Menyetujui,
Mengetahui,
Dr. Elizabeth Novi Kusumaningrum, M.Si Evi Yunita Sari, S.Pd., M.Si
NIP 19701105 200212 2 001
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga akhirnya penyusun dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Embriologi
Tumbuhan ini dengan baik.
Dari hasil yang telah dilakukan dan dicapai selama penyusun mengikuti proses praktikum,
penyusun banyak mendapatkan pengetahuan berharga yang ternilai, yang pada akhirnya menjadi
dasar dan bahan bagi penyusun dalam membuat Laporan Praktikum Embriologi Tumbuhan ini.
Penyusunan laporan ini tentu tidak lepas dari bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan ini, diantaranya :
1. Ibu Evi Yunita Sari, S.Pd., M.Si. selaku Instruktur Praktikum Embriologi Tumbuhan dari
Politeknik Negeri Lampung.
2. Suami, kedua orang tua, anak-anak penyusun serta teman-teman mahasiswa yang telah memberi
bantuan baik moral maupun materiil dan juga semua pihak yang telah banyak membantu dalam
pembuatan laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan walaupun penyusun
telah bekerja dengan maksimal. Maka dari itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak guna perbaikan, selanjutnya penyusun berharap Laporan Praktikum
Embriologi Tumbuhan ini akan memberi manfaat bagi pembaca.
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. iv
I. Pendahuluan ........................................................................................................................ 1
II. Tinjauan Pustaka ................................................................................................................. 1
III. Alat, Bahan dan Cara Kerja................................................................................................. 2
IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan .................................................................................... 2
V. Kesimpulan ......................................................................................................................... 3
MIKROGAMETOGENESIS
I. Pendahuluan ........................................................................................................................ 4
II. Tinjauan Pustaka ................................................................................................................. 5
III. Alat, Bahan dan Cara Kerja................................................................................................. 5
IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan .................................................................................... 5
V. Kesimpulan ......................................................................................................................... 7
MEGAGAMETOGENESIS
I. Pendahuluan ........................................................................................................................ 7
II. Tinjauan Pustaka ................................................................................................................. 8
III. Alat, Bahan dan Cara Kerja................................................................................................. 8
IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan .................................................................................... 9
V. Kesimpulan ......................................................................................................................... 10
iv
MODUL 2. POLINASI DAN EMBRIOGENESIS
I. Pendahuluan ........................................................................................................................ 11
II. Tinjauan Pustaka ................................................................................................................. 11
III. Alat, Bahan dan Cara Kerja................................................................................................. 12
IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan .................................................................................... 12
V. Kesimpulan ......................................................................................................................... 14
I. Pendahuluan ........................................................................................................................ 15
II. Tinjauan Pustaka ................................................................................................................. 15
III. Alat, Bahan dan Cara Kerja................................................................................................. 16
IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan .................................................................................... 16
V. Kesimpulan ......................................................................................................................... 19
I. Pendahuluan ........................................................................................................................ 20
II. Tinjauan Pustaka ................................................................................................................. 20
III. Alat, Bahan dan Cara Kerja................................................................................................. 21
IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan .................................................................................... 21
V. Kesimpulan ......................................................................................................................... 22
I. Pendahuluan ........................................................................................................................ 23
II. Tinjauan Pustaka ................................................................................................................. 26
III. Alat, Bahan dan Cara Kerja................................................................................................. 26
IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan .................................................................................... 27
V. Kesimpulan ......................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 29
iv
MODUL 1. STRUKTUR BUNGA, ALAT REPRODUKSI, SERTA PROSES
REPRODUKSI JANTAN DAN BETINA PADA TUMBUHAN ANGIOSPERMAE
KEGIATAN PRAKTIKUM 1. STRUKTUR BUNGA
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Bunga merupakan organ reproduktif pada tumbuhan Magnoliophyta, yang sangat
penting untuk identifikasi tumbuhan karena bunga umumnya memiliki karakter yang
konsisten sehingga dapat digunakan untuk menunjuka tingkatan takson tertentu dari
tumbuhan (suku, marga, atau jenis). Hal ini disebabkan karakter bunga sengat dipengaruhi
atau dikendalikan secara genetik dan umumnya tidak terpengaruh oleh perubahan
lingkungan. Beberapa karakter pada bunga mungkin akan dipertahankan sama dalam satu
suku atau marga, sedanngkan karakter lainnya lebih bervariasi dan digunakan untuk
membedakan jenis atau spesies tumbuhan. Simetri pada bunga, posisi bakal buah, tipe
plasentasi, dan jenis buah biasanya digunakan sebagai karakter untuk membedakan suku atau
marga, sedangkan warna petal, bentuk, dan ukuran bunga sering digunakan sebagai karakter
umum untuk membandingkan jenis atau spesies.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum adalah agar mahasiswa dapat lebih memahami struktur
bunga dan modifikasinya yang banyak ditemukan dilingkungan sekitar.
