Ari Widodo - Pembelajaran IPA-secured

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 135

ARI WIDODO

PEMBELAJARAN
ILMU PENGETAHUAN ALAM
Dasar-Dasar untuk Praktik PEMBELAJARAN
Buku ini membahas dasar-dasar pembelajaran IPA sebagai fondasi untuk
mempelajari aspek-aspek pendidikan IPA yang lebih lanjut dan untuk landasan
ILMU PENGETAHUAN ALAM
Dasar-Dasar untuk Praktik

PEMBELAJARAN PENGETAHUAN ILMU PENGETAHUAN ALAM DASAR-DASAR UNTUK PRAKTIK


melaksanakan pembelajaran IPA. Untuk membelajarkan IPA setidaknya ada lima
area penting yang harus dikuasai seorang guru, yaitu a) hakikat IPA, b) teori
belajar, c) strategi membelajarkan, d) materi IPA, dan e) jenis-jenis berpikir.
Kelima area tersebut saya pandang sebagai pengetahuan dasar untuk
merancang dan melaksanakan pembelajaran IPA.
Buku ini ditulis berdasarkan kajian literatur, pengalaman, dan hasil-hasil
penelitian namun disajikan dalam bahasa yang sederhana agar dapat dibaca oleh
berbagai kalangan. Oleh karena itu, penjelasan disertai dengan contoh dan
ilustrasi agar lebih mudah dipahami. Mudah-mudahan penyederhanaan ini tidak
menghilangkan nilai akademiknya sehingga tetap dapat digunakan sebagai
rujukan akademik. Semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangan pendidikan
IPA di Indonesia.

Ari Widodo adalah seorang guru besar pendidikan IPA di Fakultas


Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Pendidikan Indonesia. Pendidikan akademik di bidang pendidikan IPA
diperoleh di Jurusan Pendidikan Biologi IKIP Bandung (sarjana), Deakin
University, Melbourne – Australia (master), dan Christian-Albrechts
Universität zu Kiel, Kiel – Jerman (doktor).
Buku dan bab dalam buku yang pernah ditulis antara lain: Constructivist Oriented
Lessons: The Learning Environments and the Teaching Sequences (Frankfurt am
Main: Peter Lang, 2004); Panduan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam SD/MI.
(Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta, 2009); Teaching
science for conceptual change. in S. Vosniadou (Ed.). International Handbook of
Research on Conceptual Change . New York: Routledge, 2013); Indonesia. in B.
Vlaardingerbroek and N. Taylor (Eds.). Teacher Quality in Upper Secondary
Science Education. (New York: Palgrave Macmillan, 2016).

ARI WIDODO
UPI PRESS
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DASAR-DASAR UNTUK PRAKTIK
SANKSI PELANGGARAN PASAL 113
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA

(1) Setiap orang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau izin pencipta atau pemegang hak cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat 1 huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
(3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau izin pencipta atau pemegang hak cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat 1 huruf a, huruf, b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)
(4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (Empat
milyar rupiah)
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DASAR-DASAR UNTUK PRAKTIK

Ari Widodo

UPI PRESS
UPT Penerbitan dan Percetakan - Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154 Indonesia
Instagram: upipress.publisher I Facebook: UPI PRESS
Website: http://upipress.upi.edu I E-mail: upipress@upi.edu
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DASAR-DASAR UNTUK PRAKTIK
Copyright © 2021, Ari Widodo. – Universitas Pendidikan Indonesia Press

Penulis : Ari Widodo


Editor : Marthalina Iriany
Penata letak : Yadi Mulyadi
Desain sampul : Rijal Ramdani

Cetakan Pertama, Agustus 2021


viii + 124 hlm; 18,2 cm x 25,7 cm
ISBN 978-623-6988-50-3

Diterbitkan oleh:

UPI PRESS
UPT Penerbitan dan Percetakan - Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154 Jawa Barat
Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Nomor: 345/Anggota Luar Biasa/JBA/2019
Anggota Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI) Nomor: 005.025.1.01.2018
Telp. (022) 2013 163 Ext.4502 I Hp. +62 878 2361 7694 I Hp.+62 821 3055 0434
Instagram: upipress.publisher I Facebook: UPI PRESS
Website: http://upipress.upi.edu I E-mail: upipress@upi.edu

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.
(Isi di luar tanggung jawab penerbit)
KATA PENGANTAR

Jarang orang membaca KATA PENGANTAR namun saya akan tetap memberikan
penjelasan panjang lebar sebagai pengantar buku ini. Semoga ada yang
membacanya.
Sudah sekian lama saya dalam keraguan untuk menuliskan apa yang saya
ketahui tentang pembelajaran IPA. Saya merasa pengetahuan dan pengalaman
masih kurang sehingga khawatir justru memberikan informasi yang salah dan
menyesatkan. Mengapa sekarang saya menulis? Apakah saya sudah lebih
berpengalaman dan berpengetahuan? Tidak, sama sekali tidak! Semuanya masih
tetap sama. Saya hanya ingin berbagi sedikit pengetahuan yang saya miliki.
Semoga buku ini bernilai amal jariyah untuk saya, untuk orang yang membantu
menerbitkannya, dan untuk orang yang memanfaatkannya.
Buku ini saya rancang untuk dapat dibaca oleh berbagai kalangan. Oleh
karena itu, saya berusaha menyajikannya sesederhana mungkin dengan contoh
dan ilustrasi yang sederhana. Mudah-mudahan penyederhanaan ini tidak
menghilangkan nilai akademiknya sehingga tetap dapat digunakan sebagai
rujukan akademik. Apabila ada perbedaan pandangan yang saya sampaikan, hal
itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengkritik atau menyalahkan tetapi
lebih sebagai ekspresi perbedaan sudut pandang dan cara berpikir. Saya yakin
pembaca sangat bijak sehingga dapat memutuskan sendiri dengan menggunakan
logika dan pertimbangan masing-masing
Saya yakin pasti banyak kekurangan atau ketidaksetujuan terhadap isi
buku ini tetapi itulah bagian dari hakikat IPA, ada aspek subjektivitas. Saya
merancang buku sebagai “buku hidup” yang akan disambung dengan buku-buku
berikutnya dan juga yang akan terus diperbaiki (semoga saya masih ada umur dan
kesempatan). Oleh karena itu, mohon apabila ada komentar, saran dan
pertanyaan silakan dikirim ke email berikut ini:
pembelajaransains2020@gmail.com.

Cikole, Agustus 2021

Ari Widodo

v
DAFTAR ISI

Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
Bab 1 Pendahuluan 1
Bab 2 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam 10
2.1 Pengetahuan ilmiah 11
2.2 Proses kerja ilmiah 17
2.3 Sikap ilmiah 21
2.4 Pentingnya pemahaman hakikat IPA 24
Bab 3 Teori belajar dan pembelajaran IPA 27
3.1 Pentingnya teori belajar 27
3.2 Teori belajar untuk pembelajaran IPA 28
3.2.1 Teori belajar untuk mempelajari pengetahuan 29
ilmiah
3.2.2 Teori belajar untuk mempelajari proses ilmiah 40
3.2.3 Teori belajar untuk mempelajari sikap ilmiah 42
Bab 4 Pendekatan, model dan metode 45
4.1 Pendekatan pembelajaran 45
4.1.1 Pendekatan untuk menguasai pengetahuan 46
ilmiah
4.1.2 Pendekatan untuk menguasai proses ilmiah 47
4.1.3 Pendekatan untuk menumbuhkan sikap ilmiah 48
4.2 Model pembelajaran 48
4.2.1 Model pembelajaran untuk menguasai 51
pengetahuan ilmiah
4.2.2 Model pembelajaran untuk menguasai proses 57
ilmiah
4.2.3 Model pembelajaran untuk menguasai sikap 64
ilmiah
4.2.4 Model pembelajaran integratif 66
4.3 Metode pembelajaran 68
4.4 Struktur pembelajaran 71
Bab 5 Materi pelajaran IPA 75
5.1 Materi utama pelajaran IPA 79
5.2 Ciri-ciri materi IPA 83
Bab 6 Pembelajaran IPA dan berpikir 86
6.1 Kedudukan setiap jenis berpikir 86
6.2 Jenis berpikir menurut Bloom 90
6.3 Berpikir kritis 94

vii
6.3.1 Keterampilan berpikir kritis 97
6.3.2 Berpikir kritis menurut Facione 99
6.3.3 Berpikir kritis menurut Ennis 101
6.3.4 Berpikir kritis menurut Inch dan Tudor 103
6.3.5 Disposisi kritis 105
6.4 Berpikir kreatif 107
6.4.1 Keterampilan berpikir kreatif 109
6.4.2 Disposisi kreatif 112
6.4.3 Produk kreatif 113
6.5 Membelajarkan beragam jenis berpikir 114

Daftar Pustaka 117


Indeks 120

viii
Untuk
Guru - Guru Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

Seorang anak SD terkagum-kagum melihat seekor burung beo


milik salah satu warga yang dapat menirukan ucapan manusia.
Setiap pagi dalam perjalanan ke sekolah, dia dan teman-
temannya sering sengaja melihat burung beo tersebut dan
menggoda dengan berbagai kata-kata baru. Dia membayangkan,
seandainya dia memiliki burung beo seperti itu lalu burung
beonya bertelur dan menetas menjadi anak-anak burung beo
tentu dia akan kaya karena harga jual burung beo mahal.

Belajar adalah salah satu tugas dasar manusia. Semua yang kita kuasai saat
ini adalah hasil belajar. Contoh sederhana adalah makan. Tentu kita
menganggap makan adalah kegiatan yang mudah, tetapi apakah kita tidak
perlu belajar untuk makan? Tentu saja! Mungkin Anda tidak ingat bahwa
Anda belajar makan, tetapi coba perhatikan balita. Mereka harus belajar
makan secara bertahap. Pertama-tama mereka disuapi, selanjutnya mereka
belajar makan dengan menggunakan alat makan khusus, dan barulah pada
akhirnya mereka dapat makan dengan menggunakan alat makan untuk
orang dewasa. Selain belajar makan mereka juga belajar keterampilan
lainnya, misalnya mengenakan pakaian, memakai sepatu, dan keterampilan
hidup sehari-hari lainnya. Seringkali kita membatasi pengertian belajar
hanya sebatas membaca buku atau mendengarkan penjelasan. Belajar terjadi
dalam berbagai bentuk dan kadang tidak kita sadari. Belajar sangat penting
sebab tanpa belajar Anda tidak akan menjadi manusia seperti sekarang ini.
Pernahkah Anda membaca cerita atau menonton film dokumenter tentang
anak yang diasuh oleh hewan? Karena dia tidak belajar dari manusia,
walaupun dia manusia tetapi cara hidupnya lebih mirip dengan hewan yang
mengasuhnya.
Apakah belajar itu hal yang mudah ataukah sulit? Belajar pada
dasarnya mengandung unsur “sulit” karena jika sesuatu itu mudah, tentu
kita tidak perlu belajar sebab kita langsung bisa. Tentu saja tidak semua
belajar sulit. Tingkat kesulitan belajar bergantung pada apa yang dipelajari
dan bagaimana mempelajarinya. Karena belajar mengandung unsur “sulit”
sering kita malas dan enggan belajar padahal belajar adalah jalan untuk
meningkatkan kualitas kemampuan kita. Ada nasehat yang sangat mendalam

1
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
yang menurut beberapa sumber berasal dari Imam Syafi’i. Nasehat itu
maknanya kurang lebih “Jika kamu tidak dapat menahan lelahnya
belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya
kebodohan.” Sungguh nasehat luar biasa yang mestinya cukup untuk
membuat kita semua bersemangat belajar.
Bukan hanya manusia yang dapat belajar. Hewan pun dapat belajar.
Dari ilustrasi di awal bab kita tahu burung beo dapat belajar menirukan
bunyi yang didengarnya. Banyak hewan yang dapat belajar apabila diajari
manusia. Sebagai contoh, kita mengenal atraksi topeng monyet yang
monyetnya dapat menirukan berbagai perilaku manusia, lumba-lumba yang
dapat menggiring bola, dan sebagainya. Hewan dan manusia sama-sama
dapat belajar, kalau begitu apa perbedaan hewan dan manusia? Hewan dapat
belajar tetapi hewan tidak pernah dapat mengajarkan apa yang dipelajari
kepada hewan lain, bahkan kepada anaknya sendiri. Seekor burung beo yang
dapat menirukan “selamat pagi” bukan hanya tidak dapat mengajarkan
ucapan tersebut kepada anaknya, tetapi juga tidak akan mengucapkan
“selamat pagi” apabila bertemu dengan sesama burung beo. Kemampuan
belajar dan membelajarkan adalah kemampuan istimewa yang dimiliki
manusia. Hewan tidak pernah dapat membelajarkan. Oleh karena itu,
beruntunglah kita karena selain dapat belajar kita juga dapat
membelajarkan.
Buku ini sengaja diberi judul PEMBELAJARAN sebagai pengganti
istilah “belajar dan mengajar” (teaching and learning). Istilah “belajar dan
mengajar” masih memisahkan antara aktivitas belajar dan aktivitas mengajar
sedangkan “pembelajaran” lebih memandang aktivitas belajar dan mengajar
sebagai suatu kesatuan. Pada “pembelajaran” fokus utama adalah bagaimana
membantu anak agar dapat belajar dengan optimal. Dengan dasar berpikir
demikian, penulis membedakan antara model mengajar dan model
pembelajaran. Hanya model pembelajaran yang fokusnya pada memfasilitasi
belajarnya siswa saja yang penulis kategorikan sebagai model pembelajaran.
Model yang fokusnya pada bagaimana guru mengajar lebih cocok disebut
sebagai model mengajar sehingga tidak dikategorikan sebagai bagian dari
model pembelajaran yang dibahas dalam buku ini.
Ketika penulis bertanya kepada guru IPA tentang hambatan apa yang
dihadapi dalam membelajarkan IPA, salah satu jawaban yang sering diterima
adalah kurangnya peralatan dan bahan untuk melaksanakan pembelajaran.
Seandainya sebagai guru Anda mendapat keistimewaan mendapatkan semua
yang Anda inginkan untuk kebutuhan membelajarkan IPA (misalnya,
gedung, alat, bahan, dana, buku, dan laboran), yakinkah Anda bahwa hasil
belajar siswa Anda akan tinggi? Intinya jika apapun yang Anda inginkan

2
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
sebagai guru IPA akan tersedia, apakah Anda yakin hasil belajar siswa Anda
akan tinggi?
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan alat, bahan, dana dan
semua pendukung pelaksanaan pembelajaran sangat dibutuhkan. Bagaimana
jika semua fasilitas tersedia tetapi selama jam pelajaran guru hanya
menyuruh siswa satu demi satu untuk bergiliran membaca satu alinea buku
pelajaran, apakah yakin hasil belajarnya akan bagus? Yakinkah Anda bahwa
hasil belajar siswa akan bagus jika selama jam pelajaran guru hanya
menugaskan siswa mengisi soal latihan? Yakinkah Anda bahwa hasil belajar
siswa akan bagus jika fasilitas yang tersedia memang digunakan untuk
praktikum tetapi praktikumnya hanya membuktikan informasi yang ada di
buku dan dilakukan dengan mengikuti lembar kerja? Yakinkah Anda bahwa
hasil belajar siswa akan bagus jika fasilitas yang tersedia memang digunakan
untuk praktikum yang eksploratif tetapi siswa tegang karena guru selalu
marah-marah dan tidak memperlakukan siswa dengan baik? Yakinkah Anda
bahwa hasil belajar siswa akan bagus jika fasilitas yang tersedia memang
digunakan untuk praktikum yang eksploratif dan guru pun sangat
mendukung siswa untuk belajar tetapi siswanya malas belajar? Ternyata
kualitas pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor. Ketersediaan fasilitas
pembelajaran memang dibutuhkan, guru yang berkualitas juga dibutuhkan,
demikian juga siswa yang sungguh-sungguh ingin belajar. Pembelajaran
yang berkualitas pada hakikatnya adalah terbentuknya lingkungan
pembelajaran yang kondusif agar mendukung siswa untuk belajar.
Inti kegiatan pendidikan adalah proses pembelajaran di kelas. Oleh
karena itu, usaha-usaha untuk peningkatan kualitas pendidikan tidak akan
berarti banyak apabila tidak diiringi dengan peningkatan kualitas proses
pembelajaran (Cooper, Sarrel, Darvas, Alfano, Meier, Samuels, & Heinbuch,
1994; OECD/UNESCO-UIS, 2003). Hal ini mengisyaratkan bahwa program-
program peningkatan kualitas pendidikan harus lebih diarahkan pada hal-
hal yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran, seperti pengadaan
media pembelajaran, buku ajar, dan peningkatan kemampuan guru.
Sayangnya perhatian terhadap pembelajaran seringkali terabaikan. Usaha-
usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan seringkali lebih
dititikberatkan pada perbaikan fisik, namun kurang menyentuh
pembelajaran.
Secara sederhana proses pembelajaran dapat digambarkan sebagai
proses untuk meningkatkan kualitas input (siswa) sehingga menghasilkan
siswa yang memiliki sejumlah kemampuan yang lebih baik (Gambar 1.1).
Proses pembelajaran setidaknya melibatkan pendekatan, model, dan metode
yang dibantu dengan menggunakan media pembelajaran. Implementasi

3
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
keempat hal itu menciptakan lingkungan belajar yang membantu siswa
untuk belajar.

Input Outcome
(Siswa) Pembelajaran (Hasil)

Gambar 1.1 Proses pembelajaran

Hasil (outcome) secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga


ranah, yaitu kognitif (kemampuan berpikir), afektif (sikap), dan
keterampilan. Kemampuan berpikir, sikap, dan keterampilan sama
pentingnya sehingga ketiganya harus dikembangkan secara proporsional dan
seimbang. Pembelajaran dapat dirancang untuk mengembangkan salah satu
ranah namun dapat juga untuk mengembangkan tiga ranah sekaligus secara
terintegrasi.
Pembelajaran tidak bisa diulang. Oleh karena itu, tidak boleh
dilakukan dengan coba-coba. Memang betul ada program remedial namun
hal itu tidaklah benar-benar “mengulang” sebab apa yang sudah terjadi
sesungguhnya tidak dapat dihapus dan digantikan begitu saja dengan
pembelajaran yang baru. Oleh karena itu, pembelajaran harus dirancang dan
dilaksanakan dengan cermat.
Untuk membelajarkan IPA setidaknya ada lima area penting yang
harus dikuasai seorang guru, yaitu a) hakikat IPA, b) teori belajar, c) strategi
membelajarkan, d) materi IPA, dan e) jenis-jenis berpikir. Kelima area
tersebut penulis pandang sebagai pengetahuan dasar untuk merancang dan
melaksanakan pembelajaran IPA sehingga harus dimiliki oleh semua guru
IPA. Buku ini membahas kelima area tersebut dengan disertasi ilustrasi dan
alernatif implementasinya dalam pembelajaran IPA di sekolah.

Hakikat IPA
Seorang guru kesenian bertugas mengajar di daerah yang
berbeda dengan latar belakang suku dan budaya asalnya.
Suatu ketika sekolah diwajibkan mengirimkan siswa untuk

4
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
berpartisipasi dalam lomba tari daerah. Karena tidak ada
guru lain yang dapat melatih siswa menari, maka guru
tersebut berusaha mencari berbagai informasi terkait tari
daerah tersebut. Setelah berlatih beberapa hari dan
mempersiapkan perlengkapan lomba mereka pun tampil
dalam perlombaan. Ketika tim penari memasuki arena
perlombaan dan mulai menari, tim juri terkesan dengan
penampilan mereka. Namun pada saat pertengahan tarian
tim juri kaget karena ada adegan penari duduk padahal
dalam tarian adat tersebut tidak boleh ada adegan duduk.
Setelah penampilan usai, juri menemui guru tersebut dan
menjelaskan kesalahan “fatal” tadi. Dari penjelasan
tersebut guru menjadi paham bahwa adegan duduk adalah
kesalahan berat dalam tarian tersebut.

Pemahaman terhadap hakikat IPA adalah bagian paling “sakral” bagi


seseorang yang belajar IPA maupun bagi orang yang membelajarkan IPA.
Ketidakpahaman terhadap hakikat IPA dapat menyebabkan terjadinya
kesalahan fatal seperti halnya guru yang mengajarkan tarian daerah tadi.
Pemahaman guru tentang hakikat IPA yang tidak tepat bukan hanya
berakibat terhadap dirinya namun juga terhadap bagaimana dia
membelajarkan IPA. Akibatnya siswa bukan hanya tidak menguasai IPA
dengan baik tetapi juga tidak dapat menangkap ruh IPA.
Pembahasan tentang hakikat IPA di Indonesia biasanya lebih fokus
pada komponen IPA, yaitu IPA sebagai produk, proses dan sikap. Literatur
tentang hakikat IPA yang lebih baru pada umumnya lebih fokus pada sifat-
sifat IPA, misal bahwa pengetahuan IPA bersifat tentatif, subjektif atau
bahwa metode ilmiah bukan satu-satunya metode untuk mendapatkan ilmu.
Sudut pandang pembahasan hakikat IPA yang berbeda (yang satu dari sisi
komponen dan satunya dari sisi sifat) membuat kita seringkali kebingungan
memaknainya. Oleh karena itu, dalam buku ini penulis mencoba
menunjukkan bagaimana mengintegrasikan kedua sudut pandang tersebut.

Pentingnya teori belajar


Banyak persepsi yang kurang tepat tentang “teori” sehingga memunculkan
kesan bahwa teori tidak berguna. Kesalahan ini terjadi karena kita sering
memaknai teori sebagai “omong belaka” tanpa tindakan nyata. Teori tidak
dapat dibandingkan dengan praktik karena keduanya berada pada domain
(ranah) yang berbeda. Masing-masing memiliki fungsi dan peran yang
berbeda. Teori sesungguhnya adalah penjelasan tentang suatu fenomena,
dalam hal ini “belajar”.

5
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Tugas guru adalah membelajarkan. Oleh karena itu, guru harus
paham apa itu belajar dan bagaimana belajar terjadi. Tanpa pemahaman
terhadap apa itu “belajar” dan bagaimana belajar terjadi, guru tidak akan
dapat membelajarkan dengan tepat. Sebagai contoh, banyak guru IPA
melakukan praktikum namun sebagian besar praktikum yang dilakukan
adalah praktikum verifikasi dengan mengikuti petunjuk praktikum yang
sudah sangat rinci mirip seperti “resep memasak”. Melaksanakan praktikum
tentu suatu yang baik, namun melaksanakan praktikum tanpa memahami
mengapa dan untuk apa praktikum hanya akan menghasilkan praktik tanpa
penghayatan. Pemahaman terhadap hakikat IPA akan membantu guru
meningkatkan manfaat praktikum sehingga praktikum yang sama bukan
hanya sekedar praktik tetapi juga menumbuhkan pemaknaan mengapa
praktikum tersebut dilakukan.
Kemampuan teori belajar dalam menjelaskan fenomena belajar pada
gilirannya membantu kita dalam berinovasi dan memperbaiki kualitas
pembelajaran. Tanpa penguasaan teori belajar mungkin saja kita tetap dapat
mengembangkan inovasi pembelajaran, namun ada resiko inovasi tersebut
salah arah dan tidak tepat. Selain itu, tanpa penguasaan teori belajar usaha
untuk mengembangkan inovasi lebih banyak bersifat coba-coba sehingga
kurang efisien.
Mengingat pentingnya teori belajar, dalam buku ini disajikan
beberapa teori belajar yang relevan dengan pembelajaran IPA. Pemilihan
teori belajar didasarkan pada pertimbangan relevansinya untuk
membelajarkan tiga komponen IPA, yaitu pengetahuan ilmiah, proses
ilmiah, dan sikap ilmiah. Teori belajar yang dibahas mencakup Teori Bruner,
Teori Ausubel, Teori Gagne, Teori Dewey, Teori Piaget, konstruktivisme,
teori belajar sosial, classical conditioning dan operant conditioning,.
Berbeda dengan teori IPA yang akan ditinggalkan manakala ada teori
yang baru, teori belajar tetap berlaku sekalipun lahir teori-teori yang baru.
Hal ini terjadi karena teori belajar tidak saling menjatuhkan satu sama lain
akan tetapi saling melengkapi satu sama lain. Ini menggambarkan bahwa
belajar sangat kompleks sehingga tidak bisa dipahami hanya dengan satu
atau dua teori saja. Agar lebih sejalan dengan pembahasan tentang hakikat
IPA, penyajian teori belajar dikelompokkan dalam teori belajar yang terkait
pengetahuan, proses, dan sikap.

Strategi membelajarkan IPA


Seorang mahasiswa melakukan penelitian untuk
membandingkan efektivitas metode ceramah dengan
metode praktik dalam meningkatkan penguasaan konsep
siswa. Di akhir penelitian, mahasiswa tersebut

6
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
menyimpulkan bahwa metode praktik lebih efektif untuk
meningkatkan penguasaan konsep.

Apabila penelitian tersebut memang diyakini kebenarannya, apakah berarti


kita dapat merekomendasikan agar semua pembelajaran materi tersebut
harus menggunakan metode praktik? Apabila metode praktik tersebut
digunakan oleh guru yang lain, apakah menurut Anda akan menghasilkan
hasil belajar yang sama? Apakah dengan kesimpulan tersebut dapat
dikatakan bahwa metode praktik lebih baik dari metode ceramah?
Penggunaan pendekatan, model, dan metode tertentu hakikatnya
adalah usaha agar tercipta kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa
belajar secara lebih optimal. Bukan pendekatan, model, atau metode yang
menyebabkan hasil belajar melainkan kondisi yang tercipta akibat
penggunaan pendekatan, model dan metode. Oleh karena itu, jika dua orang
guru yang menggunakan pendekatan, model, dan metode yang sama belum
tentu didapatkan hasil yang sama karena kondisi yang terjadi pada saat
pengimplementasian pendekatan, model, dan metode boleh jadi berbeda.
Sebuah model sesungguhnya terdiri dari dua struktur, yaitu struktur
luar yang dapat diobservasi dan struktur dalam yang tidak dapat diobservasi.
Dua orang guru menggunakan model yang sama, boleh jadi menggunakan
tata urutan model yang sama namun struktur luar yang terjadi bisa sangat
berbeda. Sebagaimana disebutkan di bagian awal bab, penulis hanya fokus
pada model pembelajaran. Karena model pembelajaran dikembangkan untuk
membelajarkan, maka model pembelajaran tentu didasarkan pada teori
belajar atau logika tertentu tentang belajar.
Dalam buku ini dibahas beberapa pendekatan, model dan metode
yang dinilai cocok untuk membelajarkan IPA. Pemilihan dan penyajian
ketiganya didasarkan pada tiga komponen IPA yaitu pengetahuan, proses,
dan sikap. Media pembelajaran tidak dibahas di buku ini karena media
bersifat lebih teknis sehingga akan dibahas pada buku berikutnya yang
membahas hal-hal terkait praktik pembelajaran.

Materi (Konten) IPA


Salah satu tujuan pembelajaran IPA adalah untuk membelajarkan
pengetahuan ilmiah yang merupakan produk hasil kerja para ilmuwan
sebelumnya. Tidak dipungkiri bahwa pengetahuan ilmiah sangat penting
dibelajarkan agar siswa memiliki pemahaman tentang alam dan fenomena
yang terjadi. Karena banyaknya pengetahuan ilmiah, pertanyaan penting
terkait materi pelajaran adalah “materi apa yang harus diajarkan?” dan
“mengapa materi tersebut harus diajarkan?”

7
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam buku ini disajikan
rumusan sepuluh materi utama pelajaran IPA sebagaimana yang
dirumuskan oleh beberapa pakar pendidikan IPA (Harlen, 2015). Kesepuluh
materi utama tersebut dipandang sebagai materi yang paling dibutuhkan
siswa, baik semasa di sekolah maupun setelah selesai sekolah dan hidup di
masyarakat.
Setiap konten IPA memiliki ciri tertentu dan ciri tersebut sangat
berpengaruh terhadap bagaimana materi tersebut harus dibelajarkan. Secara
umum materi IPA berbeda tingkat keabstrakannya, penggunaan
terminologinya, tingkat kompleksitasnya, dan keterkaitannya dengan aspek
sosial, budaya, dan agama. Guru hendaknya memahami ciri-ciri setiap
materi agar dapat merancang dan melaksanakan pembelajaran yang sesuai
dengan ciri materi yang akan diajarkan.

Jenis-jenis berpikir
Berpikir merupakan salah satu tujuan penting pendidikan. Akhir-akhir ini
sering digunakan istilah Higher Order Thinking Skills (HOTS), walaupun
sesungguhnya penggunaan istilah tersebut masih dapat diperdebatkan.
Penulis berpandangan bahwa berpikir tidak dapat dikategorikan tinggi atau
rendah sebab setiap jenis berpikir menuntut proses yang berbeda. Menghafal
dan menganalisis misalnya, keduanya merupakan jenis berpikir yang
berbeda. Menghafal menuntut otak untuk dapat menyimpan dan memanggil
kembali informasi dalam bentuk yang sama persis (dan ini sangat sulit)
sedangkan menganalisis menuntut otak untuk menguraikan hal-hal yang
terlibat dalam suatu fenomena atau kejadian serta saling keterkaitan antar
hal tadi. Menghafal memang menuntut proses berpikir yang berbeda dari
menganalisis, akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa menganalisis lebih
tinggi tingkatannya dari menghafal.
Berpikir bukan hanya melibatkan aspek kognitif tetapi juga aspek
afektif. Aspek afektif berpikir sering disebut juga kebiasaan berpikir (habits
of mind atau sering disingkat HoM) atau disposisi (disposition). Dalam buku
ini istilah disposisi dipilih untuk digunakan karena disposisi lebih
menunjukkan aspek afektif. Selama ini kita lebih fokus pada pengembangan
keterampilan berpikir namun kurang mengembangkan disposisi.
Keterampilan berpikir dan disposisi ibaratnya adalah dua sisi mata uang
sehingga keduanya harus dikembangkan secara bersama-sama.
Jenis berpikir ada bermacam-macam. Dalam sistem pendidikan di
Indonesia, selama ini kita lebih fokus pada jenis berpikir sebagaimana yang
dikemukakan oleh Bloom, padahal masih ada beberapa jenis berpikir yang
lain misalnya berpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis dan berpikir
kreatif merupakan dua jenis berpikir yang sangat dibutuhkan di masa kini

8
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
dan di masa mendatang. Setiap jenis berpikir bersifat unik sehingga masing-
masing memerlukan cara membelajarkan yang berbeda. Tuntutan kurikulum
yang hanya fokus pada jenis berpikir menurut Bloom mengakibatkan tidak
adanya usaha yang memadai untuk mengembangkan berpikir kritis dan
berpikir kreatif. Tentu saja tidak logis kalau kita mengharapkan siswa
memiliki kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif padahal
pembelajaran tidak pernah kita rancang untuk mengembangkan kedua jenis
berpikir tersebut.
Pembahasan tentang berpikir menjadi menutup buku ini.
Sebagaimana disampaikan, buku ini hanya menyajikan dasar-dasar
pembelajaran IPA. Pembahasan tentang segala sesuatu yang terkait praktik
pembelajaran IPA akan disajikan pada buku yang terpisah.
Di setiap akhir bab disajikan beberapa sumber yang dapat Anda baca
sebagai penambah pengetahuan. Bacaan tersebut pada umumnya
merupakan hasil penelitian penulis dengan beberapa kolega dan mahasiswa.
Sebagian besar bacaan tersebut dapat diperoleh di internet namun apabila
tidak tersedia Anda dapat berkirim pesan melalui email yang tercantumkan
di kata pengantar. Selamat membaca.

9
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
BAB II
HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN ALAM

Seorang ibu memberikan obat berbentuk pil yang rasanya sangat


pahit kepada anaknya. Karena obat itu pahit, ibu tersebut
meminta kepada anaknya agar pil tersebut diletakkan di lidah
bagian paling belakang supaya lebih mudah ditelan. Penjelasan
ibu tersebut sepintas sangat logis karena posisi pil yang berada
di pangkal lidah memungkinkan untuk lebih mudah ditelan. Ibu
tersebut tidak tahu bahwa bagian lidah paling belakang sangat
sensitif terhadap rasa pahit sehingga ketika anak tersebut
meletakkan pil di pangkal lidah dia merasakan betapa pahitnya
obat itu. Seandainya obat tersebut diletakkan agak ke depan,
sesungguhnya obat tersebut tidak terlalu terasa pahit karena
bagian depan lidah tidak sensitif terhadap rasa pahit tetapi lebih
sensitif terhadap rasa manis. Pengalaman merasakan obat yang
sangat pahit karena ketidaktahuan tentu bukan pengalaman yang
menyenangkan walaupun tidak terlalu merugikan atau
membahayakan. Meskipun demikian, banyak ketidaktahuan
yang dapat menimbulkan dampak yang lebih merugikan atau
bahkan fatal akibat tidak memiliki pengetahuan ke-IPA-an yang
benar.

Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) diberikan di semua jenjang sekolah


sejak SD/MI hingga SMA/MA. Mengapa anak-anak perlu belajar
IPA? Apakah IPA begitu penting sehingga harus dipelajari semua anak?
Memang apa ruginya atau apa akibatnya kalau anak tidak belajar IPA?
Ilustrasi di atas memberikan sedikit jawaban tentang pentingnya menguasai
IPA. Penguasaan IPA membantu kita memahami alam sehingga dapat
melakukan tindakan yang tepat. Apakah IPA hanya berisi pengetahuan
tentang alam? IPA sesungguhnya bukan hanya pengetahuan, namun juga
keterampilan dan sikap. Pada bab ini disajikan hakikat IPA sehingga
diharapkan Anda mengenal betul apa itu IPA.
Literatur yang lebih lama tentang hakikat IPA pada umumnya
menyatakan bahwa IPA mengandung komponen produk ilmiah
(pengetahuan ilmiah), proses ilmiah (metode ilmiah), dan sikap ilmiah
(Harlen, 1985). Beberapa literatur bahkan memasukkan IPA sebagai

10
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
teknologi, selain IPA sebagai produk, proses, dan sikap (Cain & Evans, 1990).
Karena teknologi berbeda pengembangannya dengan IPA maka dalam buku
ini teknologi tidak dimasukkan sebagai bagian dari hakikat IPA. Sementara
itu, literatur yang lebih baru tentang hakikat IPA (McComas, Clough, &
Almazroa, 1998) lebih menekankan pada sifat-sifat IPA, misalnya tentatif,
subjektif, dan bukan satu-satunya cara untuk memperoleh pengetahuan.
Buku ini membahas kedua sudut pandang hakikat IPA secara
terintegrasi, yaitu IPA dari sisi komponennya dan IPA dari sisi sifat-sifatnya.
Dengan demikian pembaca yang sudah biasa mengenal IPA sebagai produk,
proses, dan sikap dapat mengaitkan dengan pembahasan hakikat IPA dari
sisi sifat-sifatnya.

2.1 Pengetahuan ilmiah


Salah satu cara untuk mendapatkan pengetahuan ke-IPA-an adalah dengan
membaca buku. Kandungan isi buku pelajaran IPA sesungguhnya adalah
produk pemikiran dan temuan para ahli. Produk pemikiran dan temuan
para ahli antara lain dapat berupa fakta, konsep, generalisasi, hukum, dan
teori.
1. Fakta
Informasi tentang sesuatu yang dapat berupa waktu, jarak, ukuran,
kejadian, dan ciri tertentu, misalnya satu kali rotasi bumi adalah 24
jam, Merkurius merupakan planet yang paling dekat dengan
matahari, dan kaki belalang berjumlah 3 pasang.
2. Konsep
Secara sederhana konsep dapat diartikan sebagai abstraksi mental
terhadap benda atau fenomena yang dirumuskan oleh ilmuwan.
Abstraksi yang dibentuk oleh selain ilmuwan disebut konsepsi.
Konsepsi seseorang mungkin sama dengan konsep atau berbeda
dengan konsep. Dalam IPA banyak sekali konsep, misalnya
konduktor dan isolator, asam dan basa, hidrolisis, dan fotosintesis.
3. Generalisasi
Pernyataan umum yang merangkum sejumlah penjelasan atau
fenomena, misalnya benda apabila dipanaskan akan memuai,
tumbuhan berbiji tertutup ada yang keping lembaganya satu
(monokotil) dan ada juga yang keping lembaganya dua (dikotil), dan
permukaan yang licin memberikan gaya gesek yang rendah.
4. Hukum
Pernyataan yang didasarkan pada hasil pengamatan atau percobaan
yang menggambarkan sebuah fenomena. Salah satu contoh hukum
misalnya adalah Hukum Archimedes yang berbunyi apabila suatu
benda dimasukkan sebagian atau seluruhnya kedalam zat cair maka

11
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
benda tersebut akan mengalami gaya apung sebesar berat zat cair
yang dipindahkan oleh benda tersebut. Hukum tidak memberikan
penjelasan mengapa suatu fenomena begitu adanya.
5. Teori
Penjelasan terhadap suatu fenomena yang didasarkan pada hasil
pengamatan atau hasil pemikiran, misalnya teori evolusi dan teori
atom.

