Anda di halaman 1dari 27

TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI

HIP JOINT

Laporan praktek disusun untuk memenuhi tugas praktek laboratorium I

Disusun Oleh :

TIO NUGRAHA
NIM 4501.06.19.A.047

PROGRAM STUDI
DIII TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CIREBON
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadiran Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga laporan
ini dapat tersusun sehingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Sehingga akhirnya tersusunlah materi laporan Praktikum yang sistematis,hal ini
saya lakukan untuk memenuhi tugas praktikum dilaboratorium I,kegiatan ini
menghasilkan sesuatu yang berharga dalam mengaplikasikan ilmu dari
perkuliahan yang sedang saya jalani memalui praktik dalam dunia kerja yang
nyata nanti.
Dengan selesainya laporan praktikum ini,maka tidak lupa saya ucapkan terimak
kasih kepada semua orang yang sudah membantu menyelesaikan laporan ini.dan
terimakasih juga untuk para pihak yang sudah terlibat langsung.
khusunya saya ucapkan kepada :
1. Mas Nanda Pratama,S.Tr.Kes (Rad) selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.
2. Orang tua saya atas doa dan dukungannya sehingga tugas praktikum ini
berjalan dengan lancar.

Saya mohon saran dan kritikannya apabila terdapat banyak kekurangan pada hasil
laporan praktikum yang sudah saya buat.semoga laporan ini memberi banyak
kegunaan pada semua pihak termasuk saya.terimakasih

Cirebon, 6 Januari 2021


Penulis

Tio Nugraha
HALAMAN PENGESAHAN

Telah diperiksa dan disahkan untuk memenuhi tugas Praktek Laboratoriun


I jurusan Diploma III Radiodiagnostik dan Radioterapi STIkes Cirebon.

Nama : Tio Nugraha


Nim : 4501.06.19.A.047
Judul laporan : Teknik pemeriksaan Radiografi Hip Joint
Tempat : Laboratorium Radiologi

Cirebon,6 Januari 2021


Pembimbing

Nanda Pratama,S.Tr.Kes (Rad)


DAFTAR ISI

Halaman judul...................................................................................................
Kata pengantar .................................................................................................
Daftar isi ..........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN............................................................................
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................
1.3 Tujuan Masalah..................................................................................
1.4 Manfaat ..............................................................................................

BAB II TEORI DASAR...............................................................................


2.1 Anatomi................................................................................................
2.2 Patofisiologi........................................................................................
2.3 Sejarah Sinar-X dan teori terjadinya sinar-X.......................................
2.4 Teknik Pemeriksaan...........................................................................
2.5 Processing Flim..................................................................................
2.6 Proteksi Radiasi..................................................................................

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................


3.1 Identitas pasien...................................................................................
3.2 Alat dan bahan (dilaboratorium).........................................................
3.3 Proyeksi pemeriksaan.........................................................................
3.4 Alur Pemeriksaan (pembahasan)........................................................

BAB V PENUTUP........................................................................................
4.1 Kesimpulan.........................................................................................
4.2 Saran ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang begitu pesat memicu
terjadinya perubahan dalam berbagai sistem kesehatan. Radiologi merupakan
bidang yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan teknologi, yang
dapat memberikan pengaruh terhadap pelayanan kesehatan. Bagian radiologi
merupakan salah satu unsur penting penunjang pelayanan kesehatan yang
bertujuan memberikan pelayanan diagnostik sebaik-baiknya kepada
masyarakat, untuk itu pelayanan radiologi perlu menjaga pelayanan dengan
standar mutu yang baik (Kartosuwiryo, 2012)
Ada 2 jenis pemeriksaan yang dilakukan di Instalasi Radiologi seperti
pemeriksaan kontras dan non kontras. Pemeriksaan kontras seperti tractus
urinarius (BNO-IVP, urethrography, cystography, urethrocystography,
antegrade pyelography, retrograde pyelography), tractus digestivus
(oesofagografi, OMD, follow through, colon in loop), HSG
(hysterosalpingography), lopography, appendicography, angiography, dan
venography, sedangkan pemeriksaan non kontras seperti skull, vertebrae,
thorax, BNO atau abdomen, pelvis, extremitas upper (manus,wrist joint,
antebrachi, elbow joint, humerus, shoulder joint, clavicula, scapula) dan
extremitas lower (ossa pedis, ankle joint, cruris, knee joint, femur, hip joint)
(Clark, 2011)
hip joint merupakan pertemuan pertemuan dua atau beberapa tulang dari
kerangka. Sendi panggul atau hip merupakan sendi yang menghubungkan pelvis
dengan tulang paha (femur). Sendi panggul memiliki 2 bagian yaitu caput femoris
dan acetabulum.

