Anda di halaman 1dari 9

Suatu Kajian Mengenai : “Freakonomics”

Oleh:Prof. Dr. Thoby Mutis

Freakonomics mengungkapkan tabir ekonomi secara aktual yang


didasarkan pada tacit knowledge (pengetahuan apa adanya) dari pengalaman dan
lapangan, menerangkan tentang bagaimana kesemuanya dapat berjalan,
berproses dan terjadi (what is). Bukan pada normative-economics yang biasanya
digunakan dengan premis dan asumsi tertentu, dimana seolah-olah semuanya
berjalan menurut apa yang seharusnya terjadi seturut kehendak yang baik ( what
should be).
Freakonomics juga mengungkapkan kompleksitas ekonomi secara
mendalam dan terbuka serta transparan. Kompleksitas itu mengambarkan
kegiatan-kegiatan ekonomi yang sangat bersisi banyak. Misalnya, penggalakan
pemungutan pajak, sebagai sumber pemasukan negara, menemui kesulitan dalam
menghitung pajak informal, seperti pungutan atas illegal logging, pungutan atas
perjudian, pungutan atas penyeludupan dan sebagainya yang dinikmati oknum.
Freakonomics digubris secara mendalam tentang : (i). Apa yang
Dalam
nampak diatas permukaan (upper ground), (ii.) Dipermukaan (ground), (iii).
Dibawah permukaan (underground), atas setiap upaya yang dilakukan individu
maupun organisasi formal dalam lingkup behaviors, smart or bad habits dan
aneka “hidden streams”, dalam lingkup tujuan ekonomi. Satu fakta ekonomi bisa
dilihat dalam tiga sudut pandang , disimak dalam tiga dimensi dimana bisa
terjadi satu dengan yang lain dapat saling sejalan dan saling memperkuat dalam
lingkup “pareto optimum”, tetapi bisa juga tidak sejalan sama sekali atau saling
meniadakan (zero sum game). Sehingga, Freakonomics lebih melihat pada lingkup
uraian - uraian yang menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi - say the truth
- termasuk aneka kesenjangan yang ada (distorsi dan disparitas).

Beberapa Aplikasi.
1. Hutang Luar Negeri.
Kita dapat melihat tentang hutang luar negeri, dimana pada tataran ground
economy, Indonesia masih memiliki hutang luar negeri dan diharuskan
membeli barang-barang dan jasa tertentu dari negara pemberi kredit; pada
upperground economy seolah-olah disebut sebagai pendapatan
pembangunan. Sementara pada underground economy, orang menganggap
bahwa pembayaran hutang luar negeri bisa dipakai untuk menghapus
kantong kemiskinan bila kita bisa mendapat moratorium atau penghapusan
hutang luar negeri. Dengan demikian daya beli masyarakat dalam negeri
akan bertambah bila ada moratorium.
2. Analisis Tentang TKI.
Upperground economy bisa memberikan penghasilan devisa tambahan yang
handal; dan ground economy, bisa memberikan perluasan kesempatan kerja
ke luar negeri dan pada saat yang sama TKI bisa menjadi menjadi obyek PPH
(pajak penghasilan). Peningkatan pendapatan akan menyebabkan peningkatan
tabungan (economic saving). Sedangkan pada underground economy, bisa
menimbulkan potensi kehilangan pekerja yang handal dan cekatan untuk
pembangunan bangsa, dampaknya banyak daerah kehilangan tenaga kerja
yang produktif, terutama di sektor pertanian dan UKM. Ada kesempatan
dalam negeri yang hilang sebab pada beberapa tempat mereka dibutuhkan.
Belum lagi munculnya social cost dari TKI yang bertambah pelik.
3. Tentang ‘Warteg’ Di Sekitar Kampus.
Upperground economy bisa dianggap memberikan pemandangan kurang
sedap dan menambah biaya untuk melakukan penataan kebersihan dan
keapikan. Dan pada ground economy, ternyata kehadiran warteg, bisa
menawarkan alternative makanan yang murah dan terjangkau. Warga kampus
diakhir bulan bisa melakukan penghematan, tercipta saving economy.
Sedangkan pada underground economy, (i). Warteg bisa memberikan
kenaikan pendapatan bagi pemungut bayaran di sektor informal, seperti
retribusi dan pungli, (ii). Warteg bisa memberikan kesempatan kerja baru
bagi mereka yang baru mengalami PHK di sektor formal akibat krisis
moneter, (iii). Warteg bisa memperluas basis untuk tempat latihan berusaha
supaya dapat berusaha dengan handal di kemudian hari (bagian dari
learning society yang cheap cost).

