Anda di halaman 1dari 33

TUGAS BIOETIKA

Xenotransplantasi dan Etika dalam Aplikasi Xenotranplantasi

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bioetika

Dosen pengampu :
Prof. Dr. Johan Iskandar, M.Sc.

Disusun oleh :
Riska Kurniawati
140410190039 / Kelas A

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Xenotransplantasi dan Etika dalam Aplikasi Xenotranplantasi” ini dengan
baik dan tepat pada waktunya.
Makalah ini saya susun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Bioetika
dengan dosen pengampu Prof. Dr. Johan Iskandar M.Sc. Tak lupa saya juga
mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak maupun dosen pengampu yang
telah senantiasa membimbing dan memberikan pengajaran sehingga saya dapat
menyusun makalah ini dengan konsep dan arahan yang jelas dan diharapkan sesuai
target pembelajaran. Adapun topik yang ada pada makalah ini membahas berbagai
informasi seputar definisi xenotransplantasi, bagaimana praktiknya, hingga etika
penerapan xenotransplantasi.
Saya menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna
karena terdapat adanya kekurangan, baik penulisan secara teknis maupun materi yang
disampaikan. Oleh karena itu, segala kritik maupun saran yang membangun sangat
saya harapkan demi penyempurnaan makalah di waktu yang akan datang.
Demikian makalah ini disusun, semoga dapat bermanfaat sebagai pembuka
wawasan baru, sumber pembelajaran, maupun referensi bagi pembaca. Terimakasih.

Bandung, 14 Desember 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Transplantasi organ telah menjadi salah satu keberhasilan utama di bidang
kedokteran. Populasi manusia yang semakin bertambah menyebabkan kebutuhan
berbagai jenis transplantasi pun ikut meningkat. Sayangnya, organ donor manusia
yang cocok sangat langka. Selain itu, tranplantasi ini tidak jarang menimbulkan
komplikasi jangka panjang yang dapat mengarah pada gangguan kesehatan lain yang
lebih serius. Kegagalan transplantasi ini membuat kekhawatiran bagi masyarakat,
terutama bagi mereka yang berkaitan langsung dengan praktik transplantasi. Oleh
karena itu, dikembangkan beberapa upaya pencegahan kegagalan transplantasi ini,
yaitu allotransplantasi berupa (i) perangkat mekanis yang dikembangkan, (ii)
rekayasa jaringan, dan (iii) teknologi sel induk. Meskipun perangkat mekanis telah
diperbaiki dengan hasil yang cukup baik, tetapi alat tersebut masih mahal dan tidak
praktis. Rekayasa jaringan dan penelitian sel punca masih jauh dari menghasilkan
jaringan berdiferensiasi yang berfungsi atau bahkan organ bervaskularisasi yang
terdiri dari berbagai jenis sel T. Berdasarkan pertimbangan tersebut, para ahli saat ini
menganggap bahwa xenotransplantasi sebagai solusi yang optimal.
Peningkatan tingkat keberhasilan dalam allotransplantasi (organ dari anggota
yang berbeda dari spesies yang sama) telah meningkatkan permintaan pada organ
donor. Jenis transplantasi lainnya selain allotransplantasi diantaranya
autotransplantasi (organ atau jaringan seseorang digunakan untuk transplantasi) dan
isotransplantasi (organ dari satu orang ditransplantasikan ke orang lain yang identik
secara genetik, seperti kembar identik). Meskipun terdapat beberapa alternatif lain
disamping allotransplantasi, para ahli medis maupun ilmuwan tetap memiliki
ketertarikan yang kuat pada transplantasi lintas spesies atau xenotransplantasi baru-
baru ini. Adanya kekurangan yang ditunjukkan dalam beberapa metode transplantasi
di atas, terdapat berbagai hal yang menyebabkan perkembangan xenotransplantasi
seperti masalah
kekurangan organ donor, kemajuan dalam pengobatan transplantasi, investasi dalam
penelitian bioteknologi, dan tidak tersedianya alternatif yang lebih sesuai secara etika
untuk organ manusia. Xenotransplantasi dinilai memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan allotransplantasi. Keunggulan ini seperti dapat mengatasi
kekurangan organ, transplantasi dapat direncanakan, organ dalam status baik, dapat
ditandai dengan baik, dan risiko mikrobiologis mungkin rendah. Namun, prinsip etika
pada xenotransplantasi juga masih menjadi perdebatan hingga saat ini sehingga perlu
adanya kajian lebih lanjut.

1.2. Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.2.1 Mengetahui pengertian transplantasi secara umum
1.2.2 Mengetahui pengertian dan sejarah singkat xenotransplantasi
1.2.3 Mengetahui jenis hewan apa saja yang digunakan dalam xenotransplantasi
1.2.4 Mengetahui contoh aplikasi xenotranplantasi yang telah dilakukan
1.2.5 Mengetahi risiko xenotransplantasi bagi manusia
1.2.6 Mengetahui etika xenotransplantasi
BAB II
ISI
2.1. Transplantasi

Transplantasi merupakan tindakan operatif pemindahan organ atau jaringan


tubuh dari donor (pemberi) untuk resipien (penerima) untuk tujuan memperbaiki
kinerja organ atau jaringan dalam tubuh resipien. Organ yang digunakan dalam teknik
transplantasi memiliki daya hidup sehat dan kemampuan untuk menggantikan organ
tubuh yang tidak sehat sehingga fungsi organ dapat berjalan dengan baik. Beberapa
syarat untuk transplantasi diantaranya golongan darah, DNA, dan jenis antigen yang
cocok antara donor dan resipien, tidak terjadi reaksi penolakan antigen dan antibodi
oleh resipien atau penerima organ. Setelah dirasa cocok, maka selanjutnya harus
dilakukan pemeriksaan seperti perfusi organ atau jaringan dan metabolisme organ
apakah masih berfungsi dengan baik atau tidak (Sari, 2020).
Pentingnya melakukan pemeriksaan ini berkaitan dengan isu mati klinis yang
disebabkan oleh nekrosisnya jaringan atau organ karena permasalahan utama bagi
donor dan resipien dalam transplantasi adalah adanya reaksi penolakan tubuh
(rejection) resipien dalam menerima organ transplantasi baik dalam jangka pendek
maupun panjang, Bagi pendonor risiko kegagalan fungsi dapat terjadi karena
berkurangnya satu fungsi organ yang diambil (Wibisono, 2020). Transplantasi
dilakukan dengan tujuan pengobatan penyakit sebagai berikut 1) Pengobatan serius,
jika tidak dilakukan transplantasi maka akan berakibat pada kematian. 2) Pengobatan
yang dilakukan untuk menghindari cacat fisik yang akan menimbulkan gangguan
psikologi pada penderita dan hanya untuk menghindari cacat seumur hidup
(Mubarriroh, 2021).

