Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS VEGETASI METODE KUADRAT HUTAN MANGROVE

DESA MASANI PANTAI SERIBU BINTANG

DISUSUN OLEH:
1. ATIKA ANASTASYA MITE
NPM: 92011402111012
2. MOH. FAISAL B. SAMUDIN
NPM: 92011402111014
3. RUSTIN
NPM: 192111402111014

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS SINTUWU MAROSO
TAHUN 2021

i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Praktikum.................................................................... 1
1.2 Tujuan Praktikum................................................................................. 2
1.3 Manfaat Praktikum............................................................................... 2
BAB II KAJIAN TEORI.................................................................................. 3
BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 13
3.1 Metode Praktikum................................................................................. 13
3.2 Alat dan Bahan yang Digunakan.......................................................... 13
3.3 Cara Kerja Praktikum........................................................................... 13
3.4 Analisis Hasil........................................................................................ 14
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... 17
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 20
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 20
5.2 Saran..................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 21
LAMPIRAN..................................................................................................... 22

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengetahuan mengenai sebaran berbagai jenis spesies bermanfaat untuk
mengetahui keragaman vegetasi di suatu kawasan dan pengambilan keputusan
tentang program konservasi atau pelestarian yang akan diambil. Untuk
mengetahui sebaran macam spesies di suatu wilayah, kita dapat menggunakan
metode analisis vegetasi. Vegetasi dalam ekologi adalah istilah untuk keseluruhan
untuk komunitas tetumbuhan. Vegetasi merupakan bagian hidup yang tersusun
dari tetumbuhan yang menempati suatu ekosistem. Beraneka tipe hutan, kebun,
padang rumput, dan tundra merupakan contoh dari vegetasi.
Menganalisis vegetasi dalam komunitas ekologi ada beberapa macam metode
yang dapat digunakan. Ada yang menggunakan petak contoh (plot) dan ada yang
tidak menggunakan petak contoh (plotless). Metode yang menggunakan petak
contoh (plot) diantaranya adalah metode kuadrat, sedangkan yang tidak
menggunakan petak contoh adalah titik menyinggung (Point Centered Quarter
Methods). Pemilihan metode tersebut tergantung pada tipe vegetasi, tujuan,
ketersediaan dana, waktu, tenaga, dan kendala lainnya yang dialami. Analisa
vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur)
vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Ada tiga hal yang harus diperhatikan
yaitu petak contoh, cara peletakkan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang
digunakan. Prinsip penentuan ukuran petakan adalah petak harus besar agar
individu jenis yang ada dalam contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus
kecil agar individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa
duplikasi. Titik berat analisa vegetasi yang terletak pada suatu komposisi jenis dan
jika kita tidak bisa menentukan luas petak contoh yang kita anggap dapat
mewakili komunitas tersebut, maka dapat menggunakan teknik Kurva Spesies
Area (KSA). Dengan menggunakan kurva tersebut kita dapat menetapkan sebagai
berikut: (1) Luas minimum suatu petak yang dapat mewakili habitat yang akan
diukur, (2) Jumlah minimal peta ukur agar hasilnya mewakili keadan tegakan atau
panjang jalur yang mewakili jika menggunakan metode jalur.

1
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove
terluas di dunia. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang ditumbuhi dengan pohon
bakau (mangrove) yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove mempunyai fungsi ganda
dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan
siklus biologi di suatu perairan.
Tumbuh-tumbuhan yang hidup di laut beraneka macam, mulai dari tumbuhan
tingkat rendah, yaitu jenis flora yang belum dapat dibedakan struktur akar, batang
dan daunnya atau sering disebut dengan alga, hingga tumbuhan tingkat tinggi,
seperti lamun dan mangrove. Salah satu tumbuhan tingkat tinggi yang mampu
beradaptasi dengan lingkungan laut adalah Mangrove, dengan berbagai
kelebihannya sehingga tumbuhan ini berfungsi sangat penting bagi ekosistem laut
dan ekosistem daratan. Akar mangrove yang ikut dapat menahan arus sehingga
dapat mencegah erosi sedimen laut atau disebut juga “banteng” laut. Kumpulan
mangrove bisa menjadi habitat beberapa jenis makhluk air dan bisa juga menjadi
makanan bagi para ikan, serta masih banyak kegunaan mangrove.
Sebagai sebuah hutan, hutan mangrove terdiri dari beragam organisme yang
juga saling berinteraksi satu sama lainnya. Fungsi fisik dari hutan mangrove
diantaranya sebagai pengendali naiknya batas antara permukaan air tanah dengan
permukaan air laut ke arah daratan (intrusi), sebagai kawasan penyangga, memacu
perluasan lahan dan melindungi garis pantai agar terhindar dari erosi atau abrasi.
1.2 Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui keberagaman jenis vegetasi hutan
mangrove pada pengamatan yang ada di plot 1, 2,3 dan 4.
1.3 Manfaat Praktikum
Memberikan informasi dan pengetahuan mengenai keberagaman jenis
vegetasi hutan mangrove pada pengamatan yang ada di plot 1,2,3, dan 4.

