Analisis Rangkaian Listrik Jilid 3 0812
Analisis Rangkaian Listrik Jilid 3 0812
Analisis
Rangkaian Listrik
Jilid 3
(Rangkaian Piranti Sistem Tenaga)
ii
Analisis
Rangkaian Listrrik
Jilid 3
Rangkaian Piranti Sistem Tenaga
(pembebanan seimbang, non-linier, tak-seimbang)
oleh
Sudaryatno Sudirham
i
Hak cipta pada penulis.
SUDIRHAM, SUDARYATNO
Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
(Analisis Keadaan Mantap Pembebanan Seimbang,
Tak Seimbang, Non Linier)
Darpublic, Kanayakan D-30, Bandung, 40135.
ii
Pengantar
Penulis.
iii
Darpublic
Kanayakan D-30, Bandung, 40135
Selain Buku-e, di
www.ee-cafe.org
tersedia juga open course
dalam format .ppsx beranimasi dan .pdf
iv
Daftar Isi
Pengantar iii
Daftar Isi v
Bab 1: Rangkaian Magnetik 1
Hukum-Hukum. Perhitungan Pada Rangkaian Magnetik.
Rugi-Rugi dalam Rangkaian Magnetik. Gaya Magnetik.
Induktor.
Bab 2: Transformator 25
Transformator Satu Fasa. Teori Operasi Transformator.
Diagram Fasor. Rangkaian Ekivalen. Impedansi Masukan.
Penentuan Parameter Transformator. Efisiensi dan Regulasi
Tegangan. Konstruksi Transformator. Transformator Pada
Sistem Tiga Fasa.
Bab 3: Mesin Sikron 45
Mesin Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor Silindris.
Rangkaian Ekivalen
Bab 4: Motor Asinkron 65
Konstruksi Dan Cara Kerja. Rangkaian Ekivalen.
Penentuan Parameter Rangkaian. Torka.
Bab 5: Pembebanan Seimbang – Sistem Polifasa 85
Sumber Tiga Fasa Seimbang dan Sambungan ke Beban.
Daya Pada Sistem Tiga Fasa Seimbang. Model Satu Fasa
Sistem Tiga Fasa Seimbang. Sistem Enam Fasa Seimbang.
Bab 6: Saluran Transmisi 99
Sistem Tiga Fasa Empat Kawat. Impedansi. Admitansi.
Persamaan Saluran Transmisi. Rangkaian Ekivalen π.
Bab 7: Pembebanan Nonlinier (Analisis di Kawasan Waktu) 111
Sinyal Nonsinus. Elemen Linier Dengan Sinyal Nonsinus.
Daya Pada Sinyal Nonsinus. Resonansi. Pembebanan
Nonlinier Dilihat Dari Sisi Beban. Pembebenan Nonlinier
Dilihat Dari Sisi Sumber. Kasus Penyearah Setengah
Gelombang. Perambatan Harmonisa. Ukuran distorsi
Harmonisa.
v
Bab 8: Pembebanan Nonlinier (Analisis di Kawasan Fasor) 143
Pernyataan Sinyal Sinus Dalam Fasor. Impedansi. Nilai
Efektif. Sumber Tegangan Sinus Dengan Beban Nonlinier.
Contoh-contoh Perhitrungan. Transfer Daya. Kompensasi
Daya Reaktif.
Bab 9: Pembebanan Nonlinier Sistem Tiga Fasa dan Dampak
Pada Piranti 175
Komponen Harmonisa Pada Sistem Tiga Fasa. Relasi
Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-Netral. Hubungan Sumber
dan Beban. Sumber Bekerja Paralel. Penyaluran Energi ke
Beban. Rangkaian Ekivalen Untuk Analisis. Dampak
Harmonisa Pada Piranti.
Bab 10: Pembebanan Tak Seimbang 211
Pernyataan Komponen Simetris. Mencari Komponen
Simetris. Impedansi dan Rangkaian Urutan. Daya Pada
Sistem Tak Seimbang. Sistem Per-Unit. Sistem Tiga Fasa
Dalam Per-Unit.
Daftar Pustaka 229
Biodata Penulis 230
Indeks 231
vi
Rangkaian Magnetik
1. 1. Hukum-Hukum
Hukum Faraday. Pada 1831 Faraday (1791-1867) menunjukkan bahwa
gejala listrik dapat dibangkitkan dari magnet. Dari kumpulan catatan
hasil percobaan yang dilakukan oleh Faraday, suatu formulasi matematis
telah diturunkan untuk menyatakan hukum Faraday, yaitu :
dλ
e=− (1.1)
dt
dengan e menunjukkan tegangan induksi [volt] pada suatu kumparan,
dan λ adalah fluksi lingkup yang dicakup oleh kumparan. Jika kumparan
mempunyai N lilitan dan setiap lilitan mencakup fluksi magnit sebesar φ
[weber], maka fluksi lingkup adalah λ = Nφ [weber-lilitan] dan (1.1)
menjadi
dφ
e = −N (1.2)
dt
1
Rangkaian Magnetik
Tanda negatif pada (1.1) diberikan oleh Emil Lenz, yang setelah
melanjutkan percobaan Faraday menunjukkan bahwa arah arus induksi
selalu sedemikian rupa sehingga terjadi perlawanan terhadap aksi yang
menimbulkannya. Reaksi demikian ini disebut hukum Lenz.
Persamaan (1.5) ini berlaku jika kedua kawat adalah sebidang. Jika
kawat ke-dua membentuk sudut θ dengan kawat pertama maka (1.5)
menjadi
F = BlI1 sin θ (1.6)
[newton]
Menurut (1.5), satuan B adalah : [ B] =
[amp] × [meter ]
µ 0 = 4π × 10 −7 (1.8)
[henry ]
dengan satuan . Hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.
[meter ]
[volt ] [detik ]
karena = [henry ] yaitu satuan induktansi.
[amp]
3
Rangkaian Magnetik
∫ Hdl = Fm (1.11)
5
Rangkaian Magnetik
b). Karena jumlah lilitan adalah 100, maka besar arus yang harus
mengalir di belitan untuk memperoleh Fm total sebesar 17 AT adalah
17
I= = 0.17 A
100
1.75
1.5
1
Medium silicon sheet
0.75 steel
0.25
Cast iron
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
H [ampre-turn / meter]
Gb.1.1. Kurva B − H beberapa material magnetik.
Pemahaman :
Dalam pemecahan persoalan di atas, karakteristik medium tidak
dinyatakan oleh permeabilitas medium, melainkan oleh karak-
teristik B-H dari masing-masing material. Kita lihat dari kutipan
kurva B-H Gb.1.1, bahwa hubungan antara B dan H adalah tidak
linier. Apabila kita menginginkan gambaran mengenai besarnya
permeabilitas masing-masing material, kita dapat menghitungnya
sebagai berikut.
Permeabilitas dari material a dan b masing-masing pada titik
operasi ini adalah
Ba 0.6 µ 0.06
µa = = = 0.06 henry/meter → µ r a = a = = 47740
Ha 10 µ 0 4π × 10−7
B 0.6 µ 0.0092
µb = b = = 0.0092 henry/meter → µ r b = b = = 7340
Hb 65 µ0 4π × 10−7
7
Rangkaian Magnetik
Fm a 4 Fm b 13
ℜa = = ≈ 6670 ; ℜb = = ≈ 21670
φ 0.6 × 0.001 φ 0.6 × 0.001
Contoh-1.2 :
9
Rangkaian Magnetik
a b c
0.15 m
d
f e
0.15 m 0.15 m
Penyelesaian :
Rangkaian magnetik ini mempunyai tiga cabang, yaitu
efab dengan reluktansi ℜ1;
be dengan reluktansi ℜ2 dan
bcde dengan reluktansi ℜ3.
Rangkaian ekivalen dari rangkaian magnetik ini dapat digambarkan
seperti di bawah ini.
ℜ1
Fm ℜ2 ℜ3
Fm 2 Fm3 36
H2 = = = = 240 AT/m
Lbe L be 0.15
Luas penampang kaki kiri adalah 0.002 m2, sama dengan kaki
kanan. Kerapatan fluksinya adalah
φ1 0.0023
B1 = = = 1.15 tesla
0.002 0.002
11
Rangkaian Magnetik
Fm = H × Labcdefa = 80 × (6 × 0.15) = 72 AT
Pemahaman :
Dengan menghilangkan kaki tengah, mmf yang diperlukan menjadi
lebih kecil. Bagaimanakah jika kaki tengah diperbesar luas
penampangnya ?
Memperbesar penampang kaki tengah tidak mempengaruhi
kerapatan fluksi di kaki ini sebab Fm3 tetap harus muncul di kaki
tengah. H2 tak berubah, yaitu H2 = Fm3/Lbe = 240 AT/m dan B2 juga
tetap 1.125 tesla. Jika penampang kaki tengah diperbesar, φ2 akan
bertambah sehingga φ1 juga bertambah. Hal ini menyebabkan naik-
nya B1 yang berarti naiknya H1 sehingga Fm1 akan bertambah pula.
Dengan demikian Fm total akan lebih besar. Penjelasan ini
menunjukkan seolah-olah kaki tengah berlaku sebagai “pembocor”
fluksi. Makin besar kebocoran, makin besar mmf yang diperlukan.
B [tesla]
d b
c
H [AT/m]
0
a
e
13
Rangkaian Magnetik
joule
Ph = wh f v = wh f v [watt] (1.17)
det ik
Untuk menghindari perhitungan luas loop histerisis, Steinmetz
memberikan formula empiris untuk rugi daya histerisis sebagai
Ph = v f ( K h Bmn ) (1.18)
Pe = K e f 2
Bm2 τ 2 v watt (1.19)
B B
B1 b a
H 0 H1 H
a) b)
Gb.1.3. Linierisasi Kurva B-H.
Jika kita menaikkan H dari 0 ke H1, maka B naik dari 0 ke B1. Luas
bidang 0ab0 menyatakan kerapatan energi yang tersimpan dalam
material, dan besarnya adalah
1
w f = B1 H 1 joule/m 3
2
Secara umum, dengan medan magnetik sebesar H dalam suatu material
akan terdapat kerapatan simpanan energi sebesar
1
wf = BH joule/m 3 (1.20)
2
Perhatikan bahwa (1.20) kita peroleh setelah kita melakukan linierisasi
kurva B-H.
Karena (1.20) menunjukkan kerapatan energi, maka jika kita kalikan
dengan volume dari rangkaian magnetik kita akan mendapatkan energi
total yang tersimpan dalam rangkaian tersebut. Misalkan luas penampang
rangkaian A dan panjangnya L, maka energi total menjadi
1 1 1
W= BHAL = ( BA)( HL) = φFm joule (1.21)
2 2 2
Antara fluksi φ dan Fm terdapat hubungan φ = Fm / ℜ , sehingga (1.21)
dapat juga dituliskan
15
Rangkaian Magnetik
2
1 1 Fm 1 2
W= φFm = = φ ℜ joule (1.22)
2 2 ℜ 2
Untuk memahami timbulnya gaya magnetik, kita lakukan percobaan
dengan suatu rangkaian magnetik yang terdiri dari tiga bagian yaitu
gandar, celah udara, dan jangkar, seperti terlihat pada Gb.1.4.
R
+
Vs −
gandar
Lg
Lj x
jangkar
Gb.1.4. Rangkaian
magnetik dengan jangkar
W=
1 2
2
(
φ g ℜ g + φ u2 ℜ u + φ 2j ℜ j ) (1.23)
W=
1 2
2
( 1
)
φ ℜ g + ℜ u + ℜ j = φ 2 ℜ total
2
(1.24)
Lg Lj Lu
ℜ total = + + (1.25)
µg A µ jA µ0 A
17
Rangkaian Magnetik
dW j = Fx dx (1.26)
( )
(1.28)
1 Fm dℜ tot 1 2 dℜ tot
2
1 d 2 −1
→ Fx = − Fm ℜ tot = − =− φ
2 dx 2 ℜ tot
2 dx 2 dx
Dengan persamaan (1.28) ini kita dapat menghitung gaya mekanik pada
jangkar rele elektromekanik, plunger, dan lain-lain peralatan listrik yang
memanfaatkan gaya magnetik.
1.5. Induktor
Perhatikan rangkaian induktor (Gb.1.5).
if
+ +
v1 ≈ e1 N1 φ
− −
di f
− v1 + e1 = 0 → v1 = e1 = L (1.29)
dt
Persamaan (1.29) adalah persamaan rangkaian listrik yang terdiri dari
sumber v1 dan beban induktor L. Tegangan e1 adalah tegangan jatuh
dφ di f
et = N 1 = e1 = L (1.31)
dt dt
Persamaan (1.31) menunjukkan bahwa φ dan if berubah secara
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus
if yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.
Arus if sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk
sinus. Jadi dalam sistem ini baik tegangan, arus maupun fluksi
mempunyai frekuensi sama dan dengan demikian konsep fasor dapat kita
gunakan untuk melakukan analisis pada sistem ini, yang merupakan
gabungan dari rangkaian listrik dan rangkaian magnetik. Jika resistansi
belitan diabaikan, persamaan (1.29) dan (1.31) dapat kita tulis dalam
bentuk fasor sebagai
E1 = jωLI f ; E t = jωN1Φ = E1 = jωL I f (1.32)
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor.
Dengan memperhatikan (1.32), diagram fasor tegangan , arus, dan fluksi
dari induktor tanpa memperhitungkan rugi-rugi inti dan resistansi belitan
adalah seperti pada Gb.1.6.a. dimana arus yang membangkitkan fluksi
yaitu Iφ sama dengan If.
19
Rangkaian Magnetik
E1 = E t Ic E1 = E t Ic E1 = E t
I f R1
I f = Iφ Iφ γ Iφ θ
If V1
If
Φ Φ Φ
a). ideal b). ada rugi-rugi inti c). ada resistansi belitan
Gb.1.6. Diagram fasor induktor
Dalam praktek, inti induktor tidaklah bebas dari rugi-rugi. Pada
pembebanan siklis (dalam hal ini secara sinus) rugi-rugi inti
menyebabkan fluksi yang dibangkitkan oleh if ketinggalan dari if sebesar
γ yang disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.1.6.b.
dimana arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ. Melihat kenyataan
ini, I f dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ yang
diperlukan untuk membangkitkan φ, dan I c yang diperlukan untuk
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = I c + I φ .