2.2. Xenotransplantasi dan Sejarah Singkat


Xenotransplantasi termasuk ke dalam salah satu jenis transplantasi, yaitu
heterotransplantasi. Heterotransplantasi merupakan tindakan transplantasi di mana
donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi
yang
donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia (Ramly, 2019).
Xenotransplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ dari spesies bukan
manusia kepada tubuh manusia. Contohnya pemindahan organ babi ke tubuh manusia
untuk mengganti organ manusia yang telah rusak atau tidak berfungsi baik
(Zulkarnaen, 2016). Sejarah mengenai xenotransplantasi ini dimulai dari tahun 1628
dengan adanya percobaan transfusi darah dari domba ke manusia. Selanjutnya mulai
dilakukan eksperimen dengan ginjal, hati, jantung dari primata. Di abad 20, ada juga
transplantasi organ padat dari hewan ke manusia, berdasarkan catatan Journal of the
Royal Society of Medicine (Ekser et al., 2012).
Perkembangan metode xenotransplantasi hingga saat ini tidak terlepas dari
berbagai kontroversi. Pendukung xenotransplantasi berpendapat bahwa
xenotransplantasi dapat memberikan organ dalam kurun waktu yang "relatif lebih
cepat" sehingga dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa. Jika organ hewan mudah
tersedia untuk transplantasi, sebagian besar resipien (penerima) yang memerlukan
tindakan transplantasi dan tentunya telah memenuhi syarat tentunya akan menerima
transplantasi jauh lebih awal untuk mengobati penyakit mereka. Dikatakan bahwa ini
dapat mengurangi kesusahan dan penderitaan terutama bagi pasien atau resipien.
Sementara itu, xenotransplantasi secara teoritis dapat meningkatkan waktu
kelangsungan hidup. Namun, seorang resipien yang telah melakukan proses
xenotransplantasi memerlukan adanya terapi imunosupresan jangka panjang dan
adanya risiko infeksi zoonosis sebenarnya akan memperburuk hasil jangka panjang
secara keseluruhan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa xenotransplantasi
mungkin terkait dengan transmisi mikroorganisme dari hewan pendonor termasuk
virus, bakteri, jamur, dan parasit. Penularan sebagian besar mikroorganisme dengan
pengecualian retrovirus endogen babi dapat dicegah dengan menyaring babi donor
dan pembiakan bebas patogen yang memenuhi syarat. Penggunaan babi sebagai
donor utama bagai manusia, perlu diperhatikan bahwa babi pendonor dapat berperan
sebagai carrier (pembawa) penyakit retrovirus endogen babi (PERV) di mana
penyakit ini mewakili risiko khusus karena penyakit ini terdapat dalam genom semua
babi dan menginfeksi
sel manusia secara in vitro. Sampai saat ini, tidak ada transmisi retrovirus endogen
babi yang diamati dalam xenotransplantasi eksperimental dan klinis serta dalam
berbagai eksperimen infeksi. Namun demikian, strategi perlu dikembangkan untuk
mencegah penularan dan infeksi penyakit ini ke manusia.

2.2.1. Hewan yang digunakan dalam xenotransplantasi


Babi telah menjadi hewan pilihan untuk donor organ, khususnya jantung,
tetapi juga ginjal dan sel pulau pankreas. Babi dipilih sebagai donor karena kesamaan
fisiologis, waktu reproduksi yang rendah, jumlah keturunan yang tinggi,
kemungkinan untuk menghasilkan babi kloning dan transgenik, serta biaya yang
rendah. Organ babi, terutama jantung, ukurannya sebanding dengan manusia. Babi
sebagai hewan peliharaan dapat dengan mudah dibesarkan dalam kurungan yang
relatif terkendali. Babi juga memiliki jumlah anakan yang cukup besar bahkan dapat
mencapi 12 anak babi sekaligus dengan memiliki periode kehamilan yang relatif
singkat hanya tiga bulan, tiga minggu, dan tiga hari (Lelovas et al., 2014).
Meskipun primata non-manusia seperti halnya kera, simpanse, dan babon
secara imunologis lebih dekat dengan manusia, tetapi ukuran organ dari kera terlalu
kecil, memiliki waktu kehamilan yang sangat lama, jumlah keturunan yang sedikit,
dan termasuk spesies dengan jumlah populasi yang rendah sehingga terancam punah.
Di samping itu, adanya hubungan genetik yang erat antara manusia dengan primata
non- manusia, maka risiko penyebaran penyakit tentunya menjadi lebih besar dalam
kasus penggunaan primata sebagai donor xenotransplantasi. Akibat alasan ini,
pemerintah tertentu, misalnya Inggris, sangat melarang primata non-manusia sebagai
calon transplantasi (Hawthome et al., 2019).
Pemilihan spesies donor juga dipengaruhi oleh potensi risiko mikrobiologis.
Hal ini seringkali menjadi subjek diskusi apakah transmisi mikroorganisme dari
spesies terkait (primata non-manusia) menggunakan reseptor yang terkait erat lebih
efektif daripada transmisi dari spesies yang tidak terkait (babi). Tentunya hal ini
masih menjadi teka-teki dan sebuah penelitian yang sedang dikembangkan hingga
saat ini.
2.2.2. Contoh Xenotransplantasi yang Telah Dilakukan
Di dunia, terdapat beberapa praktik xenotransplantasi telah dilakukan. Ginjal
simpanse telah ditransplantasikan ke pasien gagal ginjal. Pada tahun 1984, jantung
babon ditransplantasikan ke bayi yang baru lahir, Baby Fae, yang menderita sindrom
jantung kiri hipoplastik dan hidup 20 hari setelah operasi jantung. Selain itu, hati
babon ditransplantasikan ke pasien dengan gagal hati. Saat ini, babi domestik (Sus
scrofa domestica) dianggap sebagai donor bahan biologis terbaik untuk
xenotransplantasi.
Baru-baru ini, xenotransplantasi berupa cangkok ginjal babi ke manusia
berhasil dilakukan. Proses cangkok ginjal babi memakan waktu percobaan selama 54
jam. Ginjal babi ditempatkan di pembuluh darah pada kaki bagian atas pasien (di luar
abdomen). Para dokter mencoba mengawasi respons imun yang lebih cepat terhadap
ginjal babi karena antibodi dalam darah manusia bisa saja menyerang organ saat
dilakukan pencangkokan. Untungnya, dalam percobaan tidak ditemukan serangan
seperti itu. Sebaliknya, ginjal babi mulai memproduksi urin dalam jumlah besar
dalam beberapa menit setelah disatukan dengan pembuluh darah pasien. Setelah
menempel di pembuluh darah pada kaki bagian atas, ginjal babi mulai menyaring
creatine (produk limbah dari fungsi sel otot). Kemudian, ginjal babi dengan cepat
menurunkan kadar creatine ke kisaran normal.

2.2.3. Risiko Xenotransplantasi pada Manusia


Penularan virus limfotropik sel T manusia (HTLV) dan human
immunodeficiency virus (HIV) dari primata non-manusia (contohnya kera) ke
manusia sangat mudah terjadi, hal ini disebabkan adanya reseptor yang sesuai dan
metabolisme serupa di sel yang terinfeksi. Selain itu, jika hewan donor yang
digunakan adalah babi, maka kemungkinan penyakit yang dapat timbul adalah
porcine endogene retrovirus (PERV) yang dapat ditularkan dari babi ke manusia
ketika terjadi prosedur xenotransplantasi. Perbedaan lama hidup babi dan manusia
juga memungkinkan organ yang ditransplantasikan akan cepat menua dan mati
sehingga fungsi organ donor dari babi tidak dapat mendukung kehidupan manusia
sepenuhnya. Risiko lain yang
ditimbulkan adalah munculnya bakteri resisten antibiotik juga mampu ditransmisikan
ke manusia melalui penggunaan organ babi.