2
BAB II
KAJIAN TEORI
1.1 Pengertian Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan
bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dalam ekologi
hutan satuan yang diselidiki adalah suatu tegakan, yang merupakan asosiasi
konkrit. Pendapat lain menyatakan bahwa analisis vegetasi adalah suatu cara
mempelajari susunan dan komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi
dari tumbuh-tumbuhan. Analisis vegetasi adalah suatu cara yang dilakukan untuk
memperoleh data tentang komposisi flora dan dan data kuantitatif mengenai
penyebaran, jumlah dan dominansi masing-masing jenis. Berdasarkan pengertian
di atas maka dapat disimpulkan bahwa analisis vegetasi adalah cara yang
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sebaran berbagai spesies dalam suatu
area melaui pengamatan langsung.
Analisis vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk
vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan :
1. Mempelajari tegakan hutan, yaitu tingkat pohon dan permudaannya.
2. Mempelajari tegakan tumbuh-tumbuhan bawah, yang dimaksud tumbuhan
bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat dibawah tegakan hutan
kecuali permudaan pohon hutan, padang rumput/alang-alang dan vegetasi
semak belukar.
Sedikit berbeda dengan inventarisasi hutan yang titik beratnya terletak pada
komposisi jenis pohon. Perbedaan ini akan mempengaruhi cara sampling. Dari
segi floristis-ekologis “random-sampling” hanya mungkin digunakan apabila
langan dan vegetasinya homogen, misalnya padang rumput dan hutan tanaman.
Pada umumnya untuk keperluan penelitian ekologi hutan lebih tepat dipakai
“systimatic sampling”, bahkan “purposive sampling” pun boleh digunakan pada
keadaan tertentu.
Pengamatan parameter vegetasi berdasarkan bentuk hidup pohon, perdu, serta
herba.Suatu ekosistem alamiah maupun binaan selalu terdiri dari dua komponen
utama yaitu komponen biotik dan abiotik. Vegetasi atau komunitas tumbuhan

3
merupakan salah satu komponen biotik yang menempati habitat tertentu seperti
hutan, padang ilalang, semak belukar dan lain-lain. Struktur dan komposisi
vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang
saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara alami pada wilayah
tersebut sesungguhnya merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor
lingkungan dan dapat mengalami perubahan drastik karena pengaruh manusia.
1.1.1 Cara peletakan petak contoh
Cara peletakan petak contoh dibagi menjadi dua, yaitu cara acak (random
sampling) dan cara sistematik (systematic sampling), random samping hanya
mungkin digunakan jika vegetasi homogen, misalnya hutan tanaman atau padang
rumput (artinya, kita bebas menempatkan petak contoh dimana saja, karena
peluang menemukan jenis bebeda tiap petak contoh relatif kecil). Sedangkan
untuk penelitian dianjurkan untuk menggunakan sistematik sampling, karena lebih
mudah dalam pelaksanaannya dan data yang dihasilkan dapat bersifat
representative.Bahkan dalam keadaan tertentu, dapat digunakan purposive
sampling.
Jika berbicara mengenai vegetasi, kita tidak bisa terlepas dari komponen
penyusun vegetasi itu sendiri dan komponen tersebutlah yang menjadi fokus
dalam pengukuran vegetasi. Komponen tumbuh-tumbuhan penyusun suatu
vegetasi umumnya terdiri dari:
1. Belukar (Shrub) : Tumbuhan yang memiliki kayu yang cukup besar, dan
memiliki tangkai yang terbagi menjadi banyak subtangkai.
2. Epifit (Epiphyte) : Tumbuhan yang hidup dipermukaan tumbuhan lain
(biasanya pohon dan palma). Epifit mungkin hidup sebagai parasit atau hemi-
parasit.
3. Paku-pakuan (Fern) : Tumbuhan tanpa bunga atau tangkai, biasanya
memiliki rhizoma seperti akar dan berkayu, dimana pada rhizoma tersebut
keluar tangkai daun.
4. Palma (Palm) : Tumbuhan yang tangkainya menyerupai kayu, lurus dan
biasanya tinggi; tidak bercabang sampai daun pertama. Daun lebih panjang
dari 1 meter dan biasanya terbagi dalam banyak anak daun.

4
5. Pemanjat (Climber) : Tumbuhan seperti kayu atau berumput yang tidak
berdiri sendiri namun merambat atau memanjat untuk penyokongnya seperti
kayu atau belukar.
6. Terna (Herb) : Tumbuhan yang merambat ditanah, namun tidak menyerupai
rumput. Daunnya tidak panjang dan lurus, biasanya memiliki bunga yang
menyolok, tingginya tidak lebih dari 2 meter dan memiliki tangkai lembut
yang kadang-kadang keras.
7. Pohon (Tree) : Tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan memiliki
satu batang atau tangkai utama dengan ukuran diameter lebih dari 20 cm.
Untuk tingkat pohon dapat dibagi lagi menurut tingkat permudaannya, yaitu :
a. Semai (Seedling) : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan kurang
dari 1.5m.
b. Pancang (Sapling) : Permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai anakan
berdiameter kurang dari 10 cm.
c. Tiang (Poles) : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm.
Adapun parameter vegetasi yang diukur dilapangan secara langsung adalah:
1. Nama jenis (lokal atau botanis).
2. Jumlah individu setiap jenis untuk menghitung kerapatan.
3. Penutupan tajuk untuk mengetahui persentase penutupan vegetasi terhadap
lahan.
4. Diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar dan berguna untuk
menghitung volume pohon/tanaman.
5. Tinggi pohon/tanaman , baik tinggi total (TT) maupun tinggi bebas cabang
(TBC), penting untuk mengetahui stratifikasi dan bersama diameter batang
dapat diketahui ditaksir ukuran volume pohon.
1.1.2 Parameter Kuantitaif pada Analisis Vegetasi Mangrove
1. Kerapatan (K)
a. Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis per satuan luas.
b. Kerapatan Relatif (KR) adalah persentase kerapatan jenis terhadap kerapatan
dari seluruh jenis.

