Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PENDAHULUAN

Difteri adalah penyakit saluran nafas atas akut sangat menular yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphtheriae (C. diphtheria). Kuman ini menghasilkan toksin yang
menyebar sistemik dan menyebabkan kerusakan pada epitel saluran nafas, jantung, ginjal,
saraf otak dan saraf tepi. Kuman C. diphtheria sendiri berbiak dan berkolonisasi di saluran
nafas atas, tidak menyebar, namun dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas atas, hingga
kematian.
Difteri masih menjadi masalah serius di beberapa negara di dunia. Meskipun vaksinasi
difteri telah rutin dilaksanakan diseluruh dunia sejak tahun 70-an, masih terjadi laporan
Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri terutama di negara berkembang hingga tahun 1990-an
(Magdei, et al., 2000; Quick, et al., 2000; Pantukosit, et al., 2008). Indonesia tidak lepas dari
masalah difteri. Jawa Timur dinyatakan KLB difteri pada 2011, dengan jumlah kasus hingga
akhir 2011 tercatat 665 kasus dengan kematian 20 kasus (DinKes Jatim, 2011).
Gejala klinis difteri bervariasi dari ringan hingga berat, dan tergantung pada organ
yang terkena. Difteri pada rongga mulut (tonsil-faring-laring) merupakan bentukan paling
sering (> 90%). Gejalanya seringkali tidak khas: diawali nyeri telan, demam ringan, tidur
ngorok, pembesaran kelenjar getah bening leher dengan atau tanpa bullneck, stridor hingga
tanda-tanda sumbatan jalan nafas atas. Pemeriksaan fisik yang teliti dengan melihat rongga
mulut penderita adalah hal mutlak dalam mendiagnosis difteri, terutama difteri tonsil/faring
(Buescher, 2007).

Studi ini bertujuan mempelajari mengenai profil gambaran klinis pasien difteri yang
dirawat di Ruang Isolasi Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Dengan mengetahui gambaran
klinis pada penderita Difteri anak diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan akan
penyakit difteri dan komplikasinya, sehingga dapat melakukan identifikasi kasus dan
pelayanan keperawatan yang komprehensif dapat dicapai.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Difteri

2.1.1. Definisi dan Etiologi Difteri

Gambar 2.1 Corynebacterium Diphtheriae dari medium Pai yang diwarnai


dengan biru metilen pembesaran x1000 (Carroll, 2017)

Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium

diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini

ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan

ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung

(Hartoyo, 2018). Awal dari penyakit ini yaitu ditandai dengan adanya

peradangan pada selaput mukosa, faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada

kulit. Selain itu manusia merupakan satu-satunya reservoir Corynebacterium

Diphtheriae. Penyebaran penyakit ini melalui droplet (percikan ludah) dari

batuk, muntah, bersin, alat makan, dan kontak langsung dengan lesi kulit.

Setelah terpapar nantinya akan disusul dengan gejala seperti infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) bagian atas, nyeri menelan (faringitis) disertai

dengan demam namun tidak tinggi (kurang dari 38,50 C), dan ditemukan

pseudomembrane putih/keabu-abuan/kehitaman pada tonsil, laring atau

faring. (Kemkes RI, 2017)

Gambar 2.2 Ciri khas infeksi difteri pada faring posterior (Bruce, 2019)
Distribusi membran bervariasi dari lokal (misalnya, tonsil, faring)

hingga luas yang mencakup seluruh trakeobronkial. Penyebab kematian yang

paling sering adalah obstruksi jalan napas atau mati lemas setelah aspirasi

pseudomembran. (Bruce, 2019)

Diameter dari bakteri ini sekitar 0.5 μm - 1 μm. Pada bagian ujung

organisme ini memberikan gambaran seperti "bentuk gada" (Gambar 2.1).

Lalu pada batang (seringnya pada bagian ujung) terwarnai penuh oleh anilin

(granula metakromatik) dan karena itu bakteri batang terlihat seperti manik-

manik (Carroll, 2017)


Difteri pada umumnya lebih banyak menyerang pada umur anak 5-7

tahun. Penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium

diphtheria (Kementerian Kesehatan, 2014). Ketika endemik difteri, paling

banyak mempengaruhi anak-anak <15 tahun. Sejak diperkenalkannya

imunisasi toksoid, penyakit ini telah bergeser ke orang dewasa yang tidak

mendapat vaksin dan memiliki tingkat imunisasi yang rendah (Padhye, 2016).

Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus dengan jumlah kasus

meninggal 16 orang dengan CFR difteri 4%. Dari 22 provinsi yang

melaporkan adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa

Timur, yaitu 295 kasus yang berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus

tersebut, 37% tidak mendapakan vaksin campak. Sementara pada tahun 2015

terdapat 252 kasus difteri dengan 5 kasus meninggal sehingga CFR 1,98%

dan gambaran menurut umur terbanyak pada usia 5-9 tahun dan 1-4 tahun

(Hartoyo, 2018).

