dilihat dari sisi anterior. Apabila dilihat dari

sisi Lateral berbentuk seperti segi empat. Sinus maksilaris memiliki ukuran yang bervariasi

pada masing-masing sisi dan berbeda-beda pada setiap orang. Pada orang dewasa memiliki

tinggi sekitar 3 sampai 4 cm dan lebar 2,5 sampai 3 cm. (Lampignano, 2018)

Sinus maksilaris memiliki dinding tulang yang sangat tipis bagian bawah dari sinus

maksilaris superposisi dengan bagian bawah nasal. Dasar dari sinus ini memiliki hubungan

dengan akar gigi molar atas pertama dan kedua. Biasanya akar dari gigi menyebabkan infeksi

yang berasal dari gigi, khususnya pada gigi geraham dan gigi premolar serta merambat naik

ke sinus maksilaris. (Lampignano, 2018)


P a g e | 12

b. Sinus Sphenoidalis

Sinus sphenoidalis terletak segaris dengan tulang sphenoid dan berada tepat di bawah

sella tursica. Bagian dari tulang sphenoid terdiri dari sinus yang berbentuk kubus dan

dibagi oleh satu sekat tipis untuk membentuk dua rongga. Septum dan sinus sphenoidalis

mungkin tidak sempurna dan menghasilkan hanya satu rongga (Lampignano, 2018)

Sinus Sphenoidalis sangat dekat dengan dasar cranium, terkadang proses patologi

dari cranium mengakibatkan efek pada sinus tersebut. Misalnya adalah ketidakstabilan

dari suatu air-fluid level di dalam sinus sphenoidalis yang kemudian mengakibatkan

trauma pada tulang kepala. Hal tersebut membuktikan bahwa pasien mempunyai suatu

fraktur dasar kepala yang disebut dengan sphenoid effusion (Lampignano, 2018).

c. Sinus Ethmoidalis

Sinus ethmoidalis termasuk di dalam massa lateral atau labirin dari tulang ethmoid.

Sinus ethmoidalis dibagi menjadi tiga bagian yaitu: anterior, middle dan posterior tetapi

saling berhubungan. Apabila dilihat dari samping, terlihat bagian bawah tulang anterior

dari rongga orbita, serta berhubungan dengan tulang ethmoid dan membentuk dinding

medial setiap rongga orbita (Lampignano, 2018)

d. Sinus Frontalis

Sinus frontalis berada di antara bagian dalam dan luar dari tulang tengkorak, ke arah

posterior menuju glabella dan jarang terbentuk sebelum usia 6 tahun. Pada sinus

maksilaris memiliki ukuran dan bentuk yang simetris, sedangkan sinus frontalis jarang

memiliki ukuran dan bentuk yang simetris. Sinus frontalis pada umumnya dipisahkan

oleh septum yang menyimpang dari satu sisi dengan sisi yang lainnya dan

menghasilkan satu rongga tunggal. Setiap rongga memiliki bermacam-macam ukuran


P a g e | 13

dan bentuk. Biasanya pada pria ukurannya lebih besar dari wanita (Lampignano,

2018)

II. Patofisiologi

Sinusitis Kelainan yang terjadi pada sinus paranasal salah satunya adalah

Sinusitis. Sinusitis merupakan suatu peradangan membran mukosa yang dapat mengenai

satu ataupun beberapa sinus paranasal. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, infeksi

dapat berlangsung akut maupun kronis, dengan batasan waktu kurang atau lebih dari 12

minggu dan penyebab utamanya ialah selesmaatau pilek yang merupakan infeksi virus

yang selanjutnya dapat diikuti dengan infeksi bakteri. Sebagian besar kasus sinusitis

melibatkan lebih dari satu sinus paranasal dan yang paling sering yaitu sinus maksilaris dan

sinus ethmoidalis (Posumah, 2013).

Sinusitis akut merupakan peradangan akut mukosa sinus dengan waktu yang cepat

dan dengan gejala yang berat. Perawatan pada sinusitis akut dapat dilakukan secara medis

dan bedah. Akan tetapi, pharmotherapy dapat menjadi pilihan (Siyad, 2010).