5
2. Frekuensi (F)
a. Frekuensi adalah penyebaran suatu jenis yang dinyatakan dalam persentase
terdapatnya dalam petak-petak cuplikan tanpa memperhitungkan jumlah
individu jenis tersebut yang terdapat dalam masing-masing petak.
b. Frekuensi Relatif (KR) adalah persentase frekuensi suatu jenis terhadap
jumlah frekuensi seluruh jenis.
3. Indeks nilai penting (INP) Indeks nilai penting (importance valur index)
adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat
dominasi (tingkat penguasaan) spesies–spesies dalam suatu komunitas
tumbuhan.
4. Indeks Dominansi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran.
5. Indeks keanekaragaman Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkat
komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat
digunakan untuk menyatakan struktur komunitas.
6. Indeks kemerataan jenis Indeks kemerataan jenis dapat menggambarkan
kestabilan suatu komunitas. Adapun pengertian dari struktur vegetasi yaitu
suatu organisasi individuindividu di dalam ruang yang membentuk suatu
tegakan. Pendapat lain mengatakan bahwa struktur vegetasi struktur vegetasi
terdiri atas 3 komponen sebagai berikut:
1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram
profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba
penyusun vegetasi.
2. Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu
individu terhadap individu lain.
3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat diketahui bahwa struktur vegetasi
merupakan hasil penataan ruang oleh komponen penyusun tegakan dan bentuk
hidup. Stratifikasi dan penutupan vegetasi yang digambarkan melalui keadaan
diameter, tinggi serta penyebaran dalam ruang. Sedangkan yang dimaksud dengan
komposisi vegetasi merupakan susunan dan jumlah individu yang terdapat dalam
suatu komunitas tumbuhan. Komposisi dan struktur vegeatsi salah satunya

6
dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh (habitat) yang berupa situasi iklim dan
keadaan tanah. Menurut Steenis (1998), komposisi jenis tumbuhan merupakan
daftar floristik dari jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas. Dari
penjabaran di atas maka dapat disimpulkan bahwa komposisi vegetasi adalah
jumlah individu yang terdapat di dalam suatu komunitas, yang biasa disebut
dengan daftar floristik.
3.2 Pengertian Hutan Mangrove
Macnae (1968) menyebutkan kata mangrove merupakan perpaduan antara
bahasa Portugis Mangue dan bahasa Inggris Grove. Sementara itu, menurut
Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi
yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia.
Beberapa ahli mendefinisikan istilah mangrove secara berbeda-beda, namun
pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman
(1989) mendefinisikan mangrove baik secara tumbuhan yang terdapat di daerah
pasang surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai
formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai tropis dan sub tropis yang
terlindung. Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove
sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur alluvial di daerah pantai
dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, dan terdiri atas
jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizopora, Bruguiera, Ceriops,
Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aigeceras, Scyphyora dan Nipa.
Ekosistem hutan mangrove disebut juga dengan hutan pasang surut karena
hutan ini secara teratur atau selalu digenangi air laut, atau dipengaruhi oleh pasang
surut air laut dan terdapat di daerah litorial yaitu daerah yang berbatasan dengan
darat. Ekosistem hutan ini juga disebut dengan ekosistem hutan payau karena
terdapat di daerah hutan payau (estuarine), yaitu perairan dengan kadar garam
/salinitas antara 0,5 % dan 30 %.
Sebagian masyarakat hutan mangrove disebut sebagai hutan bakau, namun
menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya tepat
karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di
hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang tumbuh