Semua golongan umur dapat terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium

diphtheria, namun 80% kasus terjadi diderita pada anak usia kurang dari 15

tahun dan yang tidak mendapatkan imunisasi dasar. Golongan umur yang

sering terkena difteri adalah 5-7 tahun. Jarang ditemukan pada bayi yang

berusia di bawah 6 bulan dikarenakan, adanya imunitas pasif melalui

plasenta dari ibunya. Bahkan juga jarang pada umur di atas 10 tahun. Dan

jenis kelamin yang sering menderita difteri adalah perempuan dikaitkan

dengan daya imunitasnya yang rendah (Fitriansyah, 2018)

Menurut Fitriana dan Harli (2014) Kelompok risiko tinggi penyakit

difteri terutama adalah anak-anak (golongan umur 1-5 tahun) dan lanjut usia.
Dewasa ini di era vaksinasi terjadi perubahan epidemiologi dimana penyakit

difteri juga dapat terjadi pada orang dewasa. Kejadian epidemi atau

peningkatan kasus difteri dapat terjadi pada suatu daerah yang sebelumnya

sudah dinyatakan terbebas dari difteri. Faktor resiko yang dapat

menyebabkan hal tersebut terjadi adalah sebagai berikut: adanya penderita

difteri atau carier yang datang dari daerah endemik difteri, terjadinya

penurunan cakupan imunisasi, dan terdapat perubahan virulensi bakteri.

2.1.2. Patofisiologi

Bakteri Corynebacterium Diphtheriae akan tumbuh di membrane

mukosa atau kulit yang mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan mulai

menghasilkan toksin. Toksin akan diserap ke dalam membran mukosa yang

akan mengakibatkan kerusakan epitelium dan juga respon inflamasi

superficial. Epitel yang cedera akan menempel pada fibrin, sel darah merah

dan putih sehingga membentuk "pseudomembran" berwarna kelabu yang

seringnya akan menutupi tonsil, faring, atau laring. Jika ingin mencoba

mengambil pseudomembran ini, malah akan membuka dan merusak kapiler

sehingga akan terjadi perdarahan. Di ikuti dengan kelenjar getah bening

regional dileher membesar lalu kemungkinan akan muncul edema pada

bagian leher yang mengakibatkan gangguan saluran napas yang dikenal

dengan "bull neck" (Carroll, 2017)

Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan terus

diabsorbsi lalu dapat mengakibatkan kerusakan toksik ditempat yang jauh

salah satunya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, nekrosis pada jantung,

hati, ginjal, dan kelenjar adrenal. Terkadang akan disertai dengan


8

perdarahan hebat. Toksin ini juga mampu menyebabkan kerusakan saraf

yang berujung pada paralisis palatum mole, otot-otot mata, dan ekstrimitas

(Carroll, 2017)

2.1.3. Jenis-jenis Difteri

Menurut (Hartoyo, 2018) Berikut ini adalah beberapa jenis difteri

menurut lokasinya.

1. Difteri saluran napas

Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx

kemudian hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih

sering terjadi pada bayi, menyebabkan sekret serosanguinis,

purulen, dan rhinitis erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus

dangkal dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas.

Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan

gejala yang pertama kali muncul. Separuh pasien memiliki gejala

demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak,

malaise atau sakit kepala. (Hartoyo, 2018)

2. Difteri Hidung

Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan

gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret

hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian

mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada

pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.


Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul

tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. (Hartoyo, 2018)

3. Difteri Tonsil dan Laring

Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam

ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul

membran yang mudah perdarah, melekat, berwarna putih-kelabu

dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan

palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi

limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi

bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul

bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi

toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan

pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun

bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,

kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus

sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa disertai

penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan, membran

akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan

sempurna. (Hartoyo, 2018)

4. Difteri Laring

Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada

difteria laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring

karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah


dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas

atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan

dengan gejala sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang

progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang

berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular.

Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi

kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke

percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai

perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan

campuran gejala obstruksi dan toksemia. (Hartoyo, 2018)

5. Difteri Kulit
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan

ulkus superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di

atasnya, sulit dibedakan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/

Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada

banyak kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada

dermatosis, laserasi, luka bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas

lebih sering terkena daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau

kolonisasi kuman di traktus respiratorius dengan komplikasi toksin

terjadi pada sebagian kecil penderita difteria kulit. (Hartoyo, 2018)


6. Difteri pada tempat lain

C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat

lain, seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif

konjungtivitis) dan traktus genitalis (purulen dan ulseratif

vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi, pembentukan membran

dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan difteria dari

penyebab bakteri lain dan virus.Difteria pada mata dengan lesi pada

konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva

palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan

berbau. (Hartoyo, 2018)


1. Anonim. Difteria pada buku ajar infeksi & pediatri tropis. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI;2010.h.312-21.

2. Buescher, E.S., 2007. Diphtheria. Dalam: Kliegman R.M., dkk. (ed). Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: W.B Saunders company, hlm. 1153–7.

3. Hall AJ. Cassiday PK, Bernad KA, dkk. Isolation of novel Corynebacterium
diptheriae from domestics cat. Emerg Infect Dis 2010;16:688-91

4. CDC. Respiratory diphtheria like illness cause bay toxigenic Corynebacterium


diptheriae. MMWR 2011;3:60-77.

Anda mungkin juga menyukai