Freakonomics
Freakonomics
Beberapa Aplikasi.
1. Hutang Luar Negeri.
Kita dapat melihat tentang hutang luar negeri, dimana pada tataran ground
economy, Indonesia masih memiliki hutang luar negeri dan diharuskan
membeli barang-barang dan jasa tertentu dari negara pemberi kredit; pada
upperground economy seolah-olah disebut sebagai pendapatan
pembangunan. Sementara pada underground economy, orang menganggap
bahwa pembayaran hutang luar negeri bisa dipakai untuk menghapus
kantong kemiskinan bila kita bisa mendapat moratorium atau penghapusan
hutang luar negeri. Dengan demikian daya beli masyarakat dalam negeri
akan bertambah bila ada moratorium.
2. Analisis Tentang TKI.
Upperground economy bisa memberikan penghasilan devisa tambahan yang
handal; dan ground economy, bisa memberikan perluasan kesempatan kerja
ke luar negeri dan pada saat yang sama TKI bisa menjadi menjadi obyek PPH
(pajak penghasilan). Peningkatan pendapatan akan menyebabkan peningkatan
tabungan (economic saving). Sedangkan pada underground economy, bisa
menimbulkan potensi kehilangan pekerja yang handal dan cekatan untuk
pembangunan bangsa, dampaknya banyak daerah kehilangan tenaga kerja
yang produktif, terutama di sektor pertanian dan UKM. Ada kesempatan
dalam negeri yang hilang sebab pada beberapa tempat mereka dibutuhkan.
Belum lagi munculnya social cost dari TKI yang bertambah pelik.
3. Tentang ‘Warteg’ Di Sekitar Kampus.
Upperground economy bisa dianggap memberikan pemandangan kurang
sedap dan menambah biaya untuk melakukan penataan kebersihan dan
keapikan. Dan pada ground economy, ternyata kehadiran warteg, bisa
menawarkan alternative makanan yang murah dan terjangkau. Warga kampus
diakhir bulan bisa melakukan penghematan, tercipta saving economy.
Sedangkan pada underground economy, (i). Warteg bisa memberikan
kenaikan pendapatan bagi pemungut bayaran di sektor informal, seperti
retribusi dan pungli, (ii). Warteg bisa memberikan kesempatan kerja baru
bagi mereka yang baru mengalami PHK di sektor formal akibat krisis
moneter, (iii). Warteg bisa memperluas basis untuk tempat latihan berusaha
supaya dapat berusaha dengan handal di kemudian hari (bagian dari
learning society yang cheap cost).
A recent New York Times Magazine cover story noted that just a decade ago the
world feared being bowled over by American management technique, not just our
labs, our factories, or even our sheer size. ‘These American invaders were
superior, in (French editor Jean-Jacques) Servan Schreiber’s vie, not because of
their money resources, or technology but because of their corporate
organizational ability- and the genius behind it all was the American Corporate
Manager.’
But something has happened in the thirteen years since Servan Schreiber first
published The American Challenge. American business has gotten mire in a
swamp of economic and political woes…In truth, however these problems are
shared by many other countries, some oh which are islands of good news. The
performance of many Japanese and German companies is oft-cited evidence that
‘it can be done’….Within the space of a few weeks in late 1980, Newsweek Time,
The Atlantic Monthly, Dun’s Review (twice), and even Esquire carried stories on the
general theme that the managers were to blame for the sad state of American
business
(Peter and Waterman (1982)1995 :33-43)
Over ten years later, the message that America is in need of saving and has lost
its way continued to be reiterated :
‘So if managements want companies that are lean, nimble, flexible, responsive,
competitive, innovative, efficient, customer-focused, and profitable, why are so
many American companies bloated, clumsy, rigid, sluggish, noncompetitive,
uncreative, inefficient, disdainful, of customer needs, and losing their money?
Corporations do not perform badly, because – as some critics have claimed –
American workers are lazy and American management are inept…it is because the
world in which they operate has changed beyond the limits of their capacity to
adjust or evolve.
(Hammer and Champy 1993:7-12)
3. Fear factor, dimana ada sebagian orang yang hidup dalam ketakutan, dan
sebagiannya lagi dapat ‘memanipulasi’ ketakutan itu untuk mendapatkan apa
yang diinginkannya. Ketakutan akan serangan teroris menyebabkan USA
mengeluarkan anggaran militer yang sangat besar untuk menjaga kedaulatan
dan kepentingan USA di mata internasional. Kalangan oposisi terhadap George
W. Bush, menilai bahwa ketakutan ini dipergunakan untuk hidden agenda dari
sang presiden, terutama untuk penguasaan jalur distribusi minyak
internasional.
4. Efek dramatis merupakan pesona yang dapat dijual. Satu minggu setelah
bencana Katrina yang menimpa New Orleans, banyak situs – situs ilegal di
internet yang menampilkan efek- efek dramatis yang menyedihkan dari
bencana tersebut dan menawarkan jasa penyaluran bantuan terhadap korban
bencana. Situs-situs ini dapat meraup jutaan dollar dalam waktu seketika. Saat
ini polisi federal giat mengungkap kasus ini.