Gambar 1. Xenotransplantasi Babi ke Manusia


Sumber : Denner (2014)

2.3. Etika Xenotransplantasi


Xenotransplantasi merupakan tantangan khusus untuk pengambilan keputusan
etika. Terdapat beberapa aspek dasar bagi xenotransplantasi yang menjadikannya
sebagai tantangan khusus bagi etika. Pertama, dari sisi kesehatan dan keselamatan
pasien, xenotransplantasi menimbulkan risiko tertentu bagi pasien dan juga
memperbesar risiko terhadap keselamatan dan kesehatan masyarakat. Hal ini karena
kemungkinan teoretis zoonosis (dalam hal ini lebih tepat "xenosis"), yaitu transfer
virus dari organisme pendonor (virus ini mungkin atau mungkin tidak menyebabkan
penyakit) ke penerima. Penyakit yang menjadi perhatian khusus adalah porcine
endogene retrovirus (PERV) yang dapat ditransmisikan ketika dilakukan transfer sel
babi ke manusia. PERV ini tidak bermasalah untuk babi, tetapi memiliki dampak
yang fatal bagi manusia yang terinfeksi terutama jika kemungkinan mutasi juga
diperhitungkan (Niu et al., 2017). Selain itu, risiko lain juga dapat disebabkan karena
babi memiliki rentang kehidupan yang lebih pendek daripada manusia, sehingga
xenograft yang ditransplantasikan akan menua dan mati lebih cepat sehingga fungsi
organ donor dari babi tersebut tidak akan menunjang manusia selama masa hidupnya.
Tidak hanya PERV, bakteri resisten antibiotik juga mampu ditransmisikan ke
manusia melalui penggunaan organ babi. Selain menginfeksi penerima, beberapa
penyakit ini dapat menyebar “secara horizontal” kepada individu lain yang dapat
membahayakan kesehatan masyarakat. Semua ini dengan jelas menggambarkan
sejauh mana xenotransplantasi memiliki bahaya yang cukup besar.
Jika ditinjau dari segi kesehatan juga, adanya kesulitan dalam memetakan
mekanisme yang diperlukan untuk xenotransplantasi dan memperkirakan risiko
transfer dari donor ke penerima. Adanya reaksi penolakan organ yang
ditransplantasikan ke tubuh penerima menjadi masalah serius karena adanya
perbedaan yang cukup besar antara jaringan manusia dan hewan sehingga tubuh
manusia akan mengenali organ hewan tersebut sebagai “material asing”. Dalam
beberapa jam setelah transplantasi, bahkan jika obat imunosupresif digunakan
kemungkinan terjadinya penolakan hiperakut dan transplantasi gagal memiliki
peluang yang sangat besar. Berdasarkan sudut pandang biologi, semakin jauh
hubungan kekerabatan antar pendonor dan penerima maka akan semakin kuat reaksi
kekebalan yang terjadi dalam tubuh manusia sebagai penerima. Namun, dalam kasus
babi rekayasa genetika, sejumlah kecil materi genetik manusia dapat disuntikkan ke
dalam embrio babi yang sedang berkembang, sehingga anak babi yang dihasilkan
tidak dikenali sebagai makhluk asing. Pada tahun 2016, peneliti National Institutes of
Health (NIH) mengumumkan bahwa hati babi telah disimpan dalam tubuh babon
selama tiga tahun. Penggunaan obat penekan sistem kekebalan juga telah mengurangi
kemungkinan penolakan.
Xenotransplantasi hingga saat ini sedang dalam perjalanan dari laboratorium
ke klinik. Adanya isu-isu peraturan seperti informed consent, kriteria untuk
pendaftaran pasien, hak dan kewajiban pihak ketiga, manajemen etika tindakan
keselamatan, penggunaan hewan, dan risiko kesehatan masyarakat tetap menjadi
perhatian utama dalam aplikasi xenotransplantasi ini (Denner, 2014). Pendapat yang
bertentangan juga
dapat berasal dari segi etik kedokteran sendiri, xenotransplantasi merupakan pilihan
yang tepat apabila kita mempertimbangkan kaidah dasar bioetika kedokteran
beneficence. Secara prinsip, beneficence merupakan prinsip untuk menolong orang
lain melebihi kepentingan dan minat seseorang. Dalam hal ini, menyelamatkan nyawa
pasien merupakan hal penting bagi seorang dokter. Oleh karena itu, jika
mempertimbangkan aspek beneficence dari kaidah dasar bioetika, xenotransplantasi
merupakan hal yang diperbolehkan (Hasim et al., 2020).
Pelaksanaan xenotransplantasi karena masih tergolong langka, maka
diperlukan perawatan resipien awal, tetapi hal ini dapat menimbulkan masalah etika
yang serius. Perawatan ini bertujuan untuk memperpanjang waktu kelangsungan
hidup penerima xenografts dan viabliitas organ yang ditransplantasikan. Pengenalan
xenotransplantasi secara luas dapat berimplikasi pada sistem perawatan kesehatan.
Hal ini akan menyebabkan implikasi biaya, terutama dalam keterbatasan uang seperti
perawatan kesehatan di Inggris. Ada kemungkinan juga xenotransplantasi akan
menggantikan kegiatan lain yang mungkin lebih berharga untuk diinvestasikan
dibandingkan mengikuti prosedur dan perawatan pasca transplantasi.
Kedua, dari segi etika, xenotransplantasi menimbulkan banyak variasi
pendapat terutama etika yang dilihat dari sudut pandang spesies hewan dan alam yang
menegaskan bahwa hak-hak dan kepentingan hewan sebagai makhluk hidup
sangatlah terancam. Selain itu, metode xenotransplantasi seringkali memerlukan
adanya rekayasa genetik untuk organ atau jaringan hewan donor yang akan
ditransplantasikan karena agar organ tersebut dapat beradaptasi dengan tubuh
manusia, tentunya hal ini dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kode genetik
hewan secara permanen. Perubahan sifat dan perilaku asli hewan donor juga dapat
disebabkan oleh prosedur pendahuluan xenotransplantasi. Xenotransplantasi akan
membutuhkan hewan rekayasa genetika melalui penyisipan ke dalam DNA hewan
tersebut dari satu atau lebih gen manusia. Jelas ini melibatkan mengubah 'sifat' hewan
donor dalam beberapa hal (Yao, 2018).
Jika beralih pada sisi kesejahteraan hewan pendonor itu sendiri. Penggunaan
hewan donor untuk xenotransplantasi akan mendorong beberapa pihak untuk
mengembangbiakkan hewan tersebut secara besar-besaran, dampaknya berpengaruh
terhadap jumlah spesies bahkan keseimbangan ekosistem karena jumlah hewan yang
tidak terkendali. Hewan ini juga akan menjadi “korban penderitaan” karena terus-
menerus dibunuh untuk diambil organ atau jaringan tubuhnya bagi manusia. Hal ini
sangat disayangkan bagi orang-orang yang kontra dan termasuk ke dalam golongan
pecinta hewan.
Ketiga, dari segi agama, terutama agama Islam, berdasarkan pendapat
beberapa ulama menyatakan bahwa xenotransplantasi tidak boleh dilakukan atas
dasar larangan menggunakan bahan terlarang sebagai obat, menjaga kemuliaan hidup
dan kesucian tubuh manusia, serta untuk menghindari keraguan. Prinsip-prinsip ini
dapat diterapkan pada transplantasi pada umumnya ataupun xenotransplantasi,
terlebih apabila organ atau jaringan diambil dari babi. Pada agama Islam, babi
merupakan hewan yang haram (terlarang), maka dari itu, penggunaan babi sebagai
apapun sangatlah dilarang dalam Islam. Selain itu, ahli medis maupun ilmuwan
menilai bahwa xenotransplantasi telah diketahui dapat menimbulkan mudharat
sehingga sudah seharusnya tidak dilakukan. Islam adalah salah satu agama yang
mengharamkan suatu tindakan yang dapat menimbulkan kemudharatan bagi suatu
makhluk terutama manusia sehingga tindakan xenotransplantasi ini tidak didukung
sepenuhnya. Pendapat berbeda juga dilontarkan oleh beberapa ulama yang
menyatakan xenotransplantasi merupakan hal yang diperbolehkan atas dasar prinsip
kesejahteraan publik dan altruisme. Secara umum, pendapat ulama ini menyatakan
xenotransplantasi boleh dilakukan jika hewan yang digunakan termasuk hewan yang
halal, dan jika memang harus menggunakan hewan yang haram (seperti babi),
xenotransplantasi tidak diperbolehkan kecuali jika memang sudah kondisi sangat
darurat dan tidak ada pilihan lain (Asa & Azmi, 2018).
Keempat, dari segi penerimaan masyarakat, masyarakat juga mungkin
memiliki pandangan tentang jenis hewan tertentu yang digunakan sebagai hewan
donor. Misalnya, masyarakat selama ini telah mengetahui pola hidup hewan yang
akan dijadikan donor seperti babi, mungkin masyarakat akan berpikir bahwa babi
tidak layak untuk dijadikan sebagai hewan donor dalam praktik xenotransplantasi
karena berkaitan
dengan kebiasaan babi yang senang hidup di tempat kotor dan adanya pemikiran lain
mengenai risiko buruk dari xenotransplantasi tersebut. Tidak sedikit orang maupun
organisasi hak asasi hewan yang menentang transplantasi organ dari primata. Akan
tetapi, penggunaan organ yang diambil dari hewan-hewan yang dari awalnya telah
digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik manusia layaknya sandang dan
pangan (contoh: babi, domba, ayam, kambing, dan sapi) tidak terlalu menimbulkan
penolakan dari masyarakat.
Selain itu, kekhawatiran tentang keselamatan penerima (resipien)
transplantasi, serta kesehatan masyarakat tentunya akan berdampak pada pembatasan
privasi penerima dari xenotransplantasi tersebut, sebab mereka perlu dipantau apakah
terdapat patogen yang berbahaya bagi mereka dan orang lain sehingga secara tidak
langsung akan memengaruhi privasi tidak hanya penerima, tetapi juga keluarga,
teman, rekan kerja, dan orang lain yang berhubungan dengannya. Secara korelatif,
sangat tidak mungkin bahwa identitas mereka yang menerima xenotransplantasi dapat
dirahasiakan, sehingga sangat mungkin bahwa orang-orang tersebut akan terlihat
berbeda secara signifikan, atau bahkan sebagai "aneh", terutama jika penerimanya
adalah anak-anak dan kemungkinan besar akan menjadi sasaran ejekan misalnya
dengan kata-kata seperti "hati babi" jika hewan donornya babi. Apabila hal ini terus
berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka tak dapat dipungkiri bahwa adanya
praktik xenotransplantasi ini dapat menyebabkan kerusakan psikologis yang
signifikan bagi penerimanya.
Kelima, dari segi hukum, meskipun hingga saat ini belum ada ketentuan
pidana sebagai ultimatum remedium-nya, di Indonesia hukum praktik
xenotransplantasi diperbolehkan selama memenuhi beberapa syarat yang terdapat
dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang transplantasi (Iqbal,
2017). Dalam hal ini, xenotransplantasi boleh dilakukan hanya tujuan kemanusiaan
dan dilarang untuk dikomersialkan, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memang
memiliki keahlian dan kewenangan untuk hal itu, dilaksanakan pada fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu, serta telah terbukti manfaat dan keamanannya.
Singkatnya, ada berbagai bahaya terkait dengan xenotransplantasi, baik bagi
penerima maupun bagi masyarakat luas. Namun, sampai sekarang, tidak satu pun dari
bahaya yang diproyeksikan ini terjadi, hal ini karena tidak ada xenotransplantasi yang
berhasil. Pemerintah sangat berhati-hati dalam mengizinkan penelitian tak terbatas ke
dalam xenotransplantasi untuk dilanjutkan, mungkin karena keraguan masyarakat
mengenai semua aspek bioteknologi. Bahkan jika metode ini tersedia secara luas,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perawatannya akan sangat mahal. Produksi
organ donor bebas patogen akan melibatkan pemeliharaan hewan di lingkungan yang
dikontrol, mengikuti standar pemeriksaan, dan pengawasan yang ketat. Biaya
tambahan untuk mengembangkan tenaga kerja yang berkelanjutan untuk
menyediakan transplantasi dan pengawasan pasca-transplantasi pasien dan
masyarakat akan tinggi. Penyedia asuransi kesehatan mungkin tidak menanggung
biaya xenotransplantasi ini. Penyedia layanan kesehatan masyarakat mungkin
menolak untuk memberikan perawatan ini karena mungkin tidak direkomendasikan
oleh kelompok ahli.
Berdasarkan sudut pandang di atas, jika aplikasi xenotransplantasi lebih
dititikberatkan pada kesehatan dan keselamatan pasien penerima, saya berpendapat
bahwa xenotransplantasi diperbolehkan tetapi hanya digunakan sebagai pilihan
terakhir dan jika tidak ada alternatif lain yang dapat digunakan selain metode
tersebut. Namun, perlu diperhatikan juga syarat agama, hukum, risiko komplikasi,
dan kesejahteraan hewan, Riset lebih lanjut dan pengontrolan kualitas secara berkala
juga perlu dilakukan untuk mencegah berbagai risiko dan dampak negatif yang
dapat disebabkan oleh praktik xenotransplantasi ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Xenotransplantasi merupakan teknik pemindahan suatu jaringan atau organ