Radang yang berulang-ulang dapat berubah menjadi sinusitis kronik, yang

sukar disembuhkan dan menimbulkan keluhan berkepanjangan pada penderita. Sinusitis ini

disebabkan oleh bakterial dan jamur yang biasanya terjadi lebih dari 12 minggu.

Berbagai macam mikroba dapat ditemukan, yang umumnya berasal dari flora rongga

mulut, dapat terjadi infestasi jamur yang sering berupa fungus ball, umumnya aspergilus

Sinusitis kronik dapat menjalar ke rongga orbita dan menimbulkan osteomilitis atau

trombofebitis sinus venosus durameter. Sinus kronik dapat juga merupakan bagian dari

sindrom kartagener, yang terdiri atas bronkietalis, sinus inversus dan sinusitis kronik (Nasar

cit. Setiadi 2015).

Menurut Wijaya (2013), gejala-gejala sinusitis adalah sebagai berikut :

a. Hidung tersumbat disertai nyeri tekan pada daerah sinus


P a g e | 14

b. Demam dan lesu

c. Sakit kepala

d. Sakit tenggorokan

III. Sejarah Sinar-X

Awal mula penemuan sinar-X, didasari atas ketertarikan Wilhem Conrad Rontgen pada

tabung croock yang diberikan aliran listrik memunculkan berkas berwarna cahaya biru.

Munculnya fenomena disebabkan karena pemberian tegangan listrik tinggi memberikan

lompatan listrik dari katoda bermuatan negatif menuju anoda bermuatan positif. Fenomena

munculnya berkas kelistrikan berwarna biru oleh para peneliti diberi nama dengan “sinar

katoda”. Sinar biru yang dihasilkan tabung croock, pada akhirnya diketahui terjadi karena

ionisasi pada elektron dengan udara yang ada di tabung. (Sudibyo Dwi Saputro, 2016)

Teori Terjadinya Sinar-X

Terbentuknya sinar-X terjadi bermula dari aliran arus listrik menuju filamen katoda.

Pemanasan filamen katoda atau sering disebut dengan proses termionik, akan melepaskan

elektron terluar dari atom filamen katoda dan berkumpul disekitar katoda. Selanjutnya

diberikan beda potensial tinggi antara anoda dan katoda mengakibatkan kumpulan elektron

tersebut bergerak dan menumbuk anoda. Tumbukan elektron pada anoda dihentikan

mendadak atau terjadi “Pengeraman” sehingga proses terjadinya sinar-X sering disebut

dengan breamstrahlung (bahasa jerman yang artinya Pengeraman). (Sudibyo Dwi Saputro,

2016)

IV.Teknik Pemeriksaan
P a g e | 15

Menurut Rasad (2015), untuk mengevaluasi Sinus Paranasal cukup melakukan

proyeksi Open Mouth Waters Method dan Close Mouth Waters Method. Apabila pada

foto di atas belum dapat diperoleh informasi yang lengkap, baru dilakukan dengan proyeksi

yang lain.

Sedangkan menurut Lampignano (2018), pada pemeriksaan radiografi sinus

paranasal menggunakan beberapa proyeksi sebagai berikut :

1. Proyeksi Parietoacanthial (Close Mouth Waters Method)

a. Tujuan

Untuk memperlihatkan sinus maksilaris.

b. Posisi Pasien

Pasien duduk tegak atau berdiri menghadap bucky standdengan Mid Sagital

Plane (MSP) kepala pada pertengahan kaset dan kedua bahu diatur simetris.

c. Posisi Obyek

Pasien mengekstensikan leher, sehingga dagu dan hidung menempel pada bucky

stand. Kepala diatur sehingga Mentomeatal Line (MML) tegak lurus terhadap

kaset atau Orbitomeatal Line (OML) membentuk sudut 37 derajat dari kaset.

d. Arah Sumbu

Sinar Horizontal tegak lurus kaset

e. Titik Bidik

Pada parietal menuju acanthion

f. Focus Film Distance (FFD)

90-100 cm
P a g e | 16

Gambar.2. Proyeksi Parietoacanthial (Close Mouth Waters Method) sinus paranasal

(Lampignano,2018)

g. Kriteria Radiograf

Sinus maksilaris bebas dari gambaran processus alveolar dan petrous ridge.

Inferior orbita terlihat dan sinus frontalis tampak oblique.