Berdasarkan sumber data yang penulis peroleh dibeberapa referesi bahwa


sendi paggul mempunyai teknik radiografi sendiri dan berbagai macam proyeksi
pemotretan maka untuk mendapatkan radiografi yang lebih informatif dilakun
dengan berbagai proyeksi seperti AP dan LATERAL

B. Rumusan Masalah
Agar dalam penyusunan tugas ini penulis dapat lebih terarah serta
karenaketerbatasan waktu dan terbatasnya kemampuan penulis, maka
penulis hanyamembahas masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah teknik pemeriksaan radiografi hip joint dengan proyeksi
AP dan Lateral dalam beberapa literature buku dan jurnal ?
2. Apakah pemeriksaan radiologi hip Joint dengan menggunakan proyeksi
AP atau Lateral saja , telah cukup efektif dalam menegakkan diagnosa?

C. Tujuan Penulisan
1. .Untuk mengetahui prosedur pelaksana dari Pemeriksaan Radiografi Hip
Joint AP dan Lateral
2. .Untuk mengetahui masalah yang harus dikaji dalam pemeriksaan
Radiografi AP dan Lateral

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teori
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis serta memberikan
informasi kepada pembaca mengenai pemeriksaan Hip joint dengan
Proyeksi Antero Posterior (AP) dan Lateral.
2. Manfaat Institus
Sebagai bahan referensi dan pustaka di kampus STIKes Cirebon
terutama pada program studi D3 Teknik Radiodiagnostik dan
Radioterapi.
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Anatomi
1. Anatomi Hip Joint
Hip Joint merupakan jenis persendian enarthrosis yang
dibentuk oleh caput ossis femoris dan acetabulum dari os coxae.

Gambar 1. Hip Joint (Sendi panggul) Drake, et al., 2012

Caput ossis femoris


Caput ossis femoris terletak tepat di inferior dari 1/3 tengah
ligamentum inguinale. Pertengahan dari dua caput ossis femoris
pada dewasa rata-rata adalah 17,5 cm dari masing-masing caput ossis
femoris. Caput ossis femoris berbentuk 2/3 dari sebuah bola.
Terdapat suatu cekungan yang prominen terletak sedikit posterior
dari pertengahan caput ossis femoris yang disebut fovea capitis.
Seluruh permukaan dari caput ossis femoris ditutupi oleh cartilago
articularis, kecuali daerah fovea capitis.

Gambar 2. Sendi panggul ( Hip Joint ) bagian medial. A. Ligamentum


transversum acetabuli B. Ligamentum teres femoris.
Caput ossis femoris dirotasikan ke lateral luar dari
acetabulum untuk menunjukkan ligamentum (Drake, et
al., 2012).

Cartilago yang paling tebal terletak pada daerah di atas dan


sedikit anterior dari fovea capitis. Ligamentum teres femoris
(ligamentum capitis femoris) merupakan selubung berbentuk
silinder dari jaringan ikat yang dilapisi membrana synovial yang
berjalan di antara ligamentum transversum acetabuli dan fovea
capitis (Gambar 2). Meskipun ligamentum tersebut teregang selama
fleksi dan adduksi, ligamentum tersebut hanya memiliki sejumlah
kontribusi kecil terhadap stabilitas sendi. Menariknya, ligamentum
tersebut terutama berfungsi sebagai pelindung saluran, atau
selubung, untuk tempat berjalannya arteria acetabularis (cabang dari
arteria obturatoria) menuju caput ossis femoris (Gambar 2). Arteria
acetabularis yang kecil dan tidak konstan hanya menyediakan suatu
sumber darah yang kecil untuk os femur. Suplai darah utama untuk
caput ossis femoris dan collum ossis femoris adalah melalui arteria
circumflexa femoris medialis dan arteria circumflexa femoris
lateralis, yang menembus capsula articularis yang berdekatan
dengan collum ossis femoris

