Anda di halaman 1dari 9

KERAJINAN BENDA DI DAERAH ACEH

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

M. TAUFIQQURRAHMAN
KELAS X MIPA 1

SMAKON (ACEH)
2020
PENDAHULUAN

Produk-produk seni diciptakan seniman dengan bermacam bentuk bersifat


inovatif maupun karya hasil kreasi dan menjadi ciri khas seorang seniman dengan
tujuan memperbaharui bentuk dan desain agar dapat menambah serta
memperbanyak desain-desain baru dari bentuk yang telah ada, dan dapat
memperkaya hasil karya seni.
Penyempurnaan rancangan adalah suatu evolusi keterampilan yang terus-
menerus. Manusia membutuhkan waktu yang lama sehingga sampai pada bentuk-
bentuk yang kita lihat sekarang.
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka
ragam budaya yang menarik, khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan
perayaan/kenduri. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat delapan sub
suku yaitu Suku Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Simeulu, Kluet, Singkil, dan
Tamiang. Kedelapan sub etnis mempunyai budaya yang sangat berbeda antara
satu dengan yang lain.
Seni Kriya adalah semua hasil karya manusia yang memerlukan keahlian
khusus yang berkaitan dengan tangan, sehingga seni kriya sering juga disebut
kerajinan tangan. Seni kriya dihasilkan melalui keahlian manusia dalam mengolah
bahan mentahyang bisa dijadikan fungsi : praktis, estetis, dan simbolis (religius).
Setiap karya lahir tidak pernah lepas dengan karya yang telah di lahir
sebelumnya, namun dalam penciptaan itu pasti memiliki perbedaan khusus.
Perbedaan tersebut baik berupa ide, konsep, landasan penciptaan, fungsi, bahan
dan penerapannya. Begitu juga halnya dengan karya yang telah diciptakan ini,
mungkin saja telah lahir sebelumnya diciptakan oleh seniman lain. Untuk menjaga
keaslian karya yang telah dibuat, maka pengkarya mencari acuan tentang karya.
Permasalahan keaslian karya sering juga disebut dengan Orisinalitas karya.
Orisinalitas adalah proses kreatif yang melibatkan perenungan secara
mendalam serta menghindari peniruan secara buta (peniruan semata mata demi
peniruan). Suatu karya seni dianggap orisinil jika sebuah karya dapat
menampilkan kebaruan konsep, persoalan, bentuk atau gaya yang ditampilkan
adalah baru dan yang menjadi karya memiliki kebaruan dapat dilihat dari adanya
kecakapan konseptual (Sumartono, 1992:2).

A. KERAJINAN JEUNGKI
Jeungki adalah suatu alat tradisional masyarakat Aceh untuk menumbuk
padi, dan sering juga dipergunakan untuk menumbuk kopi. Jeungki ini sudah
jarang ditemukan di dalam keseharian masyarakat Aceh, dengan perkembangan
teknologi yang sungguh pesat, benyak masyarakat yang meninggalkan Alat
tradisional Jeungki ini. tetapi Alat tradisional ini masih bisa ditemukan di
beberapa daerah di aceh, salah satunya di Daerah Geudong, Aceh Utara.

1.    Bahan
Bahan terdiri dari bahan utama, bahan pununjang dan bahan pelengkap.
Bahan utama adalah bahan pokok yang menjadi media penciptaan karya,
sedangkan bahan penunjang adalah bahan-bahan lain yang menjadi perlengkapan
penting yang digunakan untuk menciptakan suatu karya. sedangkan bahan
pelengkap adalah bahan-bahan yang di gunakan pada waktu finising untuk
mempertajam keindahan karya yang diciptakan.
·         Bahan Utama/ bahan pokok.
Bahan utama dalam karya ini adalah kayu limbah. Karena bahan limbah
itu lebih menantang pengkarya untuk membuat sebuah karya seni.
·         Bahan Penunjang.
Bahan penunjang karya ini adalah bahan lain untuk mendukung karya,
dalam hal ini penulis mengunakan, Kertas HVS (dalam pembuatan desain), dan
Pensil.
·         Bahan Finising
Pada kesempatan kali ini, mengunakan finising cat poster dan A550 clear
metallic.
2.    Alat
Peralatan adalah seluruh benda yang digunakan untuk menunjang proses
terciptanya sebuah karya seni. Dalam proses penciptaan sebuah karya, pengkarya
mengunakan alat yakni: pahat, palu pahat, kuas.
3.    Teknik
·         Tehnik yang digunakan ialah tehnik kerja bangku.
4.    Finising
Penggarapan sebuah karya, bila karya telah diciptakan mestinya ditahap
akhir ialah finising, karya yang telah diciptakan ini cat warna Kuning, hitam dan
merah.

