Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keperawatan
Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan RI, Nomor
647/Menkes/SK/IV/2000 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan,
yang kemudian diperbaharui dengan Kepmenkes RI nomor
1239/SK/XI/2001, dijelaskan bahwa perawat adalah orang yang telah lulus
dari pendidikan perawat, baik di dalam maupun di luar negeri, sesuai
ketentuan peruandang-undangan yang berlaku. Selanjutnya perawat adalah
suatu profesi yang mandiri yang mempunyai hak untuk memberikan
layanan keperawatan secara mandiri dan bukan sebagai profesi pembant
dokter. Hal ini dipertegas oleh dua Keputusan Mentri Kesehatan di atas
[CITATION Bud15 \l 1033 ].
Handerson (1996) dalam Kozier et al (1997) menyatakan bahwa
keperawatan merupakan kegiatan membantu individu sehat atau sakit
dalam melakukan upaya aktivitas untuk membuat individu tersebut sehat
atau sembuh dari sakit atau meninggal dengan tenang (jika tidak dapat
disembuhkan) atau membantu apa yang seharusnya dilakukan apabila ia
mempunyai cukup kekuatan, keinginan, atau pengetahuan. Kelompok
Kerja Keperawatan (1992) menyatakan bahwa keperawatan adalah suatu
bentuk layanan professional yang merupakan bagian integral dari layanan
kesehatan, berbentuk layanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komperhensif,
ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat, baik sakit maupun
sehat, yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Layanan
keperawatan diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental,
keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan dalam melaksanakan
kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.
Perawat sebagai pemberi layanan asuhan mulai pada tingkat rumah
tangga, Puskesmas, maupun tingkat rumah sakit, mempunyai peran yang
sangat vital. Pada tingkat rumah sakit, perawat selalu berinteraksi dan
berhubungan selama 24 jam dengan pasien. Karena begitu vital dan
pentingnya arti pelayanan keperawatan, pelayanan keperawatan ini
menjadi penentu berkualitas tidaknya pelayanan kesehatan yang ada.
Pelayanan keperawatan yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh
ketepatan perawat dalam memberikan pelayanan, tetapi yang paling
penting adalah bagaimana perawat mampu membina hubungan yang
terapiutik dengan pasien. Kozier et al (1997) menyatakan bahwa hubungan
perawat-pasien menjadi inti dalam pemberian asuhan keperawatan karena
keberhasilan penyembuhan dan peningkatan kesehatan pasien sangat
dipengaruhi oleh hubungan perawat-pasien. Oleh karena itu, metode
pemberian asuhan keperawatan harus memfasilitasi efektifnya hubungan
tersebut. Konsep yang mendasari hubungan perawat pasien adalah
hubungan saling percaya, empati, caring, otonomi, dan mutualitas.
Dengan melihat dan memahami pengertian keperawatan di atas,
keperawatan dapat dikatakan sebagai jenis produk yang menghasilkan
pelayanan yang berbasis orang. Keperawatan merupakan suatu bentuk
pelayanan yang bertujuan memberikan pelayanan berbentuk asuhan
kepada pasien, baik sakit maupun sehat.

B. Kepuasan Kerja
1. Pengertian Kepuasan Kerja
As’ad (1995:104) menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan
perasaan pekerja terhadap pekerjaanya, suatu penilaian dari pekerja
mengenai seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan
kebutuhannya. Kepuasan terdiri dari kepuasan khusus dan umum;
kepuasan khusus merupakan bagian dari kepuasan umum yaitu sebagai
hubungan antara aspek situasi dan reaksi pekerja, artinya kepuasan
kerja seorang buruh merupakan bagian dari bagian dari kepuasan kerja
seluruh buruh atau buruh pada umumnya.
Robbins (1990:26) dalam [ CITATION Dar11 \l 1033 ] menjelaskan
kepuasan kerja ialah sikap pekerja yang menilai perbedaan antara
jumlah imbalan yang diterima dengan yang diyakininya seharusnya
diterima. Konsep kepuasan kerja menjadi tidak mudah dan karena
berhubungan dengan perasaan dan persepsi manusia. Pekerja merasa
memiliki kepuasan kerja jika memiliki persepsi bahwa imbalan yang
diterimanya lebih besar dari pada biaya energi yang dikeluarkan dalam
melaksanakan pekerjaan, dan selisihnya bisa untuk memenuhi
kebutuhan yang lainnya, misalnya pendidikan anak, perumahan,
kesehatan, dan rekreasi.
Tiffin (1958), mengemukakan kepuasan kerja berhubungan erat
dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi
kerja, kerja sama antara pimpinan dengan sesama karyawan.
Handoko (1992) dalam Sutrisno (2016), megemukakan kepuasan
kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan bagi para karyawan memandang pekerjaan mereka.
Kepuasan kerja mencerminkan perasaan sesorang terhadap
pekerjannya. Ini tampak dalam sikap positif karyawan terhadap
pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan
mencapai kepuasan psikologis dan akhirnya akan timbul sikap atau
tingkah laku negatif, dan pada gilirannya akan dapat menimbulkan
frustasi, sebaliknya karyawan yang terpuaskan akan dapat bekerja
dengan baik, penuh semangat, aktif, dan dapat berprestasi lebih baik
dari karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Pendapat
tersebut didukung oleh Handoko (1992), kepuasan kerja juga penting
untuk aktualisasi diri. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan
kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada
gilirannya akan menjadi frustasi.
Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat
individu. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-
beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Ini
disebabkan karena adanya perbedaan pada masing-masing individu.
Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan
keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan
yang dirasakannya, sebaliknya semakin sedikit aspek-aspek dalam
pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin
rendah tingkat kepuasan yang dirasakannya.
Menurut Stamps (1997) dalam Purbowo (2006) ada tiga faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu :
a. Faktor demografi; Faktor demografi yang mempengaruhi kepuasan
kerja mencakup karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin,
lama kerja, tingkat pendidikan, dan status perkawinan.
b. Pekerjaan; Terdapat enam aspek yang termasuk dalam faktor
kepuasan kerja yaitu : otonomi, task requirement, kompensasi,
interaksi dengan rekan kerja, kebijakan organisasi, status profesi.
c. Faktor organisasi; Faktor ini mencakup beberapa aspek diantaranya
pengendalian jam kerja, sistem penerimaan pelayanan
keperawatan, dan gaya manajemen atau kepemimpinan.
Luthans (2006) dalam Veruswati (2011) mengungkapkan bahwa
ada lima dimensi pekerjaan yang mempresentasikan kepuasan
karyawan terhadap pekerjaannya, yaitu :
a. Pekerjaan itu sendiri, Peekerjaan yang memberi kesempatan untuk
menggunakan keterampilan dan kemampuasn karyawan dan
menawarkan tantangan, kebebasan atau otonomi, tanggung jawab
serta umpan balik akan memberikan kepuasan kerja.
b. Gaji. Jika gaji yang diterima sesuai dengan harapan karyawan
tersebut maka akan menimbulkan kepuasan kerja.
c. Kesempatan promosi. Kesempatan promosi merupakan
kesempatan bagi karyawan untuk maju dalam organisasi.
d. Pengawasan. Kemampuan seorang atasan yang selalu memberikan
bantuan dan dukungan teknis akan menimbulkan kepuasan kerja
karyawan.
e. Rekan kerja. Rekan kerja yang selalu memberikan dukungan sosial
dan teknis menimbulkan kepuasan kerja.
Para manejer seharusnya peduli akan tingkat kepuasan kerja dalam
organisasi mereka sekurang-kurangnya dengan tiga alasan :
a. Ada bukti yang jelas bahwa karyawan yang tidak puas lebih sering
melewatkan kerja dan lebih besar kemungkinan mengundurkan
diri.
b. Telah diperagakan bahwa karyawan yang puas mempunyai
kesehatan yang lebih baik dan usia lebih panjang.
c. Kepuasan pada pekerjaan [ CITATION Rob01 \l 1033 ].