Komponen Ic merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan E1 akan
memberikan rugi-rugi inti
Pc = I c E1 = E1 I f cos(90 o − γ ) watt (1.33)
Apabila resistansi belitan tidak dapat diabaikan, maka V1 ≠ E1 . Misalkan
resistansi belitan adalah R1 , maka
V1 = E1 + I f R1 (1.34)
Diagram fasor dari keadaan terakhir ini diperlihatkan oleh Gb.1.6.c.
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, Pcu.
Jadi Pin = Pc + Pcu = Pc + I 2f R1 = V1 I f cos θ (1.35)
dengan V1 dan If adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.
dφ d N1i f N12 di f di f
N1 = N1 =
ℜ dt = L dt
dt dt ℜ
N12 µA
sehingga L= = N12 (1.36)
ℜ L
Induktansi Bersama. Jika pada induktor Gb.1.5. kita tambahkan belitan
kedua, maka pada belitan kedua ini akan diimbaskan tegangan oleh φ
seperti halnya pada belitan pertama. Besar tegangan imbas ini adalah
dφ d N1i f N 2 N1 di f
e2 = N 2 = N 2 = (1.37)
dt dt ℜ ℜ dt
Jika belitan kedua ini tidak dialiri arus (dalam keadaan terbuka), kita
tahu dari pembahasan di bab terdahulu mengenai induktansi bersama
bahwa
di2 di f di f
e 2 = L2 +M =M
dt dt dt
21
Rangkaian Magnetik
l 1000 × π × 10 −2
R=ρ = 0,0173 × 10 −6 [Ω.m] = 2,77 Ω
A π × (0,5 × 10 −3 ) 2 / 4
N 2 1000 2
L= = = 10 −2 H = 10 mH.
ℜ 10 8
Fluksi yang melingkupi kumparan yang lain 60% dari fluksi yang
dibangkitkan di salah satu kumparan. Reluktansi bersama adalah
ℜ 10 8
ℜM = = = 1,667 × 10 8
0.6 0,6
Induktansi bersama
N1 N 2 1000 × 1000
M = = = 0,6 × 10 −2 H = 6 mH
ℜM 1,667 × 10 8
23
Rangkaian Magnetik
Et E1
I f = Iφ
a). Induktor ideal. Φ
Ic
Et VL
γ
Iφ If
b). ada rugi-rugi inti Φ
Ic VL
Et
θ I f R1
Iφ Vs
If
c). ada resistansi belitan Φ
BAB 2 Transformator
2.1. Transformator Satu Fasa
Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam sistem
komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi audio
sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan. Kita
mengenal misalnya input transformers, interstage transformers, output
transformers pada rangkaian radio dan televisi. Transformator juga
dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk penyesuaian impedansi
agar tercapai transfer daya maksimum.
Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator
berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan transformator
tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat dilakukan dalam jarak
jauh dan susut daya pada jaringan dapat ditekan. Di jaringan distribusi
listrik banyak digunakan transformator penurun tegangan, dari tegangan
menengah 20 kV menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan
kantor-kantor pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada
umumnya merupakan transformator tiga fasa. Dalam pembahasan ini kita
akan melihat transformator satu fasa lebih dulu.
Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas
rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak ideal
sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan membahas
hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan dipelajari
secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesin-mesin listrik.
25
Transformator
+ +
Vs ≈ E1 N1 N2 E2
−
−
V1
Ic E1 = E 2 Ic
jI f X l
I f R1 φl E1 = E 2
Iφ V1 Iφ I f R1
If If
φ φ
27
Transformator
ini 90o mendahului φl1 (seperti halnya E1 90o mendahului φ) dan dapat
dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh ekivalen, E l1 , di rangkaian
primer dan dinyatakan sebagai
E l1 = jI f X 1 (2.6)
Vs ≈ φl1 φl2 V 2 RB
I f = I1 −
N2
N1
( ) I
I 2 = I1 − 2
a
(2.10)
29
Transformator
E 2 = V2 + I 2 R 2 + E l 2 = V2 + I 2 R 2 + jI 2 X 2
V1
jI1 X 1
E1
E 2 jI 2 X 2 I1 R1
I 2' I 2 V2 I 2 R 2
If
γ I1
φ Gb.2.5. Diagram fasor lengkap,
transformator berbeban resistif . a > 1
N1ωΦ m 500 2
V1 = = 500 → Φ m = = 0.00563 weber
2 400 × 2π × 50
0.00563
→ Kerapatan fluksi maksimum : Bm = = 0.94 weber/m 2
0.006
1000
Tegangan belitan sekunder adalah V2 = × 500 = 1250 V
400
V1 = E1 + I1R1 + jI1 X1 ; E2 = V2 + I 2 R2 + jI 2 X 2 ;
I1 = I f + I 2' (2.11)
N2 I
dengan I 2' = I2 = 2
N1 a
Dengan hubungan E1 = aE2 dan I′2 = I2/a maka persamaan ke-dua dari
(2.11) dapat ditulis sebagai
E1
= V2 + a I2′ R 2 + ja I2′ X 2
a
⇒ E1 = aV2 + I2′ (a 2 R 2 ) + j I2′ (a 2 X 2 ) = V2′ + I 2′ R 2′ + j I2′ X 2′ (2.12)
denganV 2′ = aV 2 ; R 2′ = a 2 R 2 ; X 2′ = a 2 X 2
Dengan (2.12) maka (2.11) menjadi
V1 = E1 + I1 R1 + jI1 X 1 ;
E1 = aV2 + I2′ R 2′ + j I2′ X 2′ ; (2.13)
I1 = I f + I2′
I 2' , R′2 , dan X′2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder yang
dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (2.13) dibangunlah rangkaian
ekivalen transformator seperti Gb.2.6. di bawah ini.
I1 I 2'
33
Transformator
I1 I 2'
V1
j I 2' X e
V 2′
I 2'
Gb.2.8. Rangkaian ekivalen transformator
disederhanakan dan diagram fasornya.
2.5. Impedansi Masukan Transformator
Resistansi beban B adalah RB = V2/I2. Dilihat dari sisi primer resistansi
tersebut menjadi
V 2′ aV 2 V
R B′ = = = a 2 2 = a 2 RB (2.14)
I 2′ I2 / a I2
34 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Transformator
35
Transformator
a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai Rc dan
Xφ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari tegangan
rendah, kita sebut Rcr dan Xφr.
Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat
sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah
penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.
37
Transformator
V LP V FP I I 3 1
= = a ; LP = FP = (2.27)
V LS V FP I LS I FS 3 a
U X
VUO VXO
V Y VUV = VUO
VXY = VXO
VVO VYO
VWO VZO
VWO VZO
VYO
Gb.2.11. Hubungan ∆-Y
41
Transformator
V LP V FP 3 I I 1
= = a ; LP = FP = (2.29)
V LS V FS 3 I LS I FS a
U X
VUO VXO
V Y
VVO VYO
VWO VZO
VWO
VUV VZO VXY
VUO VXO
VVO VYO
U X
VUO VXO
V Y
VVO VYO
VWO VZO
VWO
VUV
VXY = VXO
VZO
VUO
VYO
VVO
43
Transformator
Penyelesaian :
a). Untuk hubungan ∆-∆ :
V V 6600
V LS = V FS = FP = LP = = 550 V ;
a a 12
I
I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a LP 3 = 12 × 10 = 120 A.
3
b). Untuk hubungan Y-Y :
V V 3 6600
V LS = V FS 3 = FP 3 = LP = = 550 V ;
a 3 a 12
I LS == I FS = aI FP = aI LP = 12 × 10 = 120 A.
Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari
sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator
tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka
mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda
besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti
konversi energi dari energi elektrik ke energi listrik.
Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder
transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan
fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi
primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu
dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis;
cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari
energi mekanis ke energi elektrik atau disebut konversi energi
elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari
mekanis ke elektrik tetapi juga dari elektrik ke mekanis, dan
dilandasi oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum
Faraday dan hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini
dinyatakan dalam dua persamaan berikut
dλ dφ
e=− = −N dan F = K B B i f (θ)
dt dt
Persamaan pertama menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan
dan persamaan ke-dua menunjukkan bagaimana gaya mekanis
ditimbulkan.
Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat
luas digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut
generator sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat
yaitu konstruksi kutub tonjol dan konstruksi rotor silindris.
45
Mesin Sinkron
b22 S c22
c2 b2 a1 a11 φ φ
a22
a) b) c)
konstruksi kutub tonjol belitan fluksi magnetik
Gb.3.1. Mesin sinkron kutub tonjol
Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub
(dua pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran
rotor) sama dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan
antara sudut kisaran mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah
θ magnetik [derajat ] = 2 × θ mekanik [derajat ]
p
θ magnetik [derajat ] = × θ mekanik [derajat ] (3.1)
2
dengan p adalah jumlah kutub.
Kecepatan sudut mekanik adalah
dθ mekanik
ω mekanik = = 2π f mekanik (3.2)
dt
Frekuensi mekanik fmekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik
yang tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik.
Biasanya kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah
rotasi per menit (rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n
n n
rpm, maka jumlah siklus per detik adalah atau f mekanis =
60 60
siklus per detik.
Kecepatan sudut magnetik adalah
dθ magnetik
ω magnetik = = 2π f magnetik (3.3)
dt
Dengan hubungan (3.1) maka (3.3) menjadi
p p p n pn
ω magnetik = ω mekanik = 2π f mekanik = 2π = 2π
2 2 2 60 120
pn
yang berarti f magnetik = siklus per detik (3.4)
120
Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi
di setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi
pn
f magnetik = Hz maka tegangan pada belitanpun akan
120
mempunyai frekuensi
pn
f tegangan = Hz (3.5)
120
47
Mesin Sinkron
φs
a1 θ
49
Mesin Sinkron
dθmagnetik
dφs dφ d
dt
= =
dt dt
( )
φm cos θmagnetik = −φm sin θmagnetik
dt (3.10)
p n
= −φmωmagnetik sin θmmagnetik = −φm 2π sin θmagnetik
120
Pada pengenalan ini kita hanya melihat mesin sinkron kutub tonjol
dalam keadaan tak berbeban; analisis dalam keadaan berbeban akan
kita pelajari lebih lanjut pada pelajaran khusus mengenai mesin-
mesin listrik. Selanjutnya kita akan melihat mesin sinkron rotor
silindris.
51
Mesin Sinkron
Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2
× 66,6 = 133 V.
Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.
53
Mesin Sinkron
b1 U c1
c S b
a1
12000
11000 beban-nol
celah V=V(If )|I =0
10000 udara
9000 V=kI
Tegangan Fasa-Netral [V]
8000
Arus fasa [A]
7000
6000
hubung singkat
5000
I = I (If ) |V=0
4000
3000
2000
1000
00
0 50 100 150Arus
200 medan
250 300 350 400 450 500
[A]
Gb.3.4. Karakteristik beban-nol dan hubung
singkat.
55
Mesin Sinkron
a θ a
U
U
sumbu sumbu
emaks imaks
S S
a1 a1
(a) (b)
sumbu
sumbu magnet
magnet
Gb.3.5. Posisi rotor pada saat emaks dan imaks.
Gb.3.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di aa1
maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu
kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a1 adalah
maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang
dilingkupi oleh belitan aa1 adalah minimum. Sementara itu arus di
belitan aa1 belum maksimum karena beban induktif. Pada saat arus
mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat
pada Gb.3.5.b.
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut
magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama
dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan
mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang
akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini
maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan
keluaran mesin dipertahankan.
57
Mesin Sinkron
I fa = I f + I φa atau I f = I fa − I φa (3.16)
E aa
I f = I fa − I φa
I fa
γ Ea
− I φa
jI a X l
θ Va
I φa Ia I a Ra
dan I φa = I a / k i (3.17)
dengan kv dan ki adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan
kurva. Dari (3.7) dan Gb.3.6. kita peroleh
E I
I f = I fa − I φa = a ∠(90 o + γ ) + a ∠(180 o − θ)
kv ki
(3.18)
E I
= j a ∠γ − a ∠ − θ
kv ki
Dari (3.18) kita peroleh E aa yaitu
E I
E aa = − jk v I f = − jk v j a ∠γ − a ∠ − θ
kv ki (3.19)
kv kv
= E a ∠γ + j I a ∠ − θ = Ea + j Ia
ki ki
59
Mesin Sinkron
E aa = E a + jX φa I a = Va + I a (R a + jX l ) + jX φa I a
(3.21)
= Va + I a (R a + jX a )
I f = I fa − I φa
j I a X φa
I fa
γ Ea jI a X a
− I φa
jI a X l
θ Va
I φa Ia I a Ra
Gb.3.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;
reaktansi reaksi jangkar (Xφa) dan reaktansi sinkron (Xa).
Ra jXa +
+ Beban
− E aa Va
−
10 × 10 6
Arus jangkar per fasa : I a = = 418,4 A .
13800 × 3
61
Mesin Sinkron
k v 53,78
Reaktansi reaksi jangkar : X φa = = = 19,92 Ω
ki 2,7
E aa = Va + I a ( R a + jXa)
= 7967,4∠0 o + 418,4∠ − 36,87(0.08 + j 21.82)
≈ 7967,4∠0 o + 9129,5∠53,13 o = 13445,1 + j 7303,6
Persamaan (3.23) ini memberikan formulasi daya per fasa dan sudut
δ menentukan besarnya daya; oleh karena itu sudut δ disebut sudut
daya (power angle).
E aa
jI a X a
δ Va
θ
Ia
P1.1 generator
f
0
-180 -90 0 90 180
δ (o listrik)
-1.1
motor
Gb.3.10. Daya fungsi sudut daya.
Untuk 0 < δ < 180o daya bernilai positif, mesin beroperasi sebagai
generator yang memberikan daya. (Jangan dikacaukan oleh
konvensi pasif karena dalam menggambarkan diagram fasor untuk
mesin ini kita menggunakan ketentuan tegangan naik dan bukan
63
Mesin Sinkron
65
Motor Asinkron
melawan fluksi rotor; kejadian ini kita kenal sebagai reaksi jangkar.