dari spesies bukan manusia kepada tubuh manusia. Secara praktiknya, etika
xenotransplantasi banyak menimbulkan berbagai pro dan kontra, baik itu di kalangan
masyarakat, ahli medis, maupun ilmuwan karena perbedaan pendapat ini dapat
ditinjau dari beberapa sisi seperti segi kesehatan, medis, etika terhadap hewan,
agama, penerimaan masyarakat, dan hukum. Xenotransplantasi diperbolehkan hanya
sebagai pilihan terakhir dan jika tidak ada alternatif lain untuk digunakan. Metode ini
tidak dibenarkan untuk dipraktikkan pada pasien jika akan menimbulkan risiko
penyakit berbahaya dan mengancam keselamatan hidup pasien sebagai resipien
maupun masyarakat luas.

3.2 Saran
Jika masih memungkinkan adanya alternatif transplantasi lain yang lebih
aman dibandingkan xenotransplantasi, saya lebih menyarankan untuk menghindari
metode ini karena secara garis besar memiliki dampak negatif yang lebih dominan
dibandingkan positifnya bagi kehidupan manusia sebagai penerima, masyarakat, dan
hewan donor itu sendiri. Selain itu, adanya bahaya dari segi kesehatan seperti
munculnya penyakit PERV dan bakteri resisten sangat perlu dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Asa, R. S., & Azmi, I. M. A. G. (2018). The concept of halal and halal food
certification process in Malaysia: Issues and concerns. Malaysian Journal of
Consumer and Family Economics. 20: 38-50.

Denner, J. (2014). Xenotransplantation-progress and problems: a review. Journal


Transplant Technol Res. 4(2):1-10.

Ekser, B., Ezzelarab, M., Hara, H., van der Windt, D. J., Wijkstrom, M., Bottino,
R.,& Cooper, D. K. (2012). Clinical xenotransplantation: the next
medical revolution?. The lancet. 379(9816): 672-683.

Hasim, N. A., Amin, L., Mahadi, Z., Yusof, N. A. M., Ngah, A. C., Yaacob, M., &
Aziz, A. A. (2020). The integration and harmonisation of secular and Islamic
ethical principles in formulating acceptable ethical guidelines for modern
biotechnology in Malaysia. Science and engineering ethics. 26(3): 1797-1825.

Hawthorne, W. J., Cowan, P. J., Buehler, L. H., Yi, S., Bottino, R., Pierson, R. N., &
Wang, W. (2019). Third WHO global consultation on regulatory requirements
for xenotransplantation clinical trials, Changsha, hunan, China december 12-
14, 2018:" the 2018 Changsha communique" the 10-year anniversary of the
international consultation on xenotransplantation. Xenotransplantation. 26(2):
125-130.

Iqbal, M. (2017). Perkembangan kejahatan dalam upaya penegakan hukum pidana:


Penanggulangan kejahatan profesional perdagangan organ tubuh
manusia. PROCEEDINGS UNIVERSITAS PAMULANG. 2(1).

