Anda di halaman 1dari 5

lyas Yakub Dibuang karena Memperjuangkan Islam dan Bangsa Ilyas Yakub (14 Juni

1903-2 Agustus 1958), Pahlawan Nasional dari Sumatra Barat.

FOTO/Istimewa Oleh: Iswara N Raditya - 2 Agustus 2018 Dibaca Normal 4 menit


Selama lebih dari satu dekade, Ilyas Yakub menjalani serangkaian masa pengasingan,
dari Boven Digoel, Australia, Kupang, Sarawak, Brunei, hingga Singapura. tirto.id -
Sepucuk surat lusuh tertanggal 26 Februari 1946 itu ditulis Ilyas Yakub dari Kupang,
Nusa Tenggara Timur (NTT), lokasi pengasingan terbarunya setelah dipindahkan dari
Australia. Kepada Djamaluddin Tamin, rekan seperjuangan yang masih menjalani
masa pembuangan di negeri kanguru, Yakub mencurahkan segenap perasaannya:
“Saya tidak tahan lagi melihat nasib anak-anak yang selalu dalam kesedihan ditimpa
bermacam-macam kesengsaraan dan penderitaan yang belum juga putus-putusnya,”
tulis Yakub, dikutip dari buku Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah
Perjuangan (2011) karya Mohammad Bondan. Yakub melanjutkan, “Buat ini, asalkan
anak dan ibunya dapat pulang ke negeri, sukalah saya menerima dipandang musuh
sebagai seorang penjahat besar (perang), sekalipun betapa beratnya hukuman yang
akan dijatuhkan kepada diri saya.” “Saya tidak akan menyesal atas segala
pengorbanan untuk agama, bangsa, dan tanah air,” demikian Yakub mengakhiri isi
suratnya (hlm. 93). Keberuntungan ternyata menaungi Yakub. Di tahun yang sama
setelah menulis surat itu, ia bebas dan bisa pulang ke tanah air, Indonesia. Yakub
seolah-olah mendapatkan energi dan gairah baru. Ia langsung bergabung dengan
barisan republik yang tengah berjuang mempertahankan kemerdekaan dari ambisi
Belanda yang ingin berkuasa kembali. Baca juga: Resolusi PBB yang Menghentikan
Agresi Militer Belanda Slamet Riyadi: Mati Muda dengan Gagah Berani Agresi
Militer I: Saat Belanda Mengingkari Perjanjian Linggarjati Yakub meresapi
kebangkitannya dengan menjalani fase demi fase di periode sulit itu, masa Revolusi,
hingga akhirnya Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan secara penuh dari
Belanda pada pengujung 1949. Berbahaya Bagi Belanda Ilyas Yakub adalah putra
Minangkabau. Ia lahir di Asam Kumbang, Bayang, Pesisir Selatan (kini wilayah
Sumatera Barat), pada 14 Juni 1903. Yakub berasal dari lingkungan keagamaan yang
kuat. Kampung halamannya termasuk pusat pengembangan Islam di pesisir barat
Sumatera, juga merupakan salah satu basis Perang Padri. Bakat Yakub sudah tampak
sejak belia. Di usia 16, ia dibawa gurunya—yang kelak menjadi ayah mertuanya—
Syekh Haji Abdul Wahab, ke Mekkah. Selain untuk belajar agama Islam, Yakub juga
menunaikan ibadah haji di tanah suci pada umur yang masih amat muda. Selanjutnya,
tahun 1923, Yakub melanjutkan perantauannya ke Mesir untuk memperdalam ilmu
agama, termasuk di Universitas Al-Azhar. Selama di Mesir inilah Yakub semakin
tertarik ihwal nasionalisme, dan muncul keinginan dalam dirinya untuk
membangkitkan spirit anti-penjajahan di Sumatra Barat dan Nusantara. Yakub bergiat
di berbagai perhimpunan pemuda dan politik di Mesir. Ia juga menggagas Riwaq al-
Jawi dengan melibatkan orang-orang Melayu (Indonesia dan Malaysia). Dari Mesir,
tulis Michael Francis Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The
Umma Below the Winds (2003: 219), perhimpunan ini berkontribusi besar bagi
terbentuknya nasionalisme Indonesia. Selain itu, Yakub tampil di medan jurnalistik