Fakta, generalisasi, hukum, dan teori adalah jenis pengetahuan


ilmiah yang berbeda dan semuanya menempati kedudukan yang sama
pentingnya dalam IPA. Seringkali ada pendapat yang memandang rendah
teori seolah teori bukan pengetahuan yang penting, misalnya dengan
ungkapan “ah, cuma teori” padahal teori menempati kedudukan yang sama
pentingnya dengan jenis-jenis pengetahuan yang lainnya. Fakta, generalisasi,
dan hukum tidak memberikan penjelasan mengapa suatu objek atau
fenomena begitu adanya. Teorilah yang memberikan penjelasan. Contohnya,
di alam ini didapati bahwa tumbuhan berbiji tertutup ada yang keping
lembaganya satu (monokotil) dan ada yang keping lembaganya dua (dikotil).
Mengapa bisa begitu? Atau lebih luasnya mengapa tumbuhan memiliki
kemiripan satu sama lain namun juga ada perbedaan-perbedaan? Penjelasan
tentang fenomena ini tidak ditemukan di fakta, generalisasi, maupun hukum.
Teorilah yang memberikan penjelasan, misalnya dalam hal ini adalah teori
evolusi.
Sebagai sebuah penjelasan, suatu teori tidak dapat gugur hanya
dengan menyajikan bantahan-bantahan. Teori akan gugur dengan sendirinya
apabila ada penjelasan lain yang lebih baik. Teori tidak gugur karena fakta,
generalisasi, atau hukum. Teori hanya akan gugur oleh teori lainnya. Ilustrasi
lebih lengkap tentang hal ini akan diberikan di bagian selanjutnya.
Mempelajari buku pelajaran atau buku teks ke-IPA-an lainnya pada
hakikatnya adalah mempelajari produk hasil karya para ilmuwan. Setiap
informasi yang kita baca dari buku pelajaran semuanya adalah produk
pemikiran dan penelitian ilmuwan sebelumnya. Misalnya, di buku pelajaran
IPA ada informasi bahwa dalam rongga dada kita ada sebuah jantung dan
bahwa jantung tersebut memiliki 4 ruangan. Kita sekarang ini tidak perlu
bersusah payah melakukan penelitian dengan membuka jantung manusia
untuk dapat mengetahui ada berapa ruangan jantung tersebut. Kita tinggal
membaca sebab sudah ada ilmuwan sebelumnya yang melakukan penelitian
tentang hal itu. Penulis yakin bahwa untuk melakukan penelitian tentang
jumlah ruangan pada jantung manusia tidaklah mudah dilakukan pada masa
itu. Produk jerih payah yang dilakukannya adalah pengetahuan bahwa
jantung manusia memiliki 4 ruangan. Contoh lain misalnya, untuk

12
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
memahami fenomena pelangi kita dapat membacanya dari buku. Kita tidak
perlu lagi melakukan penelitian tentang apa itu pelangi dan bagaimana
pelangi terbentuk karena sudah ada ilmuwan terdahulu yang melakukan
penelitian tentang hal itu. Sekarang kita dapat dengan cepat memahami
berbagai fenomena alam karena ilmuwan-ilmuwan sebelumnya telah bekerja
keras untuk mengungkapkan fenomena tersebut. Dapat Anda bayangkan
apabila tidak ada ilmuwan yang berjuang untuk mengungkap rahasia alam,
tentu kita juga tidak dapat mengetahui fenomena tersebut. Oleh karena itu,
selayaknya kita berterima kasih dan menghargai hasil kerja keras para
ilmuwan dengan cara mempelajari dan mengembangkannya.
Ada banyak sekali produk pengetahuan hasil karya para ilmuwan.
Agar dapat benar-benar memahami pengetahuan tersebut kita perlu
memahami sifat-sifat pengetahuan ilmiah. Pertama, pengetahuan ilmiah
pada umumnya dapat bertahan lama, namun pengetahuan tersebut tetap
saja bersifat tentatif. IPA bersifat tentatif karena pengetahuan IPA
bukanlah kebenaran itu sendiri tetapi hanya mendekati
kebenaran. Kebenaran IPA bukanlah kebenaran yang mutlak sehingga
pengetahuan tersebut dapat berubah, mengalami perbaikan, atau bahkan
salah sama sekali sehingga harus ditinggalkan. Salah satu contoh bahwa
pengetahuan IPA bersifat tentatif adalah teori yang menyatakan
bahwa makhluk hidup dapat muncul dari makhluk tak hidup. Teori ini
dipercaya dan bertahan sangat lama karena dikemukakan oleh seorang
ilmuwan yang sangat terkenal pada masa itu, bahkan hingga sekarang yaitu
Aristoteles. Saat ini kita mungkin menganggap bahwa teori tersebut tidak
masuk akal namun pada waktu itu sangat sulit untuk menunjukkan
kesalahan teori tersebut.
Dalam sejarah perkembangan ilmu tercatat berbagai usaha yang
dilakukan oleh para ilmuwan untuk menunjukkan kesalahan Teori
Aristoteles. Salah satu ilmuwan yang berusaha mematahkan pendapat
Aristoteles adalah Francesco Redi. Dia merancang sebuah percobaan
menggunakan enam Wadah dan membagi wadah-wadah tersebut ke dalam
dua kelompok yang masing-masing berisi tiga wadah. Pada wadah-wadah
tersebut dia memasukkan bahan yang disukai lalat (antara lain ikan dan
daging) sehingga wadah kelompok pertama dan wadah kelompok kedua
semuanya berisi bahan yang serupa. Selanjutnya dia menutup wadah
kelompok pertama sehingga tidak ada lalat yang dapat masuk sementara
pada kelompok kedua dibiarkan terbuka (Gambar 2.1).

13
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
A. Wadah ditutup kasa B. Wadah dibiarkan terbuka

Gambar 2.1 Percobaan Redi

Setelah beberapa hari Redi mengamati pada wadah kelompok kedua


ditemukan larva sedangkan pada wadah-wadah kelompok pertama tidak
ditemukan larva. Larva-larva tersebut jelas berasal dari lalat yang masuk ke
dalam wadah sebab pada wadah yang ditutup kain kasa sehingga lalat tidak
dapat masuk, tidak ditemukan larva. Tentu saja percobaan Redi ini sudah
membuktikan bahwa makhluk hidup hanya muncul dari makhluk hidup
sebelumnya.
Walaupun percobaan ini sebetulnya sudah sangat meyakinkan
namun tetap saja pada saat itu penganut teori bahwa makhluk hidup muncul
dari makhluk tak hidup tetap saja tidak percaya dengan hasil percobaan
ini. Ada saja bantahan yang diberikan, misalnya bahwa “faktor kehidupan”
tidak dapat masuk ke dalam wadah karena ditutup rapat. Sejarah mencatat
ada sejumlah ilmuwan lain yang mencoba untuk mematahkan teori yang
dikemukakan oleh Aristoteles misalnya Lazzaro Spallanzani. Seperti halnya
Francesco Redi, Spallanzani juga melakukan percobaan untuk membantah
teori bahwa makhluk hidup dapat muncul dari benda tak hidup. Dia
menunjukkan bahwa air rebusan kaldu yang ditutup rapat-rapat dan
dibiarkan beberapa hari tidak memunculkan kehidupan. Walaupun bukti
dari percobaan Spallanzani juga sangat meyakinkan namun tidak cukup
meyakinkan orang-orang yang saat itu masih menerima Teori Aristoteles.
Sekali lagi mereka menyanggah temuan Spallanzani dengan menyatakan
bahwa ‘faktor kehidupan” terhalang masuk sehingga dalam wadah tidak
terjadi kehidupan. Barulah sekitar satu abad kemudian Louis Pasteur
melakukan percobaan dengan desain tutup wadah berbentuk leher angsa.
Dengan desain tutup berbentuk leher angsa ini bahan yang diuji di dalam
wadah tidak terhalang sama sekali dengan udara luar namun partikel dari
luar tidak dapat masuk ke dalam wadah.

14
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teori yang
menyatakan bahwa makhluk hidup dapat muncul dari makhluk tak hidup
yang dikemukakan oleh seorang ilmuwan yang sangat terkenal
ternyata tidak benar. Walaupun teori itu bertahan sangat lama namun pada
akhirnya teori itu dapat ditunjukkan kesalahannya sehingga kemudian
ditinggalkan. Saat ini teori yang diterima adalah bahwa makhluk hidup
berasal dari makhluk hidup sebelumnya. Pengetahuan IPA hanya akan
terganti atau ditinggalkan manakala ada pengetahuan sejenis yang lebih
baik.
Apakah terbantahnya teori tersebut menunjukkan bahwa Aristoteles
dan ilmuwan lain yang mendukung teori bahwa makhluk hidup dapat
muncul dari makhluk tak hidup tidak kompeten? Tentu saja tidak. Kondisi
saat itu yang masih sangat terbatas menyebabkan penafsiran terhadap
fenomena “kemunculan makhluk hidup” menjadi sangat terbatas pada hal-
hal yang dapat diamati dengan mata telanjang. Kini dengan kemajuan
teknologi yang ada tentu jauh lebih mudah untuk menunjukkan bahwa
makhluk hidup hanya berasal dari makhluk hidup sebelumnya, bukan
muncul secara mendadak.
Kedua, pengetahuan IPA bersifat subjektif. Hal ini mengandung arti
bahwa ilmu itu ada pengaruh dari sisi subjek, dalam hal ini
peneliti. Fenomena alam sesungguhnya bersifat objektif (apa adanya)
namun penafsiran seseorang dapat berbeda tergantung dari latar
belakang orang tersebut. Di Indonesia misalnya, dalam penentuan kalender
Hijriyah yang didasarkan pada peredaran bulan sudah dimaklumi bahwa ada
perbedaan dalam penetapan bulan baru. Ketika tinggi bulan baru 0,5 derajat
misalnya, sebagian orang berpendapat bahwa itu sudah masuk bulan baru
sementara sebagian yang lainnya berpendapat bahwa belum masuk bulan
baru karena bulan belum dapat dilihat. Contoh ini menggambarkan bahwa
sekalipun objek yang dikaji sama, yaitu ketinggian bulan yang sama, namun
orang memberikan pemaknaan yang berbeda. Contoh sederhana yang
lainnya adalah bagaimana kita menirukan bunyi. Bunyi yang sama dapat kita
persepsikan berbeda tergantung latar belakang setiap orang. Misalnya, bunyi
letusan senjata di Indonesia kita tirukan dengan “dor”, di Inggris ditirukan
“bang” (dibaca baeng) dan di Jerman ditirukan “peng”. Contoh lain adalah
bunyi kokok ayam jantan. Bunyi kokok ayam jantan ketika ditirukan
manusia bunyinya menjadi beragam tergantung seperti apa tiruan bunyi
yang pernah dia dengar dari orang lain di lingkungannya, misalnya ada yang
menirukan menjadi “kokorokoook”, “kongkorongook” atau “kukuruyuuuk”.

15
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Gambar 2.2 Ayam jago

Ketiga, pengetahuan IPA pada umumnya didasarkan pada bukti


empiris dari hasil pengamatan dan percobaan, walaupun ada juga
pengetahuan ilmiah yang lebih didasarkan pada penalaran ilmiah. Dalam
melaksanakan penelitian ilmuwan seringkali membuat dugaan (hipotesis).
Hipotesis mungkin diterima atau harus ditolak tergantung bukti empiris
yang ada. Oleh karena itu, hipotesis sesungguhnya diuji dengan bukti
empiris. Apabila hipotesis yang diajukan ternyata didukung dengan bukti-
bukti empiris maka hipotesis tersebut dapat menjadi pengetahuan baru.
Oleh karena itu, kegiatan penelitian yang dilakukan ilmuwan sesungguhnya
adalah untuk mengumpulkan bukti.
Sekalipun bukti empiris memegang peran sangat penting, namun IPA
tidak hanya tergantung pada bukti empiris. Selain melalui bukti empiris,
pengetahuan ilmiah juga dikembangkan melalui proses penalaran ilmiah.
Pengetahuan ilmiah yang diperoleh dari penalaran ilmiah memiliki
kedudukan sebagai teori. Meskipun teori tidak didukung oleh bukti empiris,
namun teori tetap memiliki kedudukan yang kuat dalam pengetahuan
ilmiah. Teori asal usul terbentuknya alam semesta dan teori relativitas
keduanya lebih banyak didasarkan dari hasil penalaran dibandingkan hasil
pengamatan atau berdasarkan data empirik. Sebaliknya, pengetahuan bahwa
tumbuhan biji ada yang keping lembaganya satu dan ada yang dua
(generalisasi) didasarkan pada pengamatan dan bukti empirik. Meskipun
teori dan generalisasi dihasilkan dari cara yang berbeda namun keduanya
merupakan jenis pengetahuan yang sama pentingnya dalam IPA.

16
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
2.2 Proses kerja ilmiah
Pengetahuan ilmiah senantiasa berkembang. Setiap hari ada temuan-temuan
baru dari para ilmuwan. Bagaimanakah ilmuwan bekerja sehingga
menghasilkan temuan-temuan? Mendengar pertanyaan tersebut sebagian
kita mungkin akan membayangkan seorang ilmuwan yang memakai jas lab
yang bekerja di laboratorium. Tentu saja hal itu tidak salah tetapi benarkah
ilmuwan hanyalah orang yang bekerja di laboratorium?
Objek IPA adalah fenomena alam, sehingga laboratorium IPA tidak
terbatas pada apa yang ada di dalam gedung laboratorium tetapi di seluruh
alam semesta dan isinya. Oleh karena itu seorang ilmuwan mungkin bekerja
di laboratorium, menjelajah alam atau bahkan hanya duduk di kursi tetapi
sesungguhnya sedang bekerja untuk memikirkan fenomena alam.
Sebagai ilmu, IPA memiliki metode pengembangan ilmu yang dikenal
dengan nama metode ilmiah. Literatur yang berbeda mungkin menuliskan
tahapan metode ilmiah yang berbeda (walaupun esensinya sama) yang
antara lain mencakup merumuskan pertanyaan penelitian, merencanakan
penyelidikan, melaksanakan penyelidikan, menganalisis data, menarik
kesimpulan, dan mengomunikasikan hasil.
1. Merumuskan pertanyaan penelitian
Seorang petani akan menanam kacang panjang. Untuk itu dia
membeli bibit kacang panjang di toko pertanian. Penjual
menunjukkan beberapa pilihan bibit yang dapat dipilih. Pada
akhirnya, petani tersebut membeli bibit yang di dalam kemasannya
ada gambar kacang panjang yang memang panjang, ukurannya besar,
dan harganya tidak terlalu mahal. Ketika ditanam dan mulai berbuah,
ternyata kacang panjangnya tidak sepanjang yang dia harapkan
(seperti yang ada di foto kemasan bibit) dan ternyata sebagian besar
kacang panjang pada bagian ujung buahnya mengecil dan seperti
menggulung. Dia juga mengamati banyak serangga kecil di buah
kacang panjang yang dia tanam. Kondisi tanaman yang tidak sesuai
harapannya membuat petani tersebut berpikir keras tentang
penyebabnya.
Dari ilustrasi tersebut jelas ada permasalahan yaitu kacang panjang
yang tidak panjang dan ujungnya menggulung. Walaupun
permasalahan ada dan jelas, namun permasalahan tersebut belum
dapat diteliti. Di sinilah diperlukan kemampuan ilmuwan untuk
merumuskan permasalahan tersebut menjadi pertanyaan yang dapat
diteliti. Dari permasalahan tersebut ada beberapa pertanyaan yang
muncul di benak petani, antara lain:
• Apakah kurang pupuk?
• Apakah gangguan hama serangga?

17
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
• Apakah bibitnya kurang bagus?
• Apakah kurang air?
• Apakah karena keberadaan tanaman lain di dekatnya?
• Apakah cahaya matahari yang terlalu terik?
• Apakah terlalu banyak hujan?
• Apakah udara yang terlalu lembab?

Dari contoh ini, satu permasalahan dapat memunculkan


beberapa pertanyaan penelitian dan tiap-tiap pertanyaan akan
mengarah pada kegiatan penyelidikan yang berbeda. Seorang
ilmuwan bukan hanya dituntut untuk dapat merumuskan namun
juga untuk menentukan pertanyaan mana yang paling menentukan
sehingga layak diteliti. Misalnya, pada saat dia berpikir tentang
kurangnya pupuk yang menjadi penyebabnya, saat itu juga dia
“membantah” dengan hasil pengamatannya bahwa ternyata ada
beberapa kacang yang memang panjang dan bagus. Kalau pupuk
penyebabnya tentu tidak ada yang panjang karena semua dipupuk
dengan pupuk yang sama. Demikian juga pada saat dia berpikir
kekurangan air sebagai penyebabnya, dia juga “membantah” karena
semuanya disiram dan mendapatkan air yang sama. Demikian
seterusnya sehingga teridentifikasikan pertanyaan yang dinilai paling
relevan dengan permasalahan. Dari beberapa pertanyaan di atas,
manakah yang menurut Anda paling relevan untuk diteliti?

2. Merencanakan penyelidikan
Setelah merumuskan pertanyaan penelitian, langkah selanjutnya
yang harus dilakukan adalah merancang penyelidikan. Merancang
penyelidikan mencakup mengidentifikasi variabel-variabel yang
terlibat dan mungkin berpengaruh, merumuskan hipotesis,
menentukan alat dan bahan, dan merumuskan langkah-langkah
kegiatan yang akan dilakukan. Kreativitas peneliti sangat diperlukan
dalam tahap merencanakan penyelidikan agar penyelidikan yang
dilakukan inovatif dan dapat menghasilkan data yang meyakinkan.
Dari contoh di atas misalnya, apabila petani tersebut menduga bahwa
kelembaban udara adalah penyebabnya, maka dia harus merancang
penyelidikan untuk membuktikannya. Penelitian tentang pengaruh
kelembaban udara terhadap menggulungnya kacang panjang
mungkin belum pernah ada sebelumnya sehingga petani tersebut
harus memikirkan cara melaksanakan penyelidikan. Di sinilah
kreativitas dan kemampuan berinovasi peneliti sangat dibutuhkan
baik dalam menentukan alat, memilih bahan, dan merancang

18
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
tahapan proses penyelidikan. Rancangan penyelidikan hendaknya
rinci, jelas dan operasional sehingga mudah dijalankan. Berdasarkan
pertanyaan penelitian yang Anda pilih sebelumnya, buatlah
rancangan penyelidikan yang sesuai.

3. Melaksanakan penyelidikan
Setelah rancangan penyelidikan siap, langkah selanjutnya adalah
melaksanakan penyelidikan. Tujuan utama melaksanakan
penyelidikan adalah untuk mendapatkan data. Oleh karena itu,
peneliti harus berusaha untuk memastikan bahwa data yang
diperoleh mencukupi, lengkap, dan dapat dipercaya sehingga
menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Oleh karena itu, harus
dipastikan bahwa tidak ada informasi yang terlewat dan dikumpulkan
dengan alat dan teknik yang sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan.
Sekalipun rancangan sudah sangat rinci tetapi masih dimungkinkan
timbul kesulitan terkait teknis detail pelaksanaan. Dari ilustrasi
sebelumnya, apabila petani tersebut telah menyelesaikan rancangan
mungkin dia akan menghadapi kesulitan terkait bagaimana
mengendalikan kelembaban, bagaimana mengukur panjang kacang
panjang, atau bagaimana memastikan bahwa variabel-variabel lain
selain kelembaban tidak berpengaruh.

4. Menganalisis data
Tujuan menganalisis data adalah menyederhanakan informasi yang
banyak sehingga memudahkan dalam mengambil kesimpulan. Ada
banyak cara menganalisis data, mulai dari yang sederhana, misalnya
menghitung rerata hingga analisis data dengan menggunakan teknik
statistika yang kompleks. Walaupun salah satu fungsi analisis data
adalah untuk menguji hipotesis, tetapi analisis data tidaklah identik
dengan pengujian hipotesis.

5. Menarik kesimpulan
Setelah data dianalisis, ilmuwan akan lebih mudah dalam menarik
kesimpulan. Dengan membandingkan rerata atau menggunakan hasil
uji statistika, ilmuwan dapat lebih mudah dalam menentukan mana
yang lebih tinggi, lebih produktif atau lebih baik. Dalam menarik
kesimpulan hendaknya tetap memperhatikan keterbatasan dan
tingkat keberlakuan kesimpulan. Kondisi-kondisi yang ada pada saat
penyelidikan yang mungkin berpengaruh terhadap hasil mesti
dipertimbangkan sehingga kesimpulan dapat diverifikasi oleh peneliti
lain. Selain itu, apabila ada peneliti lain yang akan melakukan

19
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
penelitian serupa mereka dapat mewaspadai faktor-faktor yang
berpengaruh tersebut.

6. Mengomunikasikan hasil
Hasil penyelidikan bukanlah untuk disimpan dan dirahasiakan. Hasil
penyelidikan yang disembunyikan tidak akan berkontribusi terhadap
perkembangan ilmu. Oleh karena itu, ilmuwan secara terbuka
menyampaikan hasil penyelidikannya dalam forum ilmiah baik
secara lisan maupun tulisan. Mengingat hasil penyelidikan bentuknya
dapat sangat rumit, ilmuwan menggunakan berbagai bentuk
representasi untuk mengomunikasikan hasil penyelidikannya, misal
dengan menggunakan grafik, gambar, dan pemodelan. Oleh karena
itu, cara ilmuwan berkomunikasi berbeda dengan cara berkomunikasi
orang awam.

Kerja ilmiah (merumuskan pertanyaan penelitian, merancang


penyelidikan, melaksanakan penyelidikan, menganalisis data, menarik
kesimpulan, dan mengomunikasikan hasil penyelidikan) merupakan
serangkaian proses untuk menghasilkan pengetahuan. Oleh karena itu
keterampilan untuk melakukan kerja ilmiah sering juga disebut keterampilan
proses ilmiah atau keterampilan kerja ilmiah.
Walaupun pengetahuan IPA pada umumnya diperoleh melalui
metode ilmiah, tetapi tidak berarti bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya
cara untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah. Ada banyak pengetahuan yang
tidak diperoleh melalui langkah-langkah tersebut. Kadang ilmuwan
mendapatkan pengetahuan ketika “tidak sengaja” mengamati fenomena
tanpa merumuskan pertanyaan penelitian dan merencanakan penyelidikan
terlebih dahulu. Selama hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah maka pengetahuan tersebut akan diterima sebagai
pengetahuan ilmiah. Sebagai ilustrasi adalah kisah penemuan sinar X atau
sinar rontgen. Banyak dari kita mengenal istilah “rontgen” (sering dibaca
ronsen) yang banyak digunakan untuk keperluan medis, misal untuk
memeriksa kondisi paru-paru atau tulang. Penemuan sinar X yang
digunakan dalam rontgen betul-betul merupakan suatu kebetulan. Ketika
Wilhelm Röntgen sedang melakukan penelitian untuk meneliti apakah sinar
dari katoda dapat menembus gelas, dia mendapati bahwa dari katoda
tersebut dihasilkan sinar tidak terlihat namun menghasilkan cahaya
berpendar (flourescent) yang tertangkap di layar. Ketika dia mencoba
menutup dengan kertas karbon dan benda lainnya ternyata sinar tersebut
tetap dapat menembusnya. Ketika dia mengganti layar dengan lembaran film
dan mencoba menghalangi sinar tersebut dengan tangannya, ternyata di

20
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
lembaran film tersebut tercetak gambar tulang tangannya. Ketika dia
mempublikasikan kejadian ini dia menyebut sinar X karena dia belum tahu
sinar apa itu. Hingga saat ini kita kadang masih menyebut sinar X atau
rontgen. Penemuan sinar X oleh Wilhelm Röntgen merupakan salah satu
contoh pengetahuan IPA yang tidak diperoleh melalui tahapan metode
ilmiah.
Sebagaimana disinggung di bagian sebelumnya, kreativitas ilmuwan
sangat dibutuhkan dalam merancang dan melaksanakan penyelidikan.
Tahapan kerja ilmiah memang secara umum sama akan tetapi karakteristik
setiap penelitian berbeda karea setiap penelitian sesungguhnya bersifat unik.
Tahapan metode ilmiah hanyalah pola dasar yang isinya sangat tergantung
pada setiap penelitian. Dalam setiap tahapan penelitian ilmuwan senantiasa
dihadapkan dengan permasalahan metodologis yang menuntut kreativitas
dalam melaksanakannya. Oleh karena itu, tidak tepat pernyataan yang
menyatakan bahwa ilmuwan tidak perlu kreatif karena sudah ada metode
baku untuk melakukan penelitian. Justru sebaliknya, tanpa kreativitas
ilmuwan tidak akan dapat bekerja.
Dengan menggunakan metode yang ada dalam IPA, ilmuwan telah
dapat memberikan jawaban terhadap banyak sekali pertanyaan tentang
alam. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa IPA dapat menjawab semua
pertanyaan. IPA juga memiliki keterbatasan IPA. Ada banyak pertanyaan
yang tidak dijawab oleh IPA, misalnya kapan kiamat akan terjadi atau kapan
seseorang akan meninggal.

2.3 Sikap ilmiah


Dalam IPA melekat sejumlah sikap tertentu yang harus dimiliki oleh setiap
orang yang bekerja dalam IPA. Sikap ini sering disebut dengan sikap ilmiah.
Ada sejumlah sikap ilmiah namun hanya beberapa saja yang akan dibahas di
sini. Salah satu sikap ilmiah terpenting yang menjadi pendorong kemajuan
IPA adalah “rasa ingin tahu”. Coba anda bayangkan seandainya para ahli
dahulu tidak punya rasa ingin tahu, tentunya tidak akan ada pengetahuan
dan tidak akan ada teknologi.
Mari kita ambil gravitasi sebagai contoh. Ketika kata “gravitasi”
disebut tentu orang akan mengaitkannya dengan Newton. Walaupun kisah
bahwa Newton menemukan gravitasi ketika dia melihat buah apel yang jatuh
dari pohonnya belum tentu kejadian yang benar-benar terjadi, tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa Newton memberikan kontribusi yang besar terkait
gravitasi. Penulis cukup yakin bahwa saat Newton melihat apel jatuh dari
pohon, itu bukanlah pertama kalinya dia melihat apel jatuh. Penulis yakin
bahwa Newton pernah melihat benda-benda jatuh sebelumnya. Kunci
perbedaan antara menyaksikan benda jatuh sebelumnya dengan

21
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
menyaksikan apel jatuh pada saat itu adalah berpikir. Ketika kita berpikir,
maka fenomena yang kita temui akan menimbulkan rasa ingin tahu. Ketika
itulah kita mengamati fenomena, bukan sekedar melihat. Sebagian dari kita
mungkin sering melihat jagung yang masih utuh di tongkolnya (bukan biji
jagung), namun tahukah Anda bagaimanakah jumlah deretan melingkar biji
jagung pada tongkolnya? Apakah jumlahnya ganjil, genap, atau kadang ganjil
kadang genap? Kalau Anda tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut,
berarti selama ini Anda sekedar melihat tetapi tidak pernah memikirkannya.
Memikirkan jumlah barisan biji jagung di tongkolnya tidaklah memberikan
banyak manfaat selain sekedar memenuhi rasa ingin tahu dan penasaran,
namun rasa ingin tahu dapat membawa kita pada penemuan besar dan
bermanfaat. Rasa ingin tahu Newton mengapa benda jatuh ke bumi dan
bukan melayang sejajar bumi atau menjauhi bumi menghasilkan sebuah
penjelasan yang sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan teknologi.
Kini kita tahu bahwa banyak fenomena yang dapat dijelaskan dengan
menggunakan Hukum Newton atau teknologi yang dikembangkan dengan
memperhatikan Hukum Newton.
Masih banyak contoh fenomena lain yang ada di sekitar kita yang
seringkali kita lihat tetapi tidak pernah kita pikirkan. Kunci rasa ingin tahu
adalah berpikir terhadap fenomena atau objek yang kita lihat. Tidak cukup
hanya sekedar melihat tetapi harus disertai dengan berpikir tentang
fenomena atau objek tersebut. Yakinkah bahwa Anda sudah tahu
semua fenomena dan objek yang ada di sekeliling Anda? Coba amati
fenomena dan objek yang ada di sekitar Anda, misalnya bagaimana alat
penanak nasi elektrik (rice cooker) “tahu” bahwa nasi sudah masak?
Berapapun banyaknya beras yang kita masak, penanak nasi tersebut baru
berhenti dari “mode masak” ketika nasi sudah masak. Bagaimana dia “tahu”?
Tidakkah ada rasa penasaran pada diri Anda untuk mengetahuinya?
Perhatikan juga objek dan fenomena lainnya. Berpikir sehingga
menumbuhkan rasa ingin tahu bukan hanya akan mengarahkan pada
penemuan yang memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang
lain, namun lebih utamanya hal itu juga perintah Allah, Tuhan Yang Maha
Tahu agar kita semakin tahu alam semesta ini.
Rasa ingin tahu juga akan membuat kita memikirkan setiap
fenomena dan objek yang kita temui. Pernahkah Anda membaca kisah
Archimedes? Diceritakan bahwa seorang raja memesan mahkota kepada ahli
pembuat mahkota. Raja memberikan emas murni kepada pembuat mahkota
tersebut. Raja curiga jangan-jangan pembuat mahkota tersebut
mencampurkan logam lain pada mahkota tersebut. Untuk itu dia
memerintahkan Archimedes untuk membuktikan apakah mahkota itu benar-
benar terbuat dari emas murni ataukah ada campuran lainnya. Tentu ini

22
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
tugas yang sangat berat karena Archimedes tidak bisa memotong mahkota
tersebut untuk dilebur. Archimedes senantiasa berpikir tentang cara menguji
mahkota tersebut, bahkan ketika dia mandi pun dia berpikir. Ketika dia
mandi (dengan masuk ke bak) dia mengamati bahwa permukaan air naik dan
ketika dia keluar dari bak permukaan air turun. Dia menyadari bahwa
prinsip yang sama dapat digunakan untuk menentukan massa jenis mahkota
raja. Dengan membagi massa mahkota dengan volume air yang dipindahkan
dia akan mengetahui massa jenis bahan pembuat mahkota tersebut. Apabila
massa jenisnya sama dengan emas berarti mahkota tersebut emas murni
namun apabila massa jenisnya lebih rendah berarti ada bahan lain yang
ditambahkan. Begitulah Archimedes, dia senantiasa berpikir sehingga
menemukan jawaban permasalahannya. Sekarang kita juga menggunakan
temuan Archimedes tersebut yang sering kita sebut Hukum Archimedes.
Sikap ilmiah lain yang sangat penting adalah pantang menyerah.
Proses pencarian jawaban terhadap rasa ingin tahu atau permasalahan dapat
berlangsung lama, berliku, dan mungkin saja mengalami banyak kegagalan.
Apabila seorang ilmuwan tidak memiliki sikap pantang menyerah maka
temuan bisa jadi tidak pernah ada karena sudah menyerah sebelum
mendapatkan hasil. Salah satu contoh kisah kegigihan ditunjukkan oleh
Thomas Alva Edison. Selama hidupnya dia telah menghasilkan banyak
teknologi, misalnya bola lampu, sistem penyaluran listrik, dan baterai isi
ulang. Walaupun telah menghasilkan banyak temuan, tetapi tidak berarti
penyelidikan yang dilakukannya selalu berhasil. Dia menyatakan bahwa
proses pengembangan temuannya seringkali tidak sekali jadi, langsung
berhasil. Justru sebaliknya percobaannya sering kali tidak berhasil sehingga
harus berulang kali mencoba dan memperbaiki. Dia tidak pernah
memandang ketidakberhasilan sebagai kegagalan, dia memandangnya
sebagai “menemukan cara yang tidak berfungsi baik”. Oleh karena itu dia
tidak putus asa dan pantang menyerah.
Masih ada beberapa sikap ilmiah lain, misalnya terbuka, kritis, dan
dapat bekerjasama tetapi pada bagian ini akan diuraikan satu sikap ilmiah
yang penulis pandang sangat penting yaitu jujur. Jujur merupakan sikap
ilmiah yang sangat penting. Seorang ilmuwan mungkin bekerja sendiri (atau
dengan tim) dan tidak diawasi oleh pengawas. Meskipun demikian, tidak
berarti bahwa mereka dapat mengarang hasil atau mengubah data yang
diperoleh. Seorang ilmuwan sejati tidak akan mengubah data agar sesuai
dengan keinginannya. Dia akan jujur dengan data yang dimilikinya.
Sebagaimana telah diuraikan, IPA pada hakikatnya mengandung
komponen pengetahuan, proses, dan sikap. Ketiga komponen tersebut
memiliki sifat-sifat tertentu. Hubungan antara sisi komponen dan sifat
hakikat sains dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut.

23
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Tabel 1.1 Hubungan antara hakikat IPA dari sudut pandang komponen dan
sifat IPA

Komponen Sifat
IPA Tentatif Subjektif Empirik Metode Keter- Sosial
ilmiah batasan budaya
Pengetahuan √ √ √ √
Proses √ √
Sikap √

Dari ilustrasi yang disajikan pada Tabel 1.1, mempelajari IPA


hendaknya mempelajari hakikat sains seutuhnya. Seseorang yang menguasai
buku pelajaran dan buku teks IPA belum dapat dikatakan telah menguasai
IPA karena sesungguhnya orang tersebut baru menguasai sebagian IPA,
yaitu pengetahuan ilmiah yang merupakan produk IPA. IPA bukan hanya
berisi pengetahuan tetapi juga cara untuk memperoleh pengetahuan atau
yang sering disebut proses IPA. Selain pengetahuan ilmiah dan proses
ilmiah, IPA juga mengandung komponen ketiga yaitu sikap ilmiah yang
berisi sikap-sikap baik yang harus ada untuk memperoleh pengetahuan
ilmiah.
Komponen IPA yang berisi pengetahuan ilmiah, yang merupakan
produk hasil kerja para ilmuwan, sering disebut dengan IPA sebagai produk,
sedangkan komponen IPA yang berisi cara untuk memperoleh pengetahuan
disebut dengan IPA sebagai proses, dan komponen IPA yang berisi sikap
untuk memperoleh pengetahuan disebut dengan sikap ilmiah. Produk,
proses, dan sikap bukankah tiga hal yang berbeda tetapi merupakan satu
kesatuan sehingga ketika seseorang mempelajari IPA dia harus mempelajari
produknya, prosesnya, dan sikapnya.

2.4 Pentingnya pemahaman hakikat IPA


Sekumpulan orang sedang memancing ikan di suatu area (kolam, sungai,
danau, laut). Karena ikan senantiasa bergerak dapat diduga bahwa jenis ikan
di area tersebut relatif sama. Walaupun jenis ikan di area tersebut relatif
sama tetapi para pemancing itu menggunakan umpan yang berbeda dan
memilih titik (spot) yang berbeda. Pemilihan umpan dan titik (spot) untuk
memancing tentu didasari pada pemahaman dan keyakinan bahwa ikan yang
dipancing menyukai umpan tersebut dan juga bahwa di titik mereka
memancing ada ikan. Tentu tidak mungkin seorang pemancing ikan
menggunakan umpan yang diyakini tidak disukai ikan atau memancing di
tempat yang diyakini tidak ada ikannya. Dari ilustrasi ini jelas bahwa
manusia bertindak berdasarkan apa yang dia pahami dan yakini.

24
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Pemahaman guru dan siswa tentang hakikat IPA juga demikian. Guru
dan siswa yang memahami bahwa IPA adalah sekumpulan pengetahuan
maka segala usaha dan tindakan mereka akan diarahkan untuk penguasaan
pengetahuan. Oleh karena itu, penting agar guru dan siswa memiliki
pemahaman yang benar tentang hakikat IPA. Sering terabaikannya proses
ilmiah dan sikap ilmiah dalam pembelajaran IPA boleh jadi disebabkan
karena baik guru maupun siswa tidak memiliki pemahaman bahwa proses
ilmiah dan sikap ilmiah adalah bagian tak terpisahkan dari IPA.
Secara umum ada dua strategi untuk memahamkan guru dan siswa
tentang hakikat IPA, yaitu strategi eksplisit dan implisit. Dalam strategi
eksplisit, dibuat program pembelajaran/pelatihan yang memang secara
khusus dirancang untuk membangun pemahaman hakikat IPA sedang dalam
strategi implisit, hakikat IPA ditanamkan secara terintegrasi melalui
kegiatan pembelajaran/pelatihan IPA. Masih diperlukan penelitian yang
mendalam untuk mengetahui strategi mana yang lebih efektif untuk
membangun pemahaman hakikat sains guru dan siswa.

