Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PRAKTIKUM

TINGKAH LAKU HEWAN


KOMUNIKASI KIMIA PADA CACING TANAH

Diajukan untuk Melengkapi Tugas


Mata Kuliah Tingkah Laku Hewan

Disusun Oleh Kelompok 1:


Ayi Nur Fajria
170210103099
Siti Humaira
210210103241

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cacing tanah merupakan hewan tingkat rendah yang tidak memiliki
tulang belakang (avertebrata) dan bertubuh lunak. Hewan ini paling sering
dijumpai di tanah dan tempat lembab, yang banyak mengandung senyawa
organik dan bahan mineral yang cukup baik dari alam maupun dari sampah
limbah pembuangan penduduk sebagaimana habitat alaminya. Cacing tanah
telah dikenal dari berbagai familia, yaitu moniligastridae, megascolecidae,
eudrillidae, glossocolecidae dan lumbricidae. Beberapa spesies yang sering
ditemui di Indonesia antara lain Pontoscolex corethrurus, Drawida sp,
Peryonix excavatus, Megascolex cempii, Pheretima posthoma, Pheretima
javanica, Metaphire javanica dan Metaphire capensis.
Cacing tanah yang pada dasarnya tinggal di bawah tanah, membuat
kita sebagai manusia bertanya-tanya bagaimana cara hidupnya dibawah
tanah, bagaimana pola komunikasi antar cacing tanah di dalam tanah.
Dengan dasar pertanyaan inilah, pengamatan tentang komunikasi kimia
pada cacing tanah dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana respon cacing tanah terhadap larutan garam dapur ?
1.2.2 Bagaimana respon cacing tanah terhadap cairan coelom ?
1.2.3 Bagaimana respon cacing tanah terhadap mucus dari cacing lain ?
1.3 Tujuan Pengamatan
2.1 Untuk mengetahui respon cacing tanah terhadap larutan garam dapur
2.2 Untuk mengetahui respon cacing tanah terhadap larutan cairan ceolom
2.3 Untuk mengetahui respon cacing tanah terhadap mucus dari cacing lain

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Cacing tanah adalah hewan yang dikelompokkan sebagai kelompok


Oligochaeta yang ada di filum Annelida (Agustinus,2009). Cacing tanah
memiliki ciri-ciri tubuh berbentuk panjang silindris, bersegmen-segmen dan
simetri bilateral. Ccing tanah bernafas dengan kulitnya dan bersifat
hemaprodit yang artinya cacing memiliki 2 jenis kelamin sekaligus. Bentuk
tubuh cacing tanah adalah panjang silindris yang 2/3 bagiannya merupakan
posteriornya dengan sedikit memipih ke arah dorsoventral. Permukaan
tubuh cacing tanah biasanya berwarna merah atau biru. Bagian permukaan
yang berarna lebih pucat ada di bagian bawah (Kastawi, 2003).
Cacing tanah memiliki 3 tipe sensorik yaitu reseptor epidermal,
reseptor pada rongga mulut (buccal) dan reseptor cahaya (Susilowati dan
Rahayu, 2007). Reseptor epidermal dan reseptor buccal pada cacing tanah
merupakan organ yang merespon stimulus kimiawi. Reseptor epidermal
terdistribusi pada bagian epidermis terutama pada bagian lateral dan
permukaan ventral tubuh. Reseptor buccal terletak di rongga mulut yang
berfungsi untuk merespon stimulus kimia yang berasal dari makanan
(Susilowati, 2007).
Cacing tanah sendiri dapat menghasilkan mucus yang dihasilkan
melalui kelenjar mucus epidermal. Cairan mus berdungsi sebagai penjaga
kelembapan tubuh pada cacing. Adapun pertukaran gas yang terjadi pada
cacing tanah menggunakan konsep difusi. Pertukaran gas oksigen dan
karbondioksida berdifusi dengan mengikat oksigen dari lingkungan dan
berdifusi masuk ke dalam tubuh cacing, sedangkan karbondioksida diikt
untuk dikeluarkan dari tubuh. Kondisi tanah yang lembab dan licin
menyebabkan cacing tanah lebih mudah untuk bergerak dan mendeteksi
keadaan sekitar, misalnya pH pada lingkungan. Cacing tanah dapat
menghasilkan cairan mucus yang berfungsi sebagai sarana cacing tanah
untuk berkomunikasi. Komukasi cacing tanah antara lain untuk
menunjukkan suatu tempat dan berperan ketika cacing tanah mencari
pasangan untuk melakukan proses reproduksi (Riyanto, 2005). Mucus pada
cacing di produksi di seluruh tubuh cacing tanah. Selain untuk mengetahui
kondisi lingkungan, mucus ini berfungsi untuk memudahkan ccing tanah
bergerak di dalam tanah yang kasar.
Selom pada cacing tanah adalah ringga yang berisi cairan yang
terbenruk di dalam mesoderm. Selom terbentuk pada fase triploblas tetapi
akan hilang setelah beberapa fase berikutnya. Hilangnya selom akan
berdampak pada penurunan besaran badan pada cacing tanah
(Agustinus,2009). Alat komunikasi pada cacing tanah adalag cairan selom
yang dihasilkan oleh korpuskula selom. Cairan selom bersifat alkaline,
tidak berwarna, mengandung air, garam dan beberapa protein. Cairan selom
di produksi oleh sel kloragogen yang berfungsi mengekskresi produk dari
cairan selom. Sifat dari cairan ini sangat spesifik dan karena setiap cacing
memiliki kemoreseptor yang sangat sensitife, maka senyawa tersebut dapat
terdeteksi oleh cacing tanah jenis lain dengan mudah (Susilowati, 2007).