1
dichasium tunggal dan dichasium majemuk;pleiochasium;bunga kipas dan bunga sabit
(Widya, 1989).
2
B. Poaceae (Bunga Padi)
V. Kesimpulan
Bunga umumnya terdiri atas bagian-bagian bunga yang tumbuh dalam empat seri
lingkaran, yakni kaliks, karola, andresium dan ginesium yang tumbuh dari bagian reseptakel,
ovarium (bakal buah), yang di dalamnya mengandung bakal biji pembawa gamet betina.
Suatu bunga dinamakan bunga lengkap apabila keempat seri bagian bunga ada dalam satu
3
bunga, bunga dikatakan tidak lengkap apabila salah satu bagian tidak ada. Bunga dapat pula
dibedakan menjadi bunga sempurna (biseksual atau hermafrodit), jika dalam satu bunga
ditemukan adanya stamen dan pistilum, sedangkan bila dalam satu bunga hanya ditemukan
stamen atau pistilum saja, maka bunga demikian dinamakan bunga tidak sempurna
(uniseksual). Bila dilihat dari segi simetri bunga, maka bunga dapat dibedakan menjadi bunga
aktinomorf, yang memiliki banyak bidang bagi (radial simetri), dan bunga zigomorf yang
hanya memiliki satu bidang bagi (bilateral simetri). Berdasarkan posisi relatif ovarium
terhadap perhiasan bunganya, maka bunga dapat dibagi bunga hipoginus, periginus, dan
epiginus.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum adalah agar mahasiswa memahami struktur bagian alat
reproduksi jantan (anther) beserta tahapan-tahapan pembentukan gamet jantan
(mikrosporogenesis dan mikrogametogenensis).
4
II. Tinjauan Pustaka
Mikrospora adalah tahap awal dari serbuk sari atau struktur muda dari serbuk sari.
Mikrospora terdapat di dalam serbuk sari tepatnya di dalam mikrosporangium. Terjadinya
mikrospora melalui pembelahan meiosis, yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama,
pembelahan meiosis I, merupakan pembelahan reduksi karena dari 1 sel dengan 2n
kromososm menjadi 2 sel dengan jumlah kromosom tereduksi menjadi n kromosom.
Pembelahan tahap kedua adalah pembelahan mitosis, yaitu dari satu sel dengan n kromososm
menjadi 2 sel dengan n kromosom, sehingga pembelahan reduksi dari 1 sel dengan 2n
kromososm menjadi 4 sel dengan n kromosom (Suryowinoto, 1990).
5
6
V. Kesimpulan
Proses reproduksi pada bunga terjadi pada dua bagian sporofit yang amat penting
pada tumbuhan yakni kepala sari (anther) dan bakal biji (ovulum). Pada anthera (kepala sari)
akan terjadi proses pembentujan mikrospora secara meiosis atau dinamakan
mikrosporogenesis. Proses ini kemudian akan diikuti dengan pembelahan mitosis
(mikrogametogenesis) untuk pembentukan gametofit jantan atau polen. Gametofit jantan
akan menghasilkan gamet jantan atau sperma. Anther biasanya mengandung empat buha
kantung polen berpasangan pada dua teka yang dihubungkan oleh konektivum.
Pada Anthera terdapat sekelompok sel induk mikrospora yang akan mengalami
meiosis, masing-masing menghasilkan empat mikrospora. Pada periode pematangan, masing-
masing butir mikrospora akan berkembang menjadi butir polen yang memiliki dinding sel
berlapis dua, terdiri atas eksin di bagian luar dan intin sebelah dalam. Eksin biasanya
memiliki pola dinding yang amat khas bagi spesies yang bersangkutan. Pada saat dewasa,
seluruh anther dipenuhi oleh mikrospora/polen, sehingga kedua rongga pada setiap teka
kemudian bersatu menjadi kantung polen yang besar. Polen ke luar dari anther melewati
celah atau pori ujung anther atau dengan adanya celah pada dinding lateral anthera.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum adalah agar mahasiswa memahami struktur bagian alat
reproduksi betina, yaitu bakal biji (ovulum), serta tahapan-tahapan pembentukan gamet
betina (megasporogenesis dan megagametogenesis)
8
3. Silet
4. Pinset
5. Jarum jara
C. Cara Kerja sebagai berikut :
1. Bagi bunga menjadi dua bagian secara memanjang, dengan menggunakan pinset,
ambil beberapa bagian bunga dan amati dengan menggunakan mikroskop bedah
atau kaca pembesar.