7
di daerah tropik dan didominasi oleh tumbuhan yang mempunyai akar napas atau
Pneumatofora dan mempunyai kemampuan untuk tumbuh di daerah perairan asin.
2.2.1 Vegetasi Hutan Mangrove
Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam empat zona, yaitu
sebagai berikut.
a) Mangrove terbuka
Mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.  Samingan
(1980) menemukan bahwa di Karang Agung, Sumatera Selatan, di zona ini
didominasi oleh Sonneratia alba yang tumbuh pada areal yang betul-betul
dipengaruhi oleh air laut. Van Steenis (1958) melaporkan bahwa S. alba dan A.
alba merupakan jenis-jenis ko-dominan pada areal pantai yang sangat tergenang
ini. Komiyama, dkk (1988) menemukan bahwa di Halmahera, Maluku, di zona ini
didominasi oleh S. alba. Komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka
sangat bergantung pada substratnya. S. alba cenderung untuk mendominasi daerah
berpasir, sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung
untuk mendominasi daerah yang lebih berlumpur (Van Steenis, 1958).  Meskipun
demikian, Sonneratia akan berasosiasi dengan Avicennia jika tanah lumpurnya
kaya akan bahan organik (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993).
b) Mangrove tengah
Mangrove di zona ini terletak dibelakang mangrove zona terbuka.  Di zona ini
biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora.  Namun, Samingan (1980)
menemukan di Karang Agung didominasi oleh Bruguiera cylindrica.  Jenis-jenis
penting lainnya yang ditemukan di Karang Agung adalah B. eriopetala, B.
gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, R. mucronata, Xylocarpus granatum dan X.
moluccensis.
c) Mangrove payau
Mangrove berada disepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar.  Di
zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia.  Di Karang
Agung, komunitas N. fruticans terdapat pada jalur yang sempit di sepanjang
sebagian besar sungai.  Di jalur-jalur tersebut sering sekali ditemukan
tegakan N.fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri

8
dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochlaena palustris dan Xylocarpus granatum. 
Ke arah pantai, campuran komunitas Sonneratia - Nypa lebih sering ditemukan. 
Di sebagian besar daerah lainnya, seperti di Pulau Kaget dan Pulau Kembang di
mulut Sungai Barito di Kalimantan Selatan atau di mulut Sungai Singkil di
Aceh, Sonneratia caseolaris lebih dominan terutama di bagian estuari yang berair
hampir tawar (Giesen & van Balen, 1991).
d) Mangrove daratan
Mangrove berada di zona perairan payau  atau hampir tawar di belakang jalur
hijau mangrove yang sebenarnya.  Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona
ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans,
Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis (Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, 1993). Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih
tinggi dibandingkan dengan zona lainnya.
2.2.2 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove
1. Salinitas
Salinitas air tanah mempunyai peranan penting sebagai faktor penentu dalam
pengaturan pertumbuhan dan keberlangsungan kehidupan. Salinitas air tanah
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti genangan pasang, topografi, curah
hujan, masukan air tawar dan sungai, run-off daratan dan evaporasi.
Aksorkoae (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan yang
sangat menentukan perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju
pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove.
2. Tanah
Tanah di hutan mangrove memiliki ciri-ciri yang selalu basah, mengandung
garam, oksigen sedikit, berbentuk butir-butir dan kaya bahan organik (Soeroyo
1993). Tanah tempat tumbuh mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen yang
bersal dari sungai, pantai atau erosi yang terbawa dari dataran tinggi sepanjang
sungai atau kanal. Sebagian tanah berasal dari hasil akumulasi dan sedimentasi
bahan-bahan koloid dan partikel. Sedimen yang terakumulasi di daerah mangrove
memiliki kekhususan yang berbeda, tergantung pada sifat dasarnya. Sedimen yang
berasal dari sungai berupa tanah berlumpur, sedangkan sedimen yang berasal dari

9
pantai berupa pasir. Degradasi dari bahan-bahan organik yang terakumulasi
sepanjang waktu juga merupakan bagian dari tanah mangrove. Soerianegara
(1971) dalam Kusmana (1996) menjelaskan bahwa tanah mangrove umumnya
kaya akan bahan organik dan mempunyai nilai nitrogen yang tinggi,
kesuburannya bergantung pada bahan alluvial yang terendap.
Menurut Soeroyo (1993), pembentukan tanah mangrove dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
 Faktor fisik, yaitu berupa transport nutrien oleh arus pasang, aliran laut,
gelombang dan aliran sungai; 
 Faktor fisik-kimia, yaitu berupa penggabungan dari beberapa partikel oleh
penggumpalan dan pengendapan;
 Faktor biotik, yaitu berupa produksi dan perombakan senyawa-senyawa
organik.
3. Suhu
Menurut Aksornkoae (1993), suhu merupakan faktor penting dalam proses
fisiologi tumbuhan seperti fotosintesis dan respirasi. Diperkirakan suhu rata-rata
didaerah tropis meupakan habitat terbaik bagi tumbuhan mangrove.
Respon bakteri terhadap suhu berbeda-beda, umumnya mempunyai batasan suhu
optimum 27–36˚C. Oleh karena itu, suhu perairan berpengaruh terhadap
penguraian daun mangrove dengan asumsi bahwa serasah daun mangrove sebagai
dasar metabolisme.
4. Curah hujan
Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa jumlah, lama dan distribusi curah
hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan penyebaran
tumbuhan. Disamping itu curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan lain,
seperti suhu udara dan air, kadar garam air permukaan dan air tanah yang pada
gilirannya akan mempengaruhi kelangsungan hidup spesies mangrove. Pada
umumnya tumbuhan mangrove tumbuh dengan baik pada daerah dengan curah
hujan kisaran 1 500 – 3 000 mm/tahun. Namun demikian tumbuhan mangrove
dapat juga ditemukan pada daerah dengan curah hujan             4 000 mm/tahun
yang tersebar antara 8–10 bulan dalam 1 tahun. Menurut Noakes (1951), iklim

