Anda di halaman 1dari 10

XI MIPA 3

Di Susun Oleh: Nur Ismi, S.Pd


A. KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI

3.5 Menganalisis sifat pendudukan Jepang dan 3.5.6 Mengidentifikasi pergerakan massa dan
respon bangsa Indonesia perlawanan terhadap Jepang karena adanya
Ekonomi Perang dalam bentuk essay

B. TUJUAN
Menjekaskan pergerakan massa dan perlawanan terhadap Jepang karena adanya Ekonomi Perang
dalam bentuk essay

C. Materi
Jepang yang mula-mula disambut dengan senang hati, kemudian berubah menjadi kebencian. Rakyat bahkan lebih
benci pada pemerintah Jepang daripada pemerintah Kolonial Belanda. Jepang seringkali bertindak sewenangwenang. Rakyat
tidak bersalah ditangkap, ditahan, dan disiksa. Kekejaman itu dilakukan oleh kempetai (polisi militer Jepang). Pada masa
pendudukan Jepang banyak gadis dan perempuan Indonesia yang ditipu oleh Jepang dengan dalih untuk bekerja sebagai
perawat atau disekolahkan, ternyata hanya dipaksa untuk melayani para kempetai. Para gadis dan perempuan itu disekap dalam
kamp-kamp yang tertutup sebagai wanita penghibur. Kampkamp itu dapat kita temukan di Solo, Semarang, Jakarta, dan
Sumatra Barat. Kondisi itu menambah deretan penderitaan rakyat di bawah kendali penjajah Jepang. Oleh karena itu, wajar
kalau kemudian timbul berbagai perlawanan.

a. Aceh Angkat Senjata


Perjuangan Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Pendudukan Jepang (1942-1945): Studi Kasus Perang Bayu
dan Perang Pandrah OLEH: Almas Hammam Firdaus, Aziizi, Wardhana, Halimah
Perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintahan militer Jepang sangatlah masif terjadi pada tahun 1942-1945. Hal ini
ditandai dengan pemberontakan pertama yang terjadi antara rakyat Aceh dengan pemerintahan Jepang di desa Bayu,
Lhokseumawe pada tanggal 10 November 1942. Pemberontakan ini biasa disebut dengan Perang Bayu, mengingat pertempuran
ini terjadi di desa Bayu. Dari kalangan rakyat Aceh, perang dipimpin oleh Ulama Tengku Abdul Djalil, seorang pemimpin
Dayah (Pesantren) Cot Plieng.

Perlawanan antara rakyat Aceh terhadap pemerintahan militer Jepang ini didasari karena rakyat Aceh sebagai pemeluk
teguh ajaran Islam tidak menerima tingkah laku orang Jepang yang berbuat maksiat, antara lain mabuk-mabukan, bermain
wanita, dan sebagainya. Bahkan Tengku Abdul Djalil mengeluarkan fatwa bahwa orang Jepang adalah “Kafir Majusi” dan
untuk Belanda sebagai “Kafir Kitabi”. Menurut Tengku Abdul Djalil Kafir Majusi lebih berbahaya daripada Kafir Kitabi.
Akhirnya pada 10 November 1942 pemberontakan pertama pecah. Perang Bayu berkecamuk dahsyat dan banyak korban jatuh
dari rakyat Aceh sendiri dan pihak tentara Jepang. Perang Bayu terjadi selama tiga hari, dalam peristiwa ini Tgk. Abdul Jalil
gugur. Pasca berhasil ditumpasnya Perang Bayu oleh Jepang, bukan berarti keadaan di Aceh menjadi aman terkendali. Namun
sebaliknya dengan didorong akibat masih sewenangwenangnya Jepang terhadap rakyat Aceh karena melakukan banyak
perampasan-perampasan harta dan benda serta kerja paksa menyebabkan timbulah hasrat untuk melepaskan diri dari
penderitaan ini dengan jalan peperangan.

Perang Pandrah terjadi di Lheue Simpang Pandrah atau yang dikenal dengan Perang Pandrah ini dipimpin oleh
Keuchik Usman, Keuchik Johan, Tengku Ibrahim Peudada, Tengku Jacob, Tengku Akop Pang, dan Tengku Nyak Isa. Perang
ini berhasil menewaskan banyak tentara Jepang termasuk Wakil Gunco, Teuku Muhammad Jacob. Dalam penyerbuan ini
tercatat 200 serdadu Jepang tewas (Muthalib, 1960:18). Sedangkan di pihak pejuang Aceh tercatat yang gugur 42 orang dan 1
orang perempuan yang sedang hamil tua (Muthalib, 1960:17).