B. KERAJINAN SULAMAN BENANG EMAS


Kerajinan sulaman benang emas di Aceh atau sering disebut dengan
“kasab Aceh” lahir di daerah Aceh Besar. Kerajinan ini pertama-tama muncul di
daerah pemukiman atau kecamatan Meuraxa Ulee Lheue dari keturunan sebuah
keluarga Teuku. M. Yusuf di kampung Dayah Glumpang Ulee Lheue.
Tokoh-tokoh tua dalam kesenian atau kerajinan sulaman benang emas atau
kasab Aceh antara lain ibu Siti Hawa dan keluarganya yang sudah turun
temurun menekuni kerajinan tersebut. Keluarga ibu Siti Hawa mampu
menciptakan motif-motif asli Aceh dan kreasi baru. Bentuk motif-motif tersebut
pada umumnya merupakan stilisasi dari tumbuh-tumbuhan yang berupa daun,
kelopak, bunga, buah atau suluran-suluran. Selain motif tumbuh-tumbuhan ada
juga yang dikombinasikan dengan motif-motif geometris. Sementara motif hewan
dan manusia sangat jarang ditemukan, karena terkait dengan kepercayaan atau
agama yang mereka anut yaitu agama Islam yakni melarang penggambaran
berbentuk hewan atau manusia. Sulaman benang emas dari keluarga tersebut
ternyata digemari oleh masyarakat sekitarnya sehingga berkembang pesat dengan
sulaman yang rapi dan cermat.
Barang-barang hasil sulaman biasanya berupa tampok (kepala bantal)
dengan bentuk yang bermacam-macam antara lain berbentuk segi empat, segi tiga,
lonjong, bulat, bentuk daun sirih, dan lain sebagainya. Tampok bantal atau kepala
bantal ini ditempatkan di ujung bantal guling, sarung bantal tidur, bantal kursi dan
sebagainya.
Kerajinan sulaman benang emas lainnya adalah berupa tiree atau tirai yang
digunakan antara lain untuk dekorasi dinding yang dibuat sesuai dengan ruangan
atau tempat pemakaiannya. Ukuran tiree atau tirai ini biasanya 5 x 2,5 meter.
Tiree dibuat dari kain yang memiliki warna bermacam-macam dan di atas kain
yang berwarna tersebut disulam berbagai macam motif dengan benang emas,
benang perak, benang kasab, benang sutera, dan benang lainnya.

Sulaman benang emas atau kasab Aceh sudah dikenal sejak dahulu, dan
mulai dikembangkan kemudian di pemukiman Dayah Geulumpang kecamatan
Meuraxa Ulee Lheue. Sulaman benang emas ini banyak digunakan untuk
menghiasi ruangan-ruangan pernikahan dalam masyarakat Aceh terutama ruangan
pengantin dan pelaminan. Teknik jahit sulaman benang emas secara umum
menggunakan teknik jahit timbul atau couching dengan pola-pola hiasan yang
berupa stilisasi tumbuh-tumbuhan. Motif-motif berbentuk hewan dan manusia
dengan penggambaran yang realis sangat jarang ditemukan pada kerajinan
tersebut, karena berdasarkan keyakinan agama orang Aceh yaitu agama Islam
terkait dengan adanya larangan untuk menciptakan atau menggambarkan bentuk-
bentuk mahkluk hidup yang berupa kewan dan manusia.

C. Kerajinan batik khas gayo


Kain batik merupakan salah satu jenis kain dekoratif khas Indonesia yang
keindahannya telah diakui dunia. Pengakuan batik sebagai warisan budaya
dunia yang berasal dari Indonesia oleh UNESCO tahun 2009, memacu semangat
pengembangan batik menjadi industri kreatif di berbagai daerah, termasuk juga di
daerah Aceh Gayo. Batik adalah lukisan atau gambar pada mori yang dibuat
dengan menggunakan alat bernama canting. Orang yang melukis atau
menggambar pada mori memakai canting disebut membatik. Membatik ini
menghasilkan batik yang berupa macam-macam motif dan mempunyai sifat
khusus yang dimiliki oleh batik itu sendiri.