Karena fluksi rotor adalah konstan tetapi berputar sesuai perputaran
rotor, maka fluksi reaksi jangkar juga harus berputar sesuai
perputaran fluksi rotor karena hanya dengan jalan itu hukum Lenz
dipenuhi. Jadi mengalirnya arus tiga fasa pada belitan rotor
membangkitkan fluksi konstan yang berputar. Sekarang, jika pada
belitan stator motor asinkron diinjeksikan arus tiga fasa (belitan
stator dihubungkan pada sumber tiga fasa) maka akan timbul fluksi
konstan berputar seperti layaknya fluksi konstan berputar pada
reaksi jangkar generator sinkron. Demikianlah bagaimana fluksi
berputar timbul jika belitan stator motor asikron dihubungkan ke
sumber tiga fasa.
Kita akan melihat pula secara skematis, bagaimana timbulnya fluksi
berputar. Untuk itu hubungan belitan stator kita gambarkan sebagai
tiga belitan terhubung Y yang berbeda posisi 120o mekanis satu
sama lain seperti terlihat pada Gb.4.2.a. Belitan-belitan itu masing-
masing dialiri arus ia , ib , dan ic yang berbeda fasa 120o elektrik
seperti ditunjukkan oleh Gb.4.2.b. Masing-masing belitan itu akan
membangkitkan fluksi yang berubah terhadap waktu sesuai dengan
arus yang mengalir padanya. Kita perhatikan situasi yang terjadi
pada beberapa titik waktu.
Perhatikan Gb.4.2. Pada t1 arus ia maksimum negatif dan arus ib = ic
positif. Ke-tiga arus ini masing-masing membangkitkan fluksi φa , φb
dan φc yang memberikan fluksi total φtot . Kejadian ini berubah pada
t2 , t3 , t4 dan seterusnya yang dari Gb.4.2. terlihat bahwa fluksi total
berputar seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa.
Peristiwa ini dikenal sebagai medan putar pada mesin asinkron.
Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi
antara jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran
sinkron sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu
p ns 120 f1
f1 = Hz atau n s = rpm (4.1)
120 p
a). b).
ic ic ic ic
ia ia ia ia
ib ib ib ib
φb φc
φa φtot φa φa φa
φtot
φc φb φc φb
φc φb
φtot φtot
t1 t2 t3 t4
67
Motor Asinkron
E1 E2
p ns
dengan Kw1 adalah faktor belitan stator, f == frekuensi
120
tegangan stator, φm adalah fluksi maksimum di celah udara, N1
adalah jumlah lilitan belitan stator.
Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan
imbas pada belitan rotor adalah
E 2 = 4,44 f N 2 K w2 φ m (4.4)
p ns
dengan Kw2 adalah faktor belitan rotor, f = = frekuensi
120
tegangan stator (karena rotor tidak berputar), φm adalah fluksi
maksimum di celah udara sama dengan fluksi yang mengibaskan
tegangan pada belitan stator, N2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.
Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka
terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (4.2). Frekuensi tegangan
imbas pada rotor menjadi
p ( n s − n) p s n s
f2 = = = s f Hz (4.5)
120 120
Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan
frekuensi stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut
frekuensi slip. Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan
berputar menjadi
E 22 = sE 2 (4.6)
Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (4.5) dan
(4.6) kita peroleh
E1 N K
= 1 w1 = a (4.7)
E 2 N 2 K w2
69
Motor Asinkron
I1
A
R1 jX1 If
Ic Iφ
V1 E1
Rc jXc
B
Gb.4.4. Rangkaian ekivalen stator.
Selain itu reaktansi bocor X1 pada motor jauh lebih besar karena
adanya celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan
dalam stator sedangkan pada transformator belitan terpusat pada
intinya. Tegangan E1 pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini
haruslah merefleksikan peristiwa yang terjadi di rotor.
71
Motor Asinkron
B′ B′
a) b)
I2 I2
A′ A′
R2 jX2 jX2
R2
E2
s E2 1− s
R2
s
B′ B′
c) d)
Gb.5.5. Pengembangan rangkaian ekivalen rotor.
Menurut (4.6) E22 = sE2 dimana E2 adalah tegangan rotor dengan
frekuensi sinkron ωs. Reaktansi rotor X22 dapat pula dinyatakan
dengan frekuensi sinkron; jika L2 adalah induktansi belitan rotor
(yang merupakan besaran konstan karena ditentukan oleh
konstruksinya) maka kita mempunyai hubungan
X 22 = ω 2 L2 = sω1 L2 = sX 2 (4.10)
sE2
I2 = (4.11)
R2 + jsX 2
Persamaan fasor tegangan dan arus rotor sekarang ini adalah pada
frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang
terlihat pada Gb.4.5.b. Tegangan pada terminal rotor A´B´ adalah
tegangan karena ada slip yang besarnya adalah sE2. Dari rangkaian
ini kita dapat menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor
per fasa, yaitu
Pcr = I 22 R2 (4.12)
73
Motor Asinkron
'
I1 A I2
R1 jX1 If jX 2'
R2'
V1 1− s
Rc jXc R2'
s
B
Gb.4.6. Rangkaian ekivalen lengkap motor asikron.
Aliran Daya. Aliran daya per fasa dalam motor asinkron dapat kita
baca dari rangkaian ekivalen sebagai berikut. Daya (riil) yang masuk
ke stator motor melalui tegangan V1 dan arus I1 digunakan untuk :
• mengatasi rugi tembaga stator : Pcs = I12 R1
• mengatasi rugi-rugi inti stator : Pinti
• daya masuk ke rotor, disebut daya celah udara
R'
Pg = ( I 2' ) 2 2, yang digunakan untuk
s
• mengatasi rugi-rugi tembaga rotor :
Pcr = ( I 2' ) 2 R2'
• memberikan daya mekanis rotor
1 − s
Pm = ( I 2' ) 2 R2'
, yang terdiri dari :
s
• daya untuk mengatasi rugi rotasi
(gesekan dan angin) : Protasi
• daya keluaran di poros rotor : Po.
Jadi urutan aliran daya secara singkat adalah :
Po = Pm − Protasi ; Pm = Pg − Pcr ;
Pg = Pin − Pinti − Pcs
75
Motor Asinkron
I1 jX e = jX1 + jX 2'
If Re = R1 + R2'
V1 1− s
Rc jXc R2'
s
Uji Rotor Diam. Uji ini analog dengan uji hubng singkat pada
transformator. Dalam uji ini belitan rotor di hubung singkat tetapi
rotor ditahan untuk tidak berputar. Karena slip s = 1, maka daya
mekanis keluaran adalah nol. Tegangan masuk pada stator dibuat
cukup rendah untuk membatasi arus rotor pada nilai yang tidak
melebihi nilai nominal. Selain itu, tegangan stator yang rendah
(antara 10 – 20 % nominal) membuat arus magnetisasi sangat kecil
sehingga dapat diabaikan. Rangkaian ekivalen dalam uji ini adalah
seperti pada Gb.4.8. Perhatikan bahwa kita mengambil tegangan
fasa-netral dalam rangkaian ekivalen ini.
I0 jX e = jX1 + jX 2'
Re = R1 + R2'
V fn
X e == Z e2 − Re2 = X 1 + X 2'
77
Motor Asinkron
Penyelesaian:
Dari rangkaian ekivalen, daya mekanik ekivalen adalah
1 − s
Pm = ( I 2' ) 2 R2' .
s
Pm dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor
dan rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah
daya keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui
900 W sehingga
Pm = 75000 + 900 = 75900 W
dan rugi-rugi tembaga rotor adalah
P s 75900 × 0,0375
Pcr = ( I 2' ) 2 R2' = m = = 2957 W
1− s 1 − 0,0375
Efisiensi motor adalah
Pkeluaran
η= ×100%
Pkeluaran + rugi − rugi
75000
= × 100%
75000 + 4200 + 2700 + 900 + 2957
= 87,45%
CONTOH-4.3 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga
fasa rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data
berikut: daya masuk Pd = 10 kW, arus saluran Id = 250 A, Vd =
65 Vdan pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R1
= 0,02 Ω per fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator.
Penyelesaian :
Menurut (4.17) kita dapat menghitung
Pd 10000
Re = = = 0,0533 Ω per fasa
3I d2 3 × (250) 2
b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan;
jadi arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap
arus eksitasi If .
Daya pada uji beban nol P0 = 670 = V0 I f cos θ 3
670
⇒ cos θ = = 0,19 lagging.
220 3 × 9,2
Jadi : I f = 9,2∠θ = 9,2∠ − 79 o .
79
Motor Asinkron
Rugi inti :
Pinti = P0 − 3 × I 02 R1 = 670 − 3 × 9,2 2 × 0,15 = 632 W
I1 jX e = j 3,14
I f R = 0,35
e
127∠0 R o 1− s
c jXc 0,2
V s
atau 3,65 %
e). Rugi rotasi = 500 W.
Daya keluaran sumbu rotor :
Po = Pm − Protasi = 7867 − 500 = 7367 W
P 7367
Efisiensi motor : η = o × 100% = × 100% = 80%
Pin 9150
4.4. Torka
Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya elektrik di stator
menjadi daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga
rotor, alih daya tersebut adalah sebesar daya celah udara Pg dan ini
memberikan torka yang kita sebut torka elektromagnetik dengan
perputaran sinkron. Jadi jika T adalah torka elektromagnetik maka
Pg
Pg = Tω s atau T = (4.18)
ωs
Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang
dibangkitkan pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol.
Besarnya arus rotor ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen
Gb.4.7. dengan s = 1 adalah
V1
I 2' = (4.19)
(R 1 + R2' ) + (X
2
1 + X2
'
)
2
Ta =
Pg
=
1
× 3 I 2' ( )
2
×
R2'
=
1 3V12 R2'
ωs ωs s ωs
(R
1 + R2' ) + (X
2
1 )2
+ X 2'
(4.20)
Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi
besar. Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi
dengan menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus.
Sudah barang tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka
asut. Persamaan (4.20) menunjukkan bahwa jika tegangan
dturunkan setengahnya, torka asut akan turun menjadi
seperempatnya.
81
Motor Asinkron
I1 j ( X1 + X 2' )
If R1
V1 Rc R2'
jXc
s
R2'
(
= R12 + X 1 + X 2' )
2
atau s m =
R2'
(4.21)
sm
R12 (
+ X1 + X 2'
2
)
Persamaan (4.21) memperlihatkan bahwa sm dapat diperbesar
dengan memperbesar R2' . Suatu motor dapat dirancang agar torka
asut mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai
resistansi rotor.
Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah
V1 V1
I 2' = =
( ) + (X )
2 2
( )
' 2 2
R + R2 + X + X '
2
R1 + R12 + X1 + X 2' 1+ X 2'
1 sm 1 2
V1
= (4.22)
2 R12 + 2 R1 R12 (
+ X1 + X 2') + 2(X
2
1+ X 2')2
Tm =
1
× 3 I 2'( )
2 R 2'
=
1 3 V12
(4.23)
ωs sm ωs
(
2
2 R1 + R12 + X 1 + X 2'
)
Persamaan (4.23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak
tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (4.21)
slip maksimum sm berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi
mengubah resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan
memberikan torka maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya
torka maksimum itu sendiri.
200
100
0
1 sm1 sm 0 slip
0 ns perputaran
Gb.4.10. Karakteristik torka – perputaran
83
Motor Asinkron
C VCN
+ VCN
−
− +
V AN
N A 120o
VBN +− VAN 120o
B V BN
a). Sumber terhubung Y b). Diagram fasor.
85
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
A C
≈ C A
≈ V AB A
VAN
B
B B
N
Gb.5.2. Sumber dan beban tiga fasa.
Tegangan fasa-fasa yaitu VAB , VBC , dan VCA yang fasor-fasornya adalah
V AB = V AN + V NB = V AN − VBN
VBC = VBN + V NC = V BN − VCN (5.2)
VCA = VCN + V NA = VCN − V AN
S 3 f = V ff I A 3∠θ (5.4)
P3 f = V ff I A 3 cos θ = S 3 f cos θ
(5.5)
Q3 f = V ff I A 3 sin θ = S 3 f sin θ
S 3 f = V ff I A 3 (5.6)
a). Dalam soal ini kita diminta untuk menggunakan tegangan VAN
sebagai referensi. Titik netral pada hubungan ∆ merupakan titik
fiktif; namun perlu kita ingat bahwa sumber mempunyai titik
netral yang nyata. Untuk memudahkan mencari hubungan fasor-
fasor tegangan, kita menggambarkan hubungan beban sesuai
dengan tegangan referensi yang diambil yaitu VAN..
Dengan menggambil VAN sebagai referensi maka tegangan fasa-
netral adalah
380
V AN = ∠0 o = 220∠0 o ; VBN = 220∠ − 120 o ;
3
VCN = 220∠ − 240 o
87
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
Im − VBN VAB
IB VCN
I CA
I AB θ
IA
I BC Re
θ V AN
I BC θ
IC I AB
I CA
V BN
V AB = V AN 3∠(θ AN + 30 o ) = 380∠30 o
VBC = 380∠ − 90 o
VCA = 380∠ − 210 o
Arus-arus fasa adalah
V AB 380∠30 o 380∠30 o
I AB = = = = 76∠ − 6,8 o A
Z 4 + j3 5∠36,8 o
I BC = 76∠ − 6,8 o − 120 o = 76∠ − 126,8 o A
I CA = 76∠ − 6,8 o − 240 o = 76∠ − 246,8 o A
dan arus-arus saluran adalah
Jika kita mengkaji ulang nilai P3f dan Q3f , dengan menghitung daya
yang diserap resistansi dan reaktansi beban, akan kita peroleh:
2
P3 f = 3 × R × I AB = 3 × 4 × (76) 2 = 69,3 kW
2
Q3 f = 3 × X × I AB = 3 × 3 × (76) 2 = 52 kVAR
Is Z = 2+j20 Ω IB
b 100 kW
Vs VB e
≈ b 4800 V
≈ a cosϕ = 0,9 lag
n
Penyelesaian :
Dalam persoalan ini, beban 100 kW dihubungkan pada jala-jala
4800 V, artinya tegangan beban harus 4800 V. Karena saluran antara
sumber dan beban mempunyai impedansi, maka sumber tidak hanya
memberikan daya ke beban saja, tetapi juga harus mengeluarkan
daya untuk mengatasi rugi-rugi di saluran. Sementara itu, arus yang
dikeluarkan oleh sumber harus sama dengan arus yang melalui
saluran dan sama pula dengan arus yang masuk ke beban, baik
beban terhubung Y ataupun ∆.
