Anda di halaman 1dari 7

Bab III

Pembahasan

A. Pengertian dan Ciri Rias Busana Pengantin Paes Ageng Kanigaraan


Paes ageng telah menjadi tata rias pengantin yang memiliki kedudukan paling tinggi
dibanding dengan tata rias keraton Yogyakarta lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari kata
paes ageng, Paes berarti merias, Ageng berarti besar (agung), mewah dan anggun. Sehingga,
tata rias Paes Ageng adalah tata rias pengantin keraton yang mewah digunakan pada saat
upacara panggih di keraton Yogyakarta. Upacara panggih atau upacara temu manten
merupakan klimaks dari keseluruhan upacara perkawinan karena tercipta suasana yang penuh
kebahagiaan baik dari keluarga mempelai maupun seluruh undangan yang hadir.
Paes Ageng Kanigaraan memiliki ciri spesifik disbanding dengan busana adat perkawinan
jawa lainnya, pada corak busana adat Jawa yang lain, pengantin mengenakan baju tertutup di
bagian atas dan mengenakan kain cinde atau batik biasa di bagian bawah. Sedangkan dalam
Paes Ageng Kanigaran pengantin mengenakan baju tertutup namun mengenakan dodot/
kampuh di bagian bawah. Rias dan busana Paes Ageng Kebesaran, misalnya, pada bagian
bawah mengenakan kain cinde yang kemudian dibalut dengan dodot sampai menutupi bagian
dada (untuk kemben ). Jadi, pengantin tidak mengenakan baju Ketika mengenakan busana
adat ini.
Pada bagian riasan bagian wajah dan dahi yang disebut sebagai Paes, paes ageng
kanigaraan memiliki ciri spesifik, umumnya, pada riasan wanita, rias pengantin meliputi tata
rias wajah, tata rias dahi, dan tata rias rambut. Tata rias pada bagian wajah pada dasarnya
adalah make up yang biasanya menggunakan bahan dasar tradisional yang diramu sendiri,
namun seiring dengan perkembangan zaman, banyak pula produk-produk rias yang beredar di
pasaran. Pada bagian atas wajah, terdapat ciri khas khusus berupa bentuk alis, jahitan mata,
dan juga hiasan pada dahi sehingga membentuk sebuah expresi. Ekspresi wajah pada corak
ini digambarkan sebagai wanda luruh yang berarti raut wajah yang tenang, Hal ini bermakna
bahwa seorang wanita harus memiliki sifat lembut dan menunduk/tumungkul (jawa), karena
sifat kelembutan yang terpancar menjadi jiwa seorang wanita yang berbudi luhur (wanita
kang utomo).
Tata rias dahi adalah tata rias khas untuk pengantin adat Jawa yang lazim disebut paes.
Pada rias pengantin wanita Paes Ageng Kanigaran ini, tata rias dahi diawali dengan membuat
cengkorongan (riasan berbentuk runcing pada dahi) yang kemudian dihitamkan dengan bahan
yang disebut pidih. Selanjutnya, di bagian tepi cengkorongan diberi ketep (payet) berwarna
emas serta serbuk emasyang disebut prada. Di bagian tengah cengkorongan diberi hiasan
dari ketep dan prada yang berbentuk segitiga dan belah ketupat ini disebut motif kinjengan
atau capung. Di tengah-tengah dahi, diatas ketinggian kedua alis diberi hiasan berbentuk
belah ketupat dari daun sirih yang disebut cithak. Cithak merupakan simbol dari sebuah pagar
atau penutup perbuatan jahat yang dilakukan oleh orang lain kepada pengantin. Cihtak
bermakna untuk memagari kelemahan manusia yang terletak pada panca indra agar tidak
mudah diperdaya oleh kekuatan jahat. Makna cithak dalam masyarakat tidak mengalami
perubahan yakni sebagai penolak bala/bahaya.