Perang Bayu

Perang Bayu dan Pandrah ialah salah satu episode berdarah yang terjadi masa pemerintahan militer Jepang di Aceh.
Tersulut oleh motivasi agama yang ekstrem yang mengharuskan untuk tidak berkooperasi dengan siapapun itu penjajah. Perang
Bayu sendiri merupakan nama yang disematkan terhadap serangkaian perlawanan yang dikomandoi oleh Tengku Abdul Djalil
Di Susun Oleh: Nur Ismi, S.Pd
alias Tengku Cot Plieng dengan tiga kali pecahnya pertempuran. Sebelum itu, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu
peristiwaperistiwa menjelang terjadinya perlawanan. Diantaranya ialah kedatangan Jepang yang diakomodir oleh Pusat Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) dan dipromotori oleh sayap organisasi Jepang Fujiwara F-Kikan. PUSA dibentuk pada tanggal 5 Mei
1939 dengan tujuan utama menegakkan kembali Islam dalam sendi-sendi masyarakat. Oleh karenanya, PUSA erat kaitannya
dalam usaha untuk melemahkan penjajah Belanda yang kafir (Pratiwi, 2007).

Sementara itu Fujiwara F-Kikan ialah organisasi yang dikomandoi oleh Mayor Fujiwara Iwaichi. Resminya ialah F-
Kikan atau Organisasi F (Fujiwara). Mayor Fujiwara tidak lain adalah seorang intelijen tamatan sekolah intelijen Nakano. Ia
dipersiapkan untuk operasi di daerah Melayu dan Hindia Belanda. Sebelum bekerjasama dengan PUSA, F-Kikan telah
bekerjasama dengan sayap nasionalis Melayu, Kesatuan Melayu Muda (KMM) sebagai oposisi dari Pemerintahan Inggris di
Melayu. (Reid, 1975) Tengku Abdul Djalil merupakan seorang ulama yang sepantasnya tidak berseberangan dengan PUSA.
Akan tetapi, motivasi agama yang ia yakini tidak boleh berkooperasi sekalipun dengan Jepang yang telah mengalahkan
Belanda. Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan propaganda yang dilontarkan oleh Jepang lewat PUSA dengan komplotannya
pula F-Kikan (Gaharu, 1976).

Dengan status sebagai pimpinan Dayah Cot Plieng sejak tahun 1937, tidak sukar bagi Tengku Abdul Djalil
menyebarluaskan gagasannya bahwa melawan Jepang hukumnya ialah wajib ‘ain. Yang paling kentara saat Jepang sampai
mengintervensi akidah umat Islam yang diantaranya terdapat hal-hal yang tidak dapat dimaafkan. Contohnya, serdadu-serdadu
Jepang mandi tanpa busana di meunsa-meunsa dan yang paling umum ialah perintah untuk melakukan penghormatan kepada
Jepang dan kaisarnya yakni, seikeirei. Terlebih lagi, sikap dan Tindakan kempeitai yang terkenal ganas bagi siapa saja yang
tidak menurut. Maka semakin ditekan, pastilah Tengku Abdul Djalil akan meledak kemarahannya pada Jepang dikemudian
hari (Hadidjah, 2007).

Dalam sebuah malam sebelum Ramadhan bulan Juli tahun 1942 di Kampung Krueng Lingka, Kecamatan Riwayat:
Educational Journal of History and Humanities, Agustus 4 (2), Hal 49-54 51 Baktiya, Kabupaten Aceh Utara, Tengku Abdul
Djalil berceramah kemudian bersabda bahwa, rakyat harus melawan Jepang akibat kekacauan yang diperoleh dalam aspek
ekonomi dan hak lainnya. Sudah pasti simpatisan Jepang akan melaporkan peristiwa itu kepada Polisi Jepang yang
berkedudukan di Sigli. Karenanya, Sunco Lhokseumawe dan Bayu segera diperintahkan untuk membawa Tengku Abdul Djalil
ke kantor polisi (Sejarah Pertempuran Cot Plieng Bayu, Lheu Simpang Pandrah Melawan Facisme Jepang). Akan tetapi,
Tengku Abdul Djalil tak gentar sekalipun. Hubungan antara Tengku Abdul Djalil dan Jepang makin runyam. Tengku Abdul
Djalil beserta keluarga dan pengikutnya yang berjumlah kurang lebih 400 orang mempersiapkan latihan tempur. Kawasan
Dayah Cot Plieng menjadi sarang konsinyasi dan bertekad jihad fi sabilillah apabila Tentara Jepang datang (Sejarah
Pertempuran Cot Plieng Bayu, Lheu Simpang Pandrah Melawan Facisme Jepang). Berbagai upaya persuasif tidak henti-
hentinya dilancarkan oleh Jepang. Mulai dari para uleebalang yang tersohor, bupati sampai mantan gurunya sendiri, Tengku
Haji Hasan Krueng Kale tidak dapat merubah keputusannya.