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu


Tempat dilakukannya penelitian yaitu di rumah praktikan. Waktu
dilakukannya penelitian ini adalah tanggal 1 Desember 2021.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
a. Kertas lilin
b. Papan seksio
c. Isolasi
d. Kabel
e. Kertas tissue
f. Pipet
g. Gunting
h. Baterai 1.5 Volt
i. Larutan NaCl 2% dan 5%
3.2.2 Bahan
a. Cacing Tanah
3.3 Langkah Kerja
a. Respon terhadap larutan garam dapur

Memotong kertas tissue secara memanjang dengan lebar 2 cm dan letakan


di atas kertas lilin pada papan seksio sehingga membentuk empat persegi
panjang.
Menetesi kertas tissue dengan larutan NaCl 2% sampai basah

Meletakkan seekor cacing tanah di tengah kertas lilin

Mengamati respon cacing terhadap NaCl

Mengulangi perlakuan semula dengan menggunakan larutan NaCl 5%

b. Respon terhadap cairan coelom

Meletakan 2 cacing tanah di atas kertas lilin, kemudian memberi kejutan pada
cacing A dengan strum dari baterai yang dihubungkan dengan kabel sampai
dengan cacing mengeluarkancairan coelom dan berikan perlakuan pada cacing
lain yang sedang bergerak

Mengamati respon cacing tanah terhadap cairan coelom

c. Respon terhadap cairan mukosa

Meletakan cacing tanah di atas kertas lilin, kemudian membiarkan bergerak


bebas hingga mengeluarkan cairan mukosa.

Memotong kertas yang terkena cairan mukosa itu dan letakkan di depan
cacing lain yang sedang bergerak.
Mengamati respon cacing tanah terhadap cairan mukosa

BAB IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


4.1. Hasil Pengamatan
Respon cacing tanah terhadap larutan garam 2% adalah negatif.
Respon cacing tanah terhadap larutan garam 5% adalah negative.

Cacing 2% 5%

A - -

Respon cacing tanah terhadap cairan mukus adalah positif.

Cacing Cairan Mukus

A +

Respon cacing tanah terhadap cairan selom adalah negatif.

Cacing Cairan Mukus

A -

4.2 Pembahasan
Respon cacing terhadap larutan garam 5% dan garam 10% yaitu
negatif. Hal ini berarti bahwa pada saat bagian anterior cacing didekatkan
pada kertas tissue yang telah dibasahi dengan larutan garam, cacing
menjauhi kertas tissue dan berusaha menghindari kertas tersebut. Cacing
tanah merespon seperti itu karena pada cacing tanah terdapat organ sensorik
yang terdiri dari sel tunggal atau kelompok khusus yang terdapat pada sel
ektodermal.
Organ sensorik yang berperan pada respon cacing adalah reseptor
epidermal. Reseptor epidermal yang merupakan sel organ yang merespon
stimulus kimiawi memiliki distribusi yang berbeda. Reseptor ini terdistribusi
pada bagian epidermis terutama pada sisi lateral dan sisi permukaan ventral
tubuh (Rahayu, 2011). Oleh karena itu pada praktikum yang telah dilakukan,
cacing semakin menjauhi kertas yang dibasahi dengan larutan garam 10%
dibandingkan dengan kertas yang dibasahi dengan larutan garam 5%. Hal ini
dikarenakan reseptor epidermal cacing lebih peka terhadap larutan garam
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dengan larutan yang
memiliki konsentrasi lebih rendah. Reseptor epidermal ini terdapat pada sisi
lateral dan ventral sehingga stimulus yang berupa larutan garam akan
diterima langsung oleh cacing melalui sisi-sisi tersebut. Hal ini ditunjukkan
pada saat cacing sangat sensitif terhadap kertas tersebut dengan respon
cacing yang menjauhi kertas tissue.
Cairan mucus dihasilkan dari lendir permukaan tubuh cacing tanah
yang jika cacing dilewatkan pada suatu media yang dapat menyimpan cairan
mucus agar tetap terlihat basah karena lintasannya. Cairan mucus dapat
dihasilkan oleh kelenjar epidermal yang berfungsi untuk menjaga
kelembaban tubuh cacing tanah. Cairan mucus dapat digunakan sebagai
salah satu alat komunikasi dari cacing tanah (Agustinus, 2009).
Berdasarkan hasil pengamatan banyak cacing tanah yang memiliki
respon negative terhadap cairan mucus dari kelompok lain. Hal tersebut
dapat disebabkan karena cacing tanah yang digunakan bukan merupakan satu
spesies atau dapat juga karena cairan mucus yang dihasilkan oleh cacing
kelompok lain kurang banyak, sehingga cacing tidak dapat menerima
komunikasi dari cacing kelompok yang lain. Cairan mucus dapat menjadi
salah satu komunikasi cacing tanah untuk menandai daerah teritorialnya
yang akan dikenali oleh pasangannya, sehingga dapat dikatakan bahwa
cairan mucus juga berperan untu proses reproduksi cacing tanah. Cairan
mucus yang dikeluarkan oleh cacing tanah memiliki sifat yang spesifik.
Namun karena setiap cacing memiliki kemoreseptor yang sangat sensitive,
maka senyawa yang dihasilkan oleh cacing lain dapat dengan mudah
dideteksi.
Pada saat cacing tanah mencari pasangan untuk reproduksi, maka
cairan mucus yang dikeluarkan memiliki komposisi senyawa kimia yang
lebih spesifik dan berbeda dengan komposisi sebagai penanda suatu daerah
teritorialnya agar pasangan dapat tertarik. Berdasarkan hasil pengamatan
dikarenakan cairan mucus yang dihasilkan oleh kelompok lainnya sangat
sedikit, sehingga cacing tanah tidak dapat efektif teramati, apakah memiliki
respon positif atau negative. Namun berdasarkan hasil pengamatan dapat
juga dikatakan bahwa tiap-tiap spesies cacing tanah memiliki komponen
senyawa kimia tersendiri yang dapat diterima oleh spesies cacing tanah yang
sama.
Pada percobaan cacing tanah terhadap cairan selom yaitu memiliki
respon negatif. Cacing tanah yang diberi perlakuan dengan pemberian cairan
selom cacing tanah lainnya memiliki respon yang negative, yaitu tidak
memberi respon apapun. Cairan selom pada umumnya adalah alat
perlindungan diri dari cacing tanah, sehingga jika cairan selom ini akan
keluar ketika cacing tanah merasa dalam bahaya atau terancam.
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa cacing
tanah memberikan respon negatif (cacing berbalik menjauhi stimulus) pada
kedua larutan garam yaitu cacing semakin menjauhi kertas yang dibasahi
dengan larutan garam 10% dibandingkan dengan kertas yang dibasahi
dengan larutan garam 5%. Cacing tanah memberikan respon negative (cacing
berbalik menjauhi stimulus) terhadap cairan mucus dari kelompok lain.
Cacing tanah memberikan respon positif (cacing bergerak terus melintasi
stimulus) terhadap cairan selom.