Pada bagian rambut, pada Wanita terdapat riasan rambut berupa sanggul yang disebut
Sanggul bokor mengkurep yang memiliki perpaduan melati dan daun pandan yang
menimbulkan kesan religius. Daun pandan yang dirajang halus berfungsi sebagai pengisi
gelung sedangkan bunga melati berfungsi sebagai penutup gelung. Ada pula Gajah ngoling
sebagai hiasan sanggul juga terdiri dari rajangan daun pandan dan bunga melati. Sanggul
bokor mengkurep merupakan symbol wanita yang semula belum dewasa menjadi dewasa
dan sudah mempunyai dasar (golong gilig) menuju ke arah kesempurnaan.
Sedangkan pada pengantin pria, umumnya tidak terdapat riasan yang spesifik pada wajah
hingga rambut, namun agar tidak terlihat pucat, pengantin Pria biasanya hanya dirias sedikit
seperti saputan bedak tipis, alis ditebalkan memakai pensil, pipi diberi pemerah samar, dan
bibir dimerahkan dengan lipstick.
Terdapat juga perhiasan pada busana paes ageng ini yang biasa digunakan pada upacara
pernikahan, perhiasan tersebut meliputi:
- sepasang subang ronyok (berbentuk bumbung)
- sepasang centhung besar (dipakai pada kepala bagian depan)
- satu sisir gunungan (dipakai pada sanggul)
- lima buah cundhuk mentul (dipakai pada sanggul, di belakang sisir)
- satu kalung susun
- sepasang gelang kana (dipakai pada pergelangan tangan kanan dan kiri)
- sepasang kelat bahu (dipakai pada lengan atas kanan dan kiri),
- sepasang cincin permata (dipakai pada jari manis tangan kanan dan kiri)
- tiga buah bros (dua dipakai pada sanggul dan satu pada jengil atau simpul selendang)
- atu slepe atau pending (dipakai sebagai ikat pinggang)
Sedangkan untuk pakaian Wanita yang digunakan dalam busana kaes ageng ini
antaralain:
- sehelai kain cinde (corak kain yang khusus dipakai untuk Paes Ageng gaya
Yogyakarta yaitu larak Kandang atau garis-garis di bagian tepi)
- sehelai dodot/kampuh (kain berukuran istimewa, lebarnya dua kali kain biasa dan
panjangnya antara 3,5 m sampai 3,75 m).
- udet cinde (selendang kecil)
- buntal (untaian daun dan bunga yang panjangnya kira -kira 2,5 m).
untuk pengantin pria sebenarnya banyak ornamen yang digunakan pada pakaian Wanita
yang juga digunakan pada pakaian pria, namun ada beberapa juga yang menjadi ciri khas dari
pengantin pria, umumnya pengantin pria tidak menggunakan perhiasan dan pakaian sebanyak
pengantin Wanita. Pakaian dan perhiasan pada pengantin pria di paes ageng ini antaralain:
- celana panjang cinde
- dodot (yang warna dan coraknya sama dengan yang dikenakan pengantin Wanita)
- lonthong (setagen) cinde
- kamus timang (ikat pinggang)
- Kuluk Kanigara (tutup kepala)
- Keris
- selop (yang sama dengan pengantin Wanita)
B. Makna Filosofis Dalam Elemen Busana Pengantin Paes Ageng Kanigaraan
Penggunaan perhiasan dan pakaian paes ageng kanigaraan tentunya memiliki fungsi
sebagai simbolisasi pada setiap elemen yang terkandung dalam busana paes ageng ini, busana
pengantin ini memiliki makna yang dalam pada kebudayaan keraton Yogyakarta, pemaknaan
filosofis dalam elemen-elemen tersebut antaralain :
a) Penunggul/pinunju,l mengandung sesuatu yang paling tinggi, paling besar dan paling
baik. Makna ini mengandung harapan agar kedua mempelai dapat menjadi manusia
yang sempurna dan ditinggikan derajatnya.

