Anda di halaman 1dari 17

4 Tempat Mengistirahatkan Hati

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Dalam menjalani kehidupan ini, tak jarang kita merasakan betapa lelahnya ujian
menghampiri. Ujian demi ujian itu tak sedikit mampu membuat hati kita lelah, dada
terasa sesak, dan seolah langit akan runtuh. Karena hati ini lelah, maka sejatinya ia (hati)
itu perlu istirahat. Istirahat untuk sekedar merenungi diri dan mengumpulkan kembali sisa
asa seraya memohon pertolongan kepada-Nya untuk terus bangkit menulis dan menyusuri
takdir kehidupan.
Saat hati ini lelah, maka jangan sekali-kali menjauh dari-Nya. Sebab takkan pernah ada
yang mampu menguatkan hati ini kecuali Allah Yang Maha Besar. Setidaknya menurut
para ulama, ada empat tempat mengistirahatkan hati antara lain sebagai berikut.
Pertama, Berteman dengan orang-orang sholeh.
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita memiliki teman yang baik. Apa saja
manfaatnya?

Allah Ta’ala berfirman,

ُ‫َواصْ بِرْ نَ ْف َسكَ َم َع الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ َربَّهُ ْم بِ ْال َغدَا ِة َو ْال َع ِش ِّي ي ُِري ُدونَ َوجْ هَه‬

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di


pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya.”  (QS. Al-Kahfi: 28)

Diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

ْ‫ك إِ َّما تَ ْشت َِري ِه أَو‬


ِ ‫ب ْال ِم ْس‬
ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ ‫ك ِم ْن‬ _َ ‫ الَ يَ ْع َد ُم‬، ‫ير ْال َح َّدا ِد‬
ِ ‫ك َو ِك‬ِ ‫ب ْال ِم ْس‬
ِ ‫اح‬ِ ‫ص‬ ِ ِ‫ح َو ْال َجل‬
َ ‫يس السَّوْ ِء َك َمثَ ِل‬ ِ ِ‫َمثَ ُل ْال َجل‬
ِ ِ‫يس الصَّال‬
ً‫ق بَ َدنَكَ أَوْ ثَوْ بَكَ أَوْ ت َِج ُد ِم ْنهُ ِريحًا خَ بِيثَة‬ُ ‫ َو ِكي ُر ْال َح َّدا ِد يُحْ ِر‬، ُ‫تَ ِج ُد ِري َحه‬

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan
berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak
akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau
mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati
badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak
enak.” (HR. Bukhari, no. 2101)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wa
sallam bersabda,

‫ين خَ لِيلِ ِه فَ ْليَ ْنظُرْ أَ َح ُد ُك ْم َم ْن يُخَ الِ ُل‬


ِ ‫ْال َمرْ ُء َعلَى ِد‬

“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah


siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no.
2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih)

Imam Al-Ghazali rahimahullah mengatakan, “Bersahabat dan bergaul dengan orang-


orang yang pelit, akan mengakibatkan kita tertular pelitnya. Sedangkan bersahabat
dengan orang yang zuhud, membuat kita juga ikut zuhud dalam masalah dunia. Karena
memang asalnya seseorang akan mencontoh teman dekatnya.” (Tuhfah Al-Ahwadzi, 7:
94)

Teman yang shalih punya pengaruh untuk menguatkan iman dan terus istiqamah karena
kita akan terpengaruh dengan kelakuan baiknya hingga semangat untuk beramal.
Sebagaimana kata pepatah Arab,

ٌ‫الصَّا ِحبُ َسا ِحب‬

“Yang namanya sahabat bisa menarik (mempengaruhi).”

Ahli hikmah juga menuturkan,

‫يُظَ ُّن بِالمرْ ِء َما يُظَ ُّن بِقَ ِر ْينِ ِه‬

“Seseorang itu bisa dinilai dari orang yang jadi teman dekatnya.”

Para ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang shalih.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata,

ْ ‫ن‬
َ ‫َظ ُر ال ُم ْؤ ِم ِن ِإلَى ال ُم ْؤ ِم ِن يَجْ لُو القَ ْل‬
‫ب‬

“Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.” (Siyar
A’lam An- Nubala’, 8: 435)

Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang shalih, hati seseorang bisa
kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang shalih dahulu kurang semangat dan
tidak tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang shalih lainnya.

