Meletakan 2 cacing tanah di atas kertas lilin, kemudian memberi kejutan pada
cacing A dengan strum dari baterai yang dihubungkan dengan kabel sampai
dengan cacing mengeluarkancairan coelom dan berikan perlakuan pada cacing
lain yang sedang bergerak
Memotong kertas yang terkena cairan mukosa itu dan letakkan di depan
cacing lain yang sedang bergerak.
Mengamati respon cacing tanah terhadap cairan mukosa
Cacing 2% 5%
A - -
A +
A -
4.2 Pembahasan
Respon cacing terhadap larutan garam 5% dan garam 10% yaitu
negatif. Hal ini berarti bahwa pada saat bagian anterior cacing didekatkan
pada kertas tissue yang telah dibasahi dengan larutan garam, cacing
menjauhi kertas tissue dan berusaha menghindari kertas tersebut. Cacing
tanah merespon seperti itu karena pada cacing tanah terdapat organ sensorik
yang terdiri dari sel tunggal atau kelompok khusus yang terdapat pada sel
ektodermal.
Organ sensorik yang berperan pada respon cacing adalah reseptor
epidermal. Reseptor epidermal yang merupakan sel organ yang merespon
stimulus kimiawi memiliki distribusi yang berbeda. Reseptor ini terdistribusi
pada bagian epidermis terutama pada sisi lateral dan sisi permukaan ventral
tubuh (Rahayu, 2011). Oleh karena itu pada praktikum yang telah dilakukan,
cacing semakin menjauhi kertas yang dibasahi dengan larutan garam 10%
dibandingkan dengan kertas yang dibasahi dengan larutan garam 5%. Hal ini
dikarenakan reseptor epidermal cacing lebih peka terhadap larutan garam
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dengan larutan yang
memiliki konsentrasi lebih rendah. Reseptor epidermal ini terdapat pada sisi
lateral dan ventral sehingga stimulus yang berupa larutan garam akan
diterima langsung oleh cacing melalui sisi-sisi tersebut. Hal ini ditunjukkan
pada saat cacing sangat sensitif terhadap kertas tersebut dengan respon
cacing yang menjauhi kertas tissue.
Cairan mucus dihasilkan dari lendir permukaan tubuh cacing tanah
yang jika cacing dilewatkan pada suatu media yang dapat menyimpan cairan
mucus agar tetap terlihat basah karena lintasannya. Cairan mucus dapat
dihasilkan oleh kelenjar epidermal yang berfungsi untuk menjaga
kelembaban tubuh cacing tanah. Cairan mucus dapat digunakan sebagai
salah satu alat komunikasi dari cacing tanah (Agustinus, 2009).
Berdasarkan hasil pengamatan banyak cacing tanah yang memiliki
respon negative terhadap cairan mucus dari kelompok lain. Hal tersebut
dapat disebabkan karena cacing tanah yang digunakan bukan merupakan satu
spesies atau dapat juga karena cairan mucus yang dihasilkan oleh cacing
kelompok lain kurang banyak, sehingga cacing tidak dapat menerima
komunikasi dari cacing kelompok yang lain. Cairan mucus dapat menjadi
salah satu komunikasi cacing tanah untuk menandai daerah teritorialnya
yang akan dikenali oleh pasangannya, sehingga dapat dikatakan bahwa
cairan mucus juga berperan untu proses reproduksi cacing tanah. Cairan
mucus yang dikeluarkan oleh cacing tanah memiliki sifat yang spesifik.
Namun karena setiap cacing memiliki kemoreseptor yang sangat sensitive,
maka senyawa yang dihasilkan oleh cacing lain dapat dengan mudah
dideteksi.
Pada saat cacing tanah mencari pasangan untuk reproduksi, maka
cairan mucus yang dikeluarkan memiliki komposisi senyawa kimia yang
lebih spesifik dan berbeda dengan komposisi sebagai penanda suatu daerah
teritorialnya agar pasangan dapat tertarik. Berdasarkan hasil pengamatan
dikarenakan cairan mucus yang dihasilkan oleh kelompok lainnya sangat
sedikit, sehingga cacing tanah tidak dapat efektif teramati, apakah memiliki
respon positif atau negative. Namun berdasarkan hasil pengamatan dapat
juga dikatakan bahwa tiap-tiap spesies cacing tanah memiliki komponen
senyawa kimia tersendiri yang dapat diterima oleh spesies cacing tanah yang
sama.
Pada percobaan cacing tanah terhadap cairan selom yaitu memiliki
respon negatif. Cacing tanah yang diberi perlakuan dengan pemberian cairan
selom cacing tanah lainnya memiliki respon yang negative, yaitu tidak
memberi respon apapun. Cairan selom pada umumnya adalah alat
perlindungan diri dari cacing tanah, sehingga jika cairan selom ini akan
keluar ketika cacing tanah merasa dalam bahaya atau terancam.