b) Pengapi,t Simbol atas keseimbangan kehidupan bermakna sebagai pendamping kanan


dan kiri. Pendamping kanan berfungsi sebagai pemomong yang setia dan selalu
mengingatkan melalui suara hati agar tetap kuat dan teguh iman. Sedangkan
pendamping kiri akan selalu mempengaruhi untuk bersifat buruk. Agar menjadi
manusia sempurna diperlukan keseimbangan hakiki, jangan sampai sifat buruk
mendominasi kehidupan tanpa ada pemomong yang mengingatkan untuk selalu
berbuat baik.

c) Penitis, Berbentuk seperti pucuk daun sirih namun lebih kecil dari penunggul yang
mengambarkan gunung/ meru yang merupakan simbol kearifan hidup ini memiliki
makna agar harapan kedua mempelai pengantin diapit mencapai tujuan yang tepat.

d) Godeg, Simbol atas asal usul manusia, dari mana ia berasal dan kemana akan kembali.
Simbol dari ujung pisau melengkung kebawah menunjukkan asal dan muara
kembalinya manusia, juga bermakna bahwa manusia diharapkan dapat Kembali
keasalnya dengan sempurna dengan syarat harus membelakangi hal-hal keduniawian.

e) Prada dan ketep, yang dipasang untuk seluruh pinggir paesan, mempunyai makna
keagungan. Warna emas adalah warna yang agung.

f) Kinjengan, hiasan yang dipasang pada tengah paesan dan berbentuk mirip kinjeng
atau capung, mengandung makna keuletan dalam hidup.

g) Cithak adalah hiasan berbentuk belah ketupat yang dipasang di tengah-tengah dahi
(pusat indra), terbuat dari daun sirih. Maknanya adalah sebagai pagar atau penutup
dari perbuatan jahat oleh orang lain. Kelemahan manusia terletak di pusat indra ini
dan jika pusat itu sedang lengah akan mudah diperdaya secara halus dengan ilmu
hitam. Karena itu, pemasangan cithak harus tepat dan simetris.

h) Jahitan Mata adalah riasan mata yang menimbulkan kesan mata menjadi redup dan
anggun. Maknanya untuk memperjelas penglihatan supaya dapat membedakan baik
dan buruk, yang kemudian dinalar sehingga dapat dijadikan pegangan yang kuat
selama hidup. Pengantin wanita diharapkan dapat m elihat dan berpikir secara positif.
Makna tersebut tergambar pada jahitan mata yang berupa dua garis menuju ke pelipis.
i) Menjangan Ranggah adalah riasan pada alis yang bentuknya seperti tanduk rusa yang
mampu menghadapi serangan dari beberapa arah. Bentuk ini mengandung makna agar
pengantin wanita senantiasa cekatan ketika menghadapi persoalan dan selalu
waspada.

j) Sumping adalah hiasan yang dipasang di atas telinga kanan dan kiri, terbuat dari daun
pepaya muda atau pupus yang dibentuk seperti daun sirih dan kemudian diberi prada.
Makna yang terkandung di dalamnya adalah memperjelas pendengaran, melunakkan
suara yang berpengaruh buruk terhadap emosi, dan memetik hikmah dari hal-hal yang
didengar. Dengan demikian, pengantin wanita dapat menggunakannya sebagai
penyaring suara yang masuk ke dalam telinga.

Pada tata busana pengantin Paes Ageng Kanigaran, unsur -unsur yang terdapat dalam
kelengkapan pakaian pengantin Wanita adalah sebagai berikut:

a) Kain cinde, yaitu kain dengan corak khusus untuk Paes Ageng. Gaya Yogyakarta
yang baku menggunakan motif Slarak Kandang (garis-garis di bagian tepi). Motif ini
mengandung makna tata kesusilaan yang harus dijaga.

b) Kampuh/dodot, yaitu kain yang panjangnya dua kali lipat kain biasa, dikenakan
setelah kain cinde. Motif dodot ada beberapa macam. Di antaranya adalah motif
Semen , yang mengandung suatu harapan agar bersemi, tumbuh, dan subur.
Maksudnya, harapan agar pengetahuan te ntang keduniawian dan ilmu yang dimiliki
dapat terus berkembang semakin sempurna.

c) Kebaya panjang dari beludru berwarna hitam yang disulam


dengan benang emas. Kain ini bermakna harapan agar pengantin mempunyai
kepribadian yang halus seperti kain beludru dan memancarkan sinar keagungan atau
anggun.

d) Udet cinde, yaitu selendang kecil yang dikenakan pada pinggang. Maknanya ialah
harapan agar pengantin wanita siap sedia untuk menggendong apabila segera
mendapat karunia anak.