Freakonomics Dalam Melihat Globalisasi


Freakonomics, pada upperground globalisasi dianggap dapat
level
menciptakan kebijakan ‘the law of one price’ , yang memuat pengertian bahwa
harga suatu produk atau jasa adalah sama di semua Negara. Ground economy ,
melihat the law of one price, merupakan suatu upaya untuk memperluas pasar
kea rah ‘perfect competition. Sedangkan underground economy, menafsirkan
globalisasi sebagai pintu masuk menuju ke suatu tahapan selanjutnya dari ‘tipu
daya’ dalam skala usaha yang lebih luas. Apakah kebijakan ini dapat diterima di
semua negara. Bagaimana dengan serangkaian tindakan proteksi yang dilakukan
oleh pemerintah Jepang yang berupaya melindungi kesejahteraan para petani,
sehingga harga singkong di Jepang sama dengan 50 kali harga singkong di
Cikampek?
Ekonom Y. Stiglish, sempat menyindir bahwa IMF saat ini bukanlah
kepanjangan dari International Monetary Fund, melainkan International Monetary
Fraud. John Perkins, penulis buku best seller, Confessions of an Economic Hitman,
mengungkapkan adanya ‘hidden’ mekanisme yang mengontrol secara sistematis
dibalik kejadian-kejadian besar yang terjadi di dunia. Ia juga menambahkan,
bahwa iming – iming pemberian bantuan pinjaman dalam jumlah yang besar dan
ringan persyaratannya, merupakan suatu usaha yang tendensinya membuat
negara-negara dunia ketiga terjerat dalam hutang besar yang kronis.
Ketidakmampuan untuk melunasi pinjaman (default) bisa ditilik sebagai hidden
agenda untuk dapat menguasai perekonomian dan kedaulatan di negara yang
bersangkutan.
Menurut A. Larry Elliot & Richard J. Schroth , dalam buku “How Companies
Lie”, Tersingkapnya skandal Akutansi yang dilakukan oleh perusahaan papan
atas di USA, seperti Enron, PriceWater HouseCooper, Tyco, Sunbeam, Global
Crossings, Waste Management and WorldCom menyadarkan kita akan dramatisnya
praktek – praktek underground yang dapat merugikan konsumen. Hal ini terjadi
karena perusahaan – perusahaan besar memiliki infrastruktur perusahaan yang
global, yang membuatnya dapat bergerak bebas melintasi batas antar negara dan
memanfaatkan celah (kelemahan) hukum di negara yang dihinggapinya.
Beberapa kalangan ekonom di USA menyakini bahwa , skandal tersebut hanya
merupakan ‘puncak’ dari gunung es (tip of iceberg) di dasar laut. Masih banyak
perusahaan di sekitar kita, kini dan di masa mendatang yang secara potensial
mempunyai tabiat serupa.
Levitt and Stephen J dalam bukunya berjudul ‘Freakonomics’ berusaha
menunjukkan bahwa ekonomi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang :
1. Insentif – ciri budaya modern - tentang bagaimana orang mendapatkan apa
yang diinginkannya dan dibutuhkannya, pada saat orang lain, disisi lain,
mempunyai keinginan yang sama. Misalnya : mengubah kebiasaan berkelahi
menjadi pertandingan tinju yang menghasilkan uang banyak, mengubah
budaya komunikasi verbal menjadi budaya online dating di internet.
2. Kearifan konvensional seringkali tidak lengkap dan kurang didasari pada
konteks yang ada (contextual economy). USA selama ini dikenal sebagai
negara yang paling gigih memperjuangkan hak asasi manusia (human right).
Dimana hak asasi manusia adalah merupakan hak individu yang diperoleh sejak
ia masih berada di dalam kandungan. Namun sekarang ini, bagaimana
menerangkan tentang image yang telah tercipta dengan realitas yang ada,
dimana angka aborsi di USA sangat tinggi, hampir mencapai 1,6 juta kasus per
tahun, di negara yang berpenduduk kurang lebih 225 juta jiwa. Contoh lain,
misalnya mengenai keunggulan gaya manajerial ala Amerika yang dahulu kerap
didegungkan sebagai ciri manajerial terhebat dan kreativitasnya yang memukau
di abad ini dan pada kenyataannya ada juga kekurangannya seperti ungkapan
ini.