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa cacing
tanah memberikan respon negatif (cacing berbalik menjauhi stimulus) pada
kedua larutan garam yaitu cacing semakin menjauhi kertas yang dibasahi
dengan larutan garam 10% dibandingkan dengan kertas yang dibasahi
dengan larutan garam 5%. Cacing tanah memberikan respon negative (cacing
berbalik menjauhi stimulus) terhadap cairan mucus dari kelompok lain.
Cacing tanah memberikan respon positif (cacing bergerak terus melintasi
stimulus) terhadap cairan selom.
5.2 Saran
5.2.1 Adanya contoh kolom untuk pengisian data pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustinus., Dedi. 2009. Tingkah Laku Cacing tanah. Jurnal edukasi 12(27).
Kastawi. 2010. Zoology Avertebrata. Malang : FMIPA UM
Susilowati., Rahayu. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan.
Malang : FMIPA UM.
LAMPIRAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
BAB I. PENDAHULUAN
3.3.3 Cawan petri diketuk dengan alat pengetuk dengan interval 20 detik, sedangkan
cacing kontrol dibiarkan tanpa perlakuan.
3.3.4 Perlakuan ketukan diulangi sampai 50 kali ketukan dengan interval 20 detik.
3.3.5 Diamati perubahan perilaku apa saja yang tampak dan juga dicatat pada lembar
pengamatan.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, cacing kontrol (tidak diberikan perlakuan)
bergerak secara normal. Namun pada cacing tanah yang diberikan rangsangan ketukan
dengan interval 20 detik memberikan respon dengan bergerak secara aktif, hal ini terjadi
karena cacing menanggapi rangsangan yang diberikan. Dan pada rangsangan ketukan 50 kali
dengan interval yang sama, respon cacing cenderung tidak bergerak aktif dibandingkan saat
diberikan perlakuan pertama kali. Hal ini menunjukkan bahwa cacing mengingat perlakuan
yang diberikan sehingga saat diberikan perlakuan yang sama cacing akan terbiasa dan respon
yang dihasilkan akan mengalami penurunan atau disebut perilaku habituasi.
BAB IV PENUTUP
4.3 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa setiap hewan,
khususnya cacing tanah yang dijadikan sebagai objek memiliki perilaku habituasi. Habituasi
adalah perilaku belajar yang merupakan jenis perilaku hewan yang mengabaikan suatu
stimulus yang berulang-ulang dan tidak membahayakan dirinya. Pada hewan belajar
merupakan tingkah laku diperoleh yang bersifat tidak permanen dan dapat mengalami
modifikasi sebagai akibat dari pengalaman individu.
Cacing yang tidak diberikan perlakuan bergerak secara normal, sedangkan cacing yang
diberikan rangsangan ketukan dengan interval 20 detik mengalami perubahan tingkah laku
yaitu bergerak secara aktif pertanda menanggapi rangsangan yang diberikan. Dan ketika
diberikan kembali rangsangan ketukan dengan interval yang sama sebanyak 50 kali, cacing
tidak memberikan respon seperti pada awalnya, hal ini dikarenan cacing telah mengingat
rangsangan yang telah diberikan yang disebut perilaku habituasi.
4.4 Saran
Sebelum melakukan praktikum hendaknya telah memiliki pengetahuan mengenai
perilaku habituasi pada hewan dengan membaca berbagai sumber agar memudahkan
praktikan dalam memahami tingkah laku yang tercipta pada objek hewan yang diamati.
DAFTAR PUSTAKA
Karmila, D. 2021. Observasi Perilaku Cacing Tanah Metaphire sp. Sebagai Upaya Awal
Domestikasi.
Nugroho, H. 2017. Beberapa Catatan tentang Aspek Ekologi Cacing Tanah Metaphire
javanica di Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal Biologi Indonesia, 4:5, 417-421.
Winarno, G. D., & Harianto, S. P. 2018. Perilaku Satwa Liar (Ethology). Lampung: CV.
Anugrah Utama Raharja
LAMPIRAN
Gambar 1. Cacing Tanah Kontrol (Bergerak Bebas)
Secara perilaku, jangkrik jantan dan betina memiliki perilaku yang sama dan
terdapat pula perilaku yang khas. Perilaku jangkrik yang sering muncul akibat
interaksi antara jantan maupun betina yaitu perilaku agonistik yang terkait dengan
pertarungan. Apabila jangkrik jantan dan jangkrik jantan lainnya ditempatkan dalam
satu terrarium maka akan timbul perilaku sebagai akibat adanya interaksi. Pada
jangkrik betina memiliki alat yang berfungsi sebagai penangkap suara atau “telinga”
yang terletak dibagian timpanum di tungkai depan. Suara yang dihasilkan jangkrik
jantan berperan untuk menarik perhatian jangkrik betina, hanya individu-individu
pasangan jenisnya yang dapat menangkap suara dan menemukan pasangannya
(Erniwati, 2012).