Acetabulum
Acetabulum (dari bahasa Latin, yang berarti “cangkir cuka”)
adalah socket/cekungan yang dalam dan berbentuk cangkir setengah
bulat. Sekitar 60°-70° dari tepi acetabulum, tidak melingkar lengkap
di dekat inferiornya, terbentuk incisura acetabuli. Caput ossis
femoris kontak dengan acetabulum hanya di sepanjang permukaan
yang berbentuk tapal kuda (facies lunata). Facies lunata ditutupi
dengan cartilago articularis, yang paling tebal di sepanjang daerah
superior anterior kubahnya (Gambar 2). Daerah dengan cartilago
yang paling tebal (sekitar 3,5 mm) sesuai dengan kira-kira daerah
berkekuatan sendi tertinggi selama berjalan. Selama berjalan,
kekuatan panggul berubah-ubah dari 13% berat badan (BB) selama
fase midswing sampai di atas 300% BB selama fase midstance.
Selama fase stance-- ketika kekuatan terbesar-- facies lunata sedikit
mendatar sebagaimana incisura acetabuli sedikit melebar sehingga
meningkatkan area kontak sebagai cara untuk mengurangi tekanan
tertinggi. Hal ini merupakan mekanisme peredam alami yang
menggambarkan desain lain yang berusaha untuk menjaga stres
pada tulang subchondral pada level fisiologis yang dapat ditoleransi.
Fossa acetabuli adalah suatu cekungan yang terletak dalam
pada dasar dari acetabulum (Gambar 2). Karena fossa acetabuli
biasanya tidak kontak dengan caput ossis femoris, fossa tersebut
tanpa cartilago. Sebaliknya, fossa acetabuli berisi ligamentum teres
femoris, lemak, membrana synovialis, dan pembuluh darah.