Daya beban :
100
PB = 100 kW = S B cos ϕ → SB = = 125 kVA
0,8
Q B = S B sin ϕ = 125 × 0,6 = 75 kVAR
⇒ S B = PB + jQ B = 100 + j 75 kVA
89
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
100
PB = V B I B cos ϕ 3 → I B = = 15 A
4800 × 0,8 × 3
Daya kompleks yang diserap saluran adalah tiga kali (karena ada
tiga kawat saluran) tegangan jatuh di saluran kali arus saluran
konjugat, atau tiga kali impedansi saluran kali pangkat dua besarnya
arus :
2
S sal = 3Vsal I *sal = 3Z I sal I *sal = 3Z I sal = 3ZI sal
2
Jadi
Dari daya total yang harus dikeluarkan oleh sumber ini kita dapat
menghitung tegangan sumber karena arus yang keluar dari sumber
harus sama dengan arus yang melalui saluran.
S S = VS I S 3 = VS I B 3
SS 134,5 × 1000
⇒ VS = = = 5180 V rms
IB 3 15 3
S 3φ = 3S f
V ff = V fn 3 (5.7)
I L = I f (beban terhubung Y)
dengan
S 3φ = daya 3 fasa, S f = daya satu fasa, V ff = tegangan fasa ke fasa
V fn = tegangan fasa ke netral, I L = arus saluran, I f = arus fasa.
91
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
S 3φ1 300
S f1 = = = 100 kVA
3 3
ϕ1 = cos −1 (0,8) = +36,9 o
(sudut fasa ini positif karena faktor daya lagging )
∗
S f1 100∠36,9
I1 = = = 72,2∠ − 36,9 o A
V An ∠0
o
1386∠0 o
S 3φ2 240
Sf2 = = = 80 kVA
3 3
ϕ 2 = cos −1 (0,6) = −53,1o
(sudut fasa ini negatif karena faktor daya leading )
Sf2 80∠ − 53,1o
I2 = = = 57,7∠ + 53,1o A
V AN ∠0 o
1386∠0 o
Impedansi ekivalen
V AN 1386∠0 o
Z1 = = = 19,2∠36,9
I1 72,2∠ - 36,9 o
= 15,36 + j11,52 Ω
V AN 1386∠0 o
Z2 = = = 24∠ − 53,1
I2 57,7∠ + 53,1o
= 14,4 − j19,2 Ω
V AN = 15,36 Ω 14,4 Ω
∼
1386 V j11,52 Ω − j19,2 Ω
b) Arus saluran
(urutan ABC)
I A + I B + I C + ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ +I N = 0 (5.9)
Daya kompleks total pada sistem N-fasa adalah jumlah daya dari
setiap fasa, yaitu:
SN = ∑ Vi I i∗ ; PN = ∑ Pi ; QN = ∑ Qi (5.10)
N N N
dengan Vi adalah tegangan fasa-netral dari penghantar fasa ke-i
dan I i adalah arus penghantar ke-i.
93
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
Jika beda sudut fasa antara dua fasa yang berturutan adalah θ maka
360 o
θ= (5.14)
N
Relasi antara tegangan fasa-fasa dan tegangan fasa adalah
Vij
Vij2 = 2V f2 − 2V f2 cos θ atau = 2(1 − cos θ) (5.15)
Vf
ZY Z∆
Hubungan bintang. Hubungan poligon.
Gb.5.8. Hubungan beban.
Z∆
⇒ = 2(1 − cos θ) (5.16)
ZY
N θ [o] Vij / V f Z∆ / ZY
95
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
V AN = V fn ∠0 o ;
VBN = V fn ∠ − 60 o ;
VCN = V fn ∠ − 120 o ;
(5.17)
VDN = V fn ∠ − 180 o ;
VEN = V fn ∠ − 240 o ;
VFN = V fn ∠ − 300 o ;
Im
VE VF
Ν
Re
VD θ 60ο VA
VC VB
V AB = V A − V B = V f ∠0 o − V f ∠ − 60 o = V f ∠60 o
VBC = VB − VC = V f ∠ − 60 o − V f ∠ − 120 o = V f ∠0 o
VCD = VC − VD = V f ∠ − 120 o − V f ∠ − 180 o = V f ∠ − 60 o
(5.18)
VDE = V f ∠ − 120 o
VEF = V f ∠ − 180 o
VFA = V f ∠ − 240 o
sebesar 900 kVA pada factor daya 0,8 lagging. Jika urutan fasa
adalah ABC…, hitunglah
a). arus saluran;
b). tegangan fasa-fasa V AE ;
c). impedansi ekivalen untuk hubungan bintang;
d). impedansi ekivalen untuk hubungan segi enam.
Penyelesaian:
a). Arus saluran:
Sf S 6 f / 6 900 / 6
IL = = = = 150 A
VA 1000 1
97
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
6.2. Impedansi
Tidak terlalu sulit untuk memahami bahwa masing-masing konduktor
mengandung resistansi sendiri yang per satuan panjang (per km
misalnya) kita sebut R A , R B , RC , dan R N . Kita pandang sekarang
bahwa masing-masing konduktor membentuk loop dengan konduktor
balik yaitu loop A - A ′ - N ′ - N , loop B - B ′ - N ′ - N , dan loop
C - C ′ - N ′ - N . Dengan pandangan ini maka dengan segera kita lihat
bahwa masing-masing loop memiliki induktansi sendiri yang
memberikan reaktansi sendiri. Antar loop terdapat kopling magnetik
yang menimbulkan induktansi bersama dan memberikan reaktansi
bersama. Kopling elektrik terjadi karena ada konduktor bersama yaitu
konduktor balik N, yang memberikan resistansi bersama RN.
Resistansi dan reaktansi sendiri memberikan impedansi sendiri per
satuan panjang, Z AA , Z BB , Z CC
Z AA = R A + R N + jX A
Z BB = R B + R N + jX B (6.1)
Z CC = RC + R N + jX C
Jika panjang saluran adalah d, maka untuk ketiga loop, sesuai dengan
Gb.6.1, terdapat relasi
V AA′ = V A − V A′ = d (I A Z AA + I B Z AB + I C Z AC )
VBB′ = VB − VB′ = d (I A Z AB + I B Z BB + I C Z BC ) (6.3.a)
VCC ′ = VC − VC′ = d (I A Z AC + I B Z BC + I C Z CC )
D D
D/ 3
D
Gb.6.2. Konfigurasi ∆ (equilateral).
Pada konfigurasi yang simetris ini induktansi bersama di ketiga fasa
sama besar, dan X AB = X BC = X CA = X m . Jika resistansi konduktor
fasa sama besar yaitu R A = R B = RC = R , dan impedansi sendiri juga
samabesar X A = X B = X C = X s , maka pada konfigurasi ∆ yang
simetris ini dapat kita peroleh
Z AB = Z BC = Z CA = Z m
(6.4)
Z AA = Z BB = Z CC = Z S
sehingga (6.3.b) dapat dituliskan:
101
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
V AA′ Z s Zm Z m I A
Z m I B
1
d V BB′ = Z m Zs (6.5)
VCC ′ Z m Zm Z s I C
D AN = D1 D AN = D 2 D AN = D3
D BN = D 2 D BN = D3 D BN = D1
DCN = D3 DCN = D1 DCN = D 2
Gb.6.3. Transposisi.
Dengan melakukan transposisi maka kita mendapatkan relasi sama
seperti pada konfigurasi ∆
V AA′ Z s Zm Z m I A
1
V BB′ = Z m Zs Z m I B (6.6)
d
VCC ′ Z m Zm Z s I C
Pada formulasi (6.8) ini, Ix adalah arus kapasitif per satuan panjang di
suatu posisi x di saluran transmisi, dan Vx adalah tegangan di posisi yang
sama. Kita ingat bahwa tegangan konduktor fasa menurun sepanjang
saluran transmisi dari ujung kirim ke ujung terima.
103
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
Vs V s + ∆x Vx Vr
Y∆ x V x
x
Gb.6.4 Model satu fasa saluran transmisi.
Saluran transmisi ini bertegangan Vs di ujung kirim dan Vr di ujung
terima. Kita tinjau satu posisi berjarak x dari ujung terima dan kita
perhatikan satu segmen kecil ∆x ke-arah ujung kirim. Pada segmen kecil
ini terjadi hal-hal berikut:
• Di posisi x terdapat tegangan Vx .
• Di posisi (x + ∆x) terdapat tegangan Vx + ∆x karena terjadi tegangan
jatuh ∆Vx = Z∆xI x . Di sini Z adalah impedansi per satuan
panjang, Z = Z AA − Z m .
• Arus I x mengalir dari x menuju ujung terima.
• Arus ∆I x = Y∆xVx mengalir di segmen ∆x (Y adalah admitansi per
satuan panjang).
• Arus I x + ∆x mengalir menuju titik (x + ∆x) dari arah ujung kirim.
d 2 Vx dI x d 2I x dV x
=Z dan =Y (6.10)
2 dx 2 dx
dx dx
Substitusi (6.9) ke (6.10) memberikan
d 2 Vx d 2I x
= ZYVx dan = ZYI x (6.11)
dx 2 dx 2
Konstanta Propagasi. Persamaan (6.11) ini telah menjadi sebuah
persamaan di mana ruas kiri dan kanan berisi peubah yang sama
(tegangan atau arus) sehingga solusi dapat dicari. Untuk mencari solusi
tersebut didefinisikan
γ 2 = ZY atau γ = ZY (6.12)
105
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
d 2 Vx d 2I x
− γ 2 Vx = 0 dan − γ 2I x = 0 (6.14.b)
2 2
dx dx
Solusi persamaan (6.14.b) adalah :
dVx
= k v1γe γx − k v 2 γe γx (6.15.b)
dx
dVx
sedangkan persamaan pertama (6.9) memberikan = ZI x
dx
sehingga (6.15.b) dan (6.9) memberikan
k v1γe γx − k v 2 γe γx = ZI x (6.15.c)
( )
ZY k v1e γx − k v 2 e γx = Z I x
atau
Z Z
k v1e γx − k v 2 e γx = Ix = Ix (6.15.d)
ZY Y
Perhatikan bahwa ruas paling kiri (6.15.d) adalah ruas kanan persamaan
(6.15.a), yaitu tegangan. Hal ini berarti bahwa ruas paling kanan juga
Z
berdimensi tegangan. Oleh karena itu di ruas paling kanan (6.15.c)
Y
haruslah berdimensi impedansi; impedansi ini disebut impedansi
karakteristik, Zc.
Z
Zc = (6.16)
Y
Perhatikan bahwa kita sedang meninjau satu segmen kecil dari suatu
saluran transmisi yaitu sepanjang ∆x; dan kita memperoleh suatu besaran
impedansi yaitu impedansi karakteristik, Zc. Kita dapat menduga bahwa
impedansi ini terasakan/terdapat di setiap segmen saluran transmisi dan
oleh karena itu dia menjadi karakteristik suatu saluran transmisi.
Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (6.15.d) kita tulis
menjadi
k v1e γx − k v 2 e γx = Z c I x (6.17)
Vx = k v1e γx + k v 2 e − γx
Z I + Vr γx Vr − Z c I r − γx
= c r e + e
2 2 (6.19)
e γx + e − γx e γx − e − γx
= Vr + ZcIr
2 2
= Vr cosh( γx) + Z c I r sinh(λx)
dI x
I x = k i1e γx + ki 2 e − γx → = ki1γe γx − ki 2 γe − γx = YVx
dx
(6.20.a)
1
→ ki1e γx − ki 2 e − γx = Vx
Zc
Untuk x = 0,
1
k i1 + k i 2 = I r k i1 − k i 2 = Vr
Zc
sehingga diperoleh
I + Vr / Z c I − Vr / Z c
k i1 = r ki 2 = r (6.20.b)
2 2
Dengan (6.20.b) ini kita peroleh
I + Vr / Z c γx I r − Vr / Z c − γx
Ix = r e + e
2 2
Vr e γx − e − γx e γx + e − γx
= + Ir (6.20.c)
Zc 2 2
Vr
= sinh( λx) + I r cosh( γx)
Zc
Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan
Vx = Vr cosh( γx) + Z c I r sinh( γx)
V (6.21)
I x = r sinh( γx) + I r cosh( γx)
Zc
Zt
Yt Yt
Vs Vr
2 2
Y ZY
Vs = Vr + Z t I r + t Vr = 1 + t t Vr + Z t I r (6.23.a)
2 2
Y Y Y Y Z Y
I s = I r + t Vr + t Vs = I r + t Vr + t 1 + t t Vr + Z t I r
2 2 2 2 2 (6.23.b)
Z t Yt Yt Z t Yt
= 2 + Vr + 1 + I r
2 2 2
109
Pembebanan Seimbang Sistem Poli Fasa
kita dapatkan
Z t Yt
1+ = cosh(γd )
2
Z t = Z c sinh( γd ) (6.25)
Z Y Y 1
2 + t t t = sinh( γd )
2 2 Zc
(e γd / 2 − e − γd / 2 ) × (e γd / 2 + e − γd / 2 )
=
Z c (e γ d / 2 + e − γ d / 2 ) 2
(e γd / 2 − e − γd / 2 ) 1 γd
= = tanh
γd / 2 − γd / 2
Z c (e +e ) Zc 2
Jadi dalam rangkaian ekivalen π
Yt 1 γd
Z t = Z c sinh( γd ) dan = tanh (6.26)
2 Zc 2
d = jarak antara ujung-terima dan ujung-kirim, Zc = impedansi
karakteristik.
111
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
2 T0 / 2
an =
T0 ∫−T / 2 y(t ) cos(nω0 t )dt
0
; n>0
2 T0 / 2
bn =
T0 ∫−T / 2 y(t ) sin(nω0 t )dt
0
; n>0
dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika luas bidang dalam
rentang satu perioda ini dikalikan dengan (1/T0), yang berarti dibagi
dengan T0, akan memberikan nilai rata-rata y(t) yaitu nilai komponen
searah a0.