dengan sering menulis artikel di berbagai surat kabar terbitan Kairo, serta turut
menggagas penerbitan majalah Seroean Azhar dan Pilihan Timoer. Baca juga:
Mahmoed Joenoes, Bapak Pendidikan Islam Indonesia Memadukan Wahyu dan Akal:
Berislam ala Harun Nasution Willy Amrull Sang Pendeta, Adik Buya Hamka
Menurut Hamka dalam Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1982), isi dua majalah tersebut penuh dengan
semangat Islam yang revolusioner (hlm. 312). Seroean Azhar dan Pilihan Timoer
juga menjadi bacaan favorit mahasiswa asal Indonesia dan Malaysia yang sedang
menuntut ilmu di Mesir. Dua majalah itu memang menjadi media bagi Yakub untuk
menuangkan ide-ide, pemikiran, serta kritiknya terhadap praktik kolonialisme,
terutama yang masih dialami bangsa-bangsa di Afrika maupun Asia, termasuk
Indonesia. Semangat agar rakyat terlepas dari belenggu penjajahan selalu diserukan
Yakub melalui tulisan-tulisannya. Pergerakan Ilyas Yakub di ranah politik pergerakan
serta jurnalistik di Mesir ternyata mengusik pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan
itu dianggap berbahaya. Dituliskan oleh Asril, peneliti Ilmu Sejarah IAIN Padang,
dalam artikel bertajuk “Haji Ilyas Ya'coub dan Persemaian Aktivis Jurnalis
Minangkabau” (2011), pemerintah kolonial beberapa kali mengutus perwakilannya
untuk melunakkan Yakub, namun selalu gagal. Pulang, Ditangkap, Dibuang Pada
1929, Ilyas Yakub memutuskan kembali ke tanah air. Namun, lantaran masih dalam
pengawasan pemerintah kolonial, ia tidak bisa langsung pulang. Yakub transit dulu di
pelabuhan Singapura, kemudian melanjutkan perjalanan ke Sumatra secara sembunyi-
sembunyi. Menurut M. Daud Silalahi dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di
Minangkabau/Riau 1945-1950 (1991), di Hindia Belanda, Yakub bersama sejumlah
aktivis pergerakan di Sumatera Barat, termasuk Mukhtar Luthfi dan Janan Thaib,
membentuk perhimpunan bernama Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) pada 1930
(hlm. 15). Awalnya, organisasi ini berbasis pada lembaga pendidikan Islam Sumatera
Thawalib dan Diniyah School, sebelum menegaskan haluannya di kancah politik dan
pergerakan. Yakub ingin menggabungkan semangat kebangsaan dan keislaman dalam
suatu wadah perjuangan untuk mengusik kolonialisme Belanda di Indonesia,
khususnya di Sumatera Barat. Dengan dasar Islam dan kebangsaan, PERMI bersikap
non-kooperatif, tak kenal kompromi dengan imperialisme dan kolonialisme. PERMI
meyakini, itulah penyebab penderitaan rakyat Indonesia. Maka, PERMI bertujuan
menegakkan Islam dan memperkuat wawasan kebangsaan demi mewujudkan
kemerdekaan. Baca juga: Rasuna Said: Singa Podium yang Menentang Poligami
Jahja Datoek Kajo Melawan Belanda Lewat Bahasa Mohammad Natsir Berdiri di
Antara Islam dan Negara Tentu saja kehadiran PERMI membuat pemerintah kolonial
murka. Mereka kemudian menuding Ilyas Yakub dan kawan-kawan dengan tuduhan
ekstrimis. Bahkan, menurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera
Barat (1982: 73), Gubernur Jenderal Hindia Belanda menggunakan “hak luar biasa”
(exorbitante rechten) untuk membekukan PERMI. Para pentolan PERMI, termasuk
Ilyas Yakub, Mukhtar Luthfi, Janan Thaib, Rasuna Said, dan lainnya, ditangkap pada
1933. Yakub lantas dijebloskan ke penjara Muaro Padang selama 9 bulan. Ia divonis
bersalah dan harus menjalani hukuman buang ke Boven Digoel (Papua) selama 10
tahun sejak 1934. Nyaris Terpuruk di Pengasingan Setelah kekuasaan Belanda di
