Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Anestesi Perioperatif

[JAP. 2020;8(3):194–205]
 Laporan Kasus

Penatalaksanaan Syok Sepsis dengan Penyulit Cedera Ginjal Akut pada Pasien
Peritonitis Sekunder
Masriani, Haizah Nurdin, Faisal Muchtar
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin-RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar
Abstrak
Peritonitis akibat infeksi intraabdominal, khususnya peritonitis sekunder merupakan salah satu penyebab
syok sepsis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Perkembangan dalam pemahaman
fisiologi, pemantauan, dan tunjangan sistem kardiopulmonal, serta penggunaan obat-obat baru secara
rasional membuat mortalitas stabil pada kisaran 30%. Kasus ini mengenai seorang pasien perempuan usia
67 tahun masuk rumah sakit dengan diagnosis peritonitis generalisata karena suspek perforasi Hollow
viscous. Setelah menjalani operasi laparatomi untuk source control, pasien dirawat di ICU selama 5 hari.
Selama perawatan pasien mengalami edema paru, sepsis, anemia, hipokalemia, hipoalbuminemia, serta
acute kidney injury (AKI). Pada pasien dilakukan tindakan ventilasi mekanik selama 4 hari yang diiringi
dengan pemantauan analisis gas darah arteri dan furosemid untuk tata laksana edema paru dan fluid
overload. Resusitasi dan pemeliharaan cairan sambil memantau hemodinamik konvensional dan melalui
ICON, balance kumulatif, fluid overload, tekanan vena sentral, serta urine output. Terapi antimikrob
diberikan berdasar atas pedoman terapi infeksi intraabdominal dan antibiogram ICU rumah sakit. Kondisi
perfusi dipantau dengan kadar laktat dan SCVO2. Respons antibiotik dan perbaikan sepsis dipantau dengan
pemeriksaan prokalsitonin dan leukosit. Perbaikan AKI dipantau dengan produksi urine serta kadar ureum
dan kreatinin. Penatalaksanaan peritonitis sekunder dengan komplikasi sepsis dengan penyulit AKI telah
berhasil dilakukan di ICU. Peritonitis sekunder memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi, namun
dengan source control yang adekuat dan manajemen di ICU yang agresif maka diperoleh hasil yang baik
seperti pada kasus ini.

Kata kunci: Cedera ginjal akut, peritonitis, peritonitis sekunder, syok sepsis

Management of Septic Shock with Acute Renal Failure Complications in


Secondary Peritonitis Patients
Abstract
Peritonitis due to intraabdominal infection, especially secondary peritonitis is one of the major causes of
septic shock with high morbidity and mortality. Developments in understanding the physiology, monitoring
and supportive therapy for cardiopulmonary system and rational use of new drugs, make mortality stable
at around 30%. A 67-year-old female patient was hospitalized with generalized peritonitis due to suspected
Hollow Viscous perforation. After undergoing laparotomy for source control, the patient was treated in the
ICU for five days. During treatment, the patient experiences pulmonary edema, sepsis, anemia, hypokalaemia,
and hypoalbuminemia, and acute kidney injury (AKI). The patient received mechanical ventilation
intervention for four days accompanied by monitoring of arterial blood gas analysis and furosemide
administration for pulmonary edema and fluid overload management. Fluid resuscitation and maintenance
are monitored by conventional hemodynamic monitoring and through ICON, and by cumulative balance
calculation, fluid overload calculation, central venous pressure, and urine output. Antimicrobial therapy
is given based on guidelines for intraabdominal infection therapy and antibiogram at the hospital ICU. The
condition of perfusion is monitored by examination of lactate and SCVO2 levels. Antibiotic response and
improvement in sepsis are monitored by examination of procalcitonin and leukocytes. AKI improvement is
monitored by urine production, and urea and creatinine levels. Management of secondary peritonitis with
complications of sepsis and AKI has been successfully carried out in the ICU. Secondary peritonitis has a
fairly high mortality rate, but with adequate source control and aggressive management in the ICU, good
results are obtained as in this case.

Keywords: Acute kidney injury, peritonitis, sepsis shock, secondary peritonitis, shock
Korespondensi: Masriani, dr., SpAn. M. Kes, Bagian Ilmu Anestesi, Perawatan Intensif, dan Manajemen Nyeri Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin, Jalan Perintis Kemerdekaan KM 11 Tamanlarea Kota Makassar, tlpn 0411-582583,
Email masrie2212@gmail.com

194 p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http://dx.doi.org/10.15851/jap.v8n3.0000


doi.org/10.15851/jap.v8n3.2174
Masriani, Haizah Nurdin, Faisal Muchtar: Penatalaksanaan Syok Sepsis dengan Penyulit Cedera Ginjal Akut pada Pasien 195
Peritonitis Sekunder