2. Teori Kepuasan Kerja


Berikut teori kepuasan kerja dalam [ CITATION Sha06 \l 1033 ] :
a. Teori Pertentangan (Discrepancy Theory)
Teori pertentangan dari Locke menyatakan bahwa kepuasan
dan ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan
mencerminkan penimbangan dua nilai : (1) pertentangan yan
dipersepsikan antara apa yang ia terima, dan (2) pentingnya apa
yang diinginkan bagi individu. Kepuasan kerja secara keseluruhan
bagi seorang individu adalah jumlah dari kepuasan kerja dari setiap
aspek pekerjaan dikalikan dengan derajat pentingnya aspek
pekerjaan bagi individu. Misalnya untuk seseorang tenaga kerja,
satu aspek dari pekerjaannya (misalnya : peluang untuk maju)
sangat penting, lebih penting dari aspek-aspek pekerjaan lain
(misalnya penghargaan), maka untuk tenaga kerja tersebut
kemajuan harus dibobot lebih tinggi daripada penghargaan.
Menurut Locke seseorang individu akan merasa puas atau
tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana
ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara
keinginan-keinginanya dan hasil keluarannya. Tambahan waktu
libur akan menunjang kepuasan tenaga kerja yang menikmati
waktu luang setelah bekerja, tetapi tidak akan menunjang kepuasan
kerja seorang tenaga kerja lain yang merasa waktu luangnya tidak
dapat dinikmati. Contohnya, seorang yang berkepribadian tipe A
atau seorang yang yang ‘kecanduan kerja’ (workaholic) tidak akan
senang jika mendapat waktu libur tambahan.
b. Model dari Kepuasan Bidang / Bagian (Facet Satisfaction)
Model Lawler dalam Munandar (2003), dari kepuasan
bidang berkaitan erat dengan tori keadilan dari Adams. Menurut
model Lawler orang akan puas dengan bidang tertentu dari
pekerjaan mereka (misalnya dengan rekan kerja, atasan, gaji) jika
jumlah dari bidang mereka persepsikan harus mereka terima untuk
melaksanakan kerja mereka sama dengan jumlah yang mereka
persepsikan dari yang secara actual mereka terima.
Misalnya persepsi seorang tenaga kerja terhadap jumlah
honorarium yang seharusnya ia terima berdasarkan unjuk-kerjanya
dengan persepsinya tentang honorarium yang secara aktual ia
terima. Jika individu mempersepsikan jumlah yang ia terima
sebagai lebih besar daripada yang sepatutnya ia terima, ia merasa
salah dan tidak adil. Sebaliknya jika ia mempersepsikan bahwa
yang ia terima kurang dari yang sepatutnya ia terima, ia akan
merasa tidak puas.
Menurut Lawler, jumlah dari bidang yang dipersepsikan
orang sebagai sesuai tergantung dari bagaimana orang
mempersepsikan masukan pekerjaan, ciri-ciri pekerjaannya dan
bagaimana mereka mempersepsikan masukan dan keluaran dari
orang lain yang dijadikan pembanding bagi mereka. Tambahan
lagi, jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang dari apa yang
secara aktual yang mereka terima tergantung dari hasil keluaran
yang secara actual mereka terima dan hasil keluaran yang
dipersepsikan dari orang dengan siapa mereka bandingkan dari
mereka sendiri.
c. Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory)
Teori Proses-Bertentangan dari Landy memandang
kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar
daripada pendekatan yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang
ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional (emotional
equilibrium).
Teori proses-bertentangan mengasumsikan bahwa kondisi
emosional yang ektrim tidak memberikan kemaslahatan. Kepuasan
atau ketidakpuasan kerja (dengan emosi yang berhubungan)
memacu mekanisme fisilogikal dalam sistem pusat saraf yang
membuat aktif emosi yang bertentangan atau berlawanan.
Dihipotesiskan bahwa emosi yang berlawanan, meskipun lebih
lemah dari emosi yang asli, akan terus ada dalam jangka waktu
yang lebih lama. Teori ini menyatakan bahwa jika orang
memperoleh ganjaran pada pekerjaan mereka merasa senang,
sekaligus ada rasa tidak senang (yang lebih lama). Setelah
beberapa saat rasa senang menurun dan dapat menurun sedemikian
rupa sehingga orang merasa agak sedih sebelum kembali normal.
Ini demikian karena emosi tidak senang (emosi yang berlawanan)
berlangsung lebih lama.
Berdasarkan asumsi bahwa kepuasan kerja bervariasi secara
mendasar dari waktu ke waktu, akibatnya ialah bahwa pengukuran
kepuasan kerja perlu dilakukan secara periodik, dengan interval
waktu yang sesuai.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja


Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.
Faktor-faktor itu sendiri dalam perencanaannya memberikan kepuasan
kepada karyawan bergantung pada pribadi masing-masing karyawan.
Faktor-faktor yang memberikan kepuasan menurut Blum dalam As’ad,
(2001) adalah :
a. Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak, dan harapan.
b. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan pekerja,
kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan.
c. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan,
ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju.
Selain itu, juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial
di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik
antarmanusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut
pribadi maupun tugas.