Bacaan lanjutan
Sejumlah penelitian tentang hakikat IPA telah kami lakukan. Silakan baca
tulisan-tulisan berikut.
1. Adi, Y.K. & Widodo, A. (2018). Pemahaman Hakikat Sains pada
Guru dan Siswa Sekolah Dasar. Edukasi: Jurnal Penelitian dan
Artikel Pendidikan. 10(1) 55-72.
2. Jumanto. & Widodo, A. (2018). Pemahaman Hakikat Sains oleh
Siswa dan Guru SD di Kota Surakarta. Jurnal Komunikasi
Pendidikan. 2(1) 20-31.
3. Lestari, H. & Widodo, A. (2021). Peranan Model Pembelajaran
Nature of Science untuk Meningkatkan Pemahaman Sains Siswa
Sekolah Dasar. Jurnal Cakrawala Pendas. 7(1), 1-9.
4. Nugraheny, D. C. & Widodo, A. (2021). Pengaruh Penerapan
Model Pembelajaran Nature of Science terhadap Pembelajaran
Sains. Jurnal Visipena. 12(1), 111-123.
5. Putri, D. S., Pramswari, L. P., Suryana, S. I. & Widodo, A. (2021).
Analysis of the Nature of Science in Elementary School Science
Curriculum and Its Empowerment in Student Book. Jurnal
Penelitian Pendidikan IPA, 7(3), 488-495.
6. Rahayu, A.H. & Widodo. A. (2019). Understanding of Nature of
Science Pre-Service Students and Elementary School Teachers in
the Digital Age. Formatif: Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA. 9(2),
161 – 172.
7. Rustaman, N.Y & Widodo, A. (2001). Konsepsi Calon Guru
Biologi Tentang IPA, Belajar, dan Mengajar (Conception of
Biology Student Teachers’ about Science, Learning, and
Teaching). Jurnal Pengajaran MIPA, 2(1) 27-40.

25
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
8. Sutinah, C. & Widodo, A. (2020). The Effect of Nature of Science
(NOS) Explicit Learning Design on Students’ NOS
Comprehension at Elementary School. Al Ibtida: Jurnal
Pendidikan Guru MI. 7(2), 197-209.
9. Tursinawati & Widodo, A. (2019). Pemahaman Nature of Science
(NOS) di Era Digital: Perspektif dari Mahasiswa PGSD. Jurnal
IPA dan Pembelajaran IPA. 3(1), 1 - 9.
10. Widodo, A., Jumanto., Adi, Y.K. & Imran, M. E. (2019).
Pemahaman Hakikat Sains (NOS) oleh Siswa dan Guru Sekolah
Dasar. Jurnal Inovasi Pendidikan. 5(2), 237-247.
11. Yuniasih, N. & Widodo, A. (2021). Nature of Science Learning
Design for Elementary School Students. IOP Conference Series:
Material Science and Engineering, 1098 062175.

26
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
BAB III
TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN IPA

Saat pelajaran IPA, seorang siswa laki-laki kelas 8 di sebuah


SMP tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana yang diajukan
gurunya. Sebenarnya apa yang ditanyakan adalah pelajaran kelas
7 yang sudah dipelajarinya tahun lalu dengan guru tersebut.
Setelah ditunggu cukup lama siswa tersebut tidak juga dapat
menjawab pertanyaan tadi. Guru kemudian memberikan dua
pilihan kepada siswa tersebut untuk mendapatkan jawabannya.
Pilihannya adalah pergi ke perpustakaan dan membaca lagi buku
pelajaran IPA kelas 7 atau bertanya ke seseorang. Siswa tersebut
memilih bertanya ke seseorang. Sesuai dengan pilihannya, guru
meminta siswa tersebut untuk bertanya ke seorang siswi di kelas
7. Siswa tersebut kaget karena dia mengira bahwa dia dapat
bertanya ke teman di kelasnya. Dengan terpaksa dia pergi
menemui siswi kelas 7, karena bertanya kepada orang lain adalah
pilihan yang sudah terlanjur dipilihnya. Akhirnya siswa tersebut
memang kembali ke kelas dengan jawaban yang benar atas
pertanyaan gurunya. Semenjak kejadian itu siswa tersebut selalu
dapat menjawab pertanyaan guru IPA tersebut dan nilai
pelajaran IPA juga bagus.

3.1 Pentingnya teori belajar


Pada Bab 2 telah dibahas bahwa teori artinya penjelasan tentang suatu
fenomena. Fenomena belajar yang digambarkan dalam ilustrasi di atas juga
dapat dijelaskan oleh teori, yaitu teori belajar. Teori belajar dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada diri seseorang ketika proses belajar
berlangsung. Berdasarkan ilustrasi di atas, menurut Anda apakah yang
terjadi sehingga siswa tersebut menjadi berprestasi dalam pelajaran IPA?
Apakah menurut Anda cara yang dilakukan guru tersebut dapat digunakan di
semua sekolah?
“Theorie ist die Leiter zu den Früchten am Baum der Praxis” (Berck,
2005, p. 8), yang artinya teori adalah tangga untuk memetik buah dari pohon
praktik. Mungkin pernah suatu ketika Anda berjalan kaki di pantai di hari
yang sangat terik. Bayangkan saat itu Anda sangat haus sedangkan bekal air
minum sudah habis dan tidak ada penjual minuman. Di sekitar pantai itu
sebenarnya tumbuh banyak pohon kelapa sehingga Anda membayangkan

27
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
betapa segarnya minum air kelapa muda. Ketika Anda menemui pemiliknya
untuk membeli beberapa kelapa muda, pemilik kebun yang sudah lanjut usia
itu berkata: “Silakan ambil berapapun Anda mau, gratis”. Tentu itu jawaban
yang membahagiakan, tetapi sayang Anda tidak dapat memanjat dan tidak
mungkin meminta tolong pemilik kelapa tersebut. Anda tentu kemudian
membayangkan, andaikan ada tangga tentu dahaga Anda terpuaskan. Itulah
makna ungkapan Berck tentang pentingnya teori. Pohon kelapa adalah
praktik pembelajaran sedangkan tangga adalah teori. Tanpa teori belajar kita
tidak akan dapat memahami indahnya fenomena pembelajaran.
Selain memberikan penjelasan terhadap fenomena, teori juga
membantu kita untuk memecahkan masalah pembelajaran secara lebih
terarah. Ketika menghadapi masalah namun tidak menguasai benar
bagaimana memecahkannya seringkali kita melakukan coba-coba. Dengan
coba-coba mungkin saja kita dapat menemukan pemecahannya, tetapi
diperlukan keberuntungan untuk dapat segera menemukan pemecahan
tersebut. Hal ini akan berbeda manakala kita menguasai teori belajar.
Menguasai teori belajar artinya kita memahami seluk beluk dan fenomena
belajar sehingga manakala ada masalah kita tidak coba-coba tetapi lebih
terarah.
Dengan teori belajar kita dapat memahami fenomena yang disajikan
dalam ilustrasi yang disajikan di awal bab. Ketika siswa kelas 8 itu harus
bertanya ke siswa perempuan di kelas 7, tentu dia sangat malu. Baginya itu
adalah hukuman yang sangat berat sehingga dia bertekad untuk giat belajar
agar tidak terkena hukuman. Walaupun tujuan awalnya adalah menghindari
hukuman, belajar membuatnya menguasai pelajaran dengan baik sehingga
dia bukan saja dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan gurunya namun juga
meningkat nilainya dalam pelajaran IPA. Fenomena dalam ilustrasi itu dapat
dipahami dengan teori belajar operant conditioning.

3.2 Teori belajar untuk pembelajaran IPA


Apabila Anda membaca literatur tentang teori belajar Anda akan
menemukan bermacam teori belajar. Tidak seperti teori di bidang IPA yang
gugur karena ada teori baru, teori belajar tidak bersifat saling
menggugurkan. Ketika muncul teori belajar yang baru, teori belajar yang
lama tetap berlaku karena teori belajar yang baru tidak serta-merta
menunjukkan bahwa teori belajar yang lama salah. Teori belajar yang baru
memberikan penjelasan dari sudut pandang yang berbeda. Walaupun sudut
pandangnya berbeda namun semuanya logis. Oleh karena itu, walaupun
sama-sama tergolong teori belajar namun teori belajar yang satu bersifat
melengkapi teori belajar lain.

28
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Literatur tentang teori belajar mungkin berbeda dalam
mengelompokkan teori belajar (misalnya, Bodenmann, Perrez, Schär, &
Trepp, 2004; Lefrançois, 2000; Schunk, 2012), tetapi untuk memudahkan
pembahasan dalam buku ini penulis mengelompokkan teori belajar yang ada
menjadi tiga kelompok, yaitu teori belajar yang memandang belajar sebagai
perubahan perilaku (behavioristik), teori belajar yang memandang belajar
sebagai hasil mengamati dan meniru (teori belajar sosial), dan teori belajar
yang memandang belajar sebagai proses yang ada di otak (kognitivistik).
Pada bab ini akan disajikan beberapa teori belajar dari ketiga kelompok
tersebut yang relevan dengan karakteristik IPA dan pembelajaran IPA.
Penyajian teori belajar tidak mengikuti kronologis lahirnya teori belajar
tetapi berdasarkan karakteristik IPA dan pembelajaran IPA sebagaimana
disajikan di Bab 1.

3.2.1 Teori belajar untuk mempelajari pengetahuan ilmiah


Mempelajari fakta, generalisasi, hukum, dan teori berkaitan erat dengan
proses kognitif, sehingga teori belajar yang berhubungan erat adalah teori
belajar yang berorientasi pada aspek kognitif (kognitivistik). Ada beberapa
teori belajar kognitivistik yang relevan.
1. Teori belajar yang dikemukakan oleh Bruner (Teori Bruner)
Bruner merupakan salah seorang tokoh teori belajar yang
menunjukkan bahwa belajar tidak harus terlihat dari perubahan
perilaku. Bruner (Bruner, 1977; Schunk, 2012) menyatakan bahwa
ada tiga bentuk representasi pengetahuan yang berbeda yang
terbentuk seiring dengan pertambahan usia, yaitu enaktif (0 - 1
tahun), ikonik (1 - 6 tahun), dan simbolik (7 tahun ke atas).
Pada tahap enaktif, pengetahuan tersimpan dalam bentuk
gerakan, misalnya cara memegang dan cara menendang, tetapi tidak
ada representasi di otak. Pada tahap yang kedua (representasi
ikonik), informasi disimpan dalam bentuk gambar (ikon). Ikon
adalah representasi visual suatu benda. Misalnya, ketika seorang
anak mendengar atau menyebutkan kata “labu” maka representasi
yang ada di otaknya adalah benda yang disebut labu. Pada level yang
ketiga (representasi simbolik), informasi disimpan dalam bentuk
simbol. Berbeda dengan ikon, simbol lebih berupa kata-kata sehingga
simbol tidak selalu berhubungan langsung dengan bentuk objek atau
fenomenanya.

29
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
labu
LABU
Ikonik Simbolik

Gambar 3.1 Perbedaan representasi ikonik dan simbolik

Kata “labu” atau “LABU” hanyalah gabungan dari huruf “a”,


“b”, “l” dan “u” dalam alfabet dengan urutan tertentu. Apabila posisi
huruf-huruf tersebut berubah, walaupun jumlah hurufnya tetap,
makna yang terbentuk sudah berbeda atau bahkan tidak ada
maknanya, misanya “bula” “balu” atau “luba”. Gambar labu adalah
representasi ikon dari buah labu yang asli sedangkan kata “labu”
adalah representasi simbolik dari buah labu yang asli. Otak kita
menyimpan representasi simbolik dalam bentuk kata-kata sehingga
dapat dirangkaikan dengan kata-kata lain untuk membentuk makna
yang baru. Contohnya, ketika di otak kita tersimpan kata “labu” dan
suatu ketika kita makan bolu pisang, di otak kita dapat terbentuk
asosiasi antara “bolu” dan “labu” sehingga muncul ide “bolu labu”.
Salah satu pemikiran penting Bruner yang terkait erat dengan
pembelajaran IPA adalah belajar penemuan (discovery learning).
Bruner berpendapat bahwa hasil belajar akan tersimpan lebih baik
apabila siswa menemukan sendiri, bukan dengan diberi tahu. Untuk
dapat menemukan tentunya siswa harus secara aktif melakukan
serangkaian proses untuk pada akhirnya dapat menemukan sendiri
konsep yang dipelajari.

2. Teori belajar yang dikemukakan oleh Ausubel (Teori Ausubel)


Ausubel merupakan salah seorang tokoh yang menyatakan bahwa
belajar tidak harus selalu melibatkan aktivitas fisik. Proses belajar
sangat mungkin terjadi walaupun seseorang tidak melakukan
aktivitas fisik. Ketika seseorang duduk dan membaca, secara fisik

30
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
orang tersebut tidak melakukan sesuatu namun secara kognitif
mungkin sedang berlangsung proses belajar yang intensif.
Berbeda dari Bruner, menurut Ausubel (Ausubel, 2000;
Schunk, 2012) belajar akan bermakna apabila seseorang dapat
mengaitkan informasi yang baru dengan struktur pengetahuan yang
telah ada di otaknya. Suatu konsep hanya akan bermakna apabila
terhubung dengan konsep lain secara logis, misalnya hubungan
antara kata “AYAH” dan “SEPEDA” berikut ini (Gambar 3.2).

AYAH SEPEDA
Gambar 3.2 Hubungan antar kata

Makna yang timbul dari kata “AYAH” dan “SEPEDA” sangat


tergantung pada kata kerja yang menghubungkannya. Apabila kata
penghubungnya adalah “NAIK” maka menjadi “AYAH NAIK
SEPEDA”, namun apabila kata hubungnya adalah “JUAL” maka
menjadi “AYAH JUAL SEPEDA”, dan apabila kata penghubungnya
adalah “BELI’ maka menjadi “AYAH BELI SEPEDA”. Dari contoh-
contoh tersebut kata penghubung merupakan kunci pernyataan
(proposisi). Di otak kita makna tersimpan dalam bentuk proposisi-
proposisi. Oleh karena itu ketika kita mendengar kata-kata saja, kata-
kata tersebut tidak bermakna. Namun begitu kata-kata tersebut
tersambung membentuk proposisi barulah terbentuk makna. Kata
“GINJAL” kurang bermakna ketika berdiri sendiri, namun ketika
diubah menjadi proposisi “GINJAL MENYARING DARAH”, kita
dapat menangkap makna bahwa ginjal berfungsi untuk menyaring
darah.
Kemampuan membuat proposisi yang bermakna
menggambarkan penguasaan pengetahuan seseorang. Semakin
banyak proposisi yang dapat dirumuskan berarti semakin luas
pengetahuannya, apalagi kalau orang tersebut dapat mengaitkan dua
hal yang relatif jauh kedudukannya. Kemampuan mengaitkan dua hal
yang berbeda sering direpresentasikan dengan peta konsep. Karena
kebermaknaan itu terbentuk pada hubungan antar konsep, maka
seseorang yang menyebutkan jumlah konsep yang banyak tetapi tidak
disertai dengan proposisi yang banyak, sesungguhnya
pengetahuannya tidak lebih luas dibandingkan dengan orang yang
memiliki proposisi yang lebih banyak.

31
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Teori Ausubel menyatakan bahwa kegiatan pembelajaran dapat tetap
bermakna walaupun sifatnya verbal. Kunci penting agar
pembelajaran verbal dapat bermakna adalah dengan mengaitkan
informasi dengan struktur pengetahuan yang sudah dimiliki siswa.
Untuk itu Ausubel menyarankan agar sebelum guru menyampaikan
materi pelajaran, guru terlebih dahulu memberikan arahan terkait
bagaimana mengorganisir informasi yang akan diberikan. Arahan
seperti dimaksud sering dikenal dengan istilah advance
organizer. Advance organizer dapat berupa penjelasan tentang
kaitan materi yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah
dipelajari sebelumnya ataupun penjelasan tentang hal tertentu yang
harus diperhatikan pada materi yang akan disampaikan. Advance
organizer merupakan jembatan penghubung antara materi baru
dengan struktur pengetahuan yang telah dimiliki seseorang.
Untuk merepresentasikan keterkaitan antar konsep yang
dimiliki seorang yang telah belajar, Novak dan Gowin (1984)
memperkenalkan peta konsep. Peta konsep menggambarkan
hubungan antara satu konsep dengan konsep-konsep yang lain.
Semakin banyak hubungan antar konsep (proposisi) dan semakin
kompleks peta konsep menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah
orang tersebut luas dan mendalam.

3. Teori belajar yang dikemukakan oleh Gagne (Teori Gagne)


Gagne merupakan salah seorang yang mengemukakan teori belajar
yang cukup rinci tentang tahapan seseorang belajar. Gagne (Gagne,
1970; Schunk, 2012) mengemukakan sembilan kondisi yang disebut
“conditions of learning” yang sesungguhnya merupakan tahapan
pembelajaran. Teori belajar Gagne mengintegrasikan proses belajar
dan mengajar namun untuk lebih memperjelas penjelasan Teori
Gagne tentang belajar, pada bagian ini penekanan akan diberikan
pada sisi belajar. Sembilan tahapan belajar menurut Gagne adalah
sebagai berikut.
a. Perhatian
Untuk dapat belajar siswa harus mempersiapkan pikiran
dan fokus memperhatikan pelajaran.
b. Ekspektasi
Siswa memahami tujuan yang harus dicapai dalam belajar
dan bagaimana mencapainya.
c. Mengaktifkan pengetahuan yang telah dimiliki
Siswa mengaktifkan pengetahuan yang telah dimiliki
sehingga dapat melihat kaitan informasi yang baru dengan
apa yang sudah diketahui.

32
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
d. Memilih informasi
Siswa memilih dan memilah informasi yang diterima
sehingga dapat menentukan informasi yang berguna dan
bermakna.
e. Penataan informasi
Menata informasi yang telah dipilih untuk disimpan dalam
memori jangka panjang.
f. Melatih hasil belajar
Siswa melatih apa yang telah dipelajarinya sehingga apa
yang baru dipelajari dapat lebih tertanam di benaknya.
g. Perbaikan
Siswa memperbaiki lagi apa yang telah dipelajari
berdasarkan masukan guru.
h. Menilai hasil belajar
Siswa menilai apakah yang dipelajari telah sesuai dengan
target/tujuan yang ditetapkan.
i. Menggunakan hasil belajar
Siswa mengimplementasikan pengetahuan yang telah
dipelajari pada bidang lain atau menerapkan pada situasi
baru.
Kesembilan tahapan belajar tersebut sesungguhnya banyak
diterapkan dalam pembelajaran di Indonesia namun pada umumnya
hanya dilihat dari sisi gurunya sehingga kita lebih mengenalnya
sebagai tahapan mengajar. Selain mengemukakan tentang sembilan
tahapan belajar, Gagne juga mengemukakan delapan tingkatan
belajar mulai dari yang paling sederhana ke yang paling kompleks.
a. Belajar sinyal (signal learning)
Belajar melalui proses pengondisian sehingga apabila ada
tanda/sinyal tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu,
misal kalau lampu merah menyala maka berhenti.
b. Stimulus - respon (stimulus - response learning)
Belajar melalui pemberian stimulus tertentu sehingga
menghasilkan respon tertentu, misalnya ketika ditanya
maka mengangkat tangan untuk menjawab.
c. Mengaitkan (chaining)
Belajar mengaitkan sejumlah keterampilan terpisah
kemudian menyatukan menjadi satu kegiatan yang utuh,
misal awalnya belajar membuat sayatan, belajar membuat
preparat sayatan dan belajar menggunakan mikroskop.
Ketiga keterampilan tersebut selanjutnya dirangkai
menjadi menyayat, membuat preparat, dan selanjutnya
mengamatinya dengan menggunakan mikroskop.

33
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
d. Asosiasi verbal (verbal association)
Belajar mengaitkan namun yang dikaitkan bersifat verbal,
misal anak belajar tentang bermacam bentuk, nama buah-
buahan, dan macam-macam warna. Selanjutnya anak dapat
mengasosiasikan suatu kata dengan sifat yang lain. Misal,
ketika disebutkan jeruk, anak dapat mengaitkan dengan
sifat lainnya menjadi jeruk bulat kuning.
e. Belajar diskriminasi (discrimination learning)
Belajar untuk memberikan respon yang berbeda terhadap
stimulus yang berbeda. Misalnya, kata “makan” yang
diucapkan dengan intonasi yang berbeda dapat bermakna
berbeda dan kita dapat membedakan apakah itu
pemberitahuan, perintah, atau keheranan.
f. Belajar konsep (concept learning)
Belajar membangun abstraksi dari benda atau fenomena.
Misalnya, ketika seorang anak mengamati sejumlah benda
ternyata ada benda-benda yang mudah menghantarkan
listrik tetapi ada juga benda-benda yang tidak
menghantarkan listrik. Hasil pengamatan tersebut
kemudian diabstraksi, bahwa benda-benda ada yang
bersifat konduktor (penghantar lisrik) dan ada yang
bersifat isolator (bukan penghantar listrik).
g. Belajar aturan (rule learning)
Belajar hubungan antar konsep dan menerapkannya pada
situasi yang baru. Misalnya, anak belajar bahwa benda yang
sesungguhnya bukan penghantar listrik yang baik (isolator)
ternyata berubah sifatnya menjadi cenderung mudah dialiri
listrik apabila benda tersebut basah oleh air.
h. Problem solving (pemecahan masalah)
Belajar menggabungkan sejumlah aturan dan prosedur
untuk memecahkan masalah dan selanjutnya
menggunakan kemampuan memecahkan masalah tersebut
untuk memecahkan masalah yang baru. Oleh karena itu,
tujuan akhir belajar pemecahan masalah bukanlah
terpecahkannya masalah yang sedang dihadapi tetapi
terbangunnya kemampuan memecahkan masalah sehingga
apabila kelak anak menemui masalah dia dapat
memecahkannya.

34
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
4. Teori belajar yang dikemukakan oleh Dewey (Teori Dewey)
Pernahkah Anda menyaksikan acara memasak di televisi? Setelah
menyimak cara memasak yang diperagakan koki dan disediakan
semua alat dan bahan sebagaimana yang digunakan di acara tersebut,
yakinkah Anda dapat memasak makanan tersebut dengan kualitas
masakan yang sama? Apakah yang Anda butuhkan agar dapat
memasak makanan tersebut?
Dewey (1997, 2001) merupakan tokoh pendidikan yang sangat
menekankan pentingnya pengalaman. Dewey menyatakan bahwa
sebelum anak masuk sekolah, anak telah belajar dengan
menggunakan panca inderanya dan pelajaran yang didapatkan itu
tentu bermakna. Misalnya, ketika seorang anak bemain layang-layang
dia bukan hanya sekedar bersenang-senang dengan layang- layang
tersebut tetapi dia juga belajar tentang banyak hal, contohnya bentuk
layang-layang yang baik, bahan yang kuat tetapi ringan, arah dan
kecepatan angin, dan tegangan pada benang. Proses bermain tersebut
bukan hanya melibatkan seluruh panca indera tetapi juga pikiran dan
perasaan. Sekolah justru seringkali tidak memberikan pengalaman
seperti yang didapatkan oleh anak dalam kehidupan nyata karena
kegiatan di sekolah lebih sering digantikan oleh buku atau penjelasan
guru sehingga kebermaknaan menjadi berkurang atau bahkan hilang.
Dewey mengkritisi sistem pendidikan di sekolah yang
dipandangnya sebagai “pemaksaan” terhadap anak-anak untuk
mengikuti standar orang dewasa. Pelajaran di sekolah yang
sesungguhnya dimaksudkan untuk menyiapkan anak-anak untuk
menghadapi masa depannya seringkali menyajikan kegiatan yang
tidak relevan dengan pengalaman anak-anak dan kurang
menyenangkan. Akibatnya anak-anak merasa terpaksa dalam belajar
sehingga tidak terjadi belajar yang bermakna. Dewey juga
menekankan bahwa pengalaman yang dimiliki seorang anak akan
berpengaruh terhadap pengalaman-pengalaman berikutnya. Oleh
karena itu, hal terpenting adalah memberikan pengalaman yang
berguna bagi kehidupan anak-anak kelak serta pengalaman yang
akan tetap hidup dan membangun pengalaman-pengalaman
berikutnya. Kita di Indonesia mengenal ungkapan “Pengalaman
adalah guru yang terbaik”. Dalam konteks pembelajaran IPA di
sekolah, ungkapan tersebut dapat dimaknai sebagai pentingnya
pelajaran IPA memberikan pengalaman yang baik agar anak-anak
belajar dengan baik dan agar pengalaman tersebut dapat membangun
pengalaman-pengalaman baik berikutnya.

35
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Pemanfaatan pengalaman dalam pendidikan berlangsung melalui
beberapa tahapan, yaitu 1) Pengamatan terhadap lingkungan sekitar;
2) Membandingkan apa yang diamati dengan pengetahuan yang telah
dimiliki; dan 3) Menggabungkan pengetahuan yang telah dimiliki dan
apa yang diamati dan menilai signifikansinya.

5. Teori belajar yang dikemukakan oleh Piaget (Teori Piaget)


Piaget (Inhelder & Piaget, 1958; Schunk, 2012)merupakan salah
seorang pakar yang teorinya banyak digunakan dalam pendidikan
IPA. Menurut Anda, apakah pengetahuan dan kemampuan kognitif
Anda sekarang lebih tinggi dibandingkan pada waktu Anda masih di
TK, SD, SMP, dan SMA? Apabila bayi dianggap memiliki kemampuan
yang paling rendah, bagaimanakah proses perkembangan yang
terjadi hingga dia memiliki kemampuan kognitif yang tinggi?
Pertanyaan itulah yang dikaji Piaget melalui penelitiannya.
Dari hasil penelitiannya Piaget menyatakan bahwa
perkembangan kognitif terjadi secara bertahap, mulai dari sensori
motorik (0 - 2 tahun), pra operasional (2 - 7 tahun), operasional
konkret (7 - 11 tahun), dan operasional formal (11 tahun ke atas).
Angka-angka tersebut bukanlah angka mutlak, namun hanya rerata
pada umumnya. Selain itu angka-angka tersebut tidak berarti bahwa
apabila seseorang telah pada usia tertentu dia telah berada pada level
tersebut. Misalnya, seorang anak mungkin sudah berusia 12 tahun
namun tahap berpikirnya masih operasional konkret. Tahapan-
tahapan tersebut bersifat berurutan. Seseorang tidak dapat naik ke
tahap berikutnya sebelum menguasai tahapan yang dibawahnya.
Tahapan perkembangan kognitif dalam Teori Piaget berhubungan
sangat erat dengan IPA.
a. Tahap sensori motorik: pada tahap ini anak mulai dapat
membedakan dirinya dan objek lain. Anak juga mulai
belajar bahwa dia dapat melakukan sesuatu yang
mengakibatkan terjadinya sesuatu, misal bola apabila
dilepaskan maka akan menggelinding.
b. Tahap pra operasional: operasional artinya otak
melakukan suatu proses operasi. Misalnya, saat anda
diminta menghitung berapakah hasil perkalian 16 x 17?
Walaupun tangan sedang diam tetapi di dalam benak kita
terjadi proses menghitung atau dengan kata lain otak
sedang menjalankan operasi perkalian. Pada tahap pra
operasional, otak anak mulai belajar menggunakan bahasa
dan merepresentasikan benda-benda dalam bentuk gambar

36
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
atau kata-kata. Misalnya, anak telah menyimpan bayangan
labu dan dapat menggunakan kata labu. Ciri penting lain
adalah kemampuan anak dalam mengklasifikasikan. Pada
tahap ini anak telah dapat mengklasifikasikan, walaupun
dasar klasifikasinya hanya dari satu aspek saja
c. Tahap operasi konkret: pada tahap ini anak telah dapat
menjalankan operasi walaupun bentuk operasinya masih
konkret. Anda dapat mengamati saat anak usia ini diminta
berhitung mereka menggunakan jari-jemarinya. Pada tahap
ini anak juga sudah menguasai konservasi jumlah, massa,
dan berat. Konservasi artinya jumlah totalnya tetap
walaupun dipisah-pisah. Misalnya, anak mengijinkan buah
pisang miliknya dipotong menjadi dua bagian karena tahu
hal tersebut tidak mengurangi keseluruhan buah pisang
tersebut. Pada tahap ini anak juga sudah
mengklasifikasikan benda berdasarkan beberapa ciri.
d. Tahap operasi formal: pada tahap ini anak sudah dapat
berpikir logis dengan menggunakan proposisi yang abstrak
serta menguji hipotesis secara sistematis. Pada tahap ini
anak juga sudah dapat melakukan penalaran deduktif dan
mempertimbangkan suatu masalah dari sudut pandang
moral dan etika.
Selain tahapan perkembangan kognitif, Piaget juga
memperkenalkan proses kognitif “asimilasi”, “akomodasi”, dan
“adaptasi”. Asimilasi artinya menggabungkan pengetahuan baru ke
dalam skema berpikir yang telah ada, sedangkan akomodasi artinya
mengubah skema yang telah ada karena informasi yang baru
membuat skema yang lama tidak sesuai lagi sehingga skema tersebut
harus diubah. Secara kognitif, proses asimilasi lebih ringan
dibandingkan akomodasi sebab tidak terjadi perubahan yang besar.
Keseluruhan proses asimilasi dan akomodasi disebut adaptasi.
Sesuai dengan Teori Piaget, pembelajaran IPA hendaknya
dimulai dengan memberikan pengalaman konkret kepada siswa, baru
setelah itu siswa diajak melakukan operasi formal. Selain itu,
pembelajaran hendaknya menyeimbangkan antara asimilasi dan
akomodasi. Informasi yang sama atau mirip yang hanya
membutuhkan asimilasi akan membosankan. Sebaliknya informasi
yang selalu menuntut akomodasi dapat membuat siswa frustasi
karena terlalu berat. Teori Piaget merupakan salah satu teori yang
menjadi dasar munculnya teori konstruktivisme sehingga dalam

37
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
beberapa literatur Teori Piaget dimasukkan dalam kelompok
konstruktivisme (Schunk, 2012).

6. Teori belajar konstruktivisme


Platypus adalah sejenis hewan dalam kelompok mamalia yang
memiliki paruh seperti paruh bebek dan keempat kakinya juga
memiliki selaput mirip seperti kaki bebek. Platypus hidup di air tawar
yang dangkal, misalnya sungai. Sekalipun tergolong mamalia namun
platypus tidak melahirkan anak namun bertelur.
Apabila Anda belum pernah melihat langsung platypus,
seperti apakah gambaran Anda tentang platypus? Informasi di atas
akan memicu Anda untuk “membayangkan” bentuk platypus. Apabila
sekarang Anda diminta untuk menggambarkan bentuk platypus
penulis yakin ada banyak variasi gambar. Mungkin sebagian Anda
menggambarkan mirip bebek karena ada informasi tentang paruhnya
seperti bebek dan kakinya juga berselaput (tetapi platypus berkaki 4).
Mungkin sebagian Anda akan menggambar bentuk lain yang lebih
mirip mamalia berkaki empat. Dalam bacaan di atas tidak ada
informasi tentang ukuran platypus. Menurut Anda sebesar apakah
ukuran platypus?
Ketika kita mendapatkan informasi baru, kita berusaha
memaknai informasi baru tersebut dengan menggunakan
pengetahuan yang telah kita miliki. Di satu sisi, pengetahuan yang
telah kita miliki sangat bermanfaat untuk membantu kita memaknai
informasi baru, tetapi di sisi lain pengetahuan yang kita miliki juga
menjadi pembatas bagi apa yang dapat kita pelajari. Dari ilustrasi
tentang platypus misalnya, pengetahuan tentang bebek,
mamalia, dan habitat tempat hidup akan membantu kita untuk
membangun gambaran di otak kita tentang seperti apa platypus.
Namun di sisi lain, keterbatasan pengetahuan kita tentang platypus
membuat kita tidak dapat membayangkan seperti apa bentuk dan
ukuran platypus.
Kita tidak dapat memikirkan sesuatu yang kita tidak memiliki
pengetahuan tentangnya. Bahkan kita tidak akan dapat
membayangkan sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan terkait
hal tersebut. Cobalah Anda bayangkan sesuatu yang betul-betul baru
yang belum ada sama sekali. Pasti Anda tidak dapat melakukannya.
Kalaupun Anda membayangkan sesuatu pasti bayangan yang anda
buat terpengaruh oleh apa yang sudah Anda ketahui. Kita semua
sangat ingin kelak tinggal di surga (mudah-mudahan kita semua
bertemu surga), walaupun kita belum pernah melihat surga. Surga

38
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
digambarkan sebagai tempat yang sangat indah, ada pohon-pohon
buah dan sungai yang mengalir. Penulis yakin surga jauh lebih lebih
indah dari bayangan kita yang terindah sekalipun. Informasi tentang
sungai dan pohon buah diberikan untuk membantu kita agar
mendapatkan gambaran tentang kenikmatan di surga. Gambaran
surga yang sesungguhnya tidak dapat kita bayangkan karena kita
tidak memiliki pengetahuan tentang surga yang sesungguhnya.
Karena pengetahuan awal sangat penting untuk belajar, maka
seorang yang memiliki lebih banyak pengetahuan awal akan lebih
berpeluang untuk belajar lebih banyak. Hal ini memberikan efek
berantai karena dia kemudian memiliki pengetahuan awal yang lebih
banyak lagi, peluang yang lebih banyak untuk mengkonstruksi
pengetahuan lebih banyak lagi, dan seterusnya. Keadaan ini dapat
menjelaskan mengapa seorang siswa yang memiliki pengetahuan
yang luas akan semakin luas pengetahuannya. Untuk mengejar
ketertinggalan, seseorang yang memiliki pengetahuan awal yang
kurang harus berusaha jauh lebih keras untuk belajar dan menambah
pengetahuan agar pengetahuannya luas dan memiliki modal untuk
belajar yang makin banyak.
Teori konstruktivis (Schunk, 2012; Widodo, 2004) didasarkan
pada pandangan bahwa setiap individu telah memiliki pengetahuan
awal dan tidak ada orang yang otaknya kosong. Pada saat belajar,
orang tidak menyimpan informasi persis sama seperti apa yang
diterimanya, namun dia secara aktif mengonstruksi pengetahuan
baru berdasarkan informasi yang baru dan pengetahuan yang telah
dimilikinya. Pengalaman yang dimiliki setiap orang tentu berbeda
(bahkan anak kembar sekalipun) sehingga dapat dipastikan
pengetahuan awal setiap orang juga berbeda. Karena pengetahuan
setiap orang berbeda, informasi yang sama akan menghasilkan
konstruksi pengetahuan yang berbeda. Hal ini dapat dengan mudah
dibuktikan. Misalnya, walaupun Anda sama-sama membaca buku ini
namun apabila Anda diminta menuliskan kembali atau menceritakan
isi buku ini penulis sangat yakin apa yang Anda tuliskan akan sangat
beragam. Pengetahuan yang telah kita miliki akan mengarahkan kita
untuk memilih informasi tertentu yang akan diambil sehingga setiap
orang akan mengambil poin-poin yang berbeda. Sekalipun informasi
yang diambil sama, namun bentukan akhirnya akan tetap berbeda
karena pengetahuan yang telah dimiliki berbeda. Oleh karena itu,
sangat kecil kemungkinannya kita menghasilkan kalimat yang sama
walaupun mendapatkan informasi yang sama.

39
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Menurut teori konstruktivis tidak ada transfer pengetahuan. Ketika
guru menjelaskan di kelas, beliau bukan sedang mentransfer
pengetahuan. Guru hanyalah menyampaikan informasi, siswalah
yang akan mengonstruksi pengetahuan di otaknya. Seandainya ada
“transfer pengetahuan” tentu pada saat ujian setiap siswa akan lulus
dan mendapatkan nilai yang sama karena semua tinggal menuliskan
hasil transferan yang diterimanya. Karena hasil konstruksi
pengetahuan setiap siswa berbeda, akibatnya pada saat ujian siswa
mungkin memberikan jawaban yang beragam, mulai dari yang sangat
mirip dengan penjelasan guru hingga yang menyimpang atau bahkan
berbeda dari penjelasan guru. Sebagai guru mungkin kita pernah
bertanya-tanya: “Rasanya saya telah menjelaskan dengan jelas
mengapa jawaban anak-anak berbeda jauh dengan penjelasan saya?”.
Jawaban anak yang berbeda atau bahkan menyimpang jauh dari
penjelasan guru bukan berarti siswa tidak menyimak penjelasan guru
akan tetapi karena pada saat menerima penjelasan dari guru siswa
menangkap pesan yang berbeda dari yang disampaikan guru
sehingga pengetahuan hasil konstruksinya juga berbeda. Sekalipun
pengetahuan hasil konstruksi siswa salah namun siswa tersebut
meyakini sebagai pengetahuan yang benar. Oleh karena itulah
mereka memberikan jawaban tersebut pada waktu ujian. Jawaban
yang salah pada saat ujian tidak selalu berarti bahwa siswa tidak
paham namun boleh jadi karena mereka memandang itulah
pengetahuan yang benar.
Karena siswa telah memiliki pengetahuan awal dan
pengetahuan awal tersebut berperan penting dalam proses belajar,
guru perlu mengidentifikasi pengetahuan awal siswa sehingga
kegiatan belajar dapat disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa.
Dalam pembelajaran, guru lebih berperan sebagai fasilitator untuk
memfasilitasi siswa dalam mengonstruksi pengetahuan. Penjelasan
dan kegiatan yang dirancang guru sesungguhnya adalah usaha untuk
menyediakan lingkungan belajar yang dapat mendukung siswa untuk
mengonstruksi pengetahuan.