Keterangan :

1 1. Sinus Maksilaris

Gambar.2.1 Proyeksi Parietoacanthial (Close Mouth Waters Method) sinus

paranasal (Lampignano,2018)

2. Proyeksi Parietoacanthial Transoral (Open Mouth Waters Method)

a. Tujuan

Untuk memperlihatkan sinus maksilaris dan sinus sphenoidalis.

b. Posisi Pasien
P a g e | 17

Pasien duduk tegak atau berdiri menghadap bucky stand dengan Mid Sagital

Plane (MSP) kepala pada pertengahan kaset dan kedua bahu diatur simetris.

c. Posisi Obyek

Pasien mengekstensikan leher, sehingga dagu dan hidung menempel pada bucky

stand. Kepala diatur sehingga Mentomeatal Line (MML) tegak lurus terhadap

kaset atau Orbitomeatal Line (OML) membentuk sudut 37 derajat dari kaset.

Pasien diminta untuk membuka mulut tanpa mengubah posisi kepala.

d. Arah Sumbu

Sinar Horizontal tegak lurus kaset

e. Titik Bidik

Pada parietal menuju acanthion

f. Focus Film Distance (FFD)

90-100 cm

Gambar.2.2. Proyeksi Parietoacanthial Transoral (Open Mouth Waters Method) Sinus

Paranasal (Lampignano, 2018)

g. Kriteria Radiograf

Sinus maksilaris bebas dari gambaran processus alveolar dan petrous ridge.

Inferior orbita tampak pada sinus frontalis. Sinus sphenoidalis tampak dengan

membuka mulut.
P a g e | 18

Gambar.2.3.Proyeksi Parietoacanthial Transoral (Open Mouth Waters Method)

Sinus Paranasal (Lampignano, 2018)

Menurut Bontrager (2010), tujuan dilakukannya proyeksi parietoacanthial

(waters methode close mouth) adalah untuk menampakkan patologi sinusitis,

osteomilitis dan polip. Teknik pemeriksaan proyeksi parietoacanthial (waters

method close mouth):

1. Proyeksi parietoacanthial (waters methode close mouth)

e. Posisi pasien

Atur pasien dalam posisi erect

b. Posisi objek:

1.Ekstensikan leher, letakkan dagu dan hidung pada permukaan kaset.

2.Atur kepala hingga MML (mento meatal line) tegak lurus kaset, sehingga OML

akan membentuk sudut 37 derajat dari kaset.

3.MSP tegak lurus terhadap grid

c. Sinar pusat:

1.Atur arah sinar horizontal tegak lurus pertengahan kaset keluar dari acanthion

2.Minimum SID 100 cm

d). Kolimasi
P a g e | 19

Pada semua rongga sinus

e). Pernafasan

Pasien tahan nafas selama eskpos berlangsung

f). Kriteria radiograf :

Sinus maksillaris tampak tidak superposisi dengan prosesus alveolar dan petrous

ridges. Inferior orbital rim tampak Sinus frontal tampak oblique

Gambar.2.4. Proyeksi parietoacanthial / waters method close mouth

(Bontrager,2010)

Gambar.2.5. Radiograf Proyeksi parietoacanthial / waters method close mouth

Bontrager (2010)
P a g e | 20

Menurut Bontrager (2010), tujuan dilakukannya proyeksi parietoacanthial

(waters method open mouth) untuk menampakkan patologi sinusitis, osteomilitis

dan polip. Teknik pemeriksaan proyeksi parietoacanthial (waters method open

mouth):

2. Proyeksi parietoacanthial Transoral (waters method open mouth)

f. Posisi Pasien

Atur pasien dalam posisi erect dan membuka mulut

b. Posisi Objek :

1. Ekstensikan leher, istirahatkan dagu di meja pemeriksaan

2. Atur kepala sehingga OML membentuk sudut 37 derajat terhadap kaset (MML

akan tegak lurus dengan mulut yang terbuka)

3. MSP tegak lurus terhadap grid

c. Sinar pusat :

1. Arah sinar tegak lurus horizontal terhadap kaset

2. Titik bidik pada pertengahan kaset keluar menuju acanthion

3. Minimum SID 100 cm

d.Kolimasi

Pada semua rongga sinus

e.Pernafasan

Pasien tahan nafas selama pemeriksaan berlangsung

g. Kriteria radiograf :

Sinus maksillaris tampak tidak superposisi dengan prosesus alveolar dan petrous

ridges, Inferior orbital rim tampak, Sinus frontal tampak oblique dan tampak

sinus spenoid dengan membuka mulut.