A recent New York Times Magazine cover story noted that just a decade ago the
world feared being bowled over by American management technique, not just our
labs, our factories, or even our sheer size. ‘These American invaders were
superior, in (French editor Jean-Jacques) Servan Schreiber’s vie, not because of
their money resources, or technology but because of their corporate
organizational ability- and the genius behind it all was the American Corporate
Manager.’

But something has happened in the thirteen years since Servan Schreiber first
published The American Challenge. American business has gotten mire in a
swamp of economic and political woes…In truth, however these problems are
shared by many other countries, some oh which are islands of good news. The
performance of many Japanese and German companies is oft-cited evidence that
‘it can be done’….Within the space of a few weeks in late 1980, Newsweek Time,
The Atlantic Monthly, Dun’s Review (twice), and even Esquire carried stories on the
general theme that the managers were to blame for the sad state of American
business
(Peter and Waterman (1982)1995 :33-43)
Over ten years later, the message that America is in need of saving and has lost
its way continued to be reiterated :
‘So if managements want companies that are lean, nimble, flexible, responsive,
competitive, innovative, efficient, customer-focused, and profitable, why are so
many American companies bloated, clumsy, rigid, sluggish, noncompetitive,
uncreative, inefficient, disdainful, of customer needs, and losing their money?
Corporations do not perform badly, because – as some critics have claimed –
American workers are lazy and American management are inept…it is because the
world in which they operate has changed beyond the limits of their capacity to
adjust or evolve.
(Hammer and Champy 1993:7-12)

3. Fear factor, dimana ada sebagian orang yang hidup dalam ketakutan, dan
sebagiannya lagi dapat ‘memanipulasi’ ketakutan itu untuk mendapatkan apa
yang diinginkannya. Ketakutan akan serangan teroris menyebabkan USA
mengeluarkan anggaran militer yang sangat besar untuk menjaga kedaulatan
dan kepentingan USA di mata internasional. Kalangan oposisi terhadap George
W. Bush, menilai bahwa ketakutan ini dipergunakan untuk hidden agenda dari
sang presiden, terutama untuk penguasaan jalur distribusi minyak
internasional.
4. Efek dramatis merupakan pesona yang dapat dijual. Satu minggu setelah
bencana Katrina yang menimpa New Orleans, banyak situs – situs ilegal di
internet yang menampilkan efek- efek dramatis yang menyedihkan dari
bencana tersebut dan menawarkan jasa penyaluran bantuan terhadap korban
bencana. Situs-situs ini dapat meraup jutaan dollar dalam waktu seketika. Saat
ini polisi federal giat mengungkap kasus ini.
5. Pemahaman tentang apa yang harus diukur (measures) dan menggunakannya
untuk membuat kompleksitas permasalahan menjadi sederhana. Misalkan ,
atas nama efisiensi, globalisasi mengagungkan merger dan akusisi.
Penggabungan dua atau lebih perusahaan besar yang sepakat berpadu
menjadi satu perusahaan raksasa, memberikan suatu harapan agar kelak
perusahaan dapat memenangkan persaingan di pasar, seperti merger antara 2
perusahaan besar : Sonny-Ericsson yang berupaya menguasai market share
dalam bisnis telepon gengam. Berdasarkan logika ekonomi, strategi ini
memang merupakan jurus jitu yang pamungkas, namun pada kenyataannya
seringkali jauh panggang daripada api. Kegagalan seringkali menghampiri
banyak perusahaan yang melakukan merger dan akusisi, hanya sekitar 20% dari
populasi yang berhasil. 80 %-nya menemui kendala dalam menciptakan
synergy (dimana 2 + 2 = 5), yang terjadi malah muncul enthropy ( bencana,
dimana 2 + 2 = 2). Kegagalan ini oleh Sultan Kermally, dalam buku “When
Economics Means Business”, disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain :
 Terlalu banyak perhatian yang diberikan pada pencapaian strategi jangka
pendek dalam mengejar profitability ketimbang melakukan investasi jangka
panjang.
 Ada ketidaksesuaian dalam penetapan strategi.
 Adanya asumsi bahwa keahlian – keahlian yang melekat pada satu perusahaan
tidak dapat langsung siap untuk diterapkan ke perusahaan yang lain.
 Terjadinya konflik atas penggabungan 2 budaya organisasi yang berbeda.
 Ada perbedaan gaya kepemimpinan dan kerancuan dalam pencapaian tujuan
usaha.
 Banyak pelaku usaha melihat merger dan akusisi sebagai akhir dari perjalanan
bisnis mereka- seharusnya mereka melihat bahwa merger dan akusisi
merupakan cara pandang yang baru untuk mereposisi diri dalam
memenangkan persaingan.
 Audit yang dilakukan sebelum penggabungan, seringkali belum lengkap dan
menyeluruh.
 Kesulitan dalam menetapkan kesetiaan (loyalitas) pada perusahaan.
 Gemerlap dan pesona dalam melakukan perjanjian ( deal) bisnis seringkali
membawa pimpinan –pimpinan melupakan kenyataan dalam menjalankan
usaha – implementasi dari butir-butir perjanjian yang dibuat , seringkali
diabaikan.
 Banyak waktu yang digunakan untuk mencari dan ,setelah itu, bermesraan
dengan partner, ketimbang menata kehidupan bersama setelah penggabungan.
 What you see is not always what you get.
 Merger dan akusisi yang berlangsung tidak akan pernah sukses bila tidak
adanya rasa saling percaya antar partner.
Menilik kejadian – kejadian yang terjadi disekitar kita seperti globalisasi
versus lokalisasi, freakonomics dianggap mengubris hal yang aneh-aneh dan
keganjilan tertentu secara gamblang dan terbuka, selain juga berupaya untuk
memunculkan kearifan dalam menata manajemen yang lugas, pantas dan
berdayaguna. Freakonomics mencoba menguak tantangan tentang bagaimana
menata upperground economy, ground economy, underground economy, secara
baik dan pantas. Berkaitan dengan itu semua, maka bisa dipertanyakan : “What
kind of managing diversity do we want to have in the scheme of freakonomics?
kita perlu dialog untuk menjawab pertanyaan ini !

