Anda di halaman 1dari 4

PPH 21

Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
setiap Masa Pajak, yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21, selain Masa
Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja.

Penghitungan PPh Pasal 21

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu:

1. Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
setiap Masa Pajak, yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21, selain Masa
Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja.

2. Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan pemotongan PPh
Pasal 21 yang terutang untuk Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti
bekerja.

Penghitungan kembali ini dilakukan pada:

1. bulan di mana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;

2. bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun kalender dan bagi penerima
pensiun yang menerima uang pensiun sampai akhir tahun kalender

Contoh #1 Penghitungan PPh 21 Pegawai Tetap

Retto pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi dengan memperoleh gaji sebulan
Rp5.750.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp200.000,00.

Retto menikah tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan Januari penghasilan Retto dari PT Jaya Abadi
hanya dari gaji.

Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Januari adalah sebagai berikut:


1.Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang
mempunyai jabatan ataupun tidak.

2.Contoh tersebut berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki Nomor PokoWajib Pajak
(NPWP). Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka

3.Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Januari adalah sebesar 120% x Rp19.375,00=
Rp23.250,00. Untuk contoh-contoh selanjutnya diasumsikan penerima penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 21 sudah memiliki NPWP, kecuali disebut lain dalam contoh tersebut.

PPH 21

Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
setiap Masa Pajak, yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21, selain Masa
Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja.

Penghitungan PPh Pasal 21

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu:

1. Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
setiap Masa Pajak, yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21, selain Masa
Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja.

2. Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan pemotongan PPh
Pasal 21 yang terutang untuk Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti
bekerja.

Penghitungan kembali ini dilakukan pada:

1. bulan di mana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;

2. bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun kalender dan bagi penerima
pensiun yang menerima uang pensiun sampai akhir tahun kalender

Pertanyaan :

Aliyanto melakukan jasa perawatan mesin fotokopi kepada PT BCD dengan imbalan Rp28.000.000.
Aliyanto mempergunakan tenaga 5 orang pekerja dengan membayarkan upah harian masing-masing
sebesar Rp750.000.

Upah harian yang dibayarkan untuk 5 orang pekerja selama 3 hari melakukan pekerjaan adalah
Rp11.250.000. Selain itu, Aliyanto juga membeli spare part mesin fotokopi yang dipakai untuk
perawatan sebesar Rp 5.550.000. Maka, berapakah PPh Pasal 21 yang terutang?

Jawaban:
Berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Aliyanto, diketahui bahwa yang menjadi
penghasilan bruto adalah upah yang harus dibayarkan kepada pekerja harian yang dipekerjakan oleh
Aliyanto dan biaya untuk membeli spare part mesin fotokopi.

Maka, jumlah penghasilan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT
BCD atas imbalan yang diberikan kepada Aliyanto adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi upah
tenaga kerja harian yang dipekerjaan Aliyanto dan biaya spare part mesin fotokopi. Perhitungannya
sebagai berikut:

Rp28.000.000 – (Rp11.250.000 + Rp 5.550.000) = Rp 11.200.000

PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT BCD atas penghasilan yang diterima Aliyanto adalah sebesar:

5% x 50% x Rp 11.200.000 = Rp280.000

Dalam hal Aliyanto tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT BCD menjadi:

120% x 5% x 50% x Rp 11.200.000 = Rp 336.000

Catatan: untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong PPh Pasal 21
oleh Aliyanto.

PPH 26

PPh Pasal 26 mengatur kebijakan mengenai pajak yang berhubungan dengan wajib pajak luar negeri.
Badan usaha apapun di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen, royalti
dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri diwajibkan untuk membayar PPh Pasal 26 atas transaksi
tersebut.

Menurut ketentuan PPh Pasal 26, tarif umum yang dikenakan adalah 20% dan bisa berubah jika Wajib
Pajak mengikuti Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Ada pengecualian
mengenai PPh yang dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia,
yaitu tidak berlaku untuk yang bukan BUT di Indonesia. Inilah yang sering dijadikan argumen oleh
Google untuk tidak membayar pajak. Pemahaman di atas harus dicermati lebih jauh lagi. Sebab
Pemerintah sudah mengatur mengenai siapa saja yang berstatus sebagai Wajib Pajak Luar Negeri.

Ilustrasi Kasus Pertama

PT ABC memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan bangunan bertingkat ke perusahaan
asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi pada tahun 1995 sebesar Rp1 miliar. Dengan
demikian, penghitungan PPh Pasal 26-nya adalah sebagai berikut.

Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1.000.000.000 = Rp500.000.000,-

PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x Rp1.000.000.000)

Sering kali untuk memudahkan proses, PT ABC bisa saja ikut asuransi melalui perusahaan yang ada di
Indonesia, misal PT XYZ, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp1 miliar. PT XYZ
mengikutkan (reasuransi) perusahaan tersebut ke perusahaan asuransi di luar negeri, misalnya PT KLM,
dengan membayar premi sebesar Rp500 juta. Maka ketentuan PPh Pasal 26-nya adalah:

Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000

PPh Pasal 26 PT ABC = 20% x Rp50.000.000 = Rp10.000.000 (2% x Rp500.000.000)

Anda mungkin juga menyukai