P a g e | 21

Gambar.2.6.Proyeksi parietoacanthial Transoral / waters method open mouth

(Bontrager,2010)

Gambar.2.7. Proyeksi parietoacanthial Transoral / waters method open mouth

(Bontrager,2010)

V. Processing Film

1. Pembangkitan

a. Sifat dasar

Pembangkitan merupakan tahap pertama dalam pengolahan film. Pada tahap ini

perubahan terjadi sebagai hasil dari penyinaran. Dan yang disebut pembangkitan

adalah perubahan butir-butir perak halida di dalam emulsi yang telah mendapat
P a g e | 22

penyinaran menjadi perak metalik atau perubahan dari bayangan laten menjadi

bayangan tampak. Sementara butiran perak halida yang tidak mendapat

penyinaran tidak akan terjadi perubahan. Perubahan menjadi perak metalik ini

berperan dalam penghitaman bagian-bagian yang terkena cahaya sinar-X sesuai

dengan intensitas cahaya yang diterima oleh film. Sedangkan yang tidak

mendapat penyinaran akan tetap bening. Dari perubahan butiran perak halida

inilah akan terbentuk bayangan laten pada film.

b. Bayangan laten (latent image)

Emulsi film radiografi terdiri dari ion perak positif dan ion bromida negative

(AgBr) yang tersusun bersama di dalam kisi kristal (cristal lattice). Ketika film

mendapatkan eksposi sinar-X maka cahaya akan berinteraksi dengan ion bromide

yang menyebabkan terlepasnya ikatan elektron. Elektron ini akan bergerak

dengan cepat kemudian akan tersimpan di daiam bintik kepekaan (sensitivity

speck) sehingga bermuatan negatif. Kemudian bintik kepekaan ini akan menarik

ion perak positif yang bergerak bebas untuk masuk ke dalamnya lalu menetralkan

ion perak positif menjadi perak berwarna hitam atau perak metalik. Maka

terjadilah bayangan laten yang gambarannya bersifat tidak tampak.

c. Larutan developer terdiri dari:

a) Bahan pelarut (solvent)

Bahan yang dipergunakan sebagai pelarut adalah air bersih yang tidak

mengandung mineral.

b) Bahan pembangkit (developing agent)

Bahan pembangkit adalah bahan yang dapat mengubah perak halida menjadi

perak metalik. Di dalam lembaran film, bahan pembangkit ini akan bereaksi

dengan memberikan elektron kepada kristal perak bromida untuk menetralisir


P a g e | 23

ion perak sehingga kristal perak halida yang tadinya telah terkena penyinaran

menjadi perak metalik berwarna hitam, tanpa mempengaruhi kristal yang tidak

terkena penyinaran. Bahan yang biasa digunakan adalah jenis benzena (C6H6).

c) Bahan pemercepat (accelerator)

Bahan developer membutuhkan media alkali (basa) supaya emulsi pada film

mudah membengkak dan mudah diterobos oleh bahan pembangkit (mudah

diaktifkan). Bahan yang mengandung alkali ini disebut bahan pemercepat yang

biasanya terdapat pada bahan seperti potasium karbonat (Na2CO3 / K2CO3)

atau potasium hidroksida (NaOH / KOH) yang mempunyai sifat dapat larut

dalam air.

d) Bahan penahan (restrainer)

Fungsi bahan penahan adalah untuk mengendalikan aksi reduksi bahan

pembangkit terhadap kristal yang tidak tereksposi, sehingga tidak terjadi kabut

(fog) pada bayangan film. Bahan yang sering digunakan adalah kalium

bromida.

e) Bahan penangkal (preservatif)

Bahan penangkal berfungsi untuk mengontrol laju oksidasi bahan pembangkit.

Bahan pembangkit mudah teroksidasi karena mengabsorbsi oksigen dari udara.

Namun bahan penangkal ini tidak menghentikan sepenuhnya proses oksidasi,

hanya mengurangi laju oksidasi dan meminimalkan efek yang ditimbulkannya.

f) Bahan-bahan tambahan.