5.2 Saran
5.2.1 Adanya contoh kolom untuk pengisian data pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA

Agustinus., Dedi. 2009. Tingkah Laku Cacing tanah. Jurnal edukasi 12(27).
Kastawi. 2010. Zoology Avertebrata. Malang : FMIPA UM
Susilowati., Rahayu. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan.
Malang : FMIPA UM.
LAMPIRAN

Respon terhadap NaCl

Respon terhadap Mukosa


Respon terhadap Cairan Coelom
LAPORAN PRAKTIKUM

TINGKAH LAKU HEWAN


HABITUASI PADA CACING TANAH

Diajukan untuk Melengkapi Tugas


Mata Kuliah Tingkah Laku Hewan

Disusun Oleh Kelompok 1:


Ayi Nur Fajria
170210103099
Siti Humaira
210210103241

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MIPA

FAKULTAS DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2021
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cacing tanah adalah cacing berbentuk tabung dan tersegmentasi dalam filum Annelida.
Mereka umumnya ditemukan hidup di tanah, memakan bahan organik hidup dan mati.
Cacing tanah jenis Pheretima segmennya mencapai 95-150 segmen. Klitelumnya terletak
pada segmen 14-16. Tubuhnya berbentuk gilik panjang dan silindris berwarna merah
keunguan. Cacing tanah yang termasuk jenis Pheretima antara lain cacing merah, cacing koot
dan cacing kalung.
Cacing tanah memiliki kekebalan humoral dan seluler mekanisme. Selain itu telah
ditemukan bahwa cairan selom cacing tanah mengandung lebih dari 40 protein dan pameran
beberapa aktivitas biologis sebagai berikut: cytolytic, proteolitik, antimikroba, hemolitik,
hemagglutinating, tumorolytic, dan kegiatan mitogenic.
Setiap hewan, khususnya cacing tanah, memiliki perilaku habituasi. Habituasi adalah
perilaku belajar yang merupakan jenis perilaku hewan yang mengabaikan suatu stimulus
yang berulang-ulang dan tidak membahayakan dirinya. Pada hewan belajar merupakan
tingkah laku diperoleh yang bersifat tidak permanen dan dapat mengalami modifikasi sebagai
akibat dari pengalaman individu.
Pada praktikum ini diminta untuk melakukan uji habituasi cacing tanah untuk
mengetahui adanya kemampuan mengingat dengan memberikan suatu perlakuan pada waktu
yang telah ditentukan. Perilakunya akan menunjukkan kemampuan mengingat terhadap hasil
habituasinya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana respon cacing tanah dalam mengadakan habituasi terhadap
rangsangan getaran?
1.2.2 Bagaimana kemampuan mengingat pada cacing tanah terhadap hasil habituasi
yang dipejari?
1.3 Tujuan Pengamatan
1.3.1 Untuk mengetahui respon cacing tanah dalam mengadakan habituasi terhadap
rangsangan getaran
1.3.2 Untuk mengetahui kemampuan mengingat pada cacing tanah terhadap habituasi
yang dipelajari
1.4 Manfaat
Secara teoritis, praktikum ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai perilaku
habituasi khususnya pada cacing tanah (Pheretima aspregillum). Secara praktis, praktikum
ini diharapkan dapat menjadi sarana yang praktis dalam mempraktikkan pengetahuan penulis
mengenai habituasi cacing tanah berbagai terhadap rangsangan khususnya getaran, dan dapat
menjadi pedoman bagi praktikan yang akan melanjutkan praktikum ini.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


