Anda di halaman 1dari 15

TARTIB AL-SUWAR

Ilmu Tartib As-Suwar, ialah ilmu yang membahas


tentangbagaimana tartib ayat-ayat dan atau surah-surah Al-
Qur’an itu disusun. Apakah susunan ayat-ayat atau surah-
surah itu berdasarkan ketentuan dari Nabi Muhammad Saw
atau usaha orang lain, yang dalam hal ini para Sahabat.
Dalam bab ini, pembahasan hanya berkisar pada ayat dan
Surah Al-Qur’an dengan berbagai masalahnya, yang antara
lain; definisi ayat, cara mengetahuinya, jumlah ayat, manfaat
mengetahuinya dan tartib ayat.

A. Definisi Ayat dan Surat.


Pengertian ayat secara etimologi (bahasa) ada beberapa
macam, antara lain:
1. Ayat yang berarti mu’jizat, sebagaimana terdapat
dalam Al-Qur’an pada surah firman Allah:
       
“Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya
tanda-tanda (kebenaran/mu’jizat) yang nyata, yang
Telah kami berikan kepada mereka". (QS. Al-
Baqarah/2: 211)

2. Ayat yang berarti tanda atau alamat, sebagaimana


Firman Allah:
...       
“Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka:
"Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah
kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat
ketenangan dari Tuhanmu .....” (QS. Al-Baqarah (2) :
248)
Buku Daras Ulumul Qur’an

3. Ayat yang berarti pelajaran atau peringatan,


sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an,pada Surah
Hud.
Firman Allah :
        
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut
kepada azab akhirat.” (QS. Hud (11) : 103)

4. Ayat yang berarti sesuatu yang menakjubkan atau


mengherankan, sebagaimana terdapat pada Surah Al-
Mu’minuun. Firman Allah :
   
“Dan Telah kami jadikan (Isa) putera Maryam beserta
ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan
kami),” (QS. Al-Mu’minuun (23) : 50)

5. Ayat yang berarti kelompok, kumpulan. Yang biasanya


terdapat pada ucapan atau pembicaraan orang Arab
yaitu; Kharazal Qoumu Biaayaatihim (Kaum itu keluar
dengan seluruh kelompoknya)

6. Ayat yang berarti bukti atau dalil, sebagaimana


terdapat dalam Al-Qur’an, pada Surah Ar-Ruum.
Firman Allah:
     
  
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu.“ (QS. Ar-Ruum (30) :
22)
Demikianlah berbagai pengertian ayat secara etimologis
(bahasa), sebagaimana biasa dipergunakan dalam bahasa
Arab.
Sedangkan pengertian secara terminologis, atau secara
istilah, Az-Zarqani misalnya, merumuskannya sebagai berikut :
“Ayat adalah suatu kumpulan kata, yang mempunyai awal dan
akhir, yang termasuk dalam suatu Surah dari Al-Qur’an.”

92
Tartib al-Suwar

Sementara menurut beberapa ulama, suatu kumpulan


kata yang disebut ayat, akan memiliki beberapa alasan dasar,
sebagai berikut :
1. Dinamakan ayat, karena kata-kata itu merupakan
tanda dari kebenaran orang yang membawanya (Nabi
Muhammad Saw), dan kelemahan daro orang yang
menentangnya.
2. Dinamakan ayat, karena kata-kata itu merupakan
tanda dari terputusnya atau berpindahnya
pembicaraan dengan kata-kata yang sebelum atau
sesudahnya.
Berdasarkan 2 kriteria di atas, maka Al-Wahidi
menyatakan bahwa sebagian dari para ulama, membolehkan
penamaan suatu kumpulan kata, bahkan sekalipun huruf-huruf
saja, sebagai suatu ayat, walaupun seandainya tidak ada
tauqif atau ketentuan yang menetapkan ayat seperti yang ada.
Sementara Ibnu Al-Munayyar, dalam kitabnya Al-Bahr,
menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang
terdiri dari satu kata, kecuali pada Surah Ar-Rahman ayat 64
yaitu Mad Haa Mataani, yang artinya; “Kedua surga itu
(kelihatan) hijau tua warnanya”
Namun demikian, pendapat tersebut diatas, dianggap
tidak tepat dan ditolak oleh Az-Zarkasyi. Lantaran yang benar
menurutnya; penentuan ayat harus berdasarkan tauqif
(ketentuan) dari Tuhan, melalui Nabi Muhammad Saw. Atau
dengan kata lain, penetapan sebuah ayat, sama sekali tidak
dapat dilakukan dengan qiyas (analogi), sebagaimana
dilakukan untuk mengetahui Surah-Surah Al-Qur’an (Az-
Zakrkasyi: 1972:267).
Selanjutnya, sebagaimana telah diuraikan di atas; bahwa
setiap ayat akan memiliki awal dan akhir, maka akhir sebuah
ayat disebut fashilah. Dimana melalui fashilah ini, akan
diketahui akhir dari sebuah ayat.
Sementara Az-Zarkani menyatakan pula bahwa;
pengertian ayat secara terminologi maupun etimologis, akan
selalu terdapat kesesuaian. Dimana hal ini disebabkan karena
seluruh ayat Al-Qur’an itu, selain merupakan mu’jizat, sebagai
tanda kebenaran kenabian Muhammad Saw yang