Selain dari bahan-bahan dasar, cairan pembangkit mengandung pula bahan-

bahan tambahan seperti bahan penyangga (buffer) dan bahan pengeras

(hardening agent). Fungsi dari bahan penyangga adalah untuk

mempertahankan Ph cairan sehingga aktivitas cairan pembangkit relatif


P a g e | 24

konstan. Sedangkan fungsi dari bahan pengeras adalah untuk mengeraskan

emulsi film yang diproses. (E Seeram, 2011)

2. Pembilasan

Merupakan tahap selanjutnya setelah pembangkitan. Pada waktu film dipindahkan

dari tangki cairan pembangkit, sejumlah cairan pembangkit akan terbawa pada

permukaan film dan juga di dalam emulsi filmnya. Cairan pembilas akan

membersihkan film dari larutan pembangkit agar tidak terbawa ke dalam proses

selanjutnya.

Cairan pembangkit yang tersisa masih memungkinkan berlanjutnya proses

pembangkitan walaupun film telah dikeluarkan dari larutan pembangkit. Apabila

pembangkitan masih terjadi pada proses penetapan maka akan membentuk kabut

dikroik (dichroic fog) sehingga foto hasil tidak memuaskan.

Proses yang terjadi pada cairan pembilas yaitu memperlambat aksi pembangkitan

dengan membuang cairan pembangkit dari permukaan film dengan cara merendamnya

ke dalam air. Pembilasan ini harus dilakukan dengan air yang mengalir selama 5

detik.

3. Penetapan

Diperlukan untuk menetapkan dan membuat gambaran menjadi permanen dengan

menghilangkan perak halida yang tidak terkena sinar-X. Tanpa mengubah gambaran

perak metalik. Perak halida dihilangkan dengan cara mengubahnya menjadi perak

komplek. Senyawa tersebut bersifat larut dalam air kemudian selanjutnya akan

dihilangkan pada tahap pencucian.

Tujuan dari tahap penetapan ini adalah untuk menghentikan aksi lanjutan yang

dilakukan oleh cairan pembangkit yang terserap oleh emulsi film. Pada proses ini juga
P a g e | 25

diperlukan adanya pengerasan untuk memberikan perlindungan terhadap kerusakan

dan untuk mengendalikan akibat penyerapan uap air.

4. Pencucian.

Setelah film menjalani proses penetapan maka akan terbentuk perak komplek dan

garam. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan tersebut dalam air.

Tahap ini sebaiknya dilakukan dengan air mengalir agar dan air yang digunakan selalu

dalam keadaan bersih.

5. Pengeringan

Tujuan pengeringan adalah untuk menghilangkan air yang ada pada emulsi. Hasil

akhir dari proses pengolahan film adalah emulsi yang tidak rusak, bebas dari partikel

debu, endapan kristal, noda, dan artefak.

Cara yang paling umum digunakan untuk melakukan pengeringan adalah dengan

udara. Ada tiga faktor penting yang mempengaruhinya, yaitu suhu udara, kelembaban

udara, dan aliran udara yang melewati emulsi. (ZA Afani, NN Rupiasih 2017)

VI.Proteksi Radiasi

Proteksi Radiasi adalah pengawasan terhadap bahaya radiasi melalui peraturan-

peraturan yang berkaitan dengan pemanfaatan radiasi dan bahan-bahan radioaktif. Di

Indonesia, badan pengawas tersebut adalah Bapeten (Badan Pengawas Tenaga

Nuklir).Proteksi Radiasi yang dipakai sekarang ditetapkan oleh Komisi Internasional

untuk Proteksi Radiasi (International Commission on Radiological Protection, ICRP)

dalam suatu pernyataan yang mengatur pembatasan dosis radiasi, yang intinya sebagai

berikut

1. Suatu kegiatan tidak akan dilakukan kecuali mempunyai keuntungan yang positif

dibandingkan dengan risiko, yang dikenal sebagai asas justifikasi.


P a g e | 26

2. Paparan radiasi diusahakan pada tingkat serendah mungkin yang bisa dicapai dengan

mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial, yang dikenal sebagai asas optimasi.