Hingga pada hari Selasa 7 November 1942, Kempeitai Lhokseumawe bertindak ke kediaman Tengku Abdul Djalil di
Cot Plieng Bayu. Sebelum dapat menemui Tengku Abdul Djalil seorang Kempeitai bernama Hayasi dilukai dengan tombak
oleh seorang penjaga. Alhasil Hayasi bersama rekan segera kembali ke Lhokseumawe (Sejarah Pertempuran Cot Plieng Bayu,
Lheu Simpang Pandrah Melawan Facisme Jepang). Setelah kejadian tersebut, segera pada hari itu juga terjadi pertempuran
dahsyat antara Jepang dengan pasukan dari Tengku Abdul Djalil. Sebanyak 86 orang wafat dan beberapa bangunan dari dayah,
masjid bahkan rumah Tengku Abdul Djalil sendiri ludes dibakar Jepang. Rupanya Jepang telah memobilisasi pasukan dari
Lhokseumawe, Lhok Sukon, dan Bireun. Dengan demikian, Tengku Abdul Djalil beserta pasukan pun mengundurkan diri ke
Desa Neuheun, Kecamatan Merurah Mulia. Keesokan harinya, tanggal 8 November 1942 Jepang kembali menggempur posisi
Tengku Abdul Djalil beserta pasukan. Akibatnya, 4 orang dinyatakan kill in action (KIA). Tengku Abdul Djalil beserta pasukan
pun kembali mengundurkan diri kali ini menuju ke Desa Bulouh Gampoung Tengungah.

Pasca melaksanakan Ibadah Jumat di Menasah Blang Buduh Gampuong Tengah tertanggal 10 November 1942,
Jepang menggempur habis-habisan Tengku Abdul Djalil beserta pengikutnya. Pertempuran terjadi hebat sampai menjelang
malam. Pada pukul 18.00, Tengku Abdul Djalil akhirnya syahid. Sedikitnya, 19 orang terbilang syuhada dalam pertempuran
pamungkas ini. Dan jenazah daripada Tengku Abdul Djalil sendiri kemudian dikebumikan di Komplek Dayah Cot Plieng
(Sejarah Pertempuran Cot Plieng Bayu, Lheu Simpang Pandrah Melawan Facisme Jepang). Dalam pemberontakan pertama
dalam sejarah pendudukan militer Jepang di Hindia Belanda ini tidak diketemukan berapa total kerugian yang diperoleh oleh
Jepang. Seusai pertempuran pamungkas di Menasah Blang Buduh Gampuong Tengah, dengan biadab bagian kepala dari
Tengku Abdul Djalil dipertontonkan dalam sebuah pawai. Tentu saja psywar semacam itu akan semakin menyiutkan embrio
pemberontakan. Alhasil, rakyat baru tergerak untuk kembali memberontak 3 tahun setelah peristiwa ini. Pemberontakan
tersebut kelak akan dicatat sebagai Perang Pandrah (Nourouzzaman, 1983).

Di Susun Oleh: Nur Ismi, S.Pd


Perang Pandrah

Pasca berhasil ditumpasnya Perang Bayu oleh Jepang, bukan berarti keadaan di Aceh menjadi aman terkendali. Namun
sebaliknya dengan didorong akibat masih sewenangwenangnya Jepang terhadap rakyat Aceh karena melakukan banyak
perampasan-perampasan harta dan benda serta kerja paksa menyebabkan timbulah hasrat untuk melepaskan diri dari
penderitaan ini dengan jalan peperangan (Ibrahim dkk, 1991:200- 201). Perlawanan yang terjadi di Lheue Simpang Pandrah
atau yang dikenal dengan Perang Pandrah ini dipimpin oleh Keuchik Usman, Keuchik Johan, Tengku Ibrahim Peudada, Tengku
Jacob, Tengku Akop Pang, dan Tengku Nyak Isa. Sebelum melakukan perlawanan, terlebih dahulu dilakukan berbagai
persiapan. Pertama, pada 24 April 1945, Keuchik Usman selaku Kepala Kampung menyelenggarakan rapat di Lheue Simpang
dengan memanggil beberapa tokoh terpandang untuk melakukan musyawarah kaitannya dengan perlawanan terhadap Jepang
(Oebit, 1974:6).

Dalam rapat ini dibahas berbagai hal menyangkut perlawanan terhadap Jepang diantaranya seperti titik tempat
berkumpul, waktu untuk melakukan perlawanan, dan pemimpin perlawanan. Atas usulan dari Tengku Ibrahim Peudada
(seorang ulama) disepakati bahwa titik tempat untuk berkumpul sebelum melakukan perlawanan adalah di daerah Glee
Banggalang (Gunung Banggalang).Penyerbuan pertama terhadap tangsi Jepang di Pandrah dilaksanakan pada 2 Mei 1945 di
bawah kepemimpinan Keuchik Johan dan Tengku Jacob (Muthalib, 1960:27).