Lelovas, P. P., Kostomitsopoulos, N. G., & Xanthos, T. T. (2014). A comparative


anatomic and physiologic overview of the porcine heart. Journal of the
American Association for Laboratory Animal Science. 53(5): 432-438.
Mubarriroh, N. (2021). TRANSPLANTASI DALAM KAJIAN ISLAM. Al Amin:
Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam. 4(2): 214-228.
Niu, D., Wei, H. J., Lin, L., George, H., Wang, T., Lee, I. H., & Yang, L. (2017).
Inactivation of porcine endogenous retrovirus in pigs using CRISPR-
Cas9. Science. 357(6357): 1303-1307.
Ramly, A. (2019). Transplantasi Organ Tubuh sebagai Pengganti Hukuman Qhisas
dalam Hukum Islam (Studi Terhadap Delik Pelukaan Mata). Sasi. 25(2): 146-
154.
Sari, M. (2020). Transplantasi Organ dalam Al-Quran Perspektif Tafsir Al-
Maqasidi. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin. 22(1): 61-72.
Wibisono, B. (2020). Penegakan Hukum Pidana Terhadap Donor Transplantasi
Organ Tubuh Manusia Yang Bersifat Komersil Dikaitkan Dengan Hak
Seseorang Atas Tubuhnya (The Right of Self-Determination). Tunas Medika
Jurnal Kedokteran & Kesehatan. 6(2).
Yao, Y. (2018). Genome-Edited Animals Are Not Transgenic Animals: Moving
towards Responsible Research and Innovation with New
Biotechnologies. Minn. JL Sci. & Tech. 20: 399-405.
Zulkarnaen, M. F. (2016). Implementasi Medikolegal Transplantasi Organ Dari
Donor Jenazah Untuk Peningkatan Kesehatan Masyarakat. Jurnal Ilmiah
Hukum Dan Dinamika Masyarakat. 9(2): 181-190.
TUGAS BIOETIKA
Kloning dan Etika Produksi Daging Hewan Kloning Konsumsi

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bioetika

Dosen pengampu :
Prof. Dr. Johan Iskandar, M.Sc.

Disusun oleh :
Riska Kurniawati
140410190039 / Kelas A

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Kloning Hewan dan Etika Produksi Daging Hewan Kloning Konsumsi” ini
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Makalah ini saya susun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Bioetika
dengan dosen pengampu Prof. Dr. Johan Iskandar M.Sc. Tak lupa saya juga
mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak maupun dosen pengampu yang
telah senantiasa membimbing dan memberikan pengajaran sehingga saya dapat
menyusun makalah ini dengan konsep dan arahan yang jelas dan diharapkan sesuai
target pembelajaran. Adapun topik yang ada pada makalah ini membahas berbagai
informasi seputar definisi kloning, bagaimana praktiknya, hingga etika kloning.
Saya menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna
karena terdapat adanya kekurangan, baik penulisan secara teknis maupun materi yang
disampaikan. Oleh karena itu, segala kritik maupun saran yang membangun sangat
saya harapkan demi penyempurnaan makalah di waktu yang akan datang.
Demikian makalah ini disusun, semoga dapat bermanfaat sebagai pembuka
wawasan baru, sumber pembelajaran, maupun referensi bagi pembaca. Terimakasih.

Bandung, 14 Desember 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kloning hewan menjadi perhatian publik sejak tahun 1996 dengan lahirnya
kloning mamalia pertama, Domba Dolly. Sejak itu, sejumlah perusahaan terus
menggunakan kloning untuk menghasilkan beragam klon hewan, dan hingga saat ini
mendorong beberapa pihak untuk mengizinkan komersialisasi adanya penjualan
daging dan susu yang berasal dari hewan hasil kloning dan keturunannya. Para
peternak daging kini mulai beranjak dari metode konvensional (peternakan umum dan
daging dari hasil proses sembelih) dan mulai menggembangkan daging dari hasil
kloning. Hal ini bertujuan untuk mengurangi dampak emisi gas dari hasil kotoran
ternak yang semakin melimpah, kekurangan pangan atau defisit daging, dan
mengatasi kemungkinan adanya daging oplosan. Daging hasil kloning ini sudah mulai
dipasarkan di luar negeri, seperti halnya di Amerika, Inggris, dan juga Asia yang
kemungkinan cepat atau lambatnya juga akan memasuki pasar indonesia. Susu dari
hewan ternak kloning diketahui telah banyak dipasarkan di toko-toko di wilayah
Eropa seperti Inggris. Eropa adalah kawasan yang memperbolehkan penjualan pangan
dan ternak hasil kloning atau transgenik.
Prospek daging konsumsi yang diproduksi di melalui hewan kloning saat ini
menjadi subjek penelitian dan pengembangan yang realistis dan menarik untuk
direalisasikan. Daging, susu, maupun produk lain dari hewan ternak kloning menjadi
populer selain karena adanya potensi penghematan biaya, tetapi juga menghindari
banyak masalah etika dan lingkungan dengan produksi daging tradisional. Namun,
seperti halnya teknologi baru, daging hasil kloning kemungkinan akan menghadapi
beberapa tantangan. Tantangan tersebut diantaranya seperti 1) daging hasil kloning
memberikan perubahan dampak, baik terhadap alam maupun hewan itu sendiri; 2)
memunculkan hewan transgenik; dan 3) pertentangan dari masyarakat. Produksi
daging dari hewan kloning sejauh ini juga meskipun diperbolehkan dari beberapa
sumber, tetapi tetap saja akan menimbulkan kontroversi terutama dalam masalah
etika. Perkembangan produksi daging ini sangat menarik, tetapi seperti halnya
perkembangan teknologi baru, keraguan pun akan muncul.

1.2. Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.2.1 Mengetahui pengertian kloning secara umum
1.2.2 Mengetahui tingkat keberhasilan kloning
1.2.3 Mengetahui prosedur kloning
1.2.4 Mengetahui alasan kloning hewan untuk diproduksi dan dikonsumsi
1.2.5 Mengetahi kelebihan dan kekurangan kloning hewan
1.2.6 Mengetahui praktik kloning hewan di dunia hingga saat ini
1.2.7 Mengetahui etika produksi daging dan produk lain dari hewan hasil kloning
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kloning

Kloning dari segi bahasa diturunkan dari kata clone atau clon dalam Bahasa
Inggris yang artinya “potongan”, kata ini juga dibentuk dari kata Bahasa
Yunani, "klonos". Dalam bioteknologi, kloning merupakan suatu usaha yang
dilakukan manusia untuk menghasilkan salinan berkas DNA atau gen, sel, atau
organisme. Kloning merupakan teknik penggandaan gen yang menghasilkan turunan
yang sama sifat baik dari segi hereditas maupun fisik dengan induknya ketika gen itu
diekpresikan menjadi sebuah protein fungsional (Mawardi dkk., 2017). Selama 20
tahun terakhir, transfer nukleus sel somatik (SCNT) telah menjadi sangat diperlukan
dalam penelitian sel induk dengan potensi dalam memproduksi hewan kloning.
Teknik ini adalah banyak digunakan untuk menghasilkan sel dan jaringan yang imun
sesuai dengan donor sel somatik. SCNT muncul sebagai bioteknologi baru di mana
kemungkinan yang berasal dari kemajuan dalam genetika molekuler dan analisis
genom dalam pemuliaan hewan. Sejauh ini, lebih dari 20 spesies mamalia telah
dikloning sejak keberhasilan yang pertama mamalia kloning, Dolly the Sheep
(Matoba & Zhang, 2018).