‘Abdullah bin Al-Mubarak mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami
akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”

Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju
Muhammad bin Waasi’.” (Ta’thir Al-Anfas min Hadits Al-Ikhlas, hlm. 466)

Manfaat Berteman dengan Orang Shalih

1- Dia akan mengingatkan kita untuk beramal shalih, juga saat terjatuh dalam kesalahan.

Yang menjadi dalil teman shalih akan selalu mendukung kita dalam kebaikan dan
mengingatkan kita dari kesalahan, lihat kisah persaudaraan Salman dan Abu Darda’
berikut.

Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman
bertandang (ziarah) ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’)
dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya,
“Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’
sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.”
Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah
selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.”
Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu
Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat
malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali.

Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata
padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu
mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya,

ٍّ ‫ فَأ َ ْع ِط ُك َّل ِذى َح‬، ‫ َوألَ ْهلِكَ َعلَ ْيكَ َحًق–_ًّا‬، ‫ك َحًق–_ًّا‬
ُ‫ق َحقَّه‬ َ ‫ َولِنَ ْف ِس‬، ‫إِ َّن لِ َربِّكَ َعلَ ْيكَ َحًق–_ًّا‬
َ ‫ك َعلَ ْي‬

“Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga
ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.“

Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menceritakan
apa yang baru saja terjadi. Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari, no.
1968).

2- Dia akan mendoakan kita dalam kebaikan.

Dari Shafwan bin ‘Abdillah bin Shafwan –istrinya adalah Ad Darda’ binti Abid Darda’-,
beliau mengatakan,

“Aku tiba di negeri Syam. Kemudian saya bertemu dengan Ummu Ad-Darda’ (ibu
mertua Shafwan, pen) di rumah. Namun, saya tidak bertemu dengan Abu Ad-Darda’
(bapak mertua Shafwan, pen). Ummu Ad-Darda’ berkata, “Apakah engkau ingin berhaji
tahun ini?” Aku (Shafwan) berkata, “Iya.”

Ummu Darda’ pun mengatakan, “Kalau begitu do’akanlah kebaikan pada kami karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,”
َ‫ك ْال ُم َو َّك ُل بِ ِه آ ِمين‬
ُ َ‫ال ْال َمل‬ ٌ َ‫ب ُم ْستَ َجابَةٌ ِع ْن َد َر ْأ ِس ِه َمل‬
َ َ‫ك ُم َو َّك ٌل ُكلَّ َما َدعَا ألَ ِخي ِه بِخَ ي ٍْر ق‬ ِ ‫َد ْع َوةُ ْال َمرْ ِء ْال ُم ْسلِ ِم ألَ ِخي ِه بِظَه ِْر ْال َغ ْي‬
ْ
‫َولَكَ بِ ِمث ٍل‬

“Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak


mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan
mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala
dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Aamiin.
Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.”

Shafwan pun mengatakan, “Aku pun bertemu Abu Darda’ di pasar, lalu Abu Darda’
mengatakan sebagaimana istrinya tadi. Abu Darda’ mengatakan bahwa dia menukilnya
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim, no. 2733)

Saat kita tasyahud, kita seringkali membaca bacaan berikut,

َ‫ال َّسالَ ُم َعلَ ْينَا َو َعلَى ِعبَا ِد هَّللا ِ الصَّالِ ِحين‬

“Assalaamu ‘alainaa wa ‘ala ‘ibadillahish shalihiin (artinya: salam untuk kami dan juga
untuk hamba Allah yang shalih).”

Disebutkan dalam lanjutan hadits,

ِ ْ‫ح فِى ال َّس َما ِء َواألَر‬


‫ض‬ َ ِ ‫ت ُك َّل َع ْب ٍد هَّلِل‬
ٍ ِ‫صال‬ َ َ‫فَإِنَّ ُك ْم إِ َذا قُ ْلتُ ُموهَا أ‬
ْ َ‫صاب‬

“Jika kalian mengucapkan seperti itu, maka doa tadi akan tertuju pada setiap hamba Allah
yang shalih di langit dan di bumi.” (HR. Bukhari, no. 831 dan Muslim, no. 402).