93
Buku Daras Ulumul Qur’an

menyampaikannya, sekaligus juga menjadi peringatan,


merupakan sesuatu yang menakjubkan, kumpulan kata dan
huruf, dan merupakan bukti atas kekuasaan Tuhan (Az-
Zarkani: 339)

B. Cara Mengetahui Ayat dan surat


Menurut pendapat sebagian besar para ulama; hanya ada
satu cara untuk dapat mengetahui dan menetapkan ayat-ayat
Al-Qur’an, yakni; dengan tauqifi (mengikuti ketetapan dan atau
petunjuk dari Nabi Muhammad Saw). Sehingga sama sekali
tidak dapat dilakukan dengan cara qiyas (analogi) atau ijtihad.
Berbeda dengan cara mengetahui Surah, yang dapat
ditentukan melalui qiyas, dengan memperhatikan berbagai ciri
yang ada pada Surah dimaksud.
Selanjutnya untuk memperkuat pendapat bahwa: hanya
ada satu cara untuk dapat mengetahui dan menetapkan ayat-
ayat Al-Qur’an, yakni dengan cara tauqifi ini, maka para ulama
tersebut mengemukakan beberapa alasan, yang antara lain
sebagai berikut:
1. Mereka menghitung Alif, Lam, Mim, Shaad sebagai
satu ayat, tetapi mereka tidak menghitung Alif, Lam,
Mim, Ra’ sebagai satu ayat.
2. Mereka menghitung Yaa Siin yang terdiri dari 2 huruf,
sebagai satu ayat, tetapi mereka tidak menghitung
Thaa, Siin yang juga terdiri dari 2 huruf, sebagai satu
ayat.
3. Mereka menghitung Haa, Mim, Sin, Qaaf yang terdiri
dari 5 huruf, sebagai dua ayat, tetapi mereka tidak
menghitung Khaf, Haa, Ya’, ‘ain, shaad yang juga
terdiri dari 5 huruf sebagai dua ayat, tetapi sebagai
satu ayat.
Dengan 3 alasan tersebut di atas, maka para ulama
menegaskan kembali, bahwa penentuan ayat tidak dapat
dengan cara qiyas atau ijtihad, melainkan hanya dengan
tauqifi. Karena seandainya dapat dengan cara qiyas, maka
kumpulan huruf yang sama jumlahnya seperti tersebut diatas,

94
Tartib al-Suwar

pasti akan dihitung sama, yakni satu-satu ayat atau sebagai 2


ayat, bagi semua yang terdiri dari 5 huruf.
Sementara sehubungan dengan cara penetapan ayat
tersebut, Az-Zarkani menyatakan bahwa ada 2 aliran ulama
yang berbeda pendapat tentang masalah ini, yakni aliran
Kufah dan aliran Non-Kufah.
1. Aliran Kufah
Para ulama yang tergabung dalam aliran ini dalam
penetapan sebuah ayat menghitung fawatihus suwar
(huruf-huruf hijaiyah yang terdapat dalam permulaan
surah), sebagai satu ayat, kecuali haa, mim, ‘ain, sin,
qaaf, yang dihitung sebagai dua ayat. Sedangkan
fawatihus suwar yang ada huruf ra’, seperti alif, lam,
ra’ dan alif, lam, mim, ra’ dan juga yang terdiri dari 1
huruf, seperti nun, shaad, qaaf tidak dihitung sebagai
satu ayat, kecuali haa, mim, ‘ain, sin qaaf, yang
dihitung sebagai dua ayat. Sedangkan fawatihus
suwar yang ada huruf ra’, seperti alif, lam, ra dan alif,
lam, mim, ra’ dan juga terdiri dari 1 huruf, seperti nun,
shaad, qaaf tidak dihitung sebagai 1 ayat.