2. Amati penampang melintang ovarium pada bunga Lily dibawah mikroskop
9
Berdasarkan letak bakal buah pada dasar bunga (receptacle), dikenal :
1. Bunga superus, jika bakal buahnya (ovarium) menampang pada dasar bunga. Disebut juga
bunga yang hypogynus : dasar bunga, androecium, dan perhiasan bunga dibawah daun bakal
buah.
2. Bunga semi-inferus, jika bakal buah terletak agak tenggelam dari dasar bunga. Disebut
juga bunga perigynous : dasar bunganya cekung dan androecium beserta perhiasan bunga
berada di bibir cekungan dasar bunga
3. Bunga inferus, jika bakal buahnya tenggelam pada dasar bunga. Disebut juga bunga
epigynus : bunga yang dasar bunganya seperti cawan dan bibir cawannya menenggelamkan
bakal buah. Androecium dan perhiasan bunga tersusun pada bibir dan cekungan dasar bunga.
V. Kesimpulan
Pembentukan gamet betina berlangsung di dalam bakal biji, yang diawali dengan
terjadinya megasporogenesis (melalui pembelahan meiosis) untuk menghasilkan megaspora
dan diikuti dengan beberapa kali pembelahan mitosis (megagametgenesis) untuk membentuk
gametofit betina atau kantung embrio. Bakal biji terdiri atas nuselus yang dikelilingi oleh satu
atau dua buah integumen dan terdapat pula tangkai bakal biji atau funukulus yang
menghubungkan bakal biji dengan plasenta. Integumen akan membentuk pori kecil yang
disebut mikropil. Tempat integumen bersatu dengna funikulus dinamakan kalaza. Keempat
megaspora tersusun dalam tetrad linier, ketiga megaspora yang berdekatan dengan mikropil
umumnya akan berdegenerasi, membentuk megagametofit. Megagametofit akan mengalami
tiga kali pembelahan mitosis tanpa diikuti sitokinesis sehingga dihasilkan gametofit betina
yang mengandung 8 inti bebas, dua inti polar dibagian tengah, tiga inti kutub kalaza akan
10
berkembangmenjadi sel antipodal dan tiga inti dibagian mikropil akan membentuk aparatus
telur, yang terdiri atas sel telur dan dua sel sinergid.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum adalah agar mahasiswa memahami cara melakukan
polinasi pada bunga.
11
di areal perkebunan, dan pengaruh cuaca (terutama curah hujan) terhadap penyebaran serbuk
sari (Tim Bina Karya Tani, 2009).
Penyerbukan buatan dilakukan dengan mengambil serbuk sari dari bunga jantan yang
segar dan sedang mekar yang ditandai dengan warna kuning terang dan bau yang khas.
Selanjutnya serbuk sari dihembuskan di seluruh bagian bunga betina yang sedang resptif
dengan tanda putiknya berwarna kuning kemerah-merahan, berlendir, berbau spesifik, dan
kelopak bunga bagian atas sudah terbuka sampai serbuk sari itu mencapai putik (Tim Bina
Karya Tani, 2009).
12
dan dan dan dan dan
Kehadiran Kehadiran Kehadiran Kehadiran Kehadiran
Nektar Nektar Nektar Nektar Nektar
Perkiraan polinator Dibantu Dibantu Dibantu Dibantu Dibantu
oleh oleh oleh oleh oleh
serangga serangga serangga serangga serangga
13
Proses penyerbukan bunga adalah sebagai berikut:
1. Polinator mengambil nektar pada bunga.
2. Bunga melekatkan polen atau serbuk sari pada kaki polinator.
3. Polinator menuju bunga dari tumbuhan bunga lain.
4. Polen dari polinator menempel pada kepala putik dan pembuahan terjadi.
Adapun polinator spesifik dengan bunga yang didatanginya adalah sebagai berikut :
V. Kesimpulan
Polinasi merupakan proses menempelnya polen (serbuk sari) pada permukaan stigma
(kepala putik). Polen yang menempel tersebut akan segera menuju sel telur didalam kantung
embrio. Proses polinasi akan mendahului terjadinya fertilisasi/pembuahan. Proses fertilisasi
akan menggabungkan satu ini sperma dengan sel telur menghasilkan zigot yang diploid yang
kemudian berkembang menjadi embrio, dan satu inti sperma lainnya akan membuahi inti
polar sehiungga dihasilkan endosperm yang bersifat triploid. Polinasi dapat berlangsung
diantara bunga yang sama, dinamakan polinasi (penyerbukan) sendiri atau terjadi di antara
14
dua bunga yang berbeda, dinamakan polinasi silang. Polinasi silang akan menghasilkan
keragaman genetik tumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan polinasi sendiri.
Polinasi silang umumnya memerkukan vektor untuk membantu proses polinasinya. Polinasi
pada tumbuhan yang dibantu oleh faktor abiotik tidak melibatkan adanya organisme lain yang
membantu proses polinasinya, misalnya dengan bantuan angin dan air. Vektor polinasi biotik
yang umum membantu terjadinya polinasi antara lain serangga atauhewan lain seperti
kelelawar, burung, dan hewan vertebrata lainnya.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum adalah agar mahasiswa memahami tahapan-tahapan
perkembangan embrio.
15
fase hati diawali dengan pembentukan satu atau dua kotiledon atau adanya lekukan yang
membentuk dua area. Selanjutnya Dari fase hati embrio somatik berkembang dengan
membentuk dua kotiledon yang terdapat pada bagian atas tetapi masih pendek, pada tahap ini
embrio somatik berada pada fase torpedo. Menurut Leyser (2002) embrio fase hati
memanjang membentuk embrio fase torpedo dengan pola jaringan yang sama. Fase torpedo
mengalami perkembangan membentuk embrio somatik fase kotiledon. Pada fase ini kotiledon
mengalami pertumbuhan memanjang sehingga dapat dilihat polaritas embrio somatik yang
sangat jelas.
16
Beberapa stadium perkembangan embrio
Capsella. A, stadium dua sel, sebagai hasil
pembelahan melintang dari zigot. B, stadium
kuadran (4 sel). C, stadium oktan (8 sel).
Suspensor pada kedua stadium terakhir (4
dan 8 sel) berbeda dari stadium dua sel. Pada
stadium dua sel, sel terminal akan
berkembang menjadi embrio yang
sebenarnya dan sel basal yang akan
membentuk suspensor.
17
Embrio Capsella stadium kotiledon
lanjut/dewasa
Tumbuhan monokotil
Embrio pada tumbuhan monokotil. A.
Penampang memanjang biji gandum yang
mengandung embrio dan endosperm. B.
Embrio dengan kotiledon tunggal
(skutelum).
18
torpedo. Pemanjangan ini terus terjadi membentuk embrio tahap kotiledon suspensor
membantu embrio masuk kedalam.
Perkembangan embrio pada monokotil yang lengkap dapar dilihat pada Najas. Zigot
membelah melintang yang asimetris membentuk sel apikal yang kecil dan sel basal besar. Sel
basal membesar tanpa membelah membentuk haustorium sel tunggal. Seluruh embrio berasal
dari sel apial. Sel apikal membelah melintang menjadi 2 sel membentuk embrio tahap 4 sel
yang linier. Terjadi dua kali pembelahan vertikal membentuk 2 deret sil masing-masing 4
buah sel. Terdiri dari 4 sel yang disebut quadran. Quadran membelah perklonal membentuk 4
sel luar bakal dermatogen mengelilingi 4 sel aksial. Sel membelah vertikal dan memanjang,
kemudian membentuk proembrio tahap globular. Proembrio menjadi berbentuk oval, bagian
tengah membentuk pemula plerom. Terjadi pembelahan yang lebih cepat dari sel
disebelahnya, yang mengubah kesimetrisan pada proembrio. Pertumbuhan yang cepat
membentuk kotiledon tunggal. Sisi yang lain pertumbuhannya lambat, dan tumbuh menjadi
pemula epikotil/initial apeks.
V. Kesimpulan
Hasil proses pembuahan ganda pada tumbuhan Angiospermae akan menghasilkan
zigot, yang akan berkembang menjadi emrio, dan jaringan penyimpan cadangan makanannya,
yaitu endosperm. Perkembangan zigot menjadi embrio berlangsung dalam proses
embriogenesis. Zigot akan membelah asimetris menghasilkan sel basal dan sel apikal. Sel
basal akan membentuk suspensor sedangkan sel apikal akan berkembang menjadi embrio.