Shalihin adalah bentuk plural dari shalih. Ibnu Hajar berkata, “Shalih sendiri berarti,

َ َ‫ْالقَائِم بِ َما يَ ِجب َعلَ ْي ِه ِم ْن ُحقُوق هَّللا َو ُحقُوق ِعبَاده َوتَتَف‬


‫اوت د ََر َجاته‬
“Orang yang menjalankan kewajiban terhadap Allah dan kewajiban terhadap sesama
hamba Allah. Kedudukan shalih pun bertingkat-tingkat.” (Fath Al-Bari, 2: 314).

3- Teman dekat yang baik akan dibangkitkan bersama kita pada hari kiamat.

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

َّ‫يل لِلنَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – ال َّر ُج ُل ي ُِحبُّ ْالقَوْ َم َولَ َّما يَ ْل َح ْق بِ ِه ْم قَا َل « ْال َمرْ ُء َم َع َم ْن أَ َحب‬
َ ِ‫» ق‬

“Ada yang berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ada seseorang yang
mencintai suatu kaum, namun ia tak pernah berjumpa dengan mereka.’ Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang
ia cintai.’” (HR. Bukhari, no. 6170; Muslim, no. 2640)

2. Menghadir Majlis Ilmu


3. Membaca al Qur'an
4. Zikrul Maut

ad 1. BERTEMAN DG ORG2 SHOLEH

Ad. 2. MENGHADIRI MAJLIS ILMU

Keutamaan Menghadiri Majlis Ilmu

1.Dimudahkan jalannya menuju surga


Orang yang keluar dari rumahnya menuju masjid untuk menuntut ilmu syar’i, maka ia
sedang menempuh jalan menuntut ilmu. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:

‫الجنَّ ِة‬
َ ‫ُق‬ِ ‫ سلَك هللاُ به طريقًا ِمن طُر‬،‫َمن سلَك طريقًا يطلُبُ فيه ِع ْل ًما‬

“Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya
untuk menuju surga” (HR. At Tirmidzi no. 2682, Abu Daud no. 3641, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Abu Daud).

2. Mendapatkan ketenangan, rahmat dan dimuliakan para Malaikat

Orang yang mempelajari Al Qur’an di masjid disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam akan mendapat ketenangan, rahmat dan pemuliaan dari Malaikat. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ َ‫َاب هَّللا ِ َويَتَدَا َرسُونَهُ بَ ْينَهُ ْم إِالَّ نَزَ ل‬


ُ‫ت َعلَ ْي ِه ُم ال َّس ِكينَةُ َوغ َِشيَ ْتهُ ُم الرَّحْ َمة‬ َ ‫ت هَّللا ِ يَ ْتلُونَ ِكت‬ ٍ ‫َو َما اجْ تَ َم َع قَوْ ٌم فِى بَ ْي‬
ِ ‫ت ِم ْن بُيُو‬
ْ ْ ‫هَّللا‬ َ َ ُ َ َ
‫َو َحفتهُ ُم ال َمالئِكة َوذك َرهُ ُم ُ فِي َمن ِعندَه‬ ْ ْ َّ

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid)
membaca Kitabullah dan saling mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka
sakinah (ketenangan), mereka akan dinaungi rahmat, mereka akan dilingkupi para
malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi para makhluk yang dimuliakan
di sisi-Nya” (HR. Muslim no. 2699).

Makna dari ُ‫و َحفَّ ْتهُ ُم ْال َمالَئِ َكة‬ “mereka


َ akan dilingkupi para malaikat“, dijelaskan oleh Al
Mula Ali Al Qari:

ِ ‫َم ْعنَاهُ ْال َمعُونَةُ َوتَ ْي ِسي ُر ْال ُم ْؤنَ ِة بِال َّسع‬
‫ْي فِي طَلَبِ ِه‬

“Maknanya mereka akan ditolong dan dimudahkan dalam upaya mereka menuntut ilmu”
(Mirqatul Mafatih, 1/296).
3. Merupakan jihad fi sabilillah