2. Aliran Non-Kufah
Para ulama yang tergabung dalam aliran ini, tidak
menghitung fawatihus suwar sebagai satu ayat.
Sementara itu, sehubungan dengan adanya perbedaan
pendapat seperti tersebut di atas, maka Az-Zarqani
menegaskan:
Bahwasanya masalah untuk menetapkan ayat, telah
disepakati sebagai masalah tauqifi. Sehingga tidak
seharusnya kita dilibatkan kembali pada perbedaan
seperti tersebut diatas. Sementara perbedaan pendapat
yang terjadi pada 2 aliran seperti tersebut di atas, hanya
berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mereka.
Selanjutnya, tidak perlu lagi dipertanyakan bagaimana
satu kata dihitung sebagai satu ayat. Sebab jika memang
demikian, hal itu telah ditetapkan oleh Tuhan melalui Nabi
SAW. Dimana contohnya adalah, kata Mad Haa Mataani,

95
Buku Daras Ulumul Qur’an

yang terdapat pada pertengahan Surah Ar-Rahman, yang


dihitung sebagai satu ayat. Demikian juga kata Ar-
Rahmaan(u), yang dihitung sebagai satu ayat (Az-Zarqani:
340).
Diantara hadits Nabi SAW, yang menunjukkan bahwa
penetapan ayat-ayat Al-Qur’an itu hanya berdasarkan pada
tauqifi yang berasal dari Nabi SAW, adalah hadits yang
berasal dari Ibnu Al-Arabi yang mengatakan sebagai berikut
(artinya) :
“Ibnu Al-Arabi berkata, “Rasulullah SAW menyebutkan
bahwa : “Sesungguhnya Surah Al-Fatihah itu terdiri dari
tujuh ayat, dan surah Al-Mulk itu terdiri dari 30 ayat.”
Sebagian ulama berpendapat, bahwa untuk mengetahui
dan atau menentukan ayat Al-Qur’an itu, sebagian
berdasarkan tauqifi dan sebagian lagi berdasarkan qiyasi.
Dimana pendapat yang demikian ini, karenamereka
berpendapat bahwa ketentuan mengenai sesuatu ayat,
terletak pada fashilahnya.
Sementara fashilah, ialah kata yang terdapat pada akhir
ayat. Dimana jika sudah positif berdasarkan riwayat shahih
Nabi selalu membaca lafadz atau kata itu dengan wakaf
(berhenti). Maka yakinlah kita bahwa lafadz atau kata itu
menjadi fashilah (akhir dari ayat). Tetapi jika kita juga yakin
bahwa Nabi SAW selalu membaca suatu kata dari suatu ayat,
dengan washal (bersambung, tidak berhenti), maka kata itu
bukanlah fashilah dari ayat tersebut.
Dalam pada itu, lantaran dari kenyataan yang ada,
kadang-kadang Nabi SAW juga membaca suatu lafadz dari
ayat dengan waqaf pada suatu saat, namun pada saat lain
beliau membacanya dengan washal, maka dibuatlah beberapa
kemungkinan, sebagai berikut:
1. Jika Nabi SAW membaca lafadz dengan waqaf, maka
hal itu mungkin dimaksudkan untuk :
a. Menunjukkan lafadz itu sebagai
fashilah dari ayat.
b. Menunjukkan bahwa lafadz itu
sebagai waqaf tam, atau kata yang harus