3. Dosis perorangan tidak boleh melampaui batas yang direkomendasikan oleh ICRP

untuk suatu lingkungan tertentu, yang dikenal sebagai asas limitasi. (M Hidayati

Idrus, 2017)
P a g e | 27

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Paparan Kasus

1. Identitas Pasien

Pada hari Selasa, 22 Desember 2020 pasien bernama Tn. I berumur 23

tahun mendaftarkan ke Laboratorium Radiologi untuk pemeriksaan radiografi

Water’s . Pasien datang dengan membawa surat permintaan pemeriksaan dari

dokter yang memeriksa. Pasien dengan data sebagai berikut :

Nama : Tn. I

Umur : 23 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Indramayu

Permintaan foto : Water’s

Dokter Pengirim : dr. Herry Santosa, Sp OT. M.Kes

Dokter Spesialis Radiologi :dr. H. Alip Asmadi, Sp. Rad

No Radiologi : 22.924

No RM : 856520

Tanggal : 22 Desember 2020

Diagnosa : Sinusitis

Ruang : Lavender Bawah Pria

Pada kasus ini, prosedur pemeriksaan diagnostik yang

dilakukan di Laboratorium Radiologi menggunakan Proyeksi Parietoacanthial


P a g e | 28

(Close Mouth Water’s Method) dan Proyeksi Parietoacanthial Transoral (Open

Mouth Water’s Method) untuk pemeriksaan Water’s pada kasus ini.

2. Alur Pemeriksaan

Di Laboratorium Radiologi setiap pelayanan radiologi ,mengikuti alur

pemeriksaan sebagai berikut:

a. Pasien datang ke bagian administrasi instalasi radiologi dengan membawa surat

pengantar dari dokter pengirim.

b. Petugas administrasi mengidentifikasi identitas pasien melalui billingan

computer, pembayaran untuk segera bisa di bayarkan ke kasir pusat untuk pasien

rawat jalan ataupun pasien yang menggunakan pembayaran mengunakan umum.

c. Untuk pasien dari BPJS bisa langsung di kerjakan karena telah memenuhi

persyaratan prosedur foto rontgen di Laboratorium Radiologi.

d. Pasien menunggu di depan kamar pemeriksaan dan dipanggil sesuai nomor urut.

e. Pasien dipanggil masuk kedalam ruang pemeriksaan didampingi seorang saudara

pasien atau perawat bila diperlukan.

f. Identitas pasien di konfirmasi kembali agar tidak terjadi kesalahan informasi

identitas pasien.

g. Pasien diberi penjelasan tentang prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.

h. Petugas menyiapkan kaset serta memposisikan pesawat x-ray yang di gunakan

serta mempersiapkan peralatan yang mendukung pemeriksaan.

i. Setelah itu pasien diposisikan di meja pemeriksaan sesuai prosedur dan

selanjutnya di foto dan diatur faktor eksposi

j. Setelah itu dilakukan proses pencucian film menggunakan automtic procesing

k. Setelah hasil radiograf tersebut terlihat dan tidak tampak artefak ataupun tidak

terjadi reject, hasil tersebut dapat langsung di baca oleh dokter radiolog.
P a g e | 29

B. Persiapan dan Pelaksanaan Pemeriksaan

1. Persiapan Pasien

Pada pemeriksaan radiografi Water’s Method pasien dipersilahkan untuk

melepas benda pada daerah kepala seperti Kacamata, anting, ataupun gigi palsu

agar hasil radiologi tidak terdapat Artifact yang mengganggu diagnosis

2. Alat dan Bahan

a. Pesawat Sinar-X

o Model : Allengers 100

o No Seri : 2K120310048 – X

o Merk : Allengers

o Kapasitas Eksposi : kV = 100, mA = 150

Gambar.2.8.Meja Kontrol Pesawat X-Ray Lab Radiologi STIKes Cirebon

Gambar.2.9. Pesawat X-Ray Lab Radiologi STIKes Cirebon


P a g e | 30

b. Marker L/R untuk identitas.