Orang yang berangkat ke masjid untuk menuntut ilmu syar’i dianggap sebagai jihad fi
sabilillah. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ِ َّ‫ك كان كالن‬


‫اظر إلى ما ليس له‬ َ ‫لغير ذل‬
ِ ‫َمن د َخل مس ِجدَنا هذا لِيتعلَّ َم خيرًا أو يُعلِّ َمه كان كال ُمجا ِه ِد في سبي ِل هللاِ و َمن دخَ له‬

“Barangsiapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) untuk mempelajari
kebaikan atau untuk mengajarinya, maka ia seperti mujahid fi sabilillah. Dan barangsiapa
yang memasukinya bukan dengan tujuan tersebut, maka ia seperti orang yang sedang
melihat sesuatu yang bukan miliknya” (HR. Ibnu Hibban no. 87, dihasankan Al Albani
dalam Shahih Al Mawarid, 69).

4. Dicatat sebagai orang yang shalat hingga kembali ke rumah

Jika seorang berangkat ke masjid berniat untuk shalat, kemudian setelah shalat ada
pengajian (majelis ilmu), maka selama ia berada di majelis ilmu dan selama ada di
masjid, ia terus dicatat sebagai orang yang sedang shalat hingga kembali ke rumah.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫أصابع ِه‬
ِ َ َّ‫ و شب‬: ‫ فال يفعلْ ه َكذا‬، ‫ كان في صال ٍة حتَّى يرج َع‬، ‫ ث َّم أتَى المسج َد‬، ‫إذا تَوضَّأ َ أح ُد ُكم في بيتِ ِه‬
َ‫ك بين‬

“Jika seseorang berwudhu di rumah, kemudian mendatangi masjid, maka ia terus dicatat
sebagai orang yang shalat hingga ia kembali. Maka janganlah ia melakukan seperti ini..
(kemudian beliau mencontohkan tasybik dengan jari-jarinya)” (HR. Al Hakim no. 744,
Ibnu Khuzaimah, no. 437, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil, 2/101).

Tasybik adalah menjalin jari-jemari.

5. Dicatat amalannya di ‘illiyyin


Jika seorang berangkat ke masjid berniat untuk shalat, kemudian setelah shalat ada
pengajian (majelis ilmu) hingga waktu shalat selanjutnya (semisal pengajian antara
maghrib dan isya), maka ia terus dicatat amalan kebaikan yang ia lakukan di masjid, di
‘illiyyin.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

َ‫إثر صال ٍة ال لغ َو بينَهما كتابٌ في علِّيِّين‬


ِ ‫صالةٌ في‬

“Seorang yang setelah selesai shalat (di masjid) kemudian menetap di sana hingga shalat
berikutnya, tanpa melakukan laghwun (kesia-siaan) di antara keduanya, akan dicatat
amalan tersebut di ‘illiyyin” (HR. Abu Daud no. 1288, dihasankan Al Albani
dalam Shahih Abu Daud).

Dijelaskan oleh Syaikh Sulaiman bin Amir Ar Ruhaili hafizhahullah:

‫والكتاب في العلِّيِّينَ كتاب ال يكسر و يفتح إلى يوم القيامة محفوظ ال ينقص منه شيئ‬

“Catatan amal di ‘illiyyin adalah catatan amal yang tidak akan rusak dan tidak akan
dibuka hingga hari kiamat, tersimpan awet, tidak akan terkurangi sedikit pun”

Dan tentu saja orang yang menuntut ilmu di masjid akan mendapat semua keutamaan
menuntut ilmu secara umum yang ini jumlahnya banyak sekali.