Perkembangan embrio melalui beberapa tahapan proses, yaitu proembrio (mulai stadium dua
sampai 32 sel), yang kemudian dilanjutkan dengan stadium globular, jantung, torpedo, dan
kotiledon. Pada tumbuhan dikotil akan terbentuk dua kotiledon, sedangkan pada tumbuhan
monokotil hanya akan terdapat satu kotiledon. Perbedaan jumlah kotiledon yang terbentuk ini
kaan membedakan kedua takson dalam Angiospermae. Kotiledon pada tumbuhan dikotil
dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan pada biji (misalnya pada biji
kacang-kacangan) atau akan berkembang menjadi daun fotosintesis pertama bila cadangan
makanan biji berupa endosperm (misalnya pada Ricinus communis).Pada tumbuhan
monokotil embrio akan tertekan oleh endosperm yang tumbuh secara dominan secara
dominan ke arah skutelum. Akar primer (radikula) memiliki meristem apeks yang dilindungi
oleh koleorhiza, sedangkan pada bagian apeks pucuk terdapat beberapa primordium daun dan
dilindungi oleh koleoptil. Pada beberapa tumbuhan Poaceae mungkin dapat terlihat adanya
tonjolan kecil, yakni epiblas yang merupakan kotiledon yang rudimenter/tereduksi.
19
MODUL 3. EMBRIOGENESIS SOMATIK
KEGIATAN PRAKTIKUM 1. BIJI
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pada beberapa biji tumbuhan tertentu, endosperm sama sekali tidak ada. Biji yang tidak
memiliki endosperm atau hanya mengandung sedikit sekali endosperm dinamakan biji
eksalbuminus, sedangkan biji yang mengandung endosperm dan atau perisperm dinamakan
sebagai biji albuminus. Pada tumbuhan tertentu, embrio di dalam biji mempunyai kloroplas
sehingga tampak berwarna hijau, misalnya pada beberapa jeruk (Citrus sp). Pada tumbuhan
lainnya, misalnya bit (Beta vulgaris) dan lada (Piper ningrum), jaringan nuselus tetap ada dan
volumenya bertambah untuk membentuk perisperm. Beberapa ciri dapat dibedakan luar biji.
Mikropil dapat hilang sama sekali atau dapat tetap ada sebagai pori yang nyata. Pada tempat
pelekatan biji dengan funikulus (tangkai biji) terdapat parut, yang dinamakan hilum. Pada
saat perkecambahan, air masuk ke dalam biji dengan mudah melalui hilum. Pada bakal biji
anatrop, sebagian dari funikulus melebur dengan integumen, biji tersebut kemudian akan
hilang atau lepas bersama dengan funikulus yang terlebur, sehingga terbentuk struktur khas
yang dinamakan rafe.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum adalah agar mahasiswa dapat membandingkan struktur
tiga macam biji, yaitu biji jagung (Zea mays) dan biji jarak (Ricinus communis).
20
Endosperma merupakan bagian atau lapisan kedua sebagai cadangan makanan biji (Paeru dan
Dewi, 2017).
Biji jarak pagar berbentuk bulat lonjong, berwarna cokelat kehitaman dengan ukuran
panjang 2 cm, tebal 1 cm, dan berat 0,4-0,6 gram/biji (Prihandana dan Hendroko, 2006 dalam
Murdani, 2016). Biji jarak pagar merupakan biji berkeping dua (dikotil). Secara umum biji
jarak tersusun atas kulit (shell) dan isi biji (cernel) yang di dalamnya terdapat embrio. Kulit
menempati sekitar 29,82% dari biji, dan isi sekitar 70,19%. Isi biji terdiri atas embrio,
kotiledon atau daun biji, dan endosperma (Santoso, 2010). Biji jarak pagar termasuk kategori
benih ortodoks (disimpan pada kadar air 5-7%). Biji akan bersifat dorman 1 bulan setelah
panen. Untuk memecah dormansi, biji direndam air selama 12 jam sebelum semai.
Kelembaban yang cukup, akan menyebabkan biji berkecambah dalam waktu kurang dari 10
hari. Perkecambahan jarak pagar bersifat epigeal (daun embrio muncul ke atas permukaan)
(Mahmud, dkk., 2010)
III. Alat, Bahan dan Cara Kerja
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Praktikum dilaksanakan diLaboratorium Tanaman I, Politeknik Negeri Lampung pada
hari Minggu tanggal 14 November 2021.