10
dimana tumbuhan mangrove dapat tumbuh dengan baik adalah iklim tropika yang
lembab dan panas tanpa ada pembagian musim tertentu, hujan bulanan rata-rata
sekitar 225–300 mm, serta suhu rata-rata maksimum pada siang hari mencapai
32˚C dan suhu rata-rata malam hari mencapai 23˚C.
5. Kecepatan angin
Angin merupakan faktor yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove
melalui aksi gelombang dan arus di daerah pantai. Hal ini mengakibatkan
terjadinya erosi pantai dan perubahan sistem ekosistem mangrove. Angin
berpengaruh pada tumbuhan mangrove sebagai agen polinasi dan desiminasi biji,
serta meningkatkan evapotranspirasi. Angin yang yang kuat memungkinkan untuk
menghalangi pertumbuhan mangrove dan menyebabkan karakteristik fisiologis
yang tidak normal. Angin juga berpengaruh terhadap jatuhan serasah mangrove,
angin yang tinggi mengakibatkan besarnya produksi serasah.
6. Derajat kemasaman (pH)
Nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa
dalam air. Nilai pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain aktifitas
fotosintesis, aktifitas biologi, temperatur, kandungan oksigen, dan adanya kation
serta anion dalam perairan (Aksornkoae & Wattayakorn 1987 dalam Aksornkoae
1993). Nilai pH hutan mangrove berkisar antara 8.0 – 9.0 (Welch dalam Winarno
1996). Nilai pH yang tinggi lebih mendukung organisme pengurai untuk
menguraikan bahan-bahan organik yang jatuh di daerah mangrove, sehingga tanah
mangrove yang bernilai pH tinggi secara nisbi mempunyai karbon organik yang
kurang lebih sama dengan profil tanah yang dimilikinya (Winarno 1996).
Air laut sebagai media yang memiliki kemampuan sebagai larutan penyangga
dapat mencegah perubahan nilai pH yang ekstrim. Perubahan nilai pH sedikit saja
akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga.
7. Zat hara
Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa hara merupakan faktor penting dalam
memelihara keseimbangan ekosistem mangrove. Hara dalam ekosistem mangrove
dibagi kedalam dua kelompok:

11
 Hara anorganik, yang penting untuk kelangsungan hidup organisme
mangrove. Hara ini terdiri atas N, P, K, Mg, Ca, dan Na. Sumber utama hara
anorganik adalah curah hujan, limpasan sungai, endapan, air laut, dan bahan
organik yang terurai di mangrove.
 Detritus organik, yang merupakan bahan organik yang berasal dari bioorganik
yang melalui beberapa tahap pada proses mikrobial. Sumber utama detritus
organik ada dua, antara lain:
a. Autochtonous, seperti fitoplankton, diatom, bakteri, jamur, algae pada pohon
atau akar dan tumbuhan  lain di hutan mangrove;
b. Allochtonous, seperti partikel-partikel dari aliran sungai, partikel tanah dari
erosi darat, tanaman, dan hewan yang mati di daerah pesisir atau laut.  

12
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Lokasi Praktikum
Kegiatan praktikum analisis vegetasi hutan mangrove ini dilaksanakan di
Pantai Seribu Bintang, desa Masani.
3.2 Alat dan Bahan
Alat:
1. Patok
2. Lembar kertas praktikum
3. Triplek
4. Paku
5. Plastik (untuk menyimpan sampel)
6. Meteran
7. Kamera
8. Tali raffia
Bahan:
1. Alat tulis
2. Komunitas tertentu
3.3 Cara Kerja Praktikum
1. Menentukan stasiun atau area yang akan di teliti di hutan mangrove Pantai
Seribu Bintang.
2. Setiap kelompok mengambil setiap titik sebanyak empat kali atau empat
plot.
3. Gunakan tali raffia yang berukuran 10x10 m untuk setiap plot.
4. Ukur diameter pohon menggunakan meteran atau diameter kain.
5. Amati setiap pohon mangrove dalam plot tersebut.
6. Ambil daun atau foto pohon yang berada pada setiap plot, agar mudah
diidentifikasi.

13
3.4 Analisis Hasil

Kuadran I 
Log
No  Spesies   Plot Plot Plot K  KR  F  FR  D  DR  INP  Pi  H’ 
Plot4  Pi 
1 2 3
Rhizopora  0,3  -
 1 6  2  1  3   0,03 0,5   1  0,4  31  1,22  0,52  -0,28
apiculata  2 0,146
 Thespesia  0,002  0,04  0,2  0,1  0,0  0,23  0,04  -
 2  1 -  -  -   7,3  -2,37
populnea 5 2 5 1 8 2 3 0,102
 Sonetaria  0,2  28,  0,3  -
 3  1 1  -  -   0,005  0,1  0,5  0,6  0,09  -1,04
alba 2 3 0 0,093
 Bruguiera
 0,017  -
 4 gymnorhiz  -  -  3 4   0,3  0,5  0,2  27  0,3  0,8  0,30  -0,52
5 0,156
a
 2,2
     0,06  0,94  1  94  1  3  1  -2,88  -0,5
5