Ad. 3. MEMBACA AL QURAN

Keutamaan Luar Biasa Shohibul Qur’an

Berikut adalah beberapa keutamaan bagi orang yang mengkaji, memahami, merenungkan
dan menghafalkan Al Qur’an.
[1] Mendapat Syafa’at di Hari Kiamat

Dari Abu Umamah Al Bahiliy, (beliau berkata), “Aku mendengar Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ َ‫اوي ِْن ْالبَقَ َرةَ َوسُو َرةَ آ ِل ِع ْم َرانَ فَإِنَّهُ َما تَأْتِي‬
‫ان يَوْ َم‬ َ ‫ا ْق َر ُءوا ْالقُرْ آنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َشفِيعًا ألَصْ َحابِ ِه ا ْق َر ُءوا ال َّز ْه َر‬
َ ‫َّان ع َْن أَصْ َحابِ ِه َما ا ْق َر ُءوا س‬
َ‫ُورة‬ ِ ‫اف تُ َحاج‬َّ ‫ص َو‬ َ ‫َان أَوْ َكأَنَّهُ َما فِرْ قَا ِن ِم ْن طَي ٍْر‬
ِ ‫ْالقِيَا َم ِة َكأَنَّهُ َما َغ َما َمتَا ِن أَوْ َكأَنَّهُ َما َغيَايَت‬
ُ‫ْالبَقَ َر ِة فَإ ِ َّن أَ ْخ َذهَا بَ َر َكةٌ َوتَرْ َكهَا َح ْس َرةٌ َوالَ تَ ْستَ ِطي ُعهَا ْالبَطَلَة‬

“Bacalah Al Qur’an karena Al Qur’an akan datang pada hari kiamat nanti sebagai syafi’
(pemberi syafa’at) bagi yang membacanya. Bacalah Az Zahrowain (dua surat cahaya)
yaitu surat Al Baqarah dan Ali Imran karena keduanya datang pada hari kiamat nanti
seperti dua awan atau seperti dua cahaya sinar matahari atau seperti dua ekor burung
yang membentangkan sayapnya (bersambung satu dengan yang lainnya), keduanya akan
menjadi pembela bagi yang rajin membaca dua surat tersebut. Bacalah pula surat Al
Baqarah. Mengambil surat tersebut adalah suatu keberkahan dan meninggalkannya akan
mendapat penyesalan. Para tukang sihir tidak mungkin menghafalnya.” (HR. Muslim no.
1910. Lihat penjelasan hadits ini secara lengkap di At Taisir bi Syarhi Al Jami’ Ash
Shogir, Al Munawi, 1/388, Asy Syamilah)

[2] Permisalan Orang yang Membaca Al Qur’an dan Mengamalkannya

Dari Abu Musa Al Asy’ariy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َو ْال ُم ْؤ ِمنُ الَّ ِذى الَ يَ ْق َرأُ ْالقُرْ آنَ َويَ ْع َم ُل بِ ِه‬، ٌ‫طيِّب‬
َ ‫ طَ ْع ُمهَا طَيِّبٌ َو ِري ُحهَا‬، ‫ْال ُم ْؤ ِمنُ الَّ ِذى يَ ْق َرأُ ْالقُرْ آنَ َويَ ْع َم ُل بِ ِه َكاألُ ْت ُر َّج ِة‬
‫ َو َمثَ ُل‬، ٌّ‫طيِّبٌ َوطَ ْع ُمهَا ُمر‬ َ ‫ ِري ُحهَا‬، ‫ق الَّ ِذى يَ ْق َرأُ ْالقُرْ آنَ َكال َّر ْي َحانَ ِة‬
ِ ِ‫ َو َمثَ ُل ْال ُمنَاف‬، ‫طيِّبٌ َوالَ ِري َح لَهَا‬
َ ‫ط ْع ُمهَا‬ َ ، ‫َكالتَّ ْم َر ِة‬
ُ
ٌ ِ‫ طَ ْع ُمهَا ُم ٌّر – أَوْ خَ ب‬، ‫ق الَّ ِذى الَ يَ ْق َرأ ْالقُرْ آنَ َك ْال َح ْنظَلَ ِة‬
ٌّ‫يث – َو ِري ُحهَا ُمر‬ ِ ِ‫ْال ُمنَاف‬

“Permisalan orang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan


buah utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an dan
mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma.
Orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya
menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an
bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak.” (HR. Bukhari no. 5059)
[3] Keutamaan Memiliki Hafalan Al Qur’an

Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ
‫ك ِع ْن َد آ ِخ ِر آيَ ٍة تَ ْق َر ُؤهَا‬ ِ ‫ب ْالقُرْ آ ِن ا ْق َرأ َوارْ ت‬
َ َ‫َق َو َرتِّلْ َك َما ُك ْنتَ تُ َرتِّ ُل فِى ال ُّد ْنيَا فَإ ِ َّن َم ْن ِزل‬ َ ِ‫يُقَا ُل ل‬
ِ ‫صا ِح‬