e) Buntal, yaitu rangkaian yang terdiri dari daun puring, daun pan- dan, daun pisang
yang masih muda ( pupus), bunga Patrameng- gala, dan bunga Kamboja yang disusun
memanjang. Dedaunan tersebut mempunyai makna yang berbeda-beda. Intinya adalah
sebagai penolak bala dan dimaksudkan sebagai puji doa agar perkawinan berjalan
selamat, tanpa halangan apa pun.

f) Selop, yaitu alas kaki yang terbuat dari kain beludru bersulam benang emas. Warna
emas mengandung makna keagungan dan keutamaan, sedangkan alas kaki merupakan
dasar untuk berpijak. Karena itu, makna yang dikandungnya adalah harapan agar
dalam membangun hidup baru, hendaknya dilandasi dengan dasar keutamaan untuk
mencapai tujuan yang mulia.
Berdasarkan Fungsinya, pada busana pria memiliki arti yang sama percis dengan busana
wanita, hanya saja terdapat perbedaan pada pakaian seperti tutup kepala berwarna hitam
memanjang bergaris emas yang disebut Kuluk Kanigara yang melambangkan keunggulan
karena berada paling puncak. Pada bagian belakang kuluk terdapat hiasan berupa sanggul
kecil yang disebut dengan sanggul kadhal menek, melambangkan kejantanan dan perjuangan
hidup yang harus ditempuh sekalipun ada kesulitan. Sanggul kadhal menek menyatu dengan
sebuah cunduk mentul dan dipasang menghadap
kebelakang. Satu buah cunduk mentul melambangkan keesaan Tuhan dan pemasangannya
menghadap kebelakang yang berarti bahwa seorang suami harus
berani membelakangi perbuatan-perbuatan tidak terpuji. Juga terdapat keris yang dipakai di
pinggang belakang diselipkan di antara kamus dan lonthong (setagen panjang dengan corak
kain cinde ). Maknanya, sebagai manusia pengantin harus dapat mengendalikan keinginan
atau nafsu yang berlebihan dalam menempuh perjalanan hidup.
Pada hakekatnya, segala makna filosofis dalam busana paes ageng kanigaraan bermakna
pada menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan adat dan normal yang berlaku pada
budaya Yogyakarta, namun hal tersebut dapat dimkanai pada kehidupan sehari-hari secara
umum.
Geertz (dalam Sobur, 2006) mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah pola dari
makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah.
Mengamati apa yang diungkapkan oleh Geertz tersebut dapat diambil sebuah pemahaman
bahwa manusia, sebagai makhluk berbudaya, berkomunikasi dengan melontarkan dan
memaknai simbol melalui jalinan interaksi sosial yang terjadi. Simbol dengan demikian
merupakan sebuah petunjuk dalam memerluas cakrawala wawasan para masyarakat budaya.
Proses komunikasi adalah proses pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut. Melalui
pemaknaan inilah kemudian manusia mencari tahu dan berbagi mengenai realitas. Melalui
pemaknaan ini pulalah manusia mengambil peranannya dalam kebudayaan. symbol yang
tertuang pada paes ageng menunjukan tentang symbol hubungan dengan kepercayaan, dan
symbol hubungan dengan sesame manusia dan lingkungannya. Symbol inilah yang akhirnya
diharapkan menjadi pedoman berkehidupan pada jalinan pernikahan pada budaya keraton
Yogyakarta yang akhirnya dipakai oleh pedoman oleh masyarakat Yogyakarta secara umum
karena nilai-nilainya yang terkandung dinilai cocok untuk digunakan oleh berbagai kalangan.

C. Unsur Filsafat Seni Dalam Rias Busana Pengantin Paes Ageng Kanigaraan
Rias busana pengantin paes ageng kanigaraan merupakan sebuah kebudayaan yang dapat
digolongkan kepada cabang seni yaitu seni riasan. Secara modern cabang seni ini telah
berkembang pesat dizaman kultur modern pop seperti saat ini, namun tentunya terdapat
perbendaan antara seni rias tradisional dan seni rias modern, perbedaan paling kentara adalah
pada segi fungsi, seni rias modern lebih mementingkan aspek estetika yang terus berkembang
mengikuti arus tren globalisasi, sedangkan seni rias tradisional seperti paes ageng kanigaraan
ini lebih mementingkan aspek filosofis tanpa harus mengorbankan aspek estetika namun tetap
tanpa perubahan yang banyak untuk terus melestarikan budaya yang telah terbentuk, aspek
estetika yang tidak berubah-ubah itulah yang akhirnya menjadi ciri khas dari suatu budaya.
Ditinjau dari segi estetika,seni riasan khususnya rias dan busana pengantin Paes Ageng
Kanigaran tentunya mengandung nilai estetis, karena di dalamnya terdapat ciri-ciri yang
menjadi sifat estetis.
Menurut Beardsley (1967: 16), ada tiga ciri pokok yang merupakan sifat estetis, yaitu:
a) Kesatuan (unity); artinya, benda estetis tersusun secara baik dan memiliki bentuk
sempurna. Di dalamnya ada keserasian bentuk.