Hewan yang menjadi objek yaitu cacing tanah (Pheretima aspergillum). Cacing tanah
memiliki banyak peran dan manfaat, baik sebagai agen pengolah tanah, memperbaiki
kesuburan tanah, maupun sebagai bahan utama berbagai produk (misalnya obat, kosmetik),
karenanya cacing tanah banyak dibudidayakan (Karmila, 2016).
Aktifitas cacing tanah terutama sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan temperatur
tanah, karena cacing tanah sangat memerlukan kondisi permukaan tubuh yang cukup lembab
untuk proses pertukaran gas dan tekanan hidrostatik yang sangat diperlukan dalam menggali
tanah. Hampir semua jenis cacing tanah dapat dikelompokkan menjadi 3 tipe secara ekologi
berdasarkan niche-nya, yaitu : (1) epigeic – cacing yang hidup dan makan di permukaan
tanah, serta tidak mem-punyai liang di dalam tanah, pigmentasi tubuh berwarna gelap, (2)
anecic – mempunyai liang di dalam tanah tetapi mencari makan di permukaan, pigmentasi
tubuh berwarna gelap di bagian dorsal dan lebih muda pada bagian ventral, dan (3) endogeic -
mempunyai liang di dalam tanah, makan tanah humus, mempunyai pigmentasi yang pucat
atau tanpa pigmen tubuh (Nugroho, 2017).
Habituasi adalah bentuk pembelajaran yang sederhana dan terjadi pada banyak binatang.
Ini adalah proses di mana hewan berhenti merespons stimulus. Seringkali, respons adalah
perilaku bawaan. Pada dasarnya, hewan belajar untuk tidak menanggapi rangsangan yang
tidak relevan. Sebagai contoh, anjing padang rumput (Cynomys ludovicianus) memberikan
panggilan alarm ketika predator mendekat, menyebabkan semua individu dalam kelompok itu
dengan cepat masuk liang. Ketika kota anjing padang rumput terletak di dekat jalan yang
digunakan oleh manusia, memberikan panggilan alarm setiap kali seseorang berjalan cepat
dalam hal waktu dan energi. Habituasi kepada manusia adalah adaptasi penting dalam
konteks ini (Winarno, 2018).

BAB III. METODE PENGAMATAN


3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilakukan di Labolatorium Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala pada hari Kamis, tanggal 2 Desember 2021 pukul
10.00-selesai.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Dua (2) buah cawan petri
3.2.2 Stopwatch
3.2.3 Alat Pengetuk (ballpoint)
3.2.4 Cacing Tanah (Pheretima aspergillum)
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Cacing tanah diletakkan dalam cawan petri dan dibiarkan selama 10 menit sampai
keadaan konstan.
3.3.2 Sebagai kontrol diletakkan jug cacing lain dalam cawan yang berbeda.

3.3.3 Cawan petri diketuk dengan alat pengetuk dengan interval 20 detik, sedangkan
cacing kontrol dibiarkan tanpa perlakuan.

3.3.4 Perlakuan ketukan diulangi sampai 50 kali ketukan dengan interval 20 detik.
3.3.5 Diamati perubahan perilaku apa saja yang tampak dan juga dicatat pada lembar
pengamatan.

BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Pengamatan
Cacing Tanah Kontrol Cacing Tanah dengan Cacing Tanah dengan
Rangsangan Ketukan Rangsangan Ketukan 50
Interval 20 detik kali dengan Interval 20
detik
Cacing bergerak normal Respon cacing bergerak lebih Respon cacing tidak
tidak seaktif cacing aktif dibandingkan dalam bergerak seaktif gerakan
yang diberikan keadaan gerak normal yang yang sebelumnya pada
rangsangan ketukan sebelumnya saat pertama kali diberikan
rangangan ketukan.

4.2 Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, cacing kontrol (tidak diberikan perlakuan)
bergerak secara normal. Namun pada cacing tanah yang diberikan rangsangan ketukan
dengan interval 20 detik memberikan respon dengan bergerak secara aktif, hal ini terjadi
karena cacing menanggapi rangsangan yang diberikan. Dan pada rangsangan ketukan 50 kali
dengan interval yang sama, respon cacing cenderung tidak bergerak aktif dibandingkan saat
diberikan perlakuan pertama kali. Hal ini menunjukkan bahwa cacing mengingat perlakuan
yang diberikan sehingga saat diberikan perlakuan yang sama cacing akan terbiasa dan respon
yang dihasilkan akan mengalami penurunan atau disebut perilaku habituasi.

BAB IV PENUTUP
4.3 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa setiap hewan,
khususnya cacing tanah yang dijadikan sebagai objek memiliki perilaku habituasi. Habituasi
adalah perilaku belajar yang merupakan jenis perilaku hewan yang mengabaikan suatu
stimulus yang berulang-ulang dan tidak membahayakan dirinya. Pada hewan belajar
merupakan tingkah laku diperoleh yang bersifat tidak permanen dan dapat mengalami
modifikasi sebagai akibat dari pengalaman individu.
Cacing yang tidak diberikan perlakuan bergerak secara normal, sedangkan cacing yang
diberikan rangsangan ketukan dengan interval 20 detik mengalami perubahan tingkah laku
yaitu bergerak secara aktif pertanda menanggapi rangsangan yang diberikan. Dan ketika
diberikan kembali rangsangan ketukan dengan interval yang sama sebanyak 50 kali, cacing
tidak memberikan respon seperti pada awalnya, hal ini dikarenan cacing telah mengingat
rangsangan yang telah diberikan yang disebut perilaku habituasi.

4.4 Saran
Sebelum melakukan praktikum hendaknya telah memiliki pengetahuan mengenai
perilaku habituasi pada hewan dengan membaca berbagai sumber agar memudahkan
praktikan dalam memahami tingkah laku yang tercipta pada objek hewan yang diamati.