96
Tartib al-Suwar

dihentikan membacanya, walaupun terdapat pada


pertengahan ayat.
c. Sekadar untuk beristirahat sejenak.
2. Jika Nabi SAW membacanya dengan washal, maka
hal itu mungkin dimaksudkan untuk :
a. Menunjukkan bahwa lafadz itu bukan fashilah
b. Menunjukkan bahwa lafadz itu sebenarnya bukan
fashilah, dimana karena Nabi SAW mengetahui
bahwa umat Islam pada waktu itu (para sahabat)
menganggap bahwa kata itu merupakan fashilah
dari ayat yang dibacanya, maka beliau
membacanya dengan washal.
Akibat dari adanya bacaan-bacaan yang mengandung
beberapa kemungkinan inilah maka sebagian ulama
menetapkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara ijtihad atau
qiyas.
Sebagai gambaran misalnya Surah Al-Fatihah. Surah ini
telah disepakati bahwa jumlah ayatnya ada 7 ayat, sesuai
dengan hadits Nabi SAW yang dikutip terdahulu. Namun
demikian, para ulama masih berbeda pendapat dalam
menentukan jumlah ayat Surah Al-Fatihah tersebut. Ada
sebagian ulama yang menghitung basmalah;
bismillahirrahmaanirraahiim (dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang), sebagai ayat
pertama. Dimana mereka yang berpendapat demikian,
menganggap bahwa ayat terakhir dari Al-Fatihah ini adalah;
Shiraathalladziina an’amta ‘alaihim, ghairil maghduuhuubi
‘alaihimwaladhaaliin (a) (yaitu jalan orang-orang yang telah
engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat).
Selain itu, ada pula sebagian ulama yang tidak
menghitung basmalah sebagai ayat pertama. Sehingga
mereka menetapkan bahwa ayat pertama dari Al-Fatihah
adalah; Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin (a) (Segala Puji Bagi
Allah, Tuhan semesta alam) dan seterusnya, sampai ayat ke 6
yang berakhir pada kata; ‘Alaihim (mereka), yang pertama.
Selanjutnya dimulai dengan kata; Ghairil maghduhuubi (bukan

97
Buku Daras Ulumul Qur’an

jalan orang-orang yang dimurkai)merupakan ayat yang ke 7


atau terakhir.

C. Jumlah Ayat dan Surat Al-Qur’an


Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa
sebenarnya jumlah ayat Al-Qur’an itu. Namun demikian,
mereka sepakat bahwa jumlah ayat Al-Qur’an itu sebanyak
6.200 lebih.
Berapa kelebihannya? Inilah yang diperselisihkan oleh
para ulama dalam menentukan jumlah kelebihan ayat Al-
Qur’an dari jumlah yang telah disepakati bersama tersebut.
Ada berbagai pendapat yang berbeda mengenai jumlah
kelebihan tersebut. Dimana pendapat itu antara lain ialah :
1. Ulama Madinah pertama menghitung jumlah
kelebihan itu sebanyak 17 ayat. Dimana perhitungan
ini berdasarkan pendapat dari Nafi’. Sehingga jumlah
ayat Al-Qur’an tersebut menjadi sebanyak 6217 ayat.
2. Menurut perhitungan kedua dari Ulama
Madinah, jumlah kelebihan itu sebanyak 14 ayat.
Sehingga jumlah ayat Al-Qur’an menjadi sebanyak
5.214 ayat. Perhitungan ini berdasarkan para
pendapat syaibah. Namun demikian, menurut
perhitungan Abu Ja’far, kelebihan itu sebanyak 10
ayat. Sehingga jumlah ayat Al-Qur’an menjadi
sebanyak 6.210.
3. Menurut perhitungan Ulama Mekkah,
berdasarkan riwayat Ibnu Katsir, jumlah kelebihan itu
sebanyak 20 ayat. Sehingga jumlah ayat Al-Qur’an itu
ada 6.220 ayat.
4. Menurut perhitungan Ulama Kufah, jumlah
kelebihanitu sebanyak 36 ayat. Dimana perhitungan
ini berdasarkan pada riwayat Hamzah Az-Zayyat.
Sehingga jumlah ayat Al-Qur’an sebanyak 6.236 ayat.
5. Menurut perhitungan Ulama Bashrah, jumlah
kelebihan itu sebanyak 5 ayat. Dimana perhitungan ini
berdasarkan pada riwayat “Ashim Al-Jahdari.
Sehingga jumlah ayat Al-Qur’an ada sebanyak 6.205
ayat. Sedangkan menurut riwayat Qatadah, kelebihan