Penyerbuan ini dilakukan pada malam hari pada waktu banyak tentara Jepang tidur. Sewaktu dilakukan penyerangan,
tentara Jepang yang berjaga hanya 3 orang, 2 orang berhasil dilumpuhkan sedangkan 1 orang berhasil lolos dan melapor ke
asrama Jeunieb. Laporan ini pun kemudian segera diteruskan ke Bireun, Lhokseumawe, Sigli, dan Banda Aceh. Dengan
kejadian penyerbuan ini pihak Jepang pun pada akhirnya tidak mau tinggal diam, mereka tidak ingin peristiwa serupa di Bayu
terulang kembali. Pada 3 Mei 1945, satu kompi tentara Jepang dari Bireun mendapat komando untuk datang ke Pandrah. Selain
itu, dari Sigli datang juga 2 regu polisi dipimpin oleh Teuku Muhammad Jacob yang merupakan Wakil Bunsuco Gunco Bireun.
Sesampainya di Pandrah mereka tidak mendapatkan para penyerbu karena mereka semua telah kembali ke Glee Banggalang.
Kemudian Gunco Bireun mengumpulkan beberapa orang untuk diberikan pengarahan dalam rangka untuk menyuruh
orangorang yang berkumpul di Glee Banggalang untuk melakukan perlawanan agar segera mengurungkan niat mereka dan
kembali ke kampung. Mengingat orang-orang yang berkumpul di Glee Banggalang tidak ada satu pun yang mau untuk
mengurungkan niat mereka melakukan perlawanan dan kembali ke kampung, maka pada akhirnya membuat Jepang
memusatkan tentaranya di Kampung Lheue Simpang yang mana untuk selanjutnya melakukan penangkapan paksa terhadap
penduduk Lheue Simpang dengan tujuan agar orang-orang yang di Glee Banggalang mau kembali ke kampung (Muthalib,
1960:35). Pada 5 Mei 1945, sebagai reaksi atas penangkapan paksa penduduk di Kampung Lheue Simpang, pasukan rakyat di
Glee Banggalang di bawah pimpinan Tengku Ibrahim Peudada pada akhirnya melakukan penyerbuan ke tempat konsinyasi
Jepang di Kampung Lheue Simpang. Serangan yang dilakukan secara serentak ini berhasil menewaskan banyak tentara Jepang
termasuk Wakil Gunco, Teuku Muhammad Jacob. Dalam penyerbuan ini tercatat 200 serdadu Jepang tewas (Muthalib,
1960:18). Sedangkan dipihak pejuang Aceh tercatat yang gugur 42 orang dan 1 orang perempuan yang sedang hamil
tua (Muthalib, 1960:17).
Para pejuang yang gugur ini kemudian dimakamkan di Kampung Lheue Simpang yang sekarang terkenal
dengan nama Kuburan Peuet Plooh Peuet (empat puluh empat), karena termasuk bayi yang dalam kandungan
perempuan yang ikut gugur tadi. Pasca peristiwa ini, anak-anak dan perempuan dari Kampung Lheue Simpang yang
tersisa dijadikan tawanan dan setelah beberapa hari kemudian baru dilepaskan. Para pejuang yang berhasil
melarikan diri menjadi buronan tentara Jepang. Banyak orang kemudian yang menjadi korban salah tangkap tentara
Jepang karena dikira orang yang melakukan perlawanan. Tentara Jepang banyak menangkap orang secara membabi
buta, mereka yang ditangkap kemudian dibawa ke Bireun untuk diperiksa. Mereka yang tidak bersalah akan
dibebaskan sedangkan mereka yang bersalah akan dijatuhi hukuman di Pematang Siantar. Tercatat dalam
penangkapan paksa ini Jepang berhasil meringkus 2 orang yang terlibat dalam perlawanan di Leue Simpang untuk
selanjutnya diberi hukuman mati. Perang Pandrah ini tercatat sebagai perlawanan terakhir rakyat Aceh menjelang
Jepang meninggalkan tanah Aceh (Ibrahim dkk, 1991:202).
b. Perlawanan di Singaparna
Singaparna merupakan salah satu daerah di wilayah Jawa Barat, yang rakyatnya dikenal sangat religius dan memiliki
jiwa patriotik. Rakyat Singaparna sangat anti terhadap dominasi asing. Oleh karena itu, rakyat Singaparna sangat benci terhadap
pendudukan Jepang, apalagi ketika mengetahui perilaku pemerintahan Jepang yang sangat kejam. Kebijakankebijakan Jepang
yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam—ajaran yang banyak dianut oleh
Di Susun Oleh: Nur Ismi, S.Pd
masyarakat Singaparna. Atas dasar pandangan dan ajaran Islam, rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan Jepang. Perlawanan itu juga dilatarbelakangi oleh kehidupan rakyat yang semakin menderita.

Pengerahan tenaga romusa dengan paksa dan di bawah ancaman ternyata sangat mengganggu ketenteraman rakyat.
Para romusa dari Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya tidak kembali karena menjadi korban
keganasan alam maupun akibat tindakan Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak yang meninggal tanpa
diketahui di mana kuburnya. Selain itu, rakyat juga diwajibkaan menyerahkan padi dan beras dengan aturan yang sangat
menjerat dan menindas rakyat, sehingga penderitaan terjadi di manamana. Kemudian secara khusus rakyat Singaparna di bawah
Kiai ZainalMustafa menentang keras untuk melakukan seikeirei. Itulah sebabnya rakyat Singaparna mengangkat senjata
melawan Jepang.

Perlawanan meletus pada bulan Februari, 1944. Perlawanan dipimpin oleh Kiai Zainal Mustafa, seorang ajengan di
Sukamanah, Singaparna. Ia adalah pendiri Pesantren Sukamanah. Pendiri pesantren Sukamanah ini tidak mau kerja sama
dengan Jepang. Ia sangat menentang kebijakankebijakan Jepang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Zainal Mustafa
secara diam-diam telah membentuk “Pasukan Tempur Sukamanah” yang dipimpin oleh ajengan Najminudin.

Kiai Zainal Mustafa memulai pertempuran pada salah satu hari Jumat di bulan Februari 1944. Sebelum perang itu
dimulai, ada beberapa utusan dari kepolisian Tasikmalaya dan beberapa orang Indonesia yang ingin mengadakan perundingan
dengan Zainal Mustafa. Namun, polisi Jepang itu dilucuti senjatanya dan ditahan oleh pengikut Zainal Mustafa. Kemudian ada
seorang polisi yang disuruh kembali ke Tasikmalaya untuk melaporkan yang baru saja terjadi dan menyampaikan ultimatum
dari Kiai Zainal Mustafa kepada pihak Jepang agar besok segera memerdekakan Jawa dan jika tidak, maka akan terjadi
pertempuran yang akan mengancam keselamatan orang-orang Jepang.

Hari berikutnya datang kembali rombongan utusan Jepang ke Sukamanah untuk mengadakan kembali perundingan
dengan Zainal Mustafa, akan tetapi utusan Jepang itu bersikap congkak dan sombong untuk menunjukkan bahwa Jepang
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan lebih kuat. Hal ini menyulut kemarahan pengikut Zainal Mustafa, sehingga utusan
Jepang itu pun dilucuti senjatanya dan ditangkap bahkan ada yang dibunuh, sementara ada juga yang berhasil melarikan diri.
Setelah kejadian ini, Jepang mengirimkan pasukan ke Sukamanah, yang terdiri dari 30 orang kempetai dan 60. orang polisi
negara istimewa (tokubetsu keisatsu) dari Tasikmalaya dan Garut. Pertempuran terjadi lebih kurang satu jam di kampung
Sukamanah. Pihak rakyat menyerang dengan mempergunakan pedang dan bambu runcing yang diikuti dengan teriakan takbir.
Zainal Mustafa dengan pengikutnya bertempur mati-matian untuk menghadapi gempuran dari pihak Jepang. Karena jumlah
pasukan yang lebih besar dan peralatan senjata yang lebih lengkap, tentara Sumber: Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme
dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-193, 2003. Gambar 4.10 Kiai Zainal Mustafa. Sejarah Indonesia 47 Jepang berhasil
mengalahkan pasukan Zainal Mustafa. Dalam pertempuran ini banyak berguguran para pejuang Indonesia. Kiai Zainal Mustafa
ditangkap Jepang bersama gurunya Kiai Emar. Selanjutnya Kiai Zainal Mustafa bersama 27 orang pengikutnya diangkut ke
Jakarta. Pada tanggal 25 Oktober 1944, mereka dihukum mati. Sementara Kiai Emar disiksa oleh polisi Jepang dan akhirnya
meninggal.

c. Perlawanan di Indramayu
PROTES SOSIAL PETANI INDRAMAYU MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945) Oleh: Wahyu Iryana

Kedatangan Jepang di Indramayu Tanggal 3 Maret 1942, Jepang mendarat di Eretan, Indramayu tepatnya di Kampung
Sumur Sereh. Sebenarnya pendaratan itu dilakukan pada tanggal 1 Maret 1942, akan tetapi karena komunikasi antara Eretan
Wetan dengan Indramayu Kota terputus, berita pendaratan itu baru sampai di Indramayu pada tanggal 3 Maret 1942. Itu pun
karena balatentara Jepang ada yang sudah sampai ke Kota Indramayu. Sebagian besar dari mereka bergerak menuju Kalijati.
Pada tanggal 1 Maret 1942 mereka telah menduduki Kalijati, Subang. Beberapa kali tantara Belanda mencoba merebut
Indramayu kembali namun tidak berhasil, begitupun daerah Subang. Pada Tanggal 7 Maret 1942 pemerintah Belanda diwakili
oleh Gubernur Jendral Carda Van Starkenborg dan Jendral Ter Poorten menandatangani penyerahan tanpa syarat kepada
Jepang. Sejak itu wilayah Indramayu resmi menjadi wilayah kekuasaan Jepang.

Rakyat bergembira di mana-mana tentara Jepang disambut seperti pahlawan, walaupun dengan bahasa isarat saja,
karena satu sama lain tidak memahami bahasanya. Akibat dari bahasa isyarat itu, sering terjadi peristiwa yang sangat
menggelikan. Pada suatu hari ada seorang tentara Jepang yang bertanya kepada penduduk Indramayu dengan bahasa isyarat.
Si Jepang mengibas-ibaskan kedua tangannya ke atas dan ke bawah, kemudian tangannya yang sebelah kanan meraba
pantatnya, sesudah itu mengepalkan tangannya sambil menunjukan kepada penduduk Indramayu yang ditanya. Orang yang
ditanya menyangka bahwa tentara Jepang ini ingin buang air besar, maka tanpa basa basi ia mengajak tentara Jepang ke
Di Susun Oleh: Nur Ismi, S.Pd
belakang dan dibawanya ke WC. Setibanya di WC Tentara Jepang marah bukan main, karena disangka orang yang ditanya
mempermainkan dirinya. Kemudian sambil berteriak bagero, orang yang ditanya itu dipukulnya. Baru kemudian diketahui
bahwa tentara Jepang tersebut menanyakan telur ayam.