2.2. Tingkat Keberhasilan Kloning Hewan


Sepanjang catatan teknologi kloning, metode ini telah berhasil mengkloning
banyak mamalia di dunia. Namun, kloning embrio yang dilakukan pada hewan
seringkali mengalami risiko kelainan atau kematian embrio. Bahkan jika hewan hasil
kloning tersebut lahir, berbagai kelainan dalam tahap perkembangan hidupnya dapat
terus terjadi (Loi et al., 2016). Abnormalitas dan malformasi antara lain
ketidakcocokan ukuran (hewan kloning terlalu besar untuk ukuran normal lahir), serta
kelainan pertumbuhan plasenta. Selain itu, disfungsi mitokondria yang tidak terduga
dalam embrio kloning mempersulit proses kloning. Dengan demikian, beberapa hal
tersebutlah yang dapat mengurangi tingkat keberhasilan kloning.
2.3. Prosedur Kloning
Teknik kloning melibatkan dua pihak, yaitu donor sel somatis (sel tubuh) dan
donor ovum (sel gamet). Meskipun pada proses ini kehadiran induk betina adalah hal
yang mutlak dan tidak mungkin dihindari, tetapi pada proses tersebut tidak ada
fertilisasi dan perpaduan gen dari induk jantan dan induk betina. Hal ini
mengakibatkan anak yang dihasilkan memiliki sifat yang sama persis dengan induk
donor sel somatis. Salah satu contoh prosedur kloning yang telah dilakukan dan
berhasil adalah prosedur kloning pada domba Dolly. Langkah kloning dimulai dengan
pengambilan sel puting susu seekor domba. Sel ini disebut sel somatis atau sel tubuh.
Selanjutnya, dari domba betina lain diambil sebuah ovum yang kemudian dihilangkan
inti selnya. Proses berikutnya adalah fusi (penyatuan) dua sel tersebut dengan
memberikan kejutan listrik yang mengakibatkan ‘terbukanya’ membran sel telur
sehingga kedua sel bisa menyatu. Adapun hasil dari langkah ini telah diperoleh
sebuah sel telur yang berisi inti sel somatis. Ternyata hasil fusi sel tersebut
memperlihatkan sifat yang mirip dengan zigot, dan akan mulai melakukan proses
pembelahan. Sebagai langkah terakhir, zigot tersebut akan ditanamkan pada rahim
induk domba betina, sehingga domba tersebut mengalami kebuntingan. Anak domba
yang lahir ini memiliki sifat yang sangat sangat mirip dengan domba induknya
(Sutiyono dkk., 2010).

Gambar 1. Prosedur kloning pada domba Dolly


Sumber : Banati (2009)
2.4. Alasan Kloning Hewan Untuk Konsumsi
Peningkatan populasi manusia dan alasan pemenuhan nutrisi dari sumber
pangan yang lebih baik, maka kebanyakan manusia akan tertarik untuk memenuhi
asupan pangan mereka dengan mengonsumsi daging. Akibat jumlah manusia yang
semakin meningkat dan permintaan pasar terkait daging hewan ternak yang semakin
melonjak, tentunya hal ini menjadi masalah bagi para peternak untuk dapat memenuhi
permintaan konsumen di luar kemampuan peternakan seperti biasanya. Selain itu,
adanya tuntutan untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas daging potong
yang dihasilkan dari peternakan maka para peternak dan juga para ilmuwan
berkolaborasi untuk menciptakan suatu solusi guna mengatasi permasalahan tersebut,
salah satunya dengan penerapan prinsip kloning hewan terutama bagi hewan ternak
yang secara potensial digunakan produk-produknya seperti daging, susu, maupun
produk lainnya yang biasa dikonsumsi masyarakat secara komersial. Melalui teknik
kloning ini, diharapkan peternakan dapat menghasilkan hewan ternak unggul yang
berkualitas sesuai dengan induknya yang unggul sehingga dapat digunakan juga
sebagai modal untuk menarik minat pasar.
Teknik kloning hewan terutama hewan ternak mungkin juga didukung oleh
para pencinta lingkungan. Seperti yang telah diketahui, metode peternakan hewan
saat ini menghasilkan polusi dan memerlukan sumber daya dalam jumlah besar, di
mana sumber day aini sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam
rangka pemeliharaan hewan dari lahir hingga dipotong. Selain itu, metode peternakan
non- hewan juga melibatkan sejumlah besar kerugian bagi satwa liar setempat, baik
secara langsung melalui pembajakan dan pemanenan serta secara tidak langsung
melalui penggunaan berbagai pestisida. Adanya teknik kloning hewan ini, lahan dan
air yang dibutuhkan jauh lebih sedikit dan polutan yang lebih sedikit, termasuk gas
rumah kaca sehingga akan menimbulkan lebih sedikit beban lingkungan secara
keseluruhan daripada peternakan komersial. Selain itu, produksi hewan kloning yang
meluas kemungkinan akan menurunkan permintaan makanan seperti tepung jagung
untuk memberi pakan hewan. Tentunya hal ini akan mengurangi intensitas lahan
pertanian
dan juga mengurangi beban lingkungan dari pertanian yang menghasilkan makanan
hewan, mengurangi harga pangan, dan berpotensi membantu mengurangi kelaparan
di beberapa bagian dunia (Schaefer & Savulescu, 2014).

2.5. Kelebihan dan Kekurangan Kloning Hewan


Hewan hasil kloning yang dimodifikasi secara genetik dianggap lebih
diinginkan daripada hewan yang dibiakkan secara tradisional karena memiliki
beberapa kelebihan seperti kualitas produk dari hewan ternak dapat ditingkatkan
seperti susu yang lebih sehat, daging, dan sifat tahan penyakit, serta menghasilkan
efek mengalir yang bermanfaat bagi populasi yang lebih luas.
Di samping kelebihannya, Adapun kekurangan dari teknik ini misalnya
ketidakmampuannya untuk menghasilkan hasil pembiakan hewan yang konsisten
dengan sifat yang diinginkan. Hal ini dapat diakibatkan oleh tidak adanya DNA
mitokondria yang konsisten karena DNA mitokondria bervariasi menurut sel telur
donor. Selain itu, kloning juga dianggap tidak memiliki kemampuan untuk
memprogram ulang genom donor (Kashim et al., 2021). Studi lebih lanjut untuk
meningkatkan efisiensi kloning hewan seperti sapi diperlukan untuk mengoptimalkan
tahap SCNT dengan adanya pengenalan dari mekanisme pemrograman ulang.
Penerapan teknik kloning juga tidak hanya bergantung pada keunggulan genetik
hewan, tetapi juga pada persepsi publik dan penerimaan luas dari teknologi tersebut
(Akagi et al., 2014).

2.6. Praktik Kloning Hewan di Dunia Hingga Saat Ini


Berdasarkan data yang dikumpulkan dalam penelitian Lee et al (2012), jumlah
kloning berhasil diproyeksikan. Di Eropa, terdapat sekitar 100 klon sapi dan lebih
sedikit klon babi. Perkiraan jumlah di AS adalah sekitar 570 sapi dan 10 klon babi
(EFSA, 2009). Di Jepang, ada 557 sapi dan 335 klon babi. Ada juga klon yang
diproduksi di tempat lain misalnya Argentina, Australia, Cina, Jepang, dan Selandia
Baru, dan perkiraan jumlah klon yang hidup di seluruh dunia pada tahun 2007 kurang
dari 4000 sapi dan 1500 babi (EFSA, 2009). Adapun 33 sapi hasil kloning sudah
diproduksi oleh institut ilmu hewan nasional dan 28 babi kloning (27 babi mini) di
Korea. Selain itu, ilmuwan di Texas A&M University juga telah mengkloning sapi
yang tahan terhadap brucellosis.