3.2.2 Teori belajar untuk mempelajari proses ilmiah


Teori belajar sosial sering juga disebut dengan teori belajar pengamatan
(observational learning). Teori belajar sosial dikembangkan oleh Albert
Bandura (1977). Dari hasil penelitiannya, Bandura mengungkapkan bahwa
seorang anak belajar dengan cara meniru perilaku orang lain yang dilihatnya.
Manusia sesungguhnya bukan hanya meniru manusia lain tetapi juga
binatang. Dalam sejarah manusia misalnya, ketika Qobil membunuh

40
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
saudaranya Habil, Qobil yang kebingungan kemudian “meniru” perilaku
burung gagak untuk menguburkan mayat saudaranya. Renang gaya kupu-
kupu, beladiri jurus harimau, dan tari merak adalah beberapa contoh yang
menggambarkan manusia meniru binatang.
Menurut teori belajar sosial, ada empat tahapan yang dilalui untuk
meniru. Pertama-tama orang memperhatikan perilaku yang akan ditiru.
Selanjutnya orang akan mengingat-ingat perilaku tersebut dan kemudian
mencobanya. Apabila orang tersebut berhasil mencoba, motivasi akan
tumbuh namun sebaliknya apabila selalu gagal dia akan berkurang atau
hilang motivasinya sehingga berhenti belajar.
Proses ilmiah sesungguhnya melibatkan proses kognitif dan
keterampilan motorik sehingga teori belajar yang terkait adalah teori belajar
kognitif dan teori belajar sosial. Dari enam proses ilmiah sebagaimana
dijelaskan di Bab 2, kegiatan melaksanakan penyelidikan merupakan
kegiatan yang paling banyak menuntut keterampilan motorik sedangkan
lima lainnya lebih dominan kognitif (Tabel 3.1). Untuk proses ilmiah yang
bersifat kognitif, kegiatan pembelajarannya dapat mengacu pada teori
belajar kognitivistik sedangkan proses ilmiah yang bersifat motorik dapat
mengacu pada teori belajar sosial.

Tabel 3.1 Jenis Keterampilan yang dibutuhkan pada tiap jenis proses ilmiah

No Jenis proses ilmiah Kognitif Motorik


1 Merumuskan masalah √
2 Merancang penyelidikan √
3 Melaksanakan penyelidikan √
4 Menganalisis data √
5 Menarik kesimpulan √
6 Mengomunikasikan √

Mempelajari keterampilan proses yang bersifat motorik, misalnya


cara merangkai dan menggunakan alat, lebih mudah dilakukan dengan
meniru dibandingkan dengan melalui penjelasan. Coba Anda perhatikan
petunjuk cara memasang kartu SIM dan kartu microSD pada telepon
genggam yang disediakan dalam buku panduan.
1. Masukkan pin ejeksi ke dalam lubang di samping tray untuk
melepaskan baki
2. Tarik baki keluar

41
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
3. Tekan kartu perlahan ke dalam baki untuk mengencangkannya
kemudian masukkan kembali baki ke tempatnya.

Apakah petunjuk tersebut cukup jelas dan dapat melakukannya?


Walaupun langkah-langkah tersebut sederhana, mungkin Anda masih
kurang yakin bagaimana melakukannya. Coba bandingkan petunjuk tersebut
dengan petunjuk dalam bentuk gambar berikut (Gambar 3.3).

Gambar 3.3 Ilustrasi pemasangan kartu SIM telepon genggam

Manakah yang lebih mudah, mengikuti petunjuk dengan kalimat ataukah


petunjuk dengan gambar?
Dalam pembelajaran IPA, teori belajar sosial sangat cocok untuk
membelajarkan keterampilan, misalnya cara membuat sayatan untuk
diamati di mikroskop, cara merangkai menimbang zat, dan cara
menggunakan alat. Untuk melatihkan keterampilan bekerja di laboratorium
dapat dilakukan dengan cara guru memberikan contoh terlebih dahulu,
misalnya melalui demonstrasi, dan kemudian siswa mencoba melakukan
sendiri.

3.2.3 Teori belajar untuk mempelajari sikap ilmiah


Apakah Anda termasuk orang yang teliti atau mungkin Anda bertemu
dengan seseorang yang sangat teliti? Sebagian orang mengatakan bahwa
sikap teliti adalah bawaan namun penulis berbeda pendapat dalam hal ini.

42
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Sikap teliti bukanlah bawaan tetapi terbentuk karena pembiasaan. Ketika
kita senantiasa dibiasakan untuk teliti maka kita akan terlatih menjadi orang
yang teliti. Teliti adalah bagian dari sikap ilmiah. Seorang ilmuwan harus
teliti dalam merancang penyelidikan, teliti dalam melaksanakan
penyelidikan, dan teliti dalam menganalisis data.
Pengembangan sikap ilmiah melibatkan proses kognitif dan perilaku
sehingga teori belajar yang terkait adalah teori belajar kognitif dan teori
belajar behavioristik. Sikap memang terkait erat dengan kognisi sebab sikap
seseorang terbentuk dari pemikiran. Menurut Piaget, tahapan
perkembangan kognitif dan tahapan perkembangan moral berjalan
berbarengan (Piaget, 1997). Kunci pengembangan sikap adalah konsistensi
pengondisian. Untuk menumbuhkan sikap ilmiah tidak cukup hanya
dijelaskan. Untuk menumbuhkan sikap ilmiah siswa harus terus menerus
dan konsisten dilatih dan dikondisikan untuk peduli, mengamati dan
bertanya-tanya terhadap objek dan fenomena yang ditemui.
Teori belajar yang cocok untuk mengondisikan adalah teori belajar
conditioning (classical conditioning dan operant conditioning). Classical
conditioning menciptakan kondisi dengan cara mengulang-ulang suatu
perilaku yang diinginkan. Dengan diulang-ulang maka akan tumbuh
kebiasaan. Teori belajar operant conditioning pada hakikatnya juga
menggunakan prinsip pembiasaan hanya saja pembiasaannya diperkuat
dengan menggunakan sesuatu (operant). Operant digunakan sebagai
penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) karena manusia secara
alamiah berusaha mendapatkan penghargaan dan menghindari hukuman.
Penghargaan dapat berupa benda maupun non benda. Pujian,
perhatian, dan penghargaan lain yang bersifat psikologis seringkali justru
dapat menciptakan kondisi yang diinginkan dengan lebih kuat. Ketika duduk
di SD pernahkah guru Anda memberikan pertanyaan/quiz dan murid yang
dapat menjawab boleh pulang lebih dulu? Pada saat guru mengajukan
pertanyaan siswa berebut untuk dapat menjawab pertanyaan guru. Pada
hakikatnya bukan “boleh pulang lebih cepat” yang menyebabkan siswa
berebut untuk menjawab sebab seringkali siswa yang sudah boleh pulang
kemudian keluar kelas tetapi tidak langsung pulang melainkan mengintip
dari jendela untuk melihat apa yang terjadi di dalam kelas. Jadi, bukan boleh
pulang pertama yang sebenarnya diinginkan akan tetapi kebanggaan bahwa
hari itu dia yang dapat menjawab pertanyaan pertama itulah yang lebih
penting.
Hukuman adalah salah satu bentuk operant untuk mengondisikan
seseorang. Pada ilustrasi di awal bab, bertanya ke siswi di kelas 7 adalah
hukuman yang mengondisikan siswa kelas 8 tersebut untuk belajar dengan
lebih tekun. Walaupun pada mulanya tujuan dia belajar adalah untuk

43
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
menghindari hukuman, tetapi belajar dengan tekun pada ujungnya membuat
dia lebih paham dan berprestasi. Pada dasarnya setiap orang berusaha
menghindari hukuman dan sebaliknya berusaha mendapatkan penghargaan.
Oleh karena itu, pemberian penghargaan terhadap perilaku yang diinginkan
dan pemberian hukuman terhadap perilaku yang tidak diinginkan akan
mengondisikan orang untuk berperilaku sebagaimana yang diinginkan.

Bacaan lanjutan

Sejumlah penelitian dan publikasi telah kami lakukan terkait teori belajar,
terutama konstruktivisme. Silakan baca tulisan berikut.
1. Widodo, A. (2004). Constructivist Oriented Science Classrooms:
The Learning Environment and The Teaching and Learning
Process. Frankfurt: Peter Lang.
2. Widodo, A. (2007). Konstruktivisme dan Pembelajaran Sains.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 13(1), 91-105.

44
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
BAB IV
PENDEKATAN, MODEL DAN METODE

Seorang guru IPA sedang merencanakan kegiatan pembelajaran


topik perubahan iklim. Topik tersebut bukan hanya sangat
penting untuk diajarkan tetapi juga kontekstual. Beliau bukan
hanya menginginkan agar siswa paham tentang perubahan iklim,
tetapi juga menginginkan agar siswa sadar dan terlibat aktif
dalam usaha pengendalian perubahan iklim. Dari gambaran itu
terlihat bahwa tujuan yang ingin beliau capai mencakup dua area
besar yaitu pengetahuan ilmiah dan sikap ilmiah. Karena area
tujuannya berbeda, beliau berpikir cara yang berbeda untuk
mencapai kedua tujuan tersebut. Beliau mempertimbangkan
beberapa alternatif yang dinilai cocok untuk mencapai tujuan
yang beliau canangkan. Untuk memahamkan siswa tentang
perubahan iklim beliau mempertimbangkan untuk
menugaskan membaca buku dan sumber lainnya serta
menjelaskan materi tersebut. Untuk membuat siswa sadar dan
terlibat dalam usaha pencegahan perubahan iklim beliau berpikir
bahwa siswa harus mendapatkan pengalaman nyata agar dapat
merasakan langsung dampak perubahan iklim. Dengan begitu
diharapkan siswa mau bertindak baik secara individual maupun
kolektif untuk mengurangi laju perubahan iklim.

4.1 Pendekatan pembelajaran


Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa tujuan yang ingin dicapai guru mencakup
dua area besar yaitu pengetahuan ilmiah dan sikap ilmiah. Setelah guru
menentukan target/tujuan, langkah berikutnya adalah menentukan cara
untuk mencapai tujuan tersebut (Gambar 4.1). Ketika guru tersebut sedang
memikirkan cara untuk mencapai tujuan, guru belum memikirkan detail
pelaksanaan pembelajaran, misalnya model, metode ataupun media yang
akan digunakan. Pada tahap ini guru lebih fokus pada strategi untuk
mencapai tujuan yang diinginkan atau dengan kata lain guru sedang
memikirkan “pendekatan pembelajaran”. Secara sederhana pendekatan
merupakan strategi untuk mencapai tujuan yang dipilih pada saat
merancang pembelajaran.
Pendekatan berhubungan langsung dengan pencapaian tujuan
sehingga tujuan menjadi penentu pendekatan yang akan dipilih.
Sebagaimana diuraikan di bab 2, IPA mengandung tiga komponen, yaitu

45
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
pengetahuan ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Oleh karena itu
pembahasan pendekatan juga mengacu pada ketiga komponen tersebut.

Bagaimana cara mencapainya?

Membaca?
Paham
Perubahan iklim
Dijelaskan?
Perubahan
iklim
Mengalami langsung? Sadar dan terlibat
Pencegahan
Membuat rencana aksi perubahan iklim
nyata?

Gambar 4.1 Proses merancang pembelajaran

4.1.1 Pendekatan untuk menguasai pengetahuan ilmiah


Ada banyak pendekatan dalam pembelajaran tetapi dalam buku ini hanya
akan menyajikan beberapa pendekatan saja yang dinilai cocok untuk
pelajaran IPA dan dapat digunakan guru untuk membantu siswa menguasai
konsep ilmiah.
1. Pendekatan konsep
Salah satu pendekatan yang banyak digunakan yaitu pendekatan
konsep. Pendekatan konsep bermakna guru menggunakan konsep-
konsep yang lain untuk membelajarkan pengetahuan ilmiah yang
dituju. Perubahan iklim misalnya, melibatkan konsep energi, radiasi,
suhu, pola angin, perubahan ekosistem, dan beberapa konsep lain.
Hal ini berarti dalam membelajarkan konsep perubahan iklim, guru
harus membelajarkan semua konsep yang terlibat dengan perubahan
iklim.
2. Pendekatan proses atau pendekatan ilmiah atau pendekatan
proses ilmiah atau pendekatan inkuiri
Sebagaimana diuraikan di bab 2, IPA dikembangkan melalui proses
penyelidikan dengan menggunakan langkah-langkah yang ilmiah
(metode ilmiah) atau dengan kata lain IPA dikembangkan melalui
proses ilmiah. Kegiatan penyelidikan yang dilakukan ilmuwan untuk
mendapatkan dan mengembangkan pengetahuan sering juga disebut

46
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
dengan inkuiri. Oleh karena itu, proses kerja ilmiah sebenarnya
adalah juga proses inkuiri.
Pendekatan proses atau pendekatan ilmiah atau pendekatan proses
ilmiah atau pendekatan inkuiri mengandung makna guru
membelajarkan dengan cara siswa melakukan proses penyelidikan.
Sebagaimana disebutkan di awal, konsep perubahan iklim melibatkan
beberapa konsep, misalnya radiasi, suhu, serta beberapa dampak bagi
bumi. Untuk membelajarkan konsep-konsep tersebut, guru dapat
merancang kegiatan yang harus dilakukan siswa sehingga pada
akhirnya siswa memahami konsep tanpa harus dijelaskan.
3. Pendekatan lingkungan
Pendekatan lingkungan mengandung makna guru membelajarkan
pengetahuan ilmiah dengan cara memanfaatkan segala sesuatu yang
ada di lingkungan. Lingkungan sekitar siswa/sekolah bukan hanya
terbatas pada lingkungan dalam pengertian biologi, tetapi lingkungan
dalam pengertian umum. Oleh karena itu, pendekatan lingkungan
pemanfaatannya tidak terbatas hanya untuk membelajarkan konsep
lingkungan.
4. Pendekatan kontekstual
Pengetahuan ilmiah yang akan dibelajarkan seringkali terkait erat
dengan konteks yang ada dalam kehidupan siswa. Pendekatan
kontekstual mengandung arti guru membelajarkan pengetahuan
ilmiah tersebut dengan memanfaatkan konteks tersebut. Kontekstual
tidak selalu berarti bahwa kejadian atau fenomena yang dimaksud
terjadi di sekitar siswa, tetapi kegiatan tersebut bersifat aktual
dengan kondisi saat pembelajaran akan dilaksanakan.
5. Pendekatan terintegratif
Pengetahuan ilmiah pada dasarnya saling berkaitan sama lain.
Keterkaitan tersebut dapat terjadi antar topik dalam satu mata
pelajaran, berbeda mata pelajaran, atau bahkan antara pelajaran
dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Melalui pendekatan ini diharapkan pengetahuan yang dimiliki siswa
tidak terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain. Pendekatan
integratif juga cocok untuk mengintegrasikan keterampilan
multidisipliner, misalnya keterampilan ilmiah, dan keterampilan
rekayasa.

4.1.2 Pendekatan untuk menguasai proses ilmiah


Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, proses ilmiah mencakup
sejumlah keterampilan yang mencakup merumuskan pertanyaan penelitian,
merencanakan penyelidikan, melaksanakan penyelidikan, menganalisis data,
menarik kesimpulan, dan mengomunikasikan hasil. Keterampilan-

47
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
keterampilan tersebut dapat saja dikembangkan secara terpisah namun akan
lebih bermakna apabila dikembangkan sekaligus secara utuh dengan
menjalankan proses ilmiah. Untuk dapat menguasai proses tentu siswa harus
melakukan langkah-langkah kegiatan ilmiah tersebut sehingga pendekatan
pembelajaran yang paling sesuai adalah pendekatan proses. Pendekatan
proses sering juga disebut pendekatan ilmiah, pendekatan proses ilmiah,
atau pendekatan inkuiri sebagaimana diuraikan sebelumnya. Dalam
pendekatan proses siswa mencapai tujuan dengan menjalani proses. Artinya
siswa harus mengalami setiap tahapan proses dari tahap merumuskan
pertanyaan penelitian sampai mengomunikasikan hasil.

4.1.3 Pendekatan untuk menumbuhkan sikap ilmiah


Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila siswa mengalami langsung dan
merasakan sendiri. Menonton melalui video mungkin dapat menumbuhkan
sikap namun tidak akan sebaik mengalami langsung. Mungkin Anda pernah
menonton video “lucu” orang-orang yang mengalami kecelakaan, misal
terpeleset, jatuh atau terguling. Penulis tidak yakin Anda akan
menganggapnya lucu apabila Anda berada di tempat tersebut dan
menyaksikan apa yang terjadi. Justru sebaliknya, Anda mungkin akan
kasihan dan menolongnya. Untuk memberikan pengalaman langsung
sehingga siswa dapat ikut merasakan apa yang terjadi, guru dapat
menggunakan pendekatan proses sebagaimana telah diuraikan atau
pengalaman langsung (experiential learning). Misalnya, untuk topik
perubahan iklim siswa dapat diminta mengunjungi daerah yang terdampak
perubahan iklim sehingga merasakan sendiri dampak yang ditimbulkan.

4.2 Model pembelajaran


Apabila guru telah menetapkan pendekatan yang akan digunakan, langkah
selanjutnya adalah memilih model pembelajaran yang sesuai. Pendekatan
pembelajaran lebih terkait pada “bagaimana strateginya” sedangkan model
sudah berbicara tentang bagaimana langkah-langkahnya. Model
pembelajaran akan menjadi kerangka dasar pelaksanaan pembelajaran. Dari
Gambar 4.1 misalnya, ada dua tujuan besar yang ingin dicapai guru. Tujuan
pertama merupakan ranah pengetahuan ilmiah sedangkan tujuan kedua
sesungguhnya merupakan gabungan dari ketiga ranah secara utuh yaitu
pengetahuan ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Setiap ranah tujuan
memiliki karakteristik yang berbeda sehingga diperlukan model
pembelajaran yang berbeda (Gambar 4.2).

48
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Model untuk kognitif Paham perubahan
iklim

Perubahan
iklim
Sadar dan terlibat
Model untuk sikap terintegrasi pencegahan
perubahan iklim

Gambar 4.2 Penentuan model pembelajaran

Tujuan pendidikan adalah membelajarkan (bukan sekedar mengajar).


Oleh karena itu, pembahasan buku ini hanya fokus pada model
pembelajaran, bukan pada model mengajar. Penulis mendefinisikan model
pembelajaran sebagai tata urutan logis untuk membelajarkan siswa
sedangkan model mengajar adalah tata urutan mengajar yang dilakukan
guru. Walaupun mengajar tentu bermaksud untuk membelajarkan namun
perspektifnya lebih dilihat dari apa yang dilakukan guru, bukan apa yang
terjadi pada siswa. Model pembelajaran di dalamnya tentu mencakup juga
apa yang dilakukan guru dalam mengajar namun dalam model pembelajaran
tahapan mengajar muncul sebagai konsekuensi dari tahapan siswa belajar.
Pada saat kita mengobservasi pembelajaran kita dapat mengamati
perilaku guru dan perilaku siswa, tetapi kita tidak dapat mengamati apa yang
terjadi di otak guru dan di otak siswa. Sebagaimana diuraikan pada
pembahasan tentang teori belajar (terutama teori belajar kognitif), proses
belajar tidak dapat diobservasi karena terjadi di otak. Oleh karena itu, ketika
kita mengobservasi proses pembelajaran kita hanya mengamati interaksi
yang terlihat yaitu perilaku guru dan perilaku siswa. Belajar sebagai proses
yang tidak terlihat tidak dapat kita amati, demikian juga pikiran yang
melandasi tindakan guru dalam mengajar. Dari penjelasan ini, dapat
disimpulkan bahwa dalam proses pembelajaran ada dua proses yang
berlangsung paralel, yang satu dapat diamati dan satu lagi tidak dapat
diamati. Proses yang dapat diamati adalah perilaku guru dan perilaku siswa
sedangkan proses yang tidak dapat diamati adalah proses yang terjadi di otak
guru dan di otak siswa. Oser dan Patry (1990) menggunakan istilah
“Sichtstruktur” (struktur pembelajaran yang terlihat) untuk interaksi yang
terlihat dan “Basisstruktur” (struktur dasar) untuk tahapan pembelajaran
yang tidak terlihat. Dalam buku ini penulis menggunakan istilah struktur
luar untuk perilaku yang dapat diamati dan struktur dalam untuk proses
di otak yang tidak dapat diamati (Gambar 4.3).

49
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Gambar 4.3 Struktur sebuah pembelajaran

Dari Gambar 4.3 terlihat bahwa pada setiap tahapan model


pembelajaran melibatkan struktur dan luar struktur dalam. Keterkaitan
antara struktur dalam dan struktur luar dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Guru berpikir tentang pikiran/ide/pemahaman yang dimiliki siswa.
Berdasarkan hal tersebut guru memikirkan kegiatan yang dinilai
dapat membantu siswa belajar.
2. Berdasarkan pemikiran yang dimiliki selanjutnya guru melakukan
suatu tindakan
3. Tindakan pembelajaran yang dilakukan guru selanjutnya memicu
proses belajar di otak siswa.
4. Apa yang terjadi di otak siswa akan menghasilkan respon tertentu
terhadap tindakan guru
5. Respon yang diberikan siswa akan membuat guru berpikir tentang
langkah selanjutnya yang perlu dilakukan.
Dalam pembelajaran, proses 1 - 5 terus berlangsung secara berulang hingga
pembelajaran berakhir.
Dalam sebuah model pembelajaran, struktur luar sesungguhnya tidak
terlalu penting sebab struktur luar dapat berbeda sekalipun struktur
dalamnya sama. Dua orang guru yang menggunakan satu model dengan
struktur dalam yang sama, tidak mungkin akan menghasilkan struktur luar
yang sama. Sekalipun seorang guru yang menggunakan struktur dalam yang
sama namun apabila mengajar di kelas yang berbeda akan memunculkan
struktur luar yang berbeda. Oleh karena itu, struktur dalamlah yang
sesungguhnya merupakan bagian esensial dari sebuah model pembelajaran.
Dari struktur dalam sebuah model, pikiran siswalah yang lebih penting
karena model pembelajaran pada hakikatnya adalah untuk siswa. Tata

50
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
urutan untuk membangun pikiran siswa haruslah logis dan sesuai dengan
prinsip keilmuan, misalnya teori belajar.
Dari uraian yang telah disampaikan, nama model dan nama tahapan
model pembelajaran sesungguhnya tidak terlalu penting. Bagian yang paling
penting dari sebuah model pembelajaran adalah tata urutan yang ada dalam
pikiran siswa. Oleh karena itu, penilaian utama sebuah model adalah tata
urutan pikiran siswa. Dengan menggunakan kriteria ini, maka apapun yang
tidak memiliki struktur dalam, terutama urutan logis tentang apa yang
terjadi pada pikiran siswa, tidak dikategorikan sebagai model pembelajaran.
Semua model pembelajaran pada dasarnya dirancang untuk
membantu siswa mencapai tujuan, misalnya menguasai pengetahuan ilmiah.
Oleh karena itu, sebuah model pembelajaran sesungguhnya berbicara
tentang tahapan yang terjadi di otak siswa, bukan tahapan mengajar.
Tahapan mengajar (struktur luar) hanyalah konsekuensi dari struktur dalam.
Sebuah model memiliki tahapan tertentu yang dipandang merupakan
tahapan yang paling logis untuk terjadinya proses belajar sehingga mencapai
tujuan. Ukuran logis pada model pembelajaran didasarkan pada teori belajar
atau logika pengembang model. Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan
tentang teori belajar, setiap teori belajar memberikan penjelasan tentang
bagaimana proses belajar berlangsung. Dari satu teori belajar dapat
dikembangkan satu atau beberapa model tergantung dari penafsiran
pengembang model. Sebagai ilustrasi, berikut digambarkan beberapa model
yang sama-sama dikembangkan dari teori konstruktivisme. Salah satu model
pembelajaran yang didasarkan pada konstruktivisme adalah Learning Cycle
(Lawson, Abraham, & Renner, 1989) yang terdiri dari tiga tahap yaitu
eksplorasi, pengenalan istilah, dan aplikasi konsep. Walaupun sama-sama
didasarkan pada teori konstruktivisme, Driver (1989) mengusulkan model
dengan empat tahapan yaitu orientasi, pengaktifan ide, restrukturisasi ide,
aplikasi ide, dan review perubahan ide. Perbedaan model dan tahapan yang
diusulkan memang dimungkinkan karena kedua model tersebut sama-sama
logis dan sejalan dengan konstruktivisme. Dalam literatur masih ada lagi
beberapa model pembelajaran yang didasarkan pada teori konstruktivisme,
misalnya Widodo (2004). Berdasarkan kriteria di atas, berikut disajikan
beberapa model pembelajaran yang cocok untuk pembelajaran IPA.

4.2.1 Model pembelajaran untuk menguasai pengetahuan ilmiah


Ada sejumlah model pembelajaran yang didasarkan pada teori belajar
kognitif yang dapat digunakan untuk membelajarkan pengetahuan ilmiah.
1. Model pembelajaran berbasis Teori Bruner
Selama hidup Anda, adakah pengetahuan yang telah Anda temukan
sendiri? Kemungkinan besar Anda memiliki beberapa pengetahuan

51
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
yang Anda temukan sendiri, baik itu hal yang sederhana atau bahkan
sangat berharga. Mungkin Anda tidak menyadarinya namun
pengetahuan yang Anda temukan sendiri pada umumnya berkesan
sehingga tidak mudah terlupakan. Sebagaimana diuraikan di bab 3,
Bruner menyatakan bahwa belajar akan bermakna apabila anak
menemukan sendiri (to discover) konsep yang dipelajari, bukan
dijelaskan oleh guru. Pembelajaran dengan mengondisikan anak
untuk menemukan sendiri konsep sering disebut discovery learning.
Agar siswa menemukan tentu siswa harus melakukan proses
penyelidikan. Tanpa melakukan suatu kegiatan penyelidikan tentu
tidak mungkin menemukan sesuatu. Tahapan discovery learning
kurang lebih sebagai berikut (Gambar 4.4).

Struktur dalam siswa Tahapan Struktur dalam guru

Ingin tahu dan Orientasi Memunculkan kondisi


bertanya-tanya tentang yang memancing rasa
fenomena yang ditemui ingin tahu siswa

Memikirkan bukti Pengumpulan Merancang dan


untuk menjawab data membimbing
pertanyaan penyelidikan

Menganalisis Analisis data Membimbing


kesesuaian bukti pemaknaan hasil
dengan pertanyaan

Merumuskan Generalisasi Membimbing


temuan berdasarkan penyimpulan hasil
bukti
Gambar 4.4 Model pembelajaran penemuan

Di akhir proses pembelajaran siswa diharapkan dapat menemukan


sendiri konsep yang harus dipelajari. Karena konsep tersebut
ditemukan sendiri diharapkan konsep tersebut lebih bermakna dan
tidak mudah terlupakan.

2. Model pembelajaran berbasis Teori Ausubel


Model pembelajaran berbasis Teori Ausubel relatif tidak terlalu
populer, namun penggunaan peta konsep yang juga diturunkan dari

52
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Teori Ausubel banyak dikenal dan digunakan. Teori Ausubel tidak
secara khusus merekomendasikan model belajar tertentu, tetapi
secara umum Teori Ausubel menyatakan bahwa di awal pembelajaran
siswa harus berusaha mengaktifkan pengetahuan yang dimiliki dan
mengaitkan dengan informasi yang diberikan oleh guru kemudian
diakhiri dengan menguatkan keterkaitan antar konsep.
Agar siswa mengaktifkan pengetahuan awal yang dimiliki dan
agar siswa lebih terarah dalam mengonstruksi pengetahuan, sebelum
menyampaikan informasi guru harus membantu siswa mengorganisir
pikirannya atau dikenal dengan istilah pemberian advance
organizers. Tahapan model pembelajaran berbasis Teori Ausubel
mencakup tahap sebagai berikut (Gambar 4.5).

Struktur dalam siswa Tahapan Struktur dalam guru

Mengaktifkan Advance Memberikan arahan


pengetahuan yang telah organizer untuk membantu siswa
dimiliki belajar

Menggabungkan informasi Presentasi Menyajikan materi


baru dengan struktur
pengetahuan yang telah
dimiliki

Menata struktur Penguatan Mengarahkan siswa


pengetahuan baru membangun hubungan
antar konsep
Gambar 4.5 Model pembelajaran berbasis Teori Ausubel

Pada tahap terakhir model pembelajaran, peta konsep dapat berperan


penting untuk membantu siswa memperjelas keterkaitan antar
konsep. Pada tahap ini siswa dapat diminta membuat peta konsep
untuk merepresentasikan apa yang telah dipelajari. Perlu
diperhatikan bahwa peta konsep bukanlah pendekatan pembelajaran,
model pembelajaran, maupun media pembelajaran sebab peta
konsep merupakan representasi keterkaitan konsep yang dimiliki
seseorang.

53
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
3. Model pembelajaran berbasis Teori Gagne
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan tentang teori belajar,
beberapa bagian dari Teori Gagne banyak diterapkan dalam
pelaksanaan pembelajaran di Indonesia (Gambar 4.6).

Struktur dalam siswa Tahapan Struktur dalam guru


model
Memfokuskan pikiran Perhatian Menarik perhatian

Menetapkan target tujuan Tujuan Mengomunikasikan


yang harus dicapai tujuan

Mengaktifkan Pengetahuan Mengaktifkan


pengetahuan yang telah awal pengetahuan awal
dimiliki

Memilih dan memilah Stimulus Menyajikan informasi


informasi yang diterima

Menata informasi dan Bimbingan Memberikan


menyimpan dalam bimbingan dalam
memori jangka panjang mempelajari konsep

Melatih pengetahuan yang Latihan Melatih konsep yang


baru baru dipelajari

Memperbaiki konstruksi Umpan balik Memberikan masukan


pengetahuan yang baru hasil latihan

Menilai kesesuaian Asesmen Menilai hasil belajar


pencapaian dengan tujuan

Menggunakan Transfer Penguatan dan


pengetahuan yang baru transfer pada bidang
pada konteks yang lain
berbeda

Gambar 4.6 Model pembelajaran berbasis teori Gagne

54
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Dalam melaksanakan pembelajaran guru diajurkan untuk mengikuti
langkah-langkah tertentu dalam membuka dan menutup pelajaran.
Dalam membuka pelajaran misalnya, guru perlu menarik perhatian,
memotivasi, mengaitkan dengan materi sebelumnya, dan
mengomunikasikan tujuan yang keempatnya sesungguhnya diambil
dari Teori Gagne. Demikian juga dengan tahap menutup pelajaran
(mengevaluasi, memberikan umpan balik, dan memberikan tugas)
pada dasarnya juga diambil dari Teori Gagne.

4. Model pembelajaran berbasis Teori Dewey


Sebagaimana dibahas pada bab 3, Dewey sangat menekankan
pentingnya pengalaman langsung karena mengalami langsung
memberikan pelajaran yang utuh dan bermakna. Beberapa orang
menggunakan istilah “learning by doing” untuk menggambarkan
perlunya mengalami dalam belajar. Dengan menggabungkan ide
Dewey dan beberapa tokoh lain, Kolb (2015) mengembangkan
experiential learning (belajar dengan mengalami langsung). Kolb
mendefinisikan experiential learning sebagai satu bentuk belajar dari
pengalaman nyata sehingga siswa memiliki pengalaman berinteraksi
langsung dengan apa yang dipelajarinya. Model pembelajaran
experiential learning terdiri dari empat tahapan (Gambar 4.7).

Struktur dalam siswa Tahapan Struktur dalam guru


model
Memikirkan situasi Pengalaman Menyajikan pengalaman
yang dialami nyata yang menuntut berpikir

Mengaitkan Observasi Membantu siswa


pengalaman yang reflektif memaknai situasi
telah dimiliki dengan dengan pengalaman yang
situasi yang ada telah dimiliki

Membangun konsep Konseptual- Membantu siswa


isasi mengidentifikasi
pelajaran yang dipetik

Mengimplementasi- Eksperimen- Menyajikan konteks baru


kan konsep yang baru tasi untuk
dipelajari dalam mengimplementasikan
konteks baru konsep yang baru
Gambar 4.7 Model pembelajaran experiential learning

55
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.7, Experiential
learning yang terdiri dari tahap 1) perolehan pengalaman nyata, 2)
Observasi reflektif, 3) Konseptualisasi, dan 4) Eksperimentasi
sesungguhnya merupakan suatu siklus belajar yang berhubungan erat
dengan inkuiri dan problem solving. Pengalaman yang diperoleh
melalui experiential learning akan mendorong siswa untuk
melakukan inkuiri dan problem solving.

5. Model-model pembelajaran berbasis Teori Piaget dan


konstruktivisme
Sebagaimana disampaikan di bab 3, Teori Piaget banyak dipandang
sebagai cikal bakal teori konstruktivisme. Teori Piaget tidak secara
khusus menyajikan model pembelajaran. Oleh karena itu,
pembahasan tentang model pembelajaran menurut Teori Piaget dan
konstruktivisme disatukan.
Sebagaimana telah disebutkan di awal bab, dalam literatur
tentang model-model pembelajaran berbasis konstruktivisme
terdapat beberapa versi tahapan model, walaupun ada beberapa
kemiripan (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Perbandingan beberapa model pembelajaran berbasis


konstruktivisme
Contact strategy Constructivist Learning cycle Constructivist
(Biemans & Simons, teaching (Lawson et al., Teaching
1999) sequence (Driver, 1989) Sequences
1989) (Widodo, 2004)
1. Mencari konsepsi 1. Orientasi 1. Eksplorasi 1. Pendahuluan
yang dimiliki 2. Elisitasi 2. Pengenalan 2. Eksplorasi
2. Membandingkan 3. Restrukturi- istilah 3. Restrukturi-
konsepsi awal sasi 3. Penerapan sasi
dengan informasi 4. Penerapan ide konsep 4. Aplikasi
baru 5. Review 5. Review
3. Memformula- perubahan ide
sikan konsepsi
baru
4. Menerapkan
konsepsi baru
5. Mengevaluasi
konsepsi baru

Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa sekalipun ada perbedaan jumlah


tahapan dari setiap model akan tetapi secara umum esensi dari keseluruhan

56
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
model tersebut sama. Beberapa model memberikan tambahan tahapan
untuk lebih mengelaborasi atau lebih menekan pentingnya suatu kondisi
untuk belajar. Sebagaimana disampaikan pada pembahasan tentang
konstruktivisme, ciri utama model pembelajaran konstruktivisme adalah
pemanfaatan pengetahuan awal siswa. Oleh karena itu, pengetahuan awal
siswa perlu dieksplorasi untuk selanjutnya direstrukturisasi. Apabila telah
berhasil direstrukturisasi, pengetahuan baru tersebut selanjutnya dicoba
untuk diaplikasikan. Beberapa model memasukkan tahap review sedangkan
sebagian lain tidak. Berikut disajikan salah satu model pembelajaran
konstruktivisme (Gambar 4.8) yang dikembangkan oleh Widodo (2004).

Struktur dalam siswa Tahapan Struktur dalam guru


model
Menyiapkan pikiran Pendahuluan Mengondisikan siswa
untuk belajar untuk belajar

Mengaktifkan Eksplorasi Menggali pengetahuan


pengetahuan awal awal siswa
yang telah dimiliki

Menata pengetahuan Restrukturisasi Memberikan


awal menjadi informasi untuk
konstruksi baru membangun
pengetahuan

Menerapkan Aplikasi Mengondisikan siswa


pengetahuan yang menerapkan konsep
baru

Menilai ketepatan Review Mendorong siswa


pengetahuan yang melakukan refleksi
baru

Gambar 4.8 Model pembelajaran konstruktivisme

4.2.2 Model pembelajaran untuk menguasai proses ilmiah


Cara terbaik untuk menguasai keterampilan proses ilmiah adalah
dengan melakukan proses ilmiah. Ada beberapa model pembelajaran yang
cocok untuk membelajarkan proses ilmiah. Pada bagian ini disajikan tiga
model pembelajaran yaitu: 1) model pembelajaran inkuiri, 2) model

57
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
pembelajaran pemecahan masalah, dan 3) model pembelajaran berbasis
teori belajar sosial.