DAFTAR PUSTAKA
Karmila, D. 2021. Observasi Perilaku Cacing Tanah Metaphire sp. Sebagai Upaya Awal
Domestikasi.
Nugroho, H. 2017. Beberapa Catatan tentang Aspek Ekologi Cacing Tanah Metaphire
javanica di Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal Biologi Indonesia, 4:5, 417-421.
Winarno, G. D., & Harianto, S. P. 2018. Perilaku Satwa Liar (Ethology). Lampung: CV.
Anugrah Utama Raharja

LAMPIRAN
Gambar 1. Cacing Tanah Kontrol (Bergerak Bebas)

Gambar 2. Cacing Tanah dengan Rangsangan Ketukan


Interval 20 detik

Gambar 3. Cacing Tanah dengan Rangsangan Ketukan


50 kali dengan Interval 20 detik
LAPORAN PRAKTIKUM

TINGKAH LAKU HEWAN


PERILAKU KAWIN PADA JANGKRIK

Diajukan untuk Melengkapi Tugas


Mata Kuliah Tingkah Laku Hewan

Disusun Oleh Kelompok 1:


Ayi Nur Fajria
170210103099
Siti Humaira
210210103241

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara perilaku, jangkrik jantan dan betina memiliki perilaku yang sama dan
terdapat pula perilaku yang khas. Perilaku jangkrik yang sering muncul akibat
interaksi antara jantan maupun betina yaitu perilaku agonistik yang terkait dengan
pertarungan. Agonistik jangkrik berupa perilaku mengancam dan menunjukkan
kekuatan pada hewan sejenisnya. Perilaku agonistik banyak ditemui pada hewan-
hewan yang terbatas makanan, tempat tinggal, dan pasangannya. Kadang - kadang
hewan juga menunjukkan kekuatan kepada lawannya yang membuat mereka terlihat
lebih kuat dan besar serta dengan perilaku itu dapat memperoleh sumber daya tanpa
melalui pertarungan. Apabila jangkrik jantan dan jangkrik jantan lainnya
ditempatkan dalam satu terrarium maka akan timbul perilaku sebagai akibat
interaksi dengan lainnya sehingga dapat terjadi pertarungan untuk mempertahankan
daerah kekuasaannya bahkan saling memangsa. Pada penelitian ini dilakukan
pengamatan untuk mengetahui perilaku interaksi jangkrik jantan dan betina.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana perilaku kawin pada jangkrik ?
1.2.2 Bagaimana peranan suara atau nyanyian panggilan kawin pada jangkrik ?
1.3 Tujuan Pengamatan
1.3.1 Untuk mengetahui perilaku kawin pada jangkrik
1.3.2 Untuk mengetahui peranan suara/nyanyian panggilan kawin pada jangkrik

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Serangga (insekta) merupakan salah satu kelompok (kelas) dari Arthropoda


yang memiliki segmentasi tubuh meliputi caput, thorax dan abdomen. Pada bagian
caput (kepala) terdapat sepasang antena, Bagian kepala juga terdapat mata tunggal
yang tersusun dalam satu segitiga tumpul, mulut, dan dua pasang sungut. Pada
thorax terdapat enam tungkai dan empat sayap. Bagian abdomen (perut) khususnya
posterior terdiri dari ruas-ruas (Corey et al., 2000). Pada ujung abdomen jangkrik
jantan dan betina terdapat sepasang cerci berukuran panjang dan tajam. Cerci
tersebut berfungsi menerima rangsangan dan untuk mempertahankan diri apabila
terdapat musuh yang berada dibelakang tubuh jangkrik (Anwari 2020).
Jangkrik sebagai salah satu anggota dari insekta merupakan hewan serangga
dari ordo orthoptera. Secara morfologi jangkrik memiliki ukuran tubuh kecil sampai
besar dan memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan belalang. Spesies jangkrik
yang telah ditemukan berjumlah sekitar 900 jenis, sedangkan di Indonesia terdapat
123 jenis jangkrik. Jangkrik jantan dan betina memiliki bentuk tubuh yang berbeda.
Venasi sayap depan jangkrik betina berbentuk garis-garis lurus, sedangkan pada
jantan berbentuk tidak beraturan seperti melingkar dan ada yang lurus. Pada jangkrik
jantan juga terdapat stridulasi yang berfungsi untuk menghasilkan suara atau
mengerik. Suara mengerik dihasilkan dari bagian kasar sayap depan yang
bergesekan dan bagian kasar pada sayap belakang. Pada sayap terdapat struktur harp
yaitu struktur sayap yang berfungsi memperbesar suara yang dihasilkan oleh bagian
kasar dibalik sayap depan dan bagian kasar pada sayap belakang. Suara yang
dihasilkan jangkrik memiliki nada yang berfungsi untuk menarik perhatian jangkrik
betina atau perilaku agonistik. Suara tersebuti dapat dihasilkan pada saat sayap
jangkrik jantan terangkat (Anwari, 2020).

Secara perilaku, jangkrik jantan dan betina memiliki perilaku yang sama dan
terdapat pula perilaku yang khas. Perilaku jangkrik yang sering muncul akibat
interaksi antara jantan maupun betina yaitu perilaku agonistik yang terkait dengan
pertarungan. Apabila jangkrik jantan dan jangkrik jantan lainnya ditempatkan dalam
satu terrarium maka akan timbul perilaku sebagai akibat adanya interaksi. Pada
jangkrik betina memiliki alat yang berfungsi sebagai penangkap suara atau “telinga”
yang terletak dibagian timpanum di tungkai depan. Suara yang dihasilkan jangkrik
jantan berperan untuk menarik perhatian jangkrik betina, hanya individu-individu
pasangan jenisnya yang dapat menangkap suara dan menemukan pasangannya
(Erniwati, 2012).

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu


Tempat dilakukannya penelitian adalah di rumah praktikan. Waktu
dilaksanakannya penelitian adalah tanggal 1 Desember 2021.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
a. Bak plastik ukuran 5 liter
b. Ampul bekas
c. Tabung karton untuk isolasi
d. Pasir
e. Cethok
f. Recorder
3.2.2 Bahan
a. Jengkrik Jantan dan Betina
b. Air
3.3. Langkah Kerja
a. Nyayian Jangkrik

Mengisolasi beberapa ekor jengkrik jantan dan betina selama 24 jam atau
lebih sebelum praktikum.