“ Freakonomics bagaikan arus air mengalir di laut dimana


arus di atas permukaan berbeda dengan arus di bawah permukaan
dan ini membuat perilaku ombak manarik untuk di simak ”.

“Tacit Knowledge” Dalam Lingkup Manajemen.


Kontekstualisasi pengetahuan semakin penting untuk dipelajari. Sebab banyak
pengetahuan yang mubasir bagaikan cerita usang. Sebab pengetahuan itu ada
yang berguna untuk diaplikasikan dan ada yang tidak berguna. Sebab itu perlu
seleksi dalam konteks kekinian.
1. Konsep dari pengetahuan (knowledge) dalam lingkup manajemen,
sebagaimana kita pikirkan pada saat ini, telah dikembangkan dari tema-
tema manajemen di sekitar tahun 1980 dan 1990-an mengenai: praktek–
praktek yang terbaik, Total Quality Management, inovasi berkelanjutan
dan organizational learning. Kesemua tema ini menimbulkan adanya suatu
kesadaran untuk memahami knowledge management oleh seluruh
komponen organisasi, termasuk lingkup tacit knowledge.
2. Seminar pertama mengenai knowledge management berlangsung di
Perdue University, USA pada tahun 1987, berjudul “Pengelolaan Aset
Pengetahuan Memasuki Abad 21”. Di mana seminar ini difokuskan pada
pengetahuan yang melampaui teori, dengan menggunakan artificial
intelelligence yang didukung oleh Digital Equipment Co. dan Technology
Transfer Society. Seminar berikutnya yang diselenggarakan oleh Steelcase
North Amerika dan EDS, pada April 1992, lebih menekankan pada
“knowledge productivity”. Seminar ketiga diselenggarakan oleh Industrial
Research Institute di Vancouver pada Oktober 1992. McKinsey & Co
memulai penerapan knowledge management dalam periode yang sama
(Amidon 1995,p.1)
3. Dua proses pengetahuan yang membentuk knowledge sebagai asset
manajemen adalah:
a. Pengalihan pengetahuan (knowledge transfer) pada generasi tenaga
kerja yang sama (diantara para pekerja saat kini ).
b. Pengalihan pengetahuan (knowledge transfer) di antara generasi
tenaga kerja (dari para pekerja saat kini kepada para pekerja yang
akan menggantikan mereka).
4. Knowledge Discountinity Crises.
Hamilton Beazley, Jeremiah Boenisch dan David Harden, dalam bukunya
yang berjudul Continuity Management (2002), mengatakan bahwa
pengetahuan organisasi berada di kepala dari para karyawan selain di
dokumen-dokumen perusahaan dan database perusahaan. Sejalan dengan
Delphi Group, sebuah perusahaan konsultan yang mempunyai spesialisasi
dalam urusan knowledge management dengan dukungan perangkat
teknologi muktahir dan e-learning, menyatakan bahwa 70 persen dari
company’s knowledge terletak di benak para karyawannya, sedangkan 30%
sisanya di dalam bentuk yang lain. Komposisi ini merupakan faktor penting
yang mempengaruhi produktivitas para karyawan, inovasi dan kinerja
perusahaan. Continuity management menyakini bahwa pentingnya
pengetahuan operasional akan membawa perusahaan menuju level
tertinggi dari corporate performance, oleh karenanya untuk
mempertahankan level tersebut perlu ada transfer of knowledge di antara
generasi para pekerja. Transfer of knowledge ini dapat dilakukan secara
implicit (tacit) maupun explicit.
5. Tacit Knowledge
Tacit atau implicit knowledge merupakan pengetahuan yang tertanam di
dalam kepala para pekerja, akan meninggalkan organsasi bersamaan
dengan hengkangnya sang karyawan. Sedangkan, explicit knowledge
merupakan pengetahuan yang akan terus tinggal di perusahaan, seperti
prosedur kerja, dokumen-dokumen, database- database dan formal proses
lainnya (Dixon, 2000 p.26). Tacit knowledge mempunyai beberapa
karakteristik yang dapat membedakannya dengan explicit knowledge, al:
 Tacit knowledge bersifat individual, pengetahuan personal yang muncul
karena pengalaman kerja dan refleksi akan suatu nilai pada saat sang
karyawan mampu menuntaskan suatu pekerjaan. Hal ini didasari oleh
improvisasi, eksperimen, trial and error, penemuan solusi, cerita-
cerita, prinsip-prinsip, dan pedoman-pedoman yang mampu menjadi
suatu guidelines dalam membimbing para pekerja mencapai
keberhasilan mereka dan menciptakan pertukaran informasi di antara
mereka.
 Salah satu kandungan / content dari tacit knowledge, misalnya:
pengetahuan mengenai rincian pekerjaan yang diperoleh melalui
transfer knowledge dan pertukaran informasi di antara generasi para
pekerja (lama-baru) mampu membuat suatu pekerjaan dapat dilakukan
dengan lebih baik, dan membuat proses-proses yang ada didalamnya
menjadi lebih produktif.
 Tacit knowledge mempunya 2 komponen penting :