c. Kaset dan Ukuran Film

o Merk Kaset : X-RAY FIL CASSETTE

o Ukuran Kaset : 18 x 24 cm

o Merk Film : FUJIFILM

o Ukuran Film : 18 x 24 cm

Gambar.3.0.Kaset dan Film Lab Radiologi STIKes Cirebon

d. Automatic Procesing

Gambar.3.1.Automatic Processing

e. View Box

Gambar.3.2.View Box Lab Radiologi STIKes Cirebon


P a g e | 31

3. Teknik Pemeriksaan

Teknik pemeriksaan radiografi Water’s Method di Laboratorium

Radiologi adalah dengan menggunakan proyeksi Parietoacanthial

(Close Mouth Water’s Method) dan proyeksi Parietoacanthial

Transoral (Open Mouth Water’s Method).

a. Proyeksi Parietoacanthial (Close Mouth Water’s Method)

Posisi Pasien : Pasien duduk tegak atau berdiri menghadap

bucky standdengan Mid Sagital Plane

(MSP) kepala pada pertengahan kaset dan

kedua bahu diatur simetris.

Posisi Obyek : Pasien mengekstensikan leher, sehingga

dagu dan hidung menempel pada bucky

stand. Kepala diatur sehingga Mentomeatal

Line (MML) tegak lurus terhadap kaset

atau Orbitomeatal Line (OML) membentuk

sudut 37 derajat dari kaset .

Central Point : Pada parietal menuju acanthion

Central Ray : Horizontal tegak lurus film

Focus Film Distance : 100 cm , Film horizontal

Ukuran Kaset : Ukuran kaset yang digunakan adalah 18x24

cm

Faktor Eksposi : kV : 75, mAs : 16

Marker : R/L
P a g e | 32

Gambar.3.3.Radiografi Pemeriksaan Parietoacanthial (Close Mouth

Waters Method)

b. Proyeksi Parietoacanthial Transoral (Open Mouth Water’s Method)

Posisi Pasien : Pasien duduk tegak atau berdiri menghadap

bucky stand dengan Mid Sagital Plane

(MSP) kepala pada pertengahan kaset dan

kedua bahu diatur simetris

Posisi Obyek : Pasien mengekstensikan leher, sehingga

dagu dan hidung menempel pada bucky

stand. Kepala diatur sehingga

Mentomeatal Line (MML) tegak lurus

terhadap kaset atau Orbitomeatal Line

(OML) membentuk sudut 37 derajat dari

kaset. Pasien diminta untuk membuka

mulut tanpa mengubah posisi kepala

Central Point : Pada parietal menuju acanthion

Central Ray : Horizontal Tegak Lurus Kaset

Fokus Film Distance : 100 cm, Film Horizontal

Ukuran Kaset : Ukuran kaset yang digunakan adalah 18 x 24

cm
P a g e | 33

Faktor Eksposi : kV : 75 , mAs : 16

Marker : R/L

Gambar.3.4.Radiografi Pemeriksaan Parietoacanthial Transoral

(Open Mouth Waters Method)

4. Pengolahan Film

Pengolahan film yang dilakukan di Laboratorium Radiologi dengan

Automatic processing.

5. Hasil Bacaan

Rinosinusitis Kronis

6. Pembahasan

Pasien Tn. I, Pada Tanggal 22 Desember 2020 datang ke Laboratorium

Radiologi dengan membawa surat permintaan pemeriksaan radiologi Water’s

Method.

Setelah melakukan pendaftaran, pasien memasuki ruangan pemeriksaan.

Berdasarkan pengamatan yang telah diperoleh mengenai pemeriksaan Water’s

Method di Laboratorium Radiologi adalah pemeriksaan Water’s Method

menggunakan proyeksi Parietoacanthial (Close mouth Water’s Method) untuk

proyeksi yang pertama dan proyeksi Parietoacanthial Transoral (Open mouth

Water’s Method).
P a g e | 34

Untuk pemeriksaan pertama dengan menggunakan proyeksi Parietoacanthial

(Close mouth Water’s Method) prosedurnya memanggil pasien dan mencocokkan

identitasnya, menjelaskan kepada pasien pelaksanaan pemeriksaan, Pasien duduk

tegak atau berdiri menghadap bucky stand dengan Mid Sagital Plane (MSP) kepala

pada pertengahan kaset dan kedua bahu diatur simetris dengan kaset diletakkan

Horizontal terhadap seluruh rongga sinus paranasal. Mempersiapkan kaset ukuran

18x24 cm. Pasien mengekstensikan leher, Kepala diatur sehingga Mentomeatal Line

(MML) tegak lurus terhadap kaset dan diatas kaset dipasang grid. Mengatur

Central Point pada parietal menuju acanthial. Menggunakan focus film distance

100cm dan faktor eksposi kV 75 mAs 16. Kemudian pasien di instruksikan tahan

nafas kemudian melakukan ekspos.