Mengenalkan seekor jengkrik jantan dan betina ke dalam akuarium yang


telah dipersiapkan.

Mengamati respon khusus jengkrik jantan terhadap betina.

Mengamati apakah jengkrik betina juga nyanyi. Bila bernyanyi adakah


perbedaanya dengan nyanyian jengkrik jantan.

Mengamati struktur yang menyebabkan bunyi dan bagaimana jengkrik


memperkeras bunyi yang ditimbulkanya.
b. Fungsi Hirarki pada Sekelompok Jangkrik

Mengenalkan seekor jengkrik betina pada sekelompok jengkrik jantan.


Adakah dominansi atau herarki pada sekelompok jengkrik jantan.
Mengamati apakah ada jengkrik jantan yang berhasil mengawini jengkrik
betina

Mengamati Jengkrik mana yang berhasil mengawininya.

c. Respon terhadap cairan mukosa

Merekam beberapa kali dari beberapa jenis suara yang dihasilkan oleh
jengkrik jantan. Meletakan jengkrik betina beberapa ekor ke dalam
akuarium plastik yang sudah dipersiapkan.

Memutar kembali rekaman suara nyanyian jengkrik jantan pada atau dekat
akuarium plastik yang berisi jengkrik betina pada situasi yang berbeda.

Mengamati variasi nyanyian jengkrik jantan yang mana yang menarik


jengkrik betina.

BAB IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


4.1. Hasil Pengamatan
Tabel perilaku Jangkrik Jantan :
Perilaku
Berbunyi
Memanjat
Jangkrik Jantan Menyerang Jangkrik lain
Makan
Melompat keluar wadah
4.2 Pembahasan
Kegiatan pertama pada penelitian yaitu beberapa ekor jangkrik jantan
dimasukkan dalam satu bak setelah sebelumnya diisolasi selama 24 jam.
Waktu penelitian dilakukan pada pagi hari. Berdasarkan table, diketahui
bahwa jangkrik jantan melakukan beberapa aktivitas yaitu berbunyi,
memanjat wadah, makan, melompat keluar wadah dan menggaruk badannya.
Beberapa jangkrik terlihat melakukan penyerangan terhadap jangkrik
lainnya. Hal ini diketahui karena jangkrik jantan terlihat saling menyerang.
Hal ini diakibatkan oleh sempitnya area kekuasaan, makanann yang terbatas
dan rasa terancam yang mendominasi. Kegiatan berbunyi lebih intens
terdengar pada pagi gari. Diketahui bahwa hal ini dilakukan karena cuaca
dalam keadaan panas. Selain itu, pada pagi hari jangkrik sering melakukan
aktivitas yaitu makan. Hal ini dikarenakan jangkrik membutuhkan banyak
energi.
Pada saat malam hari perilaku yang dominan dilakukan oleh jangkrik
adalah makan. jangkrik adalah hewan nokturnal, jangkrik lebih banyak
beraktivitas saat malam hari, sehingga jangkrik mempunyai kebiasaan
mencari makanan saat malam hari. Perilaku lain yang dilakukan jangkrik
saat malam hari adalah mengepakkan sayapnya. Hal ini dilakukan untuk
berkomunikasi dengan jangkrik yang lain.
Perilaku jangkrik jantan yang dominan setelah dimasukkan jangkrik
betina adalah berbunyi. Perilaku ini dilakukan oleh jangkrik jantan untuk
menunjukkan eksistensinya dan menarik perhatian jangkrik betina. Jangkrik
jantan mengeluarkan suara yang digunakan untuk menarik perhatian jangkrik
betina dan menolak jangkrik jantan lainnya. Suara jangkrik itu semakin keras
dengan naiknya suhu sekitar. Pada saat jangkrik betina terpikat oleh jangkrik
jantan, maka jangkrik jantan dan betina akan melakukan mating. Mating
dilakukan dengan cara jangkrik betina berada diatas tubuh jangkrik jantan.
Setelah itu jangkrik jantan akan mengeluarkan sperma dan diletakkan pada
alat reproduksi jangkrik betina.
Jangkrik betina sering melakukan mating karena di dalam wadah
terdapat banyak jangkrik jantan. Sehingga jangkrik betina melakukan mating
bukan hanya dengan satu ekor jangkrik jantan, tetapi dengan semua jangkrik
jantan yang berada dalam wadah.
Perilaku jangkrik jantan dan betina saat pagi dan malam hari relatif
sama, yaitu berbunyi, memanjat, makan, menggaruk badan, melompat,
mengangkat sayap, mating, menindih jangkrik lain, menggoyangkan ekor
dan membengkokkan badan.

BAB V. PENUTUPAN

5.1 Kesimpulan

Perilaku yang sering dilakukan oleh jangkrik adalah berbunyi, makan,


memanjat, mating dan menyerang jangkrik lain. Jangkrik melakukan perilaku
berbunyi untuk menarik perhatian jangkrik betina, menunjukkan eksitensi
dirinya dan untuk mempertahankan daerah kekuasaannya serta sumber
makanannya. Selain berbunyi jangkrik juga sering memanjat, untuk
melepaskan diri dari wadah karena jangkrik ingin hidup bebas. Jangkrik
melakukan perilaku makan untuk mempertahankan hidup. Jangkrik akan
menunjukkan perilaku agresif pada saat memperebutkan makanan dan pada
saat mempertahankan pasangannya. Jangkrik betina akan melakukan mating
apabila terpikat oleh jangkrik jantan.