Mengisolasi beberapa ekor jengkrik jantan dan betina selama 24 jam atau
lebih sebelum praktikum.
Merekam beberapa kali dari beberapa jenis suara yang dihasilkan oleh
jengkrik jantan. Meletakan jengkrik betina beberapa ekor ke dalam
akuarium plastik yang sudah dipersiapkan.
Memutar kembali rekaman suara nyanyian jengkrik jantan pada atau dekat
akuarium plastik yang berisi jengkrik betina pada situasi yang berbeda.
BAB V. PENUTUPAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Anwari, Adi Nugroho. 2020. Studi Pola Interaksi Perilaku Jangkrik Jantan dan
Betina. Florea : Jurnal Biologi dan Pemberlajarannya 7(1).
Corey, S., B. Holy., N. Patrick, & B. Patrick. (2000). Crickets. 1st Ed. Arizona
University, Arizona.
Erniwati. (2019). Biologi Jangkrik (Orthoptera: Gryllidae) Budidaya Dan
Peranannya. Fauna Indonesia. 11(2).
LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2021
BAB I. PENDAHULUAN
JENIS PAKAN
Jagung Jagung Beras Gabah Kedelai Kacang
pipil tumbuk kering hijau
Berat 150 g 150 g 150 g 150 g 150 g 150 g
Awal
Berat 67 g 98 g 125 g 133 g 145 g 135 g
Akhir (44.6%) (65.3%) (83.3%) (88.6%) (96.6%) (90%)
4.2 Pembahasan
Percobaan ini menggunakan enam jenis pakan yang diberikan untuk burung merpati
yaitu jagung pipil, jagung tumbuk, beras, gabah kering, kedelai, dan kacang hijau yang berat
awalnya adalah 150 g/jenis. Setelah diputar kedudukan tempat pakan setiap 2 jam sekali
selama 8 jam, hasil yang didapatkan yaitu burung merpati lebih menyukai jenis jagung pipil.
Hal ini dapat dilihat dari bobot sisa jagung pipil yang dikonsumsi burung merpati. Semakin
besar selisihnya dari bobot jagung pipih awal maka semakin besar pula jagung pipil yang
dikonsumsi. Sisa jagung pipil memiliki bobot yang paling sedikit dibandingkan sisa dari jensi
pakan yang lain.Tingkat palatabilitas ini dapat dipengaruhi oleh adanya indra perasa dan
penciuman. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor kondisi tubuh ternak, kondisi lingkungan,
dan suhu kandang.
BAB IV PENUTUP
4.3 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa setiap hewan,
khususnya burung merpati yang dijadikan sebagai objek memiliki tingkat palatabilitas
tertentu. Palatabilitas adalah derajat kesukaan hewan terhadap pakan yang dipilih serta
dikonsumsinya. Tingkat palatabilitas dapat dipengaruhi oleh adanya indra perasa dan
penciuman. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor kondisi tubuh ternak, kondisi lingkungan,
dan suhu kandang.
Berdasarkan praktikum hasil yang didapatkan yaitu burung merpati lebih menyukai jenis
jagung pipil. Hal ini dapat dilihat dari bobot sisa jagung pipil yang dikonsumsi burung
merpati. Semakin besar selisihnya dari bobot jagung pipih awal maka semakin besar pula
jagung pipil yang dikonsumsi. Sisa jagung pipil memiliki bobot yang paling sedikit
dibandingkan sisa dari jensi pakan yang lain.
4.4 Saran
Sebelum melakukan praktikum hendaknya telah memiliki pengetahuan mengenai
perilaku palatabilitas pada hewan dengan membaca berbagai sumber agar memudahkan
praktikan dalam memahami tingkah laku yang tercipta pada objek hewan yang diamati.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, E. 2017. Pengaruh Sistem Pemeliharaan Secara Intensif dan Ekstensif Terhadap
Tingkat Kejadian Penyakit Protozoa Darah pada Burung Merpati (Columba livia) di
Surabaya (Doctoral Dissertation, Universitas Airlangga).
Handiono, Z. E., Busono, W., & Prayogi, H. S. 2015. Pengaruh Penambahan Bahan Pakan
Alternatif Sebagai Sumber Energi, Serat Dan Vitamin Serta Pakan Bijian Terhadap
Konsumsi Dan Bobot Badan Burung Kenari (Serinus Canaria). Ternak Tropika
Journal Of Tropical Animal Production, 16:1, 24-29.
Kadri, M. H. M., Septinova, D., & Riyanti, R. 2016. Karakteristik dan Perilaku Merpati
Tinggi Lokal Jantan dan Betina. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 4:2, 156-160.
LAMPIRAN
Gambar 4. Beras
Gambar 5. Gabah kering
Gambar 6. Kedelai