Pendahuluan baru menunjukkan disfungsi mikrovaskular,


inflamasi, dan gangguan metabolik menjadi
Peritonitis adalah inflamasi terlokalisasi atau mekanisme fundamental terjadi S-AKI.3
generalisata di dalam kavum peritonium Meskipun terapi antibiotik telah
yang umumnya disebabkan oleh bakteri atau berkembang signifikan dalam tata laksana
jamur, namun dapat juga disebabkan oleh penyakit yang mengancam nyawa, namun
zat noninfeksi seperti kandungan gaster kematian akibat infeksi di Amerika Serikat
atau isi empedu. Peritonitis akibat infeksi (AS) dan di seluruh dunia masih banyak dan
diklasifikasikan atas primer, sekunder, atau peritonitis akibat infensi intraabdominal (IAI)
tersier. Peritonitis ini diklasifikasikan berdasar termasuk dalam penyakit ini. Mortalitas infeksi
atas integritas anatomi kavum abdominal.1 intra-peritonium pada awal tahun 1900-
Sepsis memengaruhi 750.000 pasien setiap an mendekati 90%. Kondisi ini umumnya
tahun di Amerika Serikat dan merupakan diterapi tanpa operasi sampai Kishner
penyebab utama kematian pada pasien sakit memperkenalkan prinsip dasar pembedahan
kritis. Sebanyak 210.000 orang meninggal pada infeksi intraabdominal. Pada kisaran
setiap tahun karena sepsis dan sekitar 15% tahun 1930-an, mortalitas telah berkurang
pasien sepsis menjadi syok sepsis. Sekitar 10% hingga 50%. Beberapa antibiotik baru saat
akhirnya masuk ICU dengan angka kematian itu maka mortalitas menurun perlahan.
lebih dari 50%.1 Syok septik adalah respons Penggunaan cephalosphorin pada awal tahun
serius terhadap infeksi yang melibatkan 1970-an menurunkan mortalitas hingga
sirkulasi dan kelainan metabolik seluler, hal 30–40%. Perkembangan dalam pemahaman
ini memiliki efek substansial pada morbiditas fisiologi, pemantauan, tunjangan sistem
dan mortalitas. Pedoman dari surviving sepsis kardiopulmonal, serta penggunaan obat-obat
campaign (SSC) menyebabkan penurunan baru secara rasional membuat mortalitas
kejadian sepsis, namun syok sepsis masih stabil pada kisaran 30%.4
menyumbangkan 62% kasus syok dengan
angka kematian di rumah sakit lebih besar dari Laporan Kasus
40%. Intensive Care Unit (ICU) bedah, infeksi
intraabdominal adalah penyebab sepsis yang Pasien perempuan (Ny. RA) usia 67 tahun,
paling umum dengan tingkat kematian 10,5% berat badan (BB) 50 kg masuk ke Instalasi
di seluruh dunia. Mortalitas terkait syok sepsis Rawat Darurat (IRD) Rumah Sakit Wahidin
menurun, namun laju disfungsi organ tetap Sudirohusodo (RSWS) dari rujukan RSUD
tinggi. Cedera ginjal akut (acute kidney injury/ dengan diagnosis peritonitis generalisata e.c.
AKI) adalah salah satu komplikasi sepsis suspek perforasi hollow viscous. Anamnesis
paling sering yang membahayakan 30–40% didapatkan bahwa pasien mengeluh nyeri
pasien di ICU. Lebih dari 45% pasien dengan perut hebat sejak 2 minggu terakhir. Nyeri
syok sepsis menderita AKI dan semuanya terasa tembus sampai ke pinggang dan
memiliki luaran yang buruk, termasuk lama punggung bawah. Mual dan muntah sering
rawat ICU dan rumah sakit, gagal ginjal kronik, dialami. Riwayat penyakit lain disangkal.
penyakit ginjal stadium akhir, dan peningkatan Riwayat dirawat di rumah sakit daerah selama
mortalitas.2 7 hari.
Sepsis terkait cedera ginjal akut (S-AKI) Pada pemeriksaan fisis ditemukan status
adalah komplikasi yang sering pada pasien jalan napas paten, pernapasan spontan,
sakit kritis. Pengenalan dini sangat penting frekuensi napas 24x/menit, tekanan darah
untuk memberi pengobatan yang mendukung (TD) 72/52 mmHg, laju jantung 112x/menit,
dan membatasi perkembangan lebih lanjut. Glasgow coma scale (GCS) 15 (E4M6V5), dan
Kriteria diagnostik saat ini membatasi deteksi suhu 36,5°C. Abdomen distended dengan
dini, namun biomarker baru gangguan ginjal peristaltik meningkat dan ada edema pretibial.
dan kerusakannya telah ada. Penelitian Pemeriksaan penunjang diperoleh temuan

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020


196 p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// doi.org/10.15851/jap.v8n3.2174

Gambar 1 Ronsen toraks Tanggal 23 Februari 2020: Pneumoperitoneum dan Dilatasi Aorta, Edema
Paru Minimal
Sumber: Dokumentasi pribadi

anemia Hb 9,0 g/dL, leukositosis (leukosit dan produksi urine 100 cc. Pasien menerima
32.640/mm3), trombositosis (Plt 685.000/ cairan intravena kristaloid 2.500 cc, koloid
mm3), hipokalemia (kalium 2,8 meq/L), dan 500 cc, transfusi whole blood 500 cc, serta
hipoalbuminemia (2,1 mg/dL). Saat di IGD diberikan asam traneksamat (TXA) 1 gram
pasien menerima resusitasi cairan dengan dengan dosis rumatan 500 mg / 8 jam. Tekanan
cairan Ringer laktat (RL). Pasien menerima darah sistole (TDS) intraoperatif berkisar
obat intravena dan antibiotik cefotaxim 1 g. 80–110 mmHg, tekanan darah diastole (TDD)
Produksi urine pasien selama di IGD berkisar 30–55 mmHg, dan HR 80–122x/menit dengan
10 mL/jam. topangan norepinefrin 0,1 mcg/kgBB/menit
Sekitar 3 jam setelah masuk rumah sakit dan dobutamin 0,5 mcg/kgBB/menit. Pasien
pasien menjalani operasi laparatomi (open tidak diekstubasi dan ditransfer ke ICU.
midline) selama 6 jam dengan anestesi GETA. Pada pemeriksaan fisis pasien saat awal
Selama operasi, perdarahan berkisar 350 cc masuk di unit perawatan intensif ditemukan:

(a) (b)
Gambar 2 (a) USG Paru: Tidak Ada Tanda-Tanda Edema Paru
(b) IVC: Indeks Kollapsibilitas Vena Kava Inferior <50%
Sumber: Dokumentasi pribadi

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020


Masriani, Haizah Nurdin, Faisal Muchtar: Penatalaksanaan Syok Sepsis dengan Penyulit Cedera Ginjal Akut pada Pasien 197
Peritonitis Sekunder

Tabel 1 Rangkuman Penilaian, Rencana, dan Tindakan Selama Hari Perawatan di ICU
HP
dan Assessment Rencana Tindakan
Tanggal
Ke-0 Pacaoperasi laparatomi reseksi tumor + Ventilator - O2 via ETT On Ventilator
anastomosis + Ileocolostomy mekanik + Mode SIMV PC, Pinsp 15,
23/02/ Sepsis, hipoalbuminemia Manajemen RR 14x, PEEP 5 PS 15
2020 ventilator FiO2 60%
APACHE score= 18 bundle - IVFD RL 1.500 cc/24jam,
Mortalitas 25% Proteksi lung - Dex 5% 500 cc/24 jam
strategi F: Puasa
B1 : O2 via ETT-Ventilator, TV = 348 mL, RR 20 x/1’, BP :
Proteksi jalan - A: Fentanil 30 mcg/jam/sp/
Vesikuler, SpO2 99%, Rh: -/- Wh: -/- Sp.O2 99%
B2: TD 110-125/55-65 mmHg, HR 99–120x/menit,
napas iv + metamizol 1g/8 jam/i.v.
reguler, kuat angkat
Monitoring S: -
B3: GCS10x (E4M6Vx), pupil bulat isokor (Ø 2,5
hemodinamik - T: -
mm/2,5 mm), RC +/+ , T: 36,5 °C, Antibiotik - H: Head up 30˚
B4: Urin per kateter, produksi urin 0–20 cc/jam, spektrum luas - U: Omeprazol 40 mg/24
warna kuning jam/i.v.
B5 : Abdomen datar, supel, distensi (-), peristaltik 6x/ - G: Target GDS 120–180
mnt, terpasang drain mg/dL
B6: Edema (-/-), fraktur (-/-) - Meropenem 1 g/8 jam/i.v.
(H-1)
- Levofloxacine 750 mg/24
- jam
Furosemid 10 mg/jam/s.p.
- Norepinephrine 0,2 mcg/
kgBB/j/sp
Dobutamin 8 mcg/kgBB/j/
sp

Ke-1 Pascaoperasi laparatomi reseksi tumor + Ventilator - O2 : Ventilator, Mode


24/02 anastomosis + Ileocolostomy mekanik + CPAP. PS = 8, PEEP = 5,
2020 Sepsis Manajemen FiO2 – 60%
AKI ventilator - IVFD RL 1.000 cc/24
Anemia bundle - jam, Dx5% 500 cc/24
Hipokalemia Proteksi lung jam Dex5% 500 cc/24
Hipoalbuminemia strategi - jam
Proteksi jalan - F: Puasa
napas A: Fentanil 30 mcg/jam/
B1 : O2 via ETT-Ventilator, TV = 300–350 mL, RR 20 x/1’, Monitoring - sp/i.v. + metamizol 1
BP : Vesikuler, SpO2 99%, Rh: -/- Wh: -/- Sp.O2 99% hemodinamik - g/8 jam/i.v.
B2 : TD 110–135/80–100 mmHg, HR 130x/menit, Antibiotik - S: -
reguler, kuat angkat. CVC 8 – 10 cmH2O spektrum luas - T: -
B3: GCS10x (E4M6Vx), pupil bulat isokor (Ø 2,5 mm/2,5 H: Head up 30˚
mm), RC +/+ , T: 36,5 °C, - U: Omeprazol 40 mg/24
B4: Urin per kateter, produksi urin 20–100 cc/jam, jam/i.v.
warna kuning - G: Target GDS 120–180
B5 : Abdomen datar, supel, distensi (-), peristaltik 6x/ - mg/dL
mnt, terpasang drain
- Meropenem 1 g/8 jam/
B6: Edema (-/-), fraktur (-/-)
- i.v. (H-1)
Levofloxacine 750
- mg/24 jam
ICON : Furosemid 10 mg/
CaO2 = 11,1 mL/dL jam/s.p.
TFC = 35 Norepinephrine 0.15
CI/CO = 5,2 L/menit mcg/kgBB/j/sp
SV /SVV = 43 mL/14% Dobutamin 5 mcg/
ICON = 36,4 kgBB/j/sp
SVR / SVRI = 1.432 dyns/5 cm/1.962 BSA

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020


198 p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// doi.org/10.15851/jap.v8n3.2174

Ke-2 Pascaoperasi laparatomi reseksi tumor + Ventilator - O2 : Ventilator, Mode


25/02 Anastomosis + Ileocolostomy mekanik + CPAP. PS = 8, PEEP = 5,
2020 Sepsis Manajemen FiO2 – 60%
AKI ventilator - IVFD RL 1.000 cc/24
Anemia bundle jam, Dx5% 500 cc/24
Hipokalemia Proteksi lung - jam
Hipoalbuminemia strategi - F: Puasa
B1 : O2 via ETT-Ventilator, TV = 300 – 350 mL, RR 20 x/1’, Proteksi jalan A: Fentanil 20 mcg/jam/
BP : Vesikuler, SpO2 99%, Rh: -/- Wh: -/- Sp.O2 99% napas - sp/i.v. + metamizol 1
B2: TD 100–115/55–80 mmHg, HR 130x/menit, reguler, Monitoring - g/8 jam/i.v.
kuat angkat. CVP 7 – 9 cmH2O hemodinamik - S: -
B3: GCS10x (E4M6Vx), pupil bulat isokor (Ø 2,5 mm/2,5 Antibiotik - T: TXA 500 mg/8 jam/iv
mm), RC +/+ , T: 36,5 °C, spektrum luas H: Head up 30˚
B4: Urin per kateter, produksi urin 50–200 cc/jam, - U: Omeprazol 40 mg/24
warna kuning jam/i.v.
B5 : Abdomen datar, supel, distensi (-), peristaltik 6x/ - G: Target GDS 120–180
mnt, terpasang drain - mg/dL
B6: Edema (-/-), fraktur (-/-) - Meropenem 1 g/8 jam/i.v.
- (H-1)
Levofloxacine 750 mg/24
jam
Furosemid 10 mg/jam/s.p.
Norepinephrine 0,05 mcg/
kgBB

Ke-3 Pascaoperasi laparatomi reseksi tumor + Ventilator - O2 Cannula 2 lpm


26/02 anastomosis + ileocolostomy mekanik + - IVFD Kalbamin 500 cc/24
2020 Hipokalemia Manajemen jam, Aminofluid 300 cc/24
Hipoalbuminemia ventilator jam, KaEn3B 500 cc/24
B1 : O2 via NC 2 lpm, RR 18 x/1’, BP : Vesikuler, SpO2 99%, bundle - jam
Rh: -/- Wh: -/- Sp.O2 100% Proteksi lung - F: Clear fluid 5 sendok/jam
B2: TD 118–137/80–90 mmHg, HR 70–95 x/menit, strategi - A: Metamizol 1 g/8 jam/i.v.
reguler, kuat angkat, akral hangat CRT <2 dtk, CVP = 8–10 Proteksi jalan - S: -
cmH2O napas - T: TXA 500 mg/8 jam/i.v.
B3: GCS15 (E4M6V5), pupil bulat isokor (Ø 2,5 mm/2,5 Monitoring - H: Head up 30˚
mm), RC +/+ , T: 36,5 °C, hemodinamik - U: Omeprazol 40 mg/24
B4: Urin per kateter, produksi urin 10–50 cc/jam, warna Antibiotik jam/i.v.
kuning spektrum luas - G: Target GDS 120–180
B5 : Abdomen datar, supel, distensi (-), peristaltik 6x/ mg/dL
mnt, terpasang drain - Meropenem 1 g/8 jam/i.v.
B6: Edema (-/-), fraktur (-/-) (H-1)
- Levofloxacine 750 mg/24
jam
- VIP albumin 3 x 2 capsul
per NGT
- KCl 50 mg/12 jam/i.v.
- kontinu
Furosemid 10 mg/jam/s.p.
Norepinephrine 0,05 mcg/
kgBB

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020


Masriani, Haizah Nurdin, Faisal Muchtar: Penatalaksanaan Syok Sepsis dengan Penyulit Cedera Ginjal Akut pada Pasien 199
Peritonitis Sekunder

Ke-4 Pascaoperasi laparatomi reseksi tumor + Monitoring - O2 Cannula 2 lpm


27/02 anastomosis + ileocolostomy hemodinamik - IVFD Kalbamin 500 cc/24
2020 Hipokameia, Hipoalbuminemia Antibiotik jam, Aminofluid 300 cc/24
B1 : O2 via NC 2 lpm, RR 18 x/1’, BP : Vesikuler, SpO2 99%, spektrum luas jam, KaEn3B 500 cc/24
9 Jam Rh: -/- Wh: -/- Sp.O2 100% - jam
B2: TD 110–120/60–80 mmHg, HR 60–8 5 x/menit, - F: Clear fluid 5 sendok/jam
reguler, kuat angkat, akral hangat CRT <2 dtk, CVP= 10–12 - A: metamizol 1 g/8 jam/i.v.
cmH2O - S: -
B3: GCS15 (E4M6V5), pupil bulat isokor (Ø 2,5 mm/2,5 - T: TXA 500 mg/8 jam/i.v.
mm), RC +/+ , T: 36,5 °C, - H: Head up 30˚
B4: Urin per kateter, produksi urin 50–70 cc/jam, warna - U: Omeprazol 40 mg/24
kuning - jam/i.v.
B5 : Abdomen datar, supel, distensi (-), peristaltik 6x/mnt, G: Target GDS 120–180
terpasang drain - mg/dL
B6: Edema (-/-), fraktur (-/-) - Meropenem 1 g/8 jam/i.v.
- (H-1)
Levofloxacine 750 mg/24
- jam
VIP albumin 3 x 2 kapsul
per NGT
KCl 50 mg/12 jam/i.v.
kontinu

B1: O2 Via ETT-Jackson Rees 8 lpm, RR 12x dL, albumin 2 mg/dL, dengan peningkatan
menit, SpO2 99% Rh-/-, Wh-/-; B2: TD 85/42 prokalsitonin (PCT) hinggga 70,51 ng/mL
mmHg (MAP 56); HR 67x/menit, reguler, dan peningkatan laktat hingga 3,1 mmol/L.
kuat angkat, akral hangat, CRT <2 dtk; B3: Hasil analisis gas darah diperoleh pH 7,25;
GCS: tersedasi, pupil bulat isokor (Ø 2,5 PCO2 45,9 mmHg, PO2 96 mmHg, SO2 97,6;
mm/2,5 mm), RC +/+ , T: 36,8°C;B4: Urin per HCO3 22; BE -3,4; FiO2 0,5 dan P/F Ratio 192.
kateter, produksi 10 cc/jam, warna kuning; Kesan asidosis metabolik tidak terkompensasi
B5: abdomen datar, supel , ikut gerak napas, dengan gambaran perfusi jaringan berupa
peristaltik (+) 8x/mnt, terpasang drain; laktat darah 5,1 dan ScvO2 68%, produksi
B6: edema (-/-) fraktur (-/-) sianosis (-/-). urine hanya berkisar 10 cc/jam.
Keterangan: B1 adalah Breath (pernapasan), Selama di ICU, dari hasil pemeriksaan,
B2: Blood (jantung dan pembuluh darah), ditemukan pasien sakit kritis dengan skor
B3: Brain (susunan saraf pusat), B4: Bladder acute physiology and chronic health evaluation
(saluran kemih), B5: Bowel (saluran cerna), (APACHE) II, yaitu 18 dengan mortalitas 25%.
dan B6 adalah Bone (tulang kerangka). Perjalanan penyakit, rencana, serta tindakan
Pasien didiagnosis dengan pascaoperasi yang dilakukan selama perawatan ICU telah
laparatomi eksplorasi, reseksi tumor, dan dirangkum pada Tabel 1. Selama perawatan
anastomosis serta ileocolostomy. Tindakan di ICU, pada pasien ini ditemukan gagal napas
awal di ICU meliputi: ventilasi mekanik (VM) akut, asidosis metabolik, anemia, sepsis, serta
dengan strategi proteksi paru; Mode SiMV, gangguan keseimbangan elektrolit.
RR 16x/menit, PEEP 5, PS 10. Dengan hasil Pasien ini menerima ventilasi mekanik
luaran: TV 340–60 mL, SpO2 98–99%. FiO2 (VM) dengan strategi proteksi paru selama 2
100% dititrasi hingga 60%. Resusitasi cairan hari melalui ETT (endotracheal tube). Pasien
dilanjutkan hingga 1.000 cc kristaloid (RL) menerima VM mode SiMV selama 2 hari
untuk mencapai MAP ≥70 mmHg. Head up 30– perawatan di ICU dan CPAP serta PS selama
45 derajat, penghangat menggunakan selimut. 1 hari di ICU. Tidal volume (dalam batas
Pada pemeriksaan laboratorium diperoleh 300–380 cc) dan frekuensi napas ventilator
Hb 7,8 g/dL, leukosit 27.600/mm3, ureum 70 diatur untuk mencapai minute volume (MV)
mg/dL, kreatinin 1,69 mg/dL, GDS 143 mg/ yang dapat mempertahankan PaCO2 dalam

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020


200 p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// doi.org/10.15851/jap.v8n3.2174

batas 30–45 mmHg (EtCO2 lebih rendah). Pembahasan


PEEP diberikan pada kisaran 5–10 cmH2O, PS
pada kisaran 5–14. PIP ditargetkan maksimal Pada kasus ini, seorang pasien MRS dari
30 cmH2O dan P/F ditargetkan mencapai rujukan RSUD lain dengan diagnosis peritonitis
rasio >300. Pada saat masuk ICU dilakukan et causa perforasi hollow viscous. Peritonitis
pemeriksaan radiologi dan dari gambaran adalah inflamasi terlokalisasi atau generalisata
foto rontgen toraks (chest X Ray) ditemukan di dalam kavum peritonium yang umumnya
pneumoperitoneum dan dilatatio aortae disebabkan oleh bakteri atau jamur, namun
(Gambar 1). dapat juga disebabkan oleh zat noninfeksi
Cairan pemeliharaan yang diberikan adalah seperti kandungan gaster atau isi empedu.
Ringer laktat sekitar 500–1.500 cc. Cairan Peritonitis akibat infeksi diklasifikasikan atas
lainnya berasal dari enteral. Pencapaian CVP primer, sekunder, atau tersier. Peritonitis
dalam kisaran 3–7 mmHg. Pada periode MAP ini diklasifikasikan berdasar atas integritas
<70 mmHg diberikan topangan norepinefrin anatomi kavum abdominal.1–5
0,05 mcg/kgBB/menit selama 4 hari disertai Peritonitis primer berhubungan dengan
pemberian inotropik dobutamin 5 mcg/kgBB organ kavum abdominal yang masih intak.
per menit selama 3 hari awal perawatan di ICU. Peritonitis ini juga dikenal sebagai peritonitis
Anemia (Hb <10 g/dL) dikoreksi pada pasien bakteri spontan dan diterapi tanpa intervensi
ini dengan PRC. Hipoalbuminemia (<2,5 g/dL) bedah. Peritonitis ini tidak berhubungan
dikoreksi dengan pemberian albumin 20% langsung dengan proses intra-abdominal lain.
100 cc per 24 jam selama 3 hari perawatan. Peritonitis ini mencakup peritonitis bakterial
Pasien ini merima terapi meropenem 1 g/8 spontan (spontaneous bacterial peritonitis/
jam dan levofloxacyne 750 mg/24 HP-0 hingga SBP) yang ditemukan pada pasien dengan
HP terakhir. Furosemid 10 mg/jam kontinu asites akibat sirosis atau sindrom nefrotik dan
yang dititrasi hingga intermitten setiap 8 jam peritonitis tuberkulosis.
diberikan selama 4 hari awal perawatan di Peritonitis sekunder merupakan infeksi
ICU karena produksi urine yang cenderung kavitas peritoneum yang berasal dari
berkisar 20–30 cc/kgBB. Pada pemeriksaan usus atau pelvis dan mencakup peritonitis
USG bedside 2 hari setelah perawatan, tidak setelah perforasi hollow viscus, kebocoran
diperoleh edema paru dan indeks kollaps IVC anastomosis, nekrosis iskemik, atau cedera
kurang dari 50%. lain di dalam traktus gastroinstestinal.
Dari hasil pemeriksaan elektrolit ditemukan Peritonitis ini sering terjadi pada pasien bedah
periode hipokalemia selam 3 hari perawatan. kritis. Iskemia intestinal dan nekrosis usus
Pemeriksaan persentase fluid overload (FO) besar dapat disebabkan oleh berbagai macam
selama perawatan <10% kecuali pada hari proses termasuk keganasan, insufisiensi
perawatan pertama dengan CVP sekitar 8–12 vaskular, volvulus, atau intususepsi. Ruptur
mmHg dan produksi urine 0 cc/jam hingga abses pankreas, hepar, atau limpa, ruptur
300 cc per jam. gallbladder/kantong empedu (jarang).
A : Analgesia pada HP-0 hingga HP-2 pasien Peritonitis abdominal bagian bawah juga
menerima fentanil i.v. 20–50 mcg/jam dan dapat terjadi akibat infeksi ginekologik seperti
metamizol 1 g/8 jam/i.v. Pada HP-3 hingga hari salfingitis atau endometriosis.
terakhir pasien hanya menerima metamizol 1 Peritonitis tertier didefinisikan sebagai
g/8 jam/i.v. infeksi rekurren yang serius atau infeksi
S : Sedasi pada hari pertama adalah midazolam persisten pada intra-abdominal setelah kontrol
1–2 mg/jam peritonitis sekunder berhasil. Peritonitis ini
T : TXA 500 mg/8 jam selama 3 hari juga dapat terjadi akibat dialisis peritoneal.6
H : Head up 30O Segera setelah kontak fisik pertama
U : Omeprazol 40 mg/24 jam bakteri dengan peritoneum akan terjadi
G : GDS ditergetkan 80–180 mg/dL. cedera pada sel-sel mesotelium yang disusul

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020


Masriani, Haizah Nurdin, Faisal Muchtar: Penatalaksanaan Syok Sepsis dengan Penyulit Cedera Ginjal Akut pada Pasien 201
Peritonitis Sekunder

oleh aktivasi mediator inflamasi yang akan Syok sepsis merupakan komplikasi yang
mengaktivasi respons imunologi seluler dan sering ditemukan pada peritonitis generalisata
humoral. Respons awal peritoneum melawan dengan akibat gagal organ ganda (MOF/
bakteri ditandai oleh hiperemia dan eksudasi multiple organ failure) dan kadang kematian.
cairan meningkat bersamaan dengan fagosit Pada peritonitis sekunder, peritonitis akibat
di dalam kavum peritoneum. Pada tahap pascaoperasi umumnya dianggap lebih
awal ini yang predominan adalah makrofag. berat (mortalitas lebih tinggi) dibanding
Neutrofil muncul setelah 2–4 jam dan menjadi dengan peritonitis akuisita. Hal ini terjadi
sel predominan dalam kavum peritoneum akibat supresi immun akibat pembedahan
dalam 48–72 jam. Sel-sel tersebut melepaskan sebelumnya, hilangnya bersihan fisiologi
sitokin dalam jumlah besar seperti interleukin normal dari peritoneum, benda asing dalam
(IL)-1, IL-6, dan tumor necrosis factor (TNF), kavitas peritoneum (darah, cairan empedu),
leukotriens, platelet activating factor, C3A dan serta terapi empirik antibiotik awal yang tidak
C5A yang menginduksi inflamasi lokal yang adekuat pada periode pascabedah peritonitis
lebih berat. Efek kombinasi mediator tersebut sehingga meningkatkan risiko resistensi
ditemukan selama respons inflamasi pada patogen.1,5,7
peritonitis. Sebagai konsekuensi inflamasi Beberapa hari setelah peritonitis supuratif
ini terjadi produksi fibrinogen pada fokus akut, tanda-tanda hipovolemia dan syok
septik (Gambar 3). Akibat pembentukan hipovolemik akan ditemukan. Ini terjadi akibat
fibrin yang cepat, tumpukan fibrin tersebut sekuestrasi cairan dari jaringan interstisiel ke
akan mengurangi dan menyumbat reabsorpsi kavitas peritoneum dan lumen usus. Hipotensi,
cairan dari kavitas peritonium sehingga takikardia, dan oligouria beserta peningkatan
bakteri terperangkap di dalamnya. Fenomena kadar nitrogen nonprotein dan kreatinin. Jika
inilah yang menyebabkan abses.3,5,7 status sirkulasi tidak dikoreksi dan operasi
Gangguan hemodinamik pada peritonitis darurat untuk peritonitis ditunda, pasien akan
memiliki beberapa dampak. Hipovolemia memburuk dengan cepat hingga meninggal.
menurunkan volume ekstraseluler akibat Pada pasien dengan perforasi usus ganda
pergeseran massif cairan ke dalam kavum (multipel), atau pada mereka dengan operasi
peritonium dan menyebabkan penurunan yang ditunda-tunda, atau tidak adekuat,
cardiac index, peningkatan resistensi vaskular eradikasi radikal sumber peritonitis akan
perifer, dan peningkatan konsumsi oksigen sangat sulit dilakukan. Kematian akibat gagal
di perifer. Respons umum dan spesifik tubuh organ ganda akan sangat mungkin pada pasien
terhadap peritonitis dapat dilihat pada dengan kasus seperti ini.2,5,8
Gambar 4. Inilah alasan dilakukan resusitasi Manajemen peritonitis umumnya kompleks
sebelum tindakan apapun seperti pada kasus dan memerlukan pendekatan multidisipliner.
ini. 2–4,8–11 Ahli bedah dan intensivis harus bekerja sama
Setelah diresusitasi dilakukan laparatomi dengan praktisi penunjang nutrisi, terapi
dan ditemukan tumor yang kemudian respirasi, penyakit infeksi, dan radiologi.
direseksi dan dilakukan anastomosis dan Penggunaan protokol standar untuk resusitasi
ileocolostomy selama 4 jam. Pascaoperasi dan tunjangan hemodinamik/ventilator untuk
pasien ditransfer ke ICU dalam keadaan fasilitasi seluruh tata laksana akan berdampak
terintubasi ETT oral. Pasien dirawat di ICU positif terhadap luaran pasien. Keseimbangan
selama 4 hari dan mengalami komplikasi cairan sebaiknya dicapai dengan cepat
berupa hipotensi persisten dan anemia melalui pergantian setiap kekurangan cairan.
sehingga ditopang dengan vasopresor dan Zat vasoaktif dapat saja diperlukan untuk
inotropik, AKI, hipokalemia, hipoalbuminemia. membantu restorasi cairan. Faktor utama
Pasien menerima tindakan ventilasi mekanik yang terpenting pada tata laksana infeksi
selama 2 hari. Fluid overload ditangani dengan abdominal adalah4,9,10diagnosis yang cepat dan
furosemid.7,8 tepat, resusitasi yang adekuat, inisiasi terapi

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020


202 p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// doi.org/10.15851/jap.v8n3.2174

antibiotik yang tepat, source control yang pasien ini ada perbaikan dari 203 menjadi 154
cepat dan tepat, rumatan nutrisi, dan penilaian yang menunjukkan perbaikan dari gangguan
ulang respons klinik serta strategi tata laksana difusi. Pada pasien ini dilakukan manipulasi
yang tepat. meningkatkan PEEP dari 5 menjadi 8. Dalam
Sebagai pedoman umum dianjurkan perjalanan waktu P/F ratio pasien semakin
untuk mencapai beberapa parameter: (1) meningkat >300.6,7,12
central venous pressure (CVP) dan pulmonary Terapi ventilasi mekanik dilakukan dengan
occlusion pressure (POP) di antara 8 dan 12 strategi proteksi paru untuk memperbaiki
mmHg; (2) mean arterial pressure (MAP) oksigenasi, ventilasi, serta mengurangi
lebih dari 65 mmHg; (3) produksi urine lebih kebutuhan oksigen pasien (termasuk
dari 0,5 mL/kg/jam; dan (4) a mixed venous menghindari kelelahan otot pernapasan) telah
O2 saturation lebih dari 70%. Koreksi status dilakukan pada pasien ini hingga hari terakhir
hemodinamik dan respirasi untuk mencapai perawatan ICU dengan capaian oksigenasi
target parameter sebaiknya dalam 6 jam pada arteri, ventilasi, dan shunting (PaO2, PaCO2,
perawatan ICU. Volume sirkulasi efektif dan SaO2, dan P/F ratio) dalam batas normal.
tunjangan inotropik/vasopresor dukungan Akhirnya, pada hari ke-3 di ICU weaning dan
biasanya diperlukan. Dobutamin dapat deliberation ventilator berhasil dilakukan.13
digunakan dan haemoglobin target sebaiknya Upaya resusitasi cairan dan penggunaan
di atas 7 g/dL. Transfusi packed red cells (PRC) vasopresor (norepinefrin, dobutamin)
diberikan bila perdarahan aktif atau mixed dilakukan untuk mencapai MAP >65 mmHg.
oxygen saturation kurang dari 70% dan Hb Penilaian CO, SV, SVR dilakukan dengan
kurang dari 7. Pada 1 jam pertama pasien menggunakan alat ICON pada hari pertama
umumnya memerlukan 3–6 liter bergantung perawatan dan menunjukkan hasil yang
pada status pasien dan derajat penyakit. Kadar cukup baik setelah terapi. Penilaian DO2 yang
glukosa darah juga harus dipantau ketat dan mencakup kadar Hb yang meskipun dalam
dipelihara pada kisaran 220 mg/dL. Seluruh status anemia, namun mencapai target (Hb
pasien sebaiknya diberikan omeprazol untuk >7 g/dL) selama perawatan. Penilaian VO2
pencegahan stress ulcer dan heparin subkutan dengan mengukur ScvO2 diperoleh lebih dari
untuk pencegahan penyakit tromboembolik 70% selama perawatan. Nilai yang rendah
jika tidak ada temuan koagulopati. Nutrisi di awal perawatan menunjukkan jaringan
enteral sebaiknya secepat-cepatnya diberikan. mengekstraksi oksigen dalam jumlah lebih
Penggunaan steroid dosis rendah selama 7 kecil dari dalam darah yang terjadi akibat DO2
hari diindikasikan pada status syok persisten tidak adekuat dalam memenuhi VO2. Ini dapat
meskipun resusitasi telah adekuat, atau terjadi karena telah memasuki tahap DO2 kritis
respons yang buruk terhadap vasopresor atau untuk memenuhi VO2 jaringan yang sangat
insufisiensi adrenal.1,7,9,10 tinggi. DO2 yang tidak adekuat kemungkinan
Penilaian awal respirasi pasien ini di ICU besar akibat anemia dan masih dalam
adalah syok sepsis yang mengakibatkan topangan vasopresor dan inotropik. Curah
delivery oksigen ke seluruh jaringan termasuk jantung yang tidak adekuat dapat ditemukan
jaringan alveolus paru tidak sampai optimal pada syok sepsis akibat komplikasi syok
(secara mikro mengalami hipoksia). Begitu berupa depresi miokardium yang memang
juga dengan jaringan otot otot pernapasan sering ditemukan pada kasus syok sepsis.
juga tidak mendapatkan asupan oksigen Ketidakseimbangan DO2 dan VO2 ini lah yang
yang optimal dan sentral drive respirasi- berakibat hipoksia jaringan yang dapat dilihat
ekspirasi juga terganggu sehingga terjadi dengan peningkatan kadar laktat pada kasus
gagal oksigenasi dan ventilasi. Hipoksia pada ini pada hari awal masuk ICU.2,5,14
kasus ini dapat diakibatkan oleh hambatan Pada pasien ini ditemukan AKI (acute
difusi akibat cairan (udema paru minimal), kidney injury) selama perawatan di ICU, dan
atau kerusakan mikrojaringan alveolar. AaDO2 termasuk kriteria RIFFLE: Risk, dan AKIN stage

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020


Masriani, Haizah Nurdin, Faisal Muchtar: Penatalaksanaan Syok Sepsis dengan Penyulit Cedera Ginjal Akut pada Pasien 203
Peritonitis Sekunder

1 dan Skor KDIGO derajat 1. Karena itu, pasien Pada pasien ini didapatkan syok septik
diberikan terapi farmakologis berupa diuretik dengan komplikasi AKI dan sudah terjadi
furosemid kontinu. Pasien tidak menjalani overload cairan karena balans kumulatif positif
CRRT dan hemodialisis.15 dengan gejala klinis edema anasarka. KDIGO
Infeksi pada pasien ini diatasi dengan mendefinisikan AKI sebagai peningkatan SCr
pemberian dua antibiotik yang sesuai 0,3 mg/dL dalam 48 jam atau peningkatan SCr
dengan anjuran pada peritonitis sekunder. sebanyak 50% selama 7 hari terakhir. Sistem
Terapi antibiotik sebaiknya dimulai secepat- ini mirip dengan AKIN; namun GFR kurang
cepatnya. Terapi inisial diberikan secara dari 35 mL/menit/1,73 m2 ditambahkan
empirik. Pemilihan antibiotik sebaiknya untuk pasien pediatrik untuk menentukan AKI
berdasar atas mikro-organisme yang dicurigai derajat 3.10,16,18
dan kapasitas antibiotik untuk mencapai Pasien mengalami second hit injury dan
kadar yang adekuat dalam kavitas peritoneum. sudah terjadi disfungsi organ serta diperberat
Perforasi pada saluran cerna bagian atas dengan kondisi hipoalbumin, sehingga
umumnya berhubungan dengan bakteri gram- kecukupan cairan intravaskular harus dinilai
positif, yang sensitif terhadap cephalosporin dengan tepat. Pemberian cairan yang berlebihan
dan penicillin. Perforasi usus halus distal akan memperparah komplikasi kondisi
dan colon umumnya diserang polimikrob pasien yang sudah dengan edema anasarka,
aerobik dan anaerobik. Terapi kombinasi bahkan meningkatkan risiko kematian.
sebaiknya dipandu dengan antibiogram ICU/ Untuk kecukupan cairan intravaskular pada
rumah sakit. Lini pertama terapi biasanya kasus ini dinilai dengan menggunakan IVC
berbeda pada tiap-tiap institusi, dan dapat collapsibility index dan pengukuran CO, CI
saja melibatkan medikasi anti-anaerobik menggunakan alat ICON. Selain itu, juga
seperti metronidazol atau klindamisin, dilakukan penilaian perfusi jaringan dengan
yang dikombinasi dengan aminoglikosid capillary refill dan pemeriksaan laktat. Dalam
(gentamisin atau amikasin) pada kasus penilaian kecukupan cairan intravaskular
tertentu, ciprofloxacyn dan cephalosporins didapatkan bahwa pasien sudah cukup cairan
generasi ketiga atau keempat (ceftriaxone atau dan menuju tahap optimalisasi dan stabilisasi.
cefotaxime). Pada kasus berat dan pada pasien Evakuasi (deresusitasi) kemudian dilakukan
dengan risiko tinggi infeksi nosokomial, setelah melalui penilaian dan pemeriksaan
beberapa penulis menyarankan monotorapi sesuai dengan konsep ROSE (resusitation,
inisial dengan piperacillin-tazobactam, atau optimalization, stabilization, evacuation). 19
carbapenem (imipenem atau meropenem). Diuretik atau kombinasi dengan albumin
Sebagai alternatif dapat cephalosporin untuk mengeluarkan cairan yang balans
generasi keempat dan metronidazole. Dosis positif setelah resusitasi pada pasien
yang diberikan harus sangat hati-hati karena dengan hemodinamik yang stabil. Penelitian
beberapa pasien dalam kondisi volume lain menyatakan bahwa penarikan cairan
distribusi yang tidak tetap (akibat pergeseran seringkali dimulai pada fase stabilisasi atau
cairan yang bermakna). Durasi terapi sebaik deeskalasi setelah resusitasi pada pasien yang
disesuaikan dengan temuan saat pembedahan. berisiko akumulasi cairan berlebih. Penting
Tidak ditemukannya demam, peningkatan melakukan manajemen pemberian cairan
atau pergeseran ke kiri hitung leukosit, dapat yang hati-hati dengan mengurangi cairan
menjadi penanda dalam menghentikan terapi yang tidak penting (tidak esensial) pada
antibiotik karena insidensi rekurensi biasanya pasien dengan hemodinamik stabil (misalnya
rendah bila parameter tersebut telah tercapai. topangan vasoaktif semakin berkurang)
Jika leukosit dan suhu rektal ditemukan normal dan target resusitasi tercapai lebih dapat
selama 48 jam, antibiotik dapat dihentikan mentoleransi tindakan penarikan cairan yang
pada hari ke-4 pascabedah, bergantung pada aktif. Diuretik telah lama menjadi terapi utama
patologi peritonitis.7,10,16,17 dalam mencegah dan sebagai terapi AKI.

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020


204 p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// doi.org/10.15851/jap.v8n3.2174

Overload volume sering terjadi dan diuretik jika resusitasi telah diberikan, tetapi target
memfasilitasi manajemen untuk kasus makrodinamik dan mikrodinamik belum
seperti ini. Beberapa penelitian menunjukkan tercapai. Terapi fluid overload, diuretik masih
bahwa furosemid menurunkan O2 demand menjadi pilihan utama. Terapi antibiotik
dan memperbaiki klirens debris nekrotik. yang tepat sasaran serta pemberian nutrisi
Penelitian menunjukkan bahwa furosemid yang sesuai sangat menentukan keberhasilan
tidak menurunkan kebutuhan akan RRT atau terapi.
menurunkan mortalitas bila diterapkan untuk
terapi AKI. Loop diuretik direkomendasikan Daftar Pustaka
untuk terapi volume overload dan hiperkalemia
sebagai konsekuensi AKI, namun tidak 1. Xu Z, Cheng B, Fu S, Liu X, Xie G, Li Z, dkk.
berperan dalam mencegah atau sebagai terapi Coagulative biomarker on admission to
AKI. Belum dilaporkan satu vasopresor yang the ICU predict acute kidney injury and
efektif untuk AKI, pemilihan vasopressor mortality in patients with septic shock
didasarkan pada penyebab hipotensi dan caused by intra-abdominal infection. Infect
hipoperfusi. Jumlah pasien yang selamat yang Drug Resist. 2019;12:2755–64.
tidak mengalami AKI dilaporkan hampir sama 2. Kopitko C, Medve L, Gondos T. The value
pada pasien yang menerima vasopresin dan of combined hemodynamic, respiratory
norepinfrin. Namun demikian, lebih banyak and intra-abdominal pressure monitoring
pasien yang memerlukan RRT pada pasien in predicting acute kidney injury after
yang menerima vasopresin.5,6,19 major intraabdominal surgeries. Ren Fail.
KDIGO menganjurkan total energi harian 2019;41(1):150–8.
sebaiknya 20–30 kcal/kgBB/hari dengan 3. Mureșan MG, Balmoș IA, Badea I, Santini
karbohidrat 3–5 g/kgBB/hari dan lemak 0,8–1 A. Abdominal sepsis: an update. J Crit Care
g/kgBB/hari pada semua derajat AKI. Protein Med. 2018;4(4):120–5.
yang dianjurkan adalah 0,8–1,0 g/kgBB/hari 4. Dugar S, Chaudhary C, Duggal A. Sepsis
pada pasien non-katabolik dengan AKI yang and septic shock: guideline-based
menerima dialisis, 1,0–1,5 g/kgBB/hari pada management. Cleveland Clin J Med.
pasien AKI yang menerima RRT dan 1,7 g/ 2020;87(1):53–61.
kgBB/hari pada pasien yang menerima CRRT 5. Gyawali B, Ramakrishna K, Dhamon
dan pada pasien hiperkatabolik. 20 AS. Sepsis: the evolution in definition,
pathophysiology, and management. SAGE
Simpulan Open Med. 2019;7:1–13.
6. Peerapornratana S, Caballero CL, Gomes
Penatalaksanaan peritonitis sekunder dengan H, Kellum JA. Acute kidney injury from
komplikasi sepsis dan AKI telah berhasil sepsis: current concepts, epidemiology,
dialakukan di ICU dengan menerapkan pathophysiology, prevention and
strategi proteksi paru melalui ventilator, treatment. Kidney Int. 2019;96(5):1083–
topangan kardiovaskular, diuretik, dan 99.
antibiotik spektrum luas. Peritonitis sekunder 7. Montomoli J, Donati A, Ince C. Acute kidney
memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi, injury and fluid resuscitation in septic
namun dengan source control yang adekuat patients: are we protecting the kidney?.
dan manajemen di ICU yang agresif maka Nephron. 2019;143:170–3.
diperoleh hasil yang baik seperti pada kasus 8. Olesen MW, Moller MH, Johansen KK,
ini. Target makrodinamik dan mikrodinamik Aasvang EK. Effects of post-operative
merupakan panduan tujuan terapi yang furosemide in adult surgical patients:
dilakukan. Ventilator dengan target perbaikan a systematic review and meta-analysis
oksigenasi dan ventilasi pasien, topangan of randomised clinical trials. Acta
obat vasopresor, dan inotropik dini diberikan Anaesthesiol Scand. 2020;64:282–91.

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020


Masriani, Haizah Nurdin, Faisal Muchtar: Penatalaksanaan Syok Sepsis dengan Penyulit Cedera Ginjal Akut pada Pasien 205
Peritonitis Sekunder

9. Steinbach CL, Topper C, Adam T, Kees MG. 14. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW,
Spectrum adequacy of antibiotic regimens Shankar M, Annane D, Bauer M, dkk. The
for secondary peritonitis: a retrospective third international consensus definitions
analysis in intermediate and intensive for sepsis and septic shock (Sepsis-3).
care unit patients. Ann Clin Microbiol JAMA. 2016;315:801–10.
Antimicrob. 2015;14:48. 15. Divatia JV, Amin PR, Ramakrishnan N,
10. Montravers P, Dufour G, Guglielminot J. Kapadia FN, Todi S, Sahu S, dkk. Intensive
Dynamic changes of microbial flora and care in India: The Indian intensive care
therapeutic consequences in persistent case mix and practice patterns study.
peritonits. Crit Care. 2015;19:7. Indian J Crit Care Med. 2016;20:216–25.
11. Waele JJ, Tellado JM, Weiss G, Alder J, 16. Simpson SQ. New sepsis criteria: a
Kruesmann F, Arvis P, Hussain T, dkk. change we should not make. Chest.
Efficacy and safety of moxifloxacin in 2016;149:1117–8.
hospitalized patients with secondary 17. Angus DC, van der Poll T. Severe sepsis
peritonitis: pooled analysis of four and septic shock. N Engl J Med. 2013:369
randomized phase III trials. Surg Infect. (21):2063.
2014;15:567–75. 18. Poston JT, Koyner JL. Sepsis associated
12. Augustin P, Dinh AT, Valin N, Desmard acute kidney injury. BMJ. 2019;364:k4891.
M, Crevecoeur MA, Muller C, dkk. 19. KDIGO Kidney Disease: Improving global
Pseudomonas aeruginosa post-operative outcomes (KDIGO) acute kidney injury
peritonitis: clinical features, risk factors, work group. KDIGO Clinical Practice
and prognosis. Surg Infect. 2013;14:297– Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney
303. Int Suppl. 2012;2(1):1–138.
13. Mazuski JE, Tessier JM, May AK, Sawyer RG, 20. Kellum JA, Lameire N. KDIGO AKI guideline
Nadler EP, Rosengart MR, dkk. The surgical work group diagnosis, evaluation, and
infection society revised guidelines on the management of acute kidney injury: a
management of intra-abdominal infection. KDIGO summary. Crit Care. 2013;17:204.
Surg Infect. 2017;18(1):1–76.

JAP, Volume 8 Nomor 3, Desember 2020

Anda mungkin juga menyukai