5.2 Saran

5.1.1 Adanya contoh kolom untuk pengisian data pengamatan


DAFTAR PUSTAKA

Anwari, Adi Nugroho. 2020. Studi Pola Interaksi Perilaku Jangkrik Jantan dan
Betina. Florea : Jurnal Biologi dan Pemberlajarannya 7(1).
Corey, S., B. Holy., N. Patrick, & B. Patrick. (2000). Crickets. 1st Ed. Arizona
University, Arizona.
Erniwati. (2019). Biologi Jangkrik (Orthoptera: Gryllidae) Budidaya Dan
Peranannya. Fauna Indonesia. 11(2).
LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM

TINGKAH LAKU HEWAN


PALATABILITAS PAKAN BURUNG MERPATI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas


Mata Kuliah Tingkah Laku Hewan

Disusun Oleh Kelompok 1:


Ayi Nur Fajria
170210103099
Siti Humaira
210210103241

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MIPA

FAKULTAS DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2021
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Merpati termasuk dalam famili Columbidae atau burung berparuh. Merpati adalah
burung berbadan gempal dengan leher pendek dan paruh ramping pendek dengan cere berair.
Spesies yang umumnya dikenal sebagai "merpati" adalah merpati karang liar, umum
digunakan di banyak kota.
Merpati membangun sangkarnya dari ranting dan sisa-sisa lainnya, yang ditempatkan di
pepohonan, birai, atau tanah, tergantung spesiesnya. Mereka mengerami satu atau dua telur,
dan kedua induknya sangat memedulikan anaknya, yang akan meninggalkan sangkarnya
setelah 7 hingga 28 hari.
Jika manusia bisa memutuskan apakah mereka suka atau tidak terhadap makanan, begitu
juga dengan hewan ternak. Hal tersebut adalah palatabilitas. Palatabilitas adalah suatu derajat
kesukaan hewan ternak terhadap pakannya. Palatabilitas merupakan salah satu faktor penting
dalam menentukan tingkat konsumsi pakan hewan ternak. Hal-hal yang mempengaruhinya
secara umum adalah rasa, bau, bentuk dan warna dari pakan. Tidak hanya hewan ternak
ruminansia saja yang memiliki derajat kesukaannya terhadap makanan, tetapi juga hewan
mamalia lainnya. Sebagai peternak, perlu untuk mengetahui pakan kesukaan ternaknya. Jika
tingkat palatabilitas tinggi, maka tingkat konsumsi pakan dan efisiensi biaya juga akan
semakin baik.
Praktikum ini dilakukan pada burung merpati yang memiliki palatabilitas atau derajat
kesukaan pada makanan tertentu saat diberikan.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah makanan kesukaan pakan burung merpati pada sangkar buatan?
1.3 Tujuan Pengamatan
Untuk mengetahui palatabilitas/kesukaan pakan burung merpati pada sangkar buatan.
1.4 Manfaat
Secara teoritis, praktikum ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai perilaku
palatabilitas khususnya pada burung merpati. Secara praktis, praktikum ini diharapkan dapat
menjadi sarana yang praktis dalam mempraktikkan pengetahuan penulis mengenai
palatabilitas pakan burung merpati terhadap makanan yang diberikan, dan dapat menjadi
pedoman bagi praktikan yang akan melanjutkan praktikum ini.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Burung merpati (Columba livia) merupakan salah satu jenis unggas dari famili
Columbidae dan merupakan salah satu kekayaan fauna di Indonesia. Burung merpati
dipelihara penduduk Indonesia sebagai satwa kesayangan dan dagingnya dimanfaatkan untuk
dikonsumsi. Burung merpati merupakan salah satu jenis ternak yang cukup potensial untuk
dikembangkan sebagai ternak penghasil protein hewani. Salah satu daya tarik burung merpati
adalah mampu kembali lagi ke sangkar awal setelah dilepas, tidak seperti burung lain yang
harus selalu dikurung dalam sangkarnya.
Burung merpati merupakan salah satu jenis unggas yang mudah dirawat dan ditemui karena
merpati banyak dijual di pasar burung maupun di peternak di Indonesia. Diperlukan
pengetahuan dalam pemeliharaan burung merpati sehingga menghasilkan keturunan yang
unggul (Bachtiar, 2017).
Dalam hal ini pentingnya mengetahui tentang karakteristik dan perilaku merpati tinggi
lokal sebagai suatu landasan dalam menetukan karakteristik dan perilaku merpati tinggi lokal.
Beragamnya karakteristik dan perilaku pada merpati perlu diketahui karna dengan ini dapat
menentukan merpati tinggi lokal yang unggul untuk pemeliharaan. Karakteristik kualitatif
pada merpati tinggi lokal berbagai macam meliputi bentuk tubuh, mata, paruh, sayap, dan
warna bulu yang beragam, sedangkan perilaku merpati tinggi lokal meliputi perilaku kawin
dan bergerak (Kadri, 2016).
Secara alami, burung merpati mengkonsumsi pakan berupa biji-bijian misalnya jagung
kuning, beras, gabah, kacang hijau, dan kedelai, namun juga dapat memakan sayuran.
Tingkat palatabilitas akan burung merpati dapat dihitung dengan pemberian berbagai jenis
pakan dan melihat jenis pakan yan memiliki bobot paling sedikit. Biasanya jagung memiliki
tingkat palatabilitas paling tinggi. Salah satu faktor mengapa jagung memiliki tingkat
palatabilitas paling tinggi karena jagung memiliki umur panen mudah, memiliki rasa yang
manis, memiliki warna yang mencolok dengan biji endosperm berwarna bening, tekstur biji
lunak dan berbentuk kerut dan memiliki aroma yang khas (Handiono, 2015).
BAB III. METODE PENGAMATAN
3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilakukan di Desa Deah Raya Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh
pada hari Senin, tanggal 6 Desember 2021 pukul 08.00-selesai.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Sangkar burung ukuran sedang
3.2.2 Tempat minum
3.2.3 Tempat pakan burung dari plastik ukuran sedang sebanyak 6 buah
3.2.4 Timbangan
3.2.5 Jagung pipil 150 g
3.2.6 Jagung tumbuk 150 g
3.2.7 Beras 150 g
3.2.8 Gabah Kering 150 g
3.2.9 Kedelai 150 g
3.2.10 Kacang Hijau 150 g
3.2.11 Satu (1) ekor burung merpati jantan/betina
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Burung merpati dimasukkan dalam sangkar buatan.
3.3.2 Semua jenis pakan yang telah dipersiapkan sesuai dengan berat yang telah
ditentukan dimasukkan ke dalam sangkar.
3.3.3 Disediakan pula minum secukupnya.
3.3.4 Kedudukan tempat pakan tersebut diputar setiap 2 jam sekali.
3.3.5 Setelah 8 jam sisa pakan kembali ditimbang.
3.3.6 Dicari persentase pakan yang tersisa pada masing-masing jenis pakan
3.3.7 Pakan dengan persentase ersendah merupakan pakan yang paling disukai oleh
burung merpati
3.3.8 Dibuat diagram perbandingan persentase masing-masing jenis pakan
BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Tabel 1. Perbandingan Berat Awal dan Berat Akhir Masing-masing Pakan