5. Pemahaman tentang apa yang harus diukur (measures) dan menggunakannya
untuk membuat kompleksitas permasalahan menjadi sederhana. Misalkan ,
atas nama efisiensi, globalisasi mengagungkan merger dan akusisi.
Penggabungan dua atau lebih perusahaan besar yang sepakat berpadu
menjadi satu perusahaan raksasa, memberikan suatu harapan agar kelak
perusahaan dapat memenangkan persaingan di pasar, seperti merger antara 2
perusahaan besar : Sonny-Ericsson yang berupaya menguasai market share
dalam bisnis telepon gengam. Berdasarkan logika ekonomi, strategi ini
memang merupakan jurus jitu yang pamungkas, namun pada kenyataannya
seringkali jauh panggang daripada api. Kegagalan seringkali menghampiri
banyak perusahaan yang melakukan merger dan akusisi, hanya sekitar 20% dari
populasi yang berhasil. 80 %-nya menemui kendala dalam menciptakan
synergy (dimana 2 + 2 = 5), yang terjadi malah muncul enthropy ( bencana,
dimana 2 + 2 = 2). Kegagalan ini oleh Sultan Kermally, dalam buku “When
Economics Means Business”, disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain :
Terlalu banyak perhatian yang diberikan pada pencapaian strategi jangka
pendek dalam mengejar profitability ketimbang melakukan investasi jangka
panjang.
Ada ketidaksesuaian dalam penetapan strategi.
Adanya asumsi bahwa keahlian – keahlian yang melekat pada satu perusahaan
tidak dapat langsung siap untuk diterapkan ke perusahaan yang lain.
Terjadinya konflik atas penggabungan 2 budaya organisasi yang berbeda.
Ada perbedaan gaya kepemimpinan dan kerancuan dalam pencapaian tujuan
usaha.
Banyak pelaku usaha melihat merger dan akusisi sebagai akhir dari perjalanan
bisnis mereka- seharusnya mereka melihat bahwa merger dan akusisi
merupakan cara pandang yang baru untuk mereposisi diri dalam
memenangkan persaingan.
Audit yang dilakukan sebelum penggabungan, seringkali belum lengkap dan
menyeluruh.
Kesulitan dalam menetapkan kesetiaan (loyalitas) pada perusahaan.
Gemerlap dan pesona dalam melakukan perjanjian ( deal) bisnis seringkali
membawa pimpinan –pimpinan melupakan kenyataan dalam menjalankan
usaha – implementasi dari butir-butir perjanjian yang dibuat , seringkali
diabaikan.
Banyak waktu yang digunakan untuk mencari dan ,setelah itu, bermesraan
dengan partner, ketimbang menata kehidupan bersama setelah penggabungan.
What you see is not always what you get.
Merger dan akusisi yang berlangsung tidak akan pernah sukses bila tidak
adanya rasa saling percaya antar partner.
Menilik kejadian – kejadian yang terjadi disekitar kita seperti globalisasi
versus lokalisasi, freakonomics dianggap mengubris hal yang aneh-aneh dan
keganjilan tertentu secara gamblang dan terbuka, selain juga berupaya untuk
memunculkan kearifan dalam menata manajemen yang lugas, pantas dan
berdayaguna. Freakonomics mencoba menguak tantangan tentang bagaimana
menata upperground economy, ground economy, underground economy, secara
baik dan pantas. Berkaitan dengan itu semua, maka bisa dipertanyakan : “What
kind of managing diversity do we want to have in the scheme of freakonomics?
kita perlu dialog untuk menjawab pertanyaan ini !
Daftar Pustaka :
1. John Perkins, “Confessions of an Economic Hitman “ , Berret-Koehler
Publisher, San Fransisco , 2004.
2. Steven D. Levitt & Stephen J. Dubner, “Freakonomics”, HarperCollins Publisher,
New York 2005.
3. The Economist, “ The shaming of America”, September 10th- 16th, 2005.
4. A. Larry Elliot & Richard J. Schroth , “How Companies Lie”, Nicholas Brealey
Publishing”,UK, 2002.
5. Sultan Kermally, “When Economics Means Business”, Financial Times-Pitman
Publishing, 1999.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini sesuai yang anda baca:
1) Pelajaran apakah yang bisa kita ambil dari mempelajari freakonomics
secara mendalam ?
2) Bagaimanakah pergerakan dari freakonomics itu ?
3) Apa sebetulnya yang ditunjukkan oleh freakonomics ?
4) Apakah freakonomics lebih berpatokan pada kompleksitas ekonomi yang
perlu dianalisis ?
5) Mengapa freakonomics lebih banyak berkaitan dengan tacit knowledge
daripada normative economics ?
6) Bagaimanakah aplikasi freakonomics dalam bahasan tentang: Hutang Luar
Negeri, TKI dan Warung Tegal (Warteg) di sekitar kampus ?
7) Bagaimanakah freakonomics itu melihat tentang globalisasi ?
8) Apakah freakonomics bisa diibaratkan dengan mempelajari perilaku
gelombang air laut dan aneka arus yang terkandung di dalamnya ?
9) Bagaimanakah seseorang yang memahami freakonomics melihat merger
dan akusisi ?
10) Apakah freakonomics punya kiat mempelajari atau mendalami yang ganjil
atau aneh tapi nyata?
-----------------SELAMAT MENGERJAKAN---------------