T0 / 2
Integral ∫−T / 2 y(t ) cos(nω0t )dt
0
adalah luas bidang yang dibatasi oleh
q m
∫p f (t ) dt ≈ ∑ Lk (7.2)
k =1
2. Nilai ∆tk dipilih sedemikian rupa sehingga error yang terjadi masih
berada dalam batas-batas toleransi yang kita terima. Jika sinyal
diberikan dalam bentuk grafik, untuk mencari koefisien Fourier dari
harmonisa ke-n, satu perioda dibagi menjadi tidak kurang dari 10×n
segmen agar pembacaan cukup teliti dan error yang terjadi tidak
lebih dari 5%. Untuk harmonisa ke-5 misalnya, satu perioda dibagi
menjadi 50 segmen. Ketentuan ini tidaklah mutlak; kita dapat
memilih jumlah segmen sedemikian rupa sehingga pembacaan
mudah dilakukan namun cukup teliti.
3. Relasi untuk memperoleh nilai koefisien Fourier menjadi seperti
berikut:
113
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
m
[Ak + Ak −1 ]∆t k ∑ Lka0
∑
1
a0 = =
T0 2 T0
k =1
m
[Ak cos( nω 0 t ) + Ak −1 cos(nω 0 t k −1 )]∆t k ∑ Lkan
∑
2
an = =
T0 2 T0 / 2
k =1
m
[Ak sin( nω0 t ) + Ak −1 sin( nω 0 t k −1 )]∆t k ∑ Lkbn
∑
2
bn = =
T0 2 T0 / 2
k =1
(7.3)
4. Formula untuk sudut fasa adalah
b
ϕ n = tan −1 n
(7.4)
an
5. Perlu disadari bahwa angka-angka yang diperoleh pada pendekatan
numerik bisa berbeda dengan nilai yang diperoleh secara analitis.
Jika misalkan secara analitis seharusnya diperoleh a1 = 0 dan b1 =
150, pada pendekatan numerik mungkin diperoleh angka yang
sedikit menyimpang, misalnya a1 = 0,01 dan b1 = 150,2.
CONTOH-7.1:
200
y[volt]
150
100
50
0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0,014 0,016 0,018 0,02
-50 t[detik]
-100
-150
-200
115
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
(a) Tentukan arus yang mengalir pada kapasitor. (b) Jika C = 30 µF,
dan frekuensi f = 50 Hz, gambarkan (dengan bantuan komputer)
kurva tegangan dan arus kapasitor.
Penyelesaian:
dv
(a) Hubungan tegangan dan arus kapasitor adalah iC = C
dt
Oleh karena itu arus kapasitor adalah
50 2,5
iC
0 0
0 0.005 0.01 0.015 detik 0.02
-50 −2,5
-100 −5
-150
117
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
Nilai Rata-Rata. Sesuai dengan definisi untuk nilai rata-rata, nilai rata-
rata sinyal nonsinus y(t) dengan perioda T0 adalah
1 T
Yrr =
T0 ∫0 y(t )dt (7.6)
Nilai Efektif. Definisi nilai efektif sinyal periodik y(t) dengan perioda T0
adalah
1 T
Yrms =
T0 ∫0 y 2 (t )dt (7.7)
1 T Ym1
Y1rms = ∫0 Ym1 sin (ωt + θ)dt =
2 2 (7.8)
T0 2
∞
Nilai efektif sinyal nonsinus y (t ) = Y0 + ∑ Ymn sin(nω0 t + θ n ) adalah
n =1
2
∞
1 T
Yrms =
T0 0 ∫Y0 + ∑
Ymn sin(nω 0 t + θ n ) dt
n =1
T ∞
∑ Ymn2 sin 2 (nω0t + θ n ) dt
1 Y 2 +
Y 2 rms =
T0 ∫0 0
n =1
∞
2Y
0 ∑
Ymn sin( nω 0 t + θ n )
n =1
∞ (7.9)
∑
1 T + 2Ym1 sin(ω 0 t + θ1 ) Ymn sin(nω 0 t + θ n )
+
T0 0 ∫ n =2
dt
∞
∑
+ 2Ym 2 sin(2ω 0 t + θ 2 ) Ymn sin(nω 0 t + θ n )
n =3
+ .................................
dan karena Y0 bernilai tetap maka suku ke-dua ruas kanan (7.8)
merupakan penjumlahan nilai rata-rata fungsi sinus yang masing-masing
memiliki nilai rata-rata nol, sehingga suku ke-dua ini bernilai nol. Oleh
karena itu (7.9) dapat kita tulis
∞
1 T 2
Y 2 rms = ∫
T 0
Y0 + 2
Ynm ∑
sin 2 (nω 0 t + θ n ) dt
(7.10)
n =1
atau
t ∞ T
∑ T ∫0 Ynm2 sin 2 (nω0t + θn )dt
1 1
Y 2rms =
T ∫0 Y02dt +
n =1 (7.11)
∞
= Y02 + ∑ 2
Ynrms
n =1
119
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
Akan tetapi kita juga dapat memandang sinyal nonsinus sebagai terdiri
dari dua komponen saja, yaitu komponen fundamental dan komponen
harmonisa total di mana komponen yang kedua ini mencakup komponen
searah. Alasan untuk berbuat demikian ini adalah bahwa dalam proses
transfer energi, komponen searah dan harmonisa memiliki peran yang
sama; hal ini akan kita lihat kemudian. Dalam pembahasan selanjutnya
kita menggunakan cara pandang yang ke-dua ini. Dengan cara pandang
ini suatu sinyal nonsinus dinyatakan sebagai
y = y1 + y h (7.12)
(b) Uraian sinyal ini sampai harmonisa ke-7 adalah diberikan dalam
contoh di Bab-3, yaitu
v(t ) = 10 − 6,366 sin ω 0 t − 3,183 sin 2ω 0 t − 2,122 sin 3ω 0 t − 1,592 sin 4ω 0 t
− 1,273 sin 5ω 0 t − 1,061sin 6ω 0 t − 0,909 sin 7ω 0 t V
121
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
0,5
I1rms = = 0,354 A
2
1,257
Nilai efektifnya adalah: I1rms = = 0,89 A
2
b). Komponen tegangan ke-dua adalah v15 = 20 sin(1500πt ) V. Arus
yang diberikan oleh tegangan ini adalah
i15 = 20 × 10 −6 dv15 / dt = 20 × 10 −6 × 20 × 1500π sin 1500πt
= 1,885 cos 1500πt
1,885
Nilai efektifnya adalah: I15rms = = 1,33 A
2
c). Tegangan gabungan adalah
v = 200 sin(100πt ) + 20 sin(1500πt )
I rms = I 12rms + I 15
2
rms = 0,89 + 1,33 = 1,60 A
2 2
0
detik
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06
-1
-2
-3
-4
123
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
-400 −4
-600
200 2 + ω 2 20 2 + (0,3ω) 2
Vrms = + = 272 V
2 2
PRb = I Rbrms
2
× Rb = I12rms Rb + I hrms
2
Rb (7.14)
200
0
0 0.005 0.01 0.015 detik 0.02
-200
-400
125
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
PR = I rms
2
R = (1,42) 2 × 100 = 202 W.
Teorema Tellegen mengharuskan daya ini sama dengan daya
rata-rata yang diberikan oleh sumber, yaitu p = vi. Perhitungan
dengan pendekatan numerik memberikan nilai rata-rata p adalah
Prr = 202 W
(c) Kurva pR selalu positif; nilai rata-rata juga positif sebesar 202 W
yang berupa daya nyata. Pada kurva p ada bagian yang negatif
yang menunjukkan adanya daya reaktif; nilai rata-rata kurva p
ini sama dengan nilai rata-rata kurva pR yang menunjukkan
bagian nyata dari daya tampak.
25 1 0,25 26,25
I rms = + + = = 3,62 A
2 2 2 2
Daya nyata yang diserap resistor adalah
25 1 0,25
PR = I rms
2
R= + + × 20 = 262,5 W
2 2 2
50 Hz, (a) Tentukan persamaan arus total beban; (b) hitung daya
nyata yang diserap beban.
Penyelesaian:
(a). Arus total (i) adalah jumlah arus yang melalui resistor (iR) dan
kapasitor (iC).
v
i R = = sin ωt + 0,1 sin 3ωt
R
= 50 × 10 −6 (100ω cos ωt + 30ω cos 3ωt )
dv
iC = C
dt
Arus total beban:
i = sin ωt + 0,1 sin 3ωt + 0,005 cos ωt + 0.0015ω cos 3ωt
(b). Arus efektif melalui resistor
12 0,12
I Rrms = + = 0,71 A
2 2
Daya nyata yang diserap beban adalah daya yang diserap
resistor:
PR = 0,712 × 100 = 50 W
7.4. Resonansi
Karena sinyal nonsinus mengandung harmonisa dengan berbagai macam
frekuensi, maka ada kemungkinan salah satu frekuensi harmonisa
bertepatan dengan frekuensi resonansi dari rangkaian. Frekuensi
resonansi telah kita bahas di bab sebelumnya. Berikut ini kita akan
melihat gejala resonansi pada rangkaian karena adanya frekuensi
harmonisa.
CONTOH-7.9: Suatu generator 50 Hz dengan induktansi internal 0,025
H mencatu daya melalui kabel yang memiliki kapasitansi total
sebesar 5 µF. Dalam keadaan tak ada beban tersambung di ujung
kabel, tentukan frekuensi harmonisa sumber yang akan memberikan
resonansi.
Penyelesaian:
Frekuensi resonansi adalah
127
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
1 1
ωr = = = 2828,4
LC 0,025 × 5 × 10 −6
2828,4
fr = = 450 Hz
2π
Inilah frekuensi harmonisa ke-9.
129
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
Suku pertama persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol. Suku kedua
juga mempunyai nilai rata-rata nol karena yang berada dalam tanda
kurung pada (7.19) berbentuk fungsi cosinus.
∞
I
y = Vs ∑ 2n {cos((n + 1)ω0 t + θ n ) − cos((n − 1)ω0 t + θ n )}
n =2
yang memiliki nilai rata-rata nol. Hal ini berarti bahwa psh tidak
memberikan transfer energi netto.
Jadi secara umum daya yang diberikan oleh sumber pada pembebanan
nonlinier dapat kita tuliskan sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu
p s = p s1 + p sh (7.20)
Dari dua komponen daya ini hanya komponen fundamental, ps1, yang
memberikan transfer energi netto. Dengan kata lain hanya ps1 yang
memberikan daya nyata, yaitu sebesar
V s I1
Ps1 = cos θ1 = V srms I1rms cos θ1 (7.21)
2
dengan θ1 adalah beda susut fasa antara vs dan i1. Sementara itu Psh
merupakan daya reaktif.
Menurut teorema Tellegen, daya nyata yang diberikan oleh sumber harus
tepat sama dengan daya yang diterima oleh beban. Daya nyata yang
diterima oleh Rb adalah PRb , jadi daya nyata yang diberikan oleh sumber,
yaitu Ps1, haruslah diserap oleh Rb dan Rs.
vs R vR
a).
Vs
vs
vs
is iR
iR pR pR
0 ωt [o]
pR 0 90 180 270 360 450 540 630 720
b). −Vs
Gb.7.2. Penyearah setengah gelombang dengan beban resistif.
Arus penyearah setengah gelombang mempunyai nilai pada setengah
perioda pertama (yang positif); pada setengah perioda ke-dua, ia bernilai
nol. Uraian fungsi ini sampai dengan harmonisa ke-6adalah
Dalam rangkaian yang kita tinjau ini hanya ada satu sumber yang
mencatu daya hanya kepada satu beban. Pada waktu dioda konduksi,
arus sumber selalu sama dengan arus beban, karena mereka terhubung
seri; tegangan beban juga sama dengan tegangan sumber karena dioda
dianggap ideal sedangkan resistor memiliki karakteristik linier dan
bilateral. Pada waktu dioda tidak konduksi arus beban maupun arus
sumber sama dengan nol. Gb.7.2.b. memperlihatkan bahwa hanya kurva
tegangan sumber yang merupakan fungsi sinus; kurva arus dan daya
merupakan fungsi nonsinus.
Pada persamaan (7.22) arus fundamental dinyatakan dalam fungsi
cosinus yaitu
i1 = 0,5I m cos(ω 0 t − 1,57)
Fungsi ini tidak lain adalah pergeseran 1,57 rad atau 90o ke arah positif
dari fungsi cosinus yang ekivalen dengan fungsi sinus
i1 = 0,5I m sin(ω 0 t )
P = I rms
2
(
Rb = I b21rms + I bhrms
2
)
× 3,8 = 9488 W ≈ 9,5 kW
Tak ada beda fasa antara tegangan sumber dan arus fundamentalnya.
Daya dikeluarkan oleh sumber adalah
380 50
Ps1 = V s rms I1s rms = × = 9,5 kW
2 2
Hasil perhitungan dari kedua sisi tinjauan adalah sama. Daya yang
diberikan oleh komponen fundamental sebagai fungsi waktu adalah
V I
p s1 = s 1 (1 − cos(2ω 0 t )
2
380 × 50
= (1 − cos(2ω 0 t ) = 19(1 − cos(2ω 0 t ) kW
2
Gb.7.3 memperlihatkan kurva ps1 pada Contoh-2.1 di atas. Kurva ps1
bervariasi sinusoidal namun selalu positif dengan nilai puncak 19 kW,
dan nilai rata-rata (yang merupakan daya nyata) sebesar setengah dari
nilai puncak yaitu 9,5 kW.
Kurva daya yang dikontribusikan oleh komponen searah, ps0 yaitu suku
pertama (7.19), dan komponen harmonisa psh2 yaitu suku ke-dua
persamaan (7.19), juga diperlihatkan dalam Gb.7.3. Kurva kedua
komponen daya ini simetris terhadap sumbu waktu yang berarti memiliki
nilai rata-rata nol. Dengan kata lain komponen searah dan komponen
harmonisa tidak memberikan daya nyata.
20000
ps1
W 15000
10000 ps0
5000
t [det]
0
-5000 0 0.005 0.01 0.015 0.02
psh2
-10000
-15000
133
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
Rs=0,2Ω Rb=3,8Ω
vs=380sinω0t
PRb = I rms
2
Rb = (33,59 2 + 33,54 2 ) × 3,8 = 8563 W
v s = 380 sin ω 0 t V
Tidak ada beda fasa antara vs dan is1. Daya nyata yang diberikan oleh
sumber adalah
380 47,5
Ps = v srms i1rms cos 0 o = × = 9025 W
2 2
Daya ini diserap oleh beban dan saluran. Daya yang diserap saluran
adalah
135
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
beban linier Ra dengan arus ia dan beban Rb yang dialiri arus nonlinier ib
= ib1 + ibh dengan ib1 adalah komponen fundamental dari ib dan ibh adalah
komponen harmonisa total dari ib.