“Dikatakan kepada orang yang membaca (menghafalkan) Al Qur’an nanti : ‘Bacalah dan
naiklah serta tartillah sebagaimana engkau di dunia mentartilnya. Karena kedudukanmu
adalah pada akhir ayat yang engkau baca (hafal).” (HR. Abu Daud no. 1464 dan Tirmidzi
no. 2914. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 2240 mengatakan bahwa
hadits ini shohih)

Yang dimaksudkan dengan ‘membaca’ dalam hadits ini adalah menghafalkan Al Qur’an.

Perhatikanlah perkataan Syaikh Al Albani berikut dalam As Silsilah Ash Shohihah no.
2440. “Ketahuilah bahwa yang dimaksudkan dengan shohibul qur’an (orang yang
membaca Al Qur’an) di sini adalah orang yang menghafalkannya dari hati sanubari.

Sebagaimana hal ini ditafsirkan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang lain, ‘Suatu kaum akan dipimpin oleh orang yang paling menghafal Kitabullah (Al
Qur’an).’ Kedudukan yang bertingkat-tingkat di surga nanti tergantung dari banyaknya
hafalan seseorang di dunia dan bukan tergantung pada banyak bacaannya saat ini,
sebagaimana hal ini banyak disalahpahami banyak orang.

Inilah keutamaan yang nampak bagi seorang yang menghafalkan Al Qur’an, namun
dengan syarat hal ini dilakukan untuk mengharap wajah Allah semata dan bukan untuk
mengharapkan dunia, dirham dan dinar. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda,

‫أَ ْكثَ َر ُمنَافِقِي أُ َّمتِي قُرَّا ُؤهَا‬

“Kebanyakan orang munafik di tengah-tengah umatku adalah qurro’uha (yang


menghafalkan Al Qur’an dengan niat yang jelek).” (HR. Ahmad, sanadnya hasan
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).” [Makna qurro’uha di sini
adalah salah satu makna yang disebutkan oleh Al Manawi dalam Faidhul Qodir Syarh Al
Jami’ Ash Shogir, 2/102 (Asy Syamilah)]

[4] Keutamaan Mengulangi Hafalan Al Qur’an

Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ت‬ ْ َ‫ب ْالقُرْ آ ِن َك َمثَ ِل ا ِإلبِ ِل ْال ُم َعقَّلَ ِة إِ ْن عَاهَ َد َعلَ ْيهَا أَ ْم َس َكهَا َوإِ ْن أ‬
ْ َ‫طلَقَهَا َذهَب‬ َ ‫إِنَّ َما َمثَ ُل‬
ِ ‫صا ِح‬

“Sesungguhnya orang yang menghafalkan Al Qur’an adalah bagaikan unta yang diikat.
Jika diikat, unta itu tidak akan lari. Dan apabila dibiarkan tanpa diikat, maka dia akan
pergi.” (HR. Bukhari no. 5031 dan Muslim no. 789).

Dalam riwayat Muslim yang lain terdapat tambahan,

ِ َ‫آن فَقَ َرأَهُ بِاللَّ ْي ِل َوالنَّه‬


ُ‫ار َذ َك َرهُ َوإِ َذا لَ ْم يَقُ ْم بِ ِه ن َِسيَه‬ ِ ْ‫صا ِحبُ ْالقُر‬
َ ‫َوإِ َذا قَا َم‬

”Apabila orang yang menghafal Al Qur’an membacanya di waktu malam dan siang hari,
dia akan mengingatnya. Namun jika dia tidak melakukan demikian, maka dia akan lupa.”
(HR. Muslim no. 789)

Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memiliki kebiasaan menghafal Al


Qur’an di pagi hari sehingga bisa menguatkan hafalannya. Beliau rahimahullah
mengatakan, “Cara yang paling bagus untuk menghafalkan Al Qur’an -menurutku-
adalah jika seseorang pada suatu hari menghafalkan beberapa ayat maka hendaklah dia
mengulanginya pada keesokan paginya. Ini lebih akan banyak menolongnya untuk
menguasai apa yang telah dia hafalkan di hari sebelumnya. Ini juga adalah kebiasaan
yang biasa saya lakukan dan menghasilkan hafalan yang bagus.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 105,
Darul Itqon Al Iskandariyah).