B. Alat dan bahan yang dibutuhkan adalah :
1. Biji Jagung (Zea mays)
2. Biji Jarak (Ricinus communis)
C. Cara Kerja sebagai berikut :
1. Mengamati penampakan biji jagung dan jarak bagian luar dengan seksama, dan
dicatat
2. Mengamati penampakan biji jagung dan jarak setelah disayat memanjang dengan
seksama, dan dicatat
IV. Hasil Pengamatan dan Pembahasan
A. Penampakan Biji Jagung Bagian Luar
21
B. Penampakan Biji Jarak Bagian Luar
V. Kesimpulan
Biji merupakan organ tumbuhan yang berkembang dari ovulum (bakal biji) setelah
terjadinya fertilisasi. Didalam biji terdapat embrio, yang merupakan bakal tumbuhan baru,
dan jaringan penyimpan cadangan makanan, yaitu endosperm. Biji umumnya akan dilingkupi
oleh satu atau dua lapisan kulit biji atau testa. Seiring dengan perkembangan embrio dan
endosperm, maka bakal biji akan berkembang pula menjadi biji. Proses tersebut disertai
dengan berbagai perubahan pada jaringan yang ada disekitarnya. Integumen biasanya akan
berkembang menjadi kulit biji atau testa. Pada permukaan biji tumbuhan tertentu kita akan
dapat menemukan suatu struktur yang disebut arilus. Arilus dapat dibedakan menjadi arilus
22
sejati dan ariloid. Arilus sejati merupakan jaringan yang terbentuk karena adanya
pertumbuhan bagian distal funikulus dekat biji, sedangkan aroloid merupakan tonjokan yang
terbentuk karena adanya aktivitas pertumbuhan jaringan lain selain funikulus. Ariloid dapat
dibedakan menjadi strofiola, apabila terbentuk dari pertumbuhan pada rafe, dan karunkula,
merupakan ariloid yang terbentuk karena pertumbuhan jaringan di bangian mikropil. Bakal
biji (ovulum) matang yang sudah mengalami fertilisasi, terdiri dari embrio, endosperm dan
kulit biji. Setelah fertilisasi terjadi berbagai perubahan pada bakal biji, sel telur menjadi zigot,
kemudian zigot membelah membentuk embrio. Pada Angiospermae setelah inti polar
difertilisasi oleh sel sperma, berubah menjadi inti endosperm primer (3 n), yang kemudian
membentuk endosperma. Integumen akan berubah menjadi lapisan pelindung biji. Biji
memiliki struktur dasar seperti bakal biji, dengan beberapa modifikasi seperti jaringan yang
berkembang atau hilang.
1. Kultur meristem
Istilah meristem seringkali digunakan untuk menyebutkan ujung tunas dari tunas apikal atau
lateral. Meristem sebenarnya adalah apikal dome dengan primordia daun terkecil, biasanya
berdiameter kurang dari 2 mm.
2. Kultur kalus
Kultur kalus adalah kultur yang diambil dari bagian eksplan yang sudah membentuk kalus.
Dalam teknik kultur jaringan produksi kalus biasanya dihindari karena dapat menimbulkan
variasi. Kadang – kadang eksplan menghasilkan kalus, bukan tunas baru, khususnya jika
diberikan hormon dengan konsentrasi tinggi pada media.
3. Kultur Suspensi Sel
Ini merupakan hasil dari kultur kalus, dimana kalus biasanya didefinisikan untuk kumpulan
sel – sel yg belum berdiferensiasi, jika ini dipisahkan dalam kultur cair maka disebut kultur
suspensi. Kultur suspensi sel dapat dimanfaatkan untuk memproduksi suatu zat langsung dari
sel tanpa membentuk tanaman lengkap baru.
4. Kultur protoplas
Ini merupakan langkah lanjutan dari kultur suspensi sel dimana dinding sel dari sel – sel yang
disuspensikan, dihilangkan dengan menggunakan enzim untuk mencerna selulosa sehingga
didapatkan protoplasma, yaitu isi sel yang dikelilingi oleh membran semipermeabel. Dengan
penghilangan dinding sel, materi asing dapat dimasukkan, termasuk materi genetik dasar
DNA dan RNA, atau mefusikan sel–sel dari spesies–spesies yang sepenuhnya berbeda.