Menurut Gilmer (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi


kepuasan kerja adalah :

a. Kesempatan untuk maju. Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan


untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan
selama kerja.
b. Keamana kerja. Faktor ini disebut sebagai penunjang kepuasan
kerja, baik bagi karyawan. Keadaan yang aman sangat
memengaruhi perasaan karyawan selama bekerja.
c. Gaji. Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang
orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang
yang diperolehnya.
d. Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik
adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang
stabil. Faktor ini menentukan kepuasan kerja karyawan.
e. Pengawasan. Sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat
berakibat absensi dan turnover;
f. Faktor instrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada dalam pekerjaan
mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta
kebanggaan akan tugas dapat meningkatkan atau mengurangi
kepuasan.
g. Kondisi kerja . Termasuk di sini kondisi tempat, ventilasi,
penyiaran, kantin, dan tempat parker.
h. Aspek sosial dalam pekerjaan. Merupakan salah satu sikap yang
sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai factor yang menunjang
puas atau tidak puas dalam kerja.
i. Komunikasi. Komunikasi yang lancer antar karyawan dengan
pihak manajemen banyak dipakai alas an menyukai jabatannya.
Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau
mendengar, memahami, dan mengakui pendapat ataupun prestasi
karyawannya sangat berperan dalam menimnulkan rasa puas
terhadap kerja
j. Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dan dana pensiun, atau
perumahan merupakan sytandar suatu jabatan dan apabila dapat
dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.

Pendapat lain dikemukakan oleh Brown & Ghiselli (1950), bahwa


adanya lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yaitu :
a. Kedudukan.
Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang
bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas
dari pada mereka yang bekerja pada pekerjaan yang lebih
rendah.pada beberapa penelitian menunjukan bahwa hal tersebut
tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tinggkat
pekerjaanlah yang memengaruhi kepuasan kerja.
b. Pangkat.
Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat atau
golongan,sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan
tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan
upa, maka sedidkit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan
pangkat,dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru itu akan
mengubah perilaku dan perasannya.
c. Jaminan finansial dan sosial
Finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh
terhadap kepuasan kerja.
d. Mutu pengawasan.
Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat
penting artinya dala menaikan produktifitas kerja. Kepuasan dapat
ditingkatkan melalui perhatian dan hubunganyang baik dari
pimpinan kepada bawahan,sehingga karyawan akan merasa bahwa
dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja.
Berdasarkan pada pandangan ini, seorang karyawan akan
merasa puas dalam kerja apabila tidak dapat perbedaan atau selisi
antara apa yang di kehendaki karyawan, dengan kenyataan yang
mereka rasakan. Andai kata yang di rasakan dan di peroleh dari apa
yang menurut mereka harus ada, maka terjadi tingkat kepuasan
yang makin tinggi. sebaliknya, apabila kenyataan yang dirasakan
lebih renda dari apa yang menurut mereka harus ada, maka telah
terjadi ketidakpuasan karyawan terhadap kerja. Makin besar
perbedaannya ini akan makin besar pula ketidak puasan karyawan.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan kerja, yaitu :
1) Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan
kejiwaan karyawan, yang meliputi minat,ketentraman dalam
kerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan.
2) Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan
interaksi sosial antar karyawan maupun karyawan dengan
atasan.
3) Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan
kondisi fisik karyawan, meliputu jenis pekerjaan, pengaturan
waktu dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan
ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi
kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya.
4) Faktor finasial, merupakan faktor yang berhubungan dengan
jaminan serta kesejahteraan karyawan, yang meliputi sistem
dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan,
fasilitas yang di berikan, promosi, dan sebagainya.