1. Model pembelajaran inkuiri


Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, proses ilmiah
melibatkan proses kognitif dan keterampilan motorik. Meskipun
demikian, model pembelajaran untuk mengembangkan penguasaan
proses memiliki karakteristik yang berbeda dengan model
pembelajaran untuk pengembangan pengetahuan ilmiah. Aspek
kognitif pada proses ilmiah merupakan bagian dari proses ilmiah
sehingga pengembangannya sebaiknya dilakukan secara terintegrasi.
Model pembelajaran yang cocok untuk mengembangkan kemampuan
proses ilmiah tentunya model yang sama dengan langkah-langkah
metode ilmiah atau langkah-langkah inkuiri.
Proses penyelidikan ilmiah sering juga disebut inkuiri
(inquiry). Oleh karena itu, penyelidikan ilmiah dan inkuiri ilmiah
adalah dua istilah yang merujuk pada kegiatan yang sama. Karena
penyelidikan ilmiah dan inkuiri ilmiah adalah hal yang sama maka
metode yang digunakan dalam penyelidikan ilmiah dan inkuiri
adalah sama, yaitu metode ilmiah.
Kegiatan ilmuwan melakukan penyelidikan adalah kegiatan
inkuiri yang sesungguhnya sedangkan kegiatan inkuiri yang
dilakukan siswa adalah “inkuiri latihan” yang tujuannya melatih
siswa agar dapat melakukan inkuiri. Karena yang dilakukan siswa
adalah “latihan”, maka penekanannya adalah untuk melatihkan
keterampilan bekerja ilmiah, bukan untuk menghasilkan temuan.
Meskipun demikian, mungkin saja inkuiri yang dilakukan siswa
menghasilkan temuan penting.
Tidak seperti inkuiri yang dilakukan oleh ilmuwan yang tema
penelitiannya sangat bebas dan beragam serta tidak memerlukan
bantuan pembimbing, “inkuiri latihan” yang dilakukan siswa pada
umumnya dilakukan pada tema yang sudah diarahkan guru serta
pelaksanaannya juga dibimbing oleh guru atau pihak lain. Pola dasar
model pembelajaran inkuiri dapat dilihat pada Gambar 4.9. Dari
gambar tersebut pembelajaran inkuiri dimulai dari merumuskan
pertanyaan yang akan diteliti dan diakhiri dengan implementasi
kemampuan inkuri. Penulis secara khusus memasukkan tahap
“implementasi keterampilan inkuiri” untuk menegaskan bahwa
tujuan akhir model pembelajaran inkuiri adalah pengembangan
keterampilan inkuiri siswa.

58
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Struktur dalam siswa Tahapan model Struktur dalam guru

Memikirkan dan bertanya- Merumuskan Memunculkan kondisi


tanya tentang suatu pertanyaan yang menimbulkan
fenomena kemudian penelitian rasa ingin tahu siswa
menentukan pertanyaan
yang akan dicari tahu
jawabannya

Merencanakan langkah- Merencanakan Mengarahkan


langkah untuk menjawab penyelidikan rancangan penelitian
pertanyaan yang ingin akan dilakukan siswa
diketahui jawabannya

Mengumpulkan bukti yang Melaksanakan Membimbing siswa


dibutuhkan untuk penyelidikan melaksanakan
menjawab pertanyaan penyelidikan dan
pengambilan data

Menganalisis kesesuaian Menganalisis Mengarahkan cara


bukti yang diperoleh data memaknai bukti yang
dengan pertanyaan diperoleh siswa

Membuat kesimpulan Menarik Membantu


berdasarkan bukti yang kesimpulan menemukan pola dan
diperoleh keterkaitan data yang
dimiliki siswa

Mengomunikasikan hasil Mengomuni- Membimbing bentuk


yang diperoleh kasikan hasil dan cara penyajian
hasil

Menggunakan Implementasi Memunculkan


keterampilan inkuiri keterampilan permasalahan baru
inkuiri untuk menguatkan
keterampilan inkuiri
yang telah dipelajari
Gambar 4.9 Model pembelajaran inkuiri

Berdasarkan sifat permasalahan yang diteliti dan tingkat


bimbingan yang diberikan, “inkuiri latihan” di sekolah dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu inkuiri terstruktur,
inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas. Beberapa orang memasukkan

59
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
“inkuiri konfirmasi” (confirmation inquiry) sebagai kategori keempat
akan tetapi penulis sengaja tidak memasukkan inkuiri konfirmasi
karena dalam inkuiri konfirmasi siswa hanya sekedar menjalankan
kegiatan penyelidikan tanpa berpikir tentang permasalahan dan
bagaimana menelitinya. Oleh karena itu, inkuiri konfirmasi penulis
nilai hanya sebagai praktikum biasa, bukan inkuiri.
• Pada inkuiri terstruktur siswa diberi permasalahan yang
harus diteliti dan juga dibantu dalam merumuskan langkah-
langkah penelitiannya namun hasil inkuiri sama-sama belum
diketahui. Inkuiri terstruktur termasuk salah satu “inkuiri
latihan” yang cocok dilakukan siswa yang belum pernah
melakukan “inkuiri latihan”.
• Pada inkuiri terbimbing siswa ditunjukkan permasalahan
yang harus diteliti tetapi siswa tidak dibantu terkait
bagaimana menelitinya. Siswa harus mengembangkan
sendiri langkah-langkah penelitian. Hasil inkuiri sama-sama
belum diketahui oleh siswa maupun guru. Inkuiri terbimbing
cocok dilakukan apabila siswa sudah terbiasa berlatih
inkuiri.
• Pada inkuiri terbuka siswa tidak diberi arahan terkait
permasalahan maupun metode penelitiannya. Karena
permasalahan bersifat terbuka siswa dapat melakukan
penyelidikan sesuai minat masing-masing. Sekalipun bersifat
terbuka tetapi siswa tetap mendapat bimbingan.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa ketiga inkuiri tersebut
tetaplah “inkuiri latihan” yang tujuannya untuk mengembangkan
kemampuan proses ilmiah siswa. Inkuiri yang sesungguhnya adalah
inkuiri yang dilakukan ilmuwan. Inkuiri yang dilakukan siswa
sesungguhnya adalah “inkuiri latihan” yang bertujuan untuk melatih
kemampuan berinkuiri, oleh karena itu setelah menyelesaikan satu
proses inkuiri sebaiknya disajikan permasalahan baru sehingga siswa
dapat mengimplementasikan kemampuan inkuiri yang telah
dipelajarinya.

2. Model pembelajaran pemecahan masalah


Sebagaimana disampaikan pada pembahasan tentang Teori Gagne,
selain mengemukakan tentang sembilan tahapan belajar, Gagne juga
mengemukakan delapan tingkatan belajar. Tingkatan belajar yang
paling tinggi adalah belajar pemecahan masalah. Belajar pemecahan
masalah tujuan utamanya bukan untuk memecahkan masalah yang
sedang dihadapi, tetapi mempelajari keterampilan memecahkan

60
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
masalah sehingga apabila menghadapi masalah baru siswa dapat
memecahkannya. Belajar memecahkan masalah pada hakikatnya
mirip dengan belajar berinkuiri. Tujuan utamanya bukan
terpecahkannya masalah tetapi tumbuhnya kemampuan
memecahkan masalah. Oleh karena itu, untuk melatihkan
keterampilan memecahkan masalah hendaknya menggunakan
masalahan yang dapat dipecahkan siswa, bukan masalah yang harus
dipecahkan orang dewasa atau ahli. Tugas memecahkan masalah
banjir misalnya, tidak cocok diberikan ke siswa karena bukan
kapasitas mereka untuk memecahkannya. Jangankan siswa, ahli dan
pemerintah saja masih kesulitan memecahkannya.
Permasalahan untuk inkuiri berbeda dengan permasalahan
untuk pemecahan masalah. Berikut ilustrasi perbedaan antara
keduanya. Seorang anak memperhatikan bahwa lebah yang
dipelihara di rumahnya tidak pernah salah masuk ke sarang lebah
lain yang letaknya berdampingan. Dia betul-betul penasaran
bagaimana lebah tersebut mengenali sarangnya sehingga dia
menukar posisi sarang lebah tersebut. Ketika dia amati ternyata lebah
tetap dapat menemukan sarangnya walaupun pada mulanya sempat
hampir salah masuk. Selain permasalahan lebah, anak tersebut juga
sering mengamati kerupuk yang melempem (tidak renyah lagi). Dia
mengamati kerupuk yang dibiarkan tergeletak di meja tidak lagi
renyah. Dia ingin agar kerupuk yang tergeletak di meja tetap renyah
walaupun dibiarkan semalaman. Dia mencoba beberapa cara namun
hingga saat ini belum berhasil.
Permasalahan tentang lebah yang tidak tersesat berbeda
dengan masalah kerupuk yang melempem. Permasalahan tentang
lebah yang tidak tersesat bukanlah masalah yang akan menimbulkan
kerugian apabila tidak dipecahkan. Permasalahan tersebut lebih
bersifat keingintahuan. Sebaliknya, permasalahan terkait kerupuk
yang melempem akan menjadi masalah yang merugikan apabila tidak
dipecahkan sebab kerupuk yang seharusnya renyah menjadi
melempem dan kurang nikmat untuk dimakan. Berdasarkan uraian
ini dapat disimpulkan bahwa permasalahan pada inkuiri tidak
menimbulkan kerugian sedangkan masalah dalam problem solving
akan merugikan apabila tidak dipecahkan. Berikut tahapan model
pembelajaran pemecahan masalah (Gambar 4.10).

61
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Struktur dalam siswa Tahapan model Struktur dalam guru

Memikirkan kondisi Identifikasi Memunculkan


yang tidak sesuai masalah permasalahan yang
dengan harapan akan dipecahkan
sehingga harus dicari
pemecahannya

Mengidentifikasi Merumuskan Membantu


sumber permasalahan masalah memfokuskan
permasalahan

Menyusun langkah- Merencanakan Mengarahkan


langkah untuk penyelidikan rancangan penelitian
mengumpulkan bukti akan dilakukan siswa

Mengumpulkan bukti Melaksanakan Membimbing siswa


penyelidikan melaksanakan
penyelidikan dan
pengambilan data

Menganalisis Menganalisis Mengarahkan cara


kesesuaian bukti yang data memaknai bukti yang
diperoleh dengan diperoleh siswa
permasalahan

Membuat kesimpulan Menarik Membantu


berdasarkan bukti kesimpulan menemukan pola dan
yang diperoleh keterkaitan data yang
dimiliki siswa dan

Menggunakan implementasi Memunculkan


keterampilan masalah baru untuk
pemecahan masalah menguatkan
yang telah dipelajari kemampuan
memecahkan masalah
yang telah dipelajari
Gambar 4.10 Model pembelajaran pemecahan masalah

62
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran
pemecahan masalah memiliki beberapa kemiripan dalam tahapan
pelaksanaan, tetapi keduanya berbeda dalam tujuan. Model
pembelajaran inkuiri dirancang untuk melatih siswa bertindak
seperti ilmuwan sehingga dapat menemukan pengetahuan baru
sedangkan model pembelajaran pemecahan masalah dirancang untuk
melatih siswa memecahkan masalah. Permasalahan yang dikaji
melalui model pemecahan masalah merupakan suatu kondisi yang
dapat menimbulkan kerugian atau bahaya sedangkan permasalahan
dalam inkuiri merupakan sesuatu yang belum diketahui dan ingin
diketahui.
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, tujuan model
pembelajaran pemecahan masalah adalah untuk melatih siswa
memecahkan masalah sehingga keterampilan memecahkan masalah
merupakan hasil belajarnya. Oleh karena itu, setelah siswa berlatih
memecahkan satu masalah sebaiknya siswa diberikan permasalahan
lain untuk mengimplementasikan keterampilan memecahkan
masalah yang telah dipelajarinya. Permasalahan yang digunakan
sebaiknya permasalahan yang berbeda sehingga betul-betul terlihat
penggunaan keterampilan memecahkan masalah.

3. Model pembelajaran teori belajar sosial


Sebagaimana diuraikan pada pembahasan tentang teori belajar, salah
satu teori belajar yang cocok untuk pengembangan keterampilan
adalah teori belajar sosial. Teori Belajar sosial yang dikembangkan
oleh Bandura (1977) ini menekankan pada belajar melalui kegiatan
mengamati dan kemudian menirukan, sehingga cocok untuk
membelajarkan keterampilan.
Dalam IPA banyak keterampilan dasar bekerja di
laboratorium yang bersifat motorik yang perlu dikuasai siswa,
misalnya mengukur, menimbang, merangkai alat, menggunakan alat,
dan merawat alat. Keterampilan-keterampilan dasar tersebut sangat
penting untuk menunjang pelaksanaan penyelidikan. Dalam
membelajarkan keterampilan-keterampilan tersebut biasanya guru
mendemonstrasikan dan setelah itu siswa mencoba sendiri di bawah
pengawasan guru. Tahapan model pembelajaran yang didasarkan
pada teori belajar sosial dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar
4.11).

63
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Struktur dalam siswa Tahapan Struktur dalam guru
model
Memperhatikan Perhatian Menunjukkan
fenomena yang fenomena atau
ditemui perilaku

Menyimpan dalam Retensi Memberikan petunjuk


memori untuk membantu
mengingat

Menggunakan Mencoba Membimbing siswa


informasi dalam dalam usaha mencoba
memori untuk
mencoba

Terbentuk motivasi Motivasi (atau Menjaga motivasi


atau berkurang demotivasi)
motivasi
Gambar 4.11 Model pembelajaran berbasis teori belajar sosial

Menurut teori belajar sosial, seseorang dapat bertambah


motivasinya atau sebaliknya hilang motivasinya karena faktor
keberhasilan atau kegagalan. Seorang anak yang sudah berulang kali
mencoba tetapi selalu gagal dapat hilang motivasinya dan tidak mau
lagi mencoba. Sebaliknya, seorang anak yang berhasil pada saat
mencoba akan bertambah motivasinya sehingga dia terus
berkembang menekuninya. Oleh karena itu, dalam menggunakan
model pembelajaran ini guru hendaknya menjaga agar siswa
merasakan keberhasilan sehingga tumbuh motivasi.

4.2.3 Model pembelajaran untuk menguasai sikap ilmiah


Sikap ilmiah kurang bermakna apabila dikembangkan secara terpisah dari
pengembangan proses dan pengetahuan ilmiah. Rasa ingin tahu misalnya,
tidak cukup hanya dilakukan dengan menasehati siswa untuk “peduli, selalu
bertanya-tanya dan ingin tahu” tentang alam. Rasa ingin tahu tidak hanya
muncul di awal saja. Boleh jadi ketika siswa sedang merancang percobaan
muncul rasa ingin tahu tentang hal lain, boleh jadi juga ketika sedang
melaksanakan percobaan, ataupun pada tahapan yang lain. Oleh karena itu,
pengembangan sikap ilmiah sebaiknya memang dilakukan secara
terintegrasi dengan pengembangan proses ilmiah (Gambar 4.12).

64
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Struktur dalam siswa dengan Tahapan Struktur dalam guru dengan
tambahan sikap ilmiah model tambahan sikap ilmiah
Menyadari Memikirkan Merumus- Memunculkan Menanamkan
pentingnya dan bertanya kan kondisi yang pentingnya
rasa ingin tahu tanya tentang pertanyaan menimbulkan rasa ingin tahu
fenomena penelitian rasa ingin tahu

Menyadari Merencanakan Merencana Mengarahkan Menanamkan


pentingnya langkah- kan penyusunan pentingnya
kebaruan, langkah penyeli- rancangan kebaruan,
kreativitas, penyelidikan dikan penelitian kreativitas,
dan ketelitian dan ketelitian

Menyadari Mengumpul- Melaksana- Membimbing Menanamkan


pentingnya kan bukti yang kan pelaksanaan pentingnya
kerja keras, dibutuhkan penyelidi- penyelidikan kerja keras,
ketelitian, untuk kan dan ketelitian,
kejujuran, dan menjawab pengambilan kejujuran, dan
pantang pertanyaan data pantang
menyerah menyerah

Menyadari Menganalisis Menganali- Mengarahkan Menanamkan


pentingnya kesesuaian sis data cara pentingnya
rasa ingin bukti dengan memaknai rasa ingin
tahu, pertanyaan bukti yang tahu,
ketelitian, dan diperoleh ketelitian, dan
kejujuran kejujuran

Menyadari Membuat Menarik Membantu Menanamkan


pentingnya kesimpulan kesimpulan menemukan ketelitian, dan
ketelitian, dan berdasarkan pola dan kejujuran
kejujuran bukti yang keterkaitan
diperoleh data

Menyadari Mengomuni- Mengomu- Membimbing Menanamkan


pentingnya kasikan hasil nikasikan bentuk dan pentingnya
keterbukaan yang diperoleh hasil cara penyajian keterbukaan
dan kesopanan hasil dan kesopanan

Menyadari Menggunakan Implemen- Memunculkan Menanamkan


pentingnya keterampilan tasi permasalahan pentingnya
rasa ingin tahu inkuiri baru untuk rasa ingin tahu
dan kerja menguatkan dan kerja
keras keterampilan keras
inkuiri
Gambar 4.12 Model pembelajaran sikap ilmiah terintegrasi
65
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Gambar 4.12 menunjukkan bahwa pengembangan sikap ilmiah
sebaiknya diintegrasikan dengan pengembangan proses ilmiah. Perlu
diperhatikan agar dalam setiap tahapan proses tersebut guru selalu
menanamkan sikap ilmiah yang relevan. Misalnya, di awal tahapan ketika
guru menyajikan permasalahan, guru hendaknya menanamkan pentingnya
rasa ingin tahu. Pada saat siswa sedang merancang penyelidikan, guru dapat
menanamkan pentingnya kebaruan dan ketelitian. Demikian seterusnya
sehingga dari awal kegiatan sampai dengan akhir kegiatan, guru secara
bertahap menanamkan sikap-sikap ilmiah.
Sikap ilmiah yang ditanamkan guru pada setiap tahap inkuiri tentu
saja tidak harus sama dan terbatas dengan yang disampaikan di Gambar
4.12. Guru dapat menyesuaikan dengan jenis kegiatan dan kemampuan
masing-masing siswa. Untuk siswa yang kurang teliti guru dapat
menekankan pentingnya ketelitian sedangkan pada siswa yang telah teliti,
guru misalnya dapat menekankan pada sikap ilmiah lain yang masih kurang
pada diri siswa tersebut.

4.2.4 Model pembelajaran integratif


Sebagaimana dibahas di bagian pendekatan, ada pendekatan integratif yang
dimaksudkan untuk membangun pengetahuan IPA terintegrasi antar topik,
antara IPA dengan mata pelajaran lain, bahkan antara IPA dengan
kehidupan sehari hari. Pendekatan integratif juga cocok untuk
mengembangkan keterampilan lintas disiplin ilmu, misalnya keterampilan
proses sains dan keterampilan rekayasa.
Model pembelajaran Science Technology Engineering and
Mathematics (STEM) atau Science Technology Engineering Arts and
Mathematics (STEAM) penulis kategorikan sebagai model pembelajaran
integratif karena STEM/STEAM mengintegrasikan beberapa mata pelajaran,
bahkan dengan teknologi dan rekayasa. Sebagaimana disampaikan dalam
pembahasan hakikat IPA, teknologi tidak dimasukkan sebagai hakikat IPA
karena metode pengembangan teknologi berbeda dengan metode
pengembangan IPA. IPA dikembangkan dengan metode ilmiah sedangkan
teknologi dikembangkan melalui rekayasa (engineering).
Model pembelajaran STEM/STEAM sesungguhnya mengikuti pola
dasar model pembelajaran pemecahan masalah meskipun ada perbedaan
dalam bentuk solusi yang dihasilkan. Solusi yang dihasilkan dalam model
pemecahan masalah dapat berupa ide, kebijakan, atau tindakan sedangkan
solusi yang dihasilkan oleh STEM/STEAM adalah produk teknologi yang
dihasilkan dari proses rekayasa. Secara umum model pembelajaran

66
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
STEM/STEAM mengikuti model rekayasa, yaitu merumuskan masalah,
memikirkan solusi dalam bentuk teknologi, mendesain teknologi yang akan
dikembangkan, membuat produk teknologi, menguji produk teknologi, dan
menyempurnakan teknologi dengan memperbaiki desain awal (Gambar 4.13)

Struktur dalam siswa Tahapan Struktur dalam guru


model
Mengidentifikasi Perumusan Menyajikan permasalahan
permasalahan yang dapat masalah yang solusinya berupa
diselesaikan dengan teknologi
pengembangan teknologi

Memikirkan bentuk Pikir Mengarahkan teknologi yang


teknologi dapat dikembangkan

Merancang desain Desain Membimbing pembuatan


teknologi rancangan

Membuat teknologi Buat Membimbing pembuatan


produk teknologi

Mengidentifikasi kelebihan Uji Mengarahkan siswa


dan kekurangan teknologi mengevaluasi kelebihan dan
yang dikembangkan kekurangan teknologi yang
dibuat

Memperbaiki desain Perbaikan Membimbing perbaikan


teknologi desain desain
Gambar 4.13 Model pembelajaran STEM/STEAM

Tahapan model pembelajaran STEM/STEAM merupakan sebuah


siklus sehingga proses tersebut dapat terus berulang hingga dihasilkan
produk akhir teknologi yang diinginkan. Model pembelajaran STEM/STEAM
selain cocok untuk mengembangkan kemampuan integratif juga cocok untuk
mengembangkan kreativitas sebab pembuatan produk sangat menuntut
kreativitas. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tujuan model pembelajaram
STEM/STEM bukanlah agar siswa menghasilkan teknologi akan tetapi agar
siswa memiliki pengetahuan yang terpadu dan menguasai keterampilan
memecahkan masalah melalui pengembangan teknologi.

67
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
4.3 Metode pembelajaran
Apabila model pembelajaran merupakan kerangka dasar pembelajaran,
teknis pelaksanaannya adalah metode. Metode merupakan teknis untuk
membelajarkan siswa, artinya siswa mendapatkan pelajaran melalui
pelaksanaan metode pembelajaran. Walaupun suatu model tidak
mempersyaratkan penggunaan metode tertentu, akan tetapi pemilihan
metode hendaknya mempertimbangkan model. Misalnya, apabila guru akan
menggunakan model inkuiri tentu saja metode ceramah bukanlah pilihan
yang tepat.
Penulis memandang metode sebagai “cara membelajarkan” sehingga
hal-hal lain yang tidak “membantu siswa mendapatkan pelajaran” tidak
dikategorikan sebagai metode pembelajaran. Berikut beberapa metode
pembelajaran yang dapat digunakan untuk membelajarkan IPA.
1. Metode ceramah
Ceramah merupakan penyampaian informasi dari guru ke siswa.
Ceramah cocok digunakan untuk menyampaikan pesan yang sifatnya
informatif, misalnya pengetahuan ilmiah, tetapi tidak cocok untuk
mengembangkan proses ilmiah.
2. Metode diskusi
Diskusi merupakan cara agar siswa mempelajari kemampuan
berkomunikasi, berargumentasi, dan menghadapi orang yang
beraneka ragam. Tentu saja diskusi dapat juga digunakan untuk
mempelajari pengetahuan ilmiah, akan tetapi bukan pengetahuan
ilmiah yang sudah pasti kebenarannya. Diskusi sebagai metode
pembelajaran bermakna bahwa siswa mendapatkan pelajarannya dari
proses diskusi tersebut, bukan sebelum berdiskusi. Dalam diskusi,
permasalahan yang didiskusikan hendaknya permasalahan yang
terbuka jawabannya, bukan masalah dengan satu jawaban benar.
Misalnya, siswa dapat diminta berdiskusi tentang komposisi
minuman yang enak, tetapi bukan berdiskusi mengenai bagian lidah
mana yang peka terhadap rasa manis, pahit, asam, dan asin.
Penggunaan metode diskusi sesungguhnya memiliki manfaat
ganda. Di satu sisi metode diskusi dapat digunakan untuk
membelajarkan pengetahuan namun di sisi yang lain pengalaman
berdiskusi juga sangat berharga bagi siswa. Pengalaman bertukar
pendapat dalam diskusi mengajarkan cara berkomunikasi dan
bernegosiasi untuk mencapai tujuan bersama dengan tetap saling
menghargai.
3. Metode debat
Diskusi boleh jadi dilakukan oleh beberapa orang dengan tujuan
menemukan kesepakatan terbaik. Hal ini berbeda dengan debat
karena pihak-pihak yang terlibat memang berbeda pandangan. Oleh

68
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
karena itu, dalam debat fokus utamanya adalah untuk meyakinkan
pihak lain bahwa ide atau pandangan kita lebih baik. Dengan
demikian debat sangat cocok untuk melatih kemampuan
berargumentasi dan bernalar.
4. Metode tanya jawab
Tanya jawab merupakan metode pembelajaran yang melibatkan
interaksi intensif bertanya dan menjawab antara guru dengan siswa.
Guru membelajarkan melalui serangkaian pertanyaan. Metode tanya
jawab bukan sekedar guru bertanya dan siswa menjawab atau siswa
bertanya guru menjawab. Berikut ilustrasi metode tanya jawab.

Guru : Ada berapa rasa yang dapat dirasakan lidah kita?


Siswa : Empat, yaitu manis, asam, asin, dan pahit
Guru : Bagaimana dengan pedas, apakah pedas bukan rasa?
Siswa : Oh, iya. Ada lima rasa, ditambah pedas
Guru : Betulkah pedas termasuk rasa?
Siswa : Iya, pedas termasuk rasa. Kan cabe rasanya pedas
Guru : Bagian lidah yang mana yang merasakan pedas?
Siswa : Setelah dicoba ternyata semua bagian lidah dapat
perasakan pedas
Guru : Jika cabe terkena bibir apakah juga terasa pedas?
Siswa : Iya, bibir juga merasakan pedas
Guru : Apakah bibir dapat merasakan?
Siswa : Tidak, lidah yang merasakan
Guru : Jadi apa yang dirasakan bibir?
Siswa : Panas
Guru : Apakah jika cabe terkena kulit juga akan panas?
Siswa : Iya, kulit juga panas
Guru : Jadi apa yang sesungguhnya dirasakan lidah saat
terkena cabe?
Siswa : Panas
Guru : Kalau begitu, apakah pedas itu rasa?
Siswa : Bukan
Guru : Jadi ada berapa sesungguhnya rasa?
Siswa : Empat
Guru : Yakinkah kalian bahwa hanya ada empat rasa?

Dari ilustrasi tersebut, guru membelajarkan tentang “rasa”


melalui serangkaian pertanyaan. Guru sama sekali tidak menjelaskan
dan siswa belajar dari proses tanya jawab tersebut. Tanya jawab
sebagai metode pembelajaran merupakan “cara membelajarkan”

69
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
(seperti halnya ceramah), namun guru tidak menyampaikan
informasi.
5. Metode praktik
Bayangkan Anda akan belajar mengendarai sepeda. Instruktur Anda
telah menjelaskan secara rinci semua hal tentang teknik mengendarai
sepeda dan Anda juga sudah betul-betul menguasai penjelasan
tersebut. Hanya saja sepedanya belum ada sehingga Anda belum
pernah praktik mengendarai sepeda. Apakah kira-kira Anda dapat
mengendarai sepeda tanpa pernah praktik?
Praktik merupakan metode pembelajaran yang paling sesuai
untuk membelajarkan keterampilan proses IPA, terutama yang
membutuhkan keterampilan motorik, misalnya menggunakan alat.
Sebagaimana dijelaskan pada saat pembahasan tentang inkuiri,
praktik sebaiknya dilakukan dalam bentuk inkuiri dan bukan praktik
yang bersifat pembuktian. Oleh karena itu, materi hendaknya tidak
dijelaskan dulu baru praktik, namun siswa mempelajari semuanya
melalui praktik.
6. Metode demonstrasi
Demonstrasi artinya menunjukkan atau memperagakan suatu. Pada
metode demonstrasi, berarti guru membelajarkan siswa dengan cara
menunjukkan atau memperagakan pelajaran. Demonstrasi cocok
untuk membelajarkan suatu cara atau teknik. Demonstrasi tidak
harus selalu dilakukan langsung oleh guru. Demonstrasi dapat
dilakukan dengan merekam hal yang didemonstrasikan dan video
rekaman tersebut kemudian diamati oleh siswa. Masih ingatkah
Anda dengan teori belajar sosial? Metode demonstrasi sangat cocok
sebagai metode untuk model pembelajaran berbasis teori belajar
sosial.
7. Metode bermain peran
Bermain peran sebagai metode pembelajaran mengandung arti siswa
belajar melalui proses bermain peran. Oleh karena itu, apabila siswa
belajar dulu baru kemudian bermain peran, maka sesungguhnya
bermain peran yang dilakukan bukan untuk belajar karena siswa
telah belajar sebelumnya. Metode bermain peran berarti siswa belajar
melalui aktivitas mereka bermain peran. Misalnya, untuk
membelajarkan konsep arus listrik, elektron, energi, dan hambatan
pada bola lampu (bohlam) yang dinyalakan dengan batu baterai dan
kabel, guru dapat menjelaskan dengan gambar/animasi tetapi guru
dapat pula mengajak siswa bermain peran. Siswa dapat memainkan
peran sebagai elektron yang membawa energi dari batu baterai. Pada
saat melewati bohlam energi diberikan oleh elektron sehingga

70
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
bohlam menyala, dan selanjutnya elektron tersebut kembali lagi ke
batu baterai. Begitu seterusnya hingga energi di batu baterai habis.

8. Metode studi lapangan


Objek pelajaran IPA adalah alam semesta dengan isinya. Objek yang
dipelajari begitu beragam sehingga tidak semua dapat dihadirkan di
ruang kelas. Oleh karena itu, siswalah yang pergi ke lokasi dimana
objek tersebut berada. Mungkin juga objek yang dipelajari
sesungguhnya dapat dibawa ke ruang kelas akan tetapi apabila objek
dibawa ke ruang kelas siswa tidak dapat mempelajari secara utuh
karena objek terpisah dari lingkungannya. Misalnya, pelajaran
tentang laba-laba dapat saja dilakukan dengan membawa seekor
laba-laba yang disimpan dalam botol. Namun demikian, cara tersebut
tidak memungkinkan siswa untuk mengamati sarang laba-laba dan
cara laba-laba menangkap mangsanya.
9. Metode proyek
Penulis mengategorikan proyek sebagai metode pembelajaran karena
proyek pada hakikatnya merupakan cara agar siswa belajar. Metode
proyek dapat digunakan untuk model pembelajaran yang
memerlukan waktu yang relatif lama dan tidak dapat dituntaskan
pada jam pelajaran. Model inkuiri misalnya, mungkin memerlukan
waktu pengerjaan selama beberapa hari atau bahkan beberapa
minggu sehingga cocok apabila dilakukan dengan metode
proyek. Selain itu, kegiatan inkuri boleh jadi memerlukan
pengamatan di luar jam pelajaran sehingga lebih cocok untuk
dilakukan dengan metode proyek.

4.4 Struktur pembelajaran


Di Indonesia struktur pembelajaran pada umumnya dibagi menjadi tiga
tahap yaitu pembukaan, inti, dan penutup. Penulis tidak menemukan teori
belajar atau rujukan bahwa sebuah pembelajaran harus dibagi dalam tiga
bagian tersebut. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa struktur tersebut
tidak dapat digunakan. Untuk kepentingan yang sifatnya administratif,
misalnya agar guru dapat mengelola waktu pembelajaran dengan baik, tentu
saja struktur tersebut dapat digunakan. Struktur pembelajaran hendaknya
tidak menyebabkan terganggunya implementasi model pembelajaran yang
telah dipilih.
Salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan adalah: “Bagaimana
menempatkan model pembelajaran dengan tahapan pembelajaran?”.
Misalnya, bagaimana menempatkan tahap pertama suatu model, apakah di
tahap “membuka pelajaran” ataukah di tahap “inti”? Struktur pembelajaran
(membuka - inti - penutup) hendaknya tidak dimaknai secara kaku karena

71
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
struktur pembelajaran bukan model melainkan pembagian alokasi waktu
untuk pelaksanaan pembelajaran. Berikut disajikan alternatif dalam
menyandingkan tahapan pembelajaran dengan beberapa model
pembelajaran (Tabel 4. 2).

Tabel 4.2 Penempatan model pembelajaran dalam struktur pembelajaran

Struktur Model Gagne Model inkuiri Model experiential


pembelajaran
1. Perhatian 1. Merumuskan 1. Menyajikan
Pendahuluan 2. Tujuan pertanyaan pengalaman
3. Pengetahu- penelitian yang menuntut
an awal berpikir

4. Stimulus 2. Merencanakan 2. Membantu


5. Bimbingan penyelidikan siswa memaknai
3. Melaksanakan situasi dengan
penyelidikan pengalaman yang
Inti 4. Menganalisis relevan yang
data pernah dimiliki
5. Menarik 3. Membantu siswa
kesimpulan mengidentifikasi
pelajaran yang
dipetik

6. Latihan 6. Mengomuni- 4. Menyajikan konteks


Penutup 7. Umpan kasikan hasil baru untuk
balik 7. Transfer implementasikan
8. Asesmen konsep yang baru
9. Transfer dipelajari

Dari ilustrasi pada Tabel 4.2 terlihat bahwa tahap membuka


pembelajaran dapat berisi tiga tahapan model pembelajaran Gagne (menarik
perhatian, mengomunikasikan tujuan, dan mengaktifkan pengetahuan awal
siswa), dapat juga berisi tahapan merumuskan permasalahan pada model
pembelajaran inkuiri atau kegiatan menyajikan pengalaman yang menuntut
berpikir dari model pembelajaran experiential learning. Hal ini
menunjukkan bahwa tahap “membuka pelajaran” dapat mencakup satu atau
lebih tahapan model pembelajaran. Demikian juga tahap inti dan
penutup. Oleh karena itu, guru harus lebih fokus pada model pembelajaran.
Di lapangan seringkali tahap membuka pelajaran diisi dengan
kegiatan administratif, misalnya mengucapkan salam, memeriksa kehadiran

72
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
siswa, dan menanyakan kabar. Tentu saja hal-hal tersebut tidak salah tetapi
membuka pelajaran sesungguhnya bukan hanya untuk administrastif. Fungsi
utama tahap membuka pelajaran adalah untuk menyiapkan siswa untuk
belajar. Demikian juga halnya dengan tahap menutup pelajaran yang
seringkali hanya diisi dengan mengucapkan salam penutup. Tahap menutup
pelajaran sangat tergantung pada tahapan implementasi model. Apabila
pada saat menjelang jam pelajaran berakhir model yang dijalankan belum
tuntas, maka tahap penutup berisi informasi tahapan kegiatan berikutnya
sesuai tahapan model.
Satu tatap muka pembelajaran (baik satu jam pelajaran atau lebih)
hanya terdiri dari satu tahap pembukaan, satu tahap inti, dan satu tahap
penutup. Satu tatap muka tidak berarti hanya menuntaskan satu model
pembelajaran. Satu tatap muka mungkin berisi satu siklus model, dua siklus
atau bahkan lebih. Sebaliknya juga satu model pembelajaran mungkin
memerlukan lebih dari satu kali pertemuan tatap muka. Misalnya, ketika
guru dalam satu pertemuan tatap muka mengajarkan panca indera (indera
pembau, perasa, peraba, penglihatan, dan pendengaran) dengan
menggunakan model konstruktivisme, kelima topik tersebut tentu
memerlukan lima kali pelaksanaan model atau lima siklus. Contohnya, mula-
mula guru membelajarkan indera pembau dengan model konstruktivisme
hingga tuntas. Dikarenakan waktu masih tersedia, guru mengajarkan topik
berikutnya yaitu indera perasa. Untuk membelajarkan indera perasa tentu
guru harus sekali lagi menjalankan model pelajaran dari tahap pertama
model. Begitu seterusnya hingga jam pelajaran berakhir. Walaupun terjadi
lima kali siklus model pembelajaran tentu tidak logis apabila tahap
pembukaan dilakukan berulang sebanyak lima kali. Sebaliknya, ketika guru
menggunakan model inkuiri yang menuntut siswa melakukan penyelidikan,
kegiatan tersebut mungkin saja tidak cukup hanya dengan satu kali
pertemuan sehingga harus dilanjutkan pada pertemuan-pertemuan
berikutnya. Pada pertemuan-pertemuan berikutnya tentu saja ada tahap
membuka pelajaran dan bukan berarti bahwa model pembelajarannya
dimulai lagi dari tahap pertama. Dari penjelasan ini jelas bahwa tahapan
pembelajaran “pembukaan - inti - penutup” tidak ada kaitannya dengan
model pembelajaran.