Labrum acetabulare
Labrum acetabulare adalah suatu fibrocartilago utama dan
berbentuk cincin yang tidak lengkap mengelilingi tepi luar
acetabulum. Di dekat incisura acetabuli, labrum acetabulare melebar
saat berubah menjadi ligamentum transversum acetabuli. Labrum
acetabular hampir tampak segitiga pada potongan melintang,
dengan apex mengarah ke luar sekitar 5 mm dari caput ossis femoris.
Basis dari labrum acetabulare melekat di sepanjang permukaan
dalam dan permukaan luar dari tepi acetabulum.
Bagian dari labrum acetabulare yang melekat pada permukaan
dalam berhubungan dengan cartilago articularis pada acetabulum.
Labrum acetabulare menyediakan stabilitas panggul yang bermakna
dengan “menggenggam” caput ossis femoris dan dengan
memperdalam volume socket kira-kira 30% untuk menambah
kedalaman cakupan dan mengurangi diskongruensi sendi. Labrum
acetabulare secara langsung melindungi cartilago articularis dengan
mengurangi stres kontak (kekuatan/area) dengan meningkatkan
area permukaan dari acetabulum. Labrum acetabulare terutama
mengandung fibrocartilago yang memiliki vaskularisasi buruk, yaitu
hanya menerima suplai darah yang rendah untuk 1/3 luarnya. Oleh
karenanya, suatu robekan pada labrum acetabulare memiliki
kemampuan untuk sembuh yang terbatas. Berbeda dengan
vaskularisasinya yang buruk, labrum acetabulare disuplai dengan
baik oleh nervi afferentes yang mampu memberikan umpan balik
proprioseptif dan, memberikan sensasi nyeri apabila labrum
acetabulare mengalami cedera akut.
2.2 Patofisiologi
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial (Rasjad,
2007). Patah tulang pinggul adalah patahnya tulang pada kuartal atas dari
femur (tulang paha). Hip adalah gabungan bola dan sendi . Hal inilah
yang memungkinkan kaki bagian atas bisa menekuk dan memutar di
pinggul.
Cedera adalah penyebab yang jelas pada patah tulang pinggul.
Dalam populasi lanjut usia, cedera merupakan hasil dari hilangnya
keseimbangan dan insiden jatuh. Osteoporosis adalah suatu penyakit di
mana tulang menjadi rapuh dan memiliki kemungkinan untuk terjadinya
patah tulang, ini bisa melemahkan leher femur ke titik bahwa setiap
peningkatan tekanan dapat menyebabkan leher femur untuk mengalami
patah tulang secara tiba-tiba, yang juga dapat disebabkan oleh lutut dan
sendi pinggul yang menempatkan terlalu banyak tekanan di leher femur.
Beberapa penyebab osteoporosis mungkin berhubungan dengan
penuaan, nutrisi / lifestyle, obat atau penyakit lainnya (Baylor, 2009).
Penurunan kekuatan/densitas tulang dan koordinasi
neuromuskular meningkatkan risiko fraktur osteoporosis, dan fraktur
femur proksimal merupakan fraktur yang paling serius yang ditimbulkan
akibat osteoporosis. Fraktur hip osteoporosis berhubungan dengan
penurunan kekuatan tulang dan insiden jatuh. Jatuh (simple fall)
merupakan kejadian dan faktor risiko yang sangat berperan terhadap
terjadinya fraktur femur proksimal (fraktur hip) pada usia tua
(Setyonegoro, 2009). Fraktur collum femur terjadi paling sering pada
wanita usia lanjut (Canale dan Beaty, 2008). Arah terjadinya jatuh
merupakan determinan yang penting pada kejadian fraktur hip. Saat
mengalami jatuh, risiko fraktur akan meningkat 6 kali saat jatuh ke arah
samping (sideway fall) dibanding jatuh ke depan (forward fall) atau ke
belakang (backward fall). Studi lainnya menyebutkan bahwa impaksi
pada sisi lateral pelvis meningkatkan risiko fraktur sebesar 20-30 kali
lipat dibandingkan saat jatuh ke sisi lainnya, selain itu jatuh
berputar/berbelok berisiko menyebabkan fraktur lebih tinggi dibanding
saat berjalan lurus. Faktor lain yang berhubungan dengan risiko fraktur
potensial energi meliputi jatuh dari ketinggian, berat badan, ketebalan
jaringan lunak pada regio trokhanter, kekuatan otot, kontrol
neuromuskular dan kemampuan respon protektif seseorang
(Johannesdottir, 2012).
3. Faktor Risiko Fraktur Hip
Risiko terjadinya fraktur tulang pinggul yaitu diantaranya usia,
osteoporosis, wanita berkulit putih, riwayat kehamilan yang
menyebabkan fraktur tulang pinggul, konsumsi alkohol dan kafein yang
berlebihan, kurangnya aktivitas fisik, berat badan rendah, tinggi badan
yang melebihi rata-rata normal, fraktur tulang pinggul sebelumnya,
penggunaan obat-obatan psikotropika, lingkungan tempat tinggal,
melemahnya penglihatan dan demensia (Zuckerman, dalam Filipov :
2014).
Ray Marks (2010) mengelompokkan faktor risiko fraktur hip
menjadi dua faktor, antara lain:
a. Faktor Biomekanik
1) Jatuh
Terdapat hubungan yang kuat antara mediator yang berkaitan
dengan insiden jatuh dan luka fraktur hip yaitu diantaranya
gangguan keseimbangan, gangguan neuromuskular dan
muskuloskletal, tipe jatuh, kecepatan dan berat ringannya insiden
jatuh, penurunan kekuatan yang berkaitan dengan usia, gangguan
kognitif serta penyakit serius pada lansia.
2) Kurangnya aktivitas fisik
Orang lanjut usia dengan aktivitas fisik yang kurang memiliki
risiko fraktur hip dua kali lebih besar. Karena aktivitas yang kurang
dapat berdampak negatif pada kesehatan tulang, fisiologi tulang,
massa otot, status kesehatan secara keseluruhan dan paparan
vitamin D.
3) Kelemahan otot
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa kelemahan otot
berhubungan dengan respon refleks yang lebih lambat dan dapat
secara signifikan meningkatkan risiko jatuh. Kelemahan otot dapat
meningkatkan risiko menderita fraktur hip, dikarenakan dampak
negatif jangka panjang pada densitas tulangnya dan kapasitas
muscle shock absorbing.
4) Antropometri tubuh
Wanita yang berusia tua dengan tubuh yang lebih kecil lebih
berisiko mengalami fraktur hip, dikarenakan densitas mineral
tulangnya yang lebih rendah.
5) Struktur tulang
Densitas mineral tulang secara signifikan berhubungan dengan
mobilitas fungsional dan massa tubuh yang rendah. Densitas
mineral tulang dan massa tulang yang rendah berkontribusi dalam
risiko terjadinya fraktur hip.