4. Dampak Kepuasan Kerja


Dampak perilaku kepuasan dan ketidakpuasan kerja telah banyak
diteliti dan dikaji. Beberapa hasil penelitian tentang dampak kepuasan
kerja terhadap produktivitas, ketidakhadiran dan keluarnya pegawai,
dan dampak terhadap kesehatan.
a. Dampak terhadap Produktivitas
Pada mulanya orang berpendapat bahwa produktivitas
dapat dinaikkan dengan menaikkan kepuasan kerja. Hubungan
antara produktivitas dan kepuasan kerja sangat kecil. Vroom
dalam Munandar (2001), mengatakan bahwa produktivitas
dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor moderator di samping
kepuasan kerja. Lawler dan Porter dalam Munandar (2001),
mengharapkan produktivitas yang tinggi menyebabkan
peningkatan dari kepuasan kerja jika tenaga kerja memersepsikan
bahwa ganjaran intrinsic (misalnya, rasa telah mencapai sesuatu)
dan ganjaran ekstrinsik (misalnya, gaji) yang diterima kedua-
duanya adil dan wajar dan diasosiasikan dengan prestasi kerja
yang unggul.
Jika tenaga kerja tidak memersepsikan ganjaran intrinsic
dan ekstrinsik beasosiasi dangan prestasi kerja, maka kenaikan
dalam prestasi tak akan berkorelasi dengan kenaikan dalam
kepuasan kerja.
b. Dampak terhadap Ketidakhadiran dan Keluarnya Tenaga Kerja
Ketidak hadiran dan berhenti bekerja merupakan jenis
jawaban-jawaban yang secara kualitatif berbeda. Ketidak hadiran
lebih spontan sifatnya dan dengan demikian kurang
mencerminkan ketidak puasan kerja. Lain halnya dengan berhenti
atau keluar dari pekerjaan. Perilaku ini karena akan mempunyai
akibat akibat ekonomis yang besar, maka lebih besar
kemungkinannya ia berhubungan dengan ketidak puasan kerja.
Organisasi melakukan upaya yang cukup besar untuk menahan
orang-orang ini dengan jalan menaikan upah, pujian, pengakuan,
kesempatan promosi yang ditingkatkan, dan seterusnya. Justru
sebaliknya, bagi mereka yang mempunyai kinerja buruk,sidikit
upaya dilakukan oleh organisasi untuk menahan mereka. Bahkan
mungkin ada tekanan halus untuk mendorong mereka agar keluar.
Menurut Steers dan Rhodes dalam Munandar (2001), mereka
melihat adanya dua faktor pada perilaku hadir, yaitu motifasi
untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Mereka percaya bahwa
motifasi utntuk hadir di pengaruhi oleh kepuasan kerja dalam
kombinasi dengan tekanan-tekanan internal dan eksternal untuk
datang pada pekerjaan.
Robbins (2001), ketidak puasan kerja pada tenaga kerra
atau karyawan dapat di ungkapkan kedalam berbagai macam cara.
Misalnya, selain meninggalkan pekerjaan,karyawan selalu
mengelu, membangkang, menghindari sebagian tanggung jawab
pekerjaan mereka.
c. Dampak terhadap Kesehatan
Salah satu temuan yang penting dari kajian yang dilakukan
oleh Koornhauser dalam Munadar (2001) tentang kesehatan
mental dan kepuasan kerja, ialah untuk semua tingkatan jabatan,
persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut
pengguaan efektif dan kecakapan-kecakapan mereka berkaitan
dengan skor kesehatan mental yang tinggi.
Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan
kesehatan, hubungan kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa
kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik dan mental dan
kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan.tingkat daari
kepuasan kerja dan kesehatan muncul saling menguhkukan
sehinga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain
dan sebaliknya yang satu mempunyai akibat yang negatif juga
pada yang lain. Kepuasan kerja, ialah untuk semua tingkatan
jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka
menuntut penggunaan efektif dan kecakapan-kecakapan mereka
berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tiggi dan sebaliknya
yang satu mempunyai akibat yang negatif juga pada yang lain.
C. Turnover
1. Definisi Turnover
Menurut Mobley (1986) turnover adalah berhentinya individu
sebagai anggota suatu organisasi di mana ia bekerja disertai dengan
pemberian imbalan keuangan oleh organisasi tersebut. Menurut
Purbowo (2006) turnover adalah keluarnya pekerja dari tempat
bekerjanya. Mengacu pada beberapa definisi di atas maka dapat
disimpulkan bahwa turnover adalah keluar atau berpindahnya
karyawan dari perusahaan baik secara sukarela maupun terpaksa dan
disertai pemberian imbalan.
Turnover perawat dapat didefinisikan sebagai keluar atau
berpindahnya karyawan dari rumah sakit baik secara sukarela maupun
terpaksa dan disertai pemberian imbalan. Menurut Gillies (1994)
turnover optimum tenaga pertahun untuk suatu organisasi adalah
510%. Formula perhitungan turnover yang dikutip dari Gillies (1994)
yaitu :

Laju keluar dari pekerjaan pertahun = x 100%

2. Jenis Turnover
Menurut Forguson & Forgason (1986) dalam Siregar (2014) ada
dua jenis turnover, yaitu :
a. Turnover volunteer yaitu keluar dari pekerjaan secara sukarela
(volunteer). Hal ini disebabkan karena inisiatif karyawan untuk
berpindah dari posisi kepegawaian dn biasanya disebabkan karena
masalah-masalah pribadi seperti status pernikahan, melahirkan, dan
pindah kerja atau pindah kota.
b. Turnover involunter yaitu pindah kerja dari pekerjaan sekarang
dengan alas an di luar keinginan karyawan, misalnya pemecatan,
pension, meninggal dunia atau perpindahan pasangan hidup
(suami/istri).
3. Faktor-faktor Penyebab Turnover
Hunter et al (2008) mengkategorikan faktor dari voluntary
turnover menjadi tiga, yaitu:
a. Individual level factors; Pada level individu, penyebab terjadinya
voluntary turnover adalah kepuasan kerja, kompensasi, dan
pengakuan.
b. Organizational level factors; Pada level organisasi faktor penyebab
terjadinya voluntary turnover adalah lingkungan kerja dan jenjang
karir.

c. Environmental factors; Pada level lingkungan, faktor penyebab


terjadinya voluntary turnover adalah masalah pribadi dan keluarga.

Sak (2010), mengemukakan bahwa ada tiga faktor penyebab


karyawan keluar dari perusahaan, yaitu :
a. Voluntary termination : karyawan keluar dengan tujuan untuk
mencari pekerjaan lain, kembali melanjutkan sekolah, dan
sebagainya
b. Involuntary termination : karyawan keluar karena adanya
pengurangan jumlah karyawan oleh perusahaan,kerja buruk,
disiplin tidak bagus, dan sebagainya.
c. Alasan lain seperti pensiun, meninggal, dan ketidak mampuan
dalam bekerja.

Selanjutnya Mobley (1986) menyebutkan faktor terjadinya


turnover yaitu sebagai berikut :
a. Aspek lingkungan, misalnya adanya inflasi dan angka
pengangguran.
b. Aspek individu misalnya usia. Usia muda dan masa kerja lebih
singkat memiliki kemungkinan lebih besar untuk keluar.
c. Aspek internal, misalnya budaya organisasi, kepuasan terhadap
kondisi-kondisi kerja dan kepuasan terhadap rekan kerja.
d. Gaya kepemimpinan
e. Kompensasi penggajian dan kepuasan terhadap pembayaran.