Pada tanggal 3 Maret 1942 Jepang sudah menginjakkan kakinya di Kota Indramayu. Hal ini bisa dilihat dengan
banyaknya serdadu Jepang di pendopo Kabupaten. Jelas bahwa Indramayu sudah dikuasai oleh Jepang. Serdadu Jepang yang
datang ke Pendopo Indramayu pada waktu itu apabila dilihat dari pangkatnya kebanyakan mereka berpangkat jendral, siapa
pun yang lewat di depannya harus memberi hormat, yang naik sepeda harus turun kemudian membungkuk menghormat, tidak
pilih bulu, sekalipun yang lewat adalah Bupati. Siapa yang tidak menghormati, meskipun karena tidak mengerti pasti dipukul
atau diteriaki “bagero”.

Suasana mulai berubah, rasa simpati sedikit demi sedikit mulai luntur, rakyat menjadi benci dan muak terhadap
Jepang. Indramayu seperti kota yang mati dan sepi. Semua penduduk lebih senang tinggal di rumah, karena lebih aman. Jepang
mulai menerapkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Melakukan kerja paksa (romusha), adanya penculikan anak gadis
yang dijadikan budak seks tentara Jepang, dan kewajiban serah padi setiap musim panen sesuai dengan amanat Syuuchokan
yang memberlakukan kewajiban serah padi pada 1 April 2603 sampai 31 Maret 2604. Inilah awal terjadinya benih-benih
kebencian rakyat Indramayu terhadap Jepang. Mayoritas penduduk Indramayu bermata pencaharian sebagai petani, sebagian
yang lain adalah nelayan (Tjahaja Asia, Rebo 12 Itigatu 2604, No.11 Tahoen ke III).

Stuktur Pemerintahan Jepang Bupati Indramayu pada masa Jepang adalah Raden Muhamad Soediono, memerintah
Indramayu pada tahun 1933- 1944. Pada dasarnya struktur susunan pemerintahan Indramayu sama seperti pemerintahan pada
masa Belanda perbedaannya terletak pada nama-nama wilayah yang diubah. Kabupaten diganti dengan “Ken” dan bupatinya
disebut “Kenco” Kewedenan diganti “Gun” dan wedananya disebut ”Gunco”. Kecamatan menjadi ”Son” dan camatnya
disebut” Sonco”. Desa dinamakan “Ku” dan kadesnya disebut “Kunco.”(Kurosawa, 1993:471- 479). Ruang lingkup kehidupan
masyarakat Indramayu semakin menyempit, rakyat Indramayu kekurangan sandang dan pangan. Di sepanjang jalan tampak
pemandangan yang mengerikan, banyak tulang kerangka yang bergelimpangan, dan masyarakat hanya memakai pakaian
dengan karung goni, sebagai pakaian sehari-hari. Selain hasil bumi sebanyak 200 gram untuk makan seorang sehari dan 20 kg
untuk bibit per hektar, semua hasil bumi harus diserahakan kepada Jepang.

Perlawanan rakyat Indramayu antara lain terjadi di Desa Kaplongan, Distrik Karangampel pada bulan April 1944.
Kemudian pada bulan Juli, muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener. Perlawanan tersebut
terjadi karena rakyat merasa tertindas dengan adanya kebijakan penarikan hasil padi yang sangat memberatkan. Rakyat yang
baru saja memanen padinya harus langsung dibawa ke balai desa. Setelah itu, pemilik mengajukan permohonan kembali untuk
mendapat sebagian padi hasil panennya. Rakyat tidak dapat menerima cara-cara Jepang yang demikian.

Rakyat protes dan melawan. Mereka bersemboyan “lebih baik mati melawan Jepang daripada mati kelaparan”. Setelah
kejadian tersebut, maka terjadilah perlawanan yang dilancarkan oleh rakyat. Namun, sekali lagi rakyat tidak mampu melawan
kekuatan Jepang yang didukung dengan tentara dan peralatan yang lengkap. Rakyat telah menjadi korban dalam membela bumi
tanah airnya.

d. Rakyat Kalimantan Angkat Senjata


Senjata Perlawanan rakyat terhadap kekejaman Jepang terjadi di banyak tempat. Begitu juga di Kalimantan, di sana
terjadi peristiwa yang hampir sama dengan apa yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Rakyat melawan Jepang karena himpitan
penindasan yang dirasakan sangat berat. Salah satu perlawanan di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang
Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pemimpin Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang luas di kalangan orang-orang atau
suku-suku dari daerah Tayan, Meliau, dan sekitarnya.

