Pembahasan
c) Penitis, Berbentuk seperti pucuk daun sirih namun lebih kecil dari penunggul yang
mengambarkan gunung/ meru yang merupakan simbol kearifan hidup ini memiliki
makna agar harapan kedua mempelai pengantin diapit mencapai tujuan yang tepat.
d) Godeg, Simbol atas asal usul manusia, dari mana ia berasal dan kemana akan kembali.
Simbol dari ujung pisau melengkung kebawah menunjukkan asal dan muara
kembalinya manusia, juga bermakna bahwa manusia diharapkan dapat Kembali
keasalnya dengan sempurna dengan syarat harus membelakangi hal-hal keduniawian.
e) Prada dan ketep, yang dipasang untuk seluruh pinggir paesan, mempunyai makna
keagungan. Warna emas adalah warna yang agung.
f) Kinjengan, hiasan yang dipasang pada tengah paesan dan berbentuk mirip kinjeng
atau capung, mengandung makna keuletan dalam hidup.
g) Cithak adalah hiasan berbentuk belah ketupat yang dipasang di tengah-tengah dahi
(pusat indra), terbuat dari daun sirih. Maknanya adalah sebagai pagar atau penutup
dari perbuatan jahat oleh orang lain. Kelemahan manusia terletak di pusat indra ini
dan jika pusat itu sedang lengah akan mudah diperdaya secara halus dengan ilmu
hitam. Karena itu, pemasangan cithak harus tepat dan simetris.
h) Jahitan Mata adalah riasan mata yang menimbulkan kesan mata menjadi redup dan
anggun. Maknanya untuk memperjelas penglihatan supaya dapat membedakan baik
dan buruk, yang kemudian dinalar sehingga dapat dijadikan pegangan yang kuat
selama hidup. Pengantin wanita diharapkan dapat m elihat dan berpikir secara positif.
Makna tersebut tergambar pada jahitan mata yang berupa dua garis menuju ke pelipis.
i) Menjangan Ranggah adalah riasan pada alis yang bentuknya seperti tanduk rusa yang
mampu menghadapi serangan dari beberapa arah. Bentuk ini mengandung makna agar
pengantin wanita senantiasa cekatan ketika menghadapi persoalan dan selalu
waspada.
j) Sumping adalah hiasan yang dipasang di atas telinga kanan dan kiri, terbuat dari daun
pepaya muda atau pupus yang dibentuk seperti daun sirih dan kemudian diberi prada.
Makna yang terkandung di dalamnya adalah memperjelas pendengaran, melunakkan
suara yang berpengaruh buruk terhadap emosi, dan memetik hikmah dari hal-hal yang
didengar. Dengan demikian, pengantin wanita dapat menggunakannya sebagai
penyaring suara yang masuk ke dalam telinga.
Pada tata busana pengantin Paes Ageng Kanigaran, unsur -unsur yang terdapat dalam
kelengkapan pakaian pengantin Wanita adalah sebagai berikut:
a) Kain cinde, yaitu kain dengan corak khusus untuk Paes Ageng. Gaya Yogyakarta
yang baku menggunakan motif Slarak Kandang (garis-garis di bagian tepi). Motif ini
mengandung makna tata kesusilaan yang harus dijaga.
b) Kampuh/dodot, yaitu kain yang panjangnya dua kali lipat kain biasa, dikenakan
setelah kain cinde. Motif dodot ada beberapa macam. Di antaranya adalah motif
Semen , yang mengandung suatu harapan agar bersemi, tumbuh, dan subur.
Maksudnya, harapan agar pengetahuan te ntang keduniawian dan ilmu yang dimiliki
dapat terus berkembang semakin sempurna.
d) Udet cinde, yaitu selendang kecil yang dikenakan pada pinggang. Maknanya ialah
harapan agar pengantin wanita siap sedia untuk menggendong apabila segera
mendapat karunia anak.
e) Buntal, yaitu rangkaian yang terdiri dari daun puring, daun pan- dan, daun pisang
yang masih muda ( pupus), bunga Patrameng- gala, dan bunga Kamboja yang disusun
memanjang. Dedaunan tersebut mempunyai makna yang berbeda-beda. Intinya adalah
sebagai penolak bala dan dimaksudkan sebagai puji doa agar perkawinan berjalan
selamat, tanpa halangan apa pun.
f) Selop, yaitu alas kaki yang terbuat dari kain beludru bersulam benang emas. Warna
emas mengandung makna keagungan dan keutamaan, sedangkan alas kaki merupakan
dasar untuk berpijak. Karena itu, makna yang dikandungnya adalah harapan agar
dalam membangun hidup baru, hendaknya dilandasi dengan dasar keutamaan untuk
mencapai tujuan yang mulia.
Berdasarkan Fungsinya, pada busana pria memiliki arti yang sama percis dengan busana
wanita, hanya saja terdapat perbedaan pada pakaian seperti tutup kepala berwarna hitam
memanjang bergaris emas yang disebut Kuluk Kanigara yang melambangkan keunggulan
karena berada paling puncak. Pada bagian belakang kuluk terdapat hiasan berupa sanggul
kecil yang disebut dengan sanggul kadhal menek, melambangkan kejantanan dan perjuangan
hidup yang harus ditempuh sekalipun ada kesulitan. Sanggul kadhal menek menyatu dengan
sebuah cunduk mentul dan dipasang menghadap
kebelakang. Satu buah cunduk mentul melambangkan keesaan Tuhan dan pemasangannya
menghadap kebelakang yang berarti bahwa seorang suami harus
berani membelakangi perbuatan-perbuatan tidak terpuji. Juga terdapat keris yang dipakai di
pinggang belakang diselipkan di antara kamus dan lonthong (setagen panjang dengan corak
kain cinde ). Maknanya, sebagai manusia pengantin harus dapat mengendalikan keinginan
atau nafsu yang berlebihan dalam menempuh perjalanan hidup.
Pada hakekatnya, segala makna filosofis dalam busana paes ageng kanigaraan bermakna
pada menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan adat dan normal yang berlaku pada
budaya Yogyakarta, namun hal tersebut dapat dimkanai pada kehidupan sehari-hari secara
umum.
Geertz (dalam Sobur, 2006) mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah pola dari
makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah.
Mengamati apa yang diungkapkan oleh Geertz tersebut dapat diambil sebuah pemahaman
bahwa manusia, sebagai makhluk berbudaya, berkomunikasi dengan melontarkan dan
memaknai simbol melalui jalinan interaksi sosial yang terjadi. Simbol dengan demikian
merupakan sebuah petunjuk dalam memerluas cakrawala wawasan para masyarakat budaya.
Proses komunikasi adalah proses pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut. Melalui
pemaknaan inilah kemudian manusia mencari tahu dan berbagi mengenai realitas. Melalui
pemaknaan ini pulalah manusia mengambil peranannya dalam kebudayaan. symbol yang
tertuang pada paes ageng menunjukan tentang symbol hubungan dengan kepercayaan, dan
symbol hubungan dengan sesame manusia dan lingkungannya. Symbol inilah yang akhirnya
diharapkan menjadi pedoman berkehidupan pada jalinan pernikahan pada budaya keraton
Yogyakarta yang akhirnya dipakai oleh pedoman oleh masyarakat Yogyakarta secara umum
karena nilai-nilainya yang terkandung dinilai cocok untuk digunakan oleh berbagai kalangan.
C. Unsur Filsafat Seni Dalam Rias Busana Pengantin Paes Ageng Kanigaraan
Rias busana pengantin paes ageng kanigaraan merupakan sebuah kebudayaan yang dapat
digolongkan kepada cabang seni yaitu seni riasan. Secara modern cabang seni ini telah
berkembang pesat dizaman kultur modern pop seperti saat ini, namun tentunya terdapat
perbendaan antara seni rias tradisional dan seni rias modern, perbedaan paling kentara adalah
pada segi fungsi, seni rias modern lebih mementingkan aspek estetika yang terus berkembang
mengikuti arus tren globalisasi, sedangkan seni rias tradisional seperti paes ageng kanigaraan
ini lebih mementingkan aspek filosofis tanpa harus mengorbankan aspek estetika namun tetap
tanpa perubahan yang banyak untuk terus melestarikan budaya yang telah terbentuk, aspek
estetika yang tidak berubah-ubah itulah yang akhirnya menjadi ciri khas dari suatu budaya.
Ditinjau dari segi estetika,seni riasan khususnya rias dan busana pengantin Paes Ageng
Kanigaran tentunya mengandung nilai estetis, karena di dalamnya terdapat ciri-ciri yang
menjadi sifat estetis.
Menurut Beardsley (1967: 16), ada tiga ciri pokok yang merupakan sifat estetis, yaitu:
a) Kesatuan (unity); artinya, benda estetis tersusun secara baik dan memiliki bentuk
sempurna. Di dalamnya ada keserasian bentuk.
b) Kerumitan (complexity); artinya, benda estetis kaya akan isimaupun unsur yang
saling berlawanan. Dengan kalimat lain,dapat dikatakan bahwa benda estetis
mengandung perbedaansehingga muncul dengan warna-warna yang kontras.
Menurut The Liang Gie (1976:48), ciri umum yang ada pada semua benda yang bernilai
estetis ialah:
1. Kesatuan (unity).
2. Keselarasan (harmony).
3. Kesetangkupan (symmetry).
4. Keseimbangan (balance).
5. Perlawanan atau kontras (contrast).
Pada busana rias paes ageng kanigaraan, terdapat unsur keeselarasan (harmony) yang
terdapat pada bahan dasar riasan seperti dedaunan dan bunga, hal tersebut pun selaras dengan
pakaian yang sarat akan symbol tumbuhan seperti kain cinde yang memiliki unsur motif
tumbuhan didalamnya, serta ornament-ornamen pun banyak melambangkan tumbuhan dari
segi bentuk.
Selain keselarasan, banyak pula ornament dari paes ageng kanigaran yang dibuat
secara berpasangan yang memiliki unsur kesetangkupan (simetry) seperti pada pengampit
dan selop, juga banya ornament dan pakaian yang dipakai oleh kedua mempelai makin
mengisaratkan bahwa unsur kesatuan (unity) pada paes ageng ini sangat kuat, pada ornament
lain seperti centhung, jebehan, subang, kelat bahu, gelang dan cincin memiliki unsur
keseimbangan (balance). Pada unsur warna yang terdapat pada busana rias paes ageng
kanigaran ini, terdapat suatu unsur kontras (contrast) berupa perbedaan warna yang kentara
seperti pada pakaian hitam yang diselaraskan dengan dedaunan dan bunga yang memiliki
warna berlawanan.
Penggunaan ofrnament-ornament pada rias busana paes ageng kanigaran tersebut
merupakan simbolisasi dari kehidupan pasca pernikahan, maka hal tersebut mengindikasikan
bahwa paes ageng merupakan suatu kesungguhan (intensity), pada bentuk ornament seperti
perhiasan dan pakaian, terdapat pola-pola yang hanya bisa dibentuk oleh orang dan alat
tertentu, mengindikasikan bahwa paes ageng kanigaran merupakan sebuah seni yang complex
(complexity).
Atas dasar itu dapat kami simpulkan bahwa seni rias khusunya rias paes ageng
kenigaraan memiliki unsur estetika sehingga dapat dikaterorikan sebagai cabang dari seni itu
sendiri.