98
Tartib al-Suwar

itu sebanyak 19 ayat. Sehingga jumlah ayat Al-Qur’an


ada sebanyak 6.219 ayat.
6. Menurut perhitungan Ulama Syam (Syiria),
jumlah kelebihan itu sebanyak 26 ayat. sehingga
dengan demikian jumlah ayat Al-Qur’an itu sebanyak
6.226 ayat. Perhitungan ini berdasarkan pada riwayat
Yahya bin Harist Ad-Dzimari.
Adanya perbedaan dalam menghitung jumlah ayat Al-
Qur’an tersebut, disebabkan oleh karena adanya perubahan
cara membaca yang dilakukan Nabi SAW.
Pada awalnya, Nabi SAW selalu membaca waqaf pada
tiap-tiap akhir ayat, dimana hal ini untuk menunjukkan bahwa
kata yang dibaca waqaf itu adalah fashilah dari ayat. Namun
demikian, setelah Nabi SAW mengetahui bahwa para Sahabat
sudah mengetahui benar tentang fashilah ini, maka beliau
membaca ayat-ayat tersebut washal dengan ayat-ayat
sesudahnya. Bacaan beliau yang sedemikian ini, dimaksudkan
untuk menyempurnakan isi atau makna dari ayat-ayat
tersebut. Lantaran jika beliau berhenti pada fashilah ayat,
maka isi kandungan ayat tersebut belum sempurna untuk
dipahami secara tuntas.
Namun demikian, adanya perubahan cara membaca itu,
ternyata malah menimbulkan perbedaan pendapat bagi
sementara Sahabat. Dimana mereka yang telah mengetahui
benar fashilat ayat, akan tetap menghitung 2 ayat yang dibaca
Nabi secara washal atau bersambung sebagai 2 ayat.
Sebaliknya, bagi mereka yang belum mengetahuinya akan
menghitung sebagai 1 ayat.

D. Faedah Mengetahui Ayat dan Surat


Ada banyak manfaat dan faedah yang dapat kita ambil
dengan mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an. Berbagai manfaat
tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Dengan mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an, maka kita
dapat mengetahui bahwa 3 ayat Al-Qur’an yang
pendek-pendek, ternyata sudah cukup menjadi
mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW. Yang

99
Buku Daras Ulumul Qur’an

membuktikan bahwa ayat-ayat tersebut berasal dari


wahyu Allah SWT. Oleh sebab itu, sehubungan
dengan hal ini, maka seandainya ada orang yang
meragukan bahwa ayat-ayat tersebut berasal dari
wahyu Tuhan, maka tuhan menantang orang tersebut
untuk membuat ayat-ayat seperti itu, sebagaimana
diungkapkan Tuhan dalam Surah Al-Baqarah ayat 23.
Firman Allah SWT:
        
       
   
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al
Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal
Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-
Baqarah/2: 23)

2. Dengan mengentahui ayat-ayat Al-Qur’an, maka kita


akan mengetahui bahwa membaca waqaf pada setiap
akhir ayat, adalah Sunnah. Hal ini berdasarkan pada
hadits yang diriwayatkan Abu Daud, yang berasal dari
Ummu Salamah, sebagai berikut: “Rasulullah bila
membaca Al-Qur’an, maka ia memotong-motong
bacaannya ayat demi ayat.” Hadits ini menjelaskan
bahwa ketika Rasulullah SAW membaca Surah Al-
Fatihah misalnya, maka Nabi SAW membaca:
Bismillaahirrahmaanirrahiim (Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang),
kemudian waqaf (berhenti sejenak). Selanjutnya
beliau membaca ayat-ayat berikutnya:
Alhamdulillahirabbil’aalamiin (Segala Puji bagi Allah,
Tuhan semesta alam), kemudian waqaf (berhenti).
Kemudian membaca: Arrahmaanirrahiim (Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang), setelah itu berhenti
sejenak, demikian seterusnya.