Pang Suma dan pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik perang gerilya. Mereka hanya
berjumlah sedikit, tetapi dengan bantuan rakyat yang militan dan dengan memanfaatkan keuntungan alam —rimba belantara,
sungai, rawa, dan daerah yang sulit ditempuh— perlawanan berkobar dengan sengitnya. Namun, harus dipahami bahwa di
kalangan penduduk juga berkeliaran para mata-mata Jepang yang berasal dari orang-orang Indonesia sendiri. Lebih
menyedihkan lagi, para mata-mata itu juga tidak segan-segan menangkap rakyat, melakukan penganiayaan, dan pembunuhan,
baik terhadap orang-orang yang dicurigai atau bahkan terhadap saudaranya sendiri. Adanya mata-mata inilah yang sering
membuat perlawanan para pejuang Indonesia dapat dikalahkan oleh penjajah. Demikian juga perlawanan rakyat yang dipimpin
Pang Suma di Kalimantan ini akhirnya mengalami kegagalan juga.

Di Susun Oleh: Nur Ismi, S.Pd


e. Perlawanan Rakyat Irian
Pada masa pendudukan Jepang, penderitaan juga dialami oleh rakyat di Papua. Mereka mendapat pukulan dan
penganiayaan yang sering di luar batas kemanusiaan. Oleh karena itu, wajar jika kemudian mereka melancarkan perlawanan
terhadap Jepang.

Gerakan perlawanan yang terkenal di Papua adalah “Gerakan Koreri” yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya
bernama L. Rumkorem. Biak merupakan pusat pergolakan untuk melawan pendudukan Jepang. Rakyat Irian memiliki
semangat juang pantang menyerah, sekalipun Jepang sangat kuat, sedangkan rakyat hanya menggunakan senjata seadanya
untuk melawan. Rakyat Irian terus memberikan perlawanan di berbagai tempat. Mereka juga tidak memiliki rasa takut. Padahal
kalau ada rakyat yang tertangkap, Jepang tidak segan-segan memberi hukuman pancung di depan umum. Namun, rakyat Irian
tidak gentar menghadapi semua itu. Mereka melakukan taktik perang gerilya. Tampaknya, Jepang cukup kewalahan
menghadapi keberanian dan taktik gerilya orang-orang Irian. Akhirnya, Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para
pejuang Irian tersebut. Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena itu, dapat dikatakan Pulau Biak ini merupakan daerah
bebas dan merdeka yang pertama di Indonesia.

Ternyata perlawanan di tanah Irian ini juga meluas ke berbagai daerah, dari Biak kemudian ke Yapen Selatan. Salah
seorang pemimpin perlawanan di daerah ini adalah Silas Papare. Perlawanan di daerah ini berlangsung sangat lama bahkan
sampai kemudian tentara Jepang dikalahkan Sekutu. Setelah berjuang bergerilya dalam waktu yang sangat lama, rakyat Yape
Selatan mendapatkan bantuan senjata dari Sekutu, bantuan senjata itu membantu rakyat Yape Selatan untuk mengalahkan
Jepang. Hal tersebut menunjukkan bagaimana keuletan rakyat Irian dalam menghadapi kekejaman pendudukan Jepang.

f. Peta di Blitar Angkat Senjata


Penderiatan rakyat sangat berat. Tidak ada sedikit pun dari pemerintah pendudukan Jepang yang memikirkan
bagaimana hidup rakyat yang diperintahnya.Yang ada pada benak Jepang adalah memenangkan perang dan bagaimana
mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu. Namun, justru rakyat yang dikorbankan. Penderitaan demi penderitaan rakyat
ini mulai terlintas di benak Supriyadi seorang Shodanco Peta yang akhirnya tumbuh kesadaran nasionalnya untuk melawan
Jepang. Sebagai komandan Peta, Supriyadi cukup memahami bagaimana penderitaan rakyat akibat penindasan yang dilakukan
Jepang. Masalah pengumpulan hasil padi, pengerahan romusa, semua dilakukan secara paksa dengan tanpa memperhatikan
nilai-nilai kemanusiaan, sungguh kekejaman yang luar biasa. Hal semacam ini juga dirasakan Supriyadi dan kawan-kawannya
di lingkungan Peta. Mereka kerap menyaksikan sikap congkak dan sombong dari para syidokan yang melatih mereka.

Para pelatih Jepang sering merendahkan para prajurit bumiputera. Hal ini menambah rasa sakit hati dan sekaligus rasa
benci pasukan Supriyadi terhadap pemerintahan Jepang di Indonesia. Penderitaan rakyat itulah yang menimbulkan rencana
para anggota Peta di Blitar untuk melancarkan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Rencana perlawanan itu tampaknya
sudah bulat tinggal menunggu waktu yang tepat. Dalam perlawanan Peta tersebut, direncanakan akan melibatkan rakyat dan
beberapa kesatuan lain Apa pun yang terjadi, Supriyadi dengan teman-temannya sudah bertekad bulat untuk melancarkan
serangan terhadap pihak Jepang. Pada tanggal 29 Februari 1945 dini hari, Supriyadi dengan teman-temannya mulai bergerak.

Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu keluar dengan bersenjata lengkap.
Setelah pihak Jepang mengetahui adanya gerakan penyerbuan itu, mereka segera mendatangkan pasukan yang semuanya orang
Jepang. Pasukan Jepang juga dipersenjatai dengan beberapa tank dan pesawat udara. Mereka segera menghalau para anggota
Peta yang mencoba melakuakn perlawanan. Tentara Jepang mulai menguasai keadaan dan seluruh kota Blitar mulai dapat
dikuasai. Pimpinan tentara Jepang kemudian menyerukan kepada segenap anggota Peta yang melakukan serangan, agar segera
kembali ke induk kesatuan masing-masing.