2.3 Sejarah Sinar-X dan Teori proses terjadinya sinar-X


1. Sejarah Sinar-X
Pertama kali sinar-x ditemukan oleh WILHELM CONRAD ROENTGEN
seorang ahli fisika, di Universitas Wurzbur Jerman pada tahun 1895.
Dimana didalam percobaannya didapat kesimpulan bahwa sinar-x terjadi
bila elektron berkecepatan tinggi menabrak atau menumbuk suatu materi
atau target. Maka oleh WILHELM CONRAD ROENTGEN sinar yang
belum diketahui tersebut diberi nama sinar-x. Kemudian pada
perkembangan selanjutnya orang mulai menduga bahwa sinar-x tersebut
merupakan gelombang elektromagnetik seperti juga cahaya tampak. Teori
gelombang elektromagnetik menyebutkan bahwa muatan listrik yang
mengalami pemberhentian secara mendadak juga akan mengalami radiasi.
2. Teori Proses Terjadinya Sinar-X
 Katoda (filament) dipanaskan (besar dari 20.0000C) sampai menyala
dengan mengalirkan listrik yang berasal dari tranformator.
 Sewaktu panas electron-electron dari katoda (filament) terlepas.
 Sewaktu dihubungkan dengan tranformator tegangan tinggi, electron-
electron-electron gerakannya di percepat menuju anoda yang berpusat
di focusing cup.
 Awan-awan electron dipaksa untuk di hentikan pada target (sasaran)
sehingga terbentuk panas (99%) dan sinar x (1%).
 Pelindung (perisai) timah yang akan mencegah keluarnya sinar x,
sehingga sinar x yang terbentuk hanya dapat keluar melalui jendela.
 Panas yang tinggi pada target (sasaran) akibat benturan electron
dihilangkan dengan radiator pendingin.

Melalui generator yang membuat aliran listrik dengan potensial tinggi,


logam pijar molybdenum memijar, pada saat tertentu logam pijar tersebut
menghasilkan awan elektron (logam pijar molybdenum disebut sebagai
filamen) pada suhu tertentu serta saat tertentu pula electron-elektron tertarik
ke anoda (anoda adalah unsur radioaktif barium platinum sianida atau
tungsten carbide). Dengan kata lain bila anoda dibombardir oleh electron,
akan timbul pancaran sinar radiasi roentgen atau sinar x, keadaan ini terjadi
di dalam tabung vakum Coolidge.

2.4 Teknik pemeriksaan


Proyeksi pemeriksaan Hip Joint

1.AP HIP JOINT

 PP (Posisi Pasien) = Pasien supine dengan kaki sedikit direnggangkan dan


bila memungkinkan tungkai bawah diputar ke dalam 30 derajat dan
diimobilisasi pada posisi ini dengan mengganjal bagian lateral ankle
dengan bantal pasir.

 PO (Posisi Objek) = Posisi Pelvis harus simetris dengan kedua sisi


berjarak sama terhadap meja pemeriksaan.

 Ukuran kaset = 24x30cm Vertikal

 CR = Tegak lurus Vertikal

 CP = Pada garis tengah tubuh kurang lebih 2,5 cm diatas sympisis


pubis/Columb Femuris

 FFD = 90 cm

 Luas lapangan = Dari Symphisis pubis sampai 1/3 Distal Femur

 Marker = R/L Orientasi AP

Kriteria gambaran : Tampak tulang Pubis, Crista iliaca, ilium, Acetabulum,


Femoral Head, Greater Trochanter, Femoral Neck, Lesser Trochanter, dan Body
femur.
Kriteria Evaluasi = 

 Tampak Tulang Pubis dan Ischi superposisi diatas sacrum dan coxigis

 Kedua Foramen obturatorium harus simetris.

