Oleh :
Firmansyah (H 14111010)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2014
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cacing tanah merupakan hewan tingkat rendah yang tidak memiliki tulang
belakang (avertebrata) dan bertubuh lunak. Hewan ini paling sering dijumpai di tanah
dan tempat lembab, yang banyak mengandung senyawa organik dan bahan mineral
yang cukup baik dari alam maupun dari sampah limbah pembuangan penduduk
sebagaimana habitat alaminya. Cacing tanah telah dikenal dari berbagai famili yaitu
moniligastridae, megascolecidae, eudrillidae, glossocolecidae dan lumbricidae.
Beberapa spesies yang sering ditemui di Indonesia antara lain pontoscolex
corethrurus, drawida sp, peryonix excavatus, megascolex cempii, pheretima
posthoma, pheretima javanica, metaphire javanica dan metaphire capensis (suin ,
1989).
Cacing tanah memiliki peranan penting bagi ekosistem tanah, karena ikut
berperan dalam proses perbaikan aerasi, mengolah material organik dan
menstabilkan derajat keasaman tanah (Brown et al., 2004). Hanafiyah (2005)
menjelaskan peranan cacing tanah secara umum merupakan bioamelion (jasat hayati
penyubur dan penyehat ) tanah terutama memiliki kemampuan memperbaiki sifat-
sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik dan pelapukan
mineral sehingga cacing tanah mampu meningkatkan produktivitas tanah.
Morfologi cacing tanah memiliki tubuh yang terdiri dari dua bagian yaitu
bagian anterior dan posterior. Anterior merupakan bagian yang dimana terdapat mulut
dan beberapa segmen yang menebal membentuk klitelium. Struktur tubuh yang
tersusun dari segmen-segmen yang berbentuk cincin (Edward and Lofly, 1997). Tiap
segmen tubuh cacing tanah mengandung rambut keras dan pendek yang disebut seta
(Rouse and Anderson, 2001). Seta memiliki daya lekat yang sangat kuat yang
membuat cacing dapat melekat pada permukaan benda . Daya lekat seta akan
berkurang ketika cacing tanah bergerak maju (Palungkun, 1999).
Secara ekologi populasi cacing tanah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu kelembaban, suhu, pH tanah, dan bahan organik tanah (Satchell, 1967 dalam
John, 1984). Rukmana (1999) mengemukakan bahwa kelembaban yang ideal untuk
cacing tanah berkisar antara 15%-50% dan kelembaban optimum berkisar antara
42%-60%. Kelembaban tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah akan
menyebabkan caing berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya kelembaban
tanah yang terlalu kering akan mengakibatkan cacing masuk ke dalam tanah dan
berhenti makan serta akhirnya mati.
Cacing tanah di daerah tropis secara umum ditemukan didalam tanah dengan
kedalaman tidak lebih dari 50 cm karena pada kedalaman itu sudah terdapat banyak
air di dalam tanah. Cacing tanah menyukai tanah dengak keadaan lembab, tidak
terlalu basah dan tidak terlalu kering. Tanah yang terlalu basah atau memiliki
kelembaban tinggi dapat mengakibatkan perubahan warna cacing tanah menjadi lebih
pucat dan mengkibatkan kematian. Sebaliknya apabila tanah terlalu kering, cacing
tanah akan masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya mati (Rukmana,
1999). Informasi yang diperoleh cacing tanah spesies baru yang berada di dusun
Loncek ditemukan dikedalamam ±1m. Hal ini berbeda dengan cacing pada
umumnya. Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
morfologi dari cacing tanah yang belum diketahui spesiesnya.
Cacing tanah yang diteliti ini merupakan jenis baru yang ditemukan di Dusun
Loncek Kecamatan Sungai Ambawang. Menurut informasi yang diperoleh cacing ini
baru dapat ditemukan dikedalaman ±1m dimana pada kedalaman 1m kondisi tanah
sudah basah karena kandungan air yang tinggi . Hal ini berbeda dengan cacing tanah
pada umumnya yang cenderung menjauhi tempat yang terdapat banyak air .
Rukmana (1999) mengemukakan bahwa pada kondisi tanah yang terlalu basah dapat
menyebabkan perubahan warna cacing tanah menjadi lebih pucat dan akhirnya mati.
Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang dapat diambil sebagai berikut :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui morfologi dan kondisi habitat dari
cacing tanah spesies baru di Dusun Loncek Kecamatan Sungai Ambawang. Hasil
penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian yang lebih
spesifik berkenaan cacing spesies baru ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Cacing tanah merupakan hewan tingkat rendah yang tidak memiliki tulang
belakang (avertebrata) dan bertubuh lunak Struktur tubuh cacing tanah terdiri
segmen-segmen yang berbentuk cincin (chaeta), yaitu struktur berbentuk rambut yang
berguna untuk memegang substrat dan bergerak. Setiap segmen memiliki seta kecuali
pada 2 segmen pertama. Seta adalah struktur seperti rambut yang berfungsi untuk
menggali substrat dan memegang pasangan saat kopulasi, serta sebagai alat gerak
cacing tanah (Edwards and Lofty 1977). Tipe seta dikelompokkan menjadi dua
berdasarkan jumlahnya pada tiap segmen tubuh cacing tanah, yaitu tipe Lumbricinae
dan tipe Perichaetin. Tipe Lumbricinae merupakan tipe seta di mana setiap segmen
tubuh cacing tanah hanya memiliki 4 pasang seta, sedangkan tipe Perichaetin
merupakan tipe seta yang tersusun atas lebih dari 8 seta tiap segmen tubuh (Segun,
1973). Cacing tanah memiliki organ peraba berbentuk seperti bibir yang disebut
prostomium. Cacing tanah bereaksi negatif terhadap sinar matahari maupun sinar
lainnya karena dapat membunuhnya hanya dalam waktu beberapa menit (Hickman et
al., 2001).
Cacing tanah dewasa memiliki klitelum yang terletak di bagian anterior tubuh.
Klitelum merupakan bagian kelenjar epidermis segmen tubuh yang mengalami
perkembangan, terdiri atas kelenjar epidermis yang menebal, terutama di bagian
dorsal dan lateral tubuh. Klitelum pada umumnya berwarna lebih cerah daripada
segmen lainnya (Edwards and Lofty 1977). Secara sistematik, cacing tanah bertubuh
tanpa kerangka yang tersusun oleh segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang
saling berhubungan, diselaputi oleh epidermis berupa kutikula berpigmen tipis dan
seta kecuali pada dua segmen pertama yaitu pada bagian mulut (Hanafiah, 2005).
Warna cacing tanah tergantung pada ada tidaknya dan jenis pigmen yang
dimilikinya. Sel atau butiran pigmen ini berada di dalam lapisan otot di bawah kulit.
Warna pada bagian dada dan perut umumnya lebih mudah daripada bagian lainnya,
kecuali pada Megascolex yang berpigmen gelap, berwarna sama. Cacing tanah yang
memiliki sedikit pigmen warna apabila berkulit transparan biasanya terlihat berwarna
merah atau pink. Apabila kutikula sangat iridescent, seperti pada Lumbricus dan
Dendrobaena maka terlihat biru (Hanafiah, 2005).
Berikut ini adalah beberapa spesies cacing tanah serta morfologinya, yaitu:
a. Pontoscolex corethrurus
Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar 135-120 mm, diameter
tubuh 2-4mm, dan jumlah segmen berkisar 83-125 segmen. Warna bagian dorsal
cokelat kekuningan dan bagian ventral berwarna abu-abu keputihan. Warna ujung
anterior kekuningan dan bagian posterior berwarna cokelat kekuningan. Prostomium
Prolubus atau epilobus dengan satu segmen dapat ditarik kembali. Seta kecil
berlekuk-lekuk dan membentuk garis melintang. Seta bagian anterior tidak jelas tapi
bagian posterior terlihat jelas. Seta biasanya sekitar segmen 10-12 sangan jelas dan
lebar. Klitelium berbentuk pelana mulai dari segmen 14-20 (Dindal, 1990).
b. Pheretima sp.
Cacing tanah ini memiliki panjang tubuh berkisar 115-140mm, diameter
tubuh 5-6mm, dan jumlah segmen berkisar 125-145 segmen. Warna tubuh bagian
dorsal cokelat keunguan, bagian ventral berwarna abu-abu keputihan. Warna ujung
anterior cokelat kekuningan, dimulai pada segmen 14-16, memiliki seta, bagian
dorsal dan ventral tidak menebal. Seta bagian anterior dari ventral terlihat jelas
(Dindal, 1990).
c. Megascolex sp.
Cacing ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 55-123 mm, diameter 3-4
mm, dan jumlah segmen antara 134-178. Warna bagian dorsal merah keunguan,
bagian ventral pucat atau cokelat keputihan. Warna ujung anterior cokelat keputihan
dan ujung posterior abu-abu cokelat. Prostomium epilobus, segmen pertamanya tidak
jelas tertarik ke dalam. Klitelium berbentuk cincin dan tidak membengkak,
segmennya jelas serta mengkilap, berwarna kemerahan (Suin, 1994).