4. Dampak Turnover
Pergantian Karyawan menurut Mobley (1986) bisa berdampak
negatif dan positif bagi suatu organisasi, individu yang keluar, individu
yang tinggal, dan masyarakat. Berikut dampak yang ditimbulkan dari
turnover :
a. Dampak Negatif Turnover
1) Bagi organisasi, yaitu :
a) Biaya-biaya (perekrutan, penerimaan, asimilasi, pelatihan).
b) Biaya-biaya penggantian karyawan.
c) Biaya proses pengunduran diri karyawan.
d) Rusaknya struktur sosial dan komunikasi.
e) Hilangnya produktivitas (selama pencarian dan pelatihan
penggantian).
f) Hilangnya para pemrestasi kerja yang tinggi.
g) Hilangnya kepuasan kerja diantara karyawan yang tinggal.
h) Merangsang strategi pengendalian karyawan yang kaku.
2) Bagi individu yang keluar, yaitu:
a) Hilangnya senioritas dan penghasilan tambahan.
b) Hilangnya maslahat yang bukan merupakan kepentingan
pribadi.
c) Rusaknya sistem-sistem tunjangan sosial dan keluarga.
d) Fenomena keadaan yang lebih baik dan kekecewaan yang
mengikutinya.
e) Biaya-biaya karena inflasi (bisalnya biaya hipotik).
f) Stres yang berkaitan dengan masa transisi.
g) Rusaknya karir suami atau istri.
h) Terpotongnya jalur karir.
3) Bagi individu yang tinggal, yaitu :
a) Rusaknya pola sosial dan kemasyarakatan.
b) Hilangnya kerabat-kerabat kerja yang berharga karena
fungsi mereka.
c) Berkurangnya kepuasan kerja.
d) Bertambahnya beban kerja selama dan segera setelah
pencarian pengganti.
e) Berkurangnya keterpaduan.
f) Berkurangnya keterikatan.
4) Bagi masyarakat, yaitu :
a) Peningkatan biaya-biaya produksi.
b) Ketidakmampuan daerah unutk mempertahankan atau
menarik industri.
b. Dampak Positif Turnover :
1) Bagi Organisasi yaitu :
a) Peniadaan mereka yang tidak berprestasi.
b) Masuknya pengetahuan/teknologi baru melalui para
pengganti.
c) Merangsang perubahan-perubahan dalam kebijakan dan
praktek.
d) Bertambahnya kesempatan bagi mobilitas intern.
e) Bertambahnya keluwesan structural.
f) Berkurangnya perilaku-perilaku pengunduran diri.
g) Kesempatan penurunan biaya konsolidasi.
h) Berkurangnya konflik yang berurat-akar.
2) Bagi individu yang keluar, yaitu :
a) Peningkatan penghasilan.
b) Kemajuan karir.
c) Kesesuaian antara individu-organisasi yang lebih baik,
sehingga mengurangi stress, menambah daya guna
keterampilan, dan minat yang lebih baik.
d) Rangsangan yang baru dalam lingkup sosial baru.
e) Perolehan nilai-nilai di luar pekerjaan.
f) Meningkatnya cerapan-cerapan untuk lebih mengefektifkan
diri.
3) Bagi individu yang tinggal, yaitu :
a) Bertambahnya peluang mobilitas intern.
b) Rangsangan untuk saling menumbuhkan semangat kerja
dengan rekan rekan sekerja.
c) Bertambahnya kepuasan kerja.
d) Bertambahnya keterpaduan.
e) Bertambahnya keikatan.
4) Bagi masyarakat, yaitu :
a) Mobilitas industry baru.
b) Berkurangnya ketidakhadiran dalam penghasilan.
c) Berkurangnya pengangguran dan biaya-biaya kesejahteraan
pada pasar tenaga kerja yang sedang menurun.

D. Turnover Intention
1. Defini Turnover Intention
Turnover intention adalah niat atau keinginan yang timbul dalam
diri seseorang untuk pindah kerja dari satu tempat kerja ke tempat
kerja lain. Intensi keluar (turnover intention) merupakan variabel yang
paling berhubungan dan lebih banyak menjelaskan perilaku turnover
[ CITATION Wil86 \l 1033 ]. Banyak penelitian yang dilakukan mengenai
turnover intention yang bertujuan untuk mengetahui masalah turnover.
Hasilnya mendukung penggunaan intensi turnover untuk memprediksi
turnover, karena terdapat hubungan yang kuat antara keduanya.
Abelson (1987) dalam Siregar (2014) mendefinisikan turnover
intention adalah niat seseorang untuk berpindah dan meinggalkan
organisasi serta mencari alternatif pekerjaan lain. Tindakan penarikan
diri seseorang dapat berupa adanya pikiran unutk keluar, keinginan
untuk mencari lowongan pekerjaan lain, mengevaluasi kemungkinan
untuk menemukan pekerjaan yang lebih baik di tempat lain dan adanya
keinginan unutk meninggalkan organisasi.
Menurut Robbins et al (1998) dalam Siregar (2014) bahwa
keinginan pindah kerja bagi tenaga kesehatan dipengaruhi oleh
karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, status
perkawinan, lama kerja, pelatihan kerja, profesionalisme,
pengungkapan kebutuhan pribadi, jarak tempat kerja, keinginan, dan
dinyatakan untuk tinggal di organisasi).
Berikut ini merupakan alur proses keputusan meninggalkan
pekerjaan oleh karyawan :

Job Satisfication

Thingking of
Quiting

Attendance Intention to Search Intention to Quit /


Stay

Probability of Finding An
Acceptable Alternative Quit / Stay

Gambar 2. 1 Langkah-langkah dalam Proses Keputusan Meninggalkan


Pekerjaan
Sumber : Mobley, Horner, Hollingsworth (1978) dalam Munandar (2001)

Model meniggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner,


Hollingsworth (1978) dalam Munandar (2001) yang dapat dilihat pada
bagan 2.1, menunjukkan bahwa setelah karyawan menjadi tidak puas
terjadi beberapa tahap (misalnya berfikir unutk meninggalkan
pekerjaan) sebelum keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil.
Dari penelitian dengan menggunakan model ini ditemukan bukti yang
menunjukkan bahwa tingkat dari kepuasan kerja berkorelasi dengan
pemikiran-pemikiran unutk meninggalkan pekerjaan, dan bahwa niat
untuk meninggalkan pekerjaan berkorelasi dengan meninggalkan
pekerjaan.