 Ramus pubis dan ischi harus dekat dengan tengah-tengah radiograf.

 Sendi paha harus masuk.

2. LATERAL 

 PP (Posisi Pasien) = Pasien tiduran dengan posisi recumbent seeing lateral


dari femur dan panggul menempel meja.

 PO (Posisi Objek) = Sendi panggul ditempelkan ditengah meja, Lutut


sedikit ditekuk (Fleksi), Tungkai sisi yang lain diluruskan, diletakkan
dibelakang tungkai sisi yang diperiksa dan diganjal dengan bantal.

 Ukuran kaset = 24x30cm Vertikal

 CR = Vertikal Tegak lurus terhadap kaset

 CP = Pada sendi tegak lurus pada tengah-tengah kaset.

 FFD = 90 cm

 Luas lapangan = dari Symphisis pubis sampai 1/3 distal femur.


 Marker = R/L Orientasi AP

Kriteria gambaran = Acetabulum, Femoral Head, Femoral Neck, Lesser


Trochanter, Ischial tuberosity.

Kriteria Evaluasi = 

 Hip joint, Acetabulum dan head femoral harus tampak.

 Femoral Neck superposisi dengan trochanter mayor lebih besar pada


proyeksi ini.

2.5 Processing film

Processing Film adalah serangkaian tahap untuk mengubah gambaran


laten (tersembunyi) pada film yang telah terekspos menjadi gambar radiografi
yang visibel (dapat dilihat) Proses pembentukan bayangan laten pada film
radiografi
- Paparan radiasi kimiawi : mengubah kristal silver halide yg bersifat
fotosensitif pada film radiografi utk memproduksi gambaran laten
(tersembunyi).

- Prosesing film : mengubah gambaran laten menjadi gambaran radiografik yg


visible (dapat dilihat = visual)

Prosedur Umum Prosesing

DEVELOPING

 Merupakan tahap pertama dalam prosesing

 Menggunakan cairan kimia developer

 Tujuannya secara kimiawi mengendapkan kristal perak halida yang telah


terpapar sinar X sehingga berwarna hitam

 Fungsi utama developer : mengubah kristal silver halide yg telah terpapar


sinar X menjadi butiran bromida dan silver metalik.

 Larutan developer juga berfungsi melunakkan emulsi film solution selama


dalam prosesing

 Proses developing dilakukan dg cara memasukkan dan menggoncangkan


film dlm lar developer selama 5-10 detik, sampai terbentuk bayangan putih

Komposisi Larutan Developer

Fungsi Bahan Kimia Aktifitas kimiawi

Melunakkan & mengembangkan emulsi


Activator Sodium Carbonate sehingga reducing agent bisa bekerja lebih
efektif
Menghasilkan gbrn abu-abu Menghasilkan
Reducing gbrn hitam lebih lambat drpd metol,
Metol Hydroqunone
Agents menghasilkan kontras yang baik antara hitam
dan putih

Mereduksi kristal2 yg tdk tertembus sinar X


Restrainer Potassium bromide
dan mencegah gbrn kabut pd film
Preservative Sodium Solfite Mencegah zat pereduksi teroksidasi

Solvent Water Pelarut bahan kimia

RINSING

 Rinsing merupakan tahap yang penting untuk menghentikan developing


dengancara membersihkan sisa-sisa developer

 Umumnya membutuhkan waktu sekitar 20 detik dengan air yang mengalir

 Tahap ini tetap harus dilakukan dalam ruang gelap di bawah safelight

FIXING

Fungsi utama : melarutkan dan menghilangkan Kristal silver halide dari


emulsi film ---yg tdk terproses selama developing.

Proses fixing dilakukan dg cara memasukkan film dlm lar fixer selama 10
menit, danmenggoncangkan film setiap 5-30 detik utk mencegah terbentuknya
gelembung udara,sampai terbentuk bayangan gigi dan jar sekitarnya

WASHING

 Menggunakan air mengalir sampai bau asam dari lar fixer menghilang.

 Efektif pd suhu air 60 F.

 Tujuan : untuk menghilangkan sisa-sisa larutan fixer.