Ad. 4. ZIKRUL MAUT


Wasiat salafush shalih untuk kita agar mengingat mati

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata,

“Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ت يَ ْعنِي ْال َموْ ت‬


ِ ‫أَ ْكثِرُوا ِذ ْك َر هَا ِذ ِم اللَّ َّذا‬

“Perbanyaklah mengingat perusak kelezatan-kelezatan, yaitu mati.”

(Hadits Hasan Shahiih; diriwayatkan Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu
Hibban).

Al-Hasan Al-Bashry berkata,

“Kematian melecehkan dunia dan tidak menyisakan kesenangan bagi orang yang berakal.
Selagi seseorang mengharuskan hatinya untuk mengingat mati, maka dunia terasa kecil di
matanya dan segala apa yang ada di dalamnya menjadi remeh.”

Hamid Al-Qushairy berkata,

“Setiap orang di antara kita yakin akan datangnya kematian, sementara kita tidak melihat
seseorang bersiap-siap menghadapi kematian itu.

Setiap orang di antara kita yakin adanya surga, sementara kita tidak melihat ada yang
berbuat agar bisa masuk surga.

Setiap orang di antara kita yakin adanya neraka, sementara kita tidak melihat orang yang
takut terhadap neraka.
Untuk apa kalian bersenang-senang? Apa yang sedang kalian tunggu? Tiada lain adalah
kematian. Kalian akan mendatangi Allah dengan membawa kebaikan ataukah keburukan.
Maka hampirilah Allah dengan cara yang baik.”

Syumaith bin Ajlan berkata,

“Siapa yang menjadikan kematian pusat perhatiannya, maka dia tidak lagi peduli
terhadap kesempitan dunia dan kelapangannya.”

Ketahuilah bahwa bencana kematian itu amat besar. Banyak orang yang melalaikan
kematian karena mereka tidak memikirkan dan mengingatnya.

Kalau pun ada yang mengingatnya, toh dia mengingatnya dengan hati yang lalai,
sehingga tidak ada gunanya dia mengingat mati.

Cara yang harus dilakukan seorang hamba ialah mengosongkan hati tatkala mengingat
kematian yang seakan-akan ada di hadapannya, seperti orang yang hendak bepergian ke
daerah yang berbahaya atau tatkala hendak naik perahu mengarungi lautan, yang tentunya
dia mengingat kecuali perjalanannya.

Cara yang paling efektif baginya ialah mengingat keadaan dirinya dan orang-orang yang
sebelumnya, mengingat kematian dan kemusnahan mereka.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata,

“Orang yang berbahagia ialah yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain.”

Abu Darda’ berkata,

“Jika engkau mengingat orang-orang yang sudah meninggal, maka jadikanlah dirimu
termasuk mereka yang sudah meninggal.”
Ada baiknya jika dia memasuki kuburan dan mengingat orang-orang yang sudah
dipendam disana. Selagi hatinya mulai condong kepada keduniaan, maka hendaklah dia
berpikir bahwa dia pasti akan meninggalkannya dan harapan-harapannya pun menjadi
pupus.

Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata,

“Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam memegangi kedua pundakku lalu beliau


bersabda,

ٍ ِ‫َريبٌ أَوْ عَابِ ُر َسب‬


‫يل‬ َ َّ‫ُك ْن فِي ال ُّد ْنيَا َكأَن‬
ِ ‫كغ‬

“Jadilah di dunia seakan-akan engkau adalah orang asing atau seorang pelancong.”

(HR Bukhary dan Ahmad).

Ibnu Umar berkata,

َ‫ضكَ َو ِم ْن َحيَاتِكَ لِ َموْ تِك‬ ِ ‫اح َوإِ َذا أَصْ بَحْ تَ فَاَل تَ ْنتَ ِظرْ ْال َم َسا َء َو ُخ ْذ ِم ْن‬
ِ ‫ص َّحتِكَ لِ َم َر‬ َّ ‫إِ َذا أَ ْم َسيْتَ فَاَل تَ ْنت َِظرْ ال‬
َ َ‫صب‬

“Jika engkau berada pada sore hari, maka janganlah menunggu sore hariny.
Pergunakanlah kesehatanmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu.”