2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Turnover Intention


Mobley (1986), mengungkapkan bahwa keinginan keluar
karyawan (turnover intention) dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya :
a. Kondisi Eksternal Organisasi
Kondisi eksternal organisasi meliputi tingkat
pengangguran, komposisi dan bauran angkatan kerja, dan laju
inflasi. Terdapat cukup bukti mengenai adanya kumpulan
hubungan negatif yang kuat antara tingkat pengangguran dan laju
pergantian karyawan. Artinya, apabila pengangguran meningkat,
tingkat keluar karyawan menurun dan sebaliknya. Faktor yang
kedua dalam mempengaruhi laju pergantian karyawan adalah
komposisi dan bauran angkatan kerja. Pergantian karyawan
merupakan suatu implikasi penting dari komposisi dan bauran
angkatan kerja yang berubah-ubah. Efek yang mungkin terjadi
karena pasar tenaga kerja dan pergantian karyawan yang berubah-
ubah ini adalah bertambah banyaknya gerak karyawan yang lebih
muda ke organisasi-organisasi lain dan peningkatan pergantian
karyawan. Hal ini dikarenakan meningkatnya jumlah tenaga kerja
muda di dalam dunia kerja dibandingkan dengan tenaga kerja yang
sudah tua. Faktor ketiga yang mempengaruhi laju perganytian
karyawan adalah inflasi, namun hubungan ini belum cukup diteliti.
b. Karakteristik Individu
Faktor-faktor individu yang berhubungan dengan terjadinya
pergantian karyawan atau perawat antara lain :
1) Usia
Mobley (1986) mengemukakan karyawan muda
mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi daripada
karyawan yang lebih tua. Penelitian-penelitian terdahulu
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia
dan intensi turnover dengan arah hubungan negatif. Artinya
semakin tinggi usia seseorang, semakin rendah intensi
turnovernya.
Penelitian Chen et al (2018) pada perawat di Provinsi
Jiangsu Cina menyatakan niat turnover secara signifikan
berkorelasi dengan usia perawat. Dalam penelitiannya
menunjukkan perawat yang lebih muda (< 29 tahun) memiliki
niat turnover yang kuat. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Masum et al (2016) pada perawat rumah sakit yang bekerja di
Turki menyatakan niat turnover secara signifikan dengan arah
negatif dipengaruhi oleh usia perawat. Di Indonesia sendiri
penelitian yang dilakukan oleh Eviyanti (2011) pada perawat
di rumah sakit X menyatakan terdapat hubungan yang
signifikan antara umur dengan turnover intention perawat.
Karyawan atau perawat yang lebih muda akan lebih tinggi
kemungkinan untuk keluar. Hal ini mungkin disebabkan
perawat yang lebih muda mempunyai kesempatan yang lebih
banyak untuk mendapat pekerjaan yang baru dan memiliki
tanggung jawab keluarga yang lebih kecil dibandingkan
dengan perawat yang lebih tua, mereka enggan berpindah-
pindah tempat kerja karena berbagai alasan seperti tanggung
jawab keluarga, mobilitas yang menurun, tidak mau repot
pindah kerja dan memulai pekerjaan di tempat kerja baru, atau
karena energi yang sudah berkurang, dan lebih lagi karena
senioritas yang belum tentu diperoleh di tempat kerja yang
baru walaupun gaji dan fasilitasnya lebih besar
(Robbins,2001).
2) Jenis kelamin
Mobley (1986), menjelaskan bahwa hubungan antara jenis
kelamin dengan pergantian karyawan bukan merupakan pola
sederhana. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara turnover intention perawat
dengan jenis kelamin. Penelitian Masum et al (2016)
menyatakan perawat pria mempunyai niat yang lebih tinggi
untuk meninggalkan pekerjaannya dibandingkan dengan
perawat perempuan. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Kaadauroh et al (2018) pada perawat rumah sakit di Riyadh,
Arab Saudi menyatakan jenis kelamin mempengaruhi
turnover intention perawat.
3) Tingkat Pendidikan
Penelitian Chen et al (2018) menunjukkan turnover
intention perawat terkait dengan tingkat pendidikan. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Leodro et al (2018) pada perawat di
Filipina menunjukkan tingkat pendidikan berhubungan secara
signifikan dengan turnover intention perawat.
Robbins (2001) berpendapat bahwa tingkat pendidikan
berpengaruh pada dorongan untuk melakukan turnover
intention. Dalam hal ini Robbins (2001) membahas pengaruh
intelegensi terhadap turnover intention. Dikatakan bahwa
mereka yang mempunyai tingkat intelegensi tidak terlalu
tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan
dan sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah akan
tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidk
aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat intelegensi
yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-
pekerjaan yang menonton. Mereka akan lebih berani keluar
dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat
pendidikannya terbatas, karena kamampuan intelegensinya
yang terbatas pula.
4) Status Pernikahan
Penelitian Asegid et al (2014) pada perawat di Zona
Kesehatan Masyarakat Sidatama (Ethiopia Selatan)
melaporkan turnover intention secara signifikan terkait dengan
status perkawinan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Alfiah
(2013) pada perawat di Brawijaya Women and Child Hospital
(Indonesia) juga menyatakan status perkawinan memiliki
hubungan yang signifikan dengan turnover intention perawat.
Hasil riset membuktikan bahwa karyawan yang sudah
kawin lebih sedikit absensinya, mengalami pergantian yang
lebih rendah, dan lebih puas dengan pekerjaan mereka
daripada rekan sekerjanya yang masih bujangan. Perkawinan
meningkatkan rasa tanggung jawab yang dapat membuat suatu
pekerjaan yang tetap menjadi lebih berharga dan penting.
Sangat mungkin bahwa perawat yang tekun dan puas lebih
besar kemingkinan diperoleh dari perawat yang sudah kawin.
5) Status Kepegawaian
Status kepegawaian umumnya berkaitan erat dengan lama
kerja seseorang. Seorang perawat yang bertatus sebagai
karyawan tetap adalah mereka yang telah lama bekerja di
rumah sakit sesuai dengan kebijakan rumah sakit dalam
pengangkatan karyawan tetap.
Mobley (1986) menyatakan bahwa status kerja
mempengaruhi seseorang dalam keinginan keluar dan mencari
pekerjaan. Karyawan dengan status kontrak lebih tinggi
tingkat keinginan keluarnya dibandingkan dengan karyawan
yang berstatus sebagai karyawan tetap. Hal ini sejalan dengan
penelitian Chen et al (2018) yang melaporkan turnover
intention terkait dengan status kepegawaian seorang perawat.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Alfiah (2013) juga
menunjukkan status kepegawaian memiliki hubungan yang
signifikan dengan turnover intention perawat.
6) Masa Kerja
U.S Civil Service Commission (1977) menyatakan bahwa
pada setiap kelompok tertentu dari orang-orang yang
dipekerjakan, 2/3 sampai ¾ bagian dari mereka yang keluar
terjadi pada akhir tiga tahun pertama masa bakti, berdasarkan
data ini lebih dari setengahnya sudah terjadi pada akhir tahun
pertama dalam Mobley (1986). Penelitian Chen et al (2018)
melaporkan bahwa turnover intention perawat terkait dengan
masa kerjanya. Penelitian lain dilakukan oleh Kaddouroh et al
(2018) menunjukkan bahwa masa kerja mempengaruhi
turnover intention perawat. Turnover Intention lebih banyak
terjadi pada perawat dengan masa kerja lebih singkat Asegid
dkk (2014) membagi kategori masa kerja perawat kedalam
lima kategori yaitu : 6 bulan ≤ 1 tahun, 1 tahun ≤ 2 tahun, 2
tahun ≤ 5 tahun, 5 tahun ≤ 10 tahun, dan ≥ 10 tahun.

c. Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja yang menjadi penyebab turnover intention
memiliki banyak aspek diantaranya adalah :
1) Kepuasan terhadap Kompensasi
Kompensasi merupakan imbalan yang diterima oleh
karyawan dari perusahaan sebagai tanda balas jasa atas
pekerjaan yang telah dilakukan [ CITATION Soe03 \l 1033 ].
Kompensasi terbagi menjadi dua yaitu, kompensasi finansial
dan kompensasi non finansial. Kompensasi finansial meliputi
gaji, insentif, transport, sedangkan kompensasi nonfinansial
berupa jaminan kesehatan, jaminan hari tua, penghargaan
[ CITATION Wib12 \l 1033 ].
Kompensasi merupakan salah satu komponen penting yang
menentukan tingkat kepuasan kerja seorang karyawan.
Semakin besar kompensasi yang diberikan oleh perusahaan
maka akan semakin besar tingkat kepuasan kerja karyawan,
begitu pula sebaliknya [ CITATION Anw13 \l 1033 ]. Kepuasan
terhadap kompensasi akan mempengaruhi keinginan seorang
karyawan termasuk perawat untuk tetap atau meninggalkan
pekerjaannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Vevoda et al (2016) pada
perawat rumah sakit yang bekerja di Republik Ceko
menunjukkan kepuasan terhadap kompensasi memiliki
hubungan signifikan dengan turnover intention perawat.
Penelitian lain dilakukan oleh Alfiah (2013) pada perawat di
Brawijaya Women and Child Hospital menunjukkan variabel
kepuasan terhadap kompensasi memiliki hubungan yang
signifikan dengan turnover intention perawat.
2) Kepuasan terhadap Pekerjaan
Kepuasan terhadap pekerjaan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi turnover intention perawat. Karakteristik
pekerjaan yang dapat mempengaruhi turnover intention
seseorang antara lain adalah jumlah pekerjaan yang diberikan,
tingkat tanggung jawab dan kebebasan, keragaman dan
kesulitan pekerjaan (Munandar, 2001).
Mobley (1986) menyebutkan bahwa terdapat hubunga
positif antara pengualangan tugas dengan pergantian perawat,
serta hubungan negative antara otonomi, tanggung jawab
dengan pergantian perawat.
3) Kepuasan terhadap Supervisi
Supervisi atau pengawasan yang diberikan oleh supervisor
kepada para perawat turut mempengaruhi kepuasan kerja dan
keinginan perawat untuk tetap atau meninggalkan organisasi.
Ketidakpuasan terhadap supervisi terjadi ketika atasan tidak
bisa memberikan penghargaan atau dukungan, tidak
menghargai dan mengabaikan masalah yang dihadapi oleh
stafnya. Hal ini mendorong perawat untuk keluar
meninggalkan pekerjaannya. Hal ini sejalan dengan penelitian
Flitcher (2001) dalam Alfiah (2013) yang menyatakan bahwa
kepuasan terhadap supervisi secara konsisten berhubungan
dengan turnover inention. Hubungan ini sangat relevan
dikaitkan dengan Flitcher (2001) menyatakan bahwa
ketidakpuasan kerja terjadi ketika atasan tidak bisa
memberikan penghargaan atau dukungan, tidak menghargai
dan mengabaikan masalah yang dihadapi oleh stafnya.
4) Kepuasan terhadap Pengembangan Karir
Kepuasan terhadap pengembangan karir juga merupakan
salah satu faktor selain kompensasi yangturut mempengaruhi
keinginan perawat untuk meninggalkan pekerjaannya.
Purbowo (2006) menyebutkan bahwa pegawai yang diberikan
kesempatan terbatas terhadap jenjang karir akan lebih tinggi
turnover intentionnya dibandingkan dengan pegawai yang
diberikan jenjang karir yang luas. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hunter et al (2008)
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara jenjang karir dengan turnover intention. Artinya
seseorang yang mendapatkan kesempatan promosi sesuai
dengan yang diinginkan akan merasa puas dan keinginan
untuk keluarnya rendah.
5) Kepuasan Terhadap Rekan Kerja
Rekan kerja merupakan oran-orang yang ada di dalam
lingkungan pekerjaan. Hubunan yang baik dengan rekan kerja
dapat mempengaruhi keinginan seorang karyawan termasuk
perawat untuk bertahan dalam pekerjaannya. Penelitian yang
dilakukan oleh Klaus et al (2003) dalam Hunter et al (2008)
menyatakan bahwa karyawan yang mempunyai hubungan
pertemanan yang dekat pada saat bekerja akan lebih
cenderung untuk tetap tinggal di organisasi. Hal ini sejalan
dengan penelitian Vevoda et al (2016) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan signifikan antara hubungan rekan
kerja dengan turnover intention perawat.
6) Kepuasan terhadap Kebijakan Organisasi
Kepuasan terhadap kebijakan organisasi merupakan
kepuasan terhadap kepuasan gaya manajemen, prosedur, dan
kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh organisasi kepada
para pekerjanya. Semakin tinggi kepuasan terhadap kebijakan
organisasi maka akan semakin rendah tingkat turnover
intentionnya. Darsono & Siswandoko (2011) menyebutkan
bahwa kepuasan terhadap lingkungan kerja dan kebijakan
organisasi berhubungan dengan keinginan keryawan untuk
tetap atau keluar dari pekerjaannya.