3. Dengan mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an, maka kita


akan mengetahui bahwa pengetahuan ayat-ayat Al-

100
Tartib al-Suwar

Qur’an itu sangat berperan dan memberi pengaruh


dalam pelaksanakan shalat dan khutbah, misalnya
ketika dilangsungkan Shalat Jum’at. Sehingga
sehubungan dengan hal itu, As-Suyuthi menyatakan
dalam bukunya Al-Itqan, bahwa mengetahui ayat-ayat
Al-Qur’an, baik jumlahnya maupun fashilah-
fashilahnya, sangat bermanfaat atau ada pengaruhnya
dalam memahami hukum-hukum fiqih. Dimana
kegunaannya dapat terlihat jelas antara lain, sebagai
berikut :
a. Bagi orang yang tidak dapat membaca Surah Al-
Fatihah dalam shalat, maka ia wajib
menggantinya dengan membaca tujuh ayat Al-
Qur’an lainnya.
b. Khatib dalam shalat Jum’at, wajib membaca satu
ayat lengkap (paling kurang) dalam pelaksanaan
khutbahnya. Atau dengan kata lain, ia tidak boleh
membaca ayat hanya separoh saja, meskipun
ayat yang dibacanya itu pajang.
Demikianlah antara lain, berbagai faedah dan manfaat
mengetahui ayat-ayat al-Qur’an baik ummah Islam. Dimana
sesungguhnya hal yang demikian ini, akan sangat berguna
bagi kita semua.

E. Tartib Ayat dan Surat Al-Qur’an


Mengenai masalah tartib atau urutan penyusunan ayat-
ayat Al-Qur’an, sebenarnya telah menjadi kesepakatan secara
umum dikalangan ummat Islam (ijma), bahwa susunan ayat-
ayat Al-Qur’an tersebut, sebagaimana kita lihat pada mushaf-
mushaf yang ada di tangan ummat Islam sekarang ini, adalah
berdasarkan tauqifi dari Nabi SAW. Artinya bahwa,
penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut berdasarkan
petunjuk dari Nabi SAW yang ia terima dari Allah SWT, melalui
perantaraan malaikat Jibril.
Sebagaimana diketahui, bahwa wahyu Al-Qur’an, datang
kepada Nabi SAW melalui malaikat Jibril. Dimana setiap kali
Jibril datang, tidak berarti hanya sekedar datang dan

101
Buku Daras Ulumul Qur’an

menyampaikan wahyu atau ayat-ayat yang dibawanya. Namun


lebih dari itu, Jibril juga menunjukkan kepada Nabi SAW;
dimana ayat-ayat tersebut harus disampaikan, dalam artian
pada Surah dan ayat berapa.
Kemudian Nabi setelah menerima wahyu dan petunjuk
untuk menempatkannya, maka menyuruh para Sahabat yang
bertugas menulis wahyu, agar menuliskannya pada Surah dan
urut-urutan ayat, sebagaimana petunjuk Jibril.
Oleh sebab itu, sebagai penegas dari petunjuk tersebut,
maka Nabi SAW secara berulang-ulang, membacakan ayat-
ayat Al-Qur’an tersebut kepada para Sahabat dalam berbagai
kesempatan. Dimana kesempatan itu, biasanya muncul antara
lain; pada waktu shalat, pada waktu khutbah, pada waktu
memberi pelajaran atau nasehat kepada para Sahabat, dan
lain sebagainya.
Lebih lanjut, untuk menjaga tartib ayat-ayat Al-Qur’an,
maka setiap tahun malaikat Jibril turun dan memerintahkan
Nabi SAW untuk membaca seluruh ayat Al-Qur’an yang telah
diterimanya. Dimana dalam pembacaan tersebut, Jibril selalu
mengecek tartib urutannya, supaya susunan atau urutan ayat-
ayat Al-Qur’an tersebut selalu dapat terjaga. Sehingga
kemungkinan terjadi kekeliruan dalam penempatannya, sama
sekali tidak ada. Bahkan, untuk menjaga ketertiban susunan
ayat-ayat Al-Qur’an, pada tahun terakhir dari kehidupan Nabi
SAW, Jibril datang kepadanya dua kali untuk keperluan
tersebut.
Selain itu, para Sahabat juga selalu menghafal Al-Qur’an,
baik secara keseluruhan maupun sebagian saja. Dimana
hafalan mereka itu, juga selalu disesuaikan dengan tartib urut-
urutan ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana diajarkan Nabi SAW,
seperti terdapat dalam mushaf yang ada di tangan ummat
Islam sekarang ini.
Ummat Islam, secara keseluruhan, dimanapun mereka
berada, selalu mengadakan tadarus atau pembacaan ayat-
ayat Al-Qur’an menurut tartib susunan ayat-ayat tersebut,
seperti terdapat dalam mushaf sekarang ini. Bahkan,
penulisan dan penghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar
dan pada masa Usman, juga sesuai dengan tartib ayat-ayat
mushaf yang sekarang ini.