5. Kultur anther dan pollen
Produksi kalus dan embrio somatik dari kultur anther dan pollen telah berhasil dilakukan
pada berbagai spesies. Anter diambil dari bunga yang masih kuncup, yang menarik disini
adalah produksi embrio haploid, yaitu embrio yang hanya memiliki 1 set dari pasangan
kromosom normal. Ini dihasilkan dari jaringan gametofitik pada anther. Jumlah kromosom
dapat digandakan kembali dengan pemberian bahan kimia seperti kolkisin, dan tanaman yang
dihasilkan akan memiliki pasangan kromosom identik, homozigot.
24
6. Kultur endosperm
Yang diharapkan dari tanaman ini adalah menghasilkan tanaman triploid. Pada kultur ini,
yang pertama kali dilakukan adalah menginduksi endosperm agar terbentuk kalus,
selanjutnya diusahakan agar terjadi diferensiasi, yaitu memacu terjadinya tunas dan akar.
7. Kultur embrio
Kultur dari embrio yang belum cukup tua yang diambil dari biji memiliki 2 macam aplikasi.
Pertama, inkompatibilitas pada beberapa spesies atau kultivar yang timbul setelah
pembentukan embrio akan menyebabkan aborsi embrio. Embrio seperti ini dapat
diselamatkan dengan cara mengkulturkan embrio yang belum cukup tua dan
menumbuhkannya pada media kultur yang sesuai.
Embriogenesis somatik merupakan suatu proses di mana sel somatik berkembang
membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui
fusi atau penggabungan gamet. Produksi biji buatan merupakan salah satu aplikasi
pemanfaatan embrio somatik. Biji buatan pertama kali dibuat dengan cara menyelimuti
embrio somatik menggunakan jeli pelindung, kemudian disimpan pada suatu ruangan
bersuhu rendah. Biji buatan dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk mikropropagasi
tumbuhan, karena penanganannya sebelum dipindahkan ke lapangan relatif mudah dan tahan
disimpan hingga beberapa minggu.
Tahap perkembangan embrio somatik menyerupai embrio zigotik. Pada embriogenesis
zigotik, tahap perkembangan embrio dimulai dari zigot yang mengalami pembelahan sel
berulang kali membentuk fase globular, jantung, torpedo, dan kotiledon. Embriogenesis
somatik terbentuk karena adanya pembelahan sel-sel somatik yang bersifat embriogenik,
sehingga tahap perkembangannya kemudian menyerupai embrio zigotik. Secara spesifik
tahap perkembangan tersebut dimulai dari fase kalus globular, jantung torpedo, dan diakhiri
dengan pembentukan tunas atau planlet. Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya
yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem apeks akar dan meristem
apeks pucuk. Dengan memiliki struktur tersebut, maka perbanyakan melalui embrio somatik
lebih menguntungkan dibandingkan dengan pembentukan tunas adventif yang unipolar.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum adalah sebagai berikut :
1. Agar mahasiswa dapat membedakan embrio somatik dan embrio zigotik
2. Agar mahasiswa dapat memahami langkah kerja pembuatan kultur embrio dari sel-sel
somatik
25
II. Tinjauan Pustaka
Embriogenesis somatik mampu menghasilkan jumlah propagula yang tidak terbatas
dan dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu juga dapat mendukung
program pemuliaan tanaman melalui rekayasa genetika, penggunaan embrio somatik dapat
mempercepat keberhasilan peluang transformasi yang tinggi karena embrio somatik dapat
berasal dari satu sel somatik. Untuk penyimpanan jangka pendek maupun jangka panjang,
embrio somatik dianggap merupakan bahan tanaman yang ideal untuk disimpan karena bila
diregenerasikan dapat membentuk bibit somatik (Purnamaningsih, 2012).
Embrio somatik dapat terbentuk secara langsung maupun secara tidak langsung yaitu
melalui bentuk kalus. Embriogenesis tidak langsung mempunyai beberapa tahap yaitu induksi
sel dan kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, dan hardening. Menurut Bhojwani
(1989) pada tahap induksi kalus embriogenik dilakukan isolasi eksplan dan penanaman
eksplan pada medium tumbuh yang mengandung auksin dengan konsentrasi tinggi atau yang
mempunyai daya aktivitas yang 7 kuat. Tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari
struktur globular membentuk kotiledon dan primordia akar. Pada tahap ini sering digunakan
auksin pada konsentrasi rendah.
26
C. Cara Kerja sebagai berikut :
1. Sterilisasi permukaan jaringan empulur dengan larutan 0,21% natrium hiopklorit
selama 15 menit dan dilanjutkan dengan 2,1% natrium hiopklorit selama 10 menit.