Menurut Rukmana (1999) kelembaban yang ideal untuk cacing tanah berkisar
15-50% dan kelembaban optimum berkisar 42-60%. Tanah yang terlalu basah atau
memiliki kelembaban tinggi dapat mengakibatkan perubahan warna cacing tanah
menjadi lebih pucat dan mengkibatkan kematian. Sebaliknya apabila tanah terlalu
kering, cacing tanah akan masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya
mati.
b. Suhu
Kelangsungan hidup hewan tanah sangat ditentukan oleh suhu tanah. Suhu
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mengakibatkan kematian pada hewan.
Suhu tanah umumnya berpengaruh terhadap pertumbuhan , reproduksi dan
metabolism hewan tanah. Tiap spesies hewan masing-masing memiliki kisaran suhu
optimum (Odum, 1996).
c. pH
Populasi dan aktivitas cacing tanah sangat dipengaruhi oleh tingkat keasaman
tanah sehingga keasaman tanah menjadi faktor pembatas penyebaran cacing tanah.
pH yang baik untuk pertumbuhan cacing tanah sekitar 7,0 tetapi beberapa spesies dari
genus Megascolex dapat hidup pada kondisi tanah asam dengan pH 4,5 – 4,7
(Hanafiah, 2005).
Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tahan, karena itu pH
merupakan faktor pembatas yang menentukan jumlah spesies yang terdapat disuatu
habitat. Penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan cacing tanah
menyukai pH tanah berkisar 5,8-7,2 karena pada kondisi ini bakteri didalam cacing
tanah dapat bekerja optimal melakukan pembusukan (Edwards and Lofty, 1997).
d. Bahan Organik
e. Vegetasi
Suin (1982) menyatakan bahwa cacing tanah banyak ditemukan pada kondisi
tanah dengan vegetasi dasarnya rapat, karena banyak sumber makanan yang
ditemukan di serasah. Jenis maupun kualitas vegetasi yang terdapat di suatu habitat
sangat menentukan keragaman dan kepadatan populasi cacing tanah (Edwards and
Lofty, 1997).
III. METODE PENELITIAN
Penelitian direncanakan selama satu bulan pada bulan April hingga mei 2015.
Pengambilan sampel cacing tanah dilakukan di hutan dekat pemukiman warga Dusun
Loncek Kecamatan Sungai Ambawang. Identifikasi dilakukan di Laboratorium
Zoology FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak. Analisis tanah dilakukan di
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Tanjungpura Pontianak.
Faktor yang akan diamati dalam penelitian ini adalah karakter morfologi
yang meliputi ukuran tubuh, jumlah segmen, bentuk dan warna tubuh, tipe seta, letak
dan bentuk klitelium, tubercula pubertatis (TP) dan genital tumescence (GT).
3.3 Alat dan Bahan
3.5.3 Identifikasi
Dindal, D.L 1990, Soil Biology Guide, A Willy Interscience Pub, John Wiley and
Sons, New York, Chicester, Brisbane, Toronto, Singapore
Edward, C.H and J.R. Lofty 1977, Biology of Earthworn. London. Chapman and Hall
hal: 77-89
Hanafiah, K.A. 2005, Biologi Tanah, Ekologi dan Makrobiologi Tanah, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Hegner, R.W. & J.G Engeman. 1978, Invertebrate Zoology, Mac Milan, New York,
ha: 616
Lee, K.E. 1985, Earthworm. Their Ecology and Relationship with Soil and Land Use.
Academic Press, Australia, hal. 38-59
Odum, E.P. 1996, Dasar-Dasar Ekologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hal 137-190
Palungkun, R.1999, Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus, PT. Penebar
Swadaya, Bogor
Paoletti, M. G. 1999, The Role of Earthworm for Assessment of Sustainability and
As Bioindicators, Journal of Agriculture, Ecosytems and Environment. 74:
137-155
Rouse, G. and D.T. Anderson, D. T. 2001, Invertebrate Zoology, Second edition,
Oxford University Press, Oxford
Rukmana, R. 1999, Budidaya Cacing Tanah. Kanisius, Yogyakarta
Suin, N.M. 1994, Pemanfaatan Cacing Tanah pada Onggokan Sampah dan Tanah
Sekitarnya (Laporan Penelitian), Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaan
Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Andalas. Padang, Hal: 1-9
Wallwork, J.A. 1970, Ecology of Soil Animal, London: Mc.Graw Hill Book Company