JENIS PAKAN
Jagung Jagung Beras Gabah Kedelai Kacang
pipil tumbuk kering hijau
Berat 150 g 150 g 150 g 150 g 150 g 150 g
Awal
Berat 67 g 98 g 125 g 133 g 145 g 135 g
Akhir (44.6%) (65.3%) (83.3%) (88.6%) (96.6%) (90%)

Persentase Sisa Masing-masing Pakan

44,6% Jagung Pipil


90%
65,3% Jagung Tumbuk
Beras

96,6% Gabah Kering


83,3%
Kedelai
88,6% Kacang Hijau

Diagram 1. Persentase Sisa Masing-masing pakan

4.2 Pembahasan
Percobaan ini menggunakan enam jenis pakan yang diberikan untuk burung merpati
yaitu jagung pipil, jagung tumbuk, beras, gabah kering, kedelai, dan kacang hijau yang berat
awalnya adalah 150 g/jenis. Setelah diputar kedudukan tempat pakan setiap 2 jam sekali
selama 8 jam, hasil yang didapatkan yaitu burung merpati lebih menyukai jenis jagung pipil.
Hal ini dapat dilihat dari bobot sisa jagung pipil yang dikonsumsi burung merpati. Semakin
besar selisihnya dari bobot jagung pipih awal maka semakin besar pula jagung pipil yang
dikonsumsi. Sisa jagung pipil memiliki bobot yang paling sedikit dibandingkan sisa dari jensi
pakan yang lain.Tingkat palatabilitas ini dapat dipengaruhi oleh adanya indra perasa dan
penciuman. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor kondisi tubuh ternak, kondisi lingkungan,
dan suhu kandang.

BAB IV PENUTUP
4.3 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa setiap hewan,
khususnya burung merpati yang dijadikan sebagai objek memiliki tingkat palatabilitas
tertentu. Palatabilitas adalah derajat kesukaan hewan terhadap pakan yang dipilih serta
dikonsumsinya. Tingkat palatabilitas dapat dipengaruhi oleh adanya indra perasa dan
penciuman. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor kondisi tubuh ternak, kondisi lingkungan,
dan suhu kandang.
Berdasarkan praktikum hasil yang didapatkan yaitu burung merpati lebih menyukai jenis
jagung pipil. Hal ini dapat dilihat dari bobot sisa jagung pipil yang dikonsumsi burung
merpati. Semakin besar selisihnya dari bobot jagung pipih awal maka semakin besar pula
jagung pipil yang dikonsumsi. Sisa jagung pipil memiliki bobot yang paling sedikit
dibandingkan sisa dari jensi pakan yang lain.

4.4 Saran
Sebelum melakukan praktikum hendaknya telah memiliki pengetahuan mengenai
perilaku palatabilitas pada hewan dengan membaca berbagai sumber agar memudahkan
praktikan dalam memahami tingkah laku yang tercipta pada objek hewan yang diamati.

DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, E. 2017. Pengaruh Sistem Pemeliharaan Secara Intensif dan Ekstensif Terhadap
Tingkat Kejadian Penyakit Protozoa Darah pada Burung Merpati (Columba livia) di
Surabaya (Doctoral Dissertation, Universitas Airlangga).
Handiono, Z. E., Busono, W., & Prayogi, H. S. 2015. Pengaruh Penambahan Bahan Pakan
Alternatif Sebagai Sumber Energi, Serat Dan Vitamin Serta Pakan Bijian Terhadap
Konsumsi Dan Bobot Badan Burung Kenari (Serinus Canaria). Ternak Tropika
Journal Of Tropical Animal Production, 16:1, 24-29.
Kadri, M. H. M., Septinova, D., & Riyanti, R. 2016. Karakteristik dan Perilaku Merpati
Tinggi Lokal Jantan dan Betina. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 4:2, 156-160.
LAMPIRAN

Gambar 1. Burung merpati

Gambar 2. Jagung pipil

Gambar 3. Jagung tumbuk

Gambar 4. Beras
Gambar 5. Gabah kering

Gambar 6. Kedelai

Gambar 7. Kacang hijau

Anda mungkin juga menyukai