2.7. Etika Produksi Daging dan Produk Lain dari Hewan Hasil Kloning
Kloning hewan untuk suplai makanan melibatkan sejumlah masalah etika.
Tingkat keberhasilan kloning hewan yang dilakukan oleh para ilmuwan sebagian
besar masih tidak konsisten di mana hasilnya sangat tergantung pada spesies dan jenis
sel yang digunakan dalam proses kloning. Kinerja kloning relatif rendah dengan
tingkat keberhasilan 0,3–1,7% per oosit yang direkonstruksi dan 3,4–13 persen per
kloning dalam lingkup SCNT. Produksi daging maupun produk lain yang berasal dari
hewan hasil kloning menimbulkan berbagai kekhawatiran dalam etika karena
berkaitan dengan spektrum faktor yang luas seperti :
 Kesehatan dan kesejahteraan hewan kloning dan keturunannya yang
mengacu pada penggunaan hewan untuk tujuan manusia terutama sebagai
bahan pangan yang dikonsumsi secara luas
 Kesehatan dan kesejahteraan manusia, misalnya yang berkaitan dengan
keamanan pangan, keamanan hayati, kemungkinan penyalahgunaan pada
manusia
 Dampak bagi lingkungan, misalnya isu yang berkaitan dengan
keanekaragaman hayati, pencemaran dan degradasi lingkungan, serta
ketahanan lingkungan
 Aspek masyarakat, misalnya keinginan sosial, penerimaan sosial, hak-hak
konsumen, masalah keadilan dalam lingkup lokal, regional, global, serta hak
kekayaan intelektual
 Pertimbangan ekonomi, biaya kloning terbilang cukup mahal.
Etika hewan kloning untuk makanan tidak dapat dibatasi hanya pada beberapa
pertimbangan. Beberapa faktor yang berhubungan bagi peternakan berkelanjutan,
misalnya tanggung jawab manusia terhadap lingkungan, masa depan generasi,
keadilan, dan ekologi antargenerasi juga penting. Grup Eropa tentang Etika dalam
Sains dan Teknologi Baru menyatakan keraguan terkait kesejahteraan dan kesehatan
klon hewan secara etika apakah dibenarkan oleh argumen yang ada dalam
mendukung hewan hasil kloning sebagai makanan yang layak konsumsi. Dalam
kondisi ini, EGE tidak melihat alasan yang sangat kuat untuk mendukung produksi
makanan dari klon dan keturunannya saat ini (EGE, 2008). Mungkin saja argument
ini mendukung untuk penggunaan lain dari kloning hewan dalam penelitian biomedis
atau kloning hewan yang dimodifikasi secara genetik untuk bio-farming atau tujuan
nutraceutical lainnya (Banati, 2009).
Menurut database Administrasi Makanan dan Obat AS (FDA) pada tahun
2008, hingga saat data tersebut terkumpul tidak ada penelitian yang mengidentifikasi
perbedaan di luar variabilitas normal dalam komposisi daging dan susu hewan ternak
seperti sapi atau babi hasil kloning, keturunannya, dan non-kloning. Selain itu, tidak
ada konstituen baru yang terdeteksi dalam produk dari klon atau keturunan hewan
ternak hasil kloning. Selain itu, survei literatur yang menganalisis komposisi, kualitas
parameter, genotoksisitas, dan reaksi alergi yang diamati tidak ada perbedaan dalam
parameter ini antara daging atau susu yang berasal dari hewan kloning dan
keturunannya dari daging dan susu dari hewan non-kloning (Hur, 2017). Tidak ada
bukti lebih lanjut yang ditunjukkan bahwa daging dan susu dari hewan kloning
menimbulkan risiko keamanan pangan. Kebanyakan hewan penelitian yang telah
diuji untuk mengonsumsi daging dan susu dari hewan kloning tidak menunjukkan
adanya masalah kesehatan dan tidak menghasilkan efek toksik. Daging dan susu
makanan yang berasal dari hewan kloning juga tidak menyebabkan efek kesehatan
yang merugikan seperti gangguan reproduksi dan alergi reaksi pada model hewan.
Oleh karena itu, kloning daging hewan dan susu seaman makanan dari hewan yang
bukan kloning dan dapat dikonsumsi sebagai makanan baru.
Sebelum dikonsumsi manusia, sebenarnya daging dan susu yang berasal dari
hewan kloning telah diuji terlebih dahulu ke hewan coba seperti tikus. Setelah diuji
pada hewan uji, maka daging dan susu dari hewan kloning yang lulus dapat dilakukan
percobaan konsumsi terhadap manusia. Terdapat lima tingkatan dalam prosedur
penilaian risiko daging dan susu yang berasal dari hewan kloning untuk dijadikan
pedoman dan persetujuan apakah hewan hasil kloning aman dikonsumsi manusia atau
tidak, dengan mengambil beberapa data seperti survei pengalaman konsumsi manusia
(atau sejarah) untuk waktu yang lama, analisis kesamaan komposisi kimia, efek
samping reproduksi, genotoksisitas, dan reaksi alergi. Objek untuk survei manusia
pengalaman konsumsi adalah wilayah atau negara, periode konsumsi, jenis konsumsi,
jumlah konsumsi, izin, kesadaran konsumen, atau data penyakit terkait (Hur, 2017).
Sebuah studi makan oral subkronis 14 minggu dilakukan pada tikus untuk
menentukan efek dari makanan yang mengandung daging dan susu yang berasal dari
klon embrionik dan somatik. Tikus tidak terpengaruh oleh konsumsi daging dan susu
dari klon sapi. Hasil serupa diperoleh dalam uji makan 21 hari pakan yang
mengandung susu dan daging dari klon sapi (F0). Sebuah studi toksisitas juga,
melakukan uji oral 12 bulan pada tikus dengan pemberian daging dan susu dari
keturunan sapi kloning (F1) dilakukan di Jepang dan sebagai hasilnya tidak ada
perbedaan yang signifikan secara biologis dalam komposisi antara klon,
keturunannya, dan dibiakkan secara konvensional ternak. Penelitian lain dilakukan
dengan menguji ekstrak daging sapi kloning pada lima strain bakteri termasuk
Salmonella typhimurium, Escherichia coli untuk mutasi bakteri dan sel paru-paru
hamster Cina untuk aberasi kromosom.
Uji terkait mikronukleus sumsum tulang dilakukan pada tikus Institute of
Cancer Research (ICR) yang diberi makan masing-masing 5% dan 10% daging sapi
kloning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging sapi kloning tidak menginduksi
efek genotoksik berbahaya in vitro dan in vivo (Lee et al., 2012). Hasil yang sama
juga keluar dalam uji mikronukleus tikus terhadap potensi alergi dari beberapa
sampel daging yang dicerna secara in vitro dan susu dari klon sapi (F0) dinilai dengan
injeksi intraperitoneal ke tikus. Hasilnya membuktikan tidak ada perbedaan yang
signifikan
secara statistik dalam potensi alergi yang diamati antara sampel dari klon dan sapi
pembanding control. Juga Heyman dkk. tidak mendeteksi perbedaan dalam
alergenisitas susu dan daging yang diperoleh dari klon,pada tikus dibandingkan
dengan produk makanan yang sama dari hewan nonkloning, usia dan jenis kelamin
yang cocok, dipelihara dalam kondisi yang sama (Heyman et al., 2007).
Beberapa penelitian tentang efek pada fisiologi reproduksi juga telah
dilakukan. Tikus jantan dan betina diberi makan dengan 5% dan 10% daging sapi
kloning dan kemudian dianalisis parameter reproduksi seperti kelainan bentuk
sperma, konsentrasi testosteron pada tikus jantan, dan pemeriksaan neonatus dari
kehamilan pada tikus betina. Hasil yang ditunjukkan berupa tidak adanya efek negatif
pada fisiologi reproduksi pada tikus yang diberi pakan ternak kloning. Hasil serupa
diperoleh pada hewan non-tikus, kelinci melalui sebuah studi tentang efek perilaku
dan reproduksi yang diberi makan daging sapi kloning. Berdasarkan studi toksisitas
perilaku dan reproduksi, tidak ada efek negatif yang jelas pada daging sapi kloning
sebagai makanan (Yang et al., 2011).
FDA dan beberapa hasil penelitian intensif telah menyimpulkan bahwa klon
sapi, babi, dan kambing, dan keturunan dari klon hewan apa pun yang secara
tradisional dikonsumsi sebagai makanan, aman untuk dikonsumsi hewan maupun
manusia. Kegunaan utama kloning adalah untuk menghasilkan bibit, bukan makanan.
Kloning hewan ini merupakan salinan hewan terbaik dalam populasi hewan tersebut
yang kemudian digunakan untuk pembiakan konvensional, dan keturunan klon hewan
yang direproduksi secara seksual menjadi hewan penghasil makanan. Jika daging
hasil kloning ini dapat berupa daging sapi, ayam ataupun babi memasuki pasar
Indonesia ditakutkan akan berdampak besar pada pergerakan ekonomi bagi para
peternak dan juga pengusaha yang bergerak dibidang olahan daging, tetapi apakah
daging hasil kloning ini halal atau tidak itu masih menjadi kajian lebih lanjut.
Berdasarkan hasil analisis di atas, saya berpendapat bahwa penggunaan
kloning hewan untuk produksi daging, susu, maupun produk lain yang berasal dari
hewan kloning diperbolehkan selama kualitasnya terjamin dan tidak menimbulkan
efek yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Alasan ini karena hingga saat ini belum ada
penelitian yang menyatakan bahwa konsumsi produk yang berasal dari hewan ternak
hasil kloning menimbulkan penyakit maupun gangguan kesehatan lainnya sehingga
aman untuk dikonsumsi atau dikomersialisasikan secara luas. Meskipun begitu,
sebelum dilakukannya produksi dan komersialisasi secara luas, perlu adanya kajian
dan penelitian mendalam untuk menilai pengaruh hewan kloning ketika dikonsumsi
manusia. Selain itu, hal yang sangat penting adalah perlu adanya sosialisasi tentang
tingkat keamanan dan layak konsumsi hewan hasil kloning berdasarkan fakta-fakta
ilmiah kepada masyarakat luas sehingga masyarakat tidak ragu atau bahkan
memberikan reaksi penolakan karena adanya produk dari hewan hasil kloning yang
beredar di pasaran. Setelah itu, pemberian label pangan yang berasal dari sumber
hewan hasil kloning juga perlu diperhatikan karena masyarakat sebagai konsumen
berhak tau apa yang dikonsumsi dan kualitas yang terkandung dalam produk pangan
tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Kloning merupakan teknik penggandaan gen yang menghasilkan turunan yang