Pada rangkaian sederhana ini, di sisi beban kita lihat bahwa aplikasi
Hukum Arus Kirchhoff di simpul A, yaitu simpul bersama dari kedua
beban, memberikan
(v A − v s ) / R s + v A / R a + (ib1 + ibh ) = 0
dan dari sini kita peroleh
Ra R s Ra
vA = vs − (ib1 + ibh ) (7.23)
R s + Ra Rs + Ra
137
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
5
v sTh = × 240 sin ω 0 t = 200 sin ω 0 t V ;
1+ 5
1× 5
R sTh = = 0,833 Ω
1+ 5
Setelah Rb dihubungkan pada rangkaian ekivalen Thévenin,
rangkaian menjadi
isTh A
ib=ib1+ibh
0,833Ω
vsTh = 5Ω
200sinω0t B
v A − vs v A 1 1 vs
+ + i Rb = 0 ⇒ v A + =
− i Rb
Rs Ra R s Ra Rs
Ra R s Ra
vA = vs − (ib1 + ibh )
R s + Ra R s + Ra
5 ×1
× (17,14 sin ω 0 t + ibh )
5
= × 240 sin ω 0 t −
6 6
5
= 185,71sin ω0 t − ibh V = v A1 − v Ah
6
185,71
⇒ V A1rms = = 131,32 V
2
54,29
→ ∆V s1rms = = 38,39 V
2
→ ∆V shrms = V Ahrms = 10,09 V
139
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
100
Crest factor adalah: c. f . = =2;
49,2
I 35,31
THDI adalah: THD I = hrms = ≈ 1 atau 100%
I1rms 50 / 2
Crest factor dan THD hanyalah tergantung bentuk dan tidak tergantung
dari nilai mutlak arus. Angka yang sama akan kita peroleh jika nilai
puncak arus hanya 1 ampere. Hal ini dapat dimengerti karena persamaan
arus secara umum adalah
141
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Waktu
nmaks
i (t ) = I m A0 + ∑ An cos( nω 0 t − ϕ n )
n =1
sehingga dalam perhitungan Irms, I1rms, dan Ihrms faktor Im akan
terhilangkan.
143
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
Im Im
V = A∠θ
V = A∠0 o
θ
Re Re
a). b).
Im
Re
V = A∠ − 90o
c).
Gb.7.1. Diagram fasor fungsi:
a) v(t ) = A cos(ωt + θ) ; b) v(t ) = A cos(ωt ) ; c) v(t ) = A sin( ωt ) .
Dalam meninjau sinyal nonsinus, kita tidak dapat menyatakan satu sinyal
nonsinus dengan menggunakan satu bentuk fasor tertentu karena
walaupun sistem yang kita tinjau beroperasi pada satu macam frekuensi
(50 Hz misalnya) namun arus dan tegangan yang kita hadapi
mengandung banyak frekuensi. Oleh karena itu satu sinyal nonsinus
terpaksa kita nyatakan dengan banyak fasor; masing-masing komponen
sinyal nonsinus memiliki frekuensi sendiri.
Selain dari pada itu, uraian sinyal sinyal nonsinus ke dalam komponen-
komponennya dilakukan melalui deret Fourier. Bentuk umum komponen
sinus sinyal ini adalah
i n (t ) = a n cos nωt + bn sin nωt
Mengacu pada Gb.7.1, diagram fasor komponen sinyal ini adalah seperti
pada Gb.7.2.
Im
an
θ Re
bn
In = an2 + bn2 ∠ − θ
Im
an an < 0, bn > 0
θ Re In lagging (900 − θ)
terhadap sinyal sinus
bn
In = an2 + bn2 ∠(180o + θ)
145
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
Perlu kita perhatikan bahwa pernyataan fasor dan diagram fasor yang
dikemukakan di atas menggunakan nilai puncak sinyal sebagai besar
fasor. Dalam analisis daya, diambil nilai efektif sebagai besar fasor. Oleh
karena itu kita perlu memperhatikan apakah spektrum amplitudo sinyal
nonsinus diberikan dalam nilai efektif atau nilai puncak.
I2 I4
I1
I1 I2 I4
147
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
Vs
7.2. Impedansi
Karena setiap komponen harmonisa memiliki frekuensi berbeda maka
pada satu cabang rangkaian yang mengandung elemen dinamis akan
terjadi impedansi yang berbeda untuk setiap komponen. Setiap
komponen harmonisa dari arus nonsinus yang mengalir pada satu cabang
rangkaian dengan elemen dinamis akan mengakibatkan tegangan
berbeda.
X C1 = 1 /(2π × 50 × 20 × 10 −6 ) = 159,15 →
Z1 = 5 2 + 159,15 2 = 159,23 Ω
148 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
dengan
Y1rms : nilai efektif komponen fundamental.
Yhrms : nilai efektif komponen harmonisa total.
149
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
Pb = I brms
2
(
Rb = I b21rms + I bhrms
2
)Rb W (7.4)
di mana I b1rms adalah arus efektif fundamental dan I bhrms adalah arus
efektif harmonisa total.
Sisi Sumber. Dilihat dari sisi sumber, daya nyata dikirimkan melalui
komponen fundamental. Komponen arus harmonisa sumber tidak
memberikan transfer energi netto.
Ps1 = V srms I1rms cosϕ1 W (7.5)
ϕ1 adalah beda sudut fasa antara tegangan dan arus fundamental sumber,
dan cosϕ1 adalah faktor daya pada komponen fundamental yang disebut
displacement power factor.
Seperti halnya dengan daya kompleks, impedansi beban hanya dapat kita
hitung besarnya dengan relasi (3.6) akan tetapi tidak dinyatakan dalam
format kompleks seperti (a + jb).
Daya nyata yang diserap beban sama dengan daya yang diserap
Rb karena hanya Rb yang menyerap daya nyata.
PRb = I brms
2
Rb = 14,68 2 × 10 = 2154 W
(b) Impedansi beban adalah rasio antara tegangan efektif dan arus
efektif beban.
Vbrms 100 5
Z beban = = = 15,24 Ω
I brms 14,68
(c) Faktor daya beban adalah rasio antara daya nyata dan daya
kompleks yang diserap beban. Daya kompleks yang diserap
beban adalah:
X L1 = 2π × 50 × 4 × 10 −3 = 1,26 Ω
153
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
V 106
Arus efektif fundamental I1rms = 1rms = = 20,57 A
Z1 5,16
P 2083
Faktor daya komponen fundamental f.d.1 = 1 = = 0,97
S1 2182
2
Q1 = S1 − P12 = 2182 2 − 20832 = 531,9 VAR
V3rms 21,21
I3rms = = = 3,39 A ;
Z3 6,26
V5 rms 3,54
I 5rms = = = 0,44 A
Z5 8,03
(c) Daya nyata total yang diberikan ke beban adalah jumlah daya
nyata dari masing-masing komponen harmonisa (kita ingat
komponen-komponen harmonisa secara bersama-sama mewakili
satu sumber)
( )
Pb = P1 + P3 + P5 = I12rms + I 32rms + I 52rms × R = 2174 W
( )
= I12rms R + I 32rms + I 52rms R = I12rms R + I hrms
2
R
Tegangan efektif beban
150 2 30 2 5 2
Vbrms = + + = 108,22 V
2 2 2
Arus efektif beban
Daya reaktif beban Qb tidak bisa kita hitung dengan cara seperti
menghitung Q1 karena kita tidak bisa menggambarkan segitiga
daya-nya. Oleh karena itu kita akan mencoba memperlakukan
komponen harmonisa sama seperti kita memperlakukan
komponen fundamental dengan menghitung daya reaktif
sebagai Qn = I nrms
2
X n dan kemudian menjumlahkan daya
reaktif Qn untuk memperoleh daya reaktif ke beban Qb.
Dengan cara ini maka untuk beban akan berlaku:
(
Qb = Q1 + Q3 + Q5 = I12rms X L1 + I 32rms X L3 + I 52rms X L5 )
Hasil perhitungan memberikan
Qb = Q1 + Q2 + Q3 = I12rms X L1 + I 32rms X L3 + I 52rms X L5
= 531,9 + 43,3 + 1,2 = 576,4 VAR
Perhatikan bahwa hasil perhitungan
Q1 = I12rms X L1 = 531,9 VAR sama dengan
2
Q1 = S1 − P12 = 531,9 VAR .
Jika untuk menghitung Qb kita paksakan menggunakan
formulasi segitiga daya, walaupun sesungguhnya kita tidak bisa
menggambarkan segitiga daya dan daya reaktif total komponen
hamonisa juga tidak didefinisikan, kita akan memperoleh
2
Qb = Sb − Pb2 = 2257 2 − 2174 2 = 604 VAR
lebih besar dari hasil yang diperoleh jika daya reaktif masing-
masing komponen harmonisa dihitung dengan formula
Qn = I nrms
2
Xn .
50 45.00
40
30.04
30
20
10 6.03
2.60 1.46 0.94
0
01 12 23 44 65 68 10
7
harmonisa
Spektrum yang amplitudo ini dihitung sampai harmonisa ke-
10, yang nilainya sudah mendekati 1% dari amplitudo arus
fundamental. Diharapkan error yang terjadi dalam
perhitungan tidak akan terlalu besar.
157
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
Pb = I rms
2
Rb = 70,67 2 × 10 = 50 kW
PRb1 = I12rms Rb = 50 2 × 10 = 25 kW
159
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
(d) Daya nyata yang diberikan sumber harus sama dengan daya
nyata yang diterima beban yaitu daya nyata yang diserap Rb
karena hanya Rb yang menyerap daya nyata
Ps = Pb = I rms
2
Rb = 69,4 2 × 10 = 48,17 kW
Ps 48170
f .d .1 = cos ϕ1 = = = 0,813
V srms I1rms 1000 × 59,25
I 36,14
(g) THD I = hrms = = 0,61 atau 61%
I1rms 59,25
161
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
Daya nyata yang dikirim sumber ini harus sama dengan yang
diterima resistor di rangkaian beban Pb = I rms
2
Rb = Ps . Dengan
demikian arus total adalah
I hrms = I rms
2
− I12rms = 70,7 2 − 59,25 2 = 38,63 A
38,63
THD I = = 0,65 atau 65%
59,25
Perbedaan-perbedaan hasil perhitungan antara Contoh-7.8 (hasil koreksi)
dan Contoh-7.7 telah kita duga sebelumnya sewaktu kita menampilkan
spektrum amplitudo yang hanya sampai pada harmonisa ke-11. Tampilan
spektrum ini berbeda dengan tampilan spektrum dalam kasus penyearah
setengah gelombang pada Contoh-7.6, yang juga hanya sampai hrmonisa
ke-10. Perbedaan antara keduanya terletak pada amplitudo harmonisa
terakhir; pada kasus saklar sinkron amplitudo harmonisa ke-11 masih
sekitar 10% dari amplitudo fundamentalnya, sedangkan pada kasus
penyearah setengah gelombang amplitudo ke-10 sudah sekitar 1% dari
ampltudo fundamentalnya.
Pada Contoh-7.8, jika kita menghitung daya nyata yang diterima resistor
hanya melalui komponen fundamental saja akan kita peroleh
163
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
sebagian daya nyata diterima secara langsung dari sumber oleh Rb , dan
sebagian diterima secara tidak langsung. Piranti yang ada di sisi beban
selain resistor adalah saklar sinkron ataupun penyearah yang merupakan
piranti-piranti pengubah arus; piranti pengubah arus ini tidak mungkin
menyerap daya nyata sebab jika demikian halnya maka piranti ini akan
menjadi sangat panas. Jadi piranti pengubah arus menyerap daya nyata
yang diberikan sumber melalui arus fundamental dan segera
meneruskannya ke resistor sehingga resistor menerima daya nyata total
sebesar yang dikirimkan oleh sumber. Dalam meneruskan daya nyata
tersebut, terjadi konversi arus dari frekuensi fundamental yang diberikan
oleh sumber menjadi frekuensi harmonisa menuju ke beban. Hal ini
dapat dilihat dari besar daya nyata yang diterima oleh Rb melalui arus
harmonisa sebesar
PRbh = I bhrms
2
R = ( I12rms + I bhrms
2
) × Rb .
Faktor daya komponen fundamental lebih kecil dari satu, f.d.1 < 1,
menunjukkan bahwa ada daya reaktif yang diberikan melalui arus
fundamental. Resistor tidak menyerap daya reaktif. Piranti selain resistor
hanyalah pengubah arus; oleh karena itu piranti yang harus menyerap
daya reaktif adalah pengubah arus. Dengan demikian, pengubah arus
menyerap daya reaktif dan daya nyata. Daya nyata diteruskan ke resistor
dengan mengubahnya menjadi komponen harmonisa, daya reaktif
ditransfer ulang-alik ke rangkaian sumber.
iC iRb
vs
∼ C
Rb
f.d.1 = 0,844;
P1 = 59,25 × 0,844 = 50 kW
2
Qs1 = S − P12 = 31,75 kVAR
165
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
Q s1 = V srms
2
× Z C = V srms
2
/ ωC
Q s1 31000
→C = = = 99 µF ; kita tetapkan 100 µF
V srms ω 1000 2 × 100π
Dengan C = 100 µF, daya reaktif yang bisa diberikan adalah
32,4o
I1 I1cos32,4o
Vs
-200
-300
167
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
iC iR
vs C R
80
70.71
A 70
60
50 45.00
40
30.04
30
20
10 6.03
2.60 1.46 0.94
0
01 12 23 44 65 68 10
7 harmonisa
400
[V]
[A] vs/5
200
iR
0
0 0.01 iC 0.02 0.03 t [s]
-200
-400
169
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
400
[V] vs/5
[A] iR+iC
200
iR
0
iR
0 iC 0.01 0.02 0.03 t [s]
-200
-400
2
Vs 1000 2
QC = = = 10 6 ωC = 25 kVAR
ZC (1/ωC )
25000
Pada frekuensi 50 Hz C = = 79,6 µF .