Dari Al-Hasan, dia berkata,

“Pendekkanlah angan-angan, buatlah ajal kalian ada di depan mata kalian dan malulah
kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.”

(Diriwayatkan Ibnu Abid-Dunya)


Dari Abu Zakaria At-Taimy, dia berkata,

“Tatkala Sulaiman bin Abdul Malik berada di Masjidil Haram, tiba-tiba ada yang
menyodorkan selembar batu yang berukir. Lalu dia meminta orang yang dapat
membacanya. Ternyata di batu itu tertulis:

Wahai anak Adam, andaikan engkau tahu sisa umurmu, tentu engkau tidak akan
berangan-angan yang muluk-muluk, engkau akan beramal lebih banyak lagi dan engkau
tidak akan terlalu berambisi.

Penyesalanmu akan muncul jika kakimu sudah tergelincir dan keluargamu sudah pasrah
terhadap keadaan dirimu, dan engkau akan menigngalkan anak serta keturunan.

Saat itu engkau tidak bisa kembali lagi ke dunia dan tidak bisa lagi menambah amalmu.
Berbuatlah untuk menghadapi hari kiamat, hari yang diwarnai penyesalan dan kerugian.”

Penyebab panjangnya angan-angan

Ketahuilah, munculnya angan-angan yang muluk-muluk ini ada dua hal:

1. Cinta Kepada Dunia.

Jika manusia sudah menyatu dengan keduniaan, kenikmatan dan belenggunya, maka
hatinya merasa berat untuk berpisah dengan dunia, sehingga di dalam hatinya tidak
terlintas pikiran tentang mati. Padahal kematianlah yang akan memisahkan dirinya
dengan dunia.

Siapa pun yang membenci sesuatu, tentu akan menjauhkan sesuatu itu dari dirinya.
Manusia selalu dibayang-bayangi angan-angan yang batil. Dia berangan-angan sesuai
dengan kehendaknya, seperti hidup terus di dunia, mendapatkan seluruh barang yang
dibutuhkannya, seperti harta benda, tempat tinggal, keluarga dan sebab-sebab keduniaan
lainnya. Hatinya hanya terpusat pada hal-hal ini, sehingga lalai mengingat mati dan tidak
membayangkan kedekatan kematiannya.
Andakain di dalam hatinya sesekali melintas pikiran tentang kematian dan perlu bersiap-
siap menghadapinya, tentu dia bersikap waspada dan mengingat dirinya.

2. Kebodohan

Hal ini terjadi karena manusia tidak mempergunakan masa mudanya, menganggap
kematian masih lama datangnya karena dia masih muda.

Apakah pemuda semacam ini tidak menghitung bahwa orang-orang yang berumur
panjang di wilayahnya tidak lebih dari sepuluh orang?

Mengapa jumlah ornag tua hanya sedikit? Karena banyak manusia yang meninggal dunia
selagi muda.

Berbarengan dengan meninggalnya satu orang tua, ada seribu bayi dan anak muda yang
meninggal dunia.

Dia tertipu oleh kesehatannya dan tidak tahu bahwa kematian bisa menghampirinya
secara tiba-tiba, sekalipun dia menganggap kematian itu masih lama. Sakit bisa
menimpanya secara tiba-tiba. Jika dia jatuh sakit, maka kematian tidak jauh darinya.

Andaikan dia mau berpikir dan menyadari bahwa kematian itu tidak mempunyai waktu
yang pasti, entah pada musim panas, gugur atau semi, siang atau malam, tidak terikat
pada umur tertentu, muda atau tua, tentu dia akan menganggap serius urusan kematian ini
dan tentu dia akan bersiap-siap menyongsongnya.

[Oleh: al-Imam Ibnu Qudamah, Minhajul Qasidin Jalan Orang-Orang yang Mendapat
Petunjuk, Pustaka Al-Kautsar)

Anda mungkin juga menyukai