o Subjective components, seperti: insight, intuition, hunches, dll.
o Objective components, seperti: technical skill and jobrelevant
data and information.
 Tacit knowledge seringkali tercipta dalam tatanan sosial diantara para
pekerja, seperti dalam informal meeting, lunch break, and get together
after work. Sebagai suatu produk dari suatu kelompok yang saling
bertukar pikiran informasi dan kolaborasi para pekerja lahirlah suatu
collective knowledge.
6. The Value of Knowledge
Knowledge management akan mempunyai dampak positif dalam
membantu mengelola organization loss yang kian meningkat pada
beberapa tahun belakangan. Efek dari kerugian organisasi dapat
diperkirakan sebelumnya, seperti:
a) Berkurangnya efisiensi.
b) Menurunnya produktifitas.
c) Meningkatnya frustasi dan stress diantara para pekerja.
d) Pendapatan karyawan yang rendah.
e) Secara bersamaan, efek negatif ini akan mengakibatkan
rendahnya tingkat profitabilitas, mandulnya inovasi, tumpulnya
responsiveness karyawan, dan berkurangnya daya saing
perusahaan.
7. Company of Operational Knowledge
Pengetahuan operasional memiliki banyak rupa dalam kandungannya
dan komprehensif dalam jangkauannya. Pengetahuan operasional ini
diambil secara luas lintas fungsi/divisi dalam organisasi.
Sebagai suatu kesatuan yang koheren, pengetahuan operasional
dibedakan atas 7 tipe, yaitu :
a) Cognitive knowledge. Meliputi: job specific data and information .
b) Skill knowledge. Keahlian dan pelatihan merupakan syarat dalam
melakukan kinerja yang optimal sesuai dengan posisi si karyawan.
c) System knowledge. Pemahaman mengenai penyebab dan efek
yang mungkin timbul dari suatu proses pengambilan keputusan.
d) Social network knowledge. Pemahaman mengenai pentingnya
social network dalam organisasi yang menyebabkan segala
sesuatunya dapat terlaksana dengan baik di dalam organisasi. Pada
saat, seorang karyawan berada dalam suatu situasi yang tidak
familiar dengan dirinya dan menemukan suatu kebuntuan, maka
maka si karyawan tersebut tidak hanya mengandalkan pada
database dan prosedur manual. Mereka akan berpaling pada rekan
kerjanya yang lain yang dianggap dapat memberikan masukan
informasi dan nasehat.
e) Process and procedural knowledge. Pengetahuan formal dan
informal mengenai proses dan prosedur di dalam organisasi,
kerap kali lebih efektif dalam membuat segala sesuatunya
berjalan dengan lancar.
f) Heuristic knowledge. Pengetahuan merupakan shortcut dalam
menyelesaikan tugas-tugas dan petunjuk dalam pengambilan
keputusan. Heuristic knowledge meliputi prosedur–prosedur yang
telah dimodifikasi atau menghilangkan hal–hal yang dianggap
usang dan tidak efektif lagi dalam proses operasional.
g) Cultural knowledge. Pengetahuan mengenai norma-norma, nilai–
nilai dan standar–standar yang hidup di dalam organisasi. Dimana,
pengetahuan ini akan menyelaraskan interaksi antara para pekerja
dan stakeholder.
8. Hamilton Beazley, Jeremiah Boenisch dan David Harden, dalam bukunya
yang berjudul Continuity Management (2002), menyatakan bahwa
peninjauan kembali knowledge sebagai faktor kunci ekonomi dalam
produksi dan kontinuitas pengetahuan sebagai komponen penting, lahir
sebagai akibat 10 fenomena organisasi yang berkembang di
penghujung abad 21 :
a. Munculnya abad informasi (information age) dan knowledge
economy.
b. Perubahan dari model perusahaan yang mekanistik ke model
perusahaan yang lebih bersifat organis.
c. Data dan informasi yang berkembang dan melebihi daya
tampungnya, menggantikan information processing dengan the
challenge of knowledge processing and creation .
d. Tingginya angka employee turnover dan semaraknya downsizing
mengakibatkan besarnya organizational knowledge gaps.
e. Berakhirnya masa kerja generasi “baby boomer” merupakan suatu
ancaman serius yang dapat menyebabkan knowledge loss.
f. Knowledge turnover mampu menyebabkan berkurangnya
organizational knowledge.
g. Penekanan pada inovasi dan organization learning, menyebabkan
knowledge menjadi penting dalam mempelajari masa lalu dan
shortcut untuk mencapai resources.
h. Komitmen bersama untuk meningkatkan kualitas dan perbaikan
yang berkelanjutan (continous improvement) memerlukan
knowledge continuity.
i. Pengembangan teknologi computer mampu membuat organisasi
untuk menangkap dan mentransfer operational knowledge.
j. Persaingan yang tinggi di pasar, memerlukan respon yang cepat,
langkah yang tepat dan maneuver yang taktis, yang kesemuanya
ini tercermin dalam knowledge continuity.