Indonesia berakhir seiring kedatangan Jepang pada 1942, Yakub dan sejumlah
tahanan Digoel lain dibawa ke pedalaman Papua, kemudian dipindahkan ke Australia.
Yakub kala itu masih berstatus sebagai tahanan Belanda. Yakub sempat menolak
keras saat akan dipindahkan ke Australia karena ia tidak mau dianggap bersedia
bekerjasama dengan Belanda. Namun, setelah berpikir ulang, dengan
mempertimbangkan berbagai hal termasuk kondisi alam di Papua saat itu, demi istri
dan anak-anaknya, Yakub akhirnya bersedia. Istri Yakub, Tinur, setia mendampingi
suaminya di masa-masa getir itu kendati sering sakit-sakitan, juga putra dan putri
mereka. Beberapa anak Yakub, yang semula berjumlah 10 orang, meninggal dunia
semasa periode pengasingan itu. Baca juga: Sang Manusia Buangan Tjipto
Mangoenkoesoemo Warisan Syekh Yusuf Al-Makasari di Afrika Selatan Mas
Mansoer, Ulama Muhammadiyah yang Taat di Jalur Nasionalisme Penolakan itu
ternyata berdampak pahit. Awal 1946, seharusnya Yakub sudah bisa pulang ke tanah
air. Namun, seperti dikutip dari buku Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan:
Seri Perjuangan ex Digul (1977), saat kapal tiba di Tanjung Priok, Jakarta, ia dan
sejumlah tahanan lainnya yang dianggap berbahaya dilarang turun (hlm. 118). Di
bawah ancaman senjata, Yakub terpaksa menurut. Yakub dan keluarganya dibawa
berlayar kembali ke timur, kali ini diasingkan di Kupang, Timor atau NTT. Semasa di
Kupang inilah Yakub nyaris terpuruk lantaran sudah tidak tahan lagi melihat keadaan
istri dan anak-anaknya yang amat menderita. Namun, ujian belum berakhir. Dari
Timor, Yakub dan keluarganya dipindahkan lagi hingga beberapa kali, dari Labuhan
(dekat Singapura) dan sempat dikarantina di pulau kecil bernama Saint John,
kemudian ke Sarawak (Malaysia), Brunei Darussalam, dan kembali ke Labuhan lagi.
Akhir 1946, Ilyas Yakub akhirnya bisa pulang ke tanah air. Namun, ia tak lantas
mundur begitu saja. Yakub langsung bergabung dengan pasukan Republik yang
sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan, ia turut bergerilya untuk
menghadapi Agresi Militer Belanda hingga 1948. Yakub juga ikut terlibat dalam
pendeklarasian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi pada
22 Desember 1948 yang dimotori Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan. Baca
juga: Jalan Perlawanan Mantan Pentolan PDRI Alotnya Perundingan Roem-Royen
Menuju Kedaulatan RI Syafruddin Prawiranegara: Menyelamatkan Republik, Lalu
Membelot Setelah penyerahan kedaulatan RI dari Belanda pada pengujung 1949,
Yakub mengabdikan diri untuk negara dan daerahnya melalui parlemen. Ia juga
sempat menjadi penasihat Gubernur Sumatera Tengah (kala itu wilayahnya meliputi
Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau). Sang pejuang yang lama
menjalani pengasingan ini tutup usia pada 2 Agustus 1958, tepat hari ini 60 tahun
lalu. Ia wafat di Koto Barapak, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat dan
ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan serta dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional. Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik
lainnya Iswara N Raditya (tirto.id - Humaniora) Penulis: Iswara N Raditya Editor:
Ivan Aulia Ahsan Ilyas Yakub memadukan Islam dan kebangsaan dalam Persatuan
Muslim Indonesia (PERMI).

Baca selengkapnya di artikel "Ilyas Yakub Dibuang karena Memperjuangkan Islam


dan Bangsa", https://tirto.id/cQiq

Anda mungkin juga menyukai