Bacaan lanjutan
Sejumlah penelitian tentang pendekatan, model dan metode telah kami
lakukan. Silakan baca tulisan-tulisan berikut.
1. Gustiani, I., Widodo, A., & Suwarma, I. R. (2017). Development
and validation of science, technology, engineering and
mathematics (STEM) based instructional material. AIP

73
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Conference Proceedings, 1848(1), 060001.
doi:10.1063/1.4983969
2. Kartini, D., & Widodo, A. (2020). Exploring Elementary
Teachers', Students' Beliefs and Readiness toward STEAM
Education. Mimbar Sekolah Dasar, 7(1), 54-65.
doi:10.17509/mimbar-sd.v7i1.22453
3. Kartini, F. S., Widodo, A., & Winarno, N. (2021). STEM project-
based learning on student’s STEM literacy: the case of teaching
earth layer and disaster. Journal of Physics: Conference Series,
1806 012221.
4. Kartini, F. S., Widodo, A., Winarno, N., & Astuti, L. (2021).
Promoting Student's Problem-Solving Skills through STEM
Project-Based Learning in Earth Layer and Disasters Topic.
Journal of Science Learning, 4(3), 257-266.
5. Mutanaffisah, R., Ningrum, R. & Widodo, A. (2021). Ketepatan
pemilihan pendekatan, metode, dan media terhadap karakteristik
materi IPA. Jurnal Inovasi Pendidikan IPA, 7(1),
6. Nugraha, I., Suratno, T., Kadarohman, A., Widodo, A., &
Darmawan, I. G. (2020). The Relation between Gender, Reasons
to Participate in STEM-Related Subjects, Programs and The
University Supports On First-Year University Student’s
Satisfaction: A Structural Equation Model. Journal of Science
Learning, 3(2), 117-123. doi:10.17509/jsl.v3i2.21593
7. Rahmawati, S., Widodo, A., & Eliyawati, E. (2021). STEM
learning on environmental pollution topic: identifying science
selfefficacy instrument using Rasch model analysis. Journal of
Physics: Conference Series, 1806 012218, 1-6.
8. Saptarani, D., Widodo, A., & Purwianingsih, W. (2019). Biology
teachers and high school students perceptions about STEM
learning. Journal of Physics: Conf. Series, 1157 042007.
9. Sekarwinahyu, M., Rustaman, N.Y., Widodo, A., Riandi. (2019).
Development Of Problem Based Learning For Online Tutorial
Program In Plant Development Using Gibbs’ Reflective Cycle And
E-Portfolio To Enhance Reflective Thinking Skills. Journal of
Physics: Conference Series, 1157(2): 022-099.
10. Widodo, A. & Duit, R. (2005). Konstruktivistische Lehr-Lern-
Sequencen und die Praxis des Physikunterrichts. Zeitschrift für
Didaktik der Naturwissenschaften, 11, 131-146.

74
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
BAB V
MATERI PELAJARAN IPA

Berikut disajikan cuplikan satu halaman buku pelajaran IPA SD yang


dikembangkan berdasarkan tiga kurikulum yang berbeda, yaitu Kurikulum
1994, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan Kurikulum 2013.

Sumber: Hadiat (1994, p. 29)

Gambar 5.1 Cuplikan buku pelajaran IPA berdasarkan Kurikulum 1994

75
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Sumber: Priyono, Martini & Amin (2009, p. 19)

Gambar 5.2 Cuplikan buku pelajaran IPA berdasarkan KTSP

76
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Sumber: Susilawati (2017, p. 14)

Gambar 5.3 Cuplikan buku pelajaran IPA berdasarkan Kurikulum 2013

77
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Sebagaimana dituliskan di bab 2, salah satu komponen IPA adalah
pengetahuan ilmiah. Dalam pembelajaran IPA, pengetahuan ilmiah sering
disebut dengan istilah “materi pelajaran” atau “konten”. Sesungguhnya
materi pelajaran bukan hanya pengetahuan ilmiah, tetapi juga mencakup
proses ilmiah dan sikap ilmiah. Pada bab 2 juga sudah dijelaskan bahwa
pengetahuan ilmiah dapat berupa fakta, konsep, generalisasi, hukum, dan
teori. Oleh karena itu, “materi pelajaran” atau “konten” tentunya mencakup
kelima bentuk pengetahuan ilmiah tersebut.
Cuplikan ketiga buku yang disajikan di awal bab ini dikembangkan
berdasarkan tiga kurikulum yang berbeda, yaitu kurikulum 1994 yang
dikembangkan pada tahun 1994, KTSP yang dikembangkan pada tahun
2006, dan Kurikulum 2013 yang dikembangkan pada tahun 2013. Buku-
buku tersebut dikembangkan berdasarkan rumusan tujuan atau rumusan
kompetensi yang tercantum dalam masing masing kurikulum. KTSP dan
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis kompetensi sehingga materi
terdapat dalam rumusan kompetensi sedangkan dalam Kurikulum 1994
materi tercantum dalam rumusan tujuan (Tabel 5.1).

Tabel 5.1 Perbandingan materi “makanan dan sistem pencernaan” dalam tiga
kurikulum yang berbeda
Kurikulum Rumusan tujuan/kompetensi
1994 Siswa mengenal hubungan antara makanan, alat
pencernaan, dan kesehatan, dengan menafsirkan
informasi dan hasil pengamatannya
KTSP Mengidentifikasi fungsi organ pencernaan manusia dan
hubungannya dengan makanan dan kesehatan
2013 Menjelaskan organ pencernaan dan fungsinya pada hewan
dan manusia serta cara memelihara kesehatan organ
pencernaan manusia
Menyajikan karya tentang konsep organ dan fungsi
pencernaan pada hewan atau manusia.

Rumusan tujuan/kompetensi untuk materi makanan dan sistem


pencernaan dalam ketiga kurikulum tersebut ternyata tidak jauh berbeda.
Ketiganya menyatakan bahwa materi yang harus dibelajarkan adalah
“makanan”, “organ pencernaan dan fungsinya” dan “pentingnya menjaga
kesehatan organ pencernaan”. Artinya, walaupun ketiga kurikulum tersebut
dikembangkan dalam tiga dekade yang berbeda tetapi tuntutan materi dalam
kurikulum-kurikulum tersebut relatif sama. Dalam ketiga kurikulum
tersebut materi makanan dan sistem pencernaan semuanya sama-sama
ditempatkan di kelas lima.
Setiap kurikulum senantiasa diikuti dengan penulisan buku ajar
siswa. Rumusan materi dalam kurikulum yang bersifat umum memberikan

78
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
peluang pada penulis buku untuk menentukan materi apa saja yang akan
dituliskan. Masih ingatkah Anda pembahasan kita tentang hakikat IPA,
bahwa pengetahuan IPA bersifat subjektif dan bahwa IPA dipengaruhi sosial
dan budaya? Penulisan buku ajar siswa adalah salah satu contoh nyata
bahwa subjektivitas penulis dapat memengaruhi materi IPA yang
berkembang dan tidak berkembang. Selain itu penentuan orang yang diberi
tugas untuk menulis atau mengapa suatu buku ditetapkan untuk digunakan
tentu juga mengandung subjektivitas. Hal ini sama sekali tidak salah,
memang begitulah IPA, walaupun diusahakan untuk objektif namun tetap
ada peluang untuk subjektif.
Kini Anda tahu proses pengembangan buku ajar siswa. Dapatkah
Anda mengidentifikasi persamaan dan perbedaan materi yang disajikan
dalam ketiga buku tersebut? Apabila kita cermati, materi yang disajikan
dalam ketiga buku tersebut relatif sama hanya saja bentuk penyajiannya
yang berbeda. Anda juga dapat membandingkan materi-materi lain dari
jenjang sekolah yang berbeda. Kesamaan materi dapat dimengerti sebab
pengetahuan ilmiah tentang sistem pencernaan sudah relatif stabil dan
kalaupun ada perkembangan yang lebih canggih, perkembangan tersebut
terlalu tinggi untuk tingkat sekolah. Cobalah kaji buku ajar dari berbagai
kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia dan temukan persamaan
maupun perbedaan materi yang dibahas.

5.1 Materi utama pelajaran IPA


Cobalah Anda ingat-ingat lagi materi apa saja yang Anda pelajari saat di
sekolah dari SD sampai dengan SMA? Anda boleh menuliskannya di tempat
yang disediakan berikut.

Materi pelajaran IPA yang pernah dipelajari waktu di sekolah

Apabila Anda seorang guru, cobalah bandingkan antara materi yang pernah
Anda pelajari dengan materi yang Anda ajarkan ke murid Anda? Anda dapat
menuliskan materi yang Anda ajarkan di tempat yang disediakan berikut ini.

79
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Materi pelajaran IPA yang Anda ajarkan saat ini

Apakah perbedaan materi pelajaran IPA yang dulu Anda pelajari dengan
materi pelajaran IPA yang sekarang?
Materi IPA apa sajakah yang seharusnya dipelajari di sekolah?
Sungguh tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Tentunya
pengembang kurikulumlah yang paling dapat menjawab pertanyaan tersebut
sebab pada saat menentukan materi-materi yang akan dimasukkan dalam
kurikulum tentunya didasarkan pada pertimbangan tertentu. Beberapa
tokoh pendidikan IPA mencoba merumuskan materi IPA apa saja yang harus
dipelajari anak sehingga anak mendapatkan manfaat baik selagi sekolah
maupun setelah mereka menamatkan sekolah (Harlen, 2015). Mereka
mengidentifikasi 10 materi utama yang harus dipelajari siswa di sekolah.
1. Semua benda yang ada di alam semesta ini tersusun dari partikel
yang sangat kecil
Semua benda, baik itu yang hidup maupun yang tak hidup, tersusun
dari atom. Susunan dan perilaku atom pada suatu benda
berpengaruh terhadap sifat-sifat suatu benda. Dalam reaksi kimia
atom membentuk susunan baru sehingga terbentuklah zat baru.
Setiap atom memiliki inti yang terdiri dari netron dan proton yang
dikelilingi oleh elektron. Muatan listrik yang berbeda antara proton
dan elektron saling tarik menarik dan hal ini juga menyebabkan
terbentuknya molekul.

2. Suatu benda dapat memengaruhi benda lain bahkan yang


berjauhan
Semua benda dapat memengaruhi benda lain tanpa harus adanya
kontak langsung. Dalam beberapa kasus efek yang dihasilkan oleh
suatu sumber diterima oleh benda lainnya dalam bentuk radiasi.
Dalam kasus yang lain, pengaruh terjadi melalui terbentuknya medan
pengaruh, misalnya medan magnet, listrik, dan gravitasi. Gravitasi

80
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
merupakan gaya tarik antar benda, baik benda berukuran besar
maupun berukuran kecil. Gravitasi menyebabkan planet berputar
mengelilingi matahari dan gravitasi bumi menyebabkan benda-benda
jatuh mengarah ke inti bumi.

3. Untuk terjadinya perubahan gerak suatu benda diperlukan gaya


yang lebih besar terhadap gaya yang sedang berpengaruh terhadap
benda tersebut
Gaya yang mengenai suatu benda tidak dapat langsung dirasakan
namun dapat dilihat dari efek yang ditimbulkannya terhadap gerakan
atau bentuk benda tersebut. Apabila sebuah benda tidak bergerak
berarti gaya yang mengenai benda tersebut arahnya saling
berlawanan dan kekuatannya sama. Karena gravitasi berpengaruh
terhadap semua benda yang ada di bumi, apabila sebuah benda
dalam keadaan diam maka berarti ada gaya lain yang berlawanan
dengan gravitasi. Gaya yang berlawanan namun kekuatannya tidak
sama menyebabkan benda bergerak ke arah yang gayanya yang lebih
kecil. Apabila gaya yang berlawanan mengenai suatu benda tetapi
tidak segaris maka akan menyebabkan benda berputar atau terpilin.

4. Jumlah energi di alam semesta selalu tetap akan tetapi energi


dapat berpindah dari satu bentuk ke bentuk lainnya
Banyak proses atau kejadian melibatkan perubahan energi dan juga
memerlukan energi. Energi dapat ditransfer dari benda satu ke benda
yang lain melalui berbagai cara. Energi tidak dapat diciptakan
maupun dimusnahkan. Apabila energi telah terlepas dari proses
pembakaran, sebagian energi tidak lagi dalam bentuk yang dapat
digunakan.

5. Komposisi bumi dan atmosfernya dan proses-proses yang terjadi


pada bumi dan atmosfer berpengaruh terhadap permukaan bumi dan
iklim
Radiasi dari matahari memanaskan permukaan bumi dan
menyebabkan terjadinya konveksi di udara dan di lautan, sehingga
terciptalah iklim. Panas dari inti bumi menyebabkan pergerakan
magma bumi yang pada gilirannya menyebabkan pergerakan
lempeng bumi sehingga mengakibatkan terjadinya gunung berapi dan
gempa bumi. Permukaan bumi senantiasa mengalami perubahan
karena pembentukan dan pelapukan batuan.

6. Sistem tata surya merupakan bagian sangat kecil dari triliunan


galaksi di jagat raya
Sistem tata surya terdiri dari matahari, planet, dan benda langit
lainnya yang mengelilingi planet-planet tersebut. Siang dan malam,
dan pergantian musim terjadi karena posisi dan rotasi bumi pada saat

81
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
bumi mengelilingi matahari. Sistem tata surya merupakan bagian
dari galaksi bintang-bintang yang ada di jagat raya yang sangat luas.

7. Organisme tersusun dari sel dan memiliki masa hidup yang


tertentu.
Setiap organisme tersusun oleh satu atau banyak sel. Sel-sel pada
organisme multiseluler terdiferensiasi sesuai dengan fungsinya.
Fungsi-fungsi dasar kehidupan merupakan hasil dari proses yang
terjadi di dalam sel yang menyusun organisme tersebut.
Pertumbuhan merupakan akibat dari pembelahan sel.

8. Banyak organisme mendapatkan sumber energi dan materi dari


organisme lain
Makanan merupakan sumber energi dan materi bagi organisme
untuk menjalankan fungsi-fungsi hidup dan untuk pertumbuhan.
Tumbuhan dan beberapa bakteri dapat menggunakan energi
matahari untuk menyusun molekul makanan. Binatang mendapatkan
energi dengan cara menguraikan makanan sehingga semua binatang
sesungguhnya tergantung pada tumbuhan. Dalam setiap ekosistem
selalu terjadi kompetisi antar species untuk mendapatkan energi dan
berkembang biak.

9. Informasi genetik diturunkan dari satu generasi ke generasi


berikutnya
Informasi genetik tersimpan dalam bentuk DNA. Gen menentukan
perkembangan dan struktur organisme. Pada reproduksi aseksual
(tak kawin), semua gen yang dimiliki anak berasal dari satu induk.
Pada reproduksi seksual (kawin), anak mendapatkan gen setengah
dari induk jantan dan setengah lagi dari induk betina

10. Evolusi menyebabkan terjadinya keanekaragaman organisme,


kelangsungan hidup, dan kepunahan
Semua makhluk hidup yang ada saat ini berasal dari nenek moyang
yang sama, yaitu organisme satu sel. Perubahan terus terjadi karena
keragaman dalam suatu species menyebabkan terjadinya seleksi
sehingga terbentuklah organisme yang paling sesuai dengan kondisi
yang ada. Species yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan mengalami kepunahan.

Kesepuluh materi utama tersebut mestinya diajarkan sejak SD hingga


SMA, hanya saja kedalaman dan keluasannya yang berbeda. Cobalah Anda
kaji apakah ada dari kesepuluh materi utama tadi yang belum tercakup
dalam kurikulum dan belum dibelajarkan di sekolah.

82
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
5.2 Ciri-ciri materi IPA
Sebagaimana diuraikan di bab 2, IPA dapat tersusun dari komponen produk,
proses, dan sikap. Produk IPA memiliki sifat-sifat tertentu, misalnya tentatif
dan subjektif. Bagian ini akan dibahas ciri-ciri materi IPA. Untuk
memperjelas apa yang dimaksud dengan ciri, penulis menggunakan analogi
berikut. Seekor singa memiliki beberapa ciri, antara lain kakinya dua pasang,
taring dan kukunya tajam, dan singa jantan memiliki surai tebal. Singa
memiliki sifat agresif dan teritorial (sangat menjaga wilayahnya). Dengan
analogi tersebut mudah-mudahan Anda paham perbedaan antara sifat dan
ciri pengetahuan ilmiah.
Setiap bentuk pengetahuan memiliki ciri tertentu dan hal itu
membawa konsekuensi pada cara membelajarkannya. Misalnya,
membelajarkan materi yang abstrak tentu berbeda dengan membelajarkan
materi yang konkret. Berikut beberapa ciri materi IPA (White, 1994).
1. Tingkat keabstrakan
Seringkali kita menyatakan abstrak adalah lawan konkret. Tingkat
keabstrakan materi tidak dapat begitu saja dikelompokkan menjadi
abstrak atau konkret sebab keduanya bukanlah sebuah dikotomi
namun lebih merupakan sebuah gradasi. Misalnya, gajah adalah
konkret. Bagaimana dengan bakteri? Bakteri tentu saja konkret, kita
dapat mengamatinya dengan menggunakan mikroskop cahaya
berkekuatan tinggi. Bagaimana dengan virus dan DNA? Virus dan
DNA sesungguhnya juga konkret hanya saja ukurannya sangat kecil
sehingga dengan menggunakan mikroskop cahaya yang paling kuat
sekalipun kita tidak dapat mengamatinya. Hal ini menunjukkan
bahwa “konkret” pun berbeda tingkatannya. Bagaimana dengan
fotosintesis, dapatkah kita mengamatinya dengan mikroskop?
Sekalipun dengan menggunakan mikroskop elektron kita tidak dapat
mengamati fotosintesis sebab fotosintesis merupakan istilah untuk
menggambarkan serangkaian proses pembentukan karbohidrat dari
bahan yang berupa air dan karbon dioksida. Oleh karena itu,
fotosintesis merupakan konsep abstrak yang tidak akan dapat
diamati. Tentu saja kita dapat mengamati produk fotosintesis
(misalnya dihasilkannya amilum) dan beberapa fenomena terkait
fotosintesis (misalnya dihasilkannya oksigen) tetapi tentu saja itu
bukan fotosintesis.
2. Keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari
Ciri ini juga tidak bersifat ya atau tidak tetapi merupakan sebuah
gradasi. Misalnya, pada beberapa bagian materi “pencernaan
makanan”, sangat terkait erat dengan kehidupan sehari hari
contohnya proses mengunyah. Meskipun demikian, beberapa bagian

83
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
yang lain kurang terkait dengan kehidupan sehari-hari, contohnya
enzim-enzim pencernaan. Tentu saja sekalipun enzim kurang terkait
dengan kehidupan sehari-hari namun lebih dikenal dibandingkan
materi “teori atom”.
3. Terminologi atau istilah
Dalam IPA ada beberapa istilah yang juga digunakan dalam
komunikasi sehari-hari, tetapi ada juga istilah yang hanya digunakan
pada pembahasan materi tertentu saja. Misalnya, istilah hambatan
selain digunakan dalam materi listrik juga biasa digunakan dalam
komunikasi sehari-hari. Istilah “hambatan” pada kedua konteks pada
dasarnya bermakna sama, yaitu sesuatu yang mengganggu atau
menghambat atau menghalangi. Dalam konteks umum, hambatan
tidak dapat dihitung, tetapi dalam materi listrik dapat dihitung
dengan cara membagi tegangan dengan kuat arus. Ada juga istilah
yang hanya digunakan dalam pembahasan materi IPA dan tidak
digunakan dalam kehidupan sehari hari, misalnya glikolisis,
metagenesis, dan dekarboksilasi oksidatif sehingga tidak banyak
dikenal oleh siswa.
4. Kompleksitas
Materi memiliki tingkat kompleksitas yang berbeda-beda. Beberapa
materi relatif sederhana, misalnya materi massa jenis sebagaimana
dalam kisah tentang Archimedes. Materi massa jenis hanya
melibatkan konsep massa dan volume. Materi kemagnetan tentu
lebih kompleks karena melibatkan lebih banyak konsep. Materi
kelistrikan lebih kompleks lagi karena melibatkan lebih banyak lagi
konsep.
5. Keterkaitan dengan sosial, budaya, dan agama
Beberapa materi IPA tidak terkait langsung dengan aspek sosial,
budaya, dan agama namun ada materi tertentu yang terkait erat
dengan sosial, budaya dan agama. Misalnya, materi tentang teori
atom, asam dan basa, serta metabolism kurang terkait dengan sosial,
budaya, dan agama sedangkan materi tentang sistem reproduksi dan
lingkungan lebih terkait erat. Di sisi lain ada materi yang sangat
terkait erat dengan sosial, budaya, dan agama, misalnya evolusi,
astronomi, dan rekayasa genetika. Keterkaitan dengan sosial, budaya,
dan agama dapat membawa konsekuensi pada penerimaan atau
penolakan suatu materi.

Materi yang konkret, terkait dengan kehidupan sehari-hari,


menggunakan terminologi yang juga digunakan dalam komunikasi sehari-
hari, serta terkait dengan dengan sosial, budaya, dan agama kemungkinan
sudah banyak tertanam dalam pengetahuan awal siswa walaupun belum
tentu pengetahuan awalnya benar. Oleh karena itu, pada saat akan
mengajarkan materi yang memiliki ciri-ciri tersebut guru harus mengetahui

84
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
apa yang sudah dipahami siswa. Pembahasan tentang bagaimana menggali
pengetahuan awal siswa akan dibahas pada buku berikutnya.

Bacaan lanjutan
Beberapa publikasi hasil penelitian tentang materi pelajaran IPA telah kami
lakukan. Silakan baca tulisan-tulisan berikut.
1. Anam, R.S., Widodo, A., Sopandi, W. (2017). Representation of
Elementary School Teachers on Concept of Heat Transfer.
Journal of Physics: Conference Series 895(1).
2. Anggoro, S., Widodo, A., Suhandi, A. (2017). Pre-service
Elementary Teachers Understanding on Force and Motion.
Journal of Physics: Conference Series 895(1).
3. Anisa, A., Widodo, A., Riandi, & Muslim, M. (2019). Genetics in
socio scientific issues: measuring rebuttal abilities in scientific
argumentation. Journal of Physics: Conference Series, 1280
032002.
4. Hamid, R., Widodo, A., Sopandi, W. (2017). Pattern of Students’
Conceptual Change on Magnetic Field Based on Students’ Mental
Models. AIP Conference Proceedings 1848(1).
5. Muchyar, L. D. H., Widodo, A., & Riandi. (2015). Profil
perubahan Konseptual Siswa pada Materi Kependudukan dan
Pencemaran Lingkungan. Jurnal Pengajaran MIPA, 20(1), 65-
75.
6. Widodo, A., Rochintaniawati, D., & Riandi. (2017). Primary
School Teachers' Understanding of Essential Science Concepts.
Cakrawala Pendidikan, 36(3), 522-527.

85
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
BAB VI
PEMBELAJARAN IPA DAN BERPIKIR

Seorang mahasiswa yang baru saja selesai kuliah menumpang


angkutan umum untuk pulang ke rumah. Ternyata dia satu
satunya penumpang angkutan umum tersebut. Saat itu sedang
hujan sehingga jalanan agak lengang dan kendaraan dapat
melaju agak cepat. Tiba-tiba seseorang dengan pakaian yang
tidak layak pakai menyeberang begitu saja tanpa melihat dan
memedulikan kendaraan yang melaju. Pada saat kendaraan
direm, ternyata kendaraan tidak berhenti seperti yang
diharapkan oleh sopir. Beruntung sopir dapat membelokkan
kendaraan sehingga semua selamat. Sopir berteriak: “Dasar
orang … tidak punya pikiran!” Setelah keadaan membaik sopir
berkata kepada penumpang “Kalau hujan mobil lebih susah
direm, untung saja tadi tidak tertabrak.” Ketika sopir berkata
demikian, terpikir oleh mahasiswa tadi tentang gaya gesek antara
roda dan jalan. Ketiga orang yang terlibat dalam kasus ini
mempunyai pikiran yang berbeda. Penyeberang jalan boleh
dikatakan “tidak berpikir”. Sopir berpikir tentang mobil lebih
sulit direm pada saat hujan meskipun tidak memahami
penjelasannya. Mahasiswa berpikir tentang gaya gesek yang
bekerja pada saat pengereman di jalanan yang basah.

6.1 Kedudukan setiap jenis berpikir


Apabila kita ditanya apakah kemampuan berpikir penting? Hampir
semua orang pasti akan menjawab “Iya”. Kemampuan berpikir diperlukan
oleh setiap orang yang normal setiap saat karena pada dasarnya setiap
kegiatan manusia memerlukan berpikir. Berpikir merupakan proses kognitif
yang terjadi di otak. Apakah semua orang dapat menjalankan proses berpikir
yang sama? Apakah yang menyebabkan seseorang mampu menjalankan
proses berpikir tertentu? Apakah setiap orang memiliki beragam
kemampuan berpikir? Banyak sekali pertanyaan tentang berpikir yang
menuntut kita berpikir.
Beberapa orang sering mengelompokkan kemampuan berpikir ke
dalam kemampuan berpikir tingkat rendah dan kemampuan berpikir tingkat
tinggi. Kemampuan berpikir tingkat rendah digambarkan sebagai jenis

86
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
kemampuan berpikir yang tidak memerlukan proses berpikir yang kompleks,
misalnya menghafal, sedangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
digambarkan sebagai kemampuan berpikir yang menuntut proses berpikir
yang kompleks, misalnya menganalisis. Pengelompokan berpikir menjadi
berpikir tingkat tinggi dan berpikir tingkat rendah sebenarnya masih dapat
diperdebatkan. Coba Anda pikirkan bagaimana menentukan urutan dari
berpikir paling rendah ke berpikir paling tinggi untuk jenis-jenis berpikir
berikut (Gambar 6.1).

Kreatif

Kritis Deduktif

Sistem Induktif
Konver-
gen

Gambar 6.1 Jenis-jenis berpikir

Bagaimana Anda akan meranking jenis-jenis berpikir


tersebut? Penulis yakin tidak mudah bagi Anda untuk meranking jenis-jenis
berpikir tersebut. Mungkin sebagian dari kita terbiasa dengan taksonomi
berpikir menurut Bloom (Anderson et al., 2001; Bloom, Engelhart, Furst,
Hill, & Krathwohl, 1956) yang mengelompokkan berpikir secara berjenjang
dari menghafal hingga mencipta (Gambar 6.2).

Mencipta (Create)

Mengevaluasi (Evaluate)

Menganalisis (Analyze)

Menerapkan (Apply)

Memaham (Understand)

Menghafal (Remember)

Gambar 6.2 Taksonomi berpikir menurut Bloom

87
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Taksonomi berpikir menurut Bloom dirancang untuk
menggambarkan penjenjangan tingkat berpikir dari yang rendah ke yang
tinggi. Menghafal merupakan jenjang berpikir paling rendah sedangkan
mencipta merupakan jenjang berpikir paling tinggi. Betulkah demikian?
Bagaimanakah Anda akan mengategorikan berpikir tingkat rendah
dan berpikir tingkat tinggi? Kita mengenal berpikir menghafal dan berpikir
kreatif. Manakah yang lebih tinggi tingkatannya, berpikir menghafal ataukah
berpikir kreatif? Mungkin Anda akan menyatakan bahwa berpikir kreatif
lebih tinggi tingkatannya dibandingkan berpikir menghafal. Betulkah
demikian? Pada saat kita belajar kimia di sekolah, kita dikenalkan dengan
tabel periodik. Tabel periodik disusun sedemikian rupa sehingga tabel
tersebut sangat bermanfaat. Di tabel tersebut setiap atom selain
dicantumkan nomor atom dan juga disertai dengan informasi massa atom.
Semua informasi dalam tabel periodik ternyata sangat berguna dalam
banyak hal, misalnya untuk mempelajari sifat suatu atom (Gambar 6.3).

Sumber: https://www.pinterest.com/pin/313352086576054278/

Gambar 6.3 Tabel periodik

Apakah Anda termasuk orang yang sanggup menghafal tabel periodik


tersebut? Apakah kesulitannya sehingga banyak dari kita tidak sanggup
menghafal tabel periodik yang hanya satu halaman? Ternyata menghafal
bukanlah tugas yang mudah. Sekalipun menghafal dianggap sebagai proses
kognitif yang rendah, ternyata menghafal tidaklah mudah dilakukan.

88
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Kemampuan menghafal setiap orang ternyata berbeda, demikian juga
kemampuan berpikir kreatif. Seorang yang mampu menghafal dengan baik
belum tentu mampu berpikir kreatif dengan baik, dan begitu juga
sebaliknya.
Menghafal pada dasarnya adalah menarik kembali informasi yang
diterima dan mengeluarkannya dalam bentuk yang sama dengan informasi
awal. Menghafal informasi dalam jumlah sedikit mungkin tidak terlalu
memerlukan proses berpikir yang berat, tetapi untuk menghafal dalam
jumlah yang sangat banyak, otak tentu melakukan suatu proses tertentu yang
membuatnya mampu menghafal informasi yang begitu banyak. Menghafal Al
Quran misalnya, sekalipun Al Quran cukup tebal namun ternyata ada cukup
banyak orang yang hafal Al Quran. Sungguh pun cukup banyak orang yang
hafal Al Quran namun sesungguhnya jauh lebih banyak orang yang tidak
dapat menghafal Al Quran. Apabila menghafal itu mudah, mengapa tidak
semua orang dapat menghafal Al Quran? Walaupun penulis bukan orang
yang hafal Al Quran tetapi penulis sangat yakin untuk menghafal Al Quran
dibutuhkan proses berpikir tertentu di otak orang yang menghafalkannya
yang tidak dimiliki oleh semua orang. Tanpa menguasai kemampuan
tersebut kita mungkin dapat menghafal, tetapi tidak sebanyak orang yang
menguasainya.
Dari ilustrasi dan penjelasan yang telah disampaikan, memang benar
bahwa menghafal tidak menuntut proses berpikir yang sama seperti berpikir
kreatif, namun bukan berarti menghafal adalah berpikir yang lebih rendah
dari berpikir kreatif. Keduanya hanyalah proses berpikir yang berbeda.
Tinggi atau rendah suatu berpikir bukan tergantung pada jenis berpikir akan
tetapi pada proses berpikir yang terjadi pada individunya. Artinya, pada
setiap jenis berpikir ada variasi kemampuan yang berbeda. Tinggi dan
rendah terjadi pada saat seseorang dalam proses berpikir, bukan pada jenis
berpikirnya.
Berdasarkan alasan-alasan yang telah disampaikan, buku ini tidak
mengategorikan berpikir menjadi berpikir tingkat rendah atau berpikir
tingkat tinggi. Penulis memandang setiap jenis berpikir menuntut proses
berpikir yang khas sehingga berpikir tidak dapat dikategorikan tinggi dan
rendah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh salah satu pengembang
Taksonomi Bloom versi lama (Krathwohl, 2002), Taksonomi Bloom yang
baru tidak kaku seperti Taksonomi Bloom versi sebelumnya. Salah satu
alasannya adalah karena jenis berpikir yang satu mungkin overlap dengan
jenis berpikir yang lainnya, sehingga tidak mutlak menjadi syarat untuk jenis
berpikir lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya sulit untuk
menentukan ranking jenis-jenis berpikir. Hal senada juga dikemukakan
Facione (1990) yang menyatakan bahwa belum ada kesepakatan terkait

89
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
hubungan antara berpikir kritis dengan jenis-jenis berpikir lainnya. Ennis
(1993) juga mengatakan hal serupa bahwa jenis-jenis proses berpikir pada
Taksonomi Bloom memang saling berkaitan satu sama lain tetapi tidak
bersifat hirarkis. Dia mencontohkan bahwa evaluasi dan sintesis memang
membutuhkan analis namun sebaliknya analisis juga membutuhkan evaluasi
dan sintesis.
Jenis berpikir dapat dikelompokkan berdasarkan proses yang terjadi
di otak. Berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir sistem, dan jenis-jenis
berpikir yang lainnya menggambarkan proses yang berbeda di otak. Literatur
tentang jenis berpikir menunjukkan banyak ragam pengelompokan berpikir,
namun dalam tulisan ini hanya dipilih beberapa jenis berpikir yang banyak
dikembangkan di sekolah, yaitu jenis berpikir menurut Bloom, berpikir
kritis, dan berpikir kreatif. Walaupun berpikir kritis dan berpikir kreatif
belum banyak dikembangkan di sekolah tetapi keduanya dibahas di buku ini
karena kedua jenis berpikir tersebut sangat penting untuk dikembangkan.

6.2 Jenis berpikir menurut Bloom


Sebagaimana telah disebutkan, taksonomi berpikir Bloom (Anderson et al.,
2001) menyatakan bahwa ada enam jenis berpikir, yaitu menghafal,
memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.
Taksonomi tersebut menyatakan bahwa keenam jenis berpikir ini memiliki
tingkatan yang berbeda, menghafal merupakan level paling rendah
sedangkan mencipta merupakan level tertinggi. Sekali lagi perlu ditekankan
bahwa keenam jenis berpikir tersebut menuntut proses berpikir yang
berbeda, tetapi tidak berarti tingkat berpikirnya berbeda.
1. Menghafal (Remember)
Menghafal adalah proses berpikir untuk menyimpan informasi dalam
memori jangka panjang dan menarik kembali informasi tersebut
pada saat dibutuhkan. Pada proses berpikir menghafal, informasi
yang diterima dan informasi yang ditarik sama persis karena
informasi tersebut tidak diproses lebih lanjut di otak. Bahwa
informasi yang disimpan dalam memori tidak diproses lanjut inilah
yang oleh sebagian orang dijadikan dasar bahwa menghafal
merupakan berpikir tingkat rendah. Penulis justru berpandangan
sebaliknya. Kemampuan untuk mempertahankan informasi agar
tetap apa adanya memerlukan proses berpikir tertentu yang tidak
mudah. Pada umumnya manusia cenderung memproses informasi
dengan informasi lainnya sehingga sulit mempertahankan informasi
yang “asli”. Ada dua jenis menghafal, yaitu mengenali (recognizing)
dan mengingat (recalling).

90
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
a. Mengenali (recognizing) merupakan proses kognitif
menyimpan dan menarik kembali informasi yang telah
tersimpan dalam memori jangka panjang dan
membandingkannya dengan informasi yang baru
b. Mengingat (recalling) merupakan proses menyimpan dan
menarik kembali informasi yang telah tersimpan dalam
memori jangka panjang dengan menggunakan petunjuk yang
ada.
2. Memahami (Understand)
Memahami adalah proses mengonstruksi makna berdasarkan
pengetahuan awal yang telah dimiliki, atau mengintegrasikan
pengetahuan baru ke dalam skema pengetahuan yang telah ada di
otak. Berbeda dengan proses berpikir menghafal, pada proses
berpikir memahami informasi yang diterima mengalami
pemprosesan di otak sehingga informasi yang diterima dan informasi
yang dikonstruksi mungkin berbeda walaupun esensinya sama. Jenis
berpikir memahami mencakup tujuh proses berpikir, yaitu
menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying),
mengklasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik
inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan
menjelaskan (explaining).
a. Menafsirkan (interpreting) merupakan proses berpikir
mengubah informasi dari satu bentuk ke bentuk informasi
yang lainnya, misalnya mengubah dari kata-kata menjadi
grafik atau tabel.
b. Memberikan contoh (exemplifying) merupakan proses
berpikir untuk memperjelas suatu informasi dengan cara
memberikan ilustrasi atau contoh sehingga mudah
dimengerti.
c. Mengklasifikasikan (classifying) merupakan proses berpikir
mengelompokkan berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki.
d. Meringkas (summarizing) merupakan proses berpikir
mengonstruksi suatu pernyataan secara singkat tetapi dapat
mewakili seluruh informasi yang besar
e. Membuat inferensi (inferring) merupakan proses berpikir
menemukan suatu pola dari sejumlah informasi
f. Membandingkan (comparing) merupakan proses berpikir
untuk menemukan persamaan dan perbedaan yang dimiliki
oleh dua objek atau fenomena.

91
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
g. Menjelaskan (explaining) merupakan suatu proses berpikir
mengonstruksi suatu penjelasan dengan menggunakan alur
berpikir sebab dan akibat.
3. Mengaplikasikan (Apply)
Mengaplikasikan merupakan proses menggunakan konsep atau
prosedur yang telah dikuasai guna menyelesaikan suatu tugas atau
masalah. Mengaplikasikan mencakup dua macam proses yaitu
menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing).
1. Menjalankan (executing) merupakan proses berpikir
menjalankan suatu prosedur yang telah dipelajari sebelumnya
dengan langkah-langkah yang sudah ditentukan.
2. Mengimplementasikan (implementing) merupakan proses
berpikir memilih prosedur yang sesuai dalam penyelesaian
tugas atau menggunakan konsep yang telah dipelajari pada
konteks yang berbeda.
4. Menganalisis (Analyze)
Menganalisis adalah proses berpikir menguraikan suatu
permasalahan ke unsur-unsur penyusunnya dan saling keterkaitan
antar unsur-unsur tersebut. Ada tiga jenis proses berpikir
menganalisis, yaitu menguraikan (differentiating), mengorganisir
(organizing), dan menemukan pesan tersirat (attributting).
a. Menguraikan (differentiating) merupakan proses berpikir
menguraikan suatu struktur permasalahan menjadi bagian-
bagian penyusunnya (yang terlibat) berdasarkan relevansi,
fungsi dan urgensinya.
b. Mengorganisir (organizing) merupakan proses berpikir
mengidentifikasi keterkaitan antar unsur yang membentuk
suatu struktur atau permasalahan.
c. Menemukan pesan tersirat (attributting) merupakan proses
berpikir untuk menemukan pesan yang tidak tersurat
sehingga sudut pandang, bias, dan maksud dari suatu bentuk
komunikasi dapat teridentifikasi walaupun hal-hal tersebut
tidak dinyatakan secara jelas.
5. Mengevaluasi (Evaluate)
Mengevaluasi merupakan proses berpikir menilai kelebihan dan
kekurangan suatu produk atau pemikiran berdasarkan kriteria atau
standar tertentu. Ada dua jenis proses mengevaluasi, yaitu
memeriksa (checking) dan mengkritik (critiquing).
1. Memeriksa (Checking) merupakan proses berpikir menguji
konsistensi suatu produk atau cara berpikir berdasarkan
kriteria internal yang melekat pada produk tersebut.