Industri batik telah berkembang di Aceh Gayo dengan cukup baik,


namun motif-motif batiknya kurang berciri khas seni budaya daerah setempat,
sehingga bila tujuan produk batik sebagai souvenir kenangan orang pernah
berkunjung ke Aceh Gayo, maka kekhasan seni budaya khas daerah tidak
tampak atau kurang terwakili.
Oleh karena itu perlu diciptakan desain motif-motif baru untuk batik
yang mencerminkan ciri khas Aceh Gayo. Tujuan penelitian dan penciptaan
seni ini adalah untuk menciptakan motif batik yang mempunyai bentuk unik
dan karakteristik sehingga dapat mencerminkan kekhasan daerah Aceh Gayo.
D. Kerajinan Rencong
Rencong begitu populer di masyarakat Aceh sehingga Aceh kemudian
dikenal dengan sebutan "Tanah Rencong. Rencong (Reuncong) adalah senjata
tradisional dari Aceh. Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan,
merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat Aceh di masa
perjuangan. Keberadaan rencong sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan
masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap pejuang Aceh, membekali dirinya
dengan rencong sebagai alat pertahanan diri. Namun sekarang, setelah tak lagi
lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi
barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas
Aceh.
Gagang rencong ada yang berbentuk lurus dan ada pula yang
melengkung keatas. Rencong yang gagangnya melengkung ke atas disebut
rencong Meucungkek, biasanya gagang tersebut terbuat dari gading dan tanduk
pilihan.
Bentuk meucungkek dimaksud agar tidak terjadinya penghormatan
yang berlebihan sesama manusia, karena kehormatan yang hakiki haya milik
Allah semata. Maksudnya, bila rencong meucungkek disisipkan dibagian
pinggang atau dibagian pusat, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan
kepala atau membongkokkan badannya untuk memberi hormat kepada orang lain
karena perutnya akan tertekan dengan gagang meucungkek tersebut.
Gagang meucungkek itu juga dimaksudkan agar, pada saat-saat genting
dengan mudah dapat ditarik dari sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari
genggaman. Satu hal yang membedakan rencong dengan senjata tradisional
lainnya adalah rencong tidak pernah diasah karena hanya ujungnya yang runcing
saja yang digunakan.

Jenis-Jenis Rencong
Jenis-jenis rencong antara lain : Rencong Meupucok, Rencong
Meucugek, Rencong Meukuree dan Rencong Pudoi. 
1.      Rincong Meupucok

Rencong yang mempergunakan ukiran emas pada gagang bahagian atas.


Gagangnya kelihatan kecil pada bahagian bawah dan mengembang membesar
pada bahagian atasnya. Permukaan pada bahagian atas berukiran emas. Bentuk
ukirannya antara lain : Kembang berantai, Kembang daun, Kembang mawar dan
ada juga berbentuk aksara Arab. Hulu rencong Meupucok adalah ditutupi dengan
ukiran emas pada bahagian atas, dibungkus dengan emas bahagian putingnya dan
biasanya terbuat dari tanduk dan gading.
2.      Rencong Meucugek

Rencong ini mempergunakan cugek (bergagang lengkung 90 %). Cugek


melengkung ke bahagian belakang mata rencong kira-kira 15 cm sehingga dapat
berbentuk siku-siku. Cugek ini gunanya efektif tidak mudah lepas dari tangan saat
melakukan pembelaan diri, sehingga dapat mmenerkam dan menikam lawan
secara bertubi-tubi serta mudah dicabut kembali walaupun sumbunya dalam
keadaan berlumuran darah oleh karena cugek sebagai penahan pergelangan tangan
bahagian belakang. 
3.      Rencong Meukuree
Rencong yang mempunyai kuree pada mata. Bentuk kuree bermacam-macam ada
yang berbentuk seperti : bunga-bunga ; ular ; lipan ; akar kayu ; daun ; dan kayu-
kayuan. Gambar ini bukan sengaja dibentuk, tetapi terbentuk secara sendirinya
waktu rencong itu ditempa. Rencong ini berbeda dengan yang lainnya, semakin
lama disimpan semakin banyak kureenya dan semakin mahal harganya serta
semakin bertambah magisnya. 
4.      Rencong Pudoi

Pudoi artinya menengah (biasa). Ini dapat di lihat dari gagangnya. Gagang
rencong ini tidak sama dengan rencong meupucok, meucugek atau meukuree.
Hulu rencong Pudoi adalah pengangan tanpa variasi, kelah (pembungkus bahagian
bawah hulu dan puting yang kadang-kadang dibesarkan sedikit agar tidak tertutup
dengan gagang yang sederhana bila ditancapkan pada sasarannya. Gagang
rencong Pudoi ini tidak ada lengkungnya. Sejarah rencong Pudoi ini mulai tahun
1904 Belanda tidak memperbolehkan memakainya. Sehingga larangan tersebut
sangat melukai hati orang Aceh dan bertentangan dengan adat istiadat yang
berlaku pada waktu itu.

KEPERPUSTAKAAN

Dharsono Sony Kartika, 2002, Pengantar Estetika, Rekayasa sains, Bandung.

Jakob Sumardjo,2000, Filsafat Seni, penerbit ITB, Bandung.

gerbangaceh.blogspot.com

http://aneukagamaceh.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai