Anda di halaman 1dari 26

STUDI AL-QURAN DAN HADITS ANTARA

TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL


Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam Kontemporer

(Arah dan Pendekatan)

Dosen Pengampu :
Dr. Nurodin Usman, Lc., MA

Disusun oleh:

Zaki Rakhmawan 2104060012

Alfatchushodiqin 2004060026

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
TAHUN 2021
ISTILAH PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL TERHADAP AL-QUR’AN

Penafsiran Alquran pada dasarnya dilakukan untuk membuka muatan-muatan nilai yang
terkandung di dalamnya. Namun untuk menggali muatan-muatan nilai yang terpendam dalam
teks-teks Alquran, tidak semua orang dapat melakukannya. Karena ada beberapa persyaratan
yang harus dimiliki oleh seorang mufasir, sebagaimana yang kita ketahui dari kesepakatan ulama
tafsir dan ‘uluum Al-Qur’an tentang ketetapan persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang
mufasir. Para mufasir dari kalangan tradisionalis modern, umumnya dapat dikatakan sebagai
mufasir yang memiliki kompetensi dan persyaratan sebagai mufasir. Namun para mufasir dari
kalangan tradisionalis pada umumnya masih terjebak pada pembahasan gramatikal bahasa yang
cenderung penuh kehati-hatian dan terkadang terkesan kaku. Penafsir pada kelompok ini seakan
tidak memiliki peran sebagai anggota sebuah sistem dari kegiatan penafsiran. Penafsir hanya
bergerak pada muara yang bersifat kearaban yang bermain hanya pada ranah teks. Sebagai
akibatnya, mutiara kandungan Alquran yang terpendam pada sistem teks-teks Alquran itu sendiri
belum tergali secara mendalam, Alquran menjadi belum fungsional --secara optimal-- sebagai
petunjuk. Sehingga wajar, kalau kemudian umat jarang yang menjadikan Alquran sebagai dasar
pijakan dalam bertindak dan bersikap. Tanpa disadari, hal ini akan menjadikan Alquran hanya
sebagai simbol semata dan menjadikannya sebagai barang antic.

Padahal pemahaman terhadap tafsir sangat penting, seperti tafsir modern yang banyak macam
ragamnya itu kontekstual sebagai pengembangan setelah memahami makna tekstual

1 . Dalam ‘ulūm al-Qur’an wa Tafsīr banyak diperkenalkan cara untuk memahami dan menafsirkan
Alquran yang tujuannya untuk mengungkap pesan-pesan Alquran. Tentu saja cara-cara mendekati
dan memahami Alquran itu berbeda-beda, meskipun intinya adalah bagaimana agar semua umat
pada semua tingkatan memiliki akses yang sama terhadap Alquran. Akan tetapi cara-cara untuk
memahami dan menafsirkan Alquran sebagaimana yang diperkenalkan oleh para ulama ‘ulūm al-
Qur’an, tidaklah mudah seperti membalikan tangan dalam prakteknya. Siapa pun akan
menjumpai kesulitan ketika menjelaskan ayat-ayat Alquran, karena pada satu sisi sang penafsir
tetap dituntut memperhatikan teks Alquran dan pada sisi lain harus menyingkronkan teks itu
dengan konteks kehidupan masyarakat yang relatif memiliki nuansa yang berbeda. Polemik
antara teks dan konteks juga dikenal dalam ulūm al-Qur’an. Polemik di sekitar antara teks dan
konteks bisa dilihat dari pertanyaan yang sering muncul: Apakah yang harus dipegang adalah teks,
konteks, atau tujuan syari’at? variabel-variabel pertanyaan ini masing-masing memiliki jawaban
dan masing-masing pendukung, namun jumhur ulama kebanyakan berpegang pada teori
pertama, yaitu teks. Apakah juga mungkin dapat disatukan antara teks dan konteks dalam
memahami dan menafsirkan Alquran? Bukankah nilai-nilai universal Alquran dan nilai-nilai lokal
masyarakat memerlukan proses akulturasi? Untuk menjawab persoalan tersebut dan agar
interaksi sebagian umat Islam dengan Alquran tidak hanya terbatas pada keyakinan, membaca,
dan mendengarkan, maka penulis merasa sangat perlu untuk membahas bagaimana ayat-ayat
Alquran dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual.
Pendekatan tekstual dalam studi Tafsir merupakan suatu usaha dalam memahami makna tekstual
dari ayat-ayat Alquran. Pada pendekatan tekstual, praktik tafsir lebih berorientasi pada teks
dalam dirinya. Kontekstualitas suatu teks lebih dilihat sebagai posisi suatu wacana internalnya
atau intra-teks. Bahkan pendekatan tekstual cenderung menggunakan analisis yang bergerak dari
refleksi (teks) ke praksis (konteks) yaitu memfokuskan pembahasan pada gramatikal-tekstual.
Praksis yang menjadi muaranya adalah lebih bersifat kearaban, sehingga pengalaman sejarah dan
budaya di mana penafsir dengan audiennya sama sekali tidak punya peran. Teori ini didukung
oleh argumentasi bahwa Alquran sebagai sebuah teks suci telah sempurna pada dirinya sendiri.
Pendekatan dari realitas ke teks dalam studi Alquran menjadi sebuah keniscayaan dalam upaya
integrasi keilmuan.1

Pendekatan kontekstual yang dimaksud disini adalah pendekatan yang mencoba menafsirkan
Alquran berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang sejarah, sosiologi, dan
antropologi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Arab pra-Islam dan selama proses wahyu
Alquran berlangsung. Selanjutnya, penggalian prinsipprinsip moral yang terkandung dalam
berbagai pendekatan. Secara substansial, pendekatan kontekstual ini berkaitan dengan
pendekatan hermeneutika, yang merupakan bagian di antara pendekatan penafsiran teks yang
berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologi, dan filosofis.

Begitulah istilah-istilah modern yang digulirkan oleh para cendekia liberal untuk memporak-
porandakan istilah-istilah yang sudah mapan dari para ‘alim terdahulu. Yang sangat lucu adalah
apa yang mereka tulis pun terkadang berbanding terbalik dengan apa yang menjadi kenyataan
hidup mereka. Itupun bukan menjadi rahasia umum. Pengusung paham liberal berusaha untuk
mengotak-atikkan pemahaman Islam dengan mendebat arti dan makna dari istilah-istilah yang
menurut mereka kolot dan tidak sesuai zaman serta sangat darurat untuk dirubah dan diluruskan
menurut akal mereka.

Salah satu pemikiran yang diusung oleh para cendekia liberal itu adalah metode Hermeneutika
yang merupakan metode kaum kafir Yahudi-Nashroni dalam kajian Bibel. Menerapkannya dalam
studi al-Qur’an berarti mengikuti pola pikir orang kafir.

Prof. Dr. M. Amin Abdulloh, salah seorang pengusung Hermeneutika, secara terang-terangan
mengakui asal muasal metode ini, ia mengatakan, “Hermeneutika sebagai metode penafsiran
berkembang pesat di lingkungan gereja untuk memahami pesan-pesan Yesus. Dalam lingkungan
Kristen awal, Origen (hidup tahun 185-254) dikenal sebagai orang yang telah memperkenalkan
pembacaan “tipologis” terhadap Bibel yakni menggunakan metode alegoris untuk memahami
ajaran-ajaran Yesus. Nama-nama lain yang sangat dikenal dalam tradisi hermeneutika Biblis
adalag Augustine (345-430) dengan Doctrina Cistriana-nya yang terkenal: Inner Logos, Martin
Luther dengan pola Sola Scriptua-nya, dan Mathias Flacius Illyricus (1520-1575) dengan
pendiriannya dengan metode Gramatikal, scopus (Pentingnya mempertimbangkan sudut
pandang yang berkaitan dengan tujuan penulisan sebuah buku). Bahkan buku yang pertama kali
menggunakan istilah hermeneutika “Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarums

1
PENDEKATAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL DALAM PENAFSIRAN ALQURAN, M. Solahudin, Al-Bayan:
Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 1, 2 (Desember 2016): 115-130.
Sacrarum Litterarrum” karya J.C Dannheur, juga masih berkaitan dengan penafsiran terhadap
Bibel.2

Ungkapan di atas merupakan bukti bahwa secara sadar kaum Liberal telah mengadopsi metode
orang kafir. Padahal dalam al-Qur’an al-Karim dikatakan bahwa mereka sebagai orang yang
menyelewengkan kitab Robb-Nya. Tindakan ini bukan hanya diharamkan dalam Islam, Bahkan,
akan menelorkan penyimpangan-penyimpangan dalam Islam. Bagaimana mungkin al-Qur’an
sebagai kitab suci, kalamulloh, kitab petunjuk manusia, akan ditefsirkan dengan metode orang-
orang yang mengkufuri Al-Qur’an dan sama sekali tidak mau mengimani ketauhidan Allah azza wa
jalla. Kemudian metode ini juga tidak digunakan oleh para pendahulu kita yang semangat
mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an serta tunduk dan patuh terhadapnya.

Apa yang dilakukan oleh kaum Liberal ini, benar-benar telah menabrak nash-nash wahyu yang
sangat banyak, di antaranya, Allah azza wajalla berfirman:

‫و لَْلََ لانلَّ َوََ لهى َ َ َ َ َ َ َلَّ َه ىم تََْىإِ َن ِهدىََْ لا ِْ ُل َْ ِ ى ل َ ىِ ل َن‬


َ ‫ض َ َ َ َ َْ َْه‬
َ ‫َولَ ْن تََ ْر‬
ِ‫و ِه َن ىِ ِه ْن َو‬ ِ
َ ََ‫ْْلَلَ َولَِِ ِن تَىإََ َْْ َ هَ ْ َن ءَ ل ِْ بََ َْْ َ لَىيج َاَلءَ َم ِه َن لِْْْد ِ َهَل ل‬
‫َوََ نَ ِ ي‬
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu,
maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqoroh: 120)

Ayat ini menunjukan larangan secara umum bagi seorang muslim mengikuti orang-orang Yahudi
dan Nashroni, diantara kesesatan Yahudi dan Nashroni adalah menutupi kebenaran yang ada
dalam kitab mereka dan juga menyelewengkan ayat-ayat Robbul alamin.

Allah Ta’ala berfirman:

َ ‫ضدُّن َ ِىَ هَنَْ لف َس لا ِْ َوَهل يَ ْشْللرو‬ ِ ‫ضدُّننَ لكِ وهل ي‬ ِ ‫لب لَن ي‬ِ َْ‫ت طَلئَِفةٌ ِهن هَ ْ َِ لْ ِك‬ ْ َّ‫َوى‬
‫َْ ل‬ َ ‫ْ ل‬ ْ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ‫َي هَ ْ َ ََ لْكََْلب ت‬. َ َ ‫ ََي هَ ْ َ ََ لْكََْلب تَ تَ ْك لفلرو َ ِاَ ََيت ى َوهَنَْْل ِْ تَ ْشَ َ َ َ َ َ َ َاَ ل و‬.
ِ ‫تََ ْدإِسن َ ْْل ىق ِِبلْإ‬
. َ ‫لط َِ َوتَ ْكْل لمن َ ْْلَ ىق َوهَنَْْل ِْ تََ ْْدَ لمن‬َ َ ‫ل‬
“Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak
menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya. Hai Ahli Kitab, mengapa

2
Hermeneutika Pembebasan, Ilham B.Saenong, Penerbit Teraju, Cetakan 1, November 2002, hlm.xxi-xxii
kamu mengingkari ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui (kebenarannya). Hai Ahli Kitab,
mengapa kamu mencampur adukkan yang hak dengan yang bathil, dan menyembunyikan
kebenaran, padahal kamu mengetahui?” (QS. Ali Imron: 69-71)

Allah Ta’ala juga berfirman:


َ ‫ب‬ ْ ُ َّ َ ََ
ُ ‫الَِّي ْل ََۗو َو‬
ُ‫ا‬ َّ ‫ال ْم َت َر الى الذيْ َن ا ْوتُ ْوا َنصِ ْْ اً ن ََ اِْ بِٰ ََ ِْْ َر ُو ْو َ ال َّ ِللَ َة َو ُير ْي ُد ْو َ ا ْ َت ِ وُّوا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َّ ْ َ َ َ ْ َ ْ ُ ‫َ ْ ا َ َّ ْ َ َ ُ ْ ُ َ ن‬ ‫َ ًّ َّ َ ب‬ ‫َ َْ ُ َْ َ ُ ْ َ َ ب‬
ِِٖ ِ‫اض‬ ِ ‫ُ ن ِصِْوا ِ َ ال ِذين َ ُوا َُ ِرُو اْك ِلم عَ و‬ ِ ‫ُ ولِ ي ۙوكفى ِب‬ ِ ‫اعُّم ِب عداۤىِِٕمووكفى ِب‬
َ َ ‫َ َ ُ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ َّ َ َ َ ًّ َ ْ َ ْ َ َ ْ ا‬
ْ ‫الِّيْنو َول ْو اَّه ُم‬ ‫ن‬
ِ ِ ‫اعَ لي ِب ل َِِّت ِه ِمم وعَِ ِىى‬ ِ َ‫ويقولو سِ َِِِ وعصَِْ واسِِع غْو َِِّع و‬
َ َ ْ ْ ُ ُ ُ ُ َ َ َّ ْ ‫ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ ْ ا َّ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ ب‬ ُ َ
‫ق ل ْوا َسِِ َِِِ واعَِ واسِِِع واننرن ْكخ رْوا لمم واقووۙ وْ َِِ لَِمم اُ ِبِ ِر َِم ُلا‬
‫ُ ْ ُ ْ َ َّ َ ْ ا‬
‫يؤ ِ نو ِالا ق ُِّللا‬

44. Tidakkah kamu memperhatikan orang yang telah diberi bagian Kitab (Taurat)? Mereka
membeli kesesatan dan mereka menghendaki agar kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang
benar). 45. Dan Allah lebih mengetahui tentang musuh-musuhmu. Cukuplah Allah menjadi
pelindung dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu).46. (Yaitu) di antara orang Yahudi, yang
mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Dan mereka berkata, “Kami mendengar, tetapi
kami tidak mau menurutinya.” Dan (mereka mengatakan pula), “Dengarlah,” sedang (engkau
Muhammad sebenarnya) tidak mendengar apa pun. Dan (mereka mengatakan), “Raa‘ina” dengan
memutar-balikkan lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, “Kami
mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami,” tentulah itu lebih baik bagi
mereka dan lebih tepat, tetapi Allah melaknat mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak
beriman kecuali sedikit sekali. (QS. An-Nisaa: 44-46)

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda dari jalur Abu Said al-Khudri radhiallahu’anhu:

ِ ِ ِ ِ
َ ‫لَََْْىإِْل ىن َس َ َهَ َن َه ْن ََُْإَدَ لك ِْ ا َ َ ْر بِش َ َ ْر َوا ََّ ل بِي ََّل َه ىم لَ ْن َس َ َدَ لكن لا ْ َر‬
ََ‫ض‬
َ َُ َّ‫نل ىِ لَْلََ لانََّ َو لهى َ َل‬
‫لل فَ َم ْن‬ َ ‫لَ َسدَ ْكْل لمنهل ُلَ ْدهَل ََي ََّ لس‬
“Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta, sehingga meskipun mereka berjalan masuk kedalam lubang biawak,
niscaya kalian akan mengiktuinya. “ lalu kami bertanya, “walai Rasulullah apakah mereka itu
adalah Yahudi dan Nashroni?” Beliau bersabda, “Siapa lagi?” (HR. Al-Bukhori No.3.197)

Dalam hadits lain Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

‫نسْ َهَلًّل َهل َو ِس َْهل ََ هَ ْ يََْىإِ َْين‬‫ه‬ َ ‫ل‬ ‫ك‬


َ ‫ن‬‫ل‬
َ ، ِ ِ ‫وَلى ِيج نََ ْف ِسي بَِل‬
‫ه‬
َ ‫ل‬ ْ َ َ
“… Dan demi jiwaku yang berada di tangan-Nya bila nabi Musa masih hidup diantara kalian,
pastilah beliau akan mengikutiku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang hasan,
LihatPenjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar di Fathul Bari 13/345, Bidayatul Suul haditsnya hasan.)

2. Sering menggugat hal-hal yang prinsip dalam Islam, hal ini karena dalam hermeneutika selelu
cenderung merelatifkan hal-hal yang jelas (qoth’i) dan tetap (tsawabit).

Nurcholish Madjid salah seorang gembong Liberal Indonesia pernah menuliskan dalam tabloid
Tekad No.44/th II, 4-10 September 2000 hlm.11, “Kalau kita baru sampai pada iyyaka na’budu
berarti kita masih mengklaim diri kita mampu dan aktif menyembah. Tetapi kalau sudah wa iyyaka
nasta’in, maka kita lebur. Menyatu dengan Tuhan.”

Dia juga mengatakan pada 23 januari 1987 di pengajian Paramadina, “Iblis Kelak akan masuk
Surga, bahkan ditempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan
inilah tauhid yang murni.”3

Ucapan konyol dari tokoh Liberal yang dianggap sebagai pembaharu ini sudah benar-benar diluar
prinsip dasar Islam, dia mengklaim wihdatul wujud, yang mana ini merupakan aqidah sesat yang
berasal dari kaum Tasawuf, dan tentunya bertabrakan dengan al-Qur’an. Kemudian diperparah
lagi dengan pernyataan bahwa Iblis makhluk yang muwahid. Pemikiran pembaharu menurut
kaum Liberal ini bertentangan dengan prisip Islam, yang menetapkan ke-tauhidan Allah azza
wajalla. Allah ta’ala berfirman:

ْ ِ‫َ ثََةثََة َوَهَل ِه ْن ِلََه ِىَ ِلََهٌ َو ِهَ ٌ َو‬ ِ ِ ‫لََقَ ْ َك َفر لَى‬
‫َتْ يََْهَََْ لان‬ ‫ين ََُللن ِ ى ىَ َِلَ ل‬ َ َ ‫ي‬
ِ‫ب هَلِ ٌَل‬ ِ
ٌ ‫ين َك َفلرو هْهَ لا ِْ َ َي‬
َ
ِ ‫ىمل يَ لقنلن َ لََلم ىس ىن لى‬
‫ي‬ ََ َ َ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang
tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara
mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maidah: 73) kalau dalam trinitas aja hukum
sangat dahsyat akan kekufurannya, maka bagaimana dengan orang yang mengatakan menyatu
dengan seluruh makhluk..??? Sungguh sangat jelas sesatnya. Oleh karena itu Allah menegaskan
pula dalam ayat yang lain bahwa Dia maha tunggal. Allah ta’ala berfirman:

Artinya: “Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung, Dia
tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia".
(QS. Al-Ikhlas).

Adapun tentang Iblis juga sudah gamblang sebagaimana dalam QS. Al-Baqoroh:

3
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka al-kautsar, cetakan keduapuluh satu,
Juni 2010, hlm.193-194.
‫َلر ه ََك َو ْس َ َ َ ََْ ْك ََر َوَكل َ ِه َن‬ِ‫وِ ْا ُلَ ْدهل لِْدم َةئِ َك ِة س َ َ َ ََ ل و َََِّد فَس َ َ َ ََ ل و ِىَ ِبد‬
َ ْ َ َ ََ ‫ْ ل‬ َ َ َ
‫ين‬ ِ
‫ر‬ ِ‫لْ َكلف‬
َ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam,"
maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqoroh: 34). Dan masih banyak pernyataan Nurcholis yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, bahkan yang sangat disayangkan banyak
mahasiswa yang membeo terhadap pemikiran yang ngawur ini.

PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL MENURUT DASAR KLASIK ILMIYAH ADALAH TAFSIR
DAN TADABBUR.

Al-Qur’an dan hadits merupakan sumber ajaran Islam yang utama bagi umat Muhammad ‫ﷺ‬.
Kemampuan setiap orang dalam memahami tafsir dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama. Begitu
pula kemampuan orang memahami hadits dan syarahnya juga tidaklah sama. Perbedaan daya
nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya
dapat memahami makna-makna yang zhahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedang
kalangan cendikia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan makna yang terkandung di balik
ayatnya.

Penafsiran terhadap Al-Qur’an telah ditemukan, tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal
pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini disebabkan oleh kenyataan adanya ayat-ayat
tertentu yang maksud dan kandungannya tidak bisa dipahami oleh para sahabat radhiallahu’anhu,
kecuali harus merujuk kepada Rasulullah ‫ﷺ‬.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan al-Qur’an ke dalam hati nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang
penuh dengan kegelapan manuju cahaya Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat
Ibrahim/14 : 1

ِ َ ‫و لِْلنرَِ لهى َلل ِهن لَلُّدلم‬


َْ ِ ِْ ََِِّ ِ ‫لت ِ َْ لهُّنَِّ ِِْ ْا‬ ِ ِ
َ َ َ َ ْ َ َ ‫لب هَنََْْلْهَ َلهل لََْل‬
ٌ َ َْ‫لر ۚ ك‬
ِ ‫ِصر ِط لْْ ِْي ِْ ْْل ِمَل‬
َ َ َ
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan
manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu)
menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang berhak mejelaskan,
menerangkan, dan menafsirkan isi Al-Qur’an.
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual ini harus dijelaskan lebih jelas lagi. Pemakaian beberapa
istilah istilah baru yang notabene membingungkan kaum muslimin adalah ulah dari sebagian
orang yang mengambil dari pemikiran filsafat dan logika semata untuk memahami al Qur’an.

Istilah Pemahaman tekstual adalah bentuk lain dari istilah Tafsir, sedangkan pemahaman
kontekstual adalah bentuk lain dari istilah Tadabbur. Dua istilah sudah dikenal semenjak dulu oleh
para ahli ilmu tafsir. Dan hal tersebut tidak perlu dibiaskan dengan makna-makna baru yang
terkandung dalam istilah-istilah kontemporer yang hanya mendistorsi makna yang sesungguhnya
dari ilmu ushul tafsir.

Pengambilan istilah-istilah kontemporer dalam tafsir sering dilakukan oleh orang-orang Liberal
untuk membuat distorsi makna ajaran Islam menjadi seolah-olah tidak sesuai dengan zaman.
Padahal Islam yang didasarkan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shohih itu berlaku
sepanjang zaman dan dijaga keotentikannya oleh Allah Azza wa Jalla.

Dalam Syarah Fi Ushulit Tafsir Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah

Menjelaskan maksud dari makna Tafsir dan Tadabur,

membawakan ayat:
ْ َ ْ ُ ُ َّ َ َ َ ‫ب‬ َّ ‫ب َ ْ ْ ب ُ َ َ ب ٌ ن‬
‫ِكٰ ٌِ ان َزلنٖ ِال ْيك ُ ب َوك ِل َلدَّب ُر ْ ْٓوا ا بي ِهٖ َو ِلْهذك َر اولوا الال َب ِب‬

Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-
ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran. (QS: Shod 38: 29)
Dari lafazh:
‫ب‬ َّ ‫ن‬
ٖ‫ِل َلدَّب ُر ْ ْٓوا ا بي ِه‬

agar mereka mentadaburi (menghayati) ayat-ayatnya, ini penjelasan hikmah dari yang demikian
hendaknya kita mentadaburi Ayat-Nya, jangan sampai kita hanya membaca tanpa mentadaburi
dan tanpa memahami maknanya. Kalau kita hanya membaca begitu saja (ayat-ayat dibaca begitu
saja) kita tidak mendapatkan faidah darinya kecuali lafazh yang diulang-ulang saja, dan kita tidak
akan tahu maknanya dan tidak bisa mentadaburinya.

Hikmah kedua

َ ْ َ ْ ُ ُ َّ َ َ َ َ
‫و ِلْهذك َر اولوا الالب ِب‬

dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.

Mentadaburi ayat itu berlaku Mutlaq (umum tanpa ada keterkaitan dengan faktor tertentu),
sebagaimana ayat
‫ب‬ ََّّ َ ‫ن‬
‫ب‬ ْ ُ
ٖ‫ِللدبر ْٓوا اي ِه‬
agar mereka mentadaburi (menghayati) ayat-ayatnya,Medapatkan pelajaran itu khusus bagi
orang-orang yang berakal, karena berapa banyak orang yang mengetahui makna al-Qur’an dan
mentadaburi al-Qur’an serta bisa mengambil fawaid yang besar namun tidak bisa mendapatkan
pelajaran.

ْ َ ْ ُ ُ َّ َّ َّ
‫َو َ َيذك ُر ِال ْٓا اولوا الال َب ِب‬

Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.
(QS. Al-Baqarah: 269)

Penjelasan tentang makna Tafsir dan Tadabbur:


DEFINISI TAFSIR:4

Secara bahasa, tafsir berasal dari kata al-fasru, yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup. Secara
istilah, tafsir adalah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an Al-Karim. Mempelajari tafsir hukumnya
adalah wajib, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

4
Lihat Syarah Ushul Fi Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin hal 177, cet. Muassassah
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin tahun 1434 H.
ِ ‫و هإلٌَّم لَِل ى بَىرو آَيتِِه ولَِلََْ َي ىكر هلولن لَلْإ‬ ِ
﴾‫لب‬َ ْ َ َ َ َ ‫َنْلْهَلهل ِلََْل َ لَ َ َ ل‬ َ ‫لب ه‬
ٌ َْ‫﴿ك‬
“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
mentadabburi (merenungi) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran” (QS. Shaad: 29)

Dan berdasarkan firman Allah Ta’ala:

﴾‫﴿هَفَةَ يَََْ َ بَىلرو َ لْ لق ْرآ َ ه َْد َدَْ ُلَدلنب هََُْ َفل لْلَآ‬
“Maka apakah mereka tidak mentadaburi Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS.
Muhammad: 24)

Istidllal (kesimpulan pengambilan dalil yang dipahami) dari ayat pertama adalah bahwa Allah
Ta’ala menjelaskan hikmah diturunkannya Al-Qur’an yang penuh berkah ini adalah agar manusia
mentadabburi ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran yang terkandung di dalamnya. Tadabbur
adalah memperhatikan, mempelajari, dan merenungi lafazh-lafazh untuk mencapai maknanya.
Jika hal itu tidak dilakukan, maka luputlah hikmah diturunkannya Al-Qur’an, dan jadilah Al-Qur’an
hanya sekedar lafazh-lafazh yang menjadi bacaan rutinitas yang tidak dapat memberikan
pengaruh bagi orang-orang yang membacanya. Hal ini disebabkan karena pengambilan ibrah
(pelajaran) itu tidak mungkin dapat dilakukan tanpa memahami makna yang terkandung dalam
Al-Qur’an.

Istidllal dari ayat yang kedua adalah bahwa Allah Ta’ala mencela orang-orang yang tidak
memperhatikan Al-Qur’an, serta mengisyaratkan bahwa hal tersebut termasuk penutup dan
penghalang hati mereka, sehingga kebenaran itu tidak sampai kepada hati mereka.

Dulu, para Salaful Ummah (umat terdahulu) berada di atas jalan yang wajib ini. Mereka
mempelajari Al-Qur’an, baik lafazhnya maupun maknanya, karena dengan cara itulah mereka
mampu mengamalkan Al-Qur’an sesuai dengan yang dikehendaki Allah Ta’ala. Karena
mengamalkan sesuatu yang tidak diketahui maknanya adalah hal yang mustahil.

Kemudian dalam penjelasan selanjutnya Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah
mengatakan,
Bagaimana menurutmu, seandainya seorang memberikanmu sebuah kitab tentang pengobatan,
apakah engkau akan bisa mengambil faidah dengan apa yang ada di dalamnya dari petunjuk
pengobatan tanpa engkau mentadaburinya dan memahaminya?

Jawab: Tidak mungkin, demikian pula al-Qur’an yang tidak mungkin manusia bisa mengambil
kemanfaatannya dengan kesempurnaan manfaat kecuali dengan tadabur kemudian setelah itu
baru bisa memberikan nasehat.

Kemudian Berkata penulis, Allah Ta’ala menjelaskan hikmah diturunkannya Al-Qur’an yang penuh
berkah ini adalah agar manusia mentadabburi ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran yang
terkandung di dalamnya. Tadabbur adalah memperhatikan, mempelajari, dan merenungi lafazh-
lafazh untuk mencapai maknanya.

Ini adalah tadabbur, bahwa engkau merenungi dan dinamakan tadabbur, karena seseorang
mengembara dengan akalnya antara berbagai pikiran dan makna yang bisa dimungkinkan yang
bisa menyampaikan kepada makna yang diinginkan.5

PERBEDAAN TAFSIR DAN TADABBUR

5
“Lihat Syarah Ushul Fi Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin hal 181, cet. Muassassah
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin tahun 1434 H.”
‫‪Tafsir secara bahasa memiliki makna yang banyak, salah satunya adalah:‬‬

‫ب َدَْ َ ِ ِة َه َْل ‪ِ ،‬هْهَ َال لإَََلَل ل ‪ ،‬و ل َك ْشَ َ َ َ َ َ ل ‪،‬‬


‫ِل لبَ ِة لْر ِ‬
‫ََ‬ ‫تَ ل ْولَّ َه َلَّةل (فَ َسَ َ َ َ َ ََر‬
‫تََ ْفَِْْل ٌَ ِه َن ل َف ْس ِر‪َ ،‬ول َن لإَََلَل ل هَ ِو ِإل َِبنَةل َوَك ْش ل لَ لمبَطىْ‪.‬‬ ‫ض ْن لح‪ ،‬فَللََْ ْف ِس ْ لي‬ ‫َو للن ل‬
Kata Fasara – dalam Bahasa arab mengandung beberapa makna, antara lain adalah al-Bayan
(Penjelasan), al-Kasyfu (Penyingkapan), al-Wudhuh (Kejelasan). Tafsiir diambil dari rumus Taf’iil
dari kata al-Fasru, dan dia bermakna al-Bayan (penjelasan) atau al-Ibaanah (kejelasan) dan
penyingkapan kandungan yang tertutup.

Dan berkata Ibnu Faaris,

ِ ‫لسْي و لىر ء َكدِمةٌ و ِه َ ةٌ تَ ل ُّل دَْ بََلل ِ َايء وِيض‬


‫له ِه‬ ِ
ََْ ْ ََ َ َ َ ‫ل َفلءل َو ْ ل َ ل‬
Asal kata – fasara – dari huruf Fa’, sin dan ra’ adalah satu kata yang menunjukkan pernyataan dan
penjelasan tentang sesuatu.6

Perbedaan antara Tafsir dan Tadabbur adalah sebagai berikut:7

a. Tadabbur adalah termasuk tujuan terbesar dari tafsir, yang demikian itu karena banyak
ayat yang dia adalah termasuk ayat nasehat dan pelajaran dimana penjelasan tentang
ungkapan yang berkaitan dengan nasehat dan pelajaran itu termasuk bidangnya tafsir.
b. Maksud dari tafsir secara asalnya adalah penjelasan tentang makna kalamullah, dan
maksud dari tadabbur adalah kesadaran dan perenungan sekaligus pertimbangan untuk
pengambilan pelajaran.
c. Tafsir tidak mengharuskan adanya kesadaran dan pengamalan, karena bisa jadi seorang
kafir menafsirkan makna al-Qur’an sedangkan pada tadabbur harus ada kesadaran dan
pengamalan.
d. Orang ahli tafsir mempunyai tujuan yaitu untuk mendapatkan ilmu tentang alquran dan
maknanya. Sedangkan orang yang mentadabburi mempunyai tujuan mengambil manfaat
dan kepatuhan, baik secara ilmu, iman dan perbuatan serta karakternya. Tafsir itu butuh
kepada kekuatan keilmiyahan dari dalil-dalil sedangkan tadabbur itu butuh pada kekuatan
keilmiyahan, keimanan dan pengamalan.
e. Tadabbur adalah tujuan esensi diturunkannya al-Qur’an karena akan membangkitkan
ketaatan dan amalan sedangkan tafsir adalah wasilah sarana untuk mentadabburi.

PERBEDAAN ANTARA TADABBUR, TAFAKKUR dan TAAMMUL

ِ َّ‫ت و ِْإل َاَ َل‬


ِ ِ ِ ِ ِ ُّ
‫ت‬ َ ‫ فََ لا َن ََّ َهةل لهىَلَ ِر لْ َْ ْقد ِي ِل َْ ََي‬،‫هَ ى لْىَ َفكَر له ْقَْ َ ٌَر َدَْ لي ْ ِن‬
ِ ِ
‫و لى‬َ ‫ بَ َْ ل َن َه ْر َهدَةٌ ِه ْن َال‬،‫ر له ْقَْ ِ َ َ َ َر َدَْ لي ْ ِن فََ َق ْط‬ َ ‫ بَََْلَهَ َمل لْى َ بَُّلر لََْل‬،‫فََ َق ْط‬
َِ ‫يَََْإَ لن َه ْر َهدَةَ لْىطْإِ َِلق َو لْ َْ َم‬
Tafakkur adalah pemikiran dalam otak, dan dia adalah perenungan akal terhadap ayat-ayat dan
tanda-tanda isyarat saja, sedangkan tadabbur tidak dibatasi dalam otak saja namun tadabbur

6
Lihat Maqooyis al-Lughoh oleh Ibnul Faris – pembahasan ((‫ )فسر‬4/504). Cet. Daarul Fikr 1399 H.
7
Lihat Tadabburul Al-Qur’an oleh Abdul Lathif bin Abdullah al-Tuwaijiri, hal 50-51, cet. Maktabah Daar al-
Minhal th. 1436 H.
adalah tahapan perenungan dari yang ada di dalam otak kemudian diikuti dengan tahapan
penerapan dan pengamalan.8

Sedangkan perbedaan antara Ta’ammul dan Tadabbur:

‫هَ ى لْىأ َُّه ََ يَ ل ولَّ َه ْنَل لْىَثََإُّ ِ َو لْى ْ ُِ َِلق ِل لهىَلَ ِر ِ َْ ْل َْه ِر‬ ‫ض َ َ َ َ َ لَ ِ ىل َس َ َ َ َ َإَ َق‬
ِ ‫ويَْى‬
ََ
‫ فََ لا َن يََْهَلللر ِل ْْلَل ِضَ َ َ َ ِر‬،َِّ‫فَلَي لَّ ِهْههل لهىَلَلر ِل َ َن ُِ ِ ْل للهن‬ ‫ هَىهل لْى َ بَُّلر‬،‫ْْلَل ِضَ َ َ َ ِر‬
َِ َ‫َا َِ لْ لم ْسََْ ْقإ‬ ِ
ْ ‫ه ْن ه‬
Telah jelas dengan apa yang didefinisikan sebelumnya, bahwa makna Ta’ammul berotasi seputar
verifikasi (pemeriksaan tentang kebenaran pernyataan) dan pendetailan dalam pemikiran pada
perkara yang terjadi sekarang, sedangkan tadabbur yang diinginkan darinya adalah melihat pada
kesudahannya dari perkara-perkara dan tadabbur melihat apa yang sekarang dalam rangka masa
depan.9

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat an-Nahl/16 : 44

ِ ‫ْي لِده‬
َ ‫ىلل َهل نَل َِْل ِلََْل ِا ِْ َولَ َْدى لا ِْ يََََْ َف ىكلرو‬ ِ ِ ‫لت و ُّلْب ِر ۗ وهَنَْْلْهل ِلََل‬
َ ْ َ َ َ ‫ِِبلْإَََلِهَ ِ َ ل‬
َ َِ‫و لي ْكَر لْلَإ‬
“Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar
kami menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya
mereka memikirkan”.

As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi al-Qur’an, dan as-sunnah ini juga
merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
bukan hasil pemikiran Rasulullah, tetapi semuanya dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat an-Najm/53: 3-4

8
Lihat Tadabburul Al-Qur’an oleh Abdul Lathif bin Abdullah al-Tuwaijiri, hal 55, cet. Maktabah Daar al-
Minhal th. 1436 H.
9
Lihat Tadabburul Al-Qur’an oleh Abdul Lathif bin Abdullah al-Tuwaijiri, hal 56, cet. Maktabah Daar al-
Minhal th. 1436 H.
ِ
َ ‫﴾ ِ ْ ل َن ِىَ َو ْه ٌي يل‬٣﴿ ‫َوَهل يََْهط لق َ ِن ْْلََن‬
ْ‫نه‬
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

‫و ََّ لا ٌَ َا َ َ َْإَ َْل ل َدَْ هَ َِّيْ َكِْ ِه يََ لق ل‬


‫نل‬ ‫لب َوِهثَْدَهل َه َْهل هَََ يلن ِا َ َ َ ل‬
َ ْ
َ ِ
‫لك‬ ‫ل‬
ِ‫هَََ ِِّن هلوت‬
‫َل‬
‫َهدُّنهل َوَهَل َو َاَ ْ لْي فَِْلَ ِه ِه ْن َهَر د‬ ِ ‫دََل لكِ ِ َ َي لْ لقرآ ِ فَمَل واَ ْ لي فَِلَ ِه ِهن هةَل فََأ‬
َ ْ ْ ْ ََ َ ْ َ ْ َْ
ِ ِ ‫ف ِرهنه وِ ِ هل هىرد َّس ل‬
‫صدىْ هللال َدََْله َو َسدى َِ َك َمل َهىرَد ىل‬ َ ‫نل ى‬ ‫َ ل لَ َ َ َ َل‬
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Qur’an dan sesuatu yang hampir sama dengan al-Qur’an.
Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan
dia berkata, “Berpeganglah kalian kepada al-Qur’an. Apapun yang dikatakan halal didalam al-
Qur’an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram dalam al-Qur’an, maka
haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga
mengharamkannya” (HR. Abu Dawud no. 4604, Ahmad no. 17174 lihat shohih al-Jami’us Shoghir
no. 2643)

Untuk itu cara menafsirkan al-Qur’an adalah:

1. Cara Pertama, adalah dengan as-sunnah. As-Sunnah ini berupa : Ucapan-ucapan, perbuatan-
perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Cara Kedua, adalah dengan penafsiran para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu
Mas’ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang menemani
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan
bertanya tentang al-Qur’an serta cara memahaminya dan juga cara menafsirkannya. Sedangkan
mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud pernah berkata : “Dia adalah penerjemah al-Qur’an”. Oleh
karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan
syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.

3. Cara Ketiga, yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsiran dari para tabi’in yang merupakan murid-
murid para sahabat, terutama murid-murid Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma,
seperti : Sa’ad bin Juba’ir, Thawus. Mujahid, dan lain-lain. Sangat disayangkan, sampai hari ini
banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya
ditafsirkan dengan ra’yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada
keterangannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah
yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan hanya untuk memperkuat
dan membela satu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama ahli
tafsir.
Untuk menunjukkan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan kami
kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir al-Qur’an surat al-Muzammil/73 : 20.

ِ ‫فَلَُْرءو هل تَََل ىسر ِهن لْ لقرآ‬


ْ َ َ َ َ ‫َل‬
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an” Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut
madzhab berpendapat bahwa yang wajib dibaca oleh seseorang yang sedang berdiri shalat adalah
ayat-ayat al-Qur’an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh hanya tiga ayat
pendek saja. Yang penting membaca al-Qur’an. (tidak harus Al-Fatihah -pent-). Betapa anehnya
mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ِ َْ‫لْ ِك‬
‫لب‬ ‫صةََة لِ َم ْن َتْ يََ ْقَرهْ بَِف ِلِتَ ِة‬
َ ََ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca pembuka al-Kitab (surat Al-Fatihah)” (HR. Al-
Bukhori no. 756, Muslim no. 394 dari Shahabat ‘Ubadah bin as-Shomit radhiallahu’anhu).

Dan di hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ٌَ َ ‫لب فَ ِا َي ِخ َ ٌَ ِ َي ِخ َ ٌَ ِ َي ِخ‬
ِ َْ‫لْ ِك‬ ‫صَةَة َتْ يََ ْقَرهْ فَِْلَ َال بَِف ِلِتَ ِة‬
َ ْ‫صَدى‬
َ ‫َه ْن‬
‫َغ ْيل ََتَلد‬
“Barangsiapa yang shalat tidak membaca surat al-Fatihah maka shalatnya kurang, shalatnya
kurang, shalatnya kurang, tidak sempurna” (HR. Muslim no. 395, Abu Dawud no. 821, at-Tirmidzi
no. 2953, an-Nasai no. 909 secara Panjang, Ibnu Majah no. 838 dan Ahmad no. 7406).

Berdasarkan tafsir diatas, berarti mereka telah menolak dua hadits shahih tersebut, karena
menurut mereka tidak boleh menafsirkan al-Qur’an kecuali dengan hadits yang mutawatir.
dengan kata lain mereka mengatakan, “Tidak boleh menafsirkan yang mutawatir kecuali dengan
yang mutawatir pula”. Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena sudah terlanjur
mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra’yu dan madzhab. Padahal semua ulama tafsir,
baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu) atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya
sependapat bahwa maksud

‫فَلََُْرءلو‬
(bacalah) dalam ayat di atas adalah ْ‫صلُّو‬
َ ‫( َف‬shalatlah).
Jadi ayat tersebut maksudnya adalah : “Maka shalatlah qiyamul lail (shalat malam) dengan
bilangan raka’at yang kalian sanggupi”. Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh
ayat tersebut.
‫ين‬ ِ ‫ِ ى َّبىو يَْدَِ هَنىو تََ لقند هَََّن ِهن ثَلدلث ِي لدىَلَ َِ ونِ َ َ َ َ َ َ َ َفَه وثَلدلثَه وطَلئَِفَةٌ ِهن لى‬
‫ي‬
َ َ َ ‫َ َ َ ْ ل َ ل ْ َ ْ َ ْ َ ْ ل َ َل‬
‫لب َدََْل لك ِْ فََلََُْرءلو َهَل‬ َْ َ
َ ‫ف‬ ‫نه‬ َ َ َ َ َ َ َ ‫ِت‬
‫ل‬ ‫ن‬ ‫ل‬
َ ْ َ
‫ه‬ ِِ‫هَْو ۚ و ى يَ َقَ َِّ لدىَلََ و لهىَاَلَّ ۚ د‬
ْ
َ ‫ََ َ َ ل ل ل ْ َ َ َ َ َ َ ْ ل ل‬
َ
ِ ِ ِ
‫ض‬ ِ ََّْ ‫ض َ َ ِربلن َ ِل ْل‬ ْ َ‫آخلرو َ ي‬ َ ‫ض َ َْ َو‬ َ ‫تَََلَ ىس َ ََر ه َن لْ لق ْرآ ِ ۚ َد َِ هَ ْ َس َ ََلَ لكن ل هْه لك ِْ َه ْر‬
ۚ ‫آخلرو َ يَل َقلتِدلن َ ِل َسَ َ َ َإِ َِلَ ىِ فَلََُْرءلو َهل تَََلَ ىسَ َ َ ََر ِهْههل‬ ِ
َ ‫ضَ َ َ َ َِ ى َو‬ ْ َ‫يََْإَََْبلن َ ِه ْن ف‬
‫ض َن ىَ ََُ ْرض َل َه َس َهل ۚ َوَهل تَل َق ِ لهن ِلَنَْ لف ِس َ لك ِْ ِه ْن‬ ‫َلمن ل ى َ َة َة َوآتلن لىَْكل َة َوهَُْ ِر ل‬
ِ
‫َوهَُ ل‬
ِ‫َار ۚ َو ْسََْ ْب ِفلرو ىَ ِ ى ىَ َغ لفنٌَّ ََِّه ٌَل‬ ِ ِ ِ
ْ ‫َخ ْي ََت ل وهل ْه َ ى ل َن َخ ْي َوهَ َْلَ َِ ه‬
“Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga
malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang
yang besama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa
kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi
keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an. Dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah ; dan orang-orang yang lain lagi yang
berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an dan dirikanlah
shalat, tunaikan zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan
apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah
sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib dibaca di dalam shalat. Ayat
tersebut mengandung maksud bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kemudahan
kepada kaum muslimin untuk shalat malam dengan jumlah raka’at kurang dari yang dilakukan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sebelas raka’at. Inilah maksud sebenarnya dari ayat
tersebut. Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub (gaya/kaidah bahasa)
dalam bahasa Arab. Dalam uslub bahasa Arab ada gaya bahasa yang sifatnya “menyebut
sebagian” tetapi yang dimaksud adalah “keseluruhan”[ Misalnya : Menyebut ‘bacaan Al-Qur’an’
tetapi yang dimaksud adalah shalat karena bacaan al-Qur’an itu bagian dari shalat. Menyebut kata
nafs (=jiwa, nyawa) tetapi yang dimaksud adalah manusia, Menyebut ‘darah’ atau ‘memukul’
padahal yang dimaksud adalah membunuh]

Sebagaimana kita tahu bahwa membaca al-Qur’an adalah bagian dari shalat. Allah sering
menyebut kata “bacaan/membaca” padahal yang dimaksud adalah shalat. Ini untukْْ
menunjukkan bahwa membaca al-Qur’an itu merupakan bagian penting dari shalat. Contohnya
adalah dalam surat al-Isra’/17 : 78
‫ر ِ َْ َغ َس ِق لدىَْل َِ َوُلَ ْرآ َ لْ َف َْ ِر‬
ِ ‫ىم‬‫ش‬ ‫ل‬ ِ ‫هَُِِ ل ى َة َة لِ ل ل‬
‫نم‬
ْ
“Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai
Isya). Dan dirikanlah pula bacaan fajar” Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut

‫َوُلَ ْرآ َ لْ َف َْر‬


Tapi yang dimaksud adalah shalat fajar (shalat shubuh). Demikianlah salah satu uslub dalam
bahasa Arab. Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama salaf maupun
ulama khalaf), maka batallah pendapat sebagian penganut madzhab yang menolak dua hadits
shahih di atas yang mewajibkan membaca Al-Fatihah dalam shalat. Dan batal juga pendapat
mereka yang mengatakan bahwa hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan al-Qur’an.
Kedua pendapat tersebut tertolak karena dua hal.

1. Tafsiran ayat di atas (Al-Muzzammil/73: 20) datang dari para ulama tafsir yang semuanya faham
dan menguasai kaidah bahasa al-Qur’an.

2. Tidak mungkin perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan al-Qur’an.
Justru perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu menafsirkan dan mejelaskan isi al-
Qur’an. Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa yang wajib
dibaca oleh seorang muslim di dalam shalatnya. Sama sekali tidak. baik shalat fardhu atau shalat
sunat. Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan bahwa tidak sah
shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Sekarang hal ini sudah jelas bagi kita. Oleh karena itu
seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika kita menerima hadits-hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah/kitab-kitab hadits yang
sanad-sanandnya shahih. Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits
shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana mereka berkata : “Kami
tidak menolak hadits-hadits ahad selama hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-
hukum dan bukan tentang aqidah. Adapun masalah aqidah tidak bisa hanya mengambil
berdasarkan hadits-hadits ahad saja”. Demikian sangkaan mereka. padahal kita tahu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu
untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada aqidah tauhid

‫صَدىْ ىل َدََْل ِه َو َسَدى َِ لِ لم َْ ِلا‬ ِ ‫لل َّسَ ل‬


َ ‫نل ى‬ ‫لل َُ َ َ ل‬ َ َُ ‫َ ْن بْ ِن َإىلل ََّ ِضَ َي ىل َ ْهَ لا َمل‬
ِْ ‫و َس َ َ ََْأِْْ ََُ ْنهل هَ ْ ََ كَِْلب فَِ َا ِاَََِْْ لا ِْ فَ ْلَّ ل لا‬َ ‫ْي بََ َْثَهل ِ َْ لَْلَ َم ِن ِنى‬ ِ
َ ‫بْ ِن َاإََ ه‬
ِ َ‫نل ىِ فَِ ْ ِ هَطَل ن ل‬
‫و‬ َ ‫و بِ َيل‬ َ ‫لْ ل‬ ‫ِ َْ هَ ْ يَ ْش َا ل و هَ ْ ََ ِلَهَ ِىَ ىل َوهَ ى لُمَ ىم ََّ لس ل‬
‫صَدَ َن ت ِل لك َِ يََ ْند َولََْلَدَة فَِ ْ ل ِْ هَطَل لن‬ َ ‫ر‬ ِ َ ‫َخِ ْرل ِ هَ ى ى َُ ْ فََر‬
َ َْ‫ض َدََْلا ِْ َخ‬ َ َ ْ ْ ‫فَأ‬
َْ‫صَ َ َُة تَل ْخ َخ لي ِه ْن هَ ْغهَِلَلئِ ِا ِْ فَلَََُّّ َد‬ ِ‫ا‬ِ ‫َل‬َ‫د‬ ‫ض‬ ‫ر‬ََ‫ف‬ ْ ُ
َ ‫ى‬ ‫ى‬ َ
‫ه‬ ِ ‫ر‬ ِ‫َخ‬ ‫أ‬‫ف‬
َ ‫و‬ ِ‫لَو بِ َيل‬
َ ْ ْ َ َ َ َ ْ ‫ْل‬ ْ َ َ
ِ ِِ ِ ِ
َ َ‫و بَِ َيل‬
‫و فََِ ىَي َم َوَكَر ئ َِ ه َْه َن ْل ِْ َو ت ِىق ََّ ْ َنَة لْ َمَلْدلند فََِنَىهل‬ َ ََ‫فلَ َقَر ئِ ِا ِْ فََِ ْ ل ِْ هَطََل لن ل‬
‫لب‬ ِ ِ ‫لََلر بََلَهَه وب‬
ٌ ََ ‫ْي ى ه‬ َ َْ َ ‫ْ َ َْ ل‬
Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam berkata,
kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyalahu'anhu ketika Beliau mengutusnya ke negeri Yaman:
"Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahlul Kitab, jika kamu sudah mendatangi mereka
maka ajaklah mereka untuk bersaksi tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah mentaati kamu tentang hal itu, maka
beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka shalat lima waktu pada setiap hari
dan malamnya. Jika mereka telah mena'ati kamu tentang hal itu maka beritahukanlah mereka
bahwa Allah mewajibkan bagi mereka zakat yang diambil dari kalangan orang mampu dari mereka
dan dibagikan kepada kalangan yang faqir dari mereka. Jika mereka mena'ati kamu dalam hal itu
maka janganlah kamu mengambil harta-harta terhormat mereka dan takutlah terhadap do'anya
orang yang terzholimi karena antara dia dan Allah tidak ada hijab (pembatas yang menghalangi)
nya". (lihat Shahih al-Bukhari No. 1458, Shahih Muslim No. 19) padahal Mu’adz Radhiyallahu anhu
ketika itu diutus hanya seorang diri.

PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL TERHADAP HADITS

Memahami hadits adalah sesuatu pekerjaan yang rumit karena dibutuhkan analisis yang cermat
bagaimana bisa memahami makna tekstual dan kontekstualnya atau apa yang dimaksudkan dari
hadits tersebut, Baik itu perkataan atau perbuatan atau ketetapan yag dinisbatkan kepada Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬.

Upaya bagi umat Islam awal (zaman sahabat) ini tidak menemui banyak kendala, karena mereka
hidup sezaman dengan Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Oleh karena itu, jika terdapat per masalahan yang
terkait dengan agama, khususnya dalam hal muamalah, di samping relatif kompleksnya masalah
dunia, mereka dapat segera menanyakan langsung kepada Nabi Muhammad SAW dan
mendapatkan solusi atas permasalahan tersebut, sehingga masalah yang mereka hadapi jauh
lebih sederhana daripada masalah modern atau zaman sekarang ini.

Hal yang sama terjadi pada generasi Tabi’in, mereka hidup tidak jauh dari zaman Nabi setelah
masa sahabat, hanya saja masih banyak peninggalan yang diwariskan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬dan para
sahabat.

Berbeda dengan umat Muslim sekarang yang hidup di zaman modernis atau milenial ini, telah
banyak bermunculan berbagai persoalan yang pelik, sehingga diperlukannya identifikasi jawaban
atas persoalan tersebut. Karena kompleksitasnya, wilayah hadits berada di urutan kedua setelah
Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran umat islam, karena banyak hal yang tidak dapat dijangkau
oleh hadits . Kondisi di atas sungguh menantang umat Islam modern, oleh karena itu, banyak ahli
di dunia modern yang berusaha menghidupkan kembali semangat pengkajian Hadits melalui cara-
cara terkini yang biasa disebut dengan aliran "Kontekstual" yang berfungsi sebagai penyeimbang
dan melengkapi penalaran tekstual.

Kata kontekstual diekstrak dari kata konteks. Kata konteks mengacu pada deskripsi atau kalimat
yang mendukung atau menambah artinya, atau terkait dengan peristiwa atau keadaan sekitarnya.

Dalam hal ini kontekstual dibahasakan sebagai penjelas untuk memahami hadits, yang dapat
berupa qouly (perkataan), fi’ly (perbuatan), taqrir ( ketetapan) atau segala sesuatu yang
disandaran kepada Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬berdasarkan keadaan saat hadits itu muncul.10

Sedangkan ada juga aliran “Tekstual” yakni dengan menekankan pembahasan dari perspektif
gramatikal bahasa atau linguistik, hal ini merupakan cara memahami hadits yang cenderung
berfokus pada kesesuaian makna yang terdapat dalam teks Hadits, dipahami secara saklek.
Hematnya, pemikiran ulama-terdahulu dapat dipahami sebagai sesuatu yang mutlak.

Tekstual berasal dari KBBI, kata “teks” tersebut mengandung banyak arti sebagai berikut ini:

a. “Kata-kata asli yang tertulis.”

b. “Mengutip tulisan dari Kitab Suci”

c. “Materi tertulis untuk pengetahuan dasar pada pelajaran, ceramah, dll”

(https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/TEKS )

enurut pengertian diatas dapat dikatakan bahwa dalam memahami hadits secara tekstual berarti
memahami hadits berdasarkan makna atau arti secara eksternal, asli atau linguistik. Artinya
semua yang tertulis dalam redaksi hadits (matan) dipahami sesuai dengan makna bahasanya,
sehingga pembaca dapat langsung memahaminya. Masyarakat hanya dapat menangkap makna
atau arti dan ruang lingkup pesan yang disampaikan oleh hadits tersebut dengan membaca teks
atau kata yang terdapat di dalam hadits tersebut. Karena makna tersebut lebih familiar dalam
kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa memahami hadits dengan cara tersebut, dapat
digolongkan sebagai salah satu cara yang paling mudah atau sederhana dan paling mendasar
dalam memahami hadits. Karena hanya dengan membaca lafadz hadits tersebut dan memahami
makna bahasanya maka masyarakat bisa mendapatkan pengertian dan maksud dari hadits
tersebut.

Jika dikelompokkan menurut redaksi matannya, maka hal tersebut dapat dipahami dengan
ungkapan yang relatif singkat namun padat makna atau kokoh. Dalam sebuah hadits dijelaskan
bahwa “perang adalah siasat, taktik, atau tipu daya” sebagai berikut:

10
Lihat Syarah al-Mandzumah al-Baiquniyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin hal 12, cet
Daar ats-Tsuroya th. 1423 H.
‫َخ ََرَع َه ْْ َمٌر َ ْن َاى ِلد بْ ِن لههََإِه َ ْن‬ ِ
ْ ‫َخ ََرَع َْإ ل ى ه‬ ْ َ‫َه ى ثََهَل هَبلن بَ ْكر بلنلَّ بْ لن ه‬
ْ ‫ص ََرَد ه‬
‫ب َخ ْ َة‬ ‫ر‬‫ْل‬
ْ ِ‫ى‬
‫د‬ ‫س‬ ‫و‬ ِ ‫لل َسىْ لهِىِب صدىْ ى دََل‬
‫ه‬ َ َُ ‫ه‬ ‫ه‬
ْ ‫ى‬ ‫ي‬ ‫ض‬ِ َّ ‫هَِِب ريَرَة‬
َ َْ َ َ َ ْ َ ‫َ ل‬ ُّ ‫ل‬ َ ‫ل َ َْ َ َ ل‬
Artinya: "Abu Bakar bin Ashram telah bercerita kepada kami, ‘Abdullah telah memberi kabar
kepada kami, Ma’mar telah mengabarkan kepada kami dari Hammam bin Munabbih dari Abu
Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasulullah ‫ﷺ‬. berkata: ”Perang itu adalah tipu daya". (HR. Al-Bukhari
3030 dan Muslim no. 1739)

Para ulama menjelaskan makna hadits diatas:

‫و ِه ْن هَ ْاَ َِ َِْت ِق َِلق‬ ِ


َ َ‫ َو َال‬،‫و‬َ ََ‫ب َهَل ه َْه َكه‬ ِ ‫وَُِلَََ ه ْْهََلهل ْسَ َ َ َ َ َ َََْ ْْ ِمَ َِ ْْلَِلدََةَ ِل ْْلر‬
َْ َ َ َ
ِ ُِ‫ و‬،َِ‫ فَِ َا هَ َلَْو ْْلَِلَ فََ َقلت‬،‫ه َ َدَ ة َكإِية لِْدمس َ َدِ ِمْي‬
َ ‫َلَ َه ْْهَلهل هَ ى َه ْن لخ‬
‫ل‬ َ َ ْ ‫َْ َ َ ل‬ َ ْ‫َ ْ َ َ ل‬
ِ
َ َ‫ف ََلال َهىرة َو ِه َ ة َ ِط َ َوَ د‬
.‫ َوََ َ ْنََّةَ لَهل‬،‫و‬
‫ ه َْو يل َ َ َ ِر َح بِبَ ِْي ْْلَِقَل َق ِةْ فَََللَلْ ِاَر ِه ْن نََ ْف ِسَ َ ِه‬،‫ب‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َويَل ْخ َخ لي هْههل هَ ى ل ْد لم ْسَ َد ِ هَ ْ يَ َكي‬
َْ‫ب َد‬ ِ ‫ هَو ي ْك‬،ِ ‫ وي ِكَل ل بِِه ل ىو‬،‫ ويَْ ى ث ِِبل ي ْش َ َ لي بِِه ِاىةَ هَص َ َ لبِِه‬،‫ُلَ ىنة‬
‫ي‬
َ َ ْ ْ‫َ ل‬ ََ َ ْ َ َ َ َ َ ََ َ
‫َسَلءَ بِْه ِ يَِْي َ ََّ ِض َي ىل َ ْهَ َال‬ ِ ِ ‫ َكمل ِْه َ ِلَِه ِي ِج ِهن ه‬،‫لْْ ل ِوْ لَِلن َ ه‬
ْ ‫يَ ه‬ َ ْ ْ َ ‫َ َ ْ َل‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ
‫ب ِل‬ ‫ َو لْ َكَي ل‬،‫ث لىر لاَ لَ ْهَرهَتََهل ل لْيضَ َ َ َ َ َ ََلََ َاَل‬ ‫ب َِ ِل ثََةث لَيََ ل‬ ‫«َ ََيَ َُّ لْ َكَي ل‬
.»‫لل‬ِ ‫ْي له‬ ‫ب‬ َ ِ‫ و لْ َك ِيب لَِل د‬،‫ب‬ ِ
َ َْ َ ْ ‫ل ل‬ َ ‫ْْلَْر‬
Dikatakan maknanya adalah memakai trik muslihat untuk perang yang engkau bisa lakukan, hal
ini untuk mencapai kemaslahatan yang besar bagi kaum muslimin. Maka jika telah siap tipu daya
maka berperanglah. Dikatakan juga, maknanya bahwa barangsiapa yang telah ditipu di dalamnya
sekali saja maka akan binasa dan dapat dihancurkan dan tidak bisa dia Kembali lagi. (itu makna
tekstualnya).

Sedangkan makna kontekstualnya:

Diambil dari hadits tersebut; bahwa seorang muslim boleh berdusta dan menjelaskan apa yang
bukan hakikatnya. Maka dengan ini dia telah menunjukkan kekuatan yang ada pada dirinya, dan
dia pun berbicara dengan apa yang bisa menginspirasi teman-temannya dan menipu musuhnya.

Sebagaimana dalam sunan At-Tirmidzi dari hadits Asma’ binti Yazid radhiallahu’anha,
Hukum asal berdusta adalah haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

ِ
َ ‫ ف ََِ لك ََي‬،‫وَِيكِ و لك ََي َب‬
َ‫ و‬،َِّ ‫ و لفَنََّ يا َ ج ْ له َل‬،َِّ‫ب يا َ ج ْ ل لفَن‬ ِ

‫ب هم يلكْ َ ه َ ىِ كي ِب‬ ِ ِ
َ ‫ب ويْ ر لكي‬ ‫اَ يكي ل‬ ‫يْ لل لىر ل‬
“Jauhilah dusta karena dusta itu menyeret pada kefajiran dan kefajiran itu menyeret ke neraka.
Dan tidaklah seseorang berdusta dan biasa berdusta hingga ia dicap sebagai pendusta” (HR. Al-
Bukhori no. 6094, Muslim no. 2607, At Tirmidzi no. 2099).

Dusta diharamkan karena di dalamnya terdapat bahaya bagi lawan bicara atau juga bagi
selainnya. Namun jika berdusta terkait sebuah maslahah syar’iyyah, hukumnya boleh. Misalnya
ketika sedang perang dan tidak tercapai tujuannya kecuali dengan dusta, atau ketika
mendamaikan dua orang yang berselisih untuk mengambil hati salah satunya, atau ketika suami-
istri terancam kerukunannya kecuali dengan dusta. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam:

ِ ‫ و ل َك ِيب ِل ْلر‬،‫ث لىراَ ْهرهَتَهل لِلي ِضََلَال‬


‫ب‬ ‫ل‬
ِ ‫ََ ََِي َُّ ل َك ِيب َِى ِل ثَةَث لَي‬
َ
ْ ‫ل‬ َ ََ ْ َ ‫ل ل‬ ‫ل‬
ِ ‫ْي‬
‫لهلل‬ ِ ِ ‫و ل َك ِي‬
َ َْ‫ب لَلل ْ د ََ ب‬
‫ل‬
“Tidak halal berdusta kecuali pada 3 hal: seorang suami berbicara kepada istrinya supaya ia ridha,
atau berdusta ketika perang, atau untuk mendamaikan orang yang berselisih” (HR. At Tirmidzi no.
1939, Ahmad no. 27050, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 7723).

Karena pembolehkan dusta ini sebatas pada hal yang darurat, maka tidak boleh bermudah-mudah
dalam hal yang sebenarnya tidak perlu berdusta.11

Pemahaman pada hadits ini sejalan dengan makna teksnya, yaitu taktik harus digunakan dalam
setiap perang. Peraturan ini umumnya berlaku dan tidak dibatasi oleh lingkup ruang atau waktu
tertentu. Perang dengan cara apa pun membutuhkan taktik. Perang tanpa adanya taktik seperti
dengan menyerah tanpa syarat kepada musuh. Dengan demikian hadits tersebut dapat dipahami
secara tekstual karena mengandung makna yang sesuai dengan teks haditsnya.

Namun perlu diketahui bahwasannya memahami hadits secara tekstual itu tidak boleh sendirinya
secara tekstual, harus tetap memperhatikan redaksi hadits tersebut, ketika bisa dipahami secara
tektual saja, maka sudah cukup secara tekstual, tapi jika memang mengharuskan secara
kontekstual maka harus disertakan kontekstual tersebut, karena terkadang ada teks-teks hadits
yang ketika dipahami secara tekstualnya saja akan membelokkan makna atau tidak sesuai dengan
makna yang mungkin dimaksudkan, sehingga tidak akan terjadi kesalahpahaman dalam
menafsirkan makna hadits tersebut. Wallahu A’lam.

11
Lihat kitab al-Bahrul Muhith atsajaaj fi Syarhi Shohih Imam Muslim bin al-Hajaaj 20/259., cet. Daarul
Ibnil Jauzy 1426 H).
PENUTUP

Seiring dengan perubahan dam perkembangan zaman yang semakin modern, agama sebagai
pijakan umat manusia dituntut mampu menjawab semua kompelsitas problematika yang mereka
hadapi di muka bumi ini. Alquran sebagai firman Allah menjadi landasan teologis dan praksis bagi
umat Islam hendaknya bukan hanya dibaca secara lafziah tetapi harus selalu direnungkan
kandungan maknanya agar bisa membumi, sehingga Alquran sungguh-sungguh berfungsi sebagai
petunjuk kehidupan. Akan tetapi wujud Alquran sebagai sebuah teks normatif menimbulkan multi
tafsir dari sang pembacanya. Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan munculnya golongan
tekstualis dan kontekstualis dalam khazanah keilmuan studi Islam saat ini. Dikotomi
mindset/logika berfikir tekstual maupun kontekstual ini selalu hadir dalam melihat hubungan teks
(Alquran) dengan realitas sosial dalam khazanah studi Islam khususnya dalam pemikiran hukum
Islam. Madzhab tekstualis berusaha untuk memurnikan amalan qur’ani melalui arti dan makna
insider Alquran itu sendiri tanpa melibatkan pemahaman atau nalar terhadap realitas, sebaliknya
madzhab kontekstualis berupayamendialogkan teks Alquran dengan realitas sosial yang dinamis.
Secara ideal, sebuah interpretasi yang komprehensif harus dilakukan dengan kombinasi dua
pendekatan sekaligus yaitu pendekatan tekstual dan kontekstual. Sehingga menghasilkan kajian
Islam yang komprehensif, aktual dan faktual (relevan dan sesuai dengan fakta/fenomena yang
sedang terjadi saat itu) agar konten Alquran benar-benar menjadi Sholihun li kulli zamaan wa
makan. Wallahu a’lamu bishawab!

MARAJI DAFTAR PUSTAKA:


1. PENDEKATAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL DALAM PENAFSIRAN ALQURAN, M. Solahudin, Al-
Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 1, 2 (Desember 2016): 115-130.
2. Hermeneutika Pembebasan, Ilham B.Saenong, Penerbit Teraju, Cetakan 1, November 2002,
hlm.xxi-xxii
3. Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka al-kautsar, cetakan keduapuluh
satu, Juni 2010, hlm.193-194.
4. Lihat Syarah Ushul Fi Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, cet. Muassassah Syaikh
Muhammad bin Sholih al-Utsaimin tahun 1434 H.
5. Lihat kitab al-Bahrul Muhith atsajaaj fi Syarhi Shohih Imam Muslim bin al-Hajaaj, Syaikh Ali Adam
al-Ethiopi rahimahullah cet. Daarul Ibnil Jauzy 1426 H.
6. Al-Qur`an al-Karīm
7. Shahīhul Bukhari oleh Imam al-Bukhori, cet. Daarul Ma’rifah.
8. Shahih Muslim, oleh Imam Muslim, cet. Daar Ibnu Hazm.
9. Sunan Abū Dawud oleh Imam Abu Dawud Sulaiman as-Sijistani, cet. Maktabah al-Ma’arif
Riyadh, th. 1417 H.
10. Sunan at-Tirmidzi oleh Imam Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi, cet. Maktabah al-Ma’arif
Riyadh, th. 1417 H.
11. Sunan Ibnu Majah oleh Imam Abu Abdillah Ibnu Majah, cet. Maktabah al-Ma’arif Riyadh,
th. 1417 H.
12. Sunan an-Nasa’i, oleh Imam Abu Abdirrahman bin Ahmad bin Syu’aib An-Nasaai, cet.
Maktabah al-Ma’arif Riyadh, th. 1417 H.
13. Musnad Imam Ahmad oleh Imam Ahmad bin Hanbal, cet. Baitul Afkaar ad-Dauliyah th.
1420 H.
14. Al-Muwaththo oleh Imam Malik bin Anas riwayat Yahya bin Yahya al-Laitsi, tahqiq Dr.
Basysyaar Awaad Ma’ruuf, cet Darul Ghorb al-Islamy, th. 1417 H.
15. Shahīhut Targhīb wat Tarhīb –Syaikh Muhammad Nashīruddīn al-Albani, Almaktab al-
Ma’arif 1421 H
16. Silsilah Ahaditsish Shahīhah –Muhammad Nashīruddīn al-Albani, al-Maktabul Ma’arif
1415 H.
17. Syarah al-Mandzumah al-Baiquniyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, cet
Daar ats-Tsuroya th. 1423 H.

18. Maqooyis al-Lughoh oleh Ibnul Faris Cet. Daarul Fikr 1399 H.
19. Tadabburul Al-Qur’an oleh Abdul Lathif bin Abdullah al-Tuwaijiri, cet. Maktabah Daar al-Minhal th.
1436 H.

Anda mungkin juga menyukai