92
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
2. Mengkritik (Critiquing) merupakan proses berpikir menilai
suatu produk atau pemikiran berdasarkan kriteria eksternal.
6. Mencipta(create)
Mencipta merupakan proses berpikir menggabungkan beberapa
unsur menjadi satu kesatuan. Jenis berpikir mecipta mencakup tiga
macam yaitu membuat (generating), merencanakan (planning), dan
memproduksi (producing).
a. Membuat (generating) merupakan proses berpikir
menghasilkan suatu ide atau gagasan
b. Merencanakan (planning) merupakan proses berpikir
menyusun gagasan-gagasan menjadi suatu rencana
c. Memproduksi (producing) merupakan proses berpikir
menghasilkan dan menjalankan rancangan yang telah
dihasilkan

Dalam praktik pendidikan di Indonesia, jenis berpikir sebagaimana


yang dikemukakan oleh Bloom (Anderson et al., 2001; Bloom et al., 1956)
sudah digunakan sejak lama. Kurikulum dan asesmen hasil belajar di
Indonesia pada umumnya juga mengacu pada jenis berpikir menurut
Taksonomi Bloom. Kurikulum 2013 misalnya, mengikuti Taksonomi Bloom
dalam pembagian jenis pengetahuan (pengetahuan faktual, pengetahuan
konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif) serta
jenis berpikir. Rumusan Kompetensi Inti pengetahuan juga mengacu pada
Taksonomi Bloom, misalnya dengan penggunaan kata kerja memahami,
menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi. Rumusan kompetensi yang
mengacu pada taksonomi berpikir menurut Bloom menunjukkan bahwa
tujuan pembelajaran adalah untuk membangun kemampuan berpikir siswa.
Meskipun demikian, tampaknya sering kita lupa tentang hal ini sehingga
menganggap bahwa tujuan pembelajaran hanyalah untuk membelajarkan
materi pelajaran. Tentu saja penguasaan materi pelajaran penting akan
tetapi materi bukanlah tujuan satu-satunya.
Selain jenis berpikir sebagaimana yang dikemukakan oleh Bloom,
sesungguhnya masih ada beberapa jenis berpikir lainnya, misalnya berpikir
sistem, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Jenis-jenis berpikir ini tidak
secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum, walaupun sesungguhnya juga
penting seperti halnya jenis berpikir dalam Taksonomi Bloom. Pada bab ini
disajikan dua jenis saja, yaitu berpikir kritis dan berpikir kreatif.

93
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
6.3 Berpikir kritis

“Slmt 082217xxxx terdaftar di registrasi krt, mdpt


AVANZA, di undi td mlm di ANTV PKL; 23:00. Info klik
www.tsel-berhadiah2015.jimdo.com atau Hub: 0822-
8187-1516”
Pesan singkat ini dikirim oleh +6282386055782

Kutipan di atas merupakan pesan singkat yang pernah penulis


terima. Bagaimanakah reaksi Anda seandainya Anda yang menerima pesan
tersebut? Akankah Anda berbahagia karena mendapatkan hadiah sebuah
mobil? Kemungkinan besar Anda juga pernah mendapatkan pesan serupa
atau pesan-pesan lainnya, misalnya minta dikirim pulsa. Mudah-mudahan
Anda tidak pernah tertipu oleh penipuan seperti itu. Pesan tersebut
merupakan salah satu contoh pesan penipuan yang banyak beredar di
masyarakat.
Di masa pandemi karena covid-19, banyak sekali beredar berita
bohong (hoax) melalui pesan berantai di grup-grup media sosial. Berikut
penulis ambilkan cuplikan salah satu pesan. Supaya pesannya tetap asli,
penulis tidak mengedit kalimat maupun kata-katanya. Seluruhnya
ditampilkan apa adanya seperti dalam pesan yang diterima. Meskipun
demikian, karena pesannya sangat panjang, hanya pesan bagian depan saja
yang dikutip di sini. Barangkali Anda juga pernah menerima pesan tersebut
atau bahkan percaya dengan isi pesan tersebut, cobalah membacanya sekali
lagi dan cermati betul setiap kalimatnya.

Akhirnya ada yg berani bicara kebenaran, di kirimkan


oleh - dr.Yusrita
Tulisan ini dari komunitas IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
Tulisannya ilmiah

JANGAN TERMAKAN PEMBODOHAN BERPIKIRLAH


DENGAN AKAL SEHAT AGAR SELALU SEHAT PULA
SELURUH TUBUHNYA

Terus terang kami paham sebenarnya apa yang terjadi,


hakekatnya udara didunia ini bersih dan sehat, tidak ada
pandemi, tidak ada covid dan tidak ada virus yang
berterbangan yang mematikan, semua itu adalah bentuk
pengelabuan dan pembodohan global !
Contoh negeri Swedia, Korea Utara, Chechnya, Tajikistan
dan sebagian negeri-negeri Islam ex jajahan Soviet

94
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
adalah negeri yang aman sehat semua rakyatnya tidak
ada satupun yang diklaim terkena covid. kok bisa?
Karena negara-negara tersebut tegas menolak keras
himbauan dari WHO, karena bagi negara tersebut ini
adalah 'isu pandemi' bukan 'wabah pandemi', dengan
tujuan mematikan perekonomian dan sosial masyarakat
suatu negara.
Secara LOGIKA saja, pertama bila covid ini disebut
pandemi (wabah virus yang mematikan), tentunya dan
seharusnya orang-orang disekitar kita sudah banyak
yang mati bergelimpangan pula dan berjatuhan di jalan-
jalan, di pasar-pasar, dirumah-rumah mereka sendiri
pada berjatuhan mati seperti yang kita lihat yang terjadi
di wuhan china sana, tidak harus mati di rumah sakit,
karena katanya pandemi?
Masih percayakah yang mati berjatuhan di jalan-jalan di
wuhan china itu adalah karena covid? Ternyata China
RRC telah berhasil membuat pembodohan kepada seluruh
dunia.
Logika kedua, bisa dipikir dengan akal sehat saja kasus-
kasus yang terjadi mengapa orang-orang yang diklaim
'positif' lalu karantina dirumah sendiri (mandiri) 99%
tidak pernah ada satupun korban yang meninggal, betul?
Tapi yang di karantina di rumah sakit pasti banyak dari
teman-teman kita dan saudara kita yang kita cintai
meninggal mereka hanya menjadi korban kematian
justeru saat dirumah sakit.
Mengapa kasus korban kematian covid tidak ada satupun
yang dirumah tapi justeru kematian itu dirumah sakit?
Seseorang yang diklaim 'positif' corona dirumah aman-
aman saja dan sembuh sendiri tapi celakanya yang
diklaim 'positif' yang berada di rumah sakit resikonya
antara hidup dan mati, karena banyak pasien yang
akhirnya pulang 'tinggal nama' di rumah sakit.
Berarti ada apa sebemarnya di balik rumah sakit saat ini,
kenapa berbahaya dan justeru membawa kematian setiap
pasien, ada yang bisa jawab?
Karena di rumah sakit orang-orang yang bisa berhasil
pulang dan sehat kembali disana adalah yang diberi
vitamin-vitamin saja itu tidak berbahaya. Dan penyebab
kematian di rumah sakit modusnya yang terbanyak

95
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
karena pasien yang di suntik vaksin, yang akhirnya
menyebabkan gejala kepala pusing, badan panas
mendadak dan menyebabkan sesak nafas dan akhirnya
meninggal, itu jawabannya paham kan?
Bila virus corona itu katanya pandemi? Atau wabah
mematikan, harusnya secara akal sehat yang namanya
disebut pandemi kematian para korban bukan dan tidak
harus di rumah sakit saja tapi juga di rumah-rumah
mereka sendiri, itu baru namanya benar disebut
'pandemi.' (masih ada sambungannya)

Cobalah Anda jawab pertanyaan-pertanyaan berikut.


• Siapakah dr. Yusrita? Bertugas di manakah dia? Alumni perguruan
tinggi mana?
• Mungkinkah seseorang membuat sebuah tulisan dengan
menuliskan nama orang lain yang dia karang saja seolah sebagai
penulisnya?
• Betulkah negara Swedia, Korea Utara, Chechnya, Tajikistan tidak
terpapar covid-19?
• Betulkah penderita covid-19 yang isolasi di rumah sendiri
(mandiri) 99% tidak pernah ada satupun korban yang meninggal?
• Mana yang lebih Anda percaya, lembaga resmi atau seseorang
yang bahkan Anda tidak tahu siapa dia?

Pesan berantai tersebut jelas-jelas berita bohong yang menyesatkan


dan sudah dibantah oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi
resmi dokter di Indonesia. Bukti kebohongan pesan berantai tersebut dan
bantahan tentang pesan tersebut dapat dibaca di tautan berikut:
https://covid19.go.id/p/hoax-buster/salah-tulisan-ini-dari-kawan-kawan-
komunitas-idi-ikatan-dokter-indonesia
Anda mungkin tidak termasuk orang yang tertipu dengan berita
bohong tersebut, tetapi ternyata ada banyak orang lain yang tertipu dengan
berita bohong tersebut atau berita bohong lainnya. Mengapa orang dapat
mudah tertipu oleh berita bohong? Salah satu keterampilan penting yang
harus dimiliki oleh setiap orang yang bisa menyelamatkan dari penipuan
tersebut adalah keterampilan berpikir kritis.
Ada beberapa versi jenis berpikir kritis yang dikemukakan oleh para
ahli namun setelah mengkaji beberapa sumber (misalnya Bowell & Kemp,
2002; Ennis, 1993, 1996, 2015; Facione & Gittens, 2016; Inch & Tudor, 2015)
penulis memutuskan untuk memilih tiga versi saja. Sumber pertama adalah
berpikir kritis sebagaimana yang dikemukakan Facione (1990) dan versi
lebih barunya Facione dan Gittens (2016), sumber kedua adalah berpikir

96
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
kritis menurut Ennis (1996, 2015) dan yang ketiga berpikir kritis menurut
Inch dan Tudor (2015). Penekanan diberikan terhadap berpikir kritis
menurut Facione dan Ennis karena dua alasan. Pertimbangan pertama,
kedua pakar tersebut menyatakan bahwa berpikir bukan hanya aspek
keterampilan namun juga disposisi (disposition). Istilah “disposisi”
diterjemahkan dari istilah Bahasa Inggris “disposition” yang menurut
Cambridge Dictionary
(https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/disposition) disposisi
maknanya adalah “the particular type of character that a person naturally
has” (tipe karakter yang dimiliki seseorang). Walaupun dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia tidak ada makna yang setara betul dengan istilah
“disposition” dalam Bahasa Inggris tetapi untuk memudahkan pembaca
dalam merujuk sumber aslinya maka dalam buku ini penulis memilih
menggunakan istilah “disposisi” yang maknanya kurang lebih setara dengan
karakter. Disposisi merupakan bagian penting dari berpikir kritis sebab
keterampilan berpikir kritis yang tanpa disertai disposisi tidak akan utuh.
Oleh karena itu, membangun kemampuan berpikir tidak boleh hanya fokus
pada keterampilan berpikirnya saja tetapi juga harus disertai dengan
disposisinya.
Pertimbangan kedua, baik Facione maupun Ennis memberikan
indikator yang rinci terkait keterampilan berpikir kritis maupun disposisi
kritis sehingga lebih mudah untuk digunakan. Selain itu tulisan mereka
banyak dirujuk oleh pendidik dan guru di Indonesia sehingga diharapkan
lebih mudah dalam dipahami. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
baik Facione maupun Ennis sama-sama menyatakan bahwa berpikir kritis
mencakup keterampilan berpikir kritis (kognitif) dan disposisi (afektif)
sehingga pembahasan di buku ini juga dibagi menjadi keterampilan berpikir
kritis dan disposisi kritis.

6.3.1 Keterampilan berpikir kritis


Apa itu berpikir kritis? Ada banyak definisi berpikir kritis yang dikemukakan
para pakar. Ennis mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir reflektif
yang fokusnya untuk menentukan apakah sesuatu itu dapat dipercaya atau
tidak (Ennis, 2015, p. 32). Sementara itu Facione (Facione & Gittens, 2016, p.
27) lebih mengikuti definisi yang dikemukakan oleh Asosiasi Filosofi
Amerika yang mendefinisikan berpikir kritis sebagai penilaian (judgement)
seseorang yang akan menghasilkan interpretasi, analisis, evaluasi, dan
inferensi yang didasarkan pada bukti, konsep, metodologi, kriteria, dan
konteks. Perbandingan indikator berpikir kritis menurut Facione (Facione,
1990) dan Facione dan Gittens (2016), Ennis (1993, 1996, 2015), serta Inch
dan Tudor (2015) disajikan pada Tabel 6.1.

97
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Tabel 6.1 Perbandingan indikator berpikir kritis

Facione (1990), Ennis (1993, 1996, 2015) Inch & Tudor (2015)
Facione & Gittents
(2016)
A. Interpretasi A. Klarifikasi dasar A. Menilai
1. Mengategorikan 1. Fokus pada satu pertanyaan 1. Apa pentingnya?
2. Menguraikan 2. Menganalisis argumen 2. Apa tujuannya?
signifikansi 3. Menanya atau menjawab untuk 3. Informasi apa yang
3. Mengklarifikasi klarifikasi dibutuhkan?
suatu makna 4. Memahami dan menggunakan grafik B. Mengeksplorasi
B. Analisis grafik atau matematika sederhana 1. Konsep apa yang
1. Menilai suatu ide B. Dasar pengambilan keputusan dominan?
2. Mendeteksi 1. Menilai kredibilitas sumber 2. Apa asumsi yang
argumen 2. Mengamati dan menilai laporan mendasarinya?
3. Menganalisis hasil pengamatan 3. Sudut pandang
argumen 3. Menggunakan pengetahuan yang apa saja yang
mencakup terlibat
C. Evaluasi a. Latar belakang pengetahuan,
1. Menilai klaim Termasuk dari internet C. Mengevaluasi
2. Menilai argumen b. Pengetahuan tentang situasi 1. Apa yang dapat
D. Inferensi c. Kesimpulan yang pernah dibuat kita simpulkan
1. Mencari bukti sebelumnya dari eksplorasi
2. Memikirkan C. Inferensi yang dilakukan?
beberapa 1. Membuat deduksi dan menilai 2. Apa implikasi yang
alternatif deduksi dapat terjadi?
3. Menarik 2. Membuat dan menilai inferensi D. Mengintegrasi-
kesimpulan induktif dan argumen, yang kan
mencakup
E. Penjelasan a. Induksi matematis
1. Menyampaikan b. Argumen dan inferensi untuk
hasil Meningkatkan kualitas penjelasan
2. Menjustifikasi 3. Membuat dan menilai judgement
prosedur D. Klarifikasi lanjut
3. Menyajikan 1. Mendefinisikan istilah dan menilai
argumen definisi
F. Pengaturan 2. Menangani pengelakan secara tepat
diri 3. Menemukan dan menilai asumsi
1. Penilaian diri yang tidak dinyatakan
2. Koreksi diri 4. Berpikir pengandaian
5. Menangani predikat/label kesalahan
6. Menyadari dan memeriksa kualitas
berpikirnya sendiri (metakognitif)
7. Menangani sesuatu secara tepat
sesuai situasi
E. Keterampilan tambahan
Menggunakan strategi retorika

Pada bagian berikut akan diuraikan secara lebih rinci indikator-indikator


yang dikemukakan masing-masing ahli.

98
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
6.3.2 Berpikir kritis menurut Facione
Sebagaimana disebutkan, Facione menyatakan ada enam keterampilan
utama. Keterampilan utama selanjutnya dirinci lebih lanjut menjadi
beberapa sub keterampilan.
1. Interpretasi: Memahami dan menyatakan makna atau signifikansi
beragam pengalaman, situasi, data, penilaian, aturan dan prosedur.
a. Kategorisasi: Memahami atau merumuskan kategori,
perbedaan, dan kerangka berpikir untuk memahami dan
mendeskripsikan informasi.
b. Menguraikan signifikansi: menganalisis kandungan isi, motif,
dan tujuan suatu informasi yang disampaikan dalam berbagai
bentuk komunikasi, misalnya grafik, gambar, atau tanda.
c. Mengklarifikasi makna: Memparafrase atau membuat
informasi menjadi lebih jelas melalui pendeskripsian, analogi,
gambar, atau cara-cara yang lainnya.
2. Analisis: Mengidentifikasi kesesuaian antara apa yang dinyatakan
dan apa yang sesungguhnya diinginkan dari pernyataan yang
disampaikan.
a. Menilai ide: Menentukan peran berbagai ekspresi dalam
argumen, mendefinisikan istilah, membandingkan beberapa
ide, konsep, dan pernyataan.
b. Mendeteksi argumen: Menentukan apakah suatu pernyataan
mendukung atau menentang klaim atau pendapat yang ada.
c. Menganalisis argumen: Mengidentifikasi maksud dari suatu
kesimpulan; Mengidentifikasi apakah premis dan alasan yang
diberikan mendukung kesimpulan; Mengidentifikasi struktur
argumen.
3. Evaluasi: Menilai kredibilitas sebuah pernyataan dan menilai
kekuatan logika apa yang digunakan.
a. Menilai klaim: Mengenali faktor-faktor yang relevan untuk
menilai tingkat kredibilitas informasi; Menilai relevansi
pertanyaan, prinsip atau informasi; Menilai apakah suatu
bukti dan pandangan layak diterima atau tidak.
b. Menilai argumen: Menilai apakah sebuah argumen
didasarkan pada asumsi yang kuat atau tidak dan kemudian
menentukan apakah hal ini berpengaruh terhadap kekuatan
argumen; Menilai apakah tambahan informasi mungkin akan
menambah kekuatan atau kelemahan argumen.

99
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
4. Inferensi: Mengidentifikasi dan memastikan bahwa unsur-unsur
yang dibutuhkan untuk menarik kesimpulan memang
ada; Mempertimbangkan informasi yang relevan dan memikirkan
konsekuensi dari data, pernyataan, atau bukti yang ada.
a. Mencari bukti: Mengenali premis yang membutuhkan bukti
pendukung dan merumuskan strategi untuk mencari
informasi yang dapat memberikan dukungan
tersebut; Menilai apakah dibutuhkan informasi tambahan
untuk memutuskan apakah suatu pernyataan dapat diterima.
b. Memikirkan alternatif-alternatif: merumuskan bermacam
alternatif untuk menyelesaikan masalah; membuat dugaan
tentang konsekuensi yang mungkin terjadi dari suatu
keputusan; merancang beberapa rencana untuk mencapai
tujuan; membuat beberapa dugaan dan memperkirakan
konsekuensi dari suatu keputusan.
c. Menarik kesimpulan: Menggunakan metode inferensi yang
sesuai untuk menentukan posisi atau pendapat; Menggunakan
bermacam penalaran, misalnya penalaran ilmiah, penalaran
matematis; Menentukan kesimpulan mana yang kuat sehingga
harus diterima dan mana yang lemah sehingga harus ditolak .
5. Penjelasan: Menyatakan hasil penalaran seseorang; Menjustifikasi
bahwa penalaran didasarkan pada bukti, konsep, metodologi, dan
kriteria yang sesuai.
a. Menyampaikan hasil: Menghasilkan pernyataan, deskripsi,
atau representasi hasil penalaran seseorang secara akurat
b. Menjustifikasi prosedur: Menyajikan bukti, konsepsi,
metodologi, dan kriteria yang digunakan seseorang dalam
menyusun interpretasi atau analisis sehingga dapat
dievaluasi dan dapat diperbaiki kekurangannya.
c. Menyajikan argumen: Memberikan alasan mengapa
menerima suatu klaim; Menjelaskan penolakan terhadap
metode, konsepsi, atau bukti yang disampaikan kepadanya
6. Pengaturan diri: Kesadaran diri untuk memantau aktivitas
kognitifnya
a. Penilaian diri: Melakukan refleksi terhadap penalarannya;
membuat penilaian diri secara objektif dan hati-hati; Menilai
apakah pemikirannya dipengaruhi oleh keterbatasan
pengetahuan yang dimilikinya.
b. Koreksi diri: Manakala hasil penilaian diri menunjukkan
bahwa ada kesalahan pada dirinya, dia dapat merancang
langkah-langkah untuk memperbaikinya

100
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
6.3.3 Berpikir kritis menurut Ennis
Sebagaimana disajikan pada Tabel 6.1, Ennis membagi keterampilan berpikir
kritis menjadi empat keterampilan utama (klarifikasi dasar, dasar
pengambilan keputusan, inferensi, dan klarifikasi lanjut) serta keterampilan
tambahan. Masing-masing keterampilan utama terdiri dari beberapa sub
keterampilan.
1. Klarifikasi dasar
Keterampilan ini terdiri dari empat jenis keterampilan berpikir
berikut.
a. Fokus pada satu pertanyaan
Keterampilan ini mencakup kemampuan untuk
mengidentifikasi dan merumuskan pertanyaan;
Mengidentifikasi atau merumuskan kriteria untuk menilai
kemungkinan jawaban, dan senantiasa memikirkan
pertanyaan dan situasi yang dihadapi.
b. Menganalisis argumen
Keterampilan ini mencakup kemampuan mengidentifikasi
kesimpulan, mengidentifikasi alasan atau premis,
mengidentifikasi asumsi sederhana, mengidentifikasi dan
menangani hal-hal yang tidak relevan, dan menentukan
struktur sebuah argumen misalnya dengan menggunakan
diagram, dan meringkas.
c. Menanya atau menjawab untuk klarifikasi
Keterampilan ini mencakup kemampuan bertanya untuk
memperjelad, misalnya bertanya “Mengapa?”, “Apa maksud
yang ingin Anda sampaikan?” “Apa yang Anda maksudkan
dengan…?”, “Apa contohnya?”, “Apa yang bukan
contohnya?”, “Bagaimana hal itu diterapkan pada kasus
ini?”, “Perbedaan apa yang akan terjadi?”, “Apa buktinya?”
dan “Apakah maksud Anda demikian…?”
d. Memahami dan menggunakan grafik atau matematika
sederhana
Keterampilan ini mencakup keterampilan membaca grafik,
tabel, dan diagram; Kemampuan melakukan dan
memahami perhitungan matematis sederhana; dan
Kemampuan memahami konsep korelasi, standar deviasi dan
signifikansi dalam statistika.
2. Dasar untuk pengambilan keputusan
Keterampilan ini terdiri dari tiga jenis keterampilan berpikir berikut.
a. Menilai kredibilitas sumber dengan melihat keahliannya, ada
tidaknya konflik kepentingan, kesesuaian dengan sumber lain,

101
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
reputasi, penggunaan prosedur yang sesuai, resiko dari
reputasinya, kemampuan memberikan alasan, dan kehati-
hatian.
b. Mengamati dan menilai laporan hasil pengamatan. Kriteria
yang perlu diperhatikan yaitu inferensi yang dilakukan
minimal, waktu antara pengamatan dan pelaporan
singkat, dilaporkan sendiri oleh pengamatnya dan bukan oleh
orang lain, ketersediaan catatan, kemungkinan adanya
penguatan, akses yang baik, penggunaan teknologi dengan
benar, dan kepuasan pihak pengamat.
c. Menggunakan pengetahuan yang tersedia yang mencakup
latar belakang pengetahuan (termasuk yang dapat diperoleh
dari internet), pengetahuan tentang situasi, dan pengetahuan
tentang kesimpulan yang pernah diambil.
3. Inferensi
Keterampilan ini terdiri dari tiga jenis keterampilan berpikir berikut.
a. Membuat deduksi dan menilai deduksi. Keterampilan ini
mencakup penguasaan kriteria dasar deduksi, logika
kelompok, logika pengandaian, interpretasi logika
terminologi, dan penalaran deduktif yang benar.
b. Membuat dan menilai inferensi induktif dan argumen.
Keterampilan ini mencakup kemampuan membuat
generalisasi dan kemampuan menyusun hipotesis dan
kesimpulan yang bersifat memberikan penjelasan.
c. Membuat dan menilai judgement. Keterampilan ini mencakup
kemampuan membuat judgement yang dalam membuatnya
memperhatikan fakta, konsekuensi dari penerimaan atau
penolakan suatu judgement.
4. Klarifikasi lanjut
Keterampilan ini terdiri dari tujuh jenis keterampilan berpikir
berikut.
a. Mendefinisikan istilah dan menilai definisi, yang mencakup
kemampuan menggunakan tiga kriteria sebuah definisi, yaitu
bentuk definisi (misalnya sinonimnya, klasifikasinya, dan
bentuk operasionalnya), kedudukan definisi (laporan,
pemaknaan, atau posisi), dan isi sebuah definisi (situasi di
mana definisi tersebut digunakan).
b. Menangani pengelakan secara tepat, baik pengelakan yang
disengaja maupun yang tidak disengaja.
c. Menemukan dan menilai asumsi yang tidak dinyatakan
(kadang asumsi digunakan secara tidak sadar)

102
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
d. Berpikir pengandaian, yaitu berpikir seperti cara berpikirnya
pihak yang menolak atau tidak setuju namun tetap menjaga
agar pikirannya tidak terpengaruh oleh hal tersebut.
e. Menangani predikat/label kesalahan. Dalam argumentasi
seringkali pihak yang berseberangan menggunakan
predikat/label tertentu untuk menjatuhkan pihak lawan. Oleh
karena itu, diperlukan kemampuan untuk menggunakan,
mengenali, dan merespon pemberian predikat tersebut
dengan tepat.
f. Menyadari dan memeriksa kualitas berpikirnya sendiri
(metacognitive)
g. Menangani sesuatu secara tepat sesuai situasinya, antara lain
dengan mengikuti langkah-langkah pemecahan masalah
(problem solving) dan menggunakan strategi yang tepat.
5. Menangani strategi retorika
Strategi retorika sangat penting dalam berpikir kritis agar berpikir
kritis tetap persuasif. Di sisi lain perlu juga menyadari strategi
retorika yang digunakan pihak lain agar kita tidak terjebak dengan
retorika mereka.

6.3.4 Berpikir kritis menurut Inch dan Tudor


Inch dan Tudor (2015) tidak secara khusus mengelaborasi komponen
berpikir kritis, tetapi mereka menyatakan bahwa proses berpikir kritis terjadi
melalui sebuah siklus yang terdiri dari empat tahapan, yaitu menilai,
mengeksplorasi, mengevaluasi dan mengintegrasikan.
1. Menilai
Pada tahap ini kita mengidentifikasi masalah dan mencoba
menemukan informasi yang relevan. Pertanyaan utama pada tahap
ini adalah apa perlunya, untuk apa, dan informasi apa yang
dibutuhkan.
2. Mengeksplorasi
Pada tahap ini kita menguji interpretasi dan saling keterkaitan antar
hal yang ada. Tahap ini juga mencakup eksplorasi terhadap asumsi,
bias, dan pandangan lain yang mempengaruhi pemahaman kita
tentang hal sedang dibahas. Pertanyaan utama pada tahap ini adalah
konsep apa yang dominan, asumsi apa yang mendasarinya,
dan sudut pandang apa saja yang terlibat.
3. Mengevaluasi
Pada tahap ini kita menilai kualitas informasi dan saling keterkaitan
antara solusi dan faktor yang memengaruhinya, misalnya bias.
Berdasarkan hasil sintesis tersebut dilakukan evaluasi terhadap cara

103
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
penyelesaian masalah yang ada. Pertanyaan utama pada tahap ini
adalah apa yang dapat dimaknai dari hasil eksplorasi dan apa
implikasi yang mungkin terjadi.
4. Mengintegrasikan
Tahap terakhir ini mencakup memilih alternatif yang paling sesuai,
menilai efektivitasnya, dan mengembangkan strategi untuk lebih
memahami dan mengevaluasi efektivitas solusi tersebut. Langkah ini
akan menuntun kembali ke langkah pertama, sehingga terbentuklah
siklus.

Dari uraian ketiga versi berpikir kritis terlihat ada beberapa


persamaan namun juga ada sejumlah perbedaan. Penulis tidak bermaksud
melakukan sintesis terhadap indikator-indikator berpikir kritis yang ada.
Meskipun demikian, untuk membantu pembaca memahami bagaimana
indikator-indikator tersebut terkait satu sama lain, berikut disajikan bagan
keterkaitan antara ketiganya (Gambar 6.4). Sebagaimana dinyatakan dalam
definisi yang dikemukakan Ennis (2015), berpikir kritis tujuannya adalah
untuk menentukan apakah kita akan menerima atau menolak suatu
informasi. Secara sederhana ada tiga tahap untuk membuat keputusan, yaitu
menilai informasi, memproses, dan memutuskan.

Informasi Pemprosesan Keputusan


masuk
Facione
A. Interpretasi B. Analisis E. Penjelasan
C. Evaluasi
D. Inferensi
F. Pengaturan diri (self regulation)
Ennis
A. Klarifikasi dasar B. Dasar pengambilan E. Keterampilan
keputusan tambahan
C. Inferensi
D. Klarifikasi lanjut
Inch & Tudor
A. Menilai B. Mengeksplorasi D. Mengintegrasikan
C. mengevaluasi
Gambar 6.4 Proses berpikir kritis

Dari Gambar 6. 4 terlihat bahwa sesungguhnya ada kesesuaian


indikator-indikator berpikir kritis yang disampaikan dalam oleh Facione,
Ennis, dan Inch. Berikut elaborasi masing-masing tahap.

104
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
1. Tahap informasi masuk
Pada tahap ini kita tidak begitu saja menerima informasi tersebut
tetapi harus berusaha memahami dan menilai informasi tersebut.
Untuk dapat memahami informasi tersebut kita harus memahami
istilah dan cara berpikir yang digunakan. Setelah berhasil dipahami,
langkah selanjutnya adalah menilai apakah istilah dan cara berpikir
yang digunakan benar.
2. Tahap pemrosesan informasi
Pada tahap ini kita mengolah informasi yang kita terima. Kita harus
secara kritis menganalisis cara berpikir, argumen, dan kekuatan
argumen yang digunakan. Apakah cara berpikirnya logis dan
konsisten? Apakah argumennya didukung oleh data yang valid? Pada
tahap ini kita juga perlu mengidentifikasi maksud dan tujuan
informasi tersebut, baik yang dinyatakan maupun maksud yang
mungkin tersembunyi.
3. Tahap keputusan
Apabila semua proses tersebut telah kita lakukan dengan penuh
kehati-hatian, barulah kita dapat mengambil keputusan untuk
menerima atau menolaknya. Apapun keputusannya harus
disampaikan dengan bijak sehingga pihak yang mungkin
berseberangan dapat mempertimbangkan pendiriannya tanda merasa
direndahkan.
Berpikir kritis sangat bermanfaat bagi siswa baik semasa sekolah
maupun setelah mereka menyelesaikan sekolah. Di masa sekolah, berpikir
kritis membantu anak untuk memperjelas pemahaman mereka terhadap
materi pelajaran. Di masa setelah menamatkan sekolah, berpikir kritis
membantu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat dan juga untuk di
pekerjaan. Sebagaimana disebutkan di bagian awal bab ini, selain
keterampilan berpikir kritis, ada hal lain yang juga perlu dikembangkan,
yaitu disposisi kritis. Tidak seperti berpikir kritis yang sudah banyak diteliti
dan dikembangkan, disposisi kritis masih sangat jarang diteliti dan
dikembangkan dalam pendidikan di Indonesia.

6.3.5 Disposisi kritis


Tidak seperti berpikir kritis yang lebih mudah diukur, disposisi lebih sulit
diukur karena disposisi tidak terlihat. Dalam kehidupan sehari-hari sering
kita mendengar ucapan bahwa sifat asli seseorang baru terlihat ketika dalam
kondisi yang tidak menyenangkan atau situasi yang tidak diharapkan.
Disposisi kritis sesungguhnya dapat terlihat ketika seseorang menghadapi
sesuatu yang baru, tidak harus sesuatu yang tidak menyenangkan, misalnya
ada berita baru.

105
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Indikator disposisi kritis menurut Facione (1990) dan Ennis (2015)
dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 6.2).
Tabel 6.2 Disposisi orang dengan kemampuan berpikir kritis yang baik

Facione (1990) Ennis (2015)


A. Pendekatan dalam kehidupan
1 Memiliki rasa ingin tahu 1 Mencari dan memberikan
2 Selalu berusaha agar tetap pernyataan atau pertanyaan
berpengetahuan 2 Mencari dan memberikan
3 Selalu siap menggunakan alasan yang jelas
kemampuan berpikir 3 Berusaha agar senantiasa
kritisnya berpengetahuan
4 Percaya diri dengan 4 Menggunakan sumber-
kemampuannya bernalar sumber dan pengamatan
5 Memiliki pemikiran yang yang terpercaya
terbuka 5 Memperhatikan situasi
6 Fleksibel dalam secara menyeluruh
mempertimbangkan alternatif 6 Senantiasa menjaga agar
dan opini masalah utama tetap dalam
7 Memahami opini orang lain konteksnya
8 Adil dalam menilai penalaran 7 Siap dengan alternatif lain
9 Jujur dalam menghadapi bias, 8 Memiliki pikiran yang
prasangka, dan stereotip terbuka
10 Bijak dalam menerima, a. Sungguh-sungguh
membuat, dan mengubah memperhatikan
penilaian sudut pandang yang lain
11 Bersedia mempertimbangkan b. Tidak memberikan
ulang dan merevisi judgement manakala bukti
pandangannya dan alasannya tidak
B. Pendekatan terhadap masalah mencukupi
khusus 9 Mengambil posisi dan
1 Jelas dalam mengajukan mengubah posisi manakala
pertanyaan atau keberatan bukti dan alasannya
2 Teratur dalam bekerja mencukupi
3 Tekun dalam mencari informasi 10 Berusaha untuk selalu akurat
4 Masuk akal dalam memilih dan 11 Selalu berusaha mencari
menetapkan kriteria kebenaran
5 Hati-hati dalam memfokuskan 12 Menggunakan kemampuan
perhatian berpikir kritisnya dan
6 Tidak mudah menyerah disposisinya
7 Akurat dan teliti

Disposisi orang yang berpikir kritis menurut Facione dan Ennis


sesungguhnya banyak kesamaannya. Apabila dikaji secara lebih mendalam

106
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
lagi, disposisi orang yang berpikir kritis sangat relevan dengan sikap ilmiah
sebagaimana dibahas di Bab 2, misalnya rasa ingin tahu, jujur, terbuka, teliti,
membuat pernyataan berbasis bukti, dan pantang menyerah. Kritis memang
salah satu sikap ilmiah penting dalam IPA.

6.4 Berpikir kreatif


Mungkin ada di antara kita yang pernah “terpaksa” memotong foto untuk
dijadikan pas photo dengan ukuran tertentu, misalnya 3 cm x 4 cm guna
ditempelkan di kartu identitas. Apabila saat itu hanya tersedia sebuah
gunting, bagaimana Anda akan mengukurnya? Tentu saat itu kita berharap
ada penggaris.

A B

Gambar 6.5 Inovasi pada kelengkapan gunting

Seandainya gunting yang Anda miliki adalah gunting yang dilengkapi dengan
ukuran seperti (gunting B) tentu Anda tidak perlu bersusah payah
memikirkan penggaris bukan? Menurut Anda manakah gunting yang lebih
inovatif?
Pernahkah Anda menggunting sisi kertas agar menghasilkan pola
tertentu yang indah? Dengan menggunakan gunting A dan gunting B Anda
mungkin dapat membuat potongan kertas dengan pola seperti pada Gambar
6.6. Berapa lama kira-kira waktu yang Anda butuhkan untuk membuat
potongan dengan pola seperti itu?

107
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Gambar 6.6 Hasil potongan kertas dengan menggunakan gunting

Anda membutuhkan waktu yang relatif lama bukan untuk


menghasilkan bola potongan seperti pada Gambar 6.6?. Bagaimana kalau
disediakan gunting seperti pada Gambar 6.7, dapatkah Anda melakukannya
dengan lebih cepat? Anda pasti dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut jauh
lebih cepat sebab mata gunting memang sudah dirancang sedemikian rupa
sehingga ketika Anda menggunting kertas, potongannya akan langsung
menghasilkan pola seperti pada Gambar 6.6.

Gambar 6.7 Gunting pemotong dengan pola

Pernahkah Anda memikirkan fitur lain yang perlu dimiliki gunting


sehingga memudahkan kerja Anda atau menghasilkan kualitas hasil yang
lebih baik? Fitur apakah itu dan mengapa fitur itu sebaiknya ada?
Bagaimanakah desainnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang

108
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
mendorong kita untuk terus berinovasi dan menghasilkan karya-karya baru.
Tanpa adanya masalah dan tantangan seperti itu, tidak akan ada temuan
baru dan teknologi baru.
Kita sering menggunakan istilah kreativitas dan kreatif. Kreativitas
berasal dari Bahasa Inggris “creativity” Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) kata “kreativitas” adalah kata benda yang artinya
kemampuan untuk mencipta; daya cipta atau perihal berkreasi. Kata
“kreatif” merupakan kata sifat yang artinya memiliki daya cipta; memiliki
kemampuan untuk menciptakan (https://kbbi.web.id/kreativitas).
Salah seorang tokoh di bidang kreativitas yang banyak dijadikan
rujukan adalah Torrance. Torrance (1977) mendefinisikan kreativitas sebagai
sebuah proses mengidentifikasi masalah, merumuskan ide atau hipotesis,
menguji dan memodifikasi hipotesis, dan mengomunikasikan hasilnya.
Sebagai proses, kreativitas merupakan akan menghasilkan suatu produk baik
yang berbentuk verbal atau non verbal, abstrak ataupun konkret. Seorang
yang kreatif dalam dirinya tentu terdapat pikiran yang kreatif dan karakter
(disposisi) kreatif.