Berdasarkan tabel hasil pengamatan, dapat dihitung parameter-parameter


analisis vegetasi herba yaitu kerapatan, frekuensi, dominasi, indeks nilai penting.
Pada spesies Rhizopora apiculata , dengan menggunakan rumus jumlah individu
spesies Rhizopora apiculata dibagi jumlah seluruh individu dikali dengan
kerapatan total didapatkan Kerapatan mutlak (KM) sebesar individu 0,03.
Kemudian setelah didapatkan besar kerapatan mutlak (KM), dapat dihitung besar
Kerapatan relatif dengan membagi kerapatan mutlak dengan jumlah total KM
seluruh spesies dikali 100%. Sehingga diperoleh besar Kerapatan relatif (KR)
sebesar 0,5. Frekuensi Mutlak (FM) didapatkan dengan jumlah titik pusat yang
mengandung spesies ini dibagi jumlah titik pusat dikali 100% sebesar 1.
Kemudian setelah didapatkan Frekuensi Mutlak (FM) dapat dihitung besar
Frekuensi Relatif dengan membagi Frekuensi Mutlak (FM) dengan jumlah total
FM diseluruh spesies kemudian dikali 100% hasilnya yaitu 0,4. Nilai dominasi
mutlak (DM) pada spesies Rhizopora apiculata didapatkan dengan Jumlah basal
area ( luas batang melintang ) spesies Rhizopora apiculata dibagi jumlah basal
area seluruh spesies kemudian dikalikan 100%. Sehingga didapatkan besar
dominasi mutlak (DM) sebesar 31. Dengan didapatkan besar nilai DM maka dapat
dihitung besar nilai dominasi relatif dengan membagi DM dengan jumlah total
DM pada seluruh spesies yaitu 0,32. Dengan menjumlahkan nilai kerapatan relatif

14
, frekuensi relatif dan dominasi relatif didapatkan nilai Indeks nilai penting
sebesar 1,22.
Pada spesies Thespesia populnea, dengan menggunakan rumus jumlah
individu spesies Thespesia populnea dibagi jumlah seluruh individu dikali dengan
kerapatan total didapatkan Kerapatan mutlak (KM) sebesar individu 0,0025.
Kemudian setelah didapatkan besar kerapatan mutlak (KM), dapat dihitung besar
Kerapatan relatif dengan membagi kerapatan mutlak dengan jumlah total KM
seluruh spesies dikali 100%. Sehingga diperoleh besar Kerapatan relatif (KR)
sebesar 0,042. Frekuensi Mutlak (FM) didapatkan dengan jumlah titik pusat yang
mengandung spesies ini dibagi jumlah titik pusat dikali 100% sebesar 0,25.
Kemudian setelah didapatkan Frekuensi Mutlak (FM) dapat dihitung besar
Frekuensi Relatif dengan membagi Frekuensi Mutlak (FM) dengan jumlah total
FM diseluruh spesies kemudian dikali 100% hasilnya yaitu 0,11. Nilai dominasi
mutlak (DM) pada spesies Avicenia marina didapatkan dengan Jumlah basal area
( luas batang melintang ) spesies Avicenia marina dibagi jumlah basal area
seluruh spesies kemudian dikalikan 100%. Sehingga didapatkan besar dominasi
mutlak (DM) sebesar 7,3. Dengan didapatkan besar nilai DM maka dapat dihitung
besar nilai dominasi relatif (DR) dengan membagi DM dengan jumlah total DM
pada seluruh spesies yaitu 0,08. Dengan menjumlahkan nilai kerapatan relatif ,
frekuensi relatif dan dominasi relatif didapatkan nilai Indeks nilai penting sebesar
0,232.
Pada spesies Sonneratia alba, dengan menggunakan rumus jumlah individu
spesies Sonneratia albadibagi jumlah seluruh individu dikali dengan kerapatan
total didapatkan Kerapatan mutlak (KM) sebesar individu 0,005. Kemudian
setelah didapatkan besar kerapatan mutlak (KM), dapat dihitung besar Kerapatan
relatif dengan membagi kerapatan mutlak dengan jumlah total KM seluruh spesies
dikali 100%. Sehingga diperoleh besar Kerapatan relatif (KR) sebesar 0,1.
Frekuensi Mutlak (FM) didapatkan dengan jumlah titik pusat yang mengandung
spesies ini dibagi jumlah titik pusat dikali 100% sebesar 0,5. Kemudian setelah
didapatkan Frekuensi Mutlak (FM) dapat dihitung besar Frekuensi Relatif dengan
membagi Frekuensi Mutlak (FM) dengan jumlah total FM diseluruh spesies