sama sifat baik dari segi hereditas maupun fisik dengan induknya ketika gen itu
diekpresikan menjadi sebuah protein fungsional dengan tujuan untuk memperoleh
dan melestarikan sifat unggul yang terdapat pada induk kepada keturunannya. Hingga
saat ini, praktik kloning terhadap hewan ternak telah banyak dilakukan di negara lain.
Kloning hewan untuk produksi daging, susu, maupun produk lain secara etika
diperbolehkan karena selama ini telah dilakukan berbagai penelitian yang diujikan
pada hewan coba dan belum ditemukan efek berbahaya dari produk hasil kloning ini.

3.2 Saran
Jika daging, susu, maupun produk lain yang berasal dari hewan kloning telah
teruji keamanan dan kelayakan konsumsi oleh konsumen, maka perlu adanya
tindakan lanjutan berupa sosialisasi kepada masyarakat luas dan pemberian label
makanan yang menandakan produk hasil kloning sebagai bentuk kejujuran dari
produsen maupun penjual produk hasil kloning tersebut. Selain itu, produsen hewan
kloning tidak boleh melepaskan setiap hewan kloning dan keturunannya, atau
makanan turunannya ke dalam rantai makanan manusia kecuali mereka memiliki
telah menjadi sasaran penilaian keamanan pra-pasar. Hewan apa pun termasuk klon
harus melakukan inspeksi rutin dan kontrol kualitas secara berkala dan ketat.
DAFTAR PUSTAKA
Akagi, S., Matsukawa, K., & Takahashi, S. (2014). Factors affecting the development
of somatic cell nuclear transfer embryos in cattle. Journal of Reproduction
and Development. 60(5): 329-335.
Bánáti, D. (2009). Animal cloning for food supply: A review. Acta Alimentaria,
38(1), 117-132.
European Food Safety Authority (EFSA) (2009) Animal Health and Welfare and
Environmental Impact of Animals derived from Cloning by Somatic Cell
Nucleus Transfer (SCNT) and their Offspring and Products Obtained from
those Animals, DRAFT Scientific Opinion of the Scientific Committee.
[Online] http://www.efsa.europa.eu/EFSA/. Diakses pada 12 Desember 2021.
Heyman, Y., Chavatte-Palmer, P., Fromentin, G., Berthelot, V., Jurie, C., Bas, P., &
Renard, J. P. (2007). Quality and safety of bovine clones and their
products. Animal. 1(7): 963-972.
Hur, S. J. (2017). A study on current risk assessments and guidelines on the use of
food animal products derived from cloned animals. Food and Chemical
Toxicology. 108: 85-92.
Kashim, M. I. A. M., Hasim, N. A., Zin, D. M. M., Amin, L., Mokhtar, M. H.,
Shahimi, S., & Mutalib, S. A. (2021). Animal cloning and consumption of its
by- products: A scientific and Islamic perspectives. Saudi Journal of
Biological Sciences. 28(2021): 2995-3000.
Lee, S. J., Jang, Y. H., Kim, H. B., Lee, M. H., So, B. J., Yang, B. C., & Choe, N. H.
(2012). Foods Derived from Cloned Animals and Management Policies in
Worldwide. Food Science of Animal Resources. 32(4): 389-395.
Loi, P., Iuso, D., Czernik, M., & Ogura, A. (2016). A new dynamic Era for somatic
cell nuclear transfer?. Trends Biotechnol. 34: 791–797.
Matoba, S., & Zhang, Y., (2018). Somatic Cell Nuclear Transfer Reprogramming:
Mechanisms and Applications. Cell Stem Cell. 23(4) :471-485.
Mawardi, A. R. S. Y. A. M., Aisoi, L. E., & Lefaan, P. N. (2017). Kloning dan
Analisis Bioinformatika Gen MSP1 Plasmodium falciparum Isolat Kota
Jayapura. Jurnal Biologi Papua. 10(1): 1-10.
Schaefer, G. O., & Savulescu, J. (2014). The ethics of producing in vitro meat.
Journal of Applied Philosophy. 31(2): 188-202.
Sutiyono, B., Johari, S., Kurnianto, E., Ondho, Y. S., Sutopo, S., Ardian, Y., &
Darmawan, D. (2010). Hubungan penampilan induk anak domba dari
berbagai tipe kelahiran. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan (Indonesian Journal of
Animal Science). 20(2): 24-30.
US Food and Drug Administration (FDA). (2008). Center for Veterinary Medicine.
Animal cloning: A risk assessment. http://www.fda.gov/. Diakses 12 Desember
2021.
Yang, B. C., Lee, N. J., Im, G. S., Seong, H. H., Park, J. K., Kang, J. K., & Hwang, S.
(2011). A diet of somatic cell nuclear transfer cloned‐cattle meat produced no
toxic effects on behavioral or reproductive characteristics of F1 rats derived
from dams fed on cloned‐cattle meat. Birth Defects Research Part B:
Developmental and Reproductive Toxicology. 92(3): 224-230.

Anda mungkin juga menyukai