6.4.1 Keterampilan berpikir kreatif


Sebagaimana pembahasan tentang berpikir kritis, dalam buku ini juga akan
dibahas keterampilan berpikir kreatif dan disposisi kreatif. Torrance (1977)
menyatakan bahwa ada enam indikator utama kemampuan berpikir kreatif,
yaitu sensitivitas terhadap masalah (sensitivity to problems), kelancaran
(fluency), fleksibilitas (flexibility), orisinalitas (originality) dan elaborasi
(elaboration), dan redefinisi (redefinition). Indikator sensitivitas terhadap
masalah dan redefinisi (redefinition) jarang digunakan dalam tes-tes untuk
mengukur keterampilan berpikir kritis.
1. Sensitivitas terhadap masalah
Sensitivitas terhadap masalah merupakan kemampuan untuk
menemukan masalah. Masalah ada banyak namun seringkali kita
tidak menyadari bahwa itu adalah masalah. Seorang yang kreatif dia
sangat sensitif terhadap masalah sehingga dapat memikirkan solusi
terhadap permasalahan tersebut. Tanpa kesadaran adanya masalah
tentu tidak akan dipikirkan solusinya. Oleh karena itu, kemampuan
menemukan masalah sangat penting dan merupakan bagian dari
keterampilan berpikir kreatif. Sebagaimana dibahas di Bab 2, rasa
ingin tahu merupakan sikap penting agar kita sensitif terhadap
masalah. Sebagai contoh, berikut disajikan ilustrasi beberapa usaha
yang kita lakukan untuk mencegah kita dari gigitan nyamuk. Kita
yakin sudah lama nyamuk ada di Indonesia buktinya dahulu di
Indonesia banyak kasus malaria, chikungunya dan demam berdarah

109
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
yang ketiganya disebarkan oleh nyamuk. Meskipun nyamuk sudah
banyak menimbulkan masalah bagi warga Indonesia, tetapi sedikit
inovasi yang dihasilkan oleh warga Indonesia terkait pengendalian
agar tidak digigit nyamuk. Sebagian besar obat pembunuh dan
pencegah gigitan nyamuk justru dihasilkan oleh negara lain yang
belum tentu jumlah nyamuknya sebanyak di Indonesia.
2. Kelancaran (fluency)
Kelancaran adalah kemampuan untuk menghasilkan ide yang
banyak. Semakin kreatif seseorang dia semakin banyak ide
dimilikinya. Misalnya, ketika dihadapkan dengan suatu
permasalahan dia dapat memberikan banyak solusi. Contoh, ketika
seseorang dihadapkan pada tantangan pada bagaimana cara agar kita
tidak digigit nyamuk, seorang yang kreatif dapat memikirkan banyak
ide, misalnya menggunakan beragam ramuan pengusir nyamuk atau
menggunakan jaring pelindung nyamuk.
3. Fleksibilitas (flexibility)
Fleksibilitas adalah kemampuan untuk menghasilkan beragam ide
atau menggunakan bermacam cara. Kelancaran lebih mengukur
berapa banyak ide yang dihasilkan terlepas dari apakah ide tersebut
bervariasi atau relatif mirip. Fleksibilitas lebih fokus pada keragaman
ide yang dihasilkan. Pada contoh tentang bagaimana agar kita tidak
digigit nyamuk misalnya, beberapa orang mungkin menghasilkan ide
dalam jumlah yang sama. Orang yang kreatif bukan sekedar memiliki
banyak ide tetapi idenya juga sangat beragam. Seseorang mungkin
menghasilkan banyak ide untuk mencegah agar kita tidak digigit
nyamuk tetapi semua idenya tentang penggunaan ramuan tertentu
untuk mengusir nyamuk sedangkan orang yang lebih kreatif
menggunakan cara yang lebih bervariasi, bukan hanya penggunaan
ramuan.
4. Orisinalitas (originality)
Orisinalitas adalah kemampuan menghasilkan ide yang benar-benar
baru, berbeda, dan belum ada sebelumnya. Sering kita menemukan
ide atau produk yang membuat kita kagum karena benar-benar baru
dan di luar kebiasaan sehingga kita dalam hati berkata, “betul, luar
biasa tidak terpikir oleh kita!” Dalam contoh tentang cara agar kita
tidak digigit nyamuk misalnya, semakin mirip suatu ide dengan cara-
cara yang sekarang sudah ada berarti semakin kurang orisinil.
Sebaliknya, apabila idenya betul-betul baru maka dapat dikatakan
semakin orisinil. Saat ini kita mengenal ada banyak cara agar kita
tidak digigit nyamuk, misalnya menggunakan ramuan pengusir atau
pembunuh (dibakar, disemprot, dioles), menggunakan pelindung

110
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
(kelambu, kasa, pakaian), atau menggunakan alat yang menghasilkan
gelombang dengan frekuensi tertentu yang tidak disukai nyamuk
tetapi tidak mengganggu manusia.

Gambar 6.8 Beragam anti nyamuk

Pada Gambar 6.8 disajikan beberapa variasi produk anti nyamuk.


Apakah Anda memiliki ide yang lebih orisinal untuk mencegah agar
kita tidak digigit nyamuk? Berikut beberapa ide penulis.
• Membuat baju anti nyamuk. Baju ini dibuat dengan bahan
khusus sehingga menghasikan aroma yang tidak disukai
nyamuk.
• Melengkapi telepon genggam (HP) dengan kemampuan
menghasilkan gelombang pengusir nyamuk
• Melakukan rekayasa genetika sehingga ujung mulut
nyamuk tidak dapat ditusukkan ke kulit manusia
Anda tentu punya ide yang lebih kreatif. Apa ide Anda untuk
mencegah agar kita tidak digigit nyamuk?
5. Elaborasi (elaboration)
Elaborasi adalah kemampuan merinci ide yang dimiliki. Seorang yang
kreatif bukan hanya memiki ide tetapi juga dapat menjelaskan secara
rinci bagaimana ide tersebut akan diwujudkan. Kreativitas bukanlah
khayalan sehingga harus dapat direalisasikan dan oleh karena itu
harus dapat dijelaskan lebih rinci. Setelah Anda menghasilkan ide
untuk mencegah gigitan nyamuk, cobalah Anda pikirkan secara lebih
rinci hal-hal terkait ide tersebut dan bagaimana akan direalisasikan.

111
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
6. Redefinisi (redefinition)
Redefinisi adalah kemampuan untuk merumuskan atau mempersepsi
secara berbeda dari yang biasanya atau yang sudah ada. Ide yang
sama dapat direalisasikan secara berbeda, apalagi ide yang berbeda.
Kemampuan merumuskan suatu ide secara berbeda merupakan salah
satu indikator berpikir kritis.
Sebagaimana disampaikan di awal, walaupun Torrence
mengemukakan enam indikator, namun hanya empat indikator yang paling
banyak digunakan yaitu kelancaran, fleksibilitas, orisinalitas, dan elaborasi.

6.4.2 Disposisi kreatif


Sebagaimana halnya dengan kritis, kreativitas bukan hanya mencakup
keterampilan tetapi juga disposisi/karakter. Literatur tentang disposisi ada
juga yang menyebut disposisi sebagai Habits of Mind (HoM) atau dalam
Bahasa Indonesis kurang lebih “kebiasaan berpikir”. Namun sebagaimana
disebutkan di awal bab, penulis lebih memilih istilah disposisi. Literatur
tentang disposisi kreatif (Lucas, 2016; Lucas, Claxton, & Spencer, 2013)
menyatakan ada lima disposisi kreatif, yaitu rasa ingin tahu (inquisitive),
pantang menyerah (persistent), imajinatif (imaginative), kolaboratif
(collaborative), dan berperilaku terkontrol (disciplined).
1. Punya rasa ingin tahu yang tinggi (inquisitive), mencakup
a. Senantiasa ingin tahu dan bertanya-tanya
b. Secara aktif melakukan eksplorasi dan penelitian
c. Mempertanyakan asumsi atau kondisi yang ada dan kritis
terhadap apa yang ada
2. Pantang menyerah (persistent), mencakup:
a. Tidak menyerah begitu saja saat menghadapi kesulitan
b. Berani mengambil resiko untuk berbeda dengan yang lain
c. Dapat menerima ketidakpastian karena ketidakpastian
merupakan peluang
3. Imajinatif (imaginative), mencakup:
a. Bisa berpikir dengan berbagai kemungkinan
b. Dapat mengaitkan antara satu hal dengan lainnya
c. Menggunakan intuisinya
4. Kolaboratif (collaborative), mencakup
a. Berbagi dengan orang lain
b. Memberi dan juga menerima masukan
c. Bekerjasama dengan baik dengan orang lain
5. Berperilaku secara terkontrol (disciplined) mencakup:
a. Senantiasa mengembangkan keterampilan dalam teknik
tertentu
b. Melakukan refleksi secara kritis terhadap dirinya
c. Membuat sesuatu dan berusaha memperbaikinya

112
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
6.4.3 Produk kreatif
Seorang yang kreatif berkreasi dan menghasilkan berbagai produk. Tidak
terlalu banyak kriteria yang telah dikembangkan untuk mengukur tingkat
kreativitas suatu produk, misalnya yang dibuat oleh Besemer dan Treffinger
(1981) dan Besemer (1998). Bessemer dan Treffinger (1981) mengukur
tingkat kreativitas suatu produk dari tiga dimensi, yaitu kebaruan (novelty),
resolusi (resolution), serta elaborasi dan sintesis (elaboration and
synthesis). Tiga dimensi ini selanjutnya diuraikan lebih rinci menjadi
beberapa komponen.
1. Kebaruan (novelty): mengukur tingkat kebaruan suatu produk,
misalnya kebaruan proses, kebaruan bahan, dan kebaruan konsep,
yang mencakup
a. Germinal: Produk dapat menginspirasi produk kreatif lain di
masa mendatang
b. Original: Produk berbeda dari yang lain atau belum pernah
ada sebelumnya
c. Transformational: Produk bersifat revolusioner sehingga ada
perubahan besar bagi pengguna
2. Resolusi (resolution): mengukur tingkat pemenuhan terhadap
masalah atau kebutuhan, yang mencakup
a. Kecukupan (adequate): Produk cukup menjawab kebutuhan
atau permasalahan
b. Kesesuaian (appropriate): solusi yang ditawarkan sesuai atau
dapat diterapkan pada situasi yang ada
c. Kelogisan (logical): produk yang ditawarkan secara nalar
dapat diterima
d. Kegunaan (useful): produk memiliki manfaat praktis
e. Keberhargaan (valuable): produk dinilai berharga oleh
pengguna.
3. Elaborasi dan sintesis (elaboration and synthesis): mengukur
sejauh mana suatu produk menggunakan elemen baru sehingga
menjadi sesuatu produk yang baru
a. Menarik (attractive): produk menarik perhatian pengguna
b. Kompleks (complex): produk mengandung beberapa elemen
c. Elegan (elegant): Solusi yang ditawarkan berkualitas
d. Ekspresif (expressive): produk disajikan secara komunikatif
dan mudah dipahami
e. Lengkap (organic): produk dirasa sesuatu yang utuh dan
lengkap
f. Dibuat dengan baik (well-crafted): Produk dikerjakan dengan
sungguh-sungguh sehingga kualitasnya bagus

113
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Besemer (1998) selanjutnya merevisi indikator penilaian, terutama
pada komponen penilaian sehingga menjadi lebih jelas dan lebih simpel
dengan tetap fokus pada tiga dimensi.
1. Kebaruan (novelty)
Dimensi ini mencakup komponen orisinil (original) dan kejutan
(surprise). Orisinil artinya produk tersebut baru sedangkan
kejutan artinya produk tersebut memberikan efek kejutan karena
berbeda dari yang ada dan di luar ekspektasi.
2. Resolusi (resolution)
Dimensi ini mencakup komponen berharga (valuable), logis
(logical), berguna (useful), dan dapat dipahami
(understandable).
3. Elaborasi dan sintesis (elaboration and synthesis)
Dimensi ini mencakup komponen lengkap (organic), elegan
(elegant), dan dibuat dengan baik (well-crafted).
Matriks penilaian yang baru dirasa lebih sederhana dan lebih mudah
digunakan dibandingkan matriks versi sebelumnya sehingga Besemer lebih
merekomendasikan kerangka pemikiran yang baru ini.

6.5 Membelajarkan beragam jenis berpikir


Sebagaimana telah diuraikan ada beragam jenis berpikir. Dari Taksonomi
Bloom kita mengenal enam jenis berpikir (menghafal, memahami,
menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta). Selain itu kita
telah membahas dua jenis berpikir lain yaitu berpikir kritis dan berpikir
kreatif. Apakah menurut Anda belajar menghafal sama dengan belajar
berpikir kreatif? Tentu saja berbeda. Setiap jenis berpikir memiliki
karakteristik masing-masing sehingga cara membelajarkan setiap jenis
berpikir tentunya juga tidak sama.
Kita sering menyatakan bahwa berpikir kritis dan berpikir kreatif itu
penting, tetapi dalam kenyataannya keduanya belum secara sungguh-
sungguh kita belajarkan. Entah kita sadari atau tidak selama ini kita hanya
fokus mengembangkan enam jenis berpikir saja (paling tidak itu yang
muncul dalam rencana pelajaran dan diukur dalam ujian). Membelajarkan
berpikir sebagaimana yang dikategorikan menurut Bloom tentu bukan suatu
kesalahan, tetapi kita harus ingat bahwa masih ada jenis berpikir yang lain
yang juga harus dibelajarkan. Tanpa kita sungguh-sungguh membelajarkan
berpikir kritis dan berpikir kreatif, sangat sulit untuk diharapkan bahwa
anak-anak akan memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Bagaimanakah membelajarkan berpikir? Apakah setiap jenis berpikir
membutuhkan cara pembelajaran yang berbeda? Apabila sekarang Anda
diminta “Ayo kita berlatih menghafal!” Apakah yang akan Anda lakukan?
Anda pasti akan bertanya: “Apa yang dihafalkan?” Ini menunjukkan bahwa

114
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
kita tidak dapat secara khusus hanya membelajarkan berpikir sebab berpikir
membutuhkan juga konten (materi) bahkan konteks. Kalau seandainya
dikatakan: “Ayo hafalkan tabel periodik!” Tentu sekarang Anda akan
berusaha menghafalkan tabel periodik.
Bagaimana halnya dengan jenis berpikir yang lain, misalnya berpikir
kreatif apakah juga memerlukan materi? Tentu saja. Kalau sekarang
dikatakan “Ayo berpikir kreatif!” Tentu Anda akan bingung dan bertanya-
tanya, berpikir kreatif tentang apa? Bagaimana? Demikian juga kalau yang
dikatakan adalah “Untuk melatih berpikir kreatif, ayo hafalkan tabel
periodik!” tentu ini pun tidak tepat. Coba bandingkan dengan: “Pada Gambar
6.8 ada beragam produk anti nyamuk. Coba Anda pikirkan produk anti
nyamuk yang belum ada di pasaran saat ini!” Tentu Anda akan berpikir keras
untuk menghasilkan produk baru. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa setiap
jenis berpikir memerlukan cara pembelajaran yang berbeda. Pembahasan
tentang cara membelajarkan setiap jenis berpikir akan penulis sajikan pada
buku berikutnya (Insya Allah).

Bacaan lanjutan
Sejumlah penelitian dan publikasi tentang berpikir telah kami lakukan.
Silakan baca tulisan-tulisan berikut.
1. Prihastuti, I., Widodo, A., Liliasari, & Riandi. (2021). Belajar
melalui Video untuk Melatih Keterampilan Berpikir Kritis Guru
IPA. Biosfer: Jurnal Biologi dan Pendidikan Biologi, 6(1), 37-43.
2. Roviati, E., Widodo, A., Purwianingsih, W., & Riandi. (2019).
Development of Argumentation-Based Critical Thinking Skills
Tests in Microbiology Laboratory. Scientiae Educatia: Jurnal
Pendidkan Sains, 8(1), 76-87.
3. Sukarso, A., Widodo, A., Rochintaniawati, D., & Purwianingsih,
W. (2019a). The Contribution Of Biological Practicum Learning
Model Based On Creative Research Projects In Forming
Scientific Creativity Of High School Students. Paper presented at
the Science, Technology, Engineering and Mathematics Learning
International Forum, Purwokerto.
4. Sukarso, A., Widodo, A., Rochintaniawati, D., & Purwianingsih,
W. (2019b). The potential of students’ creative disposition as a
perspective to develop creative teaching and learning for senior
high school biological science. Journal of Physics: Conference
Series, 1157 022092.
5. Widodo, A. (2005). Taksonomi Tujuan Pembelajaran. Didaktis.
4(2), 61-69.

115
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
6. Widodo, A., Maria, R. A., & Fitriany, A. (2016). Peranan
Praktikum Riil dan Praktikum Virtual dalam Membangun
Kreatifitas Siswa. Jurnal Pengajaran MIPA, 21(1), 92-102.
7. Wulandari, R., Widodo, A., & Rochintaniawati, D. (2020).
Penggunaan Aplikasi Augmented Reality Untuk Memfasilitasi
Penguasaan Konsep Dan Keterampilan Berpikir Kreatif Peserta
Didik. Jurnal Pendidikan Biologi, 11(2).
doi:10.17977/um052v11i2p59-69.

116
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L. W., Krathwohl, D. R., Airasian, P. W., Cruikshank, K. A., Mayer,


R. E., Pintrich, P. R., . . . Wittrock, M. C. (2001). A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's
Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman.
Ausubel, D. P. (2000). The Acquisition and Retention of Knowledge: A
Cognitive View. Dordrecht: Springer Science+Business Media B. V.
Bandura, A. (1977). Social learning Theory. New jersey: Prentice-Hall.
Berck, K. H. (2005). Biologiedidaktik: Grundlagen und Methoden.
Wiebelsheim: Quelle & Meyer Verlag.
Besemer, S. P. (1998). Creative Product Analysis Matrix: Testing the Model
Structure and a Comparison Among Products--Three Novel Chairs.
Creativity Research Journal, 11(4), 333-346.
doi:10.1207/s15326934crj1104_7
Besemer, S. P., & Treffinger, D. J. (1981). Analyses of creative product:
Review and Synthesis. Journal of Creative Behavior, 15(3), 158-178.
Biemans, H. J. A., & Simons, P. R. J. (1999). Computer-assisted instructional
strategies for promoting conceptual change. In W. Schnotz, S.
Vosniadou, & M. Carretero (Eds.), New Perspectives on Conceptual
Change (pp. 247-262). Amsterdam: Pergamon.
Bloom, B. S., Engelhart, M. D., Furst, E. J., Hill, W. H., & Krathwohl, D. R.
(1956). Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of
Educational Goals. Handbook 1 Cognitive Domain. New York: David
McKay.
Bodenmann, G., Perrez, M., Schär, M., & Trepp, A. (2004). Klassische
Lerntheorien: Grundlagen un Anwendungen in Erziehung und
Psychotherapie. Bern: Verlag Hans Huber.
Bowell, T., & Kemp, G. (2002). Crtitical Thinking: A Concise Guide. London:
Routledge.
Bruner, J. S. (1977). The Process of Education. Cambridge: Harvard
University Press.
Cain, S. A., & Evans, J. M. (1990). Sciencing: An Involvement Approach to
Elementary Science Methods. Columbus: Merrill Publishing
Company.
Cooper, B. S., Sarrel, R., Darvas, P., Alfano, F., Meier, E., Samuels, J., &
Heinbuch, S. (1994). Making money matter in education: A micro-
financial model for determining school-level allocations, efficiency,
and productivity. Journal of Educational Finance, 20, 66-87.
Dewey, J. (1997). Experience And Education. New York: Simon and Shuster.
Dewey, J. (2001). Democracy And Education. Pennsylvania: The
Pennsylvania State University.

117
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Driver, R. (1989). Changing conceptions. In P. Adey, J. Bliss, H. J., & M.
Shayer (Eds.), Adolescent Development and School Science (pp. 79-
104). New York: The Falmer Press.
Ennis, R. H. (1993). Critical Thinking Assessment. Theory into Practice,
32(3), 179-186.
Ennis, R. H. (1996). Critical thinking dispositions: Their nature and
assessability. Informal Logic, 18(2), 165-182.
Ennis, R. H. (2015). The Nature of Critical Thinking. Available from
http://criticalthinking.net.
Facione, P. A. (1990). Critical Thinking: A Statement of Expert Consensus
for Purposes of Educational Assessment and Instruction. California:
The California Academic Press.
Facione, P. A., & Gittens, C. A. (2016). Think Critically. Boston: Pearson.
Gagne, R. M. (1970). The Conditions of Learning. New York: Holt, Rinehart,
and Winston.
Hadiat. (1994). Alam Sekitar Kita: Ilmu Pengetahuan Alam untuk Sekolah
Kelas 5. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Harlen, W. (1985). Introduction: Why Science? What Science? In W. Harlen
(Ed.), Primary Science...Taking the Plunge. Oxford: Heinemann
Educational Books.
Harlen, W. (Ed.) (2015). Working with Big Ideas of Science Education.
Trieste: The Science Education Programme (SEP) of IAP.
Inch, E. S., & Tudor, K. H. (2015). critical Thinking and Communication:
The Use of Reason in Argumen. Boston: Pearson.
Inhelder, B., & Piaget, J. (1958). The Growth of Logical Thinking From
Childhood to Adolescence. The United States of America: Basic
Books.
Kolb, D., A. (2015). Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development. New Jersey: Pearson Education.
Krathwohl, D. R. (2002). A revision of Bloom’s taxonomy: An overview.
Theory into Practice, 41(4), 212-218.
Lawson, A. E., Abraham, M. R., & Renner, J. W. (1989). A Theory of
Instruction: Using the Learning Cycle to Teach Science Concepts and
Thinking Skills. Cincinnati: National Association for Research in
Science Teaching (NARST).
Lefrançois, G. R. (2000). Theories of Human Learning: What the Old Man
Said. Australia: Wadsworth.
Lucas, B. (2016). A Five-Dimensional Model of Creativity and its Assessment
in Schools. Applied Measurement in Education, 29(4), 278-290.
doi:10.1080/08957347.2016.1209206
Lucas, B., Claxton, G., & Spencer, E. (2013). Progression in student
creativity in school: First steps towards new forms of formative
assessments (Vol. 86): OECD Publishing.
McComas, W. F., Clough, M. P., & Almazroa, H. (1998). The role and
character of the nature of science in science education. In W. F.
McComas (Ed.), The Nature of Science in Science Education.
Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

118
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
Novak, J. D., & Gowin, D. B. (1984). Learning How to Learn. Cambridge:
Cambridge University Press.
OECD/UNESCO-UIS. (2003). Literacy Skills for the World of Tomorrow:
Further results from PISA 2000: OECD/UNESCO-UIS
(http://www1.oecd.org/publications).
Oser, F., & Patry, J.-L. (1990). Choreographien unterrichtlichen Lernens:
Basismodelle des Unterrichts Freiburg (Schweiz).
Piaget, J. (1997). The Moral Judgement of the Child. New York: Free Press.
Priyono, A., Martini, K. T., & Amin, C. (2009). Imu Pengetahuan Alam untuk
SD dan MI Kelas V. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Schunk, D. H. (2012). Learning Theories: An Educational Perspective.
Boston: Pearson Education.
Susilawati, F. (2017). Buku Siswa SD/MI Kelas V. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Torrance, E. P. (1977). Creativity in the Classroom. Washington, D. C.:
National Education Association.
White, R. (1994). Dimensions of content. In P. J. Fensham (Ed.), The Content
of Science. London: Taylor and Francis.
Widodo, A. (2004). Constructivist Oriented Lessons: The Learning
Environments and the Teaching Sequences. Frankfurt: Peter Lang.

119
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
INDEKS

Dewey · 6, 35, 55, 117


A disposisi · 8, 97, 105, 106, 107, 109, 112

advance organizer · 32, 53


aktivitas belajar · 2 E
aktivitas mengajar · 2
anak · 1, 2, 10, 29, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, eksploratif · 3
52, 61, 64, 80, 82, 105, 114 engineering · 66, 73
Aristoteles · 13, 14, 15 exemplifying) · 91
aspek afektif · 8 experiential learning · 48, 55, 56, 72
aspek kognitif · 8, 29 explaining · 91, 92
atraksi · 2
Ausubel · 6, 30, 31, 32, 52, 53, 117
F

B Facione · 89, 96, 97, 98, 99, 104, 105, 106,


107, 118
Bandura · 40, 63, 117 faktor · 3, 14, 20, 64, 99, 104
Basisstruktur · 49 faktor kehidupan · 14
belajar · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 27, 28, 29, 30, fasilitas · 3
31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, fenomena · 5, 6, 7, 8, 11, 12, 13, 15, 17, 20,
43, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 56, 57, 60, 63, 22, 27, 28, 34, 43, 47, 52, 59, 64, 65, 83, 91
69, 70, 71, 73, 88, 114 film dokumenter · 1
berpikir kreatif · 8, 88, 89, 90, 93, 109, 114, fokus · 2, 5, 7, 8, 32, 45, 49, 68, 72, 97, 110,
115 114
berpikir kritis · 8, 90, 93, 96, 97, 98, 103, Francesco Redi · 13, 14
104, 105, 106, 107, 109, 112, 114
Bloom · 8, 87, 88, 89, 90, 93, 114, 117, 118
Bruner · 6, 29, 30, 31, 51, 52, 117 G

Gagne · 6, 32, 33, 54, 55, 60, 72, 118


C Gowin · 32, 118
guru · 2, 3, 4, 5, 6, 7, 25, 27, 32, 33, 35, 40,
cerita · 1 42, 43, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54,
classical conditioning · 6, 43 55, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67,
classifying · 91 68, 69, 70, 71, 72, 73, 79, 84, 97, 124
comparing · 91 guru IPA · 2, 4, 6, 27, 45

D H

desain teknologi · 67 habits of mind · 8

120
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
hakikat IPA · 4, 5, 6, 10, 11, 24, 25, 66, 79 kemampuan · 1, 2, 3, 4, 9, 17, 18, 34, 36, 37,
hasil belajar · 1, 2, 3, 7, 30, 33, 54, 63, 93 58, 60, 61, 62, 66, 67, 68, 69, 86, 89, 93,
hewan · 1, 2, 38, 78 97, 101, 102, 103, 106, 109, 110, 111, 112,
Higher Order Thinking Skills (HOTS) · 8 114
hukuman · 28, 43 kerangka dasar · 48, 67
keterampilan · 1, 4, 8, 10, 20, 33, 41, 42, 47,
57, 58, 59, 60, 62, 63, 65, 66, 67, 70, 96,
I 97, 99, 101, 102, 105, 109, 112
keterampilan berpikir · 8, 96, 97, 101, 102,
ide · 30, 50, 51, 55, 56, 66, 68, 93, 98, 99, 109, 105, 109
110, 111, 112 Kolb · 55, 118
ilmu · 5, 13, 15, 17, 20, 22, 66 kompetensi · 78, 93
ilmuwan · 7, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, konsep · 6, 11, 30, 31, 32, 34, 46, 47, 51, 52,
20, 21, 23, 24, 43, 46, 58, 60, 63 53, 54, 55, 56, 57, 70, 72, 78, 83, 84, 92,
ilustrasi · 2, 4, 17, 19, 20, 24, 27, 28, 38, 43, 97, 99, 100, 101, 103, 113
45, 51, 61, 69, 72, 89, 91, 109 konstruktivisme · 6, 37, 38, 44, 51, 56, 57, 73
Imam Syafi’i · 2 kreativitas · 18, 21, 65, 67, 109, 112, 113
Indonesia · 5, 8, 15, 33, 35, 54, 71, 79, 93, 94, KTSP · 75, 76, 78
96, 97, 105, 109, 124, 125 kualitas · 1, 3, 6, 35, 98, 103, 104, 108
inferring · 91 kualitas pembelajaran · 3, 6
informasi · 3, 5, 8, 12, 19, 29, 31, 32, 33, 37, kurikulum · 9, 75, 78, 79, 80, 82, 93
38, 39, 40, 53, 54, 56, 57, 64, 68, 69, 73, kurikulum 1994 · 78
78, 88, 89, 90, 91, 99, 100, 103, 104, 105, Kurikulum 2013 · 75, 77, 78, 93
106 kurikulum berbasis kompetensi · 78
interaksi · 49, 69
interpreting · 91
IPA · 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, L
17, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 35,
36, 45, 46, 63, 66, 68, 70, 71, 74, 75, 76, learning · 2, 30, 32, 33, 34, 52, 55, 56, 74,
77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 107, 115, 115, 117
124 learning by doing · 55
lembar kerja · 3
literatur · 10, 28, 38, 51, 56
J

jenjang sekolah · 10, 79 M

makhluk hidup · 13, 14, 15, 82


K makhluk tak hidup · 13, 14, 15
manusia · 1, 2, 12, 15, 24, 40, 43, 78, 86, 90,
kaidah · 19 111
kaidah keilmuan · 19 materi · 4, 7, 8, 32, 45, 53, 55, 70, 74, 78, 79,
karakteristik · 21, 29, 48, 58, 74, 114 80, 82, 83, 84, 85, 93, 105, 115
kebiasaan berpikir · 8, 112 mathematics · 73
kebijakan · 66 membaca · 1, 3, 9, 11, 12, 22, 27, 28, 30, 39,
kehidupan · 14, 35, 47, 66, 82, 83, 84, 105, 45, 101
106 membandingkan · 6, 19, 79, 91, 99

121
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
memberikan contoh · 42, 91 pembelajaran · 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 25, 28, 29,
menafsirkan · 78, 91 30, 32, 33, 35, 37, 40, 42, 45, 46, 47, 48,
menarik inferensi · 91 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,
mendengarkan · 1 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71,
menganalisis · 8, 17, 19, 20, 43, 47, 87, 90, 72, 73, 78, 93, 114, 115
92, 93, 99, 105, 114 pembelajaran IPA · 4, 6, 7, 9, 25, 28, 29, 30,
menghafal · 8, 87, 88, 89, 90, 91, 114 35, 37, 42, 51, 78
mengklasifikasikan · 37, 91 pemecahan masalah · 34, 58, 60, 61, 62, 63,
menjelaskan · 5, 6, 27, 39, 40, 45, 69, 70, 91, 66, 103
111 pendekatan proses · 46, 47, 48
meringkas · 91, 101 pendidikan · 3, 8, 35, 36, 49, 80, 93, 105, 124
metode · 3, 5, 6, 7, 10, 17, 20, 21, 45, 46, 58, penelitian · 6, 7, 9, 12, 16, 17, 18, 20, 21, 25,
60, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 100 44, 47, 59, 60, 62, 65, 72, 73, 85, 112, 115
metode baku · 21 pengalaman langsung · 48, 55
metode ilmiah · 5, 10, 17, 20, 21, 46, 58, 66 pengetahuan · 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 15,
model mengajar · 2, 49 16, 20, 21, 23, 24, 25, 29, 31, 32, 33, 36,
model pembelajaran · 2, 7, 48, 49, 50, 51, 37, 38, 39, 40, 45, 46, 47, 48, 51, 53, 54,
53, 56, 57, 58, 61, 63, 64, 66, 67, 70, 71, 57, 58, 63, 64, 66, 67, 68, 72, 78, 79, 83,
72, 73 84, 91, 93, 98, 100, 102
model pembelajaran integratif · 66 pengetahuan ilmiah · 6, 7, 10, 12, 13, 16, 20,
model rekayasa · 66 24, 29, 32, 45, 46, 47, 48, 51, 58, 64, 68,
78, 79, 83
penghargaan · 43, 44
N percobaan · 11, 13, 14, 16, 64
perilaku guru · 49
Novak · 32, 118 perilaku manusia · 2
perilaku siswa · 49
perubahan iklim · 45, 46, 47, 48
O peta konsep · 31, 32, 52, 53
Piaget · 6, 36, 37, 43, 56, 118, 119
observational learning · 40 pola dasar · 21, 66
operant · 6, 28, 43 praktikum · 3, 6, 60
operant conditioning · 6, 28, 43 prinsip pembiasaan · 43
optimal · 2, 7 produk ilmiah · 10
Oser · 49, 119 produk teknologi · 66, 67
Otak · 30 proposisi · 31, 32, 37
proses · 3, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 16, 19, 20, 23, 24,
25, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 36, 37, 40, 41,
P 43, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 57, 58, 60,
64, 66, 67, 68, 69, 70, 78, 79, 81, 82, 83,
Patry · 49, 119 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 103, 105,
pelajaran · 3, 7, 8, 11, 12, 24, 27, 28, 32, 35, 109, 113
46, 47, 55, 66, 68, 70, 71, 72, 73, 75, 76, proses belajar · 27, 31, 32, 40, 49, 50, 51
77, 78, 79, 80, 85, 93, 105, 114 proses berpikir · 8, 86, 87, 89, 90, 91, 92, 93,
pelaksanaan pembelajaran · 3, 45, 48, 54, 103
71 proses ilmiah · 6, 10, 20, 24, 25, 40, 41, 46,
47, 48, 57, 58, 60, 64, 66, 68, 78

122
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
proses pembelajaran · 3, 49, 52
T
proses rekayasa · 66
punishment · 43
tahapan · 17, 19, 21, 32, 33, 36, 37, 41, 43,
48, 49, 50, 51, 55, 56, 60, 61, 63, 64, 66,
R 71, 72, 73, 103
Taksonomi Bloom · 89, 93, 114
teaching · 2, 56, 74, 115
ranah pengetahuan ilmiah · 48
technology · 73
rancangan · 19, 59, 62, 65, 67, 93
teknologi · 11, 15, 21, 22, 23, 66, 67, 102, 109
rekayasa · 47, 66, 84, 111
teori · 4, 5, 6, 7, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 27, 28,
reward · 43
29, 32, 37, 40, 41, 42, 43, 44, 49, 51, 54,
rumusan · 8, 78
56, 58, 63, 64, 70, 71, 78, 83, 84
Teori Aristoteles · 13, 14
S teori belajar · 4, 5, 6, 7, 27, 28, 29, 32, 40, 41,
42, 43, 44, 49, 51, 54, 58, 63, 64, 70, 71
teori belajar kognitif · 41, 43, 49, 51
science · 73, 74, 115, 118, 125
teori belajar pengamatan · 40
SD/MI · 10, 119, 125
teori belajar sosial · 6, 29, 41, 42, 58, 63, 64,
sejarah · 13, 40
70
Sichtstruktur · 49
tindakan · 5, 10, 25, 49, 50, 66
sikap · 4, 5, 6, 7, 10, 11, 21, 23, 24, 25, 42, 43,
topik · 45, 47, 48, 66, 73
45, 46, 48, 64, 65, 66, 78, 82, 107, 109
tugas dasar · 1
sikap ilmiah · 6, 10, 21, 23, 24, 25, 42, 43, 45,
46, 48, 64, 65, 66, 78, 107
sistem pendidikan · 8, 35
U
siswa · 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 25, 27, 28, 30, 32,
37, 39, 40, 42, 43, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
unik · 9, 21
51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72,
73, 78, 79, 80, 84, 93, 105
V
SMA/MA · 10
solusi · 66, 104, 109, 110, 113
variabel · 18, 19
Spallanzani · 14
STEM · 66, 67, 73, 74
struktur pengetahuan · 31, 32, 53
W
summarizing · 91

wadah · 13, 14
Widodo · 25, 26, 39, 44, 51, 56, 57, 73, 74, 85,
115, 116, 119, 124

123
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik
TENTANG PENULIS

Ari Widodo adalah seorang guru besar


pendidikan IPA di Fakultas Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Pendidikan Indonesia.
Pendidikan akademik di bidang pendidikan
IPA diperoleh di Jurusan Pendidikan Biologi
IKIP Bandung (sarjana), Deakin University,
Melbourne – Australia (master), dan
Christian-Albrechts Universität zu Kiel, Kiel
– Jerman (doktor).

Buku dan bab dalam buku yang pernah ditulis antara lain: Constructivist
Oriented Lessons: The Learning Environments and the Teaching Sequences
(Frankfurt am Main: Peter Lang, 2004); Panduan Pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam SD/MI. (Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional: Jakarta, 2009); Teaching science for conceptual change. in S.
Vosniadou (Ed.). International Handbook of Research on Conceptual
Change . New York: Routledge, 2013); Indonesia. in B. Vlaardingerbroek and
N. Taylor (Eds.). Teacher Quality in Upper Secondary Science Education.
(New York: Palgrave Macmillan, 2016).

124
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM: Dasar-Dasar untuk Praktik

Anda mungkin juga menyukai