15
kemudian dikali 100% hasilnya FR yaitu 0,22. Nilai dominasi mutlak (DM) pada
spesies Sonneratia alba didapatkan dengan Jumlah basal area ( luas batang
melintang ) spesies Sonneratia alba dibagi jumlah basal area seluruh spesies
kemudian dikalikan 100%. Sehingga didapatkan besar dominasi mutlak (DM)
sebesar 28,3. Dengan didapatkan besar nilai DM maka dapat dihitung besar nilai
dominasi relatif (DR) dengan membagi DM dengan jumlah total DM pada seluruh
spesies yaitu DR sebesar 0,30. Dengan menjumlahkan nilai kerapatan relatif ,
frekuensi relatif dan dominasi relatif didapatkan nilai Indeks nilai penting sebesar
0,6.
Pada spesies Bruguiera gymnorhiza, dengan menggunakan rumus jumlah
individu spesies Bruguiera gymnorhiza, dibagi jumlah seluruh individu dikali
dengan kerapatan total didapatkan Kerapatan mutlak (KM) sebesar individu
0,0175. Kemudian setelah didapatkan besar kerapatan mutlak (KM), dapat
dihitung besar Kerapatan relatif dengan membagi kerapatan mutlak dengan
jumlah total KM seluruh spesies dikali 100%. Sehingga diperoleh besar Kerapatan
relatif (KR) sebesar 0,3. Frekuensi Mutlak (FM) didapatkan dengan jumlah titik
pusat yang mengandung spesies ini dibagi jumlah titik pusat dikali 100% sebesar
0,5. Kemudian setelah didapatkan Frekuensi Mutlak (FM) dapat dihitung besar
Frekuensi Relatif dengan membagi Frekuensi Mutlak (FM) dengan jumlah total
FM diseluruh spesies kemudian dikali 100% hasilnya FR yaitu 0,2. Nilai dominasi
mutlak (DM) pada spesies Bruguiera gymnorhiza didapatkan dengan Jumlah
basal area ( luas batang melintang ) spesies Bruguiera gymnorhiza dibagi jumlah
basal area seluruh spesies kemudian dikalikan 100%. Sehingga didapatkan besar
dominasi mutlak (DM) sebesar 27. Dengan didapatkan besar nilai DM maka dapat
dihitung besar nilai dominasi relatif (DR) dengan membagi DM dengan jumlah
total DM pada seluruh spesies yaitu DR sebesar 0,3. Dengan menjumlahkan nilai
kerapatan relatif , frekuensi relatif dan dominasi relatif didapatkan nilai Indeks
nilai penting sebesar 0,8.

16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Vegetasi Mangrove


Pada penelitian yang telah dilakukan untuk komposisi vegetasi mangrove
diperoleh jenis vegetasi mangrove sebanyak 4 jenis. Jenis-jenis mangrove yang
diidentifikasi secara keseluruhan dapat diketahui bahwa yang mendominasi pada
keempat zona yang terdapat di desa Masani, Pantai Seribu Bintang adalah
Rhizopora apiculata. Hal ini diperkirakan karena didaerah ini memiliki daya
dukung yang cukup baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan
mangrove tersebut seperti salinitas, suhu dan pH tanah dan adanya keterkaitan
pada zonasi dari jenis mangrove tersebut berbeda-beda.
4.2 Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove
Struktur komunitas vegetasi mangrove dapat diketahui dengan cara
menentukan indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman dari penyusun
komunitas hutan mangrove. Pada tabel tersebut terlihat bahwa Rhizphora
apiculata mempunyai jumlah individu yang paling banyak dibandingkan dari tiga
jenis mangrove yang lain pada desa Masani, Pantai Seribu Bintang, yaitu 12
individu dengan persentase sebesar 52,17%. Hal ini disebabkan Rhizphora
apiculata dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Jenis Thespesia populnea
memiliki jumlah individu terendah dengan jumlah individu (0,043%), hal ini
disebabkan karena jenis Thespesia populnea tidak dapat beradaptasi dengan
salinitas lebih tinggi (25 ‰). Menurut kurniawan salinitas normal ekosistem
mangrove yaitu 19-22 ‰.
1. Kerapatan
Kerapatan relatif tertinggi diduduki oleh jenis Rhizophora apiculata yaitu 0,5
atau 50%, hal ini disebabkan berada di zona depan, tengah dan belakang yang
mendukung pertumbuhan dan kerapatan jenis Rhizophora apiculata. Ini juga
didukung oleh kondisi lingkungan seperti pH air dan tanah yang berada pada

17
tingkat normal. Kerapatan relatif terendah pada jenis Thespesia populnea hal ini
didukung oleh kondisi lingkungan penelitian ekosistem mangrove yang tingkat
salinitasnya mencapai (25‰) lebih tinggi dari salinitas normal, sedangkan
tumbuhan ini hanya mampu hidup di atas tanah dengan salinitas rendah atau
normal (19-22‰). Kerapatan relatif rendah diduduki oleh jenis Thespesia
populnea hal ini didukung oleh kondisi lingkungan penelitian ekosistem
mangrove di desa Masani tingkat salinitasnya mencapai (25‰) lebih tinggi dari
salinitas normal, Thespesia populnea hanya mampu hidup di atas tanah dengan
salinitas rendah atau normal (19-22‰). Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi
menunjukkan bahwa komunitas vegetasi tersebut berada pada kondisi yang tidak
mengalami gangguan.
2. Dominansi
Nilai dominansi pada masing-masing jenis pada lokasi penelitian terlihat pada
tabel Rhizopora apiculata memiliki nilai dominansi tingkat pertumbuhan tertinggi
yaitu 31%. Hal ini disebabkan jenis Rhizophora apiculata mampu berkompetisi
dengan baik untuk memperoleh unsur hara dari jenis mangrove lain. Rhizophora
apiculata mampu berkompetisi untuk memperoleh unsur hara yang lebih banyak
daripada jenis lain sehingga volume batang cukup besar dan tajuk yang luas yang
menyebabkan jenis Rhizophora apiculata tingkat penguasaan dari suatu jenis atau
dominansinya lebih tinggi dari jenis lain. Dominansi jenis mangrove berbeda dari
setiap jenis pada suatu daerah, apabila ukuran batang yang semakin besar akan
memperluas dominansinya. Menurut Nasution (2005) bahwa jenis yang memiliki
nilai dominansi yang relatif rendah berarti mencerminkan ketidakmampuannya
toleran terhadap kondisi lingkungan.
3. Frekuensi
Pada tingkat pertumbuhan pohon ditempati oleh Rhizophora apiculata dengan
persentase nilai frekuensi yaitu 100%. Hal ini disebabkan adanya perbedaan faktor
fisika dan kimia lingkungan di setiap zona yang mendukung pertumbuhan
mangrove jenis Rhizophora apiculata.
4. Indeks Nilai Penting