3. Indikasi terjadinya Turnover Intention


Indikasi terjadinya turnover intention menurut Hartono (2002) adalah:
a. Absensi yang meningkat
Pegawai yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja,
biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat.
Tingkat tanggung jawab pegawa dalam fase ini sangat kurang
dibandingkan dengan sebelumnya.
b. Mulai malas bekerja
Pegawai yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja,
akan lebih malas bekerja karena orientasi pegawai ini adalah
bekerja di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi
semua keinginan pegawai bersangkutan.
c. Peningkatan pelanggaran tata tertib kerja
Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan
pekerjaan sering dilakukan pegawai yang akan melakukan
turnover. Pegawai lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika
jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran
lainnya.
d. Peningkatan protes terhadap atasan
Pegawai yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja,
lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan
perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya
berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak
sependapat dengan keinginan pegawai.
e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya
Biasanya hal ini berlaku untuk pegawai yang karakteristik
positif. Pegawai ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi
tehadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif pegawai
ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan
pegawai ini akan melakukan turnover.

4. Upaya Pengendalian Turnover Intention


Berikut ini adalah sejumlah hal yang dapat dilakukan perusahaan
atau organisasi dalam memerangi masalah tingginya turnover intention
perawat menurut Lingrengsing (1997) dalam [ CITATION Alf13 \l 1033 ] :
a. Mengevaluasi kembali praktek perekrutan dan seleksi perawat.
b. Pengembangan rencana pension atau pembagian keuntungan.
c. Memastikan bahwa perusahaan telah membuat kesempatan-
kesempatan bagi promosi adil dan dapat dimengerti secara baik.
d. Membuka saluran komunikasi bagi manajemen.
e. Meningkatkan penggunaan insentif non-finansial.
f. Melakukan interview bagi perawat yang akan pindah kerja dan
meninggalkan perusahaan.
g. Menanyakan pada perawat tentang apa yang mereka suka atau
tidak suka dari hal-hal yang dipraktekkan di perusahaan.
h. Melakukan penilaian kerja secara teratur.

E. Kepuasan Kerja dan Turnover Intention


Penelitian yang dilakukan oleh Masum et al (2016) pada perawat
di Turki, menyatakan kepuasan kerja yang rendah menghambat kualitas
layanan kesehatan dan membangun niat untuk keluar dari organisasi.
Penelitian lainnya dilakukan Adhi & Wardoyo (2017) pada perawat di
Semarang Medical Center Telogorejo menyatakan bahwa kepuasan kerja
berpengeruh signifikan terhadap keinginan untuk keluar (turnover
intention). Hal ini dapat diartikan, meskipun seorang perawat merasa
memiliki kepuasan dengan pekerjaanyang dilakukan sekarang, namun jika
yang bersangkutan merasa masa depannya terhambat, tidak ada jenjang
karir yang jelas, maka hal tersebut akan memicu untuk mencari peluang
berkarir di tempat yang lain. Penelitian yang lain juga dilakukan oleh
Carsten & Spector (1987) dalam Eviyanti (2011) menemukan adanya
hubungan antara kepuasan kerja dengan turnover dan intention to quit.
Penelitian serupa dilakukan oleh dilakukan oleh Arnold dan Feldman
(1982) dalam Eviyanti (2011) menyatakan bahwa tingkat kepuasan kerja
yang tinggi mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keinginan
unutk bertahan dalam perusahaan. Seorang karyawan yang merasa puas
dalam pekerjaannya, akan menunjukkan sikap yang baik di tempat kerja
yang akan berdampak buruk pada rendahnya niat untuk keluar dari
perusahaan. Jadi berdasarkan penelitian-penelitian di atas dapat diketahui
bahwa banyak kepuasan kerja merupakan faktor utama penyebab turnover
intention.

F. Kerangka Teori

Mobley et al (1978) dalam Munandar (2001) menyebutkan bahwa


keputusan perawat untuk meninggalkan pekerjaan (turnover) didahului
oleh karena adanya keinginan atau niat perawat untuk keluar dari
pekerjaannya (turnover intention). Turnover intention perawat dipengaruhi
oleh berbagai faktor, diantaranya dari faktor eksternal, karakteristik
individu, dan kepuasan kerja.

Pertama faktor eksternal di luar organisasi atau rumah sakit yang


meliputi ketersediaan alternatif pekerjaan di luar organisasi, tingkat inflasi
dan perekonomian, serta tingkat pengangguran. Faktor yang kedua yaitu
karakteristik individu yang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status pernikahan, masa kerja, dan status kerja perawat.
Faktor ketiga yang mempengaruhi keinginan seseorang untuk
meninggalkan pekerjaannya adalah kepuasan kerja yang meliputi kepuasan
kerja terhadapkompensasi, pekerjaan, supervisi, pengembangan karir,
rekan kerja, dan kebijakan organisasi.
Berdasarkan hal di atas, maka kerangka teori dalam penelitian ini
di susun sebagai berikut.

KARAKTERISTIK

Gambar 2. 2 Kerangka Teori Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Turnover


Intention Perawat di Rumah Sakit

1
Sumber : Mobley et al (1978) dalam Munandar (2001), 2Chen et al (2018),
3
Vevoda et al (2016), 4Masum et al (2016), 5Yang et al (2015),
6
Kaddourah et al (2018), 7Abubakar et al (2014), 8Asegid et al
(2014), 9Leodro et al (2018), 10Alfiah (2013), 11Veruswati (2011),
12
Eviyanti (2011)

Anda mungkin juga menyukai