102
Tartib al-Suwar

Oleh sebab itu, sangat tepatlah kiranya keterangan Abu


Ja’far dalam bukunya Al-Munasabat, dimana ditegaskan oleh
beliau bahwa tartib ayat-ayat Al-Qur’an dalam Surah-Surahnya
itu, adalah terjadi dengan petunjuk dan perintah Nabi SAW.
Sehingga seyogyanya, tidak ada lagi perselisihan dalam hal
ini, di kalangan ummat Islam (Az-Zarqani : 347)
Dalam pada itu, ijma (konsensus atau kesepakatan)
ummat Islam dalam menyakini bahwa tartib urut-urutan ayat-
ayat Al-Qur’an yang berdasarkan tauqifi Nabi SAW tersebut,
sesungguhnya berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW sendiri.
Dimana hadits-hadits yang menunjukkan tentang hal itu,
antara lain adalah sebagai berikut :
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari
Usman bin Abul Ash, bahwasanya ia berkata sebagai
berikut (artinya) :
“Ketika aku sedang duduk di sebelah Rasulullah,
tiba-tiba Nabi SAW memandang ke atas, lantas ke
bawah. Kemudian beliau berkata : “Jibril datang
kepadaku dan memerintahkan agar meletakkan
ayat ini ditempat ini dari dari Surah itu”.
Sedangkan ayat yang dimaksud adalah : “Innal
laaha Ya’muru bil’adli wal ihsaani waiita-idzil
qurbaa” (sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat)

2. Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab hadits


shahih, menerangkan bahwa Nabi SAW membaca
beberapa Surah, seperti: Surah Al-Baqarah, Ali Imran,
An-Nisaa’, Al-Mu’minuun, dan Surah Ar-Ruum pada
waktu shalat shubuh. Nabi SAW membaca Surah As-
Sajadah dan Surah Al-Insan pada waktu shubuh hari
Jum’at. Beliau membacakan Surah Al-Jumuah dan
Surah Al-Munafiqun, pada waktu shalat
Jum’at.sedangkan pada waktu khutbah, beliau
membaca Surah Qaaf dan Surah Al-Qomar pada
waktu shalat ‘Ied. Dimana dalam membaca Surah-
Surah tersebut, beliau selalu membacanya sesuai

103
Buku Daras Ulumul Qur’an

dengan tartib urut-urutan ayat sebagaimana terdapat


dalam mushaf.

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Az-


Zubair menyatakan bahwa ia berkata kepada Usman
bin Affan (artinya):
“Ayat tersebut telah dinasakh (dihapus) oleh ayat
yang lain, mengapa engkau menuliskannya?”
Usman berkata: “Hai anak saudaraku, aku tidak
merubah sedikitpun dari tempatnya”.

4. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Umar,


menyatakan bahwa, ia berkata (artinya) :
“Aku tidak pernah bertanya kepada Nabi SAW,
tentang sesuatu yang lebih banyak daripada yang
aku tanyakan kepadanya tentang kalalah,
sehingga Nabi memukul dadaku dengan jari
tangannya, dan berkata : “Cukuplah bagimu ayat
As-Shaif, yang terdapat pada akhir Surah An-
Nisaa’”.
Sehubungan dengan hadits tersebut di atas, dimana
diketahui bahwa Nabi SAW telah menunjukkan
kepada Umar Letak ayat mengenai kalalah
(seseorang mati dengan tidak meninggalkan ayah
atau anak) itu dalam Surah An-Nisaa’, ayat tersebut
adalah sebagai berikut :
      
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah” (QS. An-Nisaa’/4: 176)

104
Tartib al-Suwar

105

Anda mungkin juga menyukai