2. Kemudian bilas empulur dengan akuades steril sebanyak 3 kali sebelum ditanam di
medium MS padat dengan penambahan zat pengatur tumbuh 4,5 x 10-6 M 2,4-D
dan 4,5 x 10-6 M kinetin dan 8% (v/v) agar.
3. Lalu inkubasi selama 3-4 minggu pada suhu kamar (27oC).
4. Setelah terbentuk kalus kemudian di subkultur ke medium yang sama selama 3-4
minggu hingga terbentuk kalus meremah. Kalus meremah tersebut di subkultur ke
medium MS cair dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D dengan
konsentrasi 4,5 x 10-6 M dan kinetin dengan konsentrasi 4,5 x 10-6 M.
5. Kemudian kalus diagitasi pada kecepatan 120 rpm pada suhu 27 oC sampai
terbentuk kultur suspensi.
6. Induksi embrio somatik dilakukan dengan cara memindahkan sel dari kultur
suspensi ke medium MS cair yang mengandung 4,5 x 10-6 M kinetin.
7. Pada kultur suspensi, kelompok sel-sel proembrionik pada kalus dapat dipisahkan
mejnadi sel-sel tunggal dengan menggunakan saringan membran nylon berukuran
pori-pori 500 dan 224 nm. Amati tahap perkembangan embrio dibawah mikroskop
tiap minggu.
8. Embrio yang terbentuk pada medium cair kemudian disubkultur ke medium K456
semisolid untuk mengamati pembentukan plantlet.
27
Kelas tumbuhan wortel adalah sebagai berikut :
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Apiales
Famili: Apiaceae
Genus: Daucus
Spesies: D. carota
V. Kesimpulan
Embriogenesis somatik merupakan suatu proses perkembangan embrio yang berasal
dari sel-sel somatik tanpa melalui fusi/penggabungan gamet. Tahap perkembangan embrio
somatik menyerupai embrio zigotik. Pada embriogenesis zigotik, tahap perkembangan
embrio dimulai dari zigot yang mengalami pembelahan sel berulang kali membentuk fase
globular, jantung, torpedo dan kotiledon, sedangkan embriogenesis somatik terjadi karena
adanya pembelahan sel-sel somatik yang bersifat embriogenik, sehingga tahap
perkembangannya kemudian menyerupai embrio zigotik. Embrio somatik dapat dicirikan dari
strukturnya yang bipolar, mempunyai meristem apeks akar dan meristem apeks pucuk.
Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung sebagai
kelanjutan dari proses pembuahan (embriogenesis zigotik) maupun tidak langsung (melewati
fase kalus). Sel yang bersifat embriogenik dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma
padat, inti besar, vakuola kecil, dan mengandung butir pati.
28
DAFTAR PUSTAKA
Bhojwani. 1989. Plant Tissue Culture. Theory and Practice, a Revised. Edition. Elsvier.
Amsterdam.
Campbell, Neil A., and Reece, Jane B. 2000. Biologi. Jakarta: Erlangga.
Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Penerjemah Ahmad Sodiarto dkk. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Indrianto. 2003. Bahan ajar kultur jaringan tanaman. Fakultas Biologi. UGM. Yogyakarta.
Tim Bina Karya Tani. 2009. Budidaya tomat secara komersial. Jakarta: Penebar Swadaya.
Leyser. 2009. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing Company, Inc.
Westport. Connecticut.
Mahmud, dkk. 2010. Peran kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman. FP. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Paeru, RH., dan Dewi, TQ. 2017. Panduan Praktis Budidaya Jagung. Jakarta : Penebar
Swadaya. Cetak 1.
Purnamaningsih, R. 2012. Regenerasi Tanaman Melalui Embriogenesis Somatik dan
Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Buletin AgroBio. 5 (2) : 51-58.
Santoso. 2010. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Pusat Antar
Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Stace, C.A. 1980. Plant Taxonomy and Biosystematics. Edward Arnold Limited, London, 74-
83.
Suryowinoto. 1990. Pemuliaan Tanaman Secara In vitro. Yogyakarta: Kanisius
Widya. 1989. Profil Pertumbuhan dan Kandungan Glikosida Jantung Kalus Daun Kamboja
Jepang (Adenium obseum (Forssk.) Roe m. & Schult.) Dalam Woody Plant Medium
Dengan Variasi Konsentrasi Asam 2,4- 57 Diklorofenoksiasetat dan 6-
Furfurylaminopurine. Skripsi. Universitas Sanatha Dharma. Yogyakarta.
29