 Proses washing yg tdk baik dpt menyebabkan discolorisasi dan


menyebabkan stains (kotoran/noda) pd film sehingga mengurangi keakuratan
informasi diagnostik.
DRYING

 Merupakan tahap akhir dari prosesing film

. Film dikeringkan dalam suhu ruang menggunakan dryer dalam heated


drying cabinet

 Film harus benar-benar dalam kondisi kering sebelum dipegang

2.6 Proteksi Radiasi

Proteksi radiasi adalah perlindungan orang dari efek berbahaya paparan


radiasi pengion dan cara mencapainya. Proteksi Radiasi adalah pengawasan
terhadap bahaya radiasi melalui peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
pemanfaatan radiasi dan bahan-bahan radioaktif

1. Proteksi pasien.
 Kolimasi secukupnya dengan memperkecil luas lapangan
penyinaran.
 Menggunakan factor eksposi yang tepat.
 Tidak terjadi pengulangan foto karena kesalahan.
 Waktu penyinaran sesingkat mungkin.
 Pasien menggunakan apron.
 Pasien hamil pada triwulan pertama sebaiknya di tangguhkan.
2. Proteksi petugas
 Tidak menggunakan berkas sinar – X yang mengarah ke petugas.
 Berlindung pada tabir / tirai, saat melakukan eksposi.
3. Proteksi bagi masyarakat.
 Pintu pemeriksaan tertutup rapat.
 Tidak mengarahkan sinar sumber sinar – X keruangan umum.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Paparan Kasus


1. Identitas Pasien
Pada hari Rabu,22 Desember 2020pasien bernama Ii Irawan
berumur 20 tahun mendaftarkan ke Instalasi Radiologi RSUD Pondok
Indah untuk pemeriksaan radiografi Wirst Joint. Pasien datang dengan
membawa surat permintaan pemeriksaan dari dokter yang memeriksa.
Pasien dengan data sebagai berikut :
Nama : Adim
Umur : 20 Tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Desa Sindang agung Kab. kuningan
Permintaan foto : Hip Joint AP dan Lateral
Dokter Pengirim : dr. Herry Santosa, Sp OT. M.Kes
Dokter Spesialis Radiologi : dr. H. Alip Asmadi, Sp. Rad
No Radiologi : 22.924
No RM  : 856520
Tanggal : 22 Desember 2020
Diagnosa :
Ruang : Lavender Bawah Pria
Kesan :

Pada kasus ini, prosedur pemeriksaan diagnostik yang dilakukan di


Instalasi Radiologi RSUD Pondok indah menggunakan Proyeksi AP dan
Proyeksi Lateral untuk pemeriksaan Hip Joint pada kasus ini.
Pemeriksaan radiografi Hip Joint dilakukan untuk menegakkan diagnosa
dokter dan mengetahui perkembangan penyembuhan yang terjadi pada
pasien setelah di lakukan pemeriksaan, serta membahas kesesuaian
pemeriksaan di lapangan dengan teori yang ada.
3.2 Alat dan bahan (dilaboratorium)

1. Persiapan pasien
Pada pemeriksaan radiografi Hip Joint harus di jauhkan dari benda
logam sepeti cincin dan gelang.
2. Alat dan bahan
- Kaset dan film (24 x 30 cm)
- Marker R/L
- Meja pemeriksaan
- Gird
- Pesawat sinar-x
3.3 Proyeksi Pemeriksan
1. Proyeksi pemeriksaan Hip Joint AP

 PP (Posisi Pasien) = Pasien supine dengan kaki sedikit direnggangkan


dan bila memungkinkan tungkai bawah diputar ke dalam 30 derajat dan
diimobilisasi pada posisi ini dengan mengganjal bagian lateral ankle
dengan bantal pasir.

 PO (Posisi Objek) = Posisi Pelvis harus simetris dengan kedua sisi


berjarak sama terhadap meja pemeriksaan.

 Ukuran kaset = 24x30cm Vertikal

 CR = Tegak lurus Vertikal

 CP = Pada garis tengah tubuh kurang lebih 2,5 cm diatas sympisis


pubis/Columb Femuris

 FFD = 90 cm

 Luas lapangan = Dari Symphisis pubis sampai 1/3 Distal Femur

 Marker = R/L Orientasi AP


Kriteria gambaran : Tampak tulang Pubis, Crista iliaca, ilium,
Acetabulum, Femoral Head, Greater Trochanter, Femoral Neck, Lesser
Trochanter, dan Body femur.