Daftar Pustaka :
1. John Perkins, “Confessions of an Economic Hitman “ , Berret-Koehler
Publisher, San Fransisco , 2004.
2. Steven D. Levitt & Stephen J. Dubner, “Freakonomics”, HarperCollins Publisher,
New York 2005.
3. The Economist, “ The shaming of America”, September 10th- 16th, 2005.
4. A. Larry Elliot & Richard J. Schroth , “How Companies Lie”, Nicholas Brealey
Publishing”,UK, 2002.
5. Sultan Kermally, “When Economics Means Business”, Financial Times-Pitman
Publishing, 1999.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini sesuai yang anda baca:
1) Pelajaran apakah yang bisa kita ambil dari mempelajari freakonomics
secara mendalam ?
2) Bagaimanakah pergerakan dari freakonomics itu ?
3) Apa sebetulnya yang ditunjukkan oleh freakonomics ?
4) Apakah freakonomics lebih berpatokan pada kompleksitas ekonomi yang
perlu dianalisis ?
5) Mengapa freakonomics lebih banyak berkaitan dengan tacit knowledge
daripada normative economics ?
6) Bagaimanakah aplikasi freakonomics dalam bahasan tentang: Hutang Luar
Negeri, TKI dan Warung Tegal (Warteg) di sekitar kampus ?
7) Bagaimanakah freakonomics itu melihat tentang globalisasi ?
8) Apakah freakonomics bisa diibaratkan dengan mempelajari perilaku
gelombang air laut dan aneka arus yang terkandung di dalamnya ?
9) Bagaimanakah seseorang yang memahami freakonomics melihat merger
dan akusisi ?
10) Apakah freakonomics punya kiat mempelajari atau mendalami yang ganjil
atau aneh tapi nyata?

-----------------SELAMAT MENGERJAKAN---------------

Anda mungkin juga menyukai