10 6 × 100π
Kita tetapkan 80 µF
Arus kapasitor adalah
Vs 1000
IC = = = 25,13 A
Z 1 /(100π × 80 × 10 −6 )
171
Pembebanan Nonlinier – Analisis di Kawasan Fasor
f.d.sC = Ps / S sC = 50 / 75 = 0,67
300
V 200
A vs/5
100
iRb isC
0
0 0.005 iC 0.01 0.015 0.02
-100
-200
-300
90
79.14
80
70
A
60
50 45.00
40
30.04
30
20
10 6.03 2.60 1.46 0.94
0
01 12 32 44 65 68 7
10
harmonisa
300
V vs/5
A 200
isC
100
iRb
0
0 iC 0.005 0.01 0.015 0.02
-100
-200
-300
90
79.14
80
A 70
60
50 45.00
40
30.04
30
20
10 6.03
2.60 1.46 0.94
0
01 12 23 44 65 86 10
7
harmonisa
175
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
300
v1a v1b v1c
200
V
100
v3a v3b v3c
0 o
0 90 180 270 360 []
-100
-200
-300
Hal serupa terjadi pada harmonisa kelipatan tiga yang lain seperti
harmonisa ke-9. Satu siklus fundamental berisi 9 siklus harmonisa yang
berarti lebar satu siklus adalah 40o dalam skala fundamental. Jadi lebar 3
siklus harmonisa ke-9 tepat sama dengan beda fasa antar fundamental,
sehingga tidak ada perbedaan sudut fasa antara harmonisa ke-9 di fasa-a,
fasa-b, dan fasa-c.
300
v1a v1b v1c
200
V v5a v5c
100
v5b
0
0 90 180 270 360 [o]
-100
-200
-300
177
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
V ff = V fn 3 = 1,732 V fn
V7 f −n = 14,14 V ; V9 f −n = 7,07 V
V7 f − f = 22,11 V ; V9 f − f = 0 V
179
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
Z f 3 = 20 2 + 94,25 2 = 96,35 Ω
Z f 5 = 20 2 + 157,08 2 = 158,35 Ω
Arus fasa:
V ff 1rms 800 3 / 2
I f 1rms = = = 26,3 A
Z f1 37,24
V ff 3rms
I f 3rms = =0 A
Z f1
V ff 5rms 100 3 / 2
I f 5rms = = = 0,77 A
Z f5 158,35
X 1 = 2π × 50 × 0,9 × 10 −3 = 0,283 Ω
X 3 = 3 × X 1 = 0,85 Ω
X 9 = 9 × X 1 = 2,55 Ω
X 15 = 15 × X 1 = 4,24 Ω
181
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
60 / 2
I 3rms = = 49,89 A
0,85
30 / 2
I 9rms = = 8,33 A
2,55
15 / 2
I15rms = = 2,5 A
4,24
Sistem Empat Kawat. Pada sistem empat kawat, di mana titik netral
sumber terhubung ke titik netral beban, harmonisa kelipatan tiga akan
mengalir melalui penghantar netral. Arus di penghantar netral ini
merupakan jumlah dari ketiga arus di setiap fasa; jadi besarnya tiga kali
lipat dari arus di setiap fasa.
Penyelesaian:
(a) Tegangan fasa-netral efektif setiap komponen
V fn1rms = 254,6 V;
V fn3rms = 42,4 V;
V fn5rms = 35,4 V
Z 1 = 25 2 + 15,70 2 = 29,53 Ω
Z 3 = 25 2 + 47,12 2 = 53,35 Ω
Z 5 = 25 2 + 78,54 2 = 82,42 Ω
Arus saluran
254,6
I1rms = = 8,62 A
29,53
42,4
I 3rms = = 0,795 A
53,35
35,4
I 5rms = = 0,43 A
82,42
Tegangan fasa-fasa
183
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
Sistem Tiga Kawat. Pada sistem ini tidak ada hubungan antara titik
netral sumber dan titik netral beban. Arus harmonisa kelipatan tiga tidak
mengalir. Kita akan melihat kondisi ini dengan menggunakan contoh
berikut.
10000
V fnrms = = 5774 V
3
3 × 5774 2
Reaktansi jangkar 20% : X a = 20% × =1 Ω
20 000 × 1000
3 × 5774 2
Reaktansi pentanahan 10% : X g = 10% × = 0,5 Ω
20 000 × 1000
Reaktansi pentanahan untuk urutan nol : X 0 = 3 × 0,5 = 1,5 Ω
E2 = V2 + I2 R2 + jI 2 X 2
N2 I
I1 = I f + I2′ dengan I2′ = I2 = 2
N1 a
V1, I1, E1, R1, X1 berturut turut adalah tegangan terminal, arus, tegangan
induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian primer.
V2 , I2 , E2 , R2 , X 2 berturut-turut adalah tegangan terminal, arus,
tegangan induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian
sekunder; V2 sama dengan tegangan pada beban. E1 sefasa dengan E 2
karena dibangkitkan (diinduksikan) oleh fluksi yang sama, sehingga nilai
masing-masing sebanding dengan jumlah lilitan, N1 dan N2. Jika
a = N1 / N 2 maka dilihat dari sisi sekunder nilai E1 menjadi
E1 ' = E1 / a , I1 menjadi I1 ' = aI1 , R1 menjadi R1/a2, X1 menjadi X1/a2.
Rangkaian ekivalen transformator berbeban menjadi seperti pada
Gb.5.7.a. Dengan mengabaikan arus eksitasi If dan menggabungkan
resistansi dan reaktansi menjadi RT = R1′ + R2 dan X T = X 1′ + X 2
maka rangkaian ekivalen menjadi seperti pada Gb.9.7.b.
R′1 X′1 If R2 X2
∼1
V E1 R Ic B V2
c Xc
(a)
RT XT
∼1
V B V2
(b)
Gb.9.7. Rangkaian ekivalen transformator berbeban.
Xp/a2 XT
V2
Vs/a XC B
Xp/a2 XT ibeban
XC B
Xp/a2 XT
sumber arus
XC harmonisa
9.7.1. Konduktor
Pada konduktor, komponen arus harmonisa menyebabkan peningkatan
daya nyata yang diserap oleh konduktor dan berakibat pada peningkatan
temperatur konduktor. Daya nyata yang terserap di konduktor ini kita
sebut rugi daya atau susut daya. Karena susut daya ini berbanding lurus
dengan kuadrat arus, maka peningkatannya akan sebanding dengan
kuadrat THD arus; demikian pula dengan peningkatan temperatur.
Misalkan arus efektif nonsinus I rms mengalir melalui konduktor yang
memiliki resistansi Rs, maka susut daya di konduktor ini adalah
Ps = I rms
2
(
R s = I 12rms + I hrms
2
) (
R s = I 12rms R s 1 + THD I2 ) (9.1)
(
Jika arus efektif fundamental tidak berubah, faktor 1 + THD I2 pada )
(9.1) menunjukkan seberapa besar peningkatan susut daya di konduktor.
Misalkan peningkatan ini diinginkan tidak lebih dari 10%, maka THDI
tidak boleh lebih dari 0,32 atau 32%. Dalam contoh-contoh persoalan
yang diberikan di Bab-4, THDI besar terjadi misalnya pada arus
penyearahan setengah gelombang yang mencapai 100%, dan arus
melalui saklar sinkron yang mengalir setiap paruh ke-dua dari tiap
setengah perioda yang mencapai 61%.
P7 = 40 2 × 0,08 = 128 W
189
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
∆T = 0,16 × 45 o = 7,2 o C
Kenaikan temperatur akibat adanya hormonisa adalah
T = 45 o C + 7,2 o C ≈ 52 o C
dan temperatur kerja akibat adanya harmonisa adalah
T ′ = 25 o + 52 o = 77 o C
10% di atas temperatur kerja semula.
( )
Pk* = 20 2 × 0,2 1 + 12 = 160 W
Susut daya menjadi dua kali lipat.
Pk = 20 2 × 0,2 = 80 W
Dalam situasi ini terjadi penurunan arus efektif fundamental
yang dapat dihitung melalui relasi kuadrat arus efektif total,
yaitu
2
I rms = I12ms + I hms
2
= I12ms (1 + THD 2 ) = 20 2
9.7.2. Kapasitor
Ulas Ulang Tentang Kapasitor. Jika suatu dielektrik yang memiliki
permitivitas relatif εr disisipkan antara dua pelat kapasitor yang memiliki
luas A dan jarak antara kedua pelat adalah d, maka kapasitansi yang
semula (tanpa bahan dielektrik)
A
C0 = ε 0
d
berubah menjadi
C = C0ε r
Jadi kapasitansi meningkat sebesar εr kali.
191
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
im
I tot
IC
δ
re
I Rp VC
Gb.9.11. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor.
Daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik adalah
P = VC I Rp = VC I C tan δ (9.2)
atau
2
P = ε r V0 ωC V0 tan δ = 2πf V0 C ε r tan δ (9.3)
tanδ disebut faktor desipasi (loss tangent)
εrtanδ disebut faktor kerugian (loss factor)
εr
εr
εrtanδ
loss factor
1
XC =
2πfC
Gb.9.12. memperlihatkan bahwa εr menurun dengan naiknya frekuensi
yang berarti kapasitansi menurun dengan naiknya frekuesi. Namun
perubahan frekuensi lebih dominan dalam menentukan reaktansi
dibanding dengan penurunan εr; oleh karena itu dalam analisis kita
menganggap kapasitansi konstan.
Loss factor menentukan daya yang terkonversi menjadi panas dalam
dielektrik. Sementara itu, selain tergantung frekuensi, εr juga tergantung
dari temperatur dan hal ini berpengaruh pula pada loss factor, walaupun
tidak terlalu besar dalam rentang temperatur kerja kapasitor. Oleh karena
itu dalam menghitung daya yang terkonversi menjadi panas dalam
dielektrik, kita melakukan pendekatan dengan menganggap loss factor
konstan. Dengan anggapan ini maka daya yang terkonversi menjadi
panas akan sebanding dengan frekuensi dan sebanding pula dengan
kuadrat tegangan.
193
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
Penyelesaian:
Jika persamaan tegangan
vC = 150 sin 100πt + 30 sin 300πt V
maka persamaan arus adalah
iC = 150 × 500 × 10 −6 ×100π cos 100πt
+ 30 × 500 ×10 −6 × 500π cos 500πt
Bentuk gelombang tegangan dan arus adalah seperti terlihat pada
Gb.9.13.
200
[V] vC
[A]
100
iC
0
0 0.005 0.01 0.015 0.02
t [detik]
-100
-200
Gb.9.3. Gelombang tegangan dan arus pada Contoh-9.9.
150 / 2
I C1rms = = 16,7 A
6,37
(b) Reaktansi untuk harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut
adalah
X C1 X
X C3 = = 2,12 Ω ; X C 5 = C1 = 1,27 Ω
3 5
Arus efektif harmonisa
30 / 2
IC 3rms = = 10 A
2,12
5/ 2
I C 5rms = = 2,8 A
1,27
I hrms 10 2 + 2,8 2
THD I = = = 0,62 atau 62%
I C1rms 16,7
(c)
30 2 5 2
+
V 2 2 21,5
THDV = hrms = = = 0,20 atau 20 %
V1rms 150 / 2 106
(d) Losses dielektrik dianggap sebanding dengan frekuensi dan
kuadrat tegangan. Pada frekuensi 50 Hz dan tegangan 110 V,
losses adalah 0,6 watt.
P50 Hz,110 V = 0,6 W
2
150 30
P150 Hz,30 V = × × 0,6 = 0,134 W
50 110
2
250 5
P250 Hz,5V = × × 0,6 = 0,006 W
50 110
Losses dielektrik total:
Ptotal = 0,6 + 0,134 + 0,006 = 0,74 W
195
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
9.7.3. Induktor
Induktor Ideal. Induktor yang untuk keperluan analisis dinyatakan
sebagai memiliki induktansi murni L, tidak kita temukan dalam praktik.
Betapapun kecilnya, induktor selalu mengandung resistansi dan kita
melihat induktor sebagai satu induktansi murni terhubung seri dengan
satu resistansi. Oleh karena itu kita melihat tanggapan induktor sebagai
tanggapan beban induktif dengan resistansi kecil. Hanya apabila
resistansi belitan dapat diabaikan, relasi tegangan-arus induktor untuk
gelombang tegangan dan arus berbentuk sinus murni menjadi
di f
v=L
dt
dengan v adalah tegangan jatuh pada induktor, dan if adalah arus eksitasi.
Apabila rugi rangkaian magnetik diabaikan, maka fluksi φ sebanding
dengan if dan membangkitkan tegangan induksi pada belitan induktor
sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.
dφ
ei = − N
dt
Tegangan induksi ini berlawanan dengan tegangan jatuh induktor v,
sehingga nilai ei sama dengan v.
dφ di f
e = ei = N =L
dt dt
Persamaan di atas menunjukkan bahwa φ dan if berubah secara
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus
if yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.
Arus if sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk
sinus. Oleh karena itu baik tegangan, arus, maupun fluksi mempunyai
frekuensi sama, sehingga kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk
fasor
V = Ei = jωNΦ = jωLI f
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor. Relasi ideal ini memberikan
2π
Vrms = fNφmaks = 4,44 fN φmaks
2
2π V = Ei
Vrms = fLi fmaks = 4,44 fL i fmaks
2
Relasi ideal memberikan diagram fasor seperti di I f = Iφ
samping ini dimana arus yang membangkitkan
Φ
fluksi yaitu I φ sama dengan I f .
Penyelesaian:
Jika induktansi kumparan adalah L maka tegangan efektif komponen
fundamental, harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah
V L1rms = 4,44 × 50 × L × 50 = 11100 × L V
Fluksi Dalam Inti. Jika tegangan sinus dengan nilai efektif Vrms dan
frekuensi f diterapkan pada induktor, fluksi magnetik yang timbul dalam
inti dihitung dengan formula
V rms
φm =
4,44 × f × N
197
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
Penyelesaian:
Persamaan tegangan adalah
600
[V]
400
[µWb] φ
200
vL
t [detik]
0
0 0.01 0.02 0.03 0.04
-200
-400
-600
γ
Iφ If
Φ
Gb.9.15. Diagram fasor induktor (ada rugi inti)
Dengan memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi dalam inti
transformator, If dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu Iφ
yang diperlukan untuk membangkitkan φ, dan Ic yang diperlukan untuk
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi If = Iφ + Ic.