18
Indeks Nilai penting menunjukkan kepentingan ekologi suatu jenis tumbuhan
tersebut dilingkungannya. Indeks Nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari
Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif dan Dominansi Relatif. Nilai penting
menunjukan kepentingan suatu jenis tumbuhan berpengaruh atau tidaknya
tumbuhan tersebut di dalam komunitas dan ekosistem. Berdasarkan analisis
indeks nilai penting (INP) pada tingkat pertumbuhan semai jenis mangrove
Rhizopora apiculata menduduki persentase nilai tertinggi dibanding spesies lain
yaitu 1,30%. Hal ini mengindikasikan bahwa spesies ini dapat beregenerasi dan
beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan mangrove yaitu faktor salinitas,
suhu dan substrat.
5. Indeks Keanekaragaman
Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan
organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk
menyatakan struktur komunitas keanekaragaman spesies yang tinggi
menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena
interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi. Suatau komunitas
dikatakan mimiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas itu
disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki
keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit
spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan.
Melalui data dapat diketahui bahwa indeks keanekaragaman (H’) dari seluruh
jenis yaitu -0,5. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman mangrove di
desa Masani ini rendah. Rendahnya keanekaragaman ini disebabkan oleh
kegiatan- kegiatan yang merusak oleh masyarakat yaitu konversi lahan menjadi
tambak dan pengambilan kayu mangrove secara berlebihan.

19
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis tumbuhan
mangrove yang ditemukan berjumlah 4 jenis yakni, Rhizopora apiculata,
Thespesia populnea, Sonetaria alba, Burguiera gymnorhiza. Hasil analisa
vegetasi mangrove yaitu sebagai berikut.
1. Jenis mangrove didominasi oleh Rhizopora apiculata dengan jumlah 12
spesies, dengan KR= 0,54, FR= 0,44 dan DR= 0,32, dengan nilai INP
tertinggi yaitu 1,3.
2. Indeks keanekaragaman (H’) dari semua jenis diperoleh 0,5. Hal ini
menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman hutan Mangrove termasuk
dalam kategori rendah.
5.2 Kesimpulan
Saran dari kegiatan praktikum ini yaitu diharapkan dilakukan penelitian
lanjutan, dengan penambahan plot, sehingga dapat diketahui serta ditemukan jenis
tumbuhan lain di stasiun Mangrove tersebut.
Dilihat dari rendahnya keanekaragaman di area Mangrove ini, kami sangat
berharap adanya upaya untuk melakukan pengelolaan secara berkelanjutan
terhadap wilaya pesisir ini terlebih khusus pengelolaan ekosistem Mangrove.

20
DAFTAR PUSTAKA
Sari, Anisa Rachma. 2013. “Pengertian Analisis Vegetasi”,
https://www.scribd.com/doc/139372434/PENGERTIAN-ANALISIS-VEGETASI,
diakses pada Sabtu, 11 Desember 2021 pukul 10.31 WITA.
Shimamora, HP. 2014. “ ANALISIS VEGETASI MANGROVE DI EKOSISTEM
MANGROVE”, https://media.neliti.com/media/publications/199602-none.pdf,
diakses pada Sabtu, 11 Desember 2021 pukul 12.36 WITA.
Ghina. 2015. “Ekosistem Mangrove: Faktor-Faktor Lingkungan yang
Mempengaruhi Mangrove”,
http://ghinaghufrona.blogspot.com/2015/03/ekosistem-mangrove-faktor-
faktor.html, diakses pada Sabtu, 11 Desember 2021 pukul 19.53 WITA. .
Yulia. 2013. “ Analisa Vegetasi (Metode Kuadrat)”,
https://www.scribd.com/doc/141073071/Analisa-Vegetasi-Metode-Kuadrat,
diakses pada Sabtu, 11 Desember 2021 pukul 20.43 WITA.
Fajar. 2018. “Pengenalan Jenis Mangrove Printed”,
https://www.scribd.com/document/386805576/Pengenalan-Jenis-Mangrove-
Printed, diakses pada Minggu, 12 Desember 2021 pukul 11.40 WITA.
Arsyad. 2018. “Analisis Keanekaragaman Mangrove”,
https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/1892-Full_Text.pdf, diakses pada
Selasa, 14 Desember 2021 pukul 19.08 WITA.

21
LAMPIRAN

22
23
24

Anda mungkin juga menyukai