Beberapa kesatuan mulai memenuhi perintah pimpinan tentara Jepang itu. Tetapi mereka yang kembali ke induk
pasukannya memenuhi panggilan justru ditangkapi, ditahan, dan disiksa oleh polisi Jepang. Selanjutnya diserukan kepada anak
buah Supriyadi agar menyerah dan kembali ke induk pasukannya.Kurang lebih setengah dari batalion Supriyadi memenuhi
panggilan tersebut.Namun, pasukan yang lain tidak ingin kembali dan tetap setia melakukan perlawanan Peta yang dipimpin
oleh Supriyadi. Mereka yang tetap melakukan perlawanan itu antara lain peleton pimpinan Shodanco, Supriyadi, dan Muradi.
Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare.

Untuk menghadapi perlawanan Peta di bawah pimpinan Supriyadi, Jepang mengerahkan semua pasukannya dan mulai
memblokir serta mengepung pertahanan pasukan Peta tersebut. Namun, pasukan Supriyadi tetap bertahan. Mengingat
semangat, tekad, dan keuletan pasukan Supriyadi dan Muradi tersebut, maka Jepang mulai menggunakan tipu muslihat.

Di Susun Oleh: Nur Ismi, S.Pd


Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri pura-pura menyerah kepada pasukan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar
pikiran dengan anggota pasukan Peta dengan lemah lembut, penuh kesantunan, sehingga hati para pemuda yang telah
memuncak panas itu bisa membalik menjadi dingin kembali. Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan
mereka. Para pemuda Peta yang melancarkan serangan bersedia kembali ke daidan beserta senjata-senjatanya. Katagiri
menjanjikan, bahwa segala sesuatu akan dianggap soal interen daidan, dan akan diurus oleh Daidanco Surakhmad. Mereka
akan diterima kembali dan tidak akan dibawa ke depan pengadilan militer.

Dengan hasil kesepakatan itu, maka pada suatu hari kira-kira pukul delapan malam Shodanco Muradi tiba bersama
pasukannya kembali ke daidan. Di sini sudah berderet barisan para perwira di bawah pimpinan Daidanco Surahmad. Sejenak
kemudian Shodanco Muradi maju, lapor kepada Daidanco Surakhmad, bahwa pasukannya telah kembali. Mereka juga
menyatakan menyesal atas perbuatan melawan Jepang dan berjanji untuk setia kepada kesatuannya. Mereka tidak menyadari
bahwa telah masuk perangkap, karena dari tempat-tempat yang gelap pasukan Jepang telah mengepung mereka. Mereka
kemudian dilucuti senjatanya dan ditawan, diangkut ke Markas Kempetai Blitar.

Tidak terlalu lama akhirnya perlawanan Peta di Blitar di bawah pimpinan Supriyadi ini dapat dipadamkan. Tokoh-
tokoh dan anggota Peta yang ditangkap kemudian diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Setelah melalui
beberapa kali persidangan, mereka kemudian dijatuhi hukuman sesuai dengan peranan masing-masing dalam perlawanan itu.
Ada yang mendapat pidana mati, ada yang seumur hidup, dan sebagainya. Mereka yang dipidana mati antara lain, dr. Ismail,
Muradi, Suparyono, Halir Mangkudijoyo, Sunanto, dan Sudarno. Sementara itu, Supriyadi tidak jelas beritanya dan tidak
disebut-sebut dalam pengadilan tersebut.

Catatan: Tugas berkut adalah tugas individu. Print lembar kerja berikut kemudian di kerjakan
dirumah dan di setor pada hari Jumat tanggal 14 Maret 2023
Di simpan di meja saya

TUGAS
1. Setelah membaca dan menganalisis bagaimana perjuangan rakyat Aceh dalam memerangi
kekejaman Jepang. Pelajaran apa yang dapan Anda peroleh sehingga dapat menjalani hidup
yang lebih baik?

Jawaban:............................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
Di Susun Oleh: Nur Ismi, S.Pd
2. Mengapa rakyat Singaparna di bawah pimpinan Kiai H. Mustafa menentang keras melakukan
Sikerei?

Jawaban:............................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
3. Jelaskan penyebab terjadinya kerusuhan di Desa Kaplongan dan di Desa Cidempet!

Jawaban:............................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
4. Bagaimana penilaianmu tentang beberapa darah di Indoensia terhadap tirani Jepang dan
uraikan bagaimana penilaianmu tentang semboyan “Lebih baik mati melawan Jepang daripada
mati kelaparan”?

Di Susun Oleh: Nur Ismi, S.Pd


Jawaban:............................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
............................................................................................................................................
5. Jelaskan dampak dari tindakan Sewenang-Wenang Pejajah Jepang!
Jawaban:.............................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
.............................................................................................................................................
Tanggal: Paraf Guru: Nilai:

Di Susun Oleh: Nur Ismi, S.Pd

Anda mungkin juga menyukai