Komponen Ic merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan V akan
memberikan rugi-rugi inti
Rugi inti terdiri dari dua komponen, yaitu rugi histerisis dan rugi arus
pusar. Rugi histerisis dinyatakan dengan
Ph = wh vf (9.7)
199
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
(
Ph = vf K h B mn ) (9.8)
Pe = K e f 2 Bm2 τ 2 v (9.9)
9.7.4. Transformator
Ulas Ulang Transformator Berbeban. Rangkaian transformator
berbeban dengan arus beban I 2 , diperlihatkan oleh Gb.9.17. Tegangan
induksi E 2 (yang telah timbul dalam keadaan tranformator tidak
berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian sekunder dan memberikan
arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini membangkitkan fluksi magnetik yang
melawan fluksi bersama φ (sesuai dengan hukum Lenz) dan sebagian
akan bocor, φl2; φl2 yang sefasa dengan I 2 menginduksikan tegangan
E l 2 di belitan sekunder yang 90o mendahului φl2.
I1 φ I2
V1 φl1 φl2 V2
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder.
Arus di belitan primer juga memberikan fluksi bocor di belitan primer,
φl1, yang menginduksikan tegangan El1. Tegangan induksi yang
dibangkitkan oleh fluksi-fluksi bocor, yaitu El1 dan El2, dinyatakan
dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada
reaktansi bocor ekivalen, X1 dan X2, masing-masing di rangkaian primer
dan sekunder. Jika resistansi belitan primer adalah R1 dan belitan
sekunder adalah R2, maka kita peroleh hubungan
untuk rangkaian di sisi primer
V1 = E1 + I1R1 + El1 = E1 + I1R1 + jI1X1 (9.13)
E2 = V2 + I2 R2 + El 2 = V2 + I2 R2 + jIˆ 2 X 2 (9.14)
I
Karena I1 = 2 maka persamaan ini dapat kita tuliskan
a
V1 I R jI X
= V2 + I 2 R 2 + j I 2 X 2 + 2 1 + 2 1
2
a a a2
R X
= V2 + R 2 + 1 I 2 + j X 2 + 1 I 2 (9.15)
2
a a2
= V2 + (R2 + R1′ ) I 2 + j ( X 2 + X 1′ ) I 2
R X
dengan R1′ = 1 ; X 1′ = 1
2
a a2
Persamaan (9.15) ini, bersama dengan persamaan (9.12) yang dapat kita
tuliskan I 2 = aI1 − aI f = I1′ − aI f , memberikan rangkaian ekivalen
untuk transformator berbeban. Akan tetapi pada transformator yang
digunakan pada sistem tenaga listrik, arus magnetisasi hanya sekitar 2
sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Oleh karena itu,
jika I f diabaikan terhadap I1 maka kesalahan dalam menghitung I 2
bisa dianggap cukup kecil.
Pengabaian ini akan membuat I 2 = aI1 = I 1′ . Dengan pendekatan ini,
dan persamaan (9.15), kita memperoleh rangkaian ekivalen yang
disederhanakan dari transformator berbeban. Gb.4.8. memperlihatkan
rangkaian ekivalen transformator berbeban dan diagram fasornya.
I2 = I′1
V1/a
V2
jI2Xe
I2Re
I2
203
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
205
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
PK = gKR0 I Trms
2
W (9.19)
dengan
k
∑ n 2 I nrms
2
n =1
K= (9.20)
2
I Trms
I Trms = 40 2 + 15 2 + 5 2 = 43 A
40 2 + 3 2 × 15 2 + 112 × 5 2
K= = 3,59
43 2
(c) Rugi daya total Ptot, terdiri dari rugi tembaga Pcu dan rugi arus
pusar Pl.
207
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
Penyelesaian:
Tegangan mengandung harmonisa ke-13. Pada frekuensi
fundamental terdapat impedansi internal
Z1int ernal = 1 + j 6,5 Ω ; Z1int = 12 + 6,5 2 = 6,58 Ω
Nilai puncak V1m dan V13m terjadi pada waktu yang sama yaitu pada
seperempat perioda, karena pada harmonisa ke-13 ada 13 gelombang
penuh dalam satu perioda fundamental atau 6,5 perioda dalam
setengah perioda fundamental. Jadi tegangan maksimum yang
diterima kabel adalah jumlah tegangan maksimum fundamental
dantegangan maksimum harmonisa ke-13.
Vm = V1m + V13m = 17101 + 14315 = 31416 V ≈ 31,4 kV
Tegangan ini cukup tinggi dibanding dengan tegangan maksimum
fundamental yang hanya 17 kV. Gambar berikut ini
memperlihatkan bentuk gelombang tegangan.
40
[kV] v1+v13
30
20
10
0
0 0.005 0.01 0.015 0.02 [detik]
-10
v1
-20
-30
-40
Gb.9.19. Bentuk gelombang tegangan.
209
Pembebanan Nonlinier dan Dampak pada Piranti
211
Pembebanan Tak Seimbang
a = 1∠120 o (10.1)
Operator semacam ini telah kita kenal yaitu operator j di mana
j = 1∠90 o .
V2 A = V2 ; V 2 B = aV 2 ; V2C = a 2 V2 (10.3)
V A = V0 + V1 + V2
VB = V0 + a 2 V1 + aV2
VC = V0 + a V1 + a 2 V2 +
V A + V B + VC = 3V0 + (1 + a 2 + a ) V1 + (1 + a + a 2 ) V = 3V0
V0 =
1
3
(
V A + VB + VC ) (10.6)
213
Pembebanan Tak Seimbang
Jika baris ke-dua (10.4) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga
kita kalikan dengan a2, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
V A = V0 + V1 + V2
aV B = aV0 + a 3 V1 + a 2 V2
a 2 VC = a 2 V0 + a 3 V1 + a 4 V2 +
V1 =
1
3
(V A + aVB + a 2 VC ) (10.7)
Jika baris ke-dua (10.4) kita kalikan dengan a2 dan baris ke-tiga
kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:
V A = V0 + V1 + V2
a 2 V B = a 2 V0 + a 4 V1 + a 3 V2
aVC = aV0 + a 2 V1 + a 3 V2 +
V2 =
1
3
(
V A + a 2 V B + aVC ) (10.8)
V ABC = [T ] V012
~ ~
(10.10)
V012 = [T ]−1 V ABC
~ ~
dengan
1 1 1 1 1 1
[T] = 1 a 2 a dan [T]
−1 1
= 1 a a 2 (10.10.a)
3
1 a a 2 1 a 2 a
I A = 90∠60 o A, I B = 60∠ − 60 o A, I C = 0 A
I1 =
1
3
(
I A + aI B + a 2 I C )
1
( )
= 90∠60 o + 60∠60 o + 0 = 50∠60 o = 25 + j 43,3 A
3
215
Pembebanan Tak Seimbang
I2 =
1
3
(
I A + a 2 I B + aI C )
1
( )
= 90∠60 o + 60∠180 o + 0 = 30∠60 o + 20∠180 o
3
= 15 + j 25,9 − 20 = −5 + j 25,9 A
I0 =
1
3
(
I A + I B + IC )
1
( )
= 90∠60 o + 60∠ − 60 o + 0 = 30∠60 o + 20∠ − 60 o
3
= 15 + j 25,9 + 10 − j17,3 = 25 + j8,6 A
Dalam Contoh-10.1 ini, IC = 0. Dengan diperolehnya nilai arus
komponen simetris, kita dapat melakukan verifikasi dengan
menghitung arus I C . Dari (10.11) kita peroleh
I C = I 0 + aI1 + a 2 I 2
= 25 + j8,6 + 50∠180 o + 30∠300 o + 20∠60
= 25 + j8,6 − 50 + 15 − j 25,98 + 10 + j17,32 = 0 A
V AA′ I A
VBB′ = [Z ABC ] I B atau
VCC ′ I C
(10.13)
V( ABC )′ = [Z ABC ] I ABC
~ ~
~ ~
V( ABC )′ adalah tegangan antar terminal impedansi dan I ABC
adalah arus yang melalui impedansi. [Z ABC ] adalah matriks 3 ×
3, yang elemen-elemennya merupakan impedansi total yang
terdiri dari impedansi sendiri dan impedansi bersama. Matriks
ini belum tentu diagonal tetapi memiliki simetri tertentu.
Simetri ini adalah sedemikian rupa sehingga matrik impedansi
urutan, yaitu [Z 012 ] merupakan matriks diagonal atau hampir
diagonal. Kita akan melihat sebuah contoh saluran transmisi
yang mendapat pembebanan tidak seimbang.
VC I A + I B + IC VC′
217
Pembebanan Tak Seimbang
V A V A′ X s Xm X m I A
V B − VB′ = X m Xs X m I B
VC VB′ X m Xm X s I C
dan dapat dituliskan dengan lebih kompak
= [Z ABC ] I ABC
~ ~ ~
′
V ABC − V ABC
V ABC = [T ] V012
~ ~
= [T ] V012
~ ~
′
V ABC ′
I ABC = [T ] I 012
~ ~
sehingga
dan
′ = [T ]−1 [Z ABC ][T ] I012
~ ~ ~
V012 − V012
sehingga
V0 V0′ X s + 2X m 0 0 I 0
I
V1 − V1′ = j 0 Xs − Xm 0 1
V2 V2′ 0 0 X s − X m I 2
yang dapat ditulis secara kompak
′ = [Z 012 ] I012
~ ~ ~
V012 − V012
Z0 Z1 Z2
V0 V 0′ V1 V1′ V2 V 2′
S 3 f = V A I ∗A + VB I ∗B + VC I C∗
I ∗A
[
= VA VB ]
VC I ∗B (10.14)
I ∗
C
= V ABCT I ∗ABC
219
Pembebanan Tak Seimbang
S 3 f = V012T [T ]T [T ]∗ I 012
~ ∗
(10.16)
1 1 1 1 1 1 3 0 0 1 0 0
[T]T [T ]
∗
= 1 a 2 a 1 a a = 0 3 0 = 30 1 0
2
1 a a 2 1 a 2 a 0 0 3 0 0 1
− j10
= [10 − 10 0] − 10 = − j100 + 100 + 0
S3 f
− 10
= (100 − j100) kVA
221
Pembebanan Tak Seimbang
~ ∗
S3 f = 3V012T I012
0
1 1
3 3
[ 2
]
= 3 × × 0 10 - a10 10 − a 10 − j10 + 10
− j10 + 10
1
[ ]
= 0 + (10 − a10)(− j10 + 10) + (10 − a 210)(− j10 + 10)
3
= (300 − j 300) = (100 − j100) kVA
1
3
Hasil ini sama dengan yang diperoleh pada perkalian langsung.
(catatan: a + a 2 = −1 ).
Komentar: Jika hasilnya sama, mengapa kita harus bersusah
payah mencari komponen simetris terlebih dulu?
Persoalan pada pembebanan tak seimbang tidak
hanya menghitung daya, tetapi juga arus dan
tegangan; misalnya menghitung arus hubung
singkat yang tidak simetris, yang tetap memerlukan
komponen simetris.
nilai sesungguhn ya
Nilai per - unit =
nilai basis
Nilai sesungguhnya mungkin berupa bilangan kompleks, namun
nilai basis yang ditetapkan adalah bilangan nyata. Oleh karena itu
sudut fasa nilai dalam per-unit sama dengan sudut fasa
sesungguhnya.
Sebagai contoh kita ambil daya kompleks
S = V I ∗ = VI∠(α − β) (10.18)
di mana α adalah sudut fasa tegangan dan β adalah sudut fasa arus.
Untuk menyatakan S dalam per-unit kita tetapkan Sbasis yang berupa
bilangan nyata, sehingga
S∠(α − β)
S pu = = S pu ∠(α − β) (10.19)
S basis
Nilai Sbasis dipilih secra bebas. Oleh karena itu, kita dapat memilih
salah satu Vbasis atau Ibasis untuk ditentukan secara bebas, tetapi
tidak kedua-duanya.
Jika kita ambil rasio dari (10.18) dan (10.20) kita peroleh
S V∠αI∠ − β
S pu = = = V pu I ∗pu (10.21)
S basis Vbasis I basis
223
Pembebanan Tak Seimbang
akan memberikan
Z V/I
= atau
Z basis Vbasis / I basis
Z pu = V pu I pu (10.23)
Karena Z = R + jX maka
Z R + jX R X
= = +j atau
Z basis Z basis Z basis Z basis
Z pu = R pu + jX pu (10.24)
S pu = Ppu + Q pu (10.25)
4Ω − j4 Ω
V = 200 ∠0 o V j8 Ω
Penyelesaian:
S basis = 1000 VA; Vbasis = 200 V
S basis 1000
I basis = = =5 A
Vbasis 200
Vbasis 200
Z basis = = = 40 Ω
I basis 5
200∠0 o
Maka: V pu = = 1∠0 o pu
200
4 4
R pu = = 0,1 pu ; X Cpu = = 0,1 pu ;
40 40
8
X Lpu = = 0,2 pu
40
Transformasi rangkaian dalam per-unit menjadi
0,1 pu − j 0,1 pu
1∠0 o pu ≈ j 0,2 pu
Sistem Tiga Fasa. Sistem tiga fasa sangat luas dipakai dalam
penyediaan energy listrik. Oleh karena itu dikembangkan pengertian
nilai basis tambahan sehingga nilai-nilai basis adalah sebagai
berikut.
S basis3 f = 3S basis
V Lbasis = Vbasis 3
Z Ybasis = Z basis
Z ∆basis = 3Z basis (10.26)
I Lbasis = I basis
I Ybasis = I basis
I ∆basis = I basis / 3
Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita lihat
pada contoh berikut ini.
225
Pembebanan Tak Seimbang
Beban-B:
300
SB = = 100 kVA; ϕ B = cos(0,6) = −53,1o (f.d. lead )
3
S B = 100∠ − 53,1o kVA
SB 100∠ − 53,1o
⇒ S Bpu = = = 0.5∠ − 53,1o
S basis 200
V Bpu = V Apu = 1∠0 o
∗
S Bpu 0,5∠ − 53,1o
I Bpu = = = 0,5∠ − 53,1o
V Bpu 1∠0 o
Arus saluran:
I pu = I Apu + I Bpu = 0.8 − j 0,6 + 0,3 + j 0,4 = 1,1 − j 0,2
227
Pembebanan Tak Seimbang
Daftar Pustaka
229
Pembebanan Tak Seimbang
Biodata Penulis