Untuk pemeriksaan yang kedua dalam proyeksi Parietoacanthial Transoral

(Open mouth Water’s Metod) Pasien diminta untuk membuka mulut tanpa

mengubah posisi kepala, untuk kaset masih sama 18x24 cm dengan dipasang grid

diatas kaset dengan mengatur central point pada parietal menuju acanthial.

Menggunakan focus film distance 100cm dan faktor eksposi kV 75 mAs 16 diberi

marker R/L setelah pengaturan posisi selesai baru melakukan eksposi.

Kemudian Kemudian memproses film dikamar gelap menggunakan

automatic processing. Hasil radiograf dibaca oleh dokter untuk didiagnosa. Hasil

dari pemeriksaan ini diberikan kembali kepada pasien untuk pengobatan lebih lanjut.

Dari pemeriksaan tersebut diagnosa yang didapat yaitu pasien mengalami

Rinosinusitis Kronis . Dari pemeriksaan di atas dapat dihasilkan gambaran radiograf

yang baik. Hal ini ditandai dengan pengambilan gambar tanpa pengulangan foto.
P a g e | 35

Persamaan dalam pemeriksaan Water’s Method dalam 2 literatur pada

Bontrager dan Lampignano menggunakan kaset ukuran 18x24cm persamaan central

point dan obyek, menggunakan Marker.

Sedangkan perbedaan pada 2 literatur Bontrager dan Lampignano dan pada

praktek yaitu pada 2 buku menggunakan grid sedangkan pada praktek tidak

menggunakan grid.
P a g e | 36

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil dari pemeriksaan ini diberikan kembali kepada pasien untuk pengobatan

lebih lanjut. Dari pemeriksaan tersebut diagnosa yang didapat yaitu pasien mengalami

Rinosinusitis Kronis . Dari pemeriksaan di atas dapat dihasilkan gambaran radiograf

yang baik. Hal ini ditandai dengan pengambilan gambar tanpa pengulangan foto.

Untuk proyeksi pemeriksaan sendiri menggunakan 2 proyeksi yaitu pada

proyeksi pertama menggunakan proyeksi Parietoacanthial (Close mouth Water’s

Method) dan untuk proyeksi kedua menggunakan proyeksi Parietoacanthial

Transoral (Open mouth Water’s Method).

B. Saran

Setelah mendapat pengalaman nyata dalam melakukan teknik pemeriksaan

radiografi serta membuat laporan ini, penulis menyampaikan saran kepada pembaca

memberi masukan dan sumbangan bagi perkembangan ilmu kesehatan, khususnya

dalam bidang radiologi tentang teknik radiografi Water’s Method pada kasus ini

sehingga dapat memperluas pengetahuan bagi pembaca maupun penulis

Untuk Pemeriksaan ini sebaiknya menggunakan kaset dengan ukuran 24x30

cm.
P a g e | 37

DAFTAR PUSTAKA

 Lampignano, John P. 2018. Textbook of Radiographic Positioning and Related

Anatomy. Ninth edition. St. Louis: Elsevier.

 Long, Bruce W. 2016. Merril’s Atlas of Radiographic Positioning and Related

Procedures.Thirteenth Edition. Saint Louis: Mosby.

 Rasad, Sjahrir. 2015. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua.Jakarta: Badan Penerbit

FKUI.

 Ballinger, J.J. 2010. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan Kepala dan Leher

Jilid I. Jakarta: Binaputra Aksara Publisher.

 Sudidbyo Dwi Saputro. 2016. RADIOLOGI DASAR I

 Evelyn C. Pearce. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis Penerbit PT Gramedia

Pustaka Utama

 Singh, Ameet. 2017. https://emedicene.medscape.com/article/1899145-overview.

Diakses pada tanggal 11 Januari 2019.

 Siyad, A. R. 2010. Sinusitis.Kannur: Hygeia Journal for Drugs and Medicines.


P a g e | 38

LAMPIRAN
P a g e | 39

Anda mungkin juga menyukai