b) Kerumitan (complexity); artinya, benda estetis kaya akan isimaupun unsur yang
saling berlawanan. Dengan kalimat lain,dapat dikatakan bahwa benda estetis
mengandung perbedaansehingga muncul dengan warna-warna yang kontras.

c) Kesungguhan (intensity); artinya, benda estetis yang baik harusmempunyai satu


kualitas yang menonj ol dan bukan sekedarsesuatu yang kosong. Ia harus merupakan
sesuatu yang intensif dan bersifat simbolik.

Menurut The Liang Gie (1976:48), ciri umum yang ada pada semua benda yang bernilai
estetis ialah:
1. Kesatuan (unity).
2. Keselarasan (harmony).
3. Kesetangkupan (symmetry).
4. Keseimbangan (balance).
5. Perlawanan atau kontras (contrast).

Pada busana rias paes ageng kanigaraan, terdapat unsur keeselarasan (harmony) yang
terdapat pada bahan dasar riasan seperti dedaunan dan bunga, hal tersebut pun selaras dengan
pakaian yang sarat akan symbol tumbuhan seperti kain cinde yang memiliki unsur motif
tumbuhan didalamnya, serta ornament-ornamen pun banyak melambangkan tumbuhan dari
segi bentuk.
Selain keselarasan, banyak pula ornament dari paes ageng kanigaran yang dibuat
secara berpasangan yang memiliki unsur kesetangkupan (simetry) seperti pada pengampit
dan selop, juga banya ornament dan pakaian yang dipakai oleh kedua mempelai makin
mengisaratkan bahwa unsur kesatuan (unity) pada paes ageng ini sangat kuat, pada ornament
lain seperti centhung, jebehan, subang, kelat bahu, gelang dan cincin memiliki unsur
keseimbangan (balance). Pada unsur warna yang terdapat pada busana rias paes ageng
kanigaran ini, terdapat suatu unsur kontras (contrast) berupa perbedaan warna yang kentara
seperti pada pakaian hitam yang diselaraskan dengan dedaunan dan bunga yang memiliki
warna berlawanan.
Penggunaan ofrnament-ornament pada rias busana paes ageng kanigaran tersebut
merupakan simbolisasi dari kehidupan pasca pernikahan, maka hal tersebut mengindikasikan
bahwa paes ageng merupakan suatu kesungguhan (intensity), pada bentuk ornament seperti
perhiasan dan pakaian, terdapat pola-pola yang hanya bisa dibentuk oleh orang dan alat
tertentu, mengindikasikan bahwa paes ageng kanigaran merupakan sebuah seni yang complex
(complexity).
Atas dasar itu dapat kami simpulkan bahwa seni rias khusunya rias paes ageng
kenigaraan memiliki unsur estetika sehingga dapat dikaterorikan sebagai cabang dari seni itu
sendiri.

DAFTAR PUSTAKA BAB 3:


RAHAYU, SRI. 2014. ARTI SIMBOLIS PAES AGENG MASA HAMENGKUBUWONO
IX TAHUN 1940-1988. UNIVERSITAS NEGERI
SURABAYA.https://core.ac.uk/download/pdf/230694253.pdf
SURAJIYO. 2015. KEINDAHAN SENI DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT.
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI. https://journal.lppmunindra.ac.id

The Liang Gie, 1976, Garis Besar Estetik, Karya, Yogyakarta.


https://communication.binus.ac.id/2015/12/04/simbol-dalam-budaya-merupakan-bagian-dari-
komunikasi/

Anda mungkin juga menyukai