Kriteria Evaluasi = 

 Tampak Tulang Pubis dan Ischi superposisi diatas sacrum dan coxigis

 Kedua Foramen obturatorium harus simetris.

 Ramus pubis dan ischi harus dekat dengan tengah-tengah radiograf.

 Sendi paha harus masuk.

2. Proyeksi Pemeriksaan Hip Joint Lateral

 PP (Posisi Pasien) = Pasien tiduran dengan posisi recumbent seeing


lateral dari femur dan panggul menempel meja.

 PO (Posisi Objek) = Sendi panggul ditempelkan ditengah meja, Lutut


sedikit ditekuk (Fleksi), Tungkai sisi yang lain diluruskan, diletakkan
dibelakang tungkai sisi yang diperiksa dan diganjal dengan bantal.

 Ukuran kaset = 24x30cm Vertikal

 CR = Vertikal Tegak lurus terhadap kaset


 CP = Pada sendi tegak lurus pada tengah-tengah kaset.

 FFD = 90 cm

 Luas lapangan = dari Symphisis pubis sampai 1/3 distal femur.

 Marker = R/L Orientasi AP

Kriteria gambaran = Acetabulum, Femoral Head, Femoral Neck, Lesser


Trochanter, Ischial tuberosity.

Kriteria Evaluasi = 

 Hip joint, Acetabulum dan head femoral harus tampak.

 Femoral Neck superposisi dengan trochanter mayor lebih besar pada


proyeksi ini.
3.4 Alur Pemeriksaan
Di Instalasi Radiologi RSUD Selasih setiap pelayanan radiologi
,mengikuti alur pemeriksaan sebagai berikut:

1. Pasien datang ke bagian administrasi instalasi


radiologi dengan membawa surat pengantar dari dokter pengirim.
2. Petugas administrasi mengidentifikasi identitas pasien
melalui billingan computer, pembayaran untuk segera bisa di
bayarkan ke kasir pusat untuk pasien rawat jalan ataupun pasien yang
menggunakan pembayaran mengunakan umum.
3. Untuk pasien dari BPJS bisa langsung di kerjakan
karena telah memenuhi persyaratan prosedur foto rontgen di Rumah
Sakit Umum Selasih.
4. Pasien menunggu di depan kamar pemeriksaan dan
dipanggil sesuai nomor urut.
5. Pasien dipanggil masuk kedalam ruang pemeriksaan
didampingi seorang saudara pasien atau perawat bila diperlukan.
6. Identitas pasien di konfirmasi kembali agar tidak
terjadi kesalahan informasi identitas pasien.
7. Pasien diberi penjelasan tentang prosedur
pemeriksaan yang akan dilakukan.
8. Petugas menyiapkan kaset serta memposisikan
pesawat x-ray yang di gunakan serta mempersiapkan peralatan yang
mendukung pemeriksaan.
9. Setelah itu pasien diposisikan di meja pemeriksaan
sesuai prosedur dan selanjutnya di foto dan diatur faktor eksposi
10. Setelah itu dilakukan proses pencucian film
menggunakan manualprocessing film
11. Setelah hasil radiograf tersebut terlihat dan tidak
tampak artefak ataupun tidak terjadi reject.
12. Hasil tersebut diantar keruangan dokter radiolog dan
langsung di baca oleh dokter radiolog.
BAB V
PENTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 saran
DAFTAR PUSTAKA

http://adityawarm.blogspot.com/2013/04/proyeksi-pemeriksaan-hip-
joint.html
https://repository.unimal.ac.id/4005/1/%5BAl%20Muqsith%5D
%20ANATOMI%20DAN%20BIOMEKANIKA%20SENDI
%20PANGGUL%20-%202017.pdf

file:///C:/Users/user/Downloads/[Al%20Muqsith]%20ANATOMI%20DAN
%20BIOMEKANIKA%20SENDI%20PANGGUL%20-%202017%